kasunanan surakarta Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kasunanan-surakarta/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 16 Dec 2024 05:47:00 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kasunanan surakarta Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kasunanan-surakarta/ 32 32 135956295 Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura https://telusuri.id/sepenggal-kisah-penelusuran-jejak-pewaris-takhta-keraton-kartasura/ https://telusuri.id/sepenggal-kisah-penelusuran-jejak-pewaris-takhta-keraton-kartasura/#respond Sun, 15 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44578 Perjalanan saya kali ini berada di Desa Malangjiwan, Kecamatan Colomadu, Karanganyar dan Keraton Kartasura di Dusun Ngadirejo, Sukoharjo. Rasa penasaran memicu saya untuk melacak jejak kediaman Pangeran Puger, pewaris takhta Keraton  Kartasura. Lokasi yang diduga...

The post Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan saya kali ini berada di Desa Malangjiwan, Kecamatan Colomadu, Karanganyar dan Keraton Kartasura di Dusun Ngadirejo, Sukoharjo. Rasa penasaran memicu saya untuk melacak jejak kediaman Pangeran Puger, pewaris takhta Keraton  Kartasura.

Lokasi yang diduga menjadi bekas kediaman berhasil saya temukan. Hanya saja, saat ini telah berubah menjadi dua bukit kecil di tengah hamparan sawah Desa Malangjiwan. Menurut cerita turun-temurun warga sekitar, dua bukit ini disebut Puthuk Pugeran, bekas tempat tinggal Pangeran Puger dari Keraton Kartasura.

Awalnya ragu ketika saya harus melewati pematang sawah untuk mencapai lokasi. Namun, setelah melihat jejak roda motor dan mengikuti arahnya, sampai juga saya di Puthuk Pugeran.

Matahari yang bersinar terik pagi itu tidak mematahkan semangat untuk banyak memotret, termasuk warga penggembala. Mereka tidak banyak tahu sejarah, selain Puthuk Pugeran merupakan tanah milik Keraton Kasunanan Surakarta. 

Saya pun mulanya tidak mengetahui, karena tidak ada reruntuhan yang bisa disaksikan. Hanya ada satu sumur dan altar kecil menghadap ke selatan dan timur di kedua bukit. Sempat berpikir areal tersebut merupakan bekas pemakaman Tionghoa, tetapi rupanya bukan. 

  • Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura
  • Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura

Kehidupan Masa Lampau Pangeran Puger

Kediaman Pangeran Puger di Malangjiwan kini hilang tak bersisa, berbeda dengan singgasananya di Keraton Kartasura. Meski menyisakan reruntuhan tembok benteng, masih beruntung tidak hancur total.  

Pada masa mudanya, Pangeran Puger bernama Raden Mas Darajat. Putra Sunan Amangkurat I dari permaisuri kedua, yakni Ratu Wetan yang berasal dari Kajoran, Pajang, sekaligus cucu Sultan Agung dari Pleret, Bantul. 

Ketika terjadi konflik antara Amangkurat I dan Raden Mas Rahmat—yang kelak bergelar Amangkurat II—Pangeran Puger dinobatkan sebagai putra mahkota bergelar Adipati Anom di Keraton Plered. Raden Mas Rahmat merupakan putra dari permaisuri pertama Amangkurat I, yakni Ratu Kulon, sehingga berstatus saudara tiri Pangeran Puger.

Eskalasi konflik keluarga kian memanas, seiring dengan terjadinya pemberontakan Pangeran Trunajaya dari Madura pada 1677. Jantung Keraton Plered diserang, menyebabkan Amangkurat I melarikan diri ke Banyumas dan meminta Amangkurat II mempertahankan Keraton Plered.

Namun, sialnya Amangkurat II turut melarikan diri menuju Desa Wanakerta, sehingga Pangeran Puger menjadi putra mahkota berdiri di ujung tanduk perlawanan dari Keraton Plered. Kalah perang memaksa Pangeran Puger melarikan diri ke Desa Jenar, lalu mendirikan istana kecil bernama Keraton Purwakanda dengan Sunan Ngalaga.

