kapoposang Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kapoposang/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sat, 10 Sep 2022 08:34:13 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kapoposang Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kapoposang/ 32 32 135956295 Menuju Makassar dengan Kapal Pa’gae dari Pulau Pandangan https://telusuri.id/menuju-makassar-dengan-kapal-pagae-pulau-pandangan/ https://telusuri.id/menuju-makassar-dengan-kapal-pagae-pulau-pandangan/#respond Sat, 03 Sep 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34951 “Kapalnya sudah jalan sehabis subuh tadi Bang Syu,” ucap Hasan yang biasa kami panggil Pak Desa dengan suara lesu. Rencananya kami ingin pergi bersama menuju Pangkep. Setelah menghubungi beberapa warganya semalam, kami dijanjikan bisa ikut...

The post Menuju Makassar dengan Kapal Pa’gae dari Pulau Pandangan appeared first on TelusuRI.

]]>
“Kapalnya sudah jalan sehabis subuh tadi Bang Syu,” ucap Hasan yang biasa kami panggil Pak Desa dengan suara lesu. Rencananya kami ingin pergi bersama menuju Pangkep. Setelah menghubungi beberapa warganya semalam, kami dijanjikan bisa ikut menumpang kapal salah satu warganya jam sembilan pagi. Salah satu keresahan tinggal di pulau adalah seperti ini, tidak ada transportasi reguler. Semua serba tidak pasti. Hanya bisa mengharapkan tumpangan, ikut kapal-kapal warga.

“Saya coba carikan kapal lagi semoga hari ini ada yang pergi,” Pak Desa masih tetap berusaha meyakinkan saya. Kami berdua memang perlu ke Pangkep. Dia ada pertemuan di sana. Sedangkan saya mesti mencari sinyal dan listrik yang stabil.   Kondisi listrik di pulau sudah berbeda dengan 2 tahun lalu saat pertama saya tinggal di sini. Listrik di Kapoposang menggunakan solar panel terpadu yang dihubungkan ke tiap-tiap rumah. Dulu, jika kondisi cuaca bagus kami masih dapat menikmati dari pukul 6 sore hingga pukul 5 pagi. Sekarang dapat menyala 3 jam saja sudah bersyukur. Bagi warga pulau tidak menjadi masalah, tapi bagi saya yang mengandalkan listrik untuk menyalakan laptop ini menjadi persoalan. Laptop tua baterai penyimpanannya tak bisa diandalkan. Mau memakai genset boros di bensin.

Kapal Pagae
Kapal Pagae/Syukron

Langit cerah, laut tenang dan berita baik pun datang. Sejam setelah janji Pak Desa ucapkan kami mendapatkan info di Pulau Pandangan ada kapal pa’gae yang akan menuju Makassar pukul 2 siang nanti. Kapal pa’gae atau kapal pukat jaring memang selalu membawa hasil tangkapan ikan mereka dari laut menuju Makassar. 

Setelah makan siang, kami bersiap menuju kapal pa’gae yang berlabuh depan Pulau Pandangan. Wilayahnya masih satu desa dengan pulau Kapoposang jaraknya hanya 1,2 mll. Kapal yang kami tumpangi milik Haji Jafar, nama kapalnya Safa Marwah 03, Haji Jafar memiliki 4 kapal pa’gae, beliau memang salah satu tokoh di pulau Pandangan yang cukup sukses menjadi nelayan. Si empunya kapal belum tiba tapi kami sudah berada di kapalnya. Selain kami ada 6 orang lagi yang ikut menumpang ke Makassar. 

Kapalnya berwarna putih dengan bobot 30 GT, panjang 20 meter dan lebar 5 meter. Untuk ukuran masih relatif tidak jauh berbeda dengan kapal-kapal pa’gae lainnya. Tapi untuk urusan mesin boleh diadu, biasanya kapal lain memakai mesin dengan 6 silinder, kapal Safa Marwah 03 memakai mesin dengan 8 silinder. Otomatis waktu tempuhnya jadi lebih cepat daripada kapal lainnya. 

