kampung adat Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kampung-adat/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 17 Feb 2025 07:55:21 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kampung adat Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kampung-adat/ 32 32 135956295 Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga https://telusuri.id/kampung-naga-tasikmalaya-jawa-barat/ https://telusuri.id/kampung-naga-tasikmalaya-jawa-barat/#respond Mon, 17 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45665 Kampung Naga merupakan salah satu kampung adat yang terletak di Jawa Barat, tepatnya di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Jumlah penduduk kampung ini sekitar 271 jiwa, terdiri dari 101 kepala keluarga. Dengan populasi penduduk...

The post Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga appeared first on TelusuRI.

]]>
Kampung Naga merupakan salah satu kampung adat yang terletak di Jawa Barat, tepatnya di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Jumlah penduduk kampung ini sekitar 271 jiwa, terdiri dari 101 kepala keluarga. Dengan populasi penduduk yang relatif kecil, keaslian budaya Kampung Naga tetap terjaga hingga kini. Sebagai bentuk pengakuan dari pemerintah, pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN mendaftarkan dan meresmikan hak pengelola (HPL) Tanah Ulayat di Kampung Naga.

Seperti halnya Kampung Adat Kuta di Kabupaten Ciamis, Kampung Naga menjadi salah satu dari banyaknya kampung adat yang memilih untuk tetap mempertahankan adat istiadat serta warisan leluhurnya di tengah perubahan sosial yang terus berkembang. Komitmen tersebut menjadi daya tarik bagi masyarakat luar untuk bersilaturahmi, berbagi pengalaman dan memahami pandangan hidup (filosofi) masyarakat Kampung Naga.

  • Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga
  • Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga

Sejarah Kampung Naga

Sayangnya, sejarah atau asal usul Kampung Naga tidak dapat diketahui secara pasti. Berdasarkan pengakuan dari Pak Sarya selaku kepala wilayah, berbagai arsip Kampung Naga hilang pascapemberontakan DI/TII sekitar tahun 1950-an. Konon, pembakaran terjadi pada saat pemberontakan tersebut yang mengakibatkan hangusnya arsip sejarah tentang Kampung Naga.

Bahkan sampai hari ini, masyarakat Kampung Naga tidak ada yang mengetahui akan sejarah kampungnya sendiri. Mereka memilih untuk tidak menyampaikan apa pun tentang sejarah atau asal usul tentang Kampung Naga. Hal ini dilakukan demi menghindari kesalahan informasi yang dikhawatirkan menghasilkan sejarah yang keliru.

Meski demikian, terdapat cerita yang berkembang di khalayak luar tentang asal usul penamaan Kampung Naga. Berdasarkan informasi yang beredar, konon penamaan Kampung Naga berasal dari lokasinya yang berada di tebing, atau dalam bahasa Sunda disebut “dina gawir”. Kemudian istilah tersebut disingkat oleh masyarakat menjadi “na gawir”, lalu muncullah penamaan Kampung Naga (Na Gawir). Akan tetapi, menurut Pak Sarya, informasi atau cerita tersebut tidak dapat dikonfirmasi kebenarannya, karena masyarakat Kampung Naga sendiri pun tidak mengetahui sejarah asli kampung mereka.

Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga
Posisi rumah warga saling berhadapan agar tercipta interaksi dan kerukunan bertetangga/Dadan Abdul Majid

Larangan di Kampung Naga

Sebagai kampung adat, Kampung Naga memiliki berbagai macam larangan yang terus dipegang teguh oleh masyarakatnya, antara lain:

1. Tidak boleh memasuki “leuweung larangan”

Masyarakat Kampung Naga sangat menjaga kelestarian alam yang ada di sekitarnya, yang dibuktikan dengan adanya konsep leuweung larangan atau hutan keramat. Demi menjaga kelestarian dan keseimbangan alam (ekosistem), tanpa mengenal kompromi, tidak seorang pun diperbolehkan untuk memasuki hutan keramat, apa pun alasannya. 