Pangeran Puger tidak tinggal diam. Ia sempat hendak mengambil alih kembali Keraton Plered yang telah diduduki Pangeran Trunajaya setelah menumpas sisa-sisa prajurit Trunajaya. Namun, usahanya sia-sia karena Keraton Plered sudah rusak cukup parah. 

Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura
Sudut sisi timur tembok benteng Keraton Mataram Kartasura/Ibnu Rustamadji

Raja Tanpa Istana dan Konflik Keluarga Tiada Henti

Selama pelarian, Amangkurat II adalah raja tanpa istana. Ia lantas mendirikan padepokan di tempat yang kini disebut Keraton Mataram Kartasura, hingga mencapai puncak kejayaan tahun 1680. Padepokan diubah menjadi Keraton Kartasura oleh Amangkurat II, menggantikan Keraton Plered hingga wafat tahun 1702.

Tidak lama kemudian, takhta kerajaan diwariskan ke putra Amangkurat II, Raden Mas Sutikna (Amangkurat III). Ia lantas meminta bantuan pemerintah Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perusahaan VOC) di Jakarta untuk membantunya memimpin Keraton Mataram Kartasura. Pada Februari 1686, kedua pihak meneken perjanjian, yang salah satu poinnya membantu menangkap buronan Untung Suropati di Kartasura. Melalui perjanjian inilah konflik keluarga kian meruncing. 

Sejatinya, Amangkurat II sebelum wafat sempat berwasiat dan menunjuk Amangkurat III sebagai raja, agar menjalin hubungan baik dan kembali bersatu dengan Pangeran Puger. Salah satu upayanya adalah menikahkan Amangkurat III dengan Raden Ayu Lembah, putri Pangeran Puger.

Akan tetapi, apa yang diharapkan tinggallah kenangan. Selama kepemimpinan Amangkurat III, kekisruhan semakin menjadi lantaran tabiat yang tidak baik darinya. Perebutan takhta atas hak sebagai raja antara Pangeran Puger dan Amangkurat III pun tak terelakkan.

Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura
Bagian dalam reruntuhan Keraton Mataram Kartasura di sisi barat laut/Ibnu Rustamadji

Pangeran Puger, putra sah Amangkurat I sebagai calon penerus takhta kerajaan, lantas menempati kediaman yang kini bernama Puthuk Pugeran. Tujuannya untuk mempermudah pengawasan Keraton Kartasura

Sebelum akhirnya naik takhta, Pangeran Puger sempat diadu domba dan menjadi tahanan rumah selama setahun atas perintah Amangkurat III. Sebab, Pangeran Puger menuduh Amangkurat III atas dugaan persekongkolan perebutan takhta dan intrik keluarga. Amangkurat III beranggapan jika tuduhan tersebut sengaja diembuskan untuk menjatuhkan takhta. 

Padahal, faktanya intrik keluarga Amangkurat III yang terjadi adalah hubungan asmara terlarang antara Raden Ayu Lembah—istrinya—dengan Raden Sukra, putra pejabat pemerintah Semarang. Raden Sukra akhirnya dieksekusi di Keraton Kartasura dengan dipenjara di kandang macan hingga wafat. 

Tak lama kemudian, Amangkurat III bersama istrinya menemui Pangeran Puger, lalu memerintahkannya mengeksekusi sang istri dengan hukuman lawe atau gantung. Kekejaman sang keponakan membuat Raden Suryokusumo, putra Pangeran Puger, marah besar dan ingin membalaskan dendam keluarga. 

Konflik kian memanas, Amangkurat III memerintahkan keluarga Pangeran Puger diburu dan dieksekusi mati. Untungnya seluruh keluarga Pangeran Puger tidak ada yang tertangkap dan dieksekusi. Hanya Pangeran Puger yang menjalani tahanan rumah selama setahun.

  • Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura
  • Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura
  • Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura

Setahun kemudian, Pangeran Puger akhirnya dibebaskan oleh Amangkurat III atas bujukan Patih Sumabrata. Pangeran Puger tidak tinggal diam. Ia segera berangkat ke Semarang untuk mengunjungi petinggi pemerintah Hindia Timur di sana. Ia kemudian menghimpun prajurit untuk membantunya mengambil alih takhta raja Keraton Kartasura.

Mendengar informasi adanya upaya kudeta dari Pangeran Puger, Amangkurat III memerintahkan prajurit mencari dan mengeksekusi Pangeran Puger. Usahanya sia-sia, karena Raden Jangrana II, selaku Bupati Surabaya yang memimpin pengejaran, berbalik mendukung Pangeran Puger. 

Amangkurat III pun semakin terpojok. Raden Rangga Yudanagara dari Semarang menjadi mediator perdamaian konflik antara pemerintah Hindia Timur, Amangkurat III, dan Pangeran Puger mengenai kematian Francois Tack, perlawanan Trunajaya, dan pengejaran Untung Suropati. Tanda tangan kesepahaman diteken pada tanggal 6 Juni 1704. Sebagai imbalan, Pangeran Puger  diangkat sebagai Raja Mataram bergelar Sunan Pakubuwanan Senapati ing Ngalaga Abdurahman Saayyidin Panatagama Khalifatullah I.

Pangeran Puger lantas merangsek masuk Keraton Kartasura didukung prajurit gabungan Belanda, Semarang, Madura, dan Surabaya. Tujuannya mengambil alih takhta dari Amangkurat III. Perlawanan Amangkurat III dibantu dengan pimpinan Arya Mataram, adik Pangeran Puger. Pecahlah perang suksesi Jawa pertama itu.

Arya Mataram mengalami kekalahan. Ia lantas membujuk Amangkurat III pergi dari Keraton Kartasura. Arya Mataram kemudian berbalik mendukung sang kakak, yakni Pangeran Puger. Puncaknya terjadi pada tahun 1705, ditandai dengan runtuhnya pertahanan Amangkurat III menghalau serangan Pangeran Puger dan pemerintah Hindia Timur di Ungaran.

Amangkurat III dan keluarga melarikan diri ke Ponorogo. Di sana ia membuat keonaran dengan mengeksekusi Adipati Martowongso, sang bupati Ponorogo. Demi menjaga keselamatan, mereka melarikan diri menuju Kediri dan meminta bantuan Untung Surapati melawan pasukan gabungan Pangeran Puger, yang akhirnya menewaskan Untung Surapati.

Amangkurat III akhirnya menyerah dalam pelarian kepada pemerintah Hindia Timur dan Pangeran Puger. Tahun 1708 menjadi akhir pelariannya. Tidak lama setelah menyerah, ia menghabiskan masa tua di pengasingan di Sri Lanka hingga wafat tahun 1734.

  • Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura
  • Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura

Keraton Mataram Kartasura, Riwayatmu Kini

Keraton Kartasura akhirnya dipimpin Pangeran Puger atau Pakubuwana I, tetapi sistem pemerintahan sepenuhnya dikendalikan Belanda. Pangeran Puger dan keluarga sepenuhya tinggal di Keraton Kartasura. Phutuk Pugeran, seiring waktu tidak lagi ditempati, hanya ada beberapa pengikutnya saja. 

Tidak diketahui secara pasti, kapan tempat tinggal tersebut hilang meninggalkan gundukan bukit. Ada dugaan seiring Boyong Kedhaton atau perpindahan Keraton Mataram Kartasura menuju Desa Sala, tempat Keraton Kasunanan Surakarta saat ini. Jejak Keraton Kartasura yang masih bisa disaksikan sekarang adalah bagian tembok keraton. Hanya saja, bagian dalam sudah beralih fungsi menjadi pemakaman Islam.

Sangat disayangkan memang, tetapi faktanya demikian. Keraton Kartasura saat ini tak ubahnya perkampungan. Kompleks kedaton di sisi timur dan barat, lalu sisi utara keraton hingga Jalan Slamet Riyadi Kartasura merupakan alun-alun utara, sedangkan sisi sebaliknya dari keraton merupakan alun-alun selatan.