Haji Jafar datang tak lama kemudian. Dengan membawa istri dan 3 orang anak buah kapal. Tidak full team yang biasanya bisa sampai 11 orang jika saat mencari ikan. Setelah memberi aba-aba, pasukan kecil Haji Jafar ini dengan mudahnya menyalakan mesin, memutar haluan, dan mulai berlayar ke arah timur. Baru saya tahu kemudian kalau mereka ke Makassar hanya untuk membeli balok-balok es. Ada 250 balok es yang akan dibeli, Mereka akan menyimpannya dalam 5 kotak besar untuk persiapan menjaring ikan nantinya. 

Suasana dalam kapal
Suasana dalam kapal/Syukron

Para ibu dan anak-anak beristirahat dengan nyaman dalam ruang kemudi yang cukup lapang. Sedangkan kami para lelaki berkumpul minum kopi dan mengobrol lepas diayun ombak depan anjungan kapal.

Sebentar lagi tiba di Makassar
Sebentar lagi tiba di Makassar/Syukron

Dari obrolan itu saya jadi lebih mengenal sosok Haji Jafar, saya tak bisa membayangkan bapak tua berumur 60 tahunan, bertubuh kecil dengan peci kupluk, bercelana pendek dan memakai sendal jepit ini ternyata dibalik suksesnya menjadi nelayan ada juga jejak-jejak kelucuannya. Untuk urusan keluarga, tiap kali akan ke Makassar Haji Jafar selalu menyertakan istrinya untuk ikut serta. Kata Pak Desa kalau jaman sekarang istilahnya “bucin”.

Haji Jafar
Haji Jafar/Syukron

Haji Jafar juga ternyata orangnya sangat cuek, pernah ketika jalan di sekitar pelabuhan dan duduk depan salah satu supermarket dia diusir karena penampilannya yang dianggap kumal. Dan beliau dengan santainya pergi tanpa protes atau marah. Ada juga cerita soal Haji Jafar ternyata mempunyai mobil keluaran terbaru tapi tidak pernah dipakai. Alasannya lebih enak naik pete-pete (sebutan angkot di Makassar) tinggal sewa seharian bebas pergi kemana saja, ada yang nyupirin pula. Lalu mobil barunya? Dianggurin saja di rumah kenalannya.

Yang cukup membuat saya takjub adalah usaha dia selama ini tidak memakai pinjaman bank atau dari orang lain. Semuanya murni hasil jerih payahnya sendiri. “Jangan terlalu sombong pakai duitnya orang,” begitu ungkapnya. 

Obrolan kami berakhir saat kapal mulai masuk ke area Pelabuhan Paotere. Kami datang dengan berbagai teriakan penyambutan. Menyambut kedatangan kapal Haji Jafar seperti pulang dari medan perang. 

Saya berpamitan dengan Pak Desa dan Haji Jafar, mengucapkan terima kasih atas tumpangannya. Setelah keluar dari pelabuhan sembari menunggu jemputan saya melihat kesana kemari. Bergumam dalam hati “supermarket mana ya yang mengusir Haji Jafar?”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menuju Makassar dengan Kapal Pa’gae dari Pulau Pandangan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menuju-makassar-dengan-kapal-pagae-pulau-pandangan/feed/ 0 34951
Melaut Bersama Sapi Menuju Kapoposang https://telusuri.id/melaut-bersama-sapi-menuju-kapoposang/ https://telusuri.id/melaut-bersama-sapi-menuju-kapoposang/#respond Sun, 07 Aug 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34869 Gema takbir seusai shalat subuh berkumandang dari Masjid Mujahidin Pangkep. Jaraknya hanya dua blok dari Kedai Opu. Warung kopi tempat saya dan beberapa warga Pulau Kapoposang menginap. Kami telah bangun dan memang sedang bersiap-siap, bukan...

The post Melaut Bersama Sapi Menuju Kapoposang appeared first on TelusuRI.