2. Tidak boleh membuang limbah rumah tangga langsung ke sungai

Untuk menjaga kebersihan aliran Sungai Ciwulan, masyarakat tidak boleh membuang limbah rumah tangga secara langsung ke sungai. Sebagai solusi, limbah tersebut harus dibuang terlebih dahulu ke kolam-kolam yang ada di sana. Masing-masing kolam tersebut memiliki beberapa tumbuhan yang mampu menyerap zat berbahaya yang dapat mencemari air sungai, salah satunya adalah tumbuhan eceng gondok. Setelah melalui penyaringan alami ini, limbah rumah tangga tersebut baru dialirkan ke aliran sungai.

3. Tidak boleh menggunakan listrik

Tidak ada satu pun warga Kampung Naga yang diperbolehkan untuk menggunakan listrik. Menurut Pak Sarya dan salah satu anggota masyarakat di sana, larangan ini bertujuan untuk menghindari berbagai risiko yang ditimbulkan dari adanya pemakaian listrik, di antaranya kebakaran akibat korsleting listrik serta mencegah perubahan gaya hidup masyarakat. Soal perubahan gaya hidup, mereka khawatir muncul kelas-kelas sosial tertentu yang berpotensi menimbulkan kesenjangan sosial.

Itulah beberapa larangan yang penulis ketahui setelah berkunjung dan bersilaturahmi dengan salah satu anggota masyarakat Kampung Naga. Larangan-larangan tersebut dikenal dengan istilah “pamali”, yang merupakan konsep sakral bagi masyarakat Kampung Naga. Pamali berfungsi sebagai alat kontrol sosial yang menjadikan warga masyarakatnya tunduk dan patuh pada aturan adat (social of control).

  • Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga
  • Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga

Tradisi Kampung Naga

Dalam masyarakat adat, tradisi merupakan elemen penting yang patut dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Sebab, tradisi tersebutlah yang dapat memperkuat ikatan sosial antaranggota masyarakat (kohesi sosial). Di Kampung Naga, salah satu tradisi yang masih lestari hingga kini adalah Hajat Sasih.

Hajat Sasih merupakan upacara adat yang diselenggarakan setiap dua bulan sekali, yang berarti dalam setahun masyarakat Kampung Naga merayakan enam kali upacara adat tersebut. Berdasarkan penuturan Pak Sarya, waktu-waktu pelaksanaan Hajat Sasih adalah bulan Muharram (berkaitan dengan tahun baru Islam), bulan Rabiulawal (berkaitan dengan kelahiran atau maulid Nabi Muhammad saw.), pertengahan bulan dalam kalender Hijriah, penyambutan bulan suci Ramadan, penyambutan datangnya Syawal, dan Zulhijah (bulan penutup dalam kalender Hijriah).

Saat pelaksanaan Hajat Sasih, penduduk laki-laki melakukan ziarah kubur, sementara kaum perempuan menyiapkan makanan dan hidangan nasi untuk disantap secara bersama-sama. Setelah prosesi selesai, seluruh masyarakat Kampung Naga berkumpul di bale (balai). Selanjutnya melaksanakan doa bersama sebagai bentuk syukur kepada Tuhan, lalu secara bersama-sama menyantap hidangan yang telah dipersiapkan sebelumnya. 

Hajat Sasih tidak hanya memperkuat hubungan vertikal antara manusia dan Tuhannya. Tradisi ini juga menjadi sarana silaturahmi untuk mempererat hubungan antarsesama anggota masyarakat Kampung Naga.

Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga
Bangunan balai tempat berkumpul warga/Dadan Abdul Majid

Kesetaraan Sosial dan Sistem Pendidikan di Kampung Naga 

Stratifikasi sosial merupakan penggolongan masyarakat ke dalam kelas-kelas tertentu secara bertingkat. Wujud dari stratifikasi ini yaitu adanya kelas bawah, menengah, dan atas. Pada masyarakat modern, stratifikasi ini sangat jelas wujudnya dalam bentuk perbedaan gaya hidup dan sumber daya ekonomi yang mencolok. 

