karanganyar Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/karanganyar/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 23 Feb 2024 13:05:38 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 karanganyar Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/karanganyar/ 32 32 135956295 Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4) https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-4/ https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-4/#respond Sat, 09 Sep 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39790 Kadang-kadang puncak gunung hanyalah bonus perjalanan. Namun, proses menggapainya juga merupakan perjuangan yang harus diapresiasi. Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman Alarm ponsel saya berbunyi sekitar pukul empat Subuh. Akhirnya saya benar-benar bangun. Dalam artian...

The post Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kadang-kadang puncak gunung hanyalah bonus perjalanan. Namun, proses menggapainya juga merupakan perjuangan yang harus diapresiasi.

Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman



Alarm ponsel saya berbunyi sekitar pukul empat Subuh. Akhirnya saya benar-benar bangun. Dalam artian bangkit sebenar-benarnya dari berbaring, setelah kerap membuka mata kala terdengar deru angin kencang di tengah malam. Saya segera membangunkan Aan dan Fadly agar bersiap. Sementara di tenda sebelah, Emma dan Evelyne juga terdengar sudah sepenuhnya sadar. Adapun sejumlah pendaki lain sudah berangkat terlebih dahulu ke puncak.

Agenda kami di hari ketiga akan lebih panjang daripada dua hari sebelumnya. Setelah dari puncak, kami langsung berkemas dan turun saat itu juga. Kami sepakat untuk berangkat setelah Subuh sehingga tidak terlalu gelap dan bisa menikmati matahari terbit di tengah perjalanan ke puncak. 

Sebelum berangkat ke puncak, kami sempatkan menyeruput segelas teh, susu, atau minuman hangat lain untuk mengisi perut. Bekal lainnya, seperti biskuit, roti tawar dan selai, serta air minum sudah kami masukkan ke ransel kecil. Kami juga berencana menyarap di salah satu warung dekat Hargo Dalem usai dari puncak.

Angin tak sekencang semalam. Suhu perlahan menghangat seiring fajar mulai menyingsing. Pukul 05.05 kami meniti langkah demi langkah menuju tugu puncak tertinggi Lawu, Hargo Dumilah. Mencoba menyambut pagi yang mungkin akan jadi pengalaman tak terlupakan.

Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4)
Jeda sejenak memandang matahari terbit saat perjalanan ke puncak Gunung Lawu/Rifqy Faiza Rahman

Lukisan Pagi

Jalan setapak sangat jelas membelah sabana yang kemarin sore kami pandang dari camp. Awalnya menurun, lalu relatif datar menjelang punggungan bukit yang masih ditumbuhi banyak cemara gunung dan semak. Dari batas sabana tersebut kami menyusuri jalur yang melipir dan menanjak hingga tiba di dataran terbuka penuh cantigi dan perdu lainnya. 

Terus terang sebenarnya bisa saja kami mencapai puncak lebih cepat. Namun, selayaknya seorang pemburu konten dan tidak mau melewatkan momen sekecil apa pun, rasanya sayang jika kami harus terburu-buru mengejar puncak yang tidak akan ke mana-mana. Sementara matahari terbit beserta serunai alam yang mengiringinya adalah siklus yang belum tentu bisa disaksikan setiap hari. Lukisan alam yang belum tentu kami lihat di perkotaan.

Setelah hampir sejam berjalan, di salah satu tepian jalur terbuka sekitar kawasan Pasar Dieng (3.095 mdpl) saya berhenti sejenak. Saya memandang ke ufuk timur. Mencoba menerka-nerka deretan gunung dan pegunungan Jawa Timur yang tampak jelas berselimut awan di kakinya.

JIka membayangkan peta Jawa Timur dari arah barat, saya masih bisa melihat jelas Pegunungan Wilis, Gunung Arjuno-Welirang, Gunung Kawi, dan Gunung Buthak. Di antara gunung-gunung itu, saya belum pernah mendaki Wilis dan Kawi. Mungkin suatu saat nanti saya harus mencoba mendakinya.

  • Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4)
  • Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4)

Dari kawasan Pasar Dieng yang terbuka, berbatu, dan penuh cantigi, kami berjalan sekitar 340 meter untuk sampai di kawasan Hargo Dalem (3.131 mdpl). Hargo Dalem merupakan petilasan di sebuah cungkup, yang dipercaya warga setempat menyimpan jejak keberadaan Prabu Brawijaya. Lagi-lagi, perlu kajian literatur mendalam untuk memastikan hal tersebut. Sejauh ini kita tetap menghormati segala tradisi dan laku sebagai bentuk kearifan lokal.

Hargo Dalem juga merupakan pertemuan jalur Cetho dengan Cemoro Sewu dan Cemoro Kandang. Di bawah Hargo Dalem, terdapat warung Mbok Yem yang terkenal. Kami nanti tidak akan makan pagi di sana karena akhir pekan pasti ramai pendaki dan antre panjang.

Kami juga tidak masuk ke Hargo Dalem, karena tujuan utamanya adalah puncak Hargo Dumilah. Dari Hargo Dalem, kami melipir ke jalur sebelah kiri melewati warung Mbok Gar (3.147 mdpl) menuju puncak. Kami berencana akan menyantap sarapan di warung tersebut. Menu yang tersedia adalah soto ayam dan nasi pecel.

Dari GPS saya, jarak dari Hargo Dalem ke puncak tinggal 360 meter lagi dengan kontur menanjak di atas tanah berpasir dan berkerikil. Sesekali saya menengadah ke arah puncak. Jelas terlihat tugu Hargo Dumilah dengan bendera merah putih di sebelahnya.

“Ayo, semangat! Sebentar lagi puncak!” saya berseru.

  • Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4)
  • Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4)

Puncak Kontemplasi

Sejak Bulak Peperangan sampai area Hargo Dalem, sebenarnya kami sudah masuk wilayah Jawa Timur. Puncak tertinggi, Hargo Dumilah (3.265 mdpl), berada persis di perbatasan Jawa Tengah—Jawa Timur. Maka bisa saya katakan kalau mendaki Gunung Lawu dari Cetho seperti melakukan perjalanan lintas kabupaten (Karanganyar—Magetan) dan lintas provinsi. 

