kampung bariat Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kampung-bariat/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 12 Jun 2025 11:45:41 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kampung bariat Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kampung-bariat/ 32 32 135956295 Sagu Keramat Kampung Bariat https://telusuri.id/sagu-keramat-kampung-bariat/ https://telusuri.id/sagu-keramat-kampung-bariat/#respond Sun, 05 Jan 2025 09:00:13 +0000 https://telusuri.id/?p=45064 Masyarakat Afsya mengandalkan sagu sebagai makanan pokok sekaligus sumber ekonomi. Upaya tradisional untuk merawat berkat dari pohon sagu yang tumbuh berlimpah di hutan-hutan keramat. Pengakuan hutan adat jadi krusial agar Bariat berdaulat pangan dengan sagu....

The post Sagu Keramat Kampung Bariat appeared first on TelusuRI.

]]>
Masyarakat Afsya mengandalkan sagu sebagai makanan pokok sekaligus sumber ekonomi. Upaya tradisional untuk merawat berkat dari pohon sagu yang tumbuh berlimpah di hutan-hutan keramat. Pengakuan hutan adat jadi krusial agar Bariat berdaulat pangan dengan sagu.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Sagu Keramat Kampung Bariat
Foto udara permukiman Kampung Bariat, salah satu sentra penghasil sagu di Sorong Selatan, saat berselubung kabut di pagi hari. Tampak kelokan jalan di sisi kanan, yang merupakan jalur utama penghubung kampung-kampung di Distrik Konda dengan Teminabuan, ibu kota Kabupaten Sorong Selatan/Deta Widyananda

Sagu kerap dibilang sebagai bahan pangan alternatif pengganti beras. Sebagian orang mungkin juga mengenal sagu dengan tepungnya, sebagai salah satu bahan baku untuk membuat aneka penganan, seperti kue atau roti. Padahal, sejumlah daerah di Indonesia telah turun-temurun menggunakan sagu sebagai makanan pokok, seperti Papua.

Bagi orang Papua, sagu mengalir erat sedekat urat nadi. Bahkan filosofi dari pohon sagu memiliki makna sangat dalam. Di luar berduri, di dalam berseri. Artinya, meski tampak fisik atau penampilan luarnya keras dan garang, tetapi hatinya baik, tulus, dan putih bersih penuh kasih; seputih sari pati sagu. Tidak terkecuali masyarakat Afsya di Kampung Bariat, ibu kota Distrik Konda. Afsya merupakan subsuku yang termasuk bagian dari suku Tehit, komunitas adat terbesar di Kabupaten Sorong Selatan. 

Permukiman masyarakat Afsya berada di tengah kawasan hutan adat seluas 3.307,717 hektare (ha). Hutan Bariat didominasi ekosistem gambut, sehingga tak heran papan peringatan rawan kebakaran dari dinas lingkungan hidup terpasang di banyak tempat. 

Sebagai kampung yang dikepung daratan dan tidak berbatasan dengan laut, sumber penghidupan masyarakat Bariat bergantung pada hasil hutan. Dari sekian komoditas, sagu (Metroxylon sp.) menjadi makanan pokok mereka.

Dalam ekspedisi Arah Singgah Papua 2024, tim TelusuRI singgah di Kampung Bariat untuk melihat proses pengolahan sagu. Adrianus Kemeray (51), Kepala Kampung Bariat, mengajak kami masuk wilayah hutan sagu milik keluarga Nikson Kemeray. Ada satu pohon sagu dewasa berusia sekitar 10 tahun yang siap panen di dalamnya. Lokasinya tidak jauh dari jalan aspal penghubung Teminabuan (ibu kota Sorong Selatan) dengan kampung-kampung di Distrik Konda.

Kami bisa menjangkau lahan itu dengan jalan kaki dari rumah Adrianus, tempat kami menginap. Hanya saja, karena hari sebelumnya hujan deras sepanjang malam, lahan di sekeliling pohon sagu tersebut tergenang air setinggi betis. Beberapa warga meminjami kami sepatu bot, sedangkan mereka biasa berjalan tanpa alas kaki. Padahal, duri-duri pohon sagu dan serpihan kayu yang tajam berserakan di mana-mana. Kami sampai harus berjalan di atas batang sagu yang sudah kopong dan licin.

Sagu Keramat Kampung Bariat
Limbah batang sagu yang tergenang air. Karena hutan tergenang banjir akibat hujan deras semalaman, kami meniti di atasnya untuk menuju lokasi pemanenan pohon sagu/Mauren Fitri

Gotong royong mengolah sagu

Menurut Adrianus, sagu merupakan anugerah pangan lokal terbaik yang diberikan Tuhan untuk tanah Papua. Kemudian nenek moyang mereka menurunkan banyak pengetahuan seputar pemanfaatan sagu. Semua itu dilakukan tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.