Namun, hal tersebut tidak berlaku di Kampung Naga. Rumah-rumah dengan bentuk dan bahan yang seragam tertata dengan rapi, seolah mencerminkan kesetaraan sosial di antara warganya. Selain itu, hal tersebut juga menjadi bukti bahwa masyarakat Kampung Naga tidak terpengaruh oleh kemewahan hidup, serta tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan kesederhanaan dalam kehidupan sehari-hari.

Kesederhanaan mereka tergambar dari batasan penggunaan teknologi modern, wajib memanfaatkan sumber daya alam secara tepat guna dan tidak eksploitatif, serta tidak adanya penggunaan listrik. Dampaknya, tidak memunculkan kelas sosial atau perbedaan gaya hidup yang mencolok di masyarakat. Selain itu, setiap dua bangunan rumah di Kampung Naga harus dibangun secara berhadapan untuk memudahkan interaksi antarwarga. Maka tidak berlebihan jika keseragaman mereka mencerminkan kesetaraan, sedangkan kedekatan mereka menegaskan pentingnya kebersamaan dan keakraban. 

Berbeda dengan Kampung Baduy Dalam, warga Kampung Naga tidak dilarang untuk menempuh pendidikan formal. Mereka bebas bersekolah, tetapi tetap diajarkan untuk tidak melupakan adat istiadat dan berbagai kearifan lokal yang mereka miliki. Bahkan mereka berharap, pendidikan yang diperoleh warganya dapat membantu dalam melestarikan dan mengembangkan warisan budaya yang sudah ada.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kampung-naga-tasikmalaya-jawa-barat/feed/ 0 45665
Kampung Adat Ciptagelar, Tradisi Kehidupan dari Sunda https://telusuri.id/kampung-adat-ciptagelar/ https://telusuri.id/kampung-adat-ciptagelar/#respond Sun, 22 Aug 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29909 Nama Kampung Adat Ciptagelar tentu sudah tidak asing di telinga. Kampung yang berlokasi di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat ini masih menjaga tradisinya walau semakin dihimpit kehidupan yang serba cepat. Lokasinya ada di...

The post Kampung Adat Ciptagelar, Tradisi Kehidupan dari Sunda appeared first on TelusuRI.

]]>
Nama Kampung Adat Ciptagelar tentu sudah tidak asing di telinga. Kampung yang berlokasi di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat ini masih menjaga tradisinya walau semakin dihimpit kehidupan yang serba cepat. Lokasinya ada di lembah sebelah Selatan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Jadi pemandangan yang ada di kampung ini tentu sangat indah.

Saya berencana ke kampung ini bersama teman saya bernama Asep. Kami memulai perjalanan dari Bogor pukul 3 dini hari. Asep dulu pernah sekali ke Kasepuhan Ciptagelar waktu tahun 2018 silam. Jadi kami kira tidak perlu menggunakan pemandu lokal karena kebetulan Asep juga masih sering berhubungan dengan salah satu warga di sana.

Kampung Adat Ciptagelar
Para warga adat mengusung padi (rengko) ke lumbung pada puncak Upacara Seren taun di Kampung Ciptagelar, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat via TEMPO/Aditya Herlambang Putra

Memulai perjalanan ke Kampung Adat Ciptagelar

Medan yang dilalui sebetulnya masih aman-aman saja sampai akhirnya memasuki perbukitan Kawasan Nasional Gunung Halimun Salak, medan jalan berubah total. Jalan menanjak dan berkelok-kelok menghiasi selama perjalanan, bahkan beberapa kali terdapat ruas jalan yang masih berbatu. Jadi harus ekstra hati-hati untuk sampai di lokasi tujuan. Selama perjalanan, pemandangan indah memang terlihat jelas apalagi saat ini adalah musim kemarau, jadi pemandangan perbukitan hijau tidak terhalang oleh awan. 