Dahulu sebelum pandemi Covid-19, pendaki masih diizinkan mendaki lintas jalur. Seperti yang pernah saya lakukan bersama teman-teman dari Malang pada Oktober 2013. Waktu itu kami naik dari Cemoro Sewu (Magetan, Jawa Timur) dan turun Cemoro Kandang (Karanganyar, Jawa Tengah). Namun, sejak pandemi hingga sekarang pendaki harus naik dan turun lewat jalur yang sama untuk alasan keamanan dan kemudahan pelaporan.

Pagi ini Hargo Dumilah seakan semringah. Ia tampak mengkilap lantaran semburan sinar sang surya. Di sisi lain, mungkin Hargo Dumilah senang karena banyak pendaki “berziarah” ke rumahnya. Puncak tertinggi Lawu ini adalah pertemuan para pendaki dari semua jalur. Selain yang saya sebutkan tadi, juga ada yang mendaki dari Tambak (Karanganyar) dan Singolangu (Magetan). Jalur yang disebut terakhir pernah saya coba pada momen perayaan 17 Agustus 2020. Jalur Singolangu akan tembus di belakang warung di pos Sendang Drajat, bertemu dengan Cemoro Sewu.

Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4)
Pendaki-pendaki di puncak Hargo Dumilah Gunung Lawu/Rifqy Faiza Rahman

Selain itu, saya ingin membuat pengakuan bahwa monumen puncak di Gunung Lawu adalah yang terbaik dari gunung-gunung lain di Jawa. Tugu Kiky, begitu orang menyebutnya karena keterlibatan sponsor perusahaan buku tulis dalam pembangunan monumen tersebut.

Sebagaimana di gunung lain, puncak adalah tempat luapan euforia dan kebanggaan terbesar para pendaki. Puncak menjadi acuan semangat di tiap hadirnya keluhan terhadap tanjakan-tanjakan tak berujung. Sebagian orang memandang puncak adalah sesuatu yang wajib mereka rengkuh, sementara tak sedikit pula menganggapnya bonus perjalanan. Begitupun dengan kami. Meski tentu saja, selama kesempatan itu ada, tidak ada salahnya berikhtiar menggapainya dengan tetap mengutamakan keselamatan tim.

Berkaca pada sejumlah kasus yang pernah ada, tidak sedikit pendaki yang meregang nyawa di gunung ini. Penyebab terbesar salah satunya adalah hipotermia. Sebuah kondisi akut yang menandakan suhu tubuh turun sangat drastis di bawah normal. Jika penanganannya tidak cepat dan tepat, penderita bisa meninggal dunia tanpa merasakan gejala apa pun, bahkan merasa seperti kepanasan sampai melucuti semua bajunya. Maka upaya antisipasi terhadap situasi ini adalah menghindari pendakian saat musim hujan, selalu mempersiapkan kondisi fisik dan segala perlengkapan sebaik-baiknya. 

Dari sudut pandang saya, semestinya puncak gunung adalah tempat perenungan bagi setiap pendaki. Saya tidak melarang pendaki merayakan pencapaiannya, hanya saja jangan berlebihan. Saya merasa kita perlu berpikir tentang proses yang kita lalui sepanjang perjalanan. Mulai berangkat dari rumah, tiba di puncak, lalu pulang kembali ke rumah. Memahami apa dan siapa saja yang telah memberi jalan dan menuntun kita ke tempat tertinggi ini.

Di gunung, kita tidak akan berjalan sendirian. Alam akan merestui orang-orang yang berniat baik.

Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4)
Emma, dalam perjalanan turun dari puncak, melintasi telaga kering yang akan berisi air saat musim hujan di Gupakan Menjangan/Rifqy Faiza Rahman

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-4/feed/ 0 39790
Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3) https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-3/ https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-3/#respond Fri, 08 Sep 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39772 Pendakian kian menantang karena jalur terjal dan beban bekal air yang bertambah. Angin kencang jadi tantangan lain yang tetap harus dinikmati. Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman “Kulo (saya) Partini,” ujarnya memperkenalkan diri. Perempuan itu...

The post Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
Pendakian kian menantang karena jalur terjal dan beban bekal air yang bertambah. Angin kencang jadi tantangan lain yang tetap harus dinikmati.

Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman


Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
Warung Mba Yuni di Pos 3 Cemoro Dowo/Rifqy Faiza Rahman

Kulo (saya) Partini,” ujarnya memperkenalkan diri. Perempuan itu sedang menyiapkan pesanan susu jahe panas kami. Ia adalah partner Bu Yuni, pemilik warung di Pos 3. Keduanya warga asli Dusun Cetho.

Warung Mba Yuni sudah buka sejak pukul 05.30. Kepulan asap membubung dari celah-celah jendela warung menandakan aktivitas mereka. Mereka sudah naik dan berjualan sejak Jumat pagi sebelum kami. Besok Minggu mereka akan turun. Setiap naik biasanya dibantu oleh Pak Sukino, suami Bu Yuni, dan seorang pria lagi untuk membawa barang dagangan. Mulai beras, makanan ringan, dan bahan makanan lainnya.

  • Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
  • Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)

Melongok ke dapur, Bu Yuni sedang adang (menanak) nasi dengan dandang. Tak ada gas. Murni menggunakan kayu bakar untuk menghasilkan api. Bapak-bapaklah yang membawa kayu-kayu bakar tersebut sebagai stok selama berjualan. Kami melihat tumpukan kayu tersebut di belakang warung. Kami bisa membayangkan perjuangan mereka mencari nafkah dan berkah dari pendakian gunung.