“Sagu adalah makanan pokok [yang diwariskan] dari leluhur kami. Kami jaga pohon sagu sebagai mama kandung kami,” kata Adrianus. Seperti halnya orang-orang Papua menganggap hutan sebagai ibu atau mama, karena memberikan banyak kehidupan. Begitu pun sagu. Melindungi dusun sagu—istilah masyarakat untuk menyebut hutan sagu—berarti menjamin keberlangsungan sumber penghidupan mereka sampai anak cucu.

Dari satu pohon sagu saja, semua bagiannya bisa dimanfaatkan. Kulit atau batangnya bisa berfungsi sebagai bahan bakar atau perapian. Pelepah sagu dapat digunakan untuk tempat meremas sagu dan dinding rumah. Lalu daun atau rumbia bisa dianyam jadi atap rumah. 

Sementara dari kacamata iklim, sagu punya peran penting dalam pengendalian kualitas lingkungan. Menurut riset Bambang Hariyanto, peneliti utama di Pusat Teknologi Agroindustri BPPT, tanaman sagu dapat menyerap emisi karbon lebih besar daripada tanaman hutan lainnya. Oleh karena itu, sagu tidak hanya diandalkan sebagai sumber ekonomi, tetapi juga kemampuannya merestorasi kondisi lingkungan hutan di sekitarnya.

Selebihnya, seperti kita tahu, sagu adalah bahan pangan kaya karbohidrat. Tidak kalah kenyang dengan beras padi. Berbeda dengan padi yang harus menunggu tiga sampai empat bulan untuk panen, sagu bisa diolah dan dinikmati di hari yang sama. Untuk itulah kerja sama atau gotong royong antarkeluarga jadi penting saat memanen sagu.

Fase-fase awal awal pengolahan sagu membutuhkan kerja fisik ekstra. Di sinilah kelompok laki-laki berperan. Berbekal parang dan kapak, para lelaki dewasa bahu-membahu menebas bagian bawah batang sagu dan memastikan jatuh ke arah yang tepat.

Saya tidak tahu persis bagaimana penampakan fisik sagu siap panen. Yang jelas, kalau kata Adrianus, rata-rata usia pohon sagu dewasa yang siap panen adalah 10 tahun. Tingginya kira-kira mencapai sedikitnya 15 meter. 

Tim ekspedisi Arah Singgah TelusuRI diminta menjauh dari lokasi penebangan. Teriak kencang para pria bersahutan untuk memberi aba-aba waspada. 

  • Sagu Keramat Kampung Bariat
  • Sagu Keramat Kampung Bariat

Bruk! Satu pohon besar itu roboh ke arah berlawanan dari kedatangan kami. Daniel Meres, tetangga yang tinggal di seberang rumah Adrianus, sigap mengayunkan kapaknya berulang-kali ke permukaan batang sagu. Sementara yang menggunakan parang, seperti Nikson, Wilhelmus, dan Maurit bertugas menguliti batang sagu dan memotong pelepah-pelepah yang tersisa. Para remaja macam Nobili dan Yunus siaga membawa dan menjaga barang-barang kami yang agak merepotkan—kamera, tripod, ransel, hingga matras.

Satu pohon sagu tidak akan dihabiskan di hari itu. Warga hanya membuka batang sagu kira-kira seperempat ukuran pohon saja untuk diolah. Fredik Ariks jadi orang pertama yang menokok teras batang atau empulur—daging pohon atau bagian dalam batang sagu yang berwarna putih. 

Alat pangkur khusus itu berfungsi seperti martil dan biasanya terbuat dari kayu yang kuat, seperti merbau. Penduduk setempat menyebutnya kayu besi. Di ujungnya biasanya dipasang logam tajam agar awet dan bisa melumat empulur dengan cepat.

Selanjutnya bergantian Amos Meres (anak Daniel Meres) berusaha keras memecah empulur sampai gembur serupa tepung. “Kalau capek, bisa gantian sama yang muda-muda,” kata Fredik tergelak.

  • Sagu Keramat Kampung Bariat
  • Sagu Keramat Kampung Bariat

Warisan pangan leluhur yang bestari dan lestari

Meski status lahan milik marga Kemeray, tetapi proses panen dan pengolahan sagu melibatkan keluarga lintas marga. Sebab, satu pohon saja bisa mencukupi kebutuhan 340-an penduduk Bariat untuk beberapa minggu. Bahkan dalam satu hari hanya mengolah beberapa karung empulur saja untuk selanjutnya diperas menjadi tepung sagu kering. 

Kata Adrianus soal proses pengolahan sagu, “Kalau orangnya banyak [yang gotong royong], satu pohon [sagu] besar itu bisa selesai diproses seminggu. Kalau cuma satu-dua orang saja [yang mengerjakan], baru bisa selesai sebulan.”