Akses jalan terbilang ekstrem karena di sisi kanan dan kirinya terdapat jurang yang cukup dalam. Namun begitu, mobil atau truk masih bisa melalui jalan ini sampai ke Kampung Ciptagelar. Tak terbayang jika berkunjung ke kampung ini ketika musim hujan tiba, tentu banyak hambatan selama perjalanan. 

Akhirnya kami tiba di Kampung Ciptagelar pukul 8 pagi. Pemandangan sekitar yang masih asri ditambah rumah-rumah adat yang tertata rapi menghiasi kampung ini. Sebagai informasi, rumah-rumah adat ini memiliki bentuk panggung pendek dengan atap dari ijuk dan daun kelapa. Pada dinding rumahnya masih menggunakan anyaman bambu dan kayu. 

Kampung Adat Ciptagelar
Seorang warga mengangkut ijuk dari pohon aren di Desa Adat Kasepuhan Ciptagelar via TEMPO/Rully Kesuma

Sebagian bangunan lain dindingnya terbuat dari batu dan batako seperti musala atau kamar mandi umum. Seperti gambaran di website-website referensi yang saya gunakan sebelumnya, Kampung Ciptagelar memiliki suasana yang damai dan tenang. 

Suara aktivitas masyarakatnya, burung-burung yang bersahutan, sampai suara ternak sayup-sayup juga ikut menghiasi kampung ini. Asep mengajak saya untuk bertemu dengan pemimpin adat kampung yaitu Abah Ugi Sugriana Rakasiwi atau yang dikenal dengan nama Abah Anom. Beliau sangat ramah dan sangat menyambut kami ketika datang untuk singgah sejenak di Kampung Adat Ciptagelar. Beliau sedikit bercerita bahwa kampung ini memang masih menjaga adat istiadat tradisi namun tidak menutup diri untuk menerima perkembangan teknologi dari luar.

Tidak semua teknologi yang berkembang sekarang diterima langsung oleh mereka. Hanya beberapa teknologi saja yang dipakai dan digunakan untuk kepentingan masyarakatnya. Abah Anom juga bercerita bahwa di kampung ini memiliki sumber daya listrik yang disuplai dari turbin air untuk kebutuhan masyarakatnya. Uniknya, di sini mereka tidak memperjual-belikan beras hasil panen. Hanya buah-buahan, sayur, dan ternak saja yang mereka jual untuk kebutuhan tambahan.

Beras dianggap sebagai sumber kehidupan sehingga jika seseorang menjual berasnya maka berarti menjual kehidupannya sendiri. Masyarakat Kampung Adat Ciptagelar memegang teguh prinsip ini secara turun temurun. Hasil padi yang mereka panen, 10 persennya akan disimpan di dalam leuit atau lumbung padi sebagai hasil simpanan. Tak heran jika di lumbun ini ada beras yang usianya bahkan sudah puluhan tahun. Abah Anom bahkan memperkirakan hasil tabungan beras mereka cukup untuk menghidupi masyakaratnya 5 tahun ke depan jika tidak ada hasil pertanian lagi. Walaupun mereka menanam sendiri padinya dan banyak pengunjung yang datang, nyatanya hasil berasnya selalu lebih. Masyarakatnya percaya bahwa rezeki memang tidak akan tertukar. 

Abah Anom mempersilakan kami untuk beraktivitas sesuka hati di kampungnya, jika ada pertanyaan atau penasaran pada suatu hal di kampung ini bisa langsung bertanya pada masyarakatnya atau ke Abah Anom langsung. Sambutan baik ini seakan tidak ada hentinya, bahkan kami ditawari untuk sarapan mencicipi hasil bumi yang dipetik langsung dari kebun sekitar. Setelah berpamitan dengan Abah Anom, Asep mengajak saya untuk berkeliling menikmati keindahan alam yang ada di Kampung Adat Ciptagelar. 