Saya membawa pesanan kami ke belakang. Di area ini terdapat gentong besar untuk menampung air dari sumber dan fasilitas toilet sederhana berupa bilik dari terpal dan spanduk. Sebelum memasak sarapan—kali ini nasi dan olahan makanan beku ayam karage—kami menikmatinya terlebih dahulu di sebuah bangku kayu sambil menikmati pemandangan awan dan langit biru. Aktivitas yang menambah spirit baru dan kepercayaan diri melanjutkan perjalanan berat pada hari kedua ini.

Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
Tenda kami di Pos 3 Cemoro Dowo bersebelahan dengan pipa air/Rifqy Faiza Rahman

Pelan-pelan ke Penggik

Usai sarapan, kami lekas berkemas. Berbagi tugas membersihkan peralatan masak dan makan, serta merapikan tenda. Sebagian turun ke sumber air. Saya menginstruksikan untuk memenuhi botol minum masing-masing. Saya juga mengisi jeriken lima liter sebagai bekal pendakian hari ini dan besok. Jeriken tersebut akan saya masukkan di dalam ransel bagian atas. 

Tepat pukul 09.30, kami mulai berjalan kembali. Perjalanan dari Pos 3 Cemoro Dowo ke Pos 4 Penggik adalah yang terjauh dan terberat di jalur Cetho. Elevasinya naik tajam sekitar 353 mdpl, dengan estimasi jarak tempuh 860 meter. Pada pendakian 2019 lalu, rute inilah yang benar-benar menguras tenaga. Ditambah hujan deras yang menjadikan jalur seperti aliran sungai. 

Tidak jauh berbeda, beban tenda dan jeriken lima liter penuh air yang saya bawa jelas lebih berat dari kemarin. Terlebih karakter jalur yang terjal kerap membuat kami mengangkat lutut lebih tinggi.

“Aku yang di depan, ya. Jalan pelan-pelan. Nek kesel (kalau capek), istirahat,” pinta saya. Hal ini semata agar ritme berjalan kami seirama dan tidak berjauhan. 

Beruntung vegetasi selepas Pos 3 masih relatif rimbun. Tidak terlalu rapat, tetapi cukup meneduhkan jalur. Jenis tanamannya masih sama, kombinasi semak, mlandingan (lamtoro) yang rata-rata tumbuh agak doyong, dan beberapa cemara gunung. Trek berupa jalan setapak tanah yang sudah mulai berdebu tanda memasuki musim kemarau.

Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
Rehat sebentar di tengah pendakian menuju Pos 4/Rifqy Faiza Rahman

Kami cukup sering berhenti untuk mengatur napas. Terutama saya. Sesekali ketika menemui tempat datar di antara tanjakan, saya lepas ransel ke tanah untuk melegakan pundak. Di titik seperti ini, kekompakan tim dalam hal mental sangat penting. Penting sekali satu sama lain memahami bahwa tidak perlu berjalan terburu-buru apalagi berambisi menjadi yang tercepat. Tidak ada urgensi untuk itu.

Langkah yang stabil dan pintar-pintar menata waktu untuk istirahat, ternyata membuat perjalanan lebih tidak berasa capek. Kira-kira setelah 1 jam 10 menit, kami tiba di Pos 4 Penggik (2.547 mdpl). Lebih cepat 50 menit dari rencana. Di pos ini kami berjumpa rombongan pendaki dari Jakarta yang turun. Mereka juga rehat sebentar di sini.

“Setelah Pos 4 nanjak-nya enak, kok. Yang berat, ya, cuma antara Pos 3 ke Pos 4 doang,” ujar salah satu dari mereka ketika kami bertanya jalur naik. Saya agak lupa kontur jalur di atas Pos 4. Saya hanya ingat sepotong-sepotong kalau trek akan datar ketika keluar hutan cemara gunung dan memasuki sabana.

Sama seperti tiga pos sebelumnya, Pos 4 Penggik ditandai dengan “brakseng”. Peraturan yang berlaku adalah jangan mendirikan tenda di dalam shelter. Gubuk ini hanya untuk berteduh atau penanganan keadaan darurat yang memerlukan tempat berlindung. Namun, Pos 4 Penggik tidak terlalu nyaman untuk mendirikan tenda. Lahan datar terbatas dan berada di jalur yang terjal.

Terjalnya jalur Pos 3—Pos 4 membuat kami memilih istirahat agak lama. Kurang lebih 10 menit untuk sekadar merebahkan punggung, minum dan menyantap bekal buah pisang yang jadi sumber energi kami. 

“Mau makan siang di sini atau di mana, Mas?” tanya Emma.

“Nanti saja agak atas. Kalau nemu tempat yang pas. Sekarang masih tanggung,” jawab saya.

Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
Pos 4 Penggik yang tidak ideal untuk mendirikan tenda/Rifqy Faiza Rahman

Sabana Kenangan

Apa yang dikatakan anak-anak Jakarta tadi benar. Memang masih terus menanjak, tetapi tidak terlalu panjang. Seingat saya, ada satu tanjakan terakhir yang cukup terjal karena berpindah punggungan. Sesudah itu jalur lebih banyak datar melipir bukit yang ditumbuhi banyak cemara gunung. Seketika suasana lebih teduh setelah terpapar terik matahari sejak Pos 4 Penggik.

Kami akhirnya menemukan tempat yang cukup pas untuk istirahat dan makan siang. Berdasarkan GPS, lokasinya berjarak sekitar 570 meter dari Pos 4 Penggik dan berada di ketinggian 2.721 mdpl. Sekitar 68 menit perjalanan. Kami sempat menyapa beberapa porter lokal yang bekerja untuk sebuah open trip yang diikuti puluhan peserta dari berbagai daerah. Mereka akan menyiapkan camp di Bulak Peperangan.

Tempat kami break bukan lokasi yang ideal karena hanya memanfaatkan lahan sempit di samping jalur. Namun, lumayan nyaman buat menanak beras porang dan makan lahap sisa lauk ayam karage serta tambahan lauk kering yang dibawa Evelyne. Bahkan tak terasa ketika saya menyadari kalau kami istirahat hampir 1,5 jam. Sebab kami sempatkan juga untuk tidur siang sebentar.

Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
Lokasi istirahat dan makan siang di pinggir jalur/Rifqy Faiza Rahman

Banyak teman saya mengamini kalau Lawu adalah gunung yang sangat dingin. Bahkan di tempat yang belum terlalu tinggi sekalipun. Itu yang kami rasakan selepas bangun dari tidur siang. Meski terang-terangan cuaca begitu cerah dan matahari bersinar nyalang, tak bisa kami pungkiri perubahan suhu yang terjadi jelang sore. Tepat pukul dua siang, kami kembali melanjutkan perjalanan.

Kenangan pendakian 2019 kembali menguak ingatan setibanya kami di batas hutan-sabana. Sekitar 475 meter atau hampir setengah jam berjalan. Terdapat pohon dan bunga edelweiss yang banyak tumbuh di kawasan ini. Saya yang berada di belakang segera menyusul teman-teman yang sudah ada di persimpangan jalur ke Bulak Peperangan.

Saya ceritakan ke mereka, “Di sinilah dulu kami terpaksa bikin tenda karena kondisi darurat. Wis kudanan, kesel, nganti Magrib lho Bulak Peperangan durung kethok blas (Sudah kehujanan, capek, sampai Magrib loh Bulak Peperangan belum kelihatan sama sekali).”

Lokasinya memang sangat terbuka dengan lahan sabana agak miring. Padahal jika mau berjalan lebih jauh sekitar 15 menit saja atau 400 meter dengan trek datar, kami akan menjumpai Pos 5 atau Bulak Peperangan (2.843 mdpl). Sebuah area tempat bertemunya jalur Cetho dengan Jogorogo (Ngawi), yang lebih representatif dan nyaman untuk berkemah. Cuma, ya, itu tadi. Bukan tak mau. Kami memang sudah tidak mampu.

Tentu saja tidak ada rasa penyesalan ketika hari ini akhirnya saya tahu seperti apa Bulak Peperangan itu. Yang kami tahu adalah saat itu sudah menjadi keputusan terbaik dan disepakati bersama, daripada memaksakan diri walau sekadar “tinggal sedikit lagi”.

  • Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
  • Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)

Nyanyian Angin di Gupakan Menjangan

Tatkala menempuh 660 meter terakhir atau dua pertiga perjalanan menuju Gupakan Menjangan, kami melihat dua pemandangan yang memukau mata. Bukan sabananya yang makin banyak terhampar, melainkan kemunculan satwa yang terlihat jelas dan bergerak cepat. Sampai-sampai saya tak mampu merekamnya dalam kamera.

“Eh, itu ada kijang!” saya berseru.

Sontak yang lain pun ikut menoleh ke arah saya menunjuk. Seekor kijang berwarna cokelat muda yang berlari bak kilat di lereng perbukitan miring. Kami melihatnya di sebelah kiri jalur, kira-kira 300 meter. Begitu saya baru sadar dan mengambil kamera, Muntiacus muntjak lincah itu sudah hilang di balik hutan.

Kedua, elang Jawa atau alap-alap yang terbang memutar di atas celah-celah kanopi cemara gunung, ketika mendekati Gupakan Menjangan. Saya cukup berhasil memotretnya meski agak kurang jelas.

Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
Kembali melihat burung di dekat Gupakan Menjangan/Rifqy Faiza Rahman

Pemandangan itu menjadi pengalaman langka nan berharga bagi kami. Di tengah masifnya manusia yang mendaki gunung lewat jalur ini, bertemu dengan satwa liar pasti tak akan terlupakan.

Pukul 15.35, atau 45 menit dari Bulak Peperangan, kami tiba di Gupakan Menjangan. Angan-angan saya sejak lama yang kini jadi kenyataan. Sebuah tempat berkemah di malam kedua, sekalipun tidak ada sumber air. Kami adalah rombongan pertama yang sampai di area camp setinggi 2.936 mdpl tersebut. Makin sore, kami mendapati makin banyak kelompok lainnya yang ikut mendirikan tenda di sini. Wajar, akhir pekan akan ramai pendaki meskipun tidak sepadat jalur lainnya, seperti Cemoro Sewu.

  • Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
  • Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)

Meskipun tempat camp berada di tengah-tengah cemara gunung, tetapi angin yang bertiup dari arah sabana sangat terasa. Bahkan berlangsung cukup lama hingga kami kerap terbangun saat tengah malam. Embusannya lumayan kencang sampai-sampai menggoyangkan ranting-ranting cemara dan menderu, seperti bernyanyi sumbang tanpa nada. Adapun lokasi tenda kami cukup terlindung dari keberadaan semak-semak, sehingga terhindar dari angin secara langsung.

Namun, yang terpenting adalah cuaca cerah dan stabil hingga hari ini, yang kami harap bisa bertahan setidaknya sampai kami turun esok hari. Birunya langit berpadu serasi dengan hamparan sabana hijau bak permadani. Di sanalah terdapat kubangan air musiman yang akan terisi saat hujan, tempat para menjangan (kijang) minum. Sebuah jejak (gupak) yang menandakan bahwa satwa lincah itu masih eksis, seperti yang kami lihat di lereng bukit tadi. Setidaknya abadi dalam nama yang menjadi tempat berkemah favorit pendaki di jalur ini.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-3/feed/ 0 39772
Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2) https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-2/ https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-2/#respond Thu, 07 Sep 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39749 Tahap awal menuju Hargo Dumilah telah dimulai. Bergegas melangkah menembus hutan di lereng barat Lawu sebelum petang menghilang. Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman dan Alfian Widiantono (Aan) Nuansa teduh menaungi area pos perizinan bercat...

The post Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Tahap awal menuju Hargo Dumilah telah dimulai. Bergegas melangkah menembus hutan di lereng barat Lawu sebelum petang menghilang.

Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman dan Alfian Widiantono (Aan)


  • Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
  • Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)

Nuansa teduh menaungi area pos perizinan bercat oranye nan bersahaja itu. Logo Perhutani, nomor telepon petugas dan saluran radio tertera di dinding pos yang berbahan triplek kayu. Dari bilik loket seorang pria penjaga pos menyambut kami dan menyodorkan lembaran kertas beralas meja dada.

“Dari mana, Mas? Berapa orang?”

“Campur, Mas. Jogja, Magelang, sama Purbalingga. Lima orang saja,” jawab saya. 

“Silakan isi formulir data kelompok dan logistik yang dibawa. Sama nanti ninggal satu KTP di sini. Tiket per orangnya Rp20.000,” ujarnya memberi arahan.

Saya menyodorkan lembaran kertas itu ke Aan, memintanya mengisi. Sekaligus meminjam KTP miliknya. KTP saya sedang jadi jaminan sewa mobil yang saya bawa dari Magelang.

Proses administrasi hanya berlangsung sepuluh menit. Tak hanya mengisi data diri, kami juga harus melaporkan daftar barang bawaan yang kami bawa. Baik perlengkapan pribadi maupun kelompok. Mulai dari pakaian, alat masak, bahan makanan, minuman, jeriken, obat-obatan pribadi. Masing-masing dari kami juga membawa kantung plastik besar (trash bag) yang kami pasang sebagai pelindung barang di dalam tas. Selain itu kami juga harus memastikan tidak ada sampah sekecil apa pun yang terbuang selama di gunung.

Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
Emma di depan gapura pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho/Rifqy Faiza Rahman

Permisi, Mbah Branti

Kami baru benar-benar memulai pendakian sekitar pukul 13.30. Trek awal berupa jalan cor yang cenderung melandai selepas gapura pendakian. Terdapat percabangan jalur dari arah Candi Cetho, bagi wisatawan yang ingin melanjutkan kunjungan ke Candi Kethek. Jalur akan menurun hingga menyeberangi aliran sungai kecil, lalu mendaki kembali hingga tiba di Candi Kethek.

Kontur yang turun dan naik sepanjang 550 meter dari pos perizinan cukup membuat “mesin” kami panas. Otot mulai tegang dan peluh sudah bercucuran. Kami istirahat sejenak di bangku kayu sembari melihat Candi Kethek (1.444 mdpl) yang sampai sekarang masih aktif menjadi tempat pemujaan.

Menurut penelitian Purwanto dkk (2017)1, candi ini memiliki karakter pondasi khusus, yaitu susunan batuan andesit yang pengerjaannya tidak sempurna atau menyeluruh. Hanya memanfaatkan batu-batu alam berukuran besar sebagai batas di setiap empat teras berundak. Latar belakang agama Candi Kethek bersifat Hinduistik. Informasi ini berdasarkan pada temuan arca kura-kura yang merupakan simbol dari Dewa Wisnu. Terlihat pula anasir pemujaan terhadap roh nenek moyang. Keberadaan teras berundak di Candi Kethek, yang menandakan wujud gunung, dianggap sebagai tempat bersemayam leluhur yang sudah meninggal.

Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
Candi Kethek yang bersifat Hinduistik/Rifqy Faiza Rahman

Candi Kethek dapat dibilang termasuk kurang terkenal daripada Candi Sukuh dan Candi Cetho, meskipun pembangunannya diperkirakan sezaman dengan kedua candi tersebut, yaitu sekitar abad XV-XVI Masehi. Padahal keduanya pun hanya menjadi bagian dari puluhan situs sejarah yang tersebar di lereng barat Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar. Dalam catatan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah tahun 2012, seperti dikutip Purwanto dkk (2017), terdapat 37 situs sejarah yang berstatus cagar budaya daerah dan nasional. Penyebabnya mungkin lokasi yang sedikit masuk ke hutan, meskipun terbilang dekat dengan Candi Cetho. Selain itu juga perlu penelitian lebih lanjut mengingat data artefak yang minim dari candi ini.

Tak sampai lima menit kami melegakan napas. Pendakian harus berlanjut sebelum otot mengendur.

Jalur pendakian menuju Pos 1 Mbah Branti masih melewati perkebunan warga. Jalan setapak tanah dengan elevasi yang belum terlalu menanjak. Walau sudah lepas tengah hari, kami masih menjumpai satu-dua warga bekerja di ladang sayur. Komoditas umumnya lombok, sawi, kol, dan loncang. Kami juga sempat melihat burung terbang memutar di atas kami, entah itu elang Jawa atau alap-alap.

  • Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
  • Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)

Sekitar 450 meter dari Candi Kethek, di sisi kanan jalur terdapat sebuah tempat pemandian. Meski Lawu lekat dengan kisah Brawijaya atau Majapahit, saya belum tahu persis sisi historis sebenarnya tentang pembuatan tempat ini. Yang jelas, ketika lewat sini tahun 2019 sedang dalam proses pembangunan. Namanya Patirtan Sapta Resi Brawijaya (1.566 mdpl). Sapta berarti tujuh, karena memang ada tujuh pancuran yang mengalirkan air jernih pegunungan ke kolam berbentuk persegi panjang. Tersedia pula fasilitas umum berupa toilet dan warung, tetapi saat itu tutup. Kami hanya sempat membasuh muka saja, karena air di botol kami masih penuh.

Mendekati Pos 1 Mbah Branti, dengan jarak tempuh hampir sama dengan Candi Kethek—Patirtan Sapta Resi Brawijaya, kami sedikit menambah tenaga. Bongkahan batu berserakan di tanah, yang kadang kami jadikan pijakan untuk melangkah. Kami juga menjumpai sambungan pipa air di permukaan tanah. Ada satu-dua titik yang bocor sehingga air meluber. Meskipun begitu debitnya tetap deras.

Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
Patirtan Sapta Resi Brawijaya/Rifqy Faiza Rahman

Tepat 1,5 jam dan 1,5 kilometer dari basecamp Danang, kami tiba di Pos 1 Mbah Branti (1.679 mdpl). Pos ini hanya berupa tanah datar yang luasnya seukuran tenda berkapasitas empat orang. Ditandai gubuk sederhana dengan lima tiang kayu dan atap berbahan seng. Saya tidak membawa bekal informasi apa dasar penamaan Mbah Branti pada pos ini. Mungkin saja pada zamannya merupakan tokoh setempat, yang memiliki laku atau tirakat tertentu di gunung ini.

Kami datang ketika memang masih waktunya jam tidur siang. Wajah-wajah menahan kantuk tampak dari raut Emma, Evelyne, Aan, dan Fadly. Saya sendiri tidak terlalu mengantuk. Namun, kami sepakat untuk istirahat sebentar barang 10—15 menitan. Emma dan Evelyne tidur bersebelahan dengan cara selonjor bersandar bangku panjang dari batang pohon. Fadly berbaring di atas selembar matras alumunium foil, sementara Aan tidur beralas rain cover saja.

Saya sempat terpejam, tetapi tak sampai benar-benar lelap. Mungkin kurang dari lima menit saja. Saya memilih berdiri, menggerak-gerakkan badan agar tidak kedinginan. Tiba-tiba hasrat kencing tak bisa saya tahan. Di antara semak-semak di belakang pos, saya membuang hajat.

“Permisi, Mbah Branti…”

Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
Tidur siang di Pos 1 Mbah Branti/Rifqy Faiza Rahman

Sepertiga Awal Perjalanan

Tipikal kontur jalur selepas Pos 1 Mbah Branti masih mirip dengan fase sebelumnya. Jalan setapak tanah yang licin kalau musim hujan. Vegetasi hutan mulai rapat, tetapi agak terbuka. Di beberapa titik kami melewati trek yang berbentuk seperti anak tangga, meliuk di tengah-tengah cerukan tanah setinggi dada orang dewasa. 

Dalam rentang jarak 680 meter menuju Pos 2 Brakseng, sesekali kami istirahat sejenak. Terutama setelah melewati tanjakan yang agak terjal atau panjang, untuk meredakan degup jantung yang memburu. Kami berusaha membuat ritme pendakian senyaman mungkin. Tidak terlalu santai, tetapi juga tidak tergesa-gesa. Alat navigasi (GPS) yang saya bawa membantu kami mengukur diri. Kapan harus berhenti, kapan harus berjalan. Ingatan saya pada pendakian 2019 lalu sedikit membantu gambaran seberapa jauh lagi pos berikutnya akan terlihat.

Pos 2 Brakseng (1.914 mdpl) kami gapai persis satu jam berjalan. Suasana begitu tenteram nyaris tanpa polusi suara, kecuali oleh kami sendiri. Satu-satunya penghasil “keributan” di tengah hutan dengan celoteh, umpatan, atau nyanyian sumbang yang menyaingi kicau burung jalak dan kerabat-kerabatnya.

Jika melihat ada hal yang berubah atau berbeda dibanding pendakian saya sebelumnya, itu adalah keberadaan tempat sesaji dari kayu dan “hilangnya” kain kuning yang menyelimuti satu-satunya pohon besar berakar bak cacing di sini. Gubuk atau “brak”-nya masih bertahan dengan atap dan dinding seng. Bentuknya seperti yang ada di Pos 1 Mbah Branti. Hanya saja pos ini lebih luas walau bukan tempat yang pas untuk berkemah.

Target camp kami adalah Pos 3 Cemoro Dowo. Tempat kami bergantung pada sumber airnya untuk memasak, minum, mencuci piring, dan berwudu. Masih ada 685 meter dan elevasi 280 meter vertikal yang harus kami lalui untuk memungkasi sepertiga awal perjalanan hari ini. Dua jarum arloji menunjukkan waktu pukul 15.55. Perkiraan saya, butuh setidaknya 1,5 jam untuk mencapai Cemoro Dowo.

Kondisi jalur belum banyak berubah. Hanya saja lebih banyak tanjakan. Hutan semakin rapat. Tanaman semak, tanah dan batu berlumut menghiasi jalur. Beberapa tempat tampak lembap dan basah saking rapatnya naungan.

Ketika melewati sebuah trek datar yang melipir tepi bukit, kami bisa melihat pemandangan kembali terbuka. Kami rasakan kehangatan sejenak dari pancaran matahari di tengah suhu udara Lawu yang mulai menurun. Cukup untuk mengurangi rasa dingin yang juga timbul dari cucuran keringat.

Tak jauh dari situ, dua pilihan jalur terhampar di depan mata. Kanan menanjak tajam, kiri lebih memutar. Emma, Emma, yang memimpin perjalanan, meminta pendapat.

“Yang mana ini? Kanan atau kiri?”

Bebas, kata saya. Keduanya akan bertemu di satu jalur. Dia pun memilih jalur kanan. Sebuah tanjakan terjal berselimut debu tanpa ada pegangan untuk melangkah.

Langit sore perlahan beralih wajah. Sang rawi pelan-pelan undur diri di balik cakrawala. Meski betis makin panas dan napas memburu, kami harus bergegas karena sebenarnya Pos 3 sudah dekat. Saya memastikan itu berdasar GPS di genggaman tangan. Sampai akhirnya tepat sebelum hari benar-benar menggelap, sekitar pukul 17.25, kami melihat sebuah gubuk di sisi kiri dan pipa sumber air di tengah-tengah jalur. Pertanda sahih bahwa kami telah berada di Pos 3 Cemoro Dowo (2.194 mdpl). 

“Kita bangun tenda dulu, baru ambil air,” pinta saya. Emma dan kawan-kawan pergi agak ke atas, memilih tempat yang datar untuk dua tenda kami. Lokasinya sangat dekat dengan warung dan toilet yang dikelola warga.