Saat ini kedua alun-alun sudah tidak tampak, berganti menjadi hunian warga. Semoga saja, keberadaan sisa-sisa Keraton Mataram Kartasura tetap lestari sebagai pengingat sejarah perang suksesi Jawa di masa depan. 

Tidak lupa, sebelum beranjak dari Kartasura, saya menyempatkan diri berdoa dan menyambangi beberapa sudut keraton yang masih tersisa. Di masa kini bangunan tersebut sudah tidak mewah lagi, tetapi sangat mewah di masa kejayaannya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sepenggal-kisah-penelusuran-jejak-pewaris-takhta-keraton-kartasura/feed/ 0 44578
Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta https://telusuri.id/menjelajah-kampung-lawas-kemlayan-di-jantung-kota-surakarta/ https://telusuri.id/menjelajah-kampung-lawas-kemlayan-di-jantung-kota-surakarta/#respond Mon, 07 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42802 Ingin menikmati senja di Kota Surakarta, cocoknya dengan menyigi kehidupan warga Kampung Kemlayan, Kecamatan Serengan. Tepatnya di seberang selatan Pura Mangkunegaran. Kampung Kemlayan layaknya kampung-kampung di sekitarnya. Hilir mudik warga silih berganti, berdampingan dengan pejalan...

The post Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Ingin menikmati senja di Kota Surakarta, cocoknya dengan menyigi kehidupan warga Kampung Kemlayan, Kecamatan Serengan. Tepatnya di seberang selatan Pura Mangkunegaran. Kampung Kemlayan layaknya kampung-kampung di sekitarnya. Hilir mudik warga silih berganti, berdampingan dengan pejalan kaki.

Keramaian di Kampung Kemlayan setia menemani perjalanan saya tempo hari. Akan tetapi, jika menelusuri gang-gang sempit di balik padatnya pertokoan Kemlayan, bakal menemukan harta karun yang menarik untuk ditelusuri.

Gang sempit tepat di depan Matahari Singosaren menjadi titik awal perjalanan saya. Gang dengan tembok setinggi dua meter itu menjadi pemandangan lumrah untuk warga Kampung Kemlayan. Bagi mereka, kediaman di balik tembok tersebut milik priyayi keraton dan tidak mudah disambangi.

Latar belakang para pemilik rumah di Kampung Kemlayan, selain priyayi keraton ada juga arsitek keraton, seniman musik, saudagar batik, pedagang Arab dan Tionghoa. Mereka hidup berbaur. Saat ini, mayoritas warga yang tinggal Kemlayan bekerja sebagai seniman tari dan musik gamelan khas Keraton Kasunanan Surakarta.

Tak heran Kampung Kemlayan mendapat julukan “Kampung Seniman”. Ada empat maestro kondang yang dilahirkan dari Kampung Kemlayan, yakni Sardono W. Kusumo, Mlaya Widada, S. Ngaliman, dan pencipta langgam keroncong Bengawan Solo, Gesang. 

Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta
Mural di kawasan Kampung Kemlayan/Ibnu Rustamadji

Kampung Lawas di Jantung Kota

Kampung Kemlayan identik dengan gang sempit. Di tengah asik mengabadikan mural di ujung gang kampung, tampak pria paruh baya dari kejauhan bersantai di dalam lorong estetis ini. Saya segera mengabadikan setiap momen dengan kamera.

Tepat di pertigaan gang, mata saya tertuju pada pintu regol kayu berwarna hijau terang. Saya mengetuk seraya membatin, “Kulonuwun saja, siapa tahu [ini] rumah lawas dan boleh dikunjungi.”

Dugaan saya benar. Ada sebuah rumah lawas bergaya Joglo tepat di belakang pertokoan. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saya diperkenankan masuk seraya memotret detail pendapa hingga ndalem ageng. Ndalem Prodjoloekitan atau Ndalem Kemlayan, begitu sebutannya.

