Kampung Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kampung/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 Sep 2022 02:27:02 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Kampung Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kampung/ 32 32 135956295 Mengunjungi Kampung-Kampung Tematik di Kota Malang dalam Perayaan Festival Sungai Brantas https://telusuri.id/mengunjungi-kampung-kampung-tematik-di-kota-malang/ https://telusuri.id/mengunjungi-kampung-kampung-tematik-di-kota-malang/#respond Fri, 16 Sep 2022 02:06:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35311 Untuk memperingati Hari Sungai Nasional sekaligus menggerakkan kembali roda perekonomian, beberapa kampung tematik di Kota Malang menyelenggarakan Festival Kali Brantas yang digagas oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat. Festival tersebut telah diselenggarakan sejak tanggal 24-27...

The post Mengunjungi Kampung-Kampung Tematik di Kota Malang dalam Perayaan Festival Sungai Brantas appeared first on TelusuRI.

]]>
Untuk memperingati Hari Sungai Nasional sekaligus menggerakkan kembali roda perekonomian, beberapa kampung tematik di Kota Malang menyelenggarakan Festival Kali Brantas yang digagas oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat. Festival tersebut telah diselenggarakan sejak tanggal 24-27 Juli 2022 di kampung-kampung tematik yang dilintasi oleh aliran Sungai Brantas.

Kebetulan, saya mendapatkan kesempatan untuk hadir di 3 kampung tematik tersebut, yaitu Kampung Putih, Kampung Biru Arema, dan Kampung Jodipan. Berbagai rangkaian acara pun dilaksanakan sekaligus untuk mengkampanyekan kebiasaan hidup bersih dengan merawat Sungai Brantas yang selama ini hidup berdampingan dengan masyarakat di kampung-kampung tematik tersebut.

Kampung Biru Arema
Kampung Biru Arema

Pertama, pada hari Senin tepatnya tanggal 25 Juli 2022 saya berkunjung ke Kampung Putih yang terletak persis di samping Rumah Sakit Saiful Anwar Kota Malang. Event ini merupakan awal mula bagi Kampung Putih untuk bangkit kembali akibat pandemi dan juga banjir bandang yang memporak porandakan sebagian kampung pada November 2021 lalu. Saat saya menginjakkan kaki kembali ke Kampung Putih, rumah-rumah warga yang ambruk telah berdiri kembali, namun sayangnya salah satu taman yang berada di ujung kampung bernama Taman Daya’ tak dapat diselamatkan, kondisinya rata dengan tanah.

Mural di Kampung Putih
Mural di Kampung Putih

Pada rangkaian kegiatan tersebut, anak-anak dengan memukul kentongan dari bambu dan diikuti oleh pengunjung di belakangnya, berjalan mengelilingi kampung menuju ujung kampung tepatnya di pinggiran kali yang juga dekat dengan bekas Taman Daya’. Saat saya berjalan mengikuti iring-iringan anak-anak pemukul kentongan, sepanjang perjalanan terdapat beberapa warga yang berdiri di rumah masing-masing membawa kertas yang berisi tulisan atau ajakan untuk menjaga lingkungan sungai. Di pinggir sungai, anak-anak Kampung Putih pun menunjukkan bakat mereka untuk menari dengan dipandu oleh satu orang dewasa. Acara tersebut juga dimeriahkan oleh penampilan-penampilan musik dari pihak luar yang turut mendukung kegiatan di Kampung Putih. 

Sesuai dengan namanya, Kampung Putih dikonsep sebagai perkampungan yang setiap rumahnya berwarna seragam dominan putih dengan sentuhan warna hijau. Sayangnya, pencanangan Kampung Putih sebagai destinasi pariwisata dapat dikatakan belum cukup maksimal. Hal ini dilihat dari banyaknya cat-cat yang terdapat di rumah warga mulai memudar. Untung saja, permasalahan tersebut dapat diakali dengan mural yang dilakukan selama kegiatan berlangsung. Meskipun tidak dilakukan di seluruh tembok warga, setidaknya hal tersebut dapat sedikit membantu memperindah Kampung Putih.