Kami berbagi tugas mendirikan tenda, mengambil air, dan menyiapkan bahan masakan untuk makan malam. Sebisa mungkin kami bisa istirahat lebih awal. Mengisi ulang tenaga yang akan kami pacu lebih keras besok pagi. Menu nasi, tumis pakcoy dan sosis, tempe goreng, sertasecangkir kopi sepertinya lebih dari cukup untuk mengantar kami berkelana alam mimpi.

  • Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
  • Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
  • Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)

(Bersambung)


Referensi:

1Purwanto, H., Titasari, C. P., dan Sumerata, I. W. (2017). Candi Kethek: Karakter dan Latar Belakang Agama. Forum Arkeologi Kemendikbud RI, 30 (2). ISSN 0854-3232.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-2/feed/ 0 39749
Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1) https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-1/ https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-1/#respond Wed, 06 Sep 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39739 Mendaki ke Gunung Lawu lewat jalur Cetho bukanlah perjalanan yang sepele. Pengalaman dihajar hujan deras pada 2019 masih membekas di ingatan. Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman Mundur sebentar ke Maret 2019. Ketika pertama kali...

The post Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Mendaki ke Gunung Lawu lewat jalur Cetho bukanlah perjalanan yang sepele. Pengalaman dihajar hujan deras pada 2019 masih membekas di ingatan.

Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman


Mundur sebentar ke Maret 2019. Ketika pertama kali memilih Candi Cetho untuk mendaki ke Gunung Lawu. Jalur ketiga yang saya lalui setelah lintas Cemoro Sewu—Cemoro Kandang pada Oktober 2013. Cetho adalah sebuah dusun tertinggi di Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, sekaligus jalur terpanjang menuju Hargo Dumilah, puncak tertinggi Lawu.

Kala itu hari-hari basah masih mendominasi hingga akhir triwulan pertama, khususnya di sekitar Gunung Lawu. Walau sejatinya tidak sampai menciutkan niat kami, sembilan orang dari lintas daerah, curah hujan tinggi bisa saja meruntuhkan fisik dan mental. Sebuah potensi gejolak alam yang sudah kami sadari. Hampir tak ada ekspektasi sekecil apa pun tentang puncak. Sejauh mana kami mampu melangkah, sejauh itu batas yang kami miliki.

Sampai akhirnya kami benar-benar tunduk pada waktu. Hujan merontokkan tekad sejak di atas Pos 3 Cemoro Dowo sampai Pos 4 Penggik. Air hujan mengalir di jalur yang berubah menjadi sungai. Tanah berlumpur dan licin. Petang kian surut, gerimis belum berhenti. Sementara pikiran, pandangan, hati, dan kaki sudah tidak sejalan. Kami benar-benar payah setelah hampir 10 jam berjalan. Beberapa teman menggigil. Gupakan Menjangan, target berkemah hari itu, tak kunjung kami gapai. Bulak Peperangan yang hanya beberapa puluh meter saja di depan tidak sanggup kami rengkuh. Di sabana terbuka selepas hutan cemara gunung, kami lepas ransel dan memutuskan mendirikan tenda di situ.

Di pikiran kami waktu itu, sudah tergambar tentang rencana keesokan harinya. Yang jelas, target puncak sudah tercoret dari daftar kunjungan. Kami hanya ingin hari esok lekas datang dan pulang dalam keadaan sehat. Dan di pikiran saya, suatu saat harus mengulang kembali perjalanan ke Lawu lewat jalur ini.

Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1)
Jalan terjal ke Dusun Cetho. Kendaraan harus benar-benar prima saat melalui jalan menuju Candi Cetho/Rifqy Faiza Rahman

Pertanda Baik

Empat tahun berselang, saya kembali menyapa dusun di ketinggian 1.384 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut. Kali ini dengan persiapan yang lebih matang. Dari standar dua hari satu malam, saya memutuskan perjalanan remedial ini dengan menambah sehari semalam, dengan dua target titik camp di Pos 3 Cemoro Dowo dan Gupakan Menjangan. Pendakian menjadi lebih santai karena tidak berkejaran dengan waktu.

Empat rekan lain dalam tim belum pernah sama sekali mendaki lewat jalur ini. Sementara pengalaman terjauh saya pada 2019 lalu terdampar di sabana sebelum Bulak Peperangan. Hari itu (26/05/2023) hanya dua rombongan yang mendaki. Selain kami, ada satu grup besar anak-anak remaja di belakang kami dalam jarak yang cukup jauh.

Sebelum berangkat ke Cetho, saya berkomunikasi intensif dengan Mas Danang Eko Priyono. Dia adalah pemilik dan pengelola basecamp Exotisme Lawu dan rental perlengkapan outdoor OAOE di Cetho. Tahun 2019, saya menggunakan jasanya untuk jemput dan antar kami dari Stasiun Solo Balapan ke basecamp dan sebaliknya.

Melalui Whatsapp, saya memesan dan menyewa tiga peralatan, yaitu tenda dome berkapasitas empat orang, sebuah kompor portabel, dan headlamp (lampu kepala). Di rumah, saya hanya punya satu tenda berkapasitas dua orang. Rencananya tenda sewaan tersebut akan saya tempati bersama Aan dan Fadly, kawan dari Jogja. Adapun tenda milik saya akan ditempati Emma—adik ipar saya—dan Evelyne, rekan asal Purbalingga, yang pernah mendaki bareng ke Argopuro 2022 lalu. 

Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1)
Danang sedang mengecek perlengkapan yang kami sewa/Rifqy Faiza Rahman

Danang, sapaan akrabnya, siang itu sibuk sekali. Pemilik dan pengelola basecamp Exotisme Lawu, sebuah tempat istirahat pendaki yang bertempat di rumah keluarganya, sedang menyiapkan sejumlah perlengkapan pendakian. 

“Ada tamu, Mas? Naik sekarang?” saya coba memastikan.

“Besok, Mas, tapi nggak ke Lawu,” jawabnya.

“Loh, ke mana?”

“Sumbing sama Prau, Mas.” Tamunya serombongan dari Malaysia. Katanya, tamu langganan.