Mengacu pada penuturan keluarga, Ndalem Prodjoloekitan didirikan sekitar tahun 1840 oleh Raden Ngabehi (R.Ng) Prodjoloekito. Beliau merupakan pensiunan pejabat panewu (wedana) Bupati Anom sekaligus arsitek Keraton Kasunanan Surakarta.

  • Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta
  • Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta

Tak heran jika di beberapa sudut Ndalem Prodjoloekitan, meski bergaya Joglo Jawa, terdapat aksen budaya Eropa, seperti patung prajurit yang dipajang di pendapa. Pada bagian ventilasi pintu tengah berhias inskripsi sengkalan angka 1911, merujuk waktu renovasi Ndalem Prodjoloekitan.

Inskripsi sengkalan lain berbunyi Sesanti Karaharjanipun para Tamu ingkang Rawuh. Artinya, “Kehormatan kepada para Tamu yang Datang”. Inskripsi lain berbunyi Jalma Sutji Ngesti Ratu. Selain itu juga terdapat relief dua ekor bangau mengapit vas bunga, yang bermakna kesuburan memberikan kemakmuran.

Relief lainnya adalah penggambaran tokoh wayang menunggangi gajah, yang artinya menandakan kewibawaan dan kekuatan. Kemudian relief terakhir menggambarkan mahkota raja dan ratu dengan sengkalan angka 1638. Ndalem ageng layaknya keraton kecil, dengan krobongan tepat di bagian tengah dan diapit dua kamar tidur.

Sungguh luar biasa Ndalem Prodjoloekitan. Meski tertutup dari dunia luar, aura kemewahan begitu terpancar bagi siapa pun yang berkunjung. Puas menyambangi dan mendokumentasikan Ndalem Kemlayan, langkah kaki terjerumus ke sanggar tari milik maestro tari Indonesia kelahiran Surakarta, Sardono W. Kusumo.

Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta
Gang kecil menuju sanggar tari milik Sardono W. Kusumo di Kampung Kemlayan/Ibnu Rustamadji

Sanggar milik Sardono ini sejatinya merupakan kediaman salah satu selir Gusti Mangkunegara VII. Namun, saat ini bangunan tidak utuh lagi, karena semua kayu jati telah diboyong menuju kediaman sang maestro di Jakarta. Hanya waktu-waktu tertentu saja digunakan latihan menari oleh Sanggar Suryo Sumirat Mangkunegaran.

Saat saya bertandang, tidak ada aktivitas latihan menari di sanggar. Hanya tampak beberapa sesepuh berkunjung. 

Rumah Indis Saudagar Batik

Saya melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju Kampung Coyudan. Di gang dekat sisi belakang sanggar, tiba-tiba muncul seorang ibu. Ia memberitahukan adanya bangunan kuno megah yang menjadi incaran saya. Beliau lantas menunjukan jalan yang harus saya lalui, untuk menuju tempat tujuan saya berikutnya.

“Lurus ikuti jalan ini saja, tapi jangan sampai keluar gang. Rumahnya di utara jalan, tembok tinggi, pintu gerbang besi warna biru. Kalau lurus terus masuk Coyudan,” jelasnya mengarahkan. 

Berbekal nekat dan penasaran, saya berkesempatan melihat lebih dekat lagi rumah kuno yang lain di Kampung Kemlayan. Hanya saja, rumah yang ini bergaya Indische Empire, lengkap dengan pilar besi dan tegel motif yang berbeda dari rumah bergaya joglo sebelumnya.

Gaya Indische Empires sejatinya merupakan perpaduan gaya arsitektur Jawa dan Belanda. Mayoritas pemilik rumah seperti ini adalah saudagar dan pejabat pemerintah. Rumah indis tersebut diketahui dibangun sekitar tahun 1830 oleh keluarga Abdul Fattah, seorang saudagar batik di Kemlayan. 

