kampung lawas gedangan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kampung-lawas-gedangan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 28 Nov 2024 08:46:28 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kampung lawas gedangan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kampung-lawas-gedangan/ 32 32 135956295 Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (2) https://telusuri.id/menelusuri-gereja-katolik-santo-yusuf-dan-susteran-st-fransiskus-di-kampung-lawas-gedangan-semarang-2/ https://telusuri.id/menelusuri-gereja-katolik-santo-yusuf-dan-susteran-st-fransiskus-di-kampung-lawas-gedangan-semarang-2/#respond Wed, 27 Nov 2024 21:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44229 Penelusuran saya berlanjut ke Susteran Ordo Santo Fransiskus (OSF) atau St. Fransiskus Gedangan. Lokasinya yang saling berhadapan dengan gereja, membuatnya menarik dikunjungi meski hanya sekadar menikmati keindahan gedungnya. Tentu tidak asal menyelonong masuk. Pengunjung harus...

The post Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Penelusuran saya berlanjut ke Susteran Ordo Santo Fransiskus (OSF) atau St. Fransiskus Gedangan. Lokasinya yang saling berhadapan dengan gereja, membuatnya menarik dikunjungi meski hanya sekadar menikmati keindahan gedungnya. Tentu tidak asal menyelonong masuk. Pengunjung harus mematuhi aturan yang berlaku, baik tertulis maupun tidak.

Gerbang regol kayu memikat mata siapa pun yang melintas. Di balik regol, suasana berubah bagaikan di istana. Sesuai namanya, susteran, tentu mereka yang tinggal di sini adalah para suster Ordo Santo Fransiskus. Mereka tinggal untuk mejalankan kaul biarawatinya, sedangkan bruderan menjadi tempat tinggal para bruder dan romo.

Masing-masing memiliki tempat dan ajaran berbeda, sesuai dengan pendidikan yang diemban. Gedung susteran biasa disebut juga sebagai biara. Sarana prasarana pendukung kegiatan masih sangat lengkap, seperti saat awal berdiri. 

Setelah mendapat izin dari perwakilan biara, saya pun tak menyia-nyiakan waktu untuk menikmati detail ornamen bangunan. Tak lupa saya memotret sejumlah momen dan mencari tahu cerita di baliknya.

  • Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (2)
  • Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (2)

Berdiri di Lahan Bekas Rumah Sakit VOC

Merujuk informasi dari Albertus Kriswandono, gedung berarsitektur indis Neo-Classic ini sejatinya menempati bekas rumah sakit swasta zaman Hindia Belanda. Didirikan tahun 1732 oleh seorang pejabat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) bernama Frederik Julius Coijet.

Ketika Kota Semarang masih di bawah cengkeraman VOC, kawasan ini sangat sepi. Ideal untuk membangun rumah sakit, sebagai antisipasi penyakit menular kepada orang yang sehat yang tinggal di Kota Lama Semarang—notabene kampung Eropa. Prasasti peringatan pendirian rumah sakit sampai sekarang masih terpahat apik di dinding belakang susteran. 

Seiring berjalannya waktu, gedung rumah sakit mengalami renovasi sampai seperti sekarang. Menariknya, di susteran terpahat satu prasasti lain berbahasa Belanda sebagai peringatan 100 tahun pendirian panti asuhan di Kota Semarang.

Pendirian panti asuhan tersebut dilakukan oleh Pastor Prinsen atas wasiat Wilhelmus Bezagter, seorang pensiunan militer yang sakit-sakitan. Wilhelmus Bezagter berwasiat ingin menitipkan kedua anaknya, yakni Katharina Wilhelmina dan Wilhelmus Bartholomeus, kepada gereja sehingga sang anak dapat tumbuh dewasa dengan baik.

Untuk mengurusi pekerjaan tersebut, Pastor Prinsen membentuk Kerk en Armenbestuur atau Pengurus Gereja dan Kaum Miskin (PGKM) pada 28 Januari 1809. Nama pengurus terabadikan dalam prasasti. Awal didirikan, mereka mengasuh dua anak dari Wilhelmus Bezagter. Namun, karena belum memiliki tempat, pengasuhan dilakukan dari satu keluarga ke keluarga lain.