Sementara di sisi batang pohon yang sudah terbelah, kelompok perempuan akan mengambil alih tugas selanjutnya. Maria Kemeray dan Kormince Kemeray telah bersiap-siap. Mereka membuka dua karung goni ukuran sedang untuk menampung serpihan-serpihan sagu. Kedua mama itu, dengan menyunggi, bergerak kilat ke pondok sagu milik marga Kareth di tepi anak sungai berair jernih di hutan rawa gambut. Jaraknya hanya sekitar 200 meter dari tempat panen. 

Sagu Keramat Kampung Bariat
Di area pondok sagu dekat sungai, Maria Kemeray (kiri) dan Kormince Kemeray gotong royong meremas sagu untuk menghasilkan pati sagu secara tradisional/Deta Widyananda

Alih-alih memakai mesin pengolah sagu mekanis, masyarakat Bariat masih mempertahankan cara lawas. Mereka memakai pelepah nipah—disangga batang-batang pohon kecil yang terpasang menyilang—sebagai tempat penggilingan sagu basah. 

Meskipun tradisional, tetapi mekanisme kerjanya sangat menakjubkan. Tidak ada kurikulum khusus di sekolah tentang cara membuatnya, hanya berdasarkan tutur leluhur turun-temurun. Paling-paling, satu-satunya barang modern adalah penggunaan kaus atau kain lebar sebagai penyaring sagu.

Maria dan Kormince kemudian secara bertahap memindahkan serpihan sagu ke baskom. Mereka mencampur sagu dengan air dari anak sungai tadi secukupnya, lalu menuangkannya ke atas pelepah. Mauren, ketua tim ekspedisi, sempat mencoba membantu pekerjaan mama-mama itu.

“Diremas pelan-pelan sampai [kandungan] airnya habis, lalu basahi dengan air lagi dan remas lagi,” ujar Maria memberi arahan. Meremasnya seperti saat sedang mencuci dan membilas pakaian.

Ada dua-tiga perlakuan serupa untuk setiap baskom sagu. Kemudian air perasan sagu akan mengalir melewati penyaring dan jatuh ke bak penampung di bawahnya. Hasil saringan itulah yang nantinya dicuci dan diambil patinya. Pati tersebut diolah dan dijadikan tepung sagu kering. 

Sagu Keramat Kampung Bariat
Maria Kemeray meremas sagu yang sudah dicampur air dari sungai. Proses ini dilakukan berulang sampai mendapatkan hasil saringan pati sagu yang cukup/Mauren Fitri

Setiap keluarga biasa mengambil beberapa bagian untuk kebutuhan dapurnya sendiri. Mama-mama masih meneruskan perannya dengan memasak olahan sagu. Paling banyak dijadikan papeda, tinggal mencari ikan di sungai, sayur-sayur di hutan, dan bumbu-bumbu dari pasar sebagai pelengkap. Kami sempat mencoba produk penganan olahan lainnya. Dorcila Gemnasi, istri Adrianus, membuatkan kami kue pukis sagu dengan parutan kelapa yang sangat lezat. Makan dua potong saja sudah kenyang. Lebih nikmat lagi jika disajikan dengan secangkir kopi panas.

Selain dikonsumsi sendiri, tepung sagu kering merupakan produk turunan pertama yang bisa dijual oleh warga Bariat. Sasaran penjualannya bisa ke pasar, atau sesuai pesanan pelanggan. Satu pohon sagu bisa menghasilkan tepung kering sedikitnya 20 karung dengan bobot masing-masing mencapai 20–25 kilogram. Harga jualnya sekitar Rp200.000 rupiah per karung.

Inilah yang dimaksud Adrianus soal pemanfaatan sagu tanpa mengeluarkan modal pundi-pundi sepeser pun, tetapi bisa jadi sumber pemasukan. Ia menegaskan sagu sebagai upaya kemandirian pangan di kampungnya, “Kami sebagai masyarakat belum tentu semua jadi pegawai negeri. Kami ada yang [bekerja] sebagai buruh kasar. [Ada juga] yang sama sekali tidak dapat pekerjaan [sehingga] punya hidup bergantung dari dusun sagu, yang dia bisa olah untuk mendapatkan uang.”

Tak terhitung manfaat ekonomi dari sagu yang dikelola dengan baik dan lestari. Para orang tua di Bariat bisa menyekolahkan anak-anak mereka, membelanjakan bahan makanan dan minuman lainnya di dapur, hingga membangun gereja dan rumah hunian. 