“Rumah ini ketika masih ditempati keluarga, pabrik batiknya dibangun di Laweyan. Saat ini keluarga ada di Jakarta semua, rumah ini hanya dijadikan tempat transit jika bertandang ke Surakarta,” ujar bapak penjaga.

Rumah indis itu satu-satunya rumah elite di Kemlayan yang terawat baik. Pintu berukuran besar dengan besi ukiran di ventilasi masih terjaga keasliannya. Begitu juga dengan orisinalitas tegel antik motif garis biru-merah dan tegel warna kuning-hijau di bagian tengahnya. 

Kondisi rumah indis tetap dipertahankan seperti sediakala. Sesekali hanya dilakukan sedikit perbaikan karena umurnya yang sudah tua. Sudah sepatutnya untuk merawat bangunan kuno—termasuk cagar budaya—semampunya. Puas mengabadikan kediaman Abdul Fattah, saya lanjutkan menyigi rumah kuno lain di sebelah barat daya Matahari Singosaren.

Ndalem Pangeran Singosari, begitu penyebutannya. Pangeran Singosari, sang pemilik rumah, diketahui merupakan menantu Sunan Pakubuwana IX. Raja Keraton Kasunanan yang notabene juga masih keturunan kerabat Praja Mangkunegaran.

Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta
Kondisi bagian dalam Ndalem Singosari, terlihat foto potret Pangeran Singosari di dalam pigura/Ibnu Rustamadji

Saat ini aura kemewahan Ndalem Pangeran Singosari mulai sirna, seiring berputarnya waktu. Pagar tembok keliling yang dahulunya megah, kini berubah menjadi bangunan permanen warga lain. Menyisakan satu rumah saja milik keluarga Pangeran Singosari dari Praja Mangkunegaran, yakni Raden Mas Tumenggung (R.M.T.) Haroeng Binang.

Secara konstruksi, bangunan Ndalem Pangeran Singosari bergaya joglo. Namun, karena kondisi yang kurang terawat, tidak tampak layaknya rumah. Hanya waktu yang bisa menjawab, sampai kapan kediaman ini dapat bertahan.

Kunjungan Pamungkas di Rumah Maestro Keroncong

Perjalanan berlanjut menuju kediaman maestro langgam keroncong, Gesang Martohartono, di Jalan Bedoyo 5 Kemlayan. Jejeran piagam penghargaan, dan foto diri Gesang terpajang rapi di setiap sudut ruangan. Ada satu pajangan yang menarik bagi saya, yakni tulisan mandarin berbahasa Jepang.

Ternyata, tulisan tersebut adalah gubahan lirik lagu langgam keroncong berjudul Bengawan Solo dalam bahasa Jepang. Selain bahasa Jepang, lagu tersebut sudah dialihbahasakan dalam 13 bahasa. Semuanya laku di pasaran dunia, berkat kepiawaian dan keuletan sang maestro.

Pasca Gesang wafat 2010 lalu, banyak seniman musik dan mahasiswa seni berkunjung untuk berlatih keroncong bersama dengan salah satu keponakan Gesang. Keluarga tidak keberatan akan hal tersebut. Mereka justru berharap semangat menggelorakan kembali lagu keroncong di Indonesia dan mancanegara semakin kuat.

Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta
Piagam Gesang/Ibnu Rustamadji

Langgam keroncong bukanlah lagu yang ketinggalan zaman, melainkan lagu lawas yang masih tetap relevan dengan keadaan saat ini. Menikmati langgam keroncong sama dengan mempelajari akar rumput, tempat di mana musik itu diciptakan. Salah satunya di Kampung Lawas Kemlayan, Surakarta.

Bagi saya, yang setiap hari berkutat dengan kampung lawas, Kemlayan sudah selayaknya dibangkitkan kembali ruh keseniannya. Meski para maestro sudah tidak kuasa untuk menggelar pertunjukan, setidaknya kampung kelahiran merekalah yang menjadi penggantinya.