Seringkali melihat anak-anak bermain dan tertawa lepas, masyarakatnya yang santun dan ceria sungguh sangat menyenangkan untuk dilihat. Udara sejuk, gemericik air di sawahnya, serta suara serangga khas hutan turut mengisi kedamaian di kampung ini. 

Memasuki rumah Pak Omon, salah satu warga Kampung Ciptagelar yang akan kami singgahi selama satu malam ini. Di rumah Pak Omon terasa begitu sejuk, mungkin karena rumahnya yang memiliki tembok dari anyaman bambu, jadi angin bisa masuk melalui celahnya. Kami dipersilakan juga untuk berkeliling ke dalam rumahnya jika ingin tahu kehidupan sehari-hari masyarakat Ciptagelar. Saat di dapur, terlihat tungku kayu lengkap dengan peralatan masak tradisional untuk tetap mempertahankan tradisi mereka.

Saya sempat berkeliling untuk mengetahui lebih banyak tentang masyarakatnya. Salah satu bangunan yang unik adalah Imah Gede yang menjadi sentral di Kampung Ciptagelar. Rumah yang berukuran sangat besar ini biasa digunakan untuk menyambut tamu atau pusat kegiatan kampungnya. Tak heran jika di dalamnya terdapat dapur yang berukuran sangat besar juga. 

Kampung Adat Ciptagelar
Ritual Seren Taun Ke-646 di Kampung Ciptagelar via TEMPO/Aditya Herlambang Putra

Di Kampung Adat Ciptagelar biasanya mengadakan upacara adat tahunan seperti Ngaseuk, Mipit, Nganyaran, Ponggokan, dan Serentaun. Padi dianggap sebagai sumber kehidupan, jadi dari awal sampai panen pun diadakan upacara adat untuk menjunjung tinggi nilainya. Diawali oleh upacara adat Ngaseuk atau menanam padi di lahan kering menggunakan aseuk (tongkat lancip), lalu dilanjutkan dengan Mipit atau memetik / mengambil apa yang ditanam sebelumnya.

Sedangkan pada upacara adat Nganyaran merupakan prosesi untuk mencicipi hasil panen padi yang ditanam sebelumnya. Nantinya juga ada upacara Ponggokan yang berupa sensus data dari jumlah laki-laki dan perempuan, jumlah leuit (lumbung), jumlah rumah, jumlah kendaraan, sampai jumlah hasil iuran warga untuk pesta panen Serentaun. 

Sebagai puncaknya akan ada Upacara Adat Serentaun atau pesta panen. Kemeriahan pesta adat untuk mensyukuri apa yang mereka dapat serta menyerahkan siklus hidup tahun berikutnya serta kehidupan masyarakat. Berbagai ritual, pertunjukan, dan syukuran turut memeriahkan upacara adat ini. Namun sayangnya, saya tidak datang saat upacara adat ini. 

Kami bercengkrama dengan masyarakat lokalnya, saling bertanya dan berbagi pikiran, juga kami terjun untuk ikut membantu aktivitas yang mereka lakukan sehari-hari. Rasanya sangat damai dan tenang, tidak ada tuntutan untuk mengejar masa depan atau berkutat dengan deadline yang menggila. Di sini adalah tempatnya untuk kembali, merasakan kedamaian kehidupan dengan keramah-tamahan masyarakat yang tinggal.

Walau alat-alat dan teknologi serba sederhana, namun tidak membuat masyarakat untuk takut menghadapi masa depan yang kian serba cepat. Banyak hal yang membuat saya betah dan berjanji untuk menyempatkan diri bernaung sejenak di Kampung Adat Ciptagelar setidaknya setahun sekali. 

Ada banyak pelajaran dan nilai-nilai kehidupan yang bisa ditemukan hanya di kampung ini. Masyarakatnya yang ramah, pemandangan alam yang memikat, serta suasana yang bikin betah akan saya kenang selamanya. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kampung Adat Ciptagelar, Tradisi Kehidupan dari Sunda appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kampung-adat-ciptagelar/feed/ 0 29909