Kiri: Amos Meres menunjukkan kudapan sagu bola yang siap dimakan. Biasanya, sembari menunggu mama-mama meremas sagu, warga yang lain membuat adonan pati sagu berbentuk bola dan membakarnya di atas api sampai bagian terluar gosong menghitam. Meski tanpa tambahan bumbu apa pun, sagu bola cukup lezat dan bisa mengganjal lapar. Kanan: Kue pukis sagu karya Dorcila Gemnasi, istri Adrianus Kemeray. Hanya dengan bahan tepung sagu dan parutan kelapa, lalu dipanggang di atas api, sudah lebih dari cukup sebagai kudapan nikmat dan mengenyangkan perut. Salah satu bentuk kreasi pangan lokal warga Bariat/Rifqy Faiza Rahman

Menjaga dusun sagu dengan adat dan tempat keramat

Sejauh ini belum ada data yang kompak dan valid terkait luas lahan sagu di Indonesia. Prof Mochamad Hasjim Bintoro, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, dalam pernyataannya kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2018, pernah mengungkapkan luas lahan sagu di Indonesia mencapai 5,5 juta ha. Hampir 95 persennya atau 5,2 juta ha berada di Papua.

Artinya, cadangan sagu di Papua terbesar di Indonesia dan dunia. Sayangnya, kata ketua Masyarakat Sagu Indonesia (MASSI) itu, yang dimanfaatkan tidak sampai satu persen. Sisanya, dibiarkan membusuk dan mati sia-sia tanpa sempat dipanen. 

Khusus wilayah Papua Barat Daya, Sorong Selatan tergolong sentra penghasil dan cadangan sagu terbesar di provinsi ini. Setidaknya menurut data terakhir yang tercatat berdasarkan riset peneliti BPPT Bambang Haryanto, Mubekti, dan Agus Tri Putranto pada 2015. Dari total luas wilayah Kabupaten Sorong Selatan sebesar 694.221 ha, hampir 45 persen di antaranya (311.591 ha) merupakan areal hutan sagu, dengan potensi pati sagu hampir 3 juta ton. 

Enam areal sagu terluas (sekitar 10% atau lebih cakupan wilayah) berada di Distrik Kais (63.797 ha), Kokoda (61.344 ha), Inanwatan (55.483 ha), Saifi (39.630), Kokoda Utara (34.530 ha), dan Metamani (29.400 ha). Konda (19.641 ha) dan Seremuk (7.766 ha) merupakan dua distrik dengan luasan terkecil. Angka-angka itu mungkin mengalami penyusutan mengingat perkembangan zaman, mungkin juga tetap. 

Sagu Keramat Kampung Bariat
Kerja sama masyarakat Bariat memanen dan mengolah sagu di kawasan hutan gambut/Deta Widyananda

Industri sagu swasta sudah beroperasi di Kais dan Metamani, sementara distrik lainnya masih berbasis perkebunan rakyat. Namun, Adrianus dan Ones (fasilitator lokal EcoNusa yang mendampingi kami) kompak berpendapat lain. Ketiadaan investasi perusahaan pengolahan sagu di Konda justru lebih menguntungkan masyarakat adat. Seperti yang tampak jelas di Bariat. Warga tidak perlu terikat dengan perusahaan dan masih bebas mengelola lahannya sendiri yang sudah terbagi-bagi berdasarkan kesepakatan marga.

Saya teringat sebuah kesempatan menarik sehari sebelum kami pergi ke dusun sagu. Usai ibadah Minggu di gereja, Adrianus dan banyak warga mengajak kami berkunjung ke salah satu tempat keramat di hutan. Jaraknya sekitar 700 meter ke arah barat kampung. Treknya melewati banyak pohon dan tanaman endemis yang memiliki manfaat besar buat masyarakat, termasuk untuk obat-obatan maupun kebutuhan membangun rumah. 

Di ujung jalan setapak, terdapat sebuah kuburan dengan cungkup sederhana berbahan seng dan ditopang tiang-tiang kayu. Di dalamnya bersemayam jasad ibunda dari Yulian Kareth (62), ketua adat Kampung Bariat, yang telah wafat 2018 lalu.

“Mengapa sa pu mama dimakamkan di sini [jauh dari kampung]? Karena dahulu di tempat inilah mama pertama kali bertemu bapak saya dari kampung lain,” Yulian berkisah. Artinya, pertemuan keduanya sudah menjadi garis takdir, sehingga tanah tersebut dikenang sebagai tempat penting.

Yulian kemudian menunjukkan sebuah pohon besar dengan daun dan ranting menjulur di sebelah makam. Ada plakat bertuliskan “Mrasa” dengan cat merah. Informasi ini menunjukkan lokasi tempat keramat milik marga Kareth. Hikayat penamaan seperti itu biasanya bersifat rahasia dan hanya para sesepuh adat yang tahu. Kami sebagai pendatang hanya perlu mengetahui sekilas sejarah yang dianggap boleh diceritakan.