Berkesenian memang tidaklah mudah. Salah satu cara sederhana yang mungkin bisa dilakukan adalah menyambangi tempat seni tersebut dilahirkan. Berjalan menelusuri kampung lawas, tidak selamanya berkonotasi kurang pergaulan layaknya hidup di kota. 

Ada kota, tetapi tidak ada kampungnya, tentu akan mati. Sebaliknya, ada kampung, tetapi tidak ada kota, akan tetap hidup. Jantung ekonomi suatu kota berawal dari kampung lawas yang menjamur di sekitarnya. Jika tidak ada kampung, maka kota akan kesulitan menghadapi gempuran zaman. Selain menyajikan kepolosan warganya, kampung lawas juga menyimpan harta terpendam—yang sama sekali tidak dimiliki kota—yang menunggu untuk dijelajahi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjelajah-kampung-lawas-kemlayan-di-jantung-kota-surakarta/feed/ 0 42802
Melacak Jejak Pesanggrahan Lawas Peninggalan Kasunanan Surakarta https://telusuri.id/melacak-jejak-pesanggrahan-lawas-peninggalan-kasunanan-surakarta/ https://telusuri.id/melacak-jejak-pesanggrahan-lawas-peninggalan-kasunanan-surakarta/#respond Tue, 23 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42385 Langkah kaki menuntun saya ke Kabupaten Boyolali dan Sukoharjo. Saya menyambangi dua pesanggrahan milik Kasunanan Surakarta (Solo), yaitu Pesanggrahan Pracimoharjo di Desa Paras, Cepogo, Boyolali; dan Pesanggrahan Langenharjo di Desa Langenharjo, Grogol, Sukoharjo. Pesanggrahan merupakan...

The post Melacak Jejak Pesanggrahan Lawas Peninggalan Kasunanan Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Langkah kaki menuntun saya ke Kabupaten Boyolali dan Sukoharjo. Saya menyambangi dua pesanggrahan milik Kasunanan Surakarta (Solo), yaitu Pesanggrahan Pracimoharjo di Desa Paras, Cepogo, Boyolali; dan Pesanggrahan Langenharjo di Desa Langenharjo, Grogol, Sukoharjo.

Pesanggrahan merupakan rumah singgah bagi keluarga raja setelah selesai anjangsana ke luar wilayah kerajaan. Boyolali dan Sukoharjo saat ini masuk wilayah bekas Karesidenan Surakarta (Solo). Kala itu, kedua kabupaten dipimpin bupati yang dibantu wedana, tetapi di bawah pengawasan sunan dan residen Eropa di Kota Solo.

Sebagai wilayah kerajaan, lazim didirikan rumah singgah untuk menjadi sekadar tempat istirahat dan sembahyang raja, atau menjamu tamu Eropa di luar keraton. Pesanggrahan Pracimoharjo dan Langenharjo memiliki fungsi dan gaya bangunan yang sama, tetapi berbeda kondisi. Letak kedua pesanggrahan tersebut cukup berjauhan. Keduanya memiliki gaya sama, yakni layaknya keraton dengan pendapa dan ndalem ageng, tetapi berskala kecil.

Kira-kira diperlukan waktu 45 menit untuk berkendara dari Boyolali ke Sukoharjo. Setibanya di kedua pesanggrahan, saya tidak terkejut dengan perbedaan kondisinya yang sangat kontras. Sangat disayangkan. Namun, di balik itu tentu ada cerita yang selama ini terpendam rapi dan menunggu untuk ditelusuri lebih dalam. Penelusuran saya kali ini ditemani Heri Priyatmoko.

Melacak Jejak Pesanggrahan Lawas Peninggalan Kasunanan Surakarta
Tampak depan Pesanggrahan Pracimoharjo/Ibnu Rustamadji

Pesanggrahan Pracimoharjo, Cita Rasa Eropa di Lereng Merapi

Tujuan pertama saya adalah Pesanggrahan Pracimoharjo di Paras Cepogo. Ekspektasi saya, setelah menyaksikan kemegahan gapura masuk, bangunan utama pendapa pesanggrahan bakal masih tampak utuh dan berwibawa. Namun, ternyata tidak.