]]>
Gema takbir seusai shalat subuh berkumandang dari Masjid Mujahidin Pangkep. Jaraknya hanya dua blok dari Kedai Opu. Warung kopi tempat saya dan beberapa warga Pulau Kapoposang menginap. Kami telah bangun dan memang sedang bersiap-siap, bukan untuk mengikuti salat Id hari ini tapi untuk bersiap menuju ke Pulau Kapoposang. Kami memang mempersiapkan perjalanan kali ini agar bisa menikmati Iduladha di pulau. Tahun ini ada perbedaan penetapan hari raya Idul Adha. Hari ini Sabtu, 9 Juli 2022 adalah jadwal Muhammadiyah. Sementara kami ikut keputusan Kementerian Agama, lebaran kurban dirayakan esok harinya Minggu, 10 Juli 2022.

Suasana dalam kedai sudah tak tampak seperti tempat nongkrong ngopi lagi. Lebih seperti ruang tamu yang dipakai menginap handai taulan. Berantakan, kursi-kursi yang dijadikan tempat tidur darurat dengan tas menumpuk sana sini serta plastik-plastik berwarna merah berisikan sayur dan bahan kebutuhan lain untuk membuat coto dan konro sudah kami siapkan.

Masyarakat di Kapoposang tak memelihara ternak berkaki empat. Tentu ini membuat banyak orang penasaran karena di sana tak sulit mendapatkan pakan hijau untuk berternak. Masyarakat pulau bukannya tak mencoba memelihara, namun entah kenapa binatang ternak selalu kurus, tak pernah gemuk. Padahal Pulau Pandangan yang masih satu desa dengan Kapoposang punya banyak ternaknya yang gemuk. Cukup aneh kalau dipikir. Ternak-ternak ini memakan sampah, bahkan sampah kertas atau apapun yang bisa dikunyah bakal mereka makan. Misteri tersebut sampai sekarang tak bisa dipecahkan dan memang tak dicarikan pula jawabannya. Masyarakat Kapoposang lebih memilih membeli sapi atau kambing dari luar pulau untuk hajatan nikahan atau aqiqah daripada memelihara. 

Persiapan menuju Kapoposang
Persiapan menuju Kapoposang/Syukron

Seperti untuk Idul Adha kali ini. Tiga ekor sapi diturunkan ke kapal kami sebagai persiapan kurban. Mereka diposisikan seperti layaknya baris berbaris. Pembeliannya patungan dari beberapa warga sekitar 10 juta per ekornya. Tentu tidak mudah memindahkan hewan yang bobotnya lebih dari 100 kilo. Bagian depan kapal Jolloro memang mempunyai desain terbuka hingga terlihat luas, kapal ini diperuntukkan untuk memuat barang yang cukup banyak. Kebalikan dari mobil pickup, bagian bak kosong di justru berada di depan namun penumpang berada di bagian belakang bersama juru mudi kapal. 

Ada 25 orang ikut menumpang kapal. Saya lebih memilih mencari tempat di ujung depan kapal. Agak leluasa untuk sedikit rebahan. Posisi ini tentu bukan tempat favorit bagi penumpang lain karena musti berhadap-hadapan dengan sapi. Saya menerima resiko ini. Beberapa kali badan saya terdorong oleh kepala sapi. Untung saja sapi-sapi ini terikat dengan baik.

Kapal yang kami gunakan adalah kapal milik desa. Kapal kayu panjang 17 meter dan lebar 2 meter dengan mesin kekuatan enam silinder. Dari mesin hingga ukuran terbilang paling bagus dibandingkan kapal-kapal warga lain. Soal daya tempuh juga yang biasanya sekitar 6-8 jam jadi bisa dipangkas menjadi 3-4 jam saja.

Sapi, hujan dan ombak/Syukron

Dengan kondisi perairan berombak dan diiringi hujan tipis-tipis, kami melaju pukul 5.30 pagi. Menembus sungai Pangkep lalu keluar ke laut lepas. Selama perjalanan sapi-sapi ini dituntut memiliki keseimbangan tinggi, mereka harus berdiri dan berusaha tidak terjatuh. Sesekali ada saja sapi yang kehilangan keseimbangan karena kapal diterpa ombak rasanya naik turun seperti roller coaster. Dengan susah payah si sapi kemudian bangkit, berdiri kembali. Di tengah kondisi seperti itu, sapi-sapi ini cukup tenang, atau mungkin tegang luar biasa sehingga mereka hanya terdiam saja.