Sagu Keramat Kampung Bariat
Yulian Kareth, pemuka adat Kampung Bariat dengan kostum dan senjata tradisional Afsya. Di belakangnya adalah “Mrasa”, pohon yang menjadi salah satu tempat penting atau keramat bagi marga Kareth. Tempat penting semacam ini menjadi pelindung bagi sumber daya alam di sekitarnya, termasuk hutan sagu yang menghasilkan pangan pokok bagi masyarakat/Deta Widyananda

Warga Bariat menyebutnya tempat penting. Sebuah tempat dinilai keramat atau penting karena memuat nilai historis dan berhubungan dengan asal usul leluhur mereka. Selain pohon-pohon tua, area pekuburan atau tempat-tempat tersembunyi di dalam hutan juga ditandai sebagai tempat penting. Titik-titik inilah yang krusial saat dilakukan pemetaan wilayah hukum adat. Kemudian data tersebut menjadi landasan untuk pengajuan legalitas pengakuan hutan adat atau wilayah adat dari pemerintah.

Sejak 6 Juni 2024 lalu, Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan telah memberikan pengakuan, perlindungan, serta penghormatan masyarakat hukum adat dan wilayah hukum adat kepada tujuh komunitas adat di Sorong Selatan. Tak terkecuali lima kampung bertetangga di Distrik Konda, yaitu Manelek (sub-suku Gemna), Bariat (sub-suku Afsya), Nakna (sub-suku Nakna), Konda dan Wamargege (sub-suku Yaben). Saat ini, khusus Bariat, pemerintah kampung bersama pendampingan lembaga nirlaba Pusaka Bentala Rakyat sedang memperjuangkan pengakuan ke tingkat provinsi sampai kementerian.

“Secara prinsip, sebagai masyarakat hukum adat, kami menjaga [dengan sangat] keras [sumber] makanan pokok kami,” tegas Adrianus, “kami jaga [sampai] mati dusun sagu yang ada di dalam hutan adat subsuku Afsya, karena sagu adalah makanan pokok untuk anak cucu kami.”

Bapak tiga anak itu juga berpandangan, legalitas pengakuan pemerintah sangat berharga. Payung hukum yang kuat dan mengikat akan menjamin keberlangsungan tempat tinggal dan wilayah adat mereka di masa depan. 

Termasuk tempat-tempat penting, yang turut melindungi dusun-dusun sagu di seantero hutan Kampung Bariat. Sebab, bagi orang Bariat, sagu pun keramat. (*)


Foto sampul:
Kormince Kemeray menunjukkan gumpalan empulur atau serpihan sagu yang akan diremas dengan campuran air sungai/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sagu Keramat Kampung Bariat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sagu-keramat-kampung-bariat/feed/ 0 45064
Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2) https://telusuri.id/sorong-sorong-selatan-sebuah-jurnal-perjalanan-2/ https://telusuri.id/sorong-sorong-selatan-sebuah-jurnal-perjalanan-2/#respond Sat, 04 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45047 Cuaca kurang bersahabat masih mengiringi perjalanan kami. Meski masih satu daratan, Sorong Selatan seperti punya aura berbeda, baik itu bentang alam maupun masyarakatnya. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Rifqy Faiza Rahman & Mauren Fitri Teduhnya hutan...

The post Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Cuaca kurang bersahabat masih mengiringi perjalanan kami. Meski masih satu daratan, Sorong Selatan seperti punya aura berbeda, baik itu bentang alam maupun masyarakatnya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Rifqy Faiza Rahman & Mauren Fitri


Teduhnya hutan rimba tropis menyambut selepas persimpangan pos polisi Sawiat dan Pasar Klamit. Kira-kira 72,5 kilometer dari kantor Distrik Klasafet, Sorong. Samsul mengarahkan kemudi berbelok ke kanan, menuju pusat kota Teminabuan. Semak belukar setinggi truk tronton mulanya mengapit rapat jalan yang berkelok dan naik turun. Tidak seluruhnya mulus. Banyak titik yang bergelombang. Bahkan laju mobil agak merayap ketika melintasi bagian aspal yang terkelupas dengan lubang menganga.

Kondisi seperti itu membentang kurang lebih 30 km sampai bertemu percabangan jalan memasuki Kampung Tofot, Distrik Seremuk. Namun, kami cukup sabar dan senang-senang saja karena berada di kawasan vegetasi hijau dengan tegakan pohon-pohon besar merimbun. Kabut tipis bergelayut di antara kanopi pepohonan.

Sesekali saya membuka jendela. Membiarkan embusan angin sepoi membelai wajah. Menyapu kesejukan yang berbeda di kabin mobil. Lamat-lamat kami mendengar kicau burung yang kencang. Entah di mana sumbernya. Deta menduga, mungkin itu suara rangkong atau julang Papua. Sebab, kami juga melihat sekelebat satu-dua burung setia itu, dengan kepak sayap lebar yang khas, melayang tinggi di angkasa yang kelabu.  

Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
Jalanan yang membelah hutan tropis di antara Sawiat-Seremuk/Rifqy Faiza Rahman

Hujan di Kota Seribu Sungai

Ketika melewati Sungai Sembra di Srer, sekitar sembilan kilometer sebelum kota Teminabuan, hujan mendadak mengguyur jalanan. Samsul sempat kebingungan di suatu percabangan, sehingga membuat saya membuka aplikasi Google Maps untuk memandu arah.

Setelah empat jam perjalanan, kami memutuskan berhenti sejenak di sebuah minimarket di Sayolo. Persis di seberang SMP Negeri 1 Teminabuan. Mauren menginstruksikan turun untuk beli sembako tambahan, melengkapi hasil belanja yang kurang di Aimas. Buat stok logistik selama liputan di kampung-kampung nantinya. Sebab, persediaan bahan pokok di kampung pasti terbatas. Onesimus Ebar, koordinator program EcoNusa di Sorong Selatan, telah jauh-jauh hari lewat pertemuan virtual memberi saran kepada kami. 

“Sebelum masuk kampung, perlu belanja bahan makanan (bama) dulu di kota. Bisanya beras, minyak, telur, dan mi. Nanti biar mama-mama di kampung yang masak,” kata Ones, panggilan akrabnya. Kami akan menemui pria berdarah Nakna—subsuku yang menjadi bagian dari suku besar Tehit—itu dan singgah di kantornya di Wernas. Kira-kira 3,5 kilometer ke arah selatan dari Bandara Teminabuan.

Jumlah logistik yang harus dibeli sebenarnya tergantung pada seberapa lama kami berada di kampung. Selain itu, kami biasanya juga menambahkan snack dan buah, serta kopi bubuk dan gula. Sebagai ibu kota kabupaten, Teminabuan jelas menjadi rujukan masyarakat Sorong Selatan untuk mencari kebutuhan-kebutuhan pokok. Pusat pemerintahan dan perekonomian ada di sini. 

Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
Selain di minimarket, kami juga belanja tambahan logistik di pasar tradisional dekat pusat kota Teminabuan/Mauren Fitri

Hujan masih deras ketika kami bergerak ke kantor Ones. Dalam perjalanan minimarket di Sayolo ke Wernas itulah kami melewati Bandara Teminabuan. Letaknya di pinggir jalan poros menuju Ayamaru, Kabupaten Maybrat. Jangan dibayangkan bentuknya seperti bandara besar di Sorong. Bandara ini hanya melayani penerbangan-penerbangan perintis.

Susi Air menjadi satu-satunya maskapai, dengan rute berjadwal Sorong–Teminabuan yang terbang tiga kali seminggu—kalau cuaca bersahabat. Maskapai milik Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan RI periode 2014–2019 itu juga melayani rute Sorong–Inanwatan. Meski Inanwatan masih masuk Sorong Selatan, tetapi belum ada jalan yang bagus dari Teminabuan ke distrik tersebut. Naik kapal dari Pelabuhan Teminabuan, lalu menyisir pesisir selatan menjadi opsi transportasi lainnya ke Inanwatan.

Melihat hujan lebat mengguyur landasan pacu yang pendek itu, kira-kira 800 meter, rasa-rasanya kami bersyukur belum jadi naik pesawat ke kota ini. Kami cukup tercengang ketika melihat warga bebas melenggang dengan berjalan, motor, atau mobil, membelah runway menuju perkampungan di utara bandara. Saya bahkan sampai berpikir, kalau gagal mendarat di bandara, tampaknya jalan raya di depannya bisa jadi jalur pendaratan darurat. Atau bisa saja pilot menunda pendaratan gara-gara—siapa tahu—ada babi atau sapi mendadak menyeberangi runway.

Teminabuan dikenal dengan sebutan “Kota 1000 Sungai”. Sungai terbesarnya adalah Sungai Sembra yang berwarna biru jernih, yang sempat kami lihat saat melewati Srer tadi. Salah satu anak sungainya bernama Kohoin, yang membelah jantung Kota Teminabuan. 

Jika melihat lebih dekat, terpasang pipa-pipa besi memanjang dengan diameter cukup besar di sepanjang DAS Kohoin. Kabarnya, pemasangan pipa-pipa tersebut untuk mendukung pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) berkapasitas 100 kW oleh Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan. 

Namun, artikel Mongabay (2020) menyebut proyek energi terbarukan tersebut mangkrak sejak 2014 karena terjadi beberapa hambatan yang tidak sepenuhnya jelas. Entah adanya dugaan korupsi atau perencanaan yang kurang matang. Meski satu turbin sempat menyala ketika uji coba, tapi di tengah proses konstruksi, pembangkit tersebut sempat mengalami kerusakan karena salah satu pipa pesat—penyalur air ke turbin pembangkit listrik—runtuh sebagian di badan sungai.

Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
Sungai Sembra, salah satu sungai penting di Sorong Selatan yang juga dibuka sebagai tempat wisata. Dipotret saat perjalanan pulang kembali ke Sorong/Rifqy Faiza Rahman

Di sisi lain, dua sungai besar tersebut juga memberi aneka manfaat bagi masyarakat setempat. Tidak hanya untuk mandi dan mencuci, tetapi juga menjadi objek wisata alam yang cukup ramai pengunjung. Terutama di akhir pekan, karena banyak wisatawan berkunjung dari luar kota. Bahkan sampai sekarang sungai masih berperan krusial untuk mobilitas masyarakat. Menurut cerita warga Kampung Konda dan Wamargege di Distrik Konda, mereka pun sesekali biasa naik perahu dari Teminabuan menyusuri Sungai Kaibus sampai ke kampung. 

Beberapa orang tua yang kami temui di kampung tersebut sempat berkisah sulitnya perjalanan yang harus ditempuh di masa lampau. Terutama ketika ingin pergi ke Kota Sorong untuk keperluan tertentu. Seperti yang diungkap Yohanes Meres, sesepuh adat subsuku Yaben di Kampung Konda. “Dulu dari Sorong ke Teminabuan cuma bisa pakai perahu, karena belum ada jalan,” kenangnya.

Yohanes harus naik perahu berhari-hari dari Teminabuan atau kampungnya di tepi Sungai Kaibus dengan tujuan Klamono. Persisnya di pelabuhan rakyat Sungai Beraur, dekat pusat distrik. Titik dermaga itu masih ada sampai sekarang, yang kini terdapat jembatan baja penghubung Sorong–Teminabuan. Di sana Yohanes menambatkan perahunya, lalu lanjut berjalan kaki sejauh 20–30 km menuju Klaben, sebelum Distrik Aimas yang kini jadi ibu kota Kabupaten Sorong. Menurut ceritanya, jalan beraspal dan angkutan umum di zaman dahulu hanya sampai di Klaben. Baru dari situ Yohanes naik taksi ke Kota Sorong.

Hujan berangsur mereda setibanya kami di kantor EcoNusa di Wernas. Persis di samping SPBU. Kantor EcoNusa bersebelahan dengan kantor Konservasi Indonesia. Keduanya lembaga nonprofit yang berkantor pusat di Jakarta dan sedang ada program pendampingan masyarakat adat di Sorong Selatan. Selama di Sorong Selatan, kami bekerja sama dengan EcoNusa untuk meriset dan menghimpun informasi lokasi sasaran, narasumber, serta rencana topik liputan ekspedisi Arah Singgah.

“Selamat datang di Teminabuan,” sambut Ones hangat dengan jabat tangan erat dan senyum lebar. Ada juga Neskiel, anak perempuannya yang ikut menemani sang ayah. Usai makan siang bersama-sama di RM Bang Ibed dekat kantor, kami berpisah dengan Samsul. Ia akan langsung pulang ke Sorong sore itu juga. 

Di Wernas kami transit sejenak. Kami sempat berjumpa dengan Adrianus Kemeray, Kepala Kampung Bariat. Ia baru saja pulang dari menghadiri upacara 17 Agustus di kantor bupati. Kami juga menyapa M. Yusup Sianggo, warga Kampung Wamargege yang mampir ke basecamp EcoNusa. Selama sekitar seminggu, kami akan berkunjung ke kampung-kampung di Distrik Konda tersebut untuk melihat upaya masyarakat adat melakukan praktik-praktik ekonomi restoratif berkelanjutan.

Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
Onesimus Ebar tersenyum lebar saat menyambut kedatangan kami di depan kantor EcoNusa Sorong Selatan/Rifqy Faiza Rahman

Digoyang jalan semi off road di tengah hutan gambut

Dari kantor EcoNusa, masih ada 10 km lagi menuju Kampung Bariat. Tujuan utama perjalanan hari itu. Sopir berganti. Kristian Sabru atau akrab disapa Kris, orang Teminabuan, akan mengantar kami ke ibu kota Distrik Konda tersebut. Ia tadi sempat mengantar Mauren belanja sayur ke pasar tradisional di pusat kota. Armada miliknya berbeda, meski masih satu pabrikan dengan yang dikemudikan Samsul. Kris membawa Toyota Rush. Kelak kami akan paham kenapa mobil jenis ini laris di pasaran Papua Barat Daya dan mudah ditemukan di mana-mana.

Penampilan Kris khas—walau pakaiannya itu-itu saja selama mengantar kami liputan di Sorong Selatan. Topi terbalik di kepala, kaus warna gelap lengan pendek, celana jins biru selutut, dan sepatu kets berbahan kulit sintetis. Kalung salib emas melingkar sedada.

Karena sudah tidak hujan, jendela mobil sengaja dibuka. Kris meminta izin menyetir sambil merokok. Tak lupa menyetel musik yang tersambung dengan koneksi bluetooth dari ponselnya. Kami persilakan. Aman-aman saja. 