Sekitar pertengahan 1815, berembus angin segar dari seorang janda Nieuwenhuis. Ia bersedia mengasuh anak secara tetap. Pada 1820, seiring dengan kembalinya para prajurit militer ke Belanda, Belgia, dan Prancis, banyak anak mereka yang telantar dan membutuhkan tempat layak huni. Alhasil, panti asuhan pun semakin membeludak anak asuhnya.

Setibanya Pastor Henricus Scholten di Semarang pada 1828, yang menjadi perhatian pertama adalah pendirian tempat hunian permanen untuk anak panti asuhan, yang tinggal sementara di sebuah rumah kontrakan. Ia pun membeli bekas gedung rumah sakit VOC di Gedangan, Semarang—kini Susteran St. Fransiskus—seharga 18.000 gulden, dengan pinjaman dana pemerintah Kerajaan Belanda sebesar 16.156 gulden. 

Kala itu, gedung rumah sakit dikelola kolonel VOC bernama H.C. Cornelius. Setelah menjadi milik PGKM, Pastor Scholten lalu membuka sekolah pendidikan anak yatim piatu. 

Bersama Gereja Katolik Gedangan, susteran ini ternyata juga menyimpan cerita kelam ketika Jepang menguasai Indonesia (dulu Hindia Belanda) pada 21 Oktober 1943. Kedua kompleks digunakan sebagai kamp interniran sementara bagi warga Belanda, terutama anak dan perempuan lanjut usia, sebelum dipindah ke kamp Bangkong dan Lampersari Sompok Semarang.

Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (2)
Prasasti peletakan batu pertama pendirian rumah sakit oleh Frederik Coijet di tembok belakang gedung susteran/Ibnu Rustamadji

Menangani Konflik Internal

Namun, begitu Pastor Scholten pindah tugas ke Batavia, terjadi perselisihan dalam tubuh PGKM semasa kepemimpinan Pastor Mouriks. Perselisihan berawal dari pernyataan sikap atas pengambilan kebijakan sekolah panti asuhan, yang harus dibuka untuk anak di luar panti. Dua kubu saling memanas, ditambah dengan informasi seorang anggota memasukkan anaknya ke sekolah panti. Pastor Mouriks mengambil langkah tegas dengan mengeluarkan sang anak dari sekolah.

Guna menyelesaikan konflik, pemerintah turun tangan dalam kepengurusan PGKM. Namun, langkah tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan Residen Semarang Le Clerq. Pasca Perang Jawa berakhir, anak yatim piatu—baik akibat orang tua wafat sebagai prajurit atau lahir dari hubungan di luar nikah—pun melonjak. Mereka butuh perawatan dan perlindungan PGKM.  Akan tetapi, anak-anak menerima kondisi yang tak layak. Terlebih adanya narapidana yang dipekerjakan sebagai juru masak dirasa sangat memperburuk psikis anak.

Angin segar berembus kembali tahun 1858, seiring kedatangan Pastor Josephus Lijnen di Semarang. Ia menyumbangkan gajinya 2.000 gulden lebih untuk disumbangkan ke panti asuhan. Pada 17 Oktober 1868, sang pastor kembali ke Belanda untuk menjalin kerja sama dengan kongregasi OSF Biara Induk di Heythuysen. Mereka dengan senang hati mengirimkan para suster ke Semarang pada 5 Februari 1870.

Saat para suster datang, kehidupan anak panti berubah signifikan. Setahun kemudian, didirikanlah sekolah Eksternaat untuk anak luar panti dan pendirian sekolah Frobelschool di utara panti. Frobelschool menempati bekas kediaman Radhoven, yang dibeli seharga 43.300 gulden.

Peningkatan jumlah anak asuh diimbangi dengan pendirian kedua sekolah di luar wilayah Gedangan. Area biara Gedangan lantas digunakan sebagai sekolah calon biarawati untuk perempuan pada 1892. Lalu tahun 1923 dibuka untuk biarawati pribumi.

Seiring waktu panti asuhan harus membiayai diri sendiri untuk bertahan. Salah satunya dengan menggelar lotre pada 1888. Sebagian keuntungan untuk pembangunan gedung baru hasil rancangan arsitek Westmaas Sr. Upacara peletakan batu pertama dilakukan Residen Semarang, Pieter Sijthoff pada 16 Februari 1905.