Salah satu spot foto di Kampung Putih
Salah satu spot foto di Kampung Putih

Berikutnya pada Hari Selasa, 26 Juli 2022 saya kembali mengikuti rangkaian Festival Kali Brantas di Kampung Biru Arema. Kampung dengan warna serba biru melambangkan tim sepak bola kebanggaan Arek Malang ini telah menjadi kampung tematik sejak tahun 2018 yang juga dilewati oleh aliran Sungai Brantas. Berbeda dengan Kampung Putih, kegiatan yang ada di Kampung Biru Arema ini lebih untuk menghibur warga setempat dan upaya pulih dari kondisi usai pandemi.

Ketika saya sampai di lokasi, nyanyian-nyanyian dari anak-anak Kampung Biru Arema ramai terdengar. Diiringi dengan tabuhan drum, hingga iringan musik angklung, chant-chant suporter meriah dinyanyikan bersama-sama. Menariknya, tidak hanya warga Kota Malang saja yang hadir, namun turis dari luar negeri pun turut mengikuti kegiatan tersebut dengan sumringah.

Di Kampung Biru Arema, terdapat patung singa besar berwarna emas sebagai ikon atau ciri khas kampung tersebut. Di sana juga dipenuhi dengan mural yang berisi dukungan terhadap tim sepak bola Arema serta gambar para pemain. 

Terakhir, pada Festival Kali Brantas ini saya juga berkunjung di Kampung Jodipan yang sudah dikenal sebagai pelopor munculnya kampung tematik di Kota Malang. Acara yang diselenggarakan pada 27 Juli 2022 ini merupakan puncak dari festival karena bertepatan dengan Hari Sungai Nasional. Kondisi lokasi sangat padat dengan pengunjung maupun masyarakat setempat yang tinggal di sana. Rangkaian acara mulai dari tari-tarian di bibir Sungai Brantas, hingga pawai lampion pada malam harinya membuat acara menjadi sangat menarik perhatian para pengunjung.

Lampion di Kampung Warna Warni Jodipan
Lampion di Kampung Jodipan

Untuk memperingati hari sungai, sebelum kegiatan hiburan, para warga terlebih dahulu melakukan kerja bakti untuk membersihkan kali yang melintasi perumahan warga tersebut. Barulah setelah itu pada sore harinya warga kembali berkumpul untuk menyaksikan penampilan tari kreasi. Untuk memperindah lokasi hiburan, di pinggir-pinggir sungai dihiasi dengan obor yang menjadikan suasana menjadi semakin syahdu. 

Sayangnya, saya tidak dapat mengikuti kegiatan di Kampung Jodipan hingga selesai sehingga dengan terpaksa harus melewati festival lampion di sana. Sekilas yang saya lihat sebelum beranjak dari kampung tersebut, lampion-lampion yang dibawa oleh warga setempat berasal dari olahan barang bekas. Mungkin saja, hal ini juga melambangkan ajakan kepada masyarakat untuk meminimalisir adanya sampah yang terbuang dan mengotori wilayah sungai.

Jadi, seperti itulah perjalanan saya mengikuti beberapa rangkaian Festival Kali Brantas yang dipelopori oleh Pokdarwis Kota Malang. Kota Malang memang tidak memiliki wisata alam seperti yang dimiliki oleh dua saudaranya, yakni Kota Batu dan Kabupaten Malang. Namun Kota Malang tetap ingin memajukan perekonomian masyarakat melalui sektor pariwisata, akhirnya tercetuslah ide untuk menggagas kampung-kampung yang awalnya kumuh menjadi kampung wisata tematik. 

Meskipun menurut saya gagasan di beberapa kampung tematik Kota Malang masih belum dapat tertata dan berjalan dengan baik, setidaknya inisiator dan pemeran utama dalam perencanaan tersebut ialah berasal dari masyarakat setempat itu sendiri. Konon, gerakan yang berasal dari akar rumput jauh lebih kuat daripada kebijakan yang bersifat top-down atau diusung langsung oleh pemerintah kepada warganya. 