Ketika tiba sekitar pukul 10.00, basecamp yang kami singgahi kosong melompong.  Lokasinya dekat sekali dengan gerbang wisata Candi Cetho. Halaman depan bisa memuat parkir dua mobil. Pintu basecamp depan terbuka lebar. Kami masuk dan meletakkan tas di atas tikar-tikar sederhana yang biasa dipakai untuk sekadar duduk atau rebahan. Kami manfaatkan waktu mengemas ulang barang bawaan. Meskipun di dalam, posisi dusun yang sudah cukup tinggi membuat lantai rumah terasa menusuk kulit.

Usai packing, saya menemui Paul di teras basecamp. Seorang pendaki. Seorang pendaki senior dan berpengalaman dari Jakarta. Ia baru selesai mandi setelah turun gunung. Kami sempat mengobrol sebentar. Saya bertanya seputar kondisi jalur dan cuaca terkini padanya.

“Cuaca aman, Pak, di atas?”

Perfect! Pemandangannya bagus,” sahutnya mengacungkan jempol. Kami mengobrol dan berbagi pengalaman di gunung lain. Salah satu gunung yang ia ingin ulang adalah Argopuro. Paul tertarik dengan cerita saya mendaki di kawasan suaka margasatwa Dataran Tinggi Iyang tersebut selama tujuh hari enam malam.

Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1)
Ruang utama basecamp milik Danang/Rifqy Faiza Rahman

Secara keseluruhan, berdasarkan informasi yang saya himpun dari Danang dan Paul, jalur dari Candi Cetho sekilas tidak banyak berubah. Ketersediaan sumber air satu-satunya di Pos 3 Cemoro Dowo juga aman. Cemoro Dowo adalah target camp di hari pertama ini, sekaligus tempat mengisi ulang bekal air untuk pendakian hari kedua. Info lainnya, terdapat warung milik warga dan fasilitas toilet sederhana di Pos 3.

Informasi itu menjadi bekal data berharga bagi kami. Saya makin yakin bahwa program pendakian santai selama tiga hari dua malam adalah rencana yang realistis untuk perjalanan kali ini. Kami tidak perlu ngoyo seperti pengalaman saya dahulu, yang terlalu memaksakan diri tancap gas ke Gupakan Menjangan dalam satu hari. Setiap orang memiliki ketahanan fisik yang berbeda, sehingga perlu jalan tengah untuk menahan ego masing-masing dan perjalanan pun menjadi nyaman.

Persiapan Akhir

Kami sepakat akan memulai pendakian setelah saya, Aan, dan Fadly salat Jumat di masjid dusun. Salat Jumat biasanya dimulai sekitar pukul 12.00 tepat. Saya melihat arloji, masih ada waktu 45 menit untuk menyempatkan makan siang sebentar.

Saat itu belum banyak warung yang buka dan memiliki menu lengkap. Warung yang ada di halaman basecamp Danang pun tidak beroperasi. Si pemilik warung malah menyarankan kami untuk beli makan di warung seberang.. 

Sesuai arahannya, kami bergegas ke warung yang ditunjuk ibu itu. Tidak ada nama khusus yang melekat di warung sederhana itu. Selain menu, salah satu yang mencolok adalah tulisan dari cat “24 jam” di muka dan samping warung. Saya melihat beberapa orang yang sedang makan. Rata-rata pengunjung Candi Cetho, baik yang sekadar berwisata maupun bersembahyang.

Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1)
Warung makan (kanan) di seberang basecamp Danang. Tampak gapura wisata Candi Cetho di ujung jalan menanjak/Rifqy Faiza Rahman

Hanya satu orang yang menjaga warung beratap seng itu. Seorang bapak paruh baya yang memakai jaket. Ia menyilakan kami duduk di ruang kosong dekat dapur dan posisinya lebih rendah dari tempat lesehan di depan. Untuk mengisi tenaga, kami memesan nasi goreng telur dan minuman hangat. Khusus yang laki-laki, kami makan lebih cepat karena harus segera ke masjid. Terdengar azan pertama sudah berkumandang.

Bapak warung memberitahu lokasi masjid. Lewat jendela di samping warung, ia menunjuk ke arah bawah. Sedikit terlihat kubah kecil masjid dengan corong suara di bagian menara. Ketika saya cek di peta, jaraknya sekitar 300 meter dengan kontur jalan kampung menurun. Ini berarti saat kembali ke basecamp kami harus mendaki dengan jarak yang sama. Lumayan buat pemanasan, pikir saya.

Khutbah Jumat cukup singkat dan jemaah yang hadir sekitar 5-6 saf. Yang menarik adalah adanya makanan ringan yang disediakan takmir setelah salat Jumat. Sebuah jajanan pasar yang manis dan saya sampai mengambil dua kali.

Setibanya di basecamp, kami melakukan persiapan akhir. Kami mengecek ulang perlengkapan dan memastikan tidak ada yang tertinggal. Beberapa barang bawaan yang tidak dibawa saya masukkan ke mobil yang terparkir di halaman bawah basecamp. Saya pamit ke Mas Danang di kios rentalnya.

“Mas, kami naik dulu, ya. Titip mobil.”

“Oke, Mas. Hati-hati di jalan.”

Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1)
Memulai langkah pendakian ke Gunung Lawu dari Dusun Cetho/Rifqy Faiza Rahman

Tepat pukul 13.00 kami berjalan meninggalkan basecamp. Rutenya naik sedikit di atas basecamp lalu belok kiri menyusuri gang di bawah Ceto Coffee sampai menemui perempatan kecil. Dari persimpangan itu, kami belok kanan dan menaiki anak tangga hingga ke pos perizinan pendakian. Jaraknya hanya 100 meter atau lima menit jalan kaki.

Kabut dan mega yang sempat menyelimuti Ceto perlahan terkuak. Sinar matahari menembus celah-celah pohon. Sebuah awal yang baik untuk pendakian hari pertama. Selanjutnya tergantung pada langkah kami.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-1/feed/ 0 39739