3 jam berlalu, Setelah melewati Pulau Gondong Bali, Pulau Pandangan dan Pulau Kapoposang tampak mulai mendekat. Arah kapal menuju ke Pulau Pandangan, kami mampir untuk menurunkan salah satu sapi milik haji Jafar, warga Pandangan. 

Menarik sapi di Pulau Pandangan
Menarik sapi di Pulau Pandangan

Sudah belasan cara dilakukan tapi belum juga bisa membuat sapi ini berniat menggerakkan kakinya untuk turun ke tepi pantai. Kerumunan orang diatas kapal sepertinya makin membuat sapi ini kebingungan. 15 menit berlalu setelah sang sapi tenang, kakinya mulai bergerak ingin berjalan. Hasrat untuk keluar dari kapal sudah mulai nampak. Dengan satu hentakan tali, sapi itu mulai mencoba meloncat keluar dari kapal. Semua bersorak lega. Kami yang di kapal semakin lega akhirnya bisa bergegas.  

Sapi di halaman Masjid
Sapi di halaman masjid/Syukron

Kami tiba sebelum adzan Dzuhur memanggil. Air laut mulai surut kami terhenti sekitar 30 meter dari bibir pantai. Saya dan tiga orang lainnya turun berbasah ria. Air laut sama rata dengan pinggang saya. Kami memikul barang-barang yang akan diturunkan, berjalan menuju tepi pantai. Belajar dari cara menurunkan sapi di Pulau Pandangan, kami memberikan waktu agar 2 sapi yang tersisa dapat turun dengan tenang. Dengan segala kerumitan proses mengangkut sapi dari Pangkep, membawa menembus ombak hingga tiba di Kapoposang. Perayaan kurban tetap menjadi salah satu hajatan favorit orang pulau. Karena itulah momen yang sehari-harinya lauk ikan berganti dengan coto atau konro yang aromanya keluar dari tiap-tiap dapur rumah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melaut Bersama Sapi Menuju Kapoposang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melaut-bersama-sapi-menuju-kapoposang/feed/ 0 34869
Setelah “Isi Lambung Tengah” di Pesta Perkawinan Kapoposang https://telusuri.id/setelah-isi-lambung-tengah-di-pesta-perkawinan-kapoposang/ https://telusuri.id/setelah-isi-lambung-tengah-di-pesta-perkawinan-kapoposang/#comments Sun, 15 Dec 2019 01:00:59 +0000 https://telusuri.id/?p=18866 Dari sore sudah mulai beredar isu bahwa tidak ada makan malam di rumah hari ini. Alasannya, ternyata ada pesta pengantin di RT 2. Kalau kata Pak Desa, kita akan “isi lambung tengah” alias makan di...

The post Setelah “Isi Lambung Tengah” di Pesta Perkawinan Kapoposang appeared first on TelusuRI.

]]>
Dari sore sudah mulai beredar isu bahwa tidak ada makan malam di rumah hari ini. Alasannya, ternyata ada pesta pengantin di RT 2. Kalau kata Pak Desa, kita akan “isi lambung tengah” alias makan di pesta perkawinan.

Selepas Magrib beberapa pemuda dengan setelan terbaik mereka sudah mulai berkumpul di pos ronda tempat kami biasa nongkrong. Parfum entah berapa liter diguyur ke badan mereka. Harumnya bikin kepala saya pusing. Selama beberapa minggu di Pulau Kapoposang, memang baru kali ini saya melihat mereka berpenampilan senecis ini, mengalahkan dandanan mereka saat salat Jumat.

Tak perlu menunggu lama, Tim Lambung Tengah alias Regu RT 1 sudah lengkap dan siap menyerang meja makan pesta pernikahan. Kami menuju lokasi jalan kaki. Penerangan kami dapat dari atas. Bukan dari tiang listrik, tapi dari bulan purnama.

Berdoa bersama sebelum makan/Syukron
Berdoa bersama sebelum makan/Syukron

Sesampai di rumah mempelai, suasana sudah ramai. Setelah bersalaman dengan pengantin, mata saya mulai awas dengan menu sajian makan malam di meja. Acar dan ayam kuah pedas menjadi incaran saya.