Keheningan dan Kemegahan Susteran Menghadapi Tantangan Alam

Ketika saya melangkahkan kaki ke utara biara, mata lensa langsung tertuju satu bangunan mewah berwarna merah merona. Kapel bergaya gothic ini dibangun sekitar 1891. Merujuk inskripsi Hic Primarius Lapis Positus Est. die 17 Septembris A: MDCCCCXCI, upacara peletakan batu pertama kapel dilakukan tanggal 17 September 1891. Lalu upacara peresmian pembukaan kapel berlangsung pada  6 Agustus 1892 oleh Pater Keyzer.

Deretan kursi jemaat berhias buah anggur sebagai simbol darah Kristus dan desain interior kapel masih asli seperti sediakala. Kaca patri bergaya gothic pun tetap bertengger apik di jendela yang mengelilingi kapel. Hamparan tegel motif cetak timbul, senantiasa menghiasi seluruh lantai.

Altar doa cukup sederhana. Kontras dengan bangunan kapel. Mungkin, karena fungsi awal kompleks ini sebagai biara, sehingga altar doa dibuat lebih sederhana. Jika ingin misa atau sembahyang hari raya, maka dilakukan di Gereja Katolik Gedangan.

Keindahan detail biara tidak berhenti hanya di kapel, tetapi juga gedung Sekolah Tinggi Pastoral Kateketik di utara kapel yang dibangun pada 1899. Awal pendirian gedung ini memiliki dua fungsi, yakni tempat tinggal suster dan ruang kelas kesenian sekolah Eksternaat. 

Keadaan di dalam kedua gedung tersebut lebih tenang dan hening, meski suara kendaraan di luar sangat bising. Bahkan mereka yang tinggal di dalamnya pun tidak merasa terganggu. Hanya saja yang menjadi perhatian mereka saat ini adalah jika suatu saat terjadi banjir rob.

Posisinya yang lebih rendah dari jalan membuat kedua kompleks rentan terendam banjir rob setiap tahun. Banjir rob tidak hanya disebabkan hujan, tetapi juga gelombang pasang laut utara Jawa yang masuk ke Semarang.

Menurut saya, pembenahan kawasan Gedangan sangat diperlukan. Minimal menyelesaikan atau meminimalisasi genangan air rob masuk ke kompleks gereja dan susteran, sebagai upaya penyelamatan kebudayaan. Dua gedung dengan seribu cerita masa lalunya itu layak mendapat perhatian.

Jika dihitung, dua kompleks suci di Gedangan tersebut sudah berusia lebih dari tiga abad. Setia menemani perkembangan Kota Semarang hingga kini. Sejak masih berupa kebun pisang, dibangun rumah sakit hingga panti asuhan. Semuanya terekam kuat. 

Puas menelusuri, saya putuskan berpamitan dengan pengelola masing-masing gedung. Saya ingin melihat situasi kampung di sekitarnya. Tidak banyak aktivitas warga sore itu, hanya mobilitas kendaraan pribadi dan truk-truk besar silih berganti keluar masuk Pelabuhan Tanjung Mas.

Terik sinar matahari mulai berubah oranye. Besar harapan, Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus Gedangan mampu bertahan menghadapi perubahan zaman dan gempuran rob tahunan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-gereja-katolik-santo-yusuf-dan-susteran-st-fransiskus-di-kampung-lawas-gedangan-semarang-2/feed/ 0 44229
Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1) https://telusuri.id/menelusuri-gereja-katolik-santo-yusuf-dan-susteran-st-fransiskus-di-kampung-lawas-gedangan-semarang-1/ https://telusuri.id/menelusuri-gereja-katolik-santo-yusuf-dan-susteran-st-fransiskus-di-kampung-lawas-gedangan-semarang-1/#respond Tue, 26 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43971 Perjalanan saya kali ini berada di Kota Semarang. Tepatnya kampung lawas Gedangan di Jalan Ronggowarsito, yang membelah dua kecamatan: Semarang Timur dan Semarang Utara. Gedangan menjadi tujuan berikutnya setelah puas berkutat di Kota Lama. Suatu...

The post Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan saya kali ini berada di Kota Semarang. Tepatnya kampung lawas Gedangan di Jalan Ronggowarsito, yang membelah dua kecamatan: Semarang Timur dan Semarang Utara. Gedangan menjadi tujuan berikutnya setelah puas berkutat di Kota Lama.