  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)

Rupanya rute perjalanan menuju wilayah administrasi Distrik Konda berada di tengah-tengah hutan gambut. Kawasan rawan kebakaran. Tiang-tiang listrik berkarat milik PLN berdiri menyambungkan kabel-kabel yang menjangkau hampir seluruh kampung di Distrik Konda. Kabarnya, ada beberapa titik menara Base Transceiver Station (BTS) di distrik ini, sehingga sinyal seluler dan internet pun cukup aman.

Di luar itu, kondisi jalan membuat kami sering mengelus dada dan waswas. Awalnya mulus beberapa ratus meter, lalu seperti “terputus”. Ada kubangan air setinggi ban. Kadang masih bisa dihindari kalau masih ada celah aspal kering yang cukup lebar. Kadang seluruh ban terpaksa “tenggelam” supaya bisa menerjang jalan berlubang yang tergenang. 

Saat kami dibekap keraguan setelah melihat genangan bak kolam di depan mata, Kris tetap santai. Ia cuma bilang, “Kita tes dulu. Kalau aman, berarti gas terus. Kalau nyangkut, ya, tinggal mundur saja. Coba lagi.”

Satu-dua kesempatan saya turun dari mobil. Mencoba merekam keahlian Kris mengemudi dari luar.

Hujan membuat jalan berlumpur dan cukup licin. Namun, beruntung mobil miliknya berpenggerak roda belakang. Meski bukan jenis 4×4 atau dobel gardan, tapi sepanjang jalan ia tidak terlihat kesulitan. Ground clearance mobil cukup tinggi, sekitar 220 mm atau 40 mm lebih tinggi dari Innova Reborn. Tak heran Kris sangat yakin ketika memaksakan salah satu sisi ban nyemplung cukup dalam, sementara sisi ban lainnya tetap mendarat di aspal. Traksi ban cukup bagus. Tak jarang Kris hanya menggunakan persneling gigi 2 saja di RPM rendah, walau harus semi off road

“Aman saja,” cetusnya.

  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)

Aspal jalan mulai berangsur normal begitu memasuki Manelek, kampung pertama. Tidak jauh dari permukiman masyarakat subsuku Gemna itu, kami tiba di halaman rumah Adrianus Kemeray yang berpasir putih bak tepung. Kepala Kampung Bariat itu menyambut kami hangat. Ia bersama Kris membantu menurunkan barang-barang bawaan kami dari bagasi. Ones menyusul dengan motor sport Honda CRF beberapa menit kemudian. Ia datang untuk memastikan kami tiba dengan selamat, walau tidak akan ikut menginap di Bariat.

Total 45 menit perjalanan kami tempuh dari kantor EcoNusa di Wernas menuju kampung ini. Adrianus menyediakan ruang tamu rumahnya yang sederhana untuk tempat kami menginap. Tinggal membeber matras saja di atas lantai yang dilapisi spanduk-spanduk besar.

“Maaf, kondisinya begini, ya. Seadanya tidak apa-apa, ya,” ucap Adrianus.

“Tidak apa-apa, Bapak. Aman saja,” kata kami serempak. Kami menaruh sebagian barang di dalam kamar istri Adrianus, sisanya tergeletak saja di ruang tamu. Pintu depan rumah hanya berupa paku bengkok yang tertancap di kosen untuk menyelot daun pintu. Pun pintu bagian belakang dekat meja makan, yang tembus keluar ke arah dapur.

Sesungguhnya kami tidak terlalu khawatir. Selama bisa menjaga peralatan pribadi dan kelompok yang penting, terutama untuk keperluan liputan, akan baik-baik saja. Adrianus pun berani menjamin itu.

  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)

Malamnya, kami berkumpul di teras rumah Adrianus yang cukup lapang. Bisa memuat belasan orang untuk sekadar menongkrong. Cuma ada sebuah meja kayu, serta kursi-kursi plastik dan bangku kayu untuk duduk. Rumah Adrianus terbilang paling terang dibanding rumah-rumah masyarakat sekitar, meski hanya bercahayakan lampu bohlam putih yang tidak terlalu terang. 

Tapi, di teras inilah salah satu tempat kami selama dua malam di Bariat. Cukup berbekal empat bahan kontak sesuai saran Ones, yaitu rokok, pinang, kopi, dan gula; bahan obrolan ringan sampai berat akan mengalir deras sampai nyaris tak kenal waktu.

Bersahaja, tetapi hangat, akrab, dan penuh hormat. Begitulah yang kami rasakan. Tampaknya, definisi rumah benar-benar tidak sekadar dibatasi sekat-sekat geografis. (*)


Foto sampul:
Perjalanan dari Teminabuan menuju pedalaman Distrik Konda, Sorong Selatan/Rifqy Faiza Rahman

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sorong-sorong-selatan-sebuah-jurnal-perjalanan-2/feed/ 0 45047