Tapi, Kota Malang tidak dapat menjadi kota yang maju hanya dalam 10 atau 20 tahun, begitu pula dengan kampung-kampung tematik yang ada di dalamnya, yang secara hitungan belum mencapai usia 10 tahun menjadi kampung tematik. Kampung-kampung tematik di Kota Malang ini masih mencoba merangkak dan berjalan dengan lancar hingga akhirnya lambat laun dapat berlari kencang untuk menjadi faktor penunjang ekonomi rakyat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengunjungi Kampung-Kampung Tematik di Kota Malang dalam Perayaan Festival Sungai Brantas appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengunjungi-kampung-kampung-tematik-di-kota-malang/feed/ 0 35311
Tradisi Tutup Tahun Ngemban Taun di Kampung Cireundeu https://telusuri.id/tradisi-tutup-tahun-ngemban-taun-di-kampung-cireundeu/ https://telusuri.id/tradisi-tutup-tahun-ngemban-taun-di-kampung-cireundeu/#respond Thu, 04 Nov 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30057 Di tengah terpaan gelombang deras modernisme yang demikian dahsyat sekarang ini, masyarakat Kampung Cireundeu rupanya masih berupaya tetap teguh dan tetap setia mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan dari para leluhur mereka.  Telah menjadi tradisi...

The post Tradisi Tutup Tahun Ngemban Taun di Kampung Cireundeu appeared first on TelusuRI.

]]>
Di tengah terpaan gelombang deras modernisme yang demikian dahsyat sekarang ini, masyarakat Kampung Cireundeu rupanya masih berupaya tetap teguh dan tetap setia mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan dari para leluhur mereka. 

Telah menjadi tradisi saban tahun, yang turun temurun, ratusan masyarakat masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, senantiasa menggelar tradisi Tutup Tahun Ngemban Taun. Tutup Tahun Ngemban Taun merupakan puncak peringatan tutup tahun seiring dengan tibanya tahun baru dalam sistem penanggalan Sunda Wiwitan. 

Gerbang Cireundeu
Gerbang Cireundeu/Djoko Subinarto

Prosesi gelaran Tutup Tahun Ngemban Taun diawali dengan acara arak-arakan hasil panen pertanian masyarakat Kampung Cireundeu, yang dimulai dari gerbang utama Kampung Adat Cireundeu hingga berakhir di balai pertemuan adat yang disebut sebagai Bale Saresehan di mana sejajian berupa aneka hasil produk pertanian diletakkan di tengah-tengah ruangan bale.

Dalam arak-arakan ini, masyarakat Cireundeu, besar-kecil, tua-muda, dengan tertib dan khusyu, sembari membawa aneka hasil bumi, beriringan bergerak menuju Bale Saresehan yang lokasinya berada persis di tengah pemukiman masyarakat. Sebagian besar perempuan mengenakan kebaya bodas (putih) sedangkan laki-laki mengenakan baju pangsi hideung (hitam) dan tak lupa memakai ikat kepala. 

Petani membawa sejumlah buah dan sayuran
Petani membawa sejumlah buah dan sayuran/Djoko Subinarto

Setelah mereka berkumpul di Bale Saresehan, acara kemudian dilanjutkan dengan membacakan sejarah Kampung Adat Cireundeu, wejangan dari tokoh serta sesepuh masyarakat, serta diakhiri memanjatkan doa bersama. Inti dari wejangan dan doa yang disampaikan oleh tokoh dan sesepuh masyarakat Cireundeu yaitu agar kita senantiasa ingat asal-usul kita serta misi utama kita hadir di dunia ini.

Usai prosesi acara adat, mereka yang hadir dipersilakan menikmati aneka menu sajian makanan khas Kampung Adat Cireundeu, terutama yang berbahan dasar ketela pohon atau singkong (Manihot Esculenta Crantz). Melengkapi dan memeriahkan acara, ditampilkan pula berbagai pertunjukan seni dan budaya tradisional, termasuk kaulinan barudak (permainan anak-anak) serta tak lupa pagelaran wayang golek semalam suntuk.