Momen ini tentu tak boleh disia-siakan; kapan lagi bisa menikmati ayam di pulau? Setiap hari santapan saya ikan berbagai jenis dan beragam cara penyajian. Ayam adalah penyelamat rasa, juga kemewahan sederhana, yang membuat saya sejenak melupakan aroma ikan. Saya mencoba menikmati santap malam ini dengan khusyuk meskipun udara sekitar dipenuhi suara orang sedang karaokean entah menyanyikan lagu apa.

Awalnya saya tak terlalu ambil pusing soal sumber suara orang sedang karaokean itu. Tapi, begitu piring saya sudah kosong, mau tak mau fokus saya bergeser ke hiburan spesial malam itu.

Pos ronda RT 2 ternyata sudah disulap menjadi panggung dadakan, lengkap dengan lampu disko yang paradoks: gemerlap tapi malah memberi kesan remang-remang.

Purnama tampak dari pesisir Pulau Kapoposang/Syukron
Purnama tampak dari pesisir Pulau Kapoposang/Syukron

Sebagai manusia yang punya pustaka musik terbatas, saya masih gagal memahami lagu apa yang sedang dinyanyikan. Yang jelas dangdut. Di panggung, aktivitas sang penyanyi cukup padat. Tangannya multitasking: tangan kiri memegang ponsel yang dicolokkan ke corong (menghasilkan lagu tanpa vokal), sementara tangan kanan menggenggam mikrofon untuk bernyanyi.

Satu per satu, silih berganti, orang-orang naik ke panggung. Semuanya bernyayi tanpa memusingkan nada dan estetika. Yang penting semuanya bergoyang dan tidak pulang. Anehnya, baik kedua mempelai di singgasana maupun para undangan nyaman-nyaman saja mendengarkan lagu-lagu yang lari dari nada itu.

Beberapa teman menyebut saya sebagai “cacat nada” karena sering fals ketika bernyanyi atau main gitar. Di antara mereka, saya merasa menjadi minoritas. Tapi, di pulau ini, saya merasa menjadi mayoritas, sebagai anggota dari kelompok yang cuek-cuek saja berkejaran dengan nada.

Hadirin dan hadirat berkumpul di pesta pernikahan
Hadirin dan hadirat berkumpul di pesta pernikahan/Syukron

Suasana makin meriah saat beberapa orang mulai berjoget di panggung (baca: pos ronda). Makin panas. Jogetan-jogetan mereka jadi makin liar—patah-patah, ngebor ala Inul Daratista. Tapi, semakin liar jogetan mereka, semakin menggelegar tawa khalayak. Soalnya, yang berjoget adalah para pria cukup umur dan berjenggot. Saya sendiri terbengong-bengong. Sehari-hari, saya kerap melihat mereka melaut. Saya tak menyangka mereka bisa bertingkah konyol seperti itu.

Tak terasa sudah jam 10 malam. Mata saya mulai layu. Tapi, saya tak melihat ada yang beranjak pulang. Malah, suasana jadi tambah ramai dan, saya tebak, orang-orang seperti masih menunggu acara selanjutnya. Tebakan saya ternyata tak meleset. Ada hiburan pamungkas yang sengaja disimpan di ujung acara. Begitu pertunjukan musik selesai dan penyanyi turun panggung, MC memberitahukan bahwa sebentar lagi acara Bado-bado, lawakan di panggung mirip OVJ dalam bahasa Bugis, akan dimulai.

Cerita Bado-bado kali ini adalah upacara perkawinan berbungkus komedi. Dandanan para pemainnya yang menor saja sudah bikin orang terpingkal-pingkal. Gerak-gerik para pemain memang lucu. Tapi, karena disajikan dalam bahasa Bugis, saya merasa seperti sedang nonton film asing tanpa subtitle. Setelah beberapa saat mencoba memahami pertunjukan itu—dan belum berhasil—akhirnya saya memantapkan diri untuk bangkit dari tempat duduk, menyalami kanan-kiri, dan pamit pulang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Setelah “Isi Lambung Tengah” di Pesta Perkawinan Kapoposang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/setelah-isi-lambung-tengah-di-pesta-perkawinan-kapoposang/feed/ 1 18866