Suatu kebetulan, perjalanan saya lakukan saat hari kerja, sehingga lalu lintas kendaraan tidak terlalu ramai. Bisa dibayangkan jika akhir pekan, jalan protokol kota dan kampung sekitar akan macet. Membuat saya kurang puas menikmati momen.

Kemacetan terjadi bukan karena hilir mudik warga, melainkan mobilitas wisatawan dengan armada bus besar yang memenuhi badan jalan. Masyarakat kota lebih memilih tinggal di rumah. Sekalinya mereka pergi pun akan menuju luar kota.

Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1)
Tampak depan Gereja Katolik Santo Yusuf Semarang/Ibnu Rustamadji

Setibanya di Kampung Gedangan, saya lekas menuju sisi timur Jalan Pengapon. Di antara bangunan-bangunan indis yang menghiasi sepanjang jalan, tujuan utama saya ada di depan mata dan saling berhadapan. Keduanya adalah Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran Ordo Santo Fransiskus (OSF) atau St. Fransiskus.

Gereja Katolik Pertama di Kota Semarang

Cuaca panas Kota Semarang tak menjadi penghalang bagi saya untuk berkunjung ke gereja tersebut. Setelah mendapat izin dari ibu paruh baya, yang ternyata koster gereja, lensa kamera tak henti bekerja.

Ingin menyaksikan keindahan secara dekat. Itulah alasan utama saya berkunjung. Saat perlahan melangkahkan kaki memasuki gereja, mata dibuat terbelalak dengan keindahan ornamen yang ada. 

“Wah. Depan saja indah. Ternyata bagian dalam lebih indah dan menawan,” begitu kira-kira kalimat pertama yang saya ucapkan.

Di tengah asyik mengamati detail ornamen, muncul ingatan untuk mencari tahu masa lalu gereja dan susteran di kampung lawas Gedangan itu. Saya pun menghubungi seorang rekan, Albertus Kriswandono, untuk mendapat jawaban atas rasa penasaran saya.

Menurut dia, Gereja Katolik Santo Yusuf Gedangan dibangun atas dasar keprihatinan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, atas kondisi umat Katolik di Hindia Belanda yang harus beribadah secara sembunyi-sembunyi. Mereka melakukan hal tersebut lantaran takut terhadap cengkeraman kuasa Vereeniging Oost-Indie Compagnie (VOC), sebagai akibat kebencian VOC terhadap agama Katolik pascaperang antara Belanda-Spanyol. Banyak imam Katolik dipenjara, sehingga misa tidak bisa dilakukan terang-terangan.

Sekian lama tenggelam dalam perdebatan, Daendels yang dikenal kejam mengizinkan umat Katolik di Hindia Belanda kembali beribadah. Pada 8 April 1808, Gereja Katolik Vatikan lantas mengutus dua pastor misionaris, yakni Jacobus Nielsen dan Lambertus Prinsen ke Batavia. Dua hari kemudian, mereka merayakan misa umum di Batavia yang dihadiri ratusan umat Katolik.

Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1)
Pintu masuk menuju ruang utama gereja/Ibnu Rustamadji

Misa perdana tanggal 10 April 1808 itu lantas dikenang sebagai hari kelahiran misionari Katolik di Hindia Belanda. Delapan bulan berselang, tepatnya 27 Desember 1808, Pastor Lambertus Prinsen tiba di Kota Semarang. Hanya saja,  umat Katolik di Semarang belum memiliki gereja sendiri. Misa pertama digelar dengan cara menumpang di Gereja Protestan “Blenduk” pada 18 Januari 1809.

Lazim terjadi jika satu gereja digunakan untuk ibadah dua agama secara bergantian, karena keterbatasan kemampuan umat. Mereka beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing tanpa adanya segregasi di gereja yang sama, tetapi dengan waktu yang berbeda. Kedua umat saling menghormati menghadapi kondisi tersebut.

Meski begitu, Pastor Prinsen memahami jika umatnya tidak bisa menumpang di gereja Protestan lebih lama. Pada 1825, ia kemudian berinisiatif membeli sebuah gedung berlantai dua—kini dikenal Semarang Contemporary Art Gallery di utara paradeplein atau Taman Srigunting saat ini—seharga 6.000 gulden. Setelah itu, misa pertama di gereja Katolik pertama di Semarang akhirnya digelar.

Ketika Gubernur Jenderal C.F. Paud berkunjung ke Kota Semarang tahun 1859, ia melihat tempat ibadah umat Katolik dalam kondisi memprihatinkan. Setelah terjadi perdebatan di kerajaan, akhirnya pemerintah menyetujui hibah dana sebesar 50.000 gulden. Hanya saja, dana baru turun sekitar 10 tahun kemudian.

Awal perencanaan gereja dibangun di Heerenstraat atau Jalan Letjend Soeprapto di dalam Kota Lama. Namun, karena lahan dirasa kurang luas, akhirnya rencana pembangunan dipindah ke areal kebun gedang (pisang) di sisi timur kota. Warga lalu biasa menyebut kedua bangunan itu Gereja Katolik Santo Yusuf Gedangan dan Susteran St. Fransiskus Gedangan.

Beragam Tantangan sepanjang Pembangunan Gereja

Proyek pembangunan berjalan perlahan lantaran adanya permasalahan penggunaan lahan dan dana untuk membiayai pembangunan gereja. Setelah masalah teratasi, akhirnya upacara peletakan batu pertama pembangunan gereja dilakukan oleh Pastor Lijnen pada 1 Oktober 1870.

Akan tetapi, masalah berikutnya muncul. Hasil perhitungan dana hibah tidak mencukupi pembangunan. Pastor Sander kemudian menggalang dana dengan menjual tanah dan bangunan gereja yang lama. Setelah mendapat sumbangan dana dari seorang dermawan, proyek pembangunan gereja pun dilanjutkan. W. van Bakel dipercaya sebagai perancang gereja. Ia lantas mendesain gereja bergaya Neo-Gothic.

Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1)
Sudut kiri altar/Ibnu Rustamadji

Pada 12 Mei 1873, saat pembangunan tengah berlangsung, tiba-tiba bagian atap gereja roboh tanpa diketahui penyebabnya. Alhasil, pihak berwenang memutuskan perubahan total rancangan gereja. Bagian depan yang sedianya berhias lonceng dan struktur gedung gereja yang monumental, harus dipangkas karena khawatir bahaya bencana alam,

Setelah melalui beragam tantangan, gereja Katolik ini akhirnya selesai. Tanggal 12 Desember 1875, gelaran upacara pentasbihan gereja Katolik Kota Semarang digelar. Gereja Katolik Gedangan Kota Semarang menjadi gereja Katolik terindah di Hindia Belanda saat itu, jauh sebelum Gereja Katedral Batavia (Jakarta) dibangun.

Warna merah pada bangunan gereja sejatinya bersumber dari ekspos batu bata merah yang didatangkan langsung dari Eropa dengan kapal dagang. Bagian pintu dan jendela tetap bergaya Neo-Gothic seperti rancangan awal. 

Gereja ini semakin menawan dengan adanya patung Pastor Lijnen, sang peletak batu pertama pembangunan gereja, berdiri di sudut barat daya. Orgel kuno buatan 1903 masih bertengger apik di balkon—di atas pintu masuk utama— menghadap altar. Sisi kanan dan kiri terdapat panil lukisan kisah Perjanjian Baru dan penggalan doa dalam bahasa Belanda.

Pilar bundar di bagian tengah gereja dan deretan kaca patri bergambar santo semakin memberikan kesan mewah. Altar pada bagian depan yang bergaya gotik diimpor langsung dari Düsseldorf, Jerman. Namun, kondisinya masih terawat dan terjaga meski kini tidak lagi digunakan.

Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1)
Gedung pastoran Gereja Katolik Santo Yusuf Semarang/Ibnu Rustamadji

Puas mengabadikan keindahan di bagian dalam gereja, tidak lupa saya mampir sejenak di pastoran yang berada tepat di samping gereja. Salah satu uskup Pastoran Gedangan yang cukup terkenal dari kalangan pribumi adalah Monsinyur Mgr. Soegijapranata, S.J. Sebuah kehormatan bagi saya dapat menyaksikan jejak Romo Soegija di Kota Semarang.

Matahari mulai bergeser ke ufuk barat. Saya bergegas menyambangi gedung susteran yang terletak persis di seberang Gereja Katolik Gedangan. Menurut catatan yang Kriswandhono miliki, gedung susteran tersebut berusia lebih tua. Paling tua di Gedangan.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-gereja-katolik-santo-yusuf-dan-susteran-st-fransiskus-di-kampung-lawas-gedangan-semarang-1/feed/ 0 43971