Sesepuh Kampung Adat Cireundeu, Abah Emen Sunarya, menjelaskan bahwa Tutup Tahun Ngemban Taun merupakan tradisi yang rutin dilaksanakan masyarakat Kampung Cireundeu secara turun temurun. 

“Tradisi ini sebagai salah satu bentuk syukur masyarakat kepada Sang Maha Pencipta atas hasil pertanian yang diperoleh setiap tahun dan berharap hasil yang lebih baik lagi di tahun-tahun berikutnya,” jelasnya, beberapa waktu lalu.

Empat dara membawa tumpeng
Empat dara membawa tumpeng/Djoko Subinarto

Tidak makan nasi

Selain masih tetap setia mempertahankan tradisi Tutup Tahun Ngemban Taun, masyarakat Cireundeu hingga kini juga masih mempertahankan tradisi tidak mengkonsumsi nasi. Sekadar untuk diketahui, sejak tahun 1924, masyarakat Kampung Cireundeu telah menjadikan singkong—sampeu, dalam bahasa Sunda—sebagai makanan utama mereka. Oleh masyarakat Cireundeu, ketela pohon diolah terlebih dahulu untuk dijadikan rasin, beras singkong. Nah, beras singkong inilah yang kemudian mereka masak sebagai makanan pokok sehari-hari mereka, layaknya nasi.

Sejarah lokal Kampung Cireundeu mencatat bahwa tradisi menjadikan ketela pohon sebagai makanan pokok masyarakat Cireundeu bermula ketika terjadi bencana kekeringan dahsyat yang menimpa sawah-sawah di Kampung Cireundeu di tahun 1920-an. Haji Ali, salah satu tokoh masyarakat Cireundeu waktu itu segera meminta masyarakatnya untuk menanam singkong, dan ternyata perintah tersebut tetap dipatuhi masyarakat Cireundeu hingga sekarang ini.

Berkat ketidaktergantungan terhadap beras selama ini, Kampung Cireundeu, yang memiliki luas empat hektare serta dihuni oleh sekitar 340 jiwa, yang terdiri dari 70 kepala keluarga, kemudian mendapat julukan sebagai Desa Wisata Ketahanan Pangan. Disingkat Dewi Tapa. 

Sebagai sebuah Kampung Adat dan Kampung Wisata, Cireundeu sangat terbuka bagi kedatangan siapa saja, termasuk para wisatawan, baik wisatawan lokal maupun wisatawan dari mancanegara. Karenanya, acara Tutup Tahun Ngemban Taun yang digelar setahun sekali di kampung ini pun dapat dengan leluasa disaksikan oleh pengunjung.

Khusus bagi mereka yang tertarik untuk belajar tentang kearifan lokal, toleransi, keberagaman dan juga ketahanan pangan ada baiknya sekali-kali bertandang dan menginap di Kampung Cireundeu. Dijamin banyak hal yang bisa kalian kaji dan tafakuri dari keberadaan kampung ini.

Menuju Kampung Adat Cireundeu cukup mudah. Kampung ini dapat dijangkau oleh kendaraan roda empat maupun roda dua. Jaraknya dari Alun-alun Kota Cimahi, sekitar 12 kilometer, ke arah selatan. Lokasinya tidak begitu jauh dari kompleks pekuburan Belanda (kerkhof). Tanyakan saja ke pengemudi ojek pangkalan di sekitar Jalan Kerkhof, Leuwigajah, Cimahi, pasti mereka akan senang hati menunjukkan lokasi Kampung Adat Cireundeu.

Jalan menuju Kampung Adat Cireundeu cukup mulus, berupa jalan beton. Cuma, sedikit menanjak. Di kawasan Cirendeu terdapat sebuah Gunung bernama Gajah Langu. Dari puncak gunung ini, kita dapat memandang secara leluasa ke arah Kota Cimahi dan ke arah Batujajar dan Cililin, yang masuk dalam wilayah Kabupaten Bandung Barat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Tradisi Tutup Tahun Ngemban Taun di Kampung Cireundeu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tradisi-tutup-tahun-ngemban-taun-di-kampung-cireundeu/feed/ 0 30057