Saat ini hanya tersisa reruntuhan tembok benteng dan gapura, fountain depan dan belakang, kolam air dangkal, loji utara dan ruang sembahyang raja di ndalem ageng. Akan tetapi, patut disyukuri saat ini pendapa sudah selesai dibangun meski hanya replika dengan bahan kayu baru.

“Ini [pesanggrahan] termasuk mewah di zamannya karena dilengkapi regol kayu di tiga penjuru, gapura gaya Romawi, dan dikelilingi tembok setinggi dua meter,” ungkap Heri.

Pesanggrahan Pracimoharjo didirikan sekitar tahun 1804 oleh Sunan Pakubuwana VI. Fungsinya sebagai rumah tetirah setelah anjangsana ke wilayah barat Solo dan keraton kecil di luar keraton kasunanan. Kondisi pesanggrahan kala itu masih sederhana hingga tahun 1894.

Puncaknya ketika Sunan Pakubuwana X naik tahta pada 1894, pesanggrahan direnovasi dan disempurnakan. Sebagai keraton kecil, pesanggrahan dilengkapi fasilitas mewah dan hiasan bergaya Eropa. Satu patung gaya Eropa masih terdapat di sana walau bentuknya sudah tidak utuh.

Seiring berjalannya waktu, pesanggrahan pun digunakan untuk menjamu tamu Eropa yang tengah anjangsana ke wilayah Solo. Dua jamuan yang terkenal antara lain kedatangan Gubernur Jenderal Jhr. A. C. D. de Graeff pada 1935 dan Raja Siam dari Thailand beserta keempat putrinya tahun 1937.

Kedatangan Jhr. A. C. D de Graeff didampingi sang istri, setelah sebelumnya diterima Sunan Pakubuwana X dan istri di keraton kasunanan. Mereka lantas beranjak menuju Pesanggrahan Pracimoharjo untuk menyaksikan gelaran rampogan matjan di alun-alun pesanggrahan, lalu menikmati alam pegunungan Merapi-Merbabu. Tidak ada catatan mengenai apa yang kedua pemimpin itu bicarakan. Entah murni pertemuan persahabatan atau politik, tidak diketahui pasti. Heri pun menyatakan hal yang senada.

Adapun maksud kedatangan Raja Siam adalah menghadiri undangan Sunan Pakubuwana X untuk menikmati jamuan di Pesanggrahan Pracimoharjo. Kunjungan keluarga Raja Siam disambut rampogan matjan, tari Srimpi, tari Wireng, dan ditutup jamuan rijstaffel. Beberapa pejabat pemerintah turut hadir, di antaranya G. A. Burgerhout (asisten residen Solo), Ernest Dezentje (anak J. A. Dezentje, tuan tanah Boyolali), dan keluarga Rademaker.

Sore harinya, rombongan tersebut kembali ke Solo untuk beranjangsana ke Pura Mangkunegaran. Setibanya di sana, mereka disambut pementasan wayang kulit dan rijsttafel dari Pangeran Hadiwijaya. Malam harinya mereka tinggal di Pesanggrahan Pracimoharjo selama semalam.

Ada yang menarik di balik perjalanan tersebut. Heri menceritakan, “Paginya, setelah puas anjangsana di Pesanggrahan Pracimoharjo dan Pura Mangkunegaran, Raja Siam anjangsana ke Bandung. Tetapi putri-putrinya memilih melanjutkan perjalan ke Sarangan (saat itu masuk Karanganyar) dan berakhir di Bali,” ungkapnya.

Pesanggrahan Pracimoharjo. dengan kisahnya yang luar biasa, tetap saja kalah dengan keadaan.  Kondisi saat ini disebabkan karena peristiwa bumi hangus tahun 1942. Bumi hangus berarti bukan sekadar dibakar, melainkan dirusak sampai tak berbentuk. Tujuannya agar pesanggrahan tidak jatuh di tangan musuh.

Pascaskemerdekaan, kondisi Pesanggrahan Pracimoharