kampung laweyan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kampung-laweyan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sat, 23 Nov 2024 15:37:08 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kampung laweyan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kampung-laweyan/ 32 32 135956295 Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta https://telusuri.id/menyusuri-bunker-setono-lorong-opium-di-kampung-laweyan-surakarta/ https://telusuri.id/menyusuri-bunker-setono-lorong-opium-di-kampung-laweyan-surakarta/#respond Fri, 22 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43520 Mendengar kata bunker, mungkin bagi sebagian warga merupakan tempat persembunyian darurat prajurit untuk merencanakan strategi peperangan. Namun, berbeda dengan yang saya kunjungi di Laweyan, kampung lawas di Kota Surakarta atau Solo. Akrab disebut Kampung Batik...

The post Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Mendengar kata bunker, mungkin bagi sebagian warga merupakan tempat persembunyian darurat prajurit untuk merencanakan strategi peperangan. Namun, berbeda dengan yang saya kunjungi di Laweyan, kampung lawas di Kota Surakarta atau Solo. Akrab disebut Kampung Batik Laweyan..

Hilir mudik warga Kampung Laweyan tidaklah sesering warga Kampung Banaran Sukoharjo, yang melalui Laweyan untuk bekerja di Solo. Keramaian Kampung Laweyan dimulai menjelang senja. Mereka lebih memilih beraktivitas di sore hari. Sekadar melepas lelah setelah bekerja mbatik (membuat batik) dengan bercengkerama di pinggir jalan kampung.

Berbeda dengan mbok mase—sebutan untuk saudagar batik Kampung Laweyan—lebih memilih bersantai di kediamannya yang bergaya indis, di balik tembok tebal setinggi empat meter. Hal ini lazim karena pabrik batik tulis Laweyan ada di belakang kediaman mbok mase. Para saudagar tidak perlu setiap hari keluar rumah untuk mengontrol produksi batik.

Masing-masing saudagar Laweyan memiliki ciri khas batik tulis dengan kerumitan pola yang berbeda. Ada satu saudagar Laweyan yang cukup mentereng di abad ke-18 hingga namanya berkibar di Eropa, yakni Tiga Negeri. Di kawasan Tiga Negeri Laweyan inilah tempat bunker Setono berada dan akan saya jelajahi.

Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta
Bocah-bocah bersepeda di gang sempit Kampung Laweyan/Ibnu Rustamadji

Mencari Bunker Setono

Deretan tembok tebal dan tinggi Laweyan senantiasa menemani sepanjang perjalanan. Hanya tampak satu pintu regol kayu jati sebagai akses masuk utama. Namun, jika mendapat izin menengok ke dalam, kita bakal menjumpai kediaman bergaya indis lengkap dengan kemewahannya. 

Tidak semua saudagar Laweyan membuka pintu untuk berkunjung secara bebas. Harus izin dahulu meski sekadar ingin melihat. Tidak boleh asal menyelonong masuk dan wajib menghormati tuan rumah. Mereka juga butuh kenyamanan dan privasi untuk keluarga, sehingga harus saling memahami. Hal inilah yang menjadikan Kampung lawas Laweyan menarik untuk dijelajahi.

Setibanya di Jalan Tiga Negeri Laweyan, saya dikejutkan delapan anak berkumpul memenuhi “gang senggol” kampung. Awalnya saya kira ada kegiatan warga, ternyata tidak. Mereka tengah sibuk berboncengan sepeda ontel. Saya mengobrol sambil memotret kekocakan mereka dalam lensa kamera.

Tidak banyak warga, hanya sepeda motor yang terparkir mepet di dalam gang yang saya jumpai. Gang di dalam Kampung Laweyan sejatinya dibangun hanya sebagai penghubung antarkediaman saudagar. Tak ayal jalanan hanya bisa dilalui dua orang berjalan kaki.

Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta
Gapura regol kayu berwarna kuning di ujung gang Jalan Tiga Negeri/Ibnu Rustamadji

“Oh, ikut gang ini terus mentok ada regol kayu kuning. Sebelahnya ada gang ke selatan, ikuti terus nanti rumahnya di barat jalan,” begitu kiranya arahan warga menuju rumah bunker Setono. 

Di ruas jalan yang sama, tepatnya RT 02 RW 11, rumah bunker Setono yang tersisa di kampung lawas ini ada di hadapan mata. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengetuk pintu untuk izin berkunjung.

Tampak pria paruh baya dengan ramah membukakan pintu sembari mempersilakan masuk. Beliau adalah Harun Mulyadi, pewaris rumah bunker Setono. Sembari menunjukan lokasi ndalem ageng dan bunker, ia banyak bercerita mengenai masa lalunya selama mendiami rumah keluarganya ini. 

Ia bercerita, jika rumahnya merupakan warisan Bei Kertoyudo, seorang priyayi Kerajaan Pajang di Kartasura. Namun, ia tidak tahu persis kebenaran maupun kapan rumah tersebut dibangun. Ia menambahkan, kedua orang tuanya pun tidak tahu-menahu sosok Bei Kertoyudo. Ia menduga, Bei Kertoyudo adalah kakek buyutnya.

Sejarah Bunker Setono sebagai Jalur Perdagangan Opium di Solo

Sembari asyik mengobrol, sampailah kami di pintu bunker Setono. Tepat di depan krobongan ndalem ageng. Tampak meja bundar dengan alas kayu persegi panjang, sebagai kamuflase pintu masuk bunker. Perlahan kami pindahkan meja dan papan guna melihat bunker lebih dekat.

Tampak dari atas, pijakan tangga batu merah siap menyambut di tengah kegelapan total. Saya lantas turun ke bawah bunker dan mencari jalur penghubung menuju kediaman lain di sekitarnya. Ada satu bukaan mengarah ke timur, diduga jalur penghubung yang kini telah ditutup tembok. 

Dugaan saya selama ini rupanya benar. Bunker Setono sejatinya dibangun untuk penyelundupan opium dari Bandar Kabanaran di selatan rumah bunker. Saat ini situs Bandar Kabanaran yang terletak di daerah aliran Sungai Bengawan Solo dekat Laweyan tampak memprihatinkan.

  • Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta
  • Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta

Opium kala itu dibawa pedagang menuju Laweyan dengan kapal jung (sejenis kapal layar) yang berlabuh di Bandar Kabanaran. Rumah bunker Setono adalah pusat transit opium dari dermaga sebelum dikirim kepada para saudagar Laweyan. Penggunanya buruh pekerja batik, sebagai tamba lara atau penyehat setelah lelah bekerja seharian.

Rumah bunker Setono di Laweyan tak ubahnya Rumah Merah Lasem. Sama-sama sebagai pusat perdagangan opium di abad ke-18. Opium dikirim dengan kapal jung supaya terbebas dari pajak pemerintah. Di beberapa sudut Kota Solo, terdapat opiumverkooplast atau tempat penjualan opium. Kampung Laweyan merupakan salah satu pusat perdagangan opium yang menjadi komoditas tersohor di Solo saat itu. 

Sekadar informasi, opium atau candu merupakan bagian dari narkotika dan obat berbahaya. Tidak disarankan untuk mencari atau mengonsumsi bunga opium. Narkotika, obat berbahaya dan sejenisnya menjadi legal ketika digunakan untuk keperluan medis dan kimiawi. Menjadi ilegal, ketika diedarkan dan disalahgunakan. 

  • Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta
  • Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta

Puas mengabadikan detail bunker, saya putuskan kembali ke atas. Sebab, jika terlalu lama semakin pengap. Setibanya di atas bunker, Harun menambahkan sejatinya bunker ini saling terhubung ke beberapa rumah saudagar di sisi utara. Fakta yang saya temukan dengan cerita Harun Mulyadi memiliki kecocokan. Hanya saja, sudah banyak bunker di rumah lain yang ditutup. Selama ini Harun Mulyadi mewarisi dan merawat semampunya.

Kurangnya literasi dan data pendukung membuatnya kesulitan untuk bercerita lebih banyak. Ia hanya bisa berbagi pengalaman dan cerita kehidupannya bersama rumah bunker Setono. Menurut cerita tutur keluarga, bunker Setono sudah ada sejak tahun 1625 atau mungkin lebih tua. Saya menduga, dari sisi desain, bunker ini dibangun pada awal 1810 sebagai pendukung perdagangan di Bandar Kabanaran.

Menurut Harun, bunker dibangun untuk menyimpan harta, seperti emas dan kain batik tulis supaya tidak dicuri, terutama oleh saudagar batik lain. Dikhawatirkan adanya penjiplakan motif batik tulis.

Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta
Tampak jalur penghubung di dalam bunker Setono yang kini ditutup/Ibnu Rustamadji

Bagi saya, informasi tersebut kurang masuk akal. Alasan pertama, kain batik tulis tidak mungkin disimpan di bunker dengan kelembapan tinggi. Kain tersebut pastinya rusak dan mengurangi nilai jual ke Eropa kala itu. Alasan kedua, setiap saudagar batik tulis memiliki ciri khas dan kerumitan berbeda. Sedikit kemungkinan mereka akan mencuri. Tembok setinggi empat meter menjadi pertanda jelas jika mereka semaksimal mungkin melindungi karyanya tanpa harus menyimpannya di dalam bunker.

Berbeda cerita, jika para saudagar berkolaborasi menciptakan kain jarik Tiga Negeri. Jarik Tiga Negeri merupakan hasil karya saudagar Lasem sebagai pewarna merah darah ayam, Pekalongan sebagai penyedia kain mori dan pewarna biru,  dan Laweyan sebagai pusat pewarna cokelat sogan.

Bunker Setono kemudian beralih fungsi sebagai jalur pelarian pejuang ketika agresi militer Belanda di Solo. Pascakemerdekaan, banyak bunker mulai ditutup lantaran marak terjadi perampokan melalui bawah rumah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-bunker-setono-lorong-opium-di-kampung-laweyan-surakarta/feed/ 0 43520
Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo https://telusuri.id/jelajah-tiga-kampung-batik-lawas-tersembunyi-di-kota-solo/ https://telusuri.id/jelajah-tiga-kampung-batik-lawas-tersembunyi-di-kota-solo/#respond Tue, 26 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41478 Awal tahun baru telah berlalu. Namun, resolusi dan harapan selalu datang menghampiri. Seperti yang saya rasakan kali ini. Harapan awal memang ingin melakukan perjalanan ke tempat baru, sehingga dapat berbagi pengalaman yang saya alami. Alam...

The post Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
Awal tahun baru telah berlalu. Namun, resolusi dan harapan selalu datang menghampiri. Seperti yang saya rasakan kali ini. Harapan awal memang ingin melakukan perjalanan ke tempat baru, sehingga dapat berbagi pengalaman yang saya alami. Alam pun merestui.

Biasanya, perjalanan saya menyambangi kerkop atau makam Belanda. Sekarang berbeda, tetapi cerita yang menyelimuti tidak kalah menarik. Perjalanan ini saya awali dengan menyambangi tiga kampung lawas di Kota Solo. Saya berangkat dari Boyolali dan menempuh perjalanan sekitar 40 menit ke Solo.

Tak mau kehabisan waktu, saya segera memetakan tiga kampung tersebut dan mencari kantong parkir kendaraan. Penelusuran saya kali ini sengaja sendirian, supaya lebih leluasa. Meski bernuansa kuno, tetapi jangan salah sangka karena memiliki kemewahan tersembunyi.

Kampung lawas pertama yang saya kunjungi adalah Kampung Batik Laweyan. Tanpa basa-basi lagi, saya segera melakukan penelusuran sambil berimajinasi sebagai saudagar batik kenamaan Kota Bengawan.

Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo
Kondisi Jalan Slamet Riyadi di Kota Solo/Ibnu Rustamadji

Kampung Laweyan dan Roemahkoe Heritage Laweyan

Kampung Laweyan tak ubahnya kampung pada umumnya. Hanya saja mayoritas warga yang tinggal di sini merupakan keluarga saudagar batik tulis. Tak ayal ketika mulai menginjakkan kaki memasuki gang sempitnya, terbentang puluhan rumah saudagar batik pada zamannya.

Menelusuri gang sempit dan harus berbagi jalan dengan pengguna lain lumrah terjadi. Sebab setiap jengkalnya harus berhadapan tembok tinggi antarrumah saudagar. 

Banyak orang mengira di balik tembok tinggi kampung Laweyan tersebut merupakan kediaman keluarga raja. Padahal sejatinya tidak. Mereka asli Jawa. Turun-temurun mendiami dan melanjutkan tongkat estafet keluarga mengelola industri batik tulis.

Setiap keluarga saudagar di Laweyan memiliki motif batik tulis khas yang rumit, tetapi penuh arti dan filosofi. Satu lembar kain batik tulis bisa dibuat dalam waktu cukup lama. Proses mulai dari nggambar pola, ngeblat (meniru) pola, nyanting (membatik), ngumbah (mencuci) hingga menjemur bisa menghabiskan waktu sekitar enam bulan.

Semakin rumit motifnya, semakin lama dan mahal harganya di Indonesia maupun mancanegara. Biasanya motif batik tulis yang dihasilkan menjadi signature bagi keluarga. Satu motif batik tulis Laweyan yang tersohor kala itu hingga ke benua Eropa adalah batik tulis Tiga Negeri. Tak ayal di salah satu sudut jalan kampung Laweyan bernama Jalan Tiga Negeri.

Batik Tiga Negeri artinya motif batik tiga daerah, yakni Lasem, Pekalongan, dan Solo. Masing-masing memiliki motif khas yang berbeda. Menurut Agni Malagina, pemerhati wastra, buku Dutch Influence in Batik from Java, History and Story karya Harmen Veldhuisen menyebutkan produksi awal batik tiga negeri adalah sarung batik motif pesisir utara dan pedalaman Jawa.

Motif tersebut berpadu apik dengan motif larangan (terlarang) pakem Keraton Surakarta (Solo), yakni motif parang rusak dan motif kawung dari Keraton Yogyakarta. Proses pembuatan batik Tiga Negeri berawal dari Kota Lasem sebagai pusat pewarnaan merah dengan motif naga bersanding burung phoenix, motif bunga, dan kricakan.

Pekalongan menjadi pusat pewarnaan biru dan produsen kain mori sebagai alas membatik. Beragam motif signature terlahir dari seniman Pekalongan. Dari sinilah Pekalongan mendapat julukan “Kota Batik”.

Adapun Kota Solo menjadi pusat pewarnaan soga, dengan produksi utama berupa kain jarik (sarung) dan ikat. Proses pembuatan jarik Tiga Negeri dari Laweyan juga mendapat pengaruh dari Lasem.

Eksistensi batik Tiga Negeri di zaman modern saat ini saya rasa di ambang kepunahan. Meski begitu, marwah kediaman warisan para saudagar di Laweyan mengisyaratkan pentingnya menjaga memori kolektif tersebut dengan cara mempelajari wastra batik sebaik-baiknya.

  • Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo
  • Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo

Apa yang telah mereka wariskan patut untuk dihargai dan dilestarikan. Walau hanya tinggal berupa kediaman luas dengan tembok mengelilingi setinggi dua meter. Seperti yang saya kunjungi kali ini, yakni hotel butik bernama Roemahkoe Heritage Laweyan.

Ketika menginjakkan kaki masuk ke Roemahkoe Heritage, suasana begitu sunyi dan tenang dengan alunan campursari sayup-sayup terdengar. Menurut salah satu pengurus hotel, kediaman ini sejatinya milik salah satu saudagar batik Laweyan bernama Tjokrosoemarto.

Hanya saja ia tidak mengetahui detail maupun latar belakang keluarga Tjokrosoemarto. Saya bisa memakluminya. Namun, ketika saya bertanya mengenai siapa pemiliknya sekarang, ia menjawab Nina Akbar Tandjung adalah tokoh di balik berdirinya hotel ini.

Roemahkoe Heritage Laweyan memiliki gaya arsitektur indis. Dari halaman depan tampak kaku, tetapi ketika masuk pemandangan berubah. Ruang tamu depan dahulunya pendhapa dan di balik tiga pintu utama merupakan ndalem ageng, dengan krobongan tepat di tengah.

  • Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo
  • Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo

Sisi kiri dan kanan berupa gandok untuk dapur, kamar tidur keluarga, ruang makan dan kumpul keluarga. Beranda belakang terhubung dengan gandok kiwa (kiri) dan tengen (kanan), sedangkan ruang santai di tengah beranda belakang. Sekeliling rumah dihiasi beranda dan terhubung dengan beranda depan (ruang tamu). 

Sungguh cita rasa yang tiada banding. Saya merasakannya selama penelusuran di Kampung Laweyan dan Roemahkoe Heritage tempo lalu. Sejatinya ada enam kediaman saudagar Laweyan yang saya kunjungi, tetapi karena keterbatasan hanya satu yang bisa saya bagikan. 

Imajinasi seakan melayang kembali menyigi masa keemasan kampung Laweyan. Masa yang penuh lalu lalang warga dan kain batik tulis sutranya. 

Kampung Lawas dan Omah Lowo Purwosari

Puas menikmati kampung Laweyan, perjalanan saya berlanjut menyigi kampung lawas kedua. Tujuan utama saya tepat di selatan perempatan lampu merah kawasan Purwosari, Kota Solo. Warga biasa menyebutnya Omah Lowo (rumah kelelawar). Disebut demikian karena kediaman salah satu saudagar batik di luar Kampung Laweyan ini sempat terbengkalai puluhan tahun hingga dihuni kelelawar liar. Setelah revitalisasi selesai, Omah Lowo terlahir kembali dengan nama baru Heritage Batik Keris.

Selama penelusuran saya di Heritage Batik Keris selalu ditemani seorang pemandu. Ia siap menceritakan masa lalu sejak bernama Omah Lowo hingga seperti sekarang. Menurutnya, Omah Lowo atau Heritage Batik Keris dahulunya milik seorang Tionghoa bernama Sie Dhian Ho. Beliau diketahui sebagai leluhur pertama keluarga pemilik Batik Keris Solo. 

Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo
Tampak luar Omah Lowo Purwosari atau Heritage Batik Keris ketika sore/Ibnu Rustamadji

Usaha pertama Sie Dhian Ho antara lain percetakan foto, toko alat tulis dan majalah, serta pemilik pabrik es kristal (sekarang Solo Center Point) bernama Ijs Fabriek N. V. Sie Dhian Ho. Setelah usahanya menuai sukses, Sie Dhian Ho mulai mengembangkan sayap bisnis sebagai penjual batik. 

Sampai akhirnya ia mampu mendirikan pabrik batik, yang kini dikelola turun-temurun menjadi Batik Keris. Namun, karena situasi dan ekonomi memburuk, Sie Dhian Ho harus merelakan rumahnya dijual. Setelahnya kepemilikan beralih-alih hingga menjadi terbengkalai.  

Hadianto Tjokrosaputro, pemilik Batik Keris saat itu (beliau wafat 2018), berinisiatif membeli kembali Omah Lowo pada 2016 dan merevitalisasi sebagai memorabilia keluarga. Revitalisasi rampung pada 2 Oktober 2020.

“Tujuan revitalisasi sebagai perwujudan harapan dari Pak Handianto Tjokro semasa hidup, atas inisiatif sang istri,” ungkap sang pemandu.

Selama menikmati detail Heritage Batik Keris, saya tak henti berdecak kagum. Apalagi setelah direvitalisasi, semakin tampak kemegahan yang selama ini terpendam di balik kotoran kelelawar liar. Siapa pun yang berkunjung, pasti betah berlama-lama menikmati kemewahannya. Ditambah lagi saat ini di sisi selatan terdapat coffee shop yang siap memanjakan pengunjung.

Mungkin di lain kesempatan akan saya ceritakan perjalanan khusus menikmati Heritage Batik Keris (Omah Lowo Purwosari). Puas mengabadikan detail dan menikmati segelas kopi panas, saya melanjutkan perjalanan menuju kampung lawas ketiga. 

Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo
Bagian ruang keluarga yang kini menjadi showroom batik premium/Ibnu Rustamadji

Kampung Timuran di Jantung Kota Solo

Penelusuran saya berujung di Kampung Timuran, sebelah barat daya Pura Mangkunegaran. Rumah yang saya tuju lokasinya tersembunyi, di belakang Toko Satelit 99, Jalan Slamet Riyadi. Setelah meminta izin salah satu perwakilan keluarga, saya segera melakukan dokumentasi.

Tidak lupa juga saya mengobrol mengenai masa lalu kediaman mereka di Ndalem Timuran. Menurut informasi sang ibu, rumah yang ia tempati merupakan peninggalan sang kakek bernama Prawiradirja. Kediamannya diwariskan turun-temurun kepada anak-anaknya, salah satunya beliau. 

Ia menambahkan apabila keluarganya bukan dari keturunan Pura Mangkunegaran, melainkan murni saudagar batik. Usaha keluarganya menjual kain sulaman dan kain batik. Kepiawaiannya membatik didapat secara turun-temurun. Namun, sang ibu tidak menjelaskan rinci karena sudah tidak terlalu mengingat masa mudanya.

Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo
Tampak depan Ndalem Timuran dan bangunan di sisi sayap untuk ruang keluarga/Ibnu Rustamadji

Produksi batik berada di timur kediamannya saat ini. Dahulu kediaman tengah ditempati sang kakek, dengan maksud menjaga keaslian motif. Sisi tengah itu terdapat tiga pintu. Dua pintu mengapit satu pintu tengah berkaca grafir dengan sengkalan nama pemilik, tepat mengarah langsung ndalem ageng.

Kamar berjejer di sisi barat diperuntukkan bagi keluarga yang sudah berkeluarga, tetapi belum memiliki kediaman sendiri. Bisa juga ditempati tamu yang menginap. Kamar tersebut dilengkapi beranda yang menghadap selatan.

Karena berkurang generasi penerus pembatik, usaha pun turut meredup. Lebih lagi pasca keluarga lain menetap di luar kota, rumah itu pun hanya ditinggali dua keluarga. Meski begitu, bagi saya citra sebagai salah satu warisan saudagar batik di luar Kampung Laweyan sangat kentara di sini.

Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo
Kaca grafir dengan sengkalan di ruang tamu Ndalem Timuran dengan krobongan tepat di belakang pintu tengah ini/Ibnu Rustamadji

Setelah puas memotret dan berbincang dengan keluarga, tiba-tiba senja mulai menggelayuti. Saatnya untuk berpamitan dan berterima kasih atas waktu dan kesempatan yang diberikan kepada saya.

Besar harapan saya, kampung lawas lain di Jawa Tengah, Indonesia atau bahkan negara lain, mulai membuka diri kepada khalayak ramai dengan segala kenangan yang ada. Kampung dapat hidup meskipun tanpa kota, tetapi sebuah kota tidak akan bisa hidup tanpa ada kampung.

Semua memiliki kenangan manis dan pahitnya. Tinggal bagaimana cara kita menyikapinya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jelajah-tiga-kampung-batik-lawas-tersembunyi-di-kota-solo/feed/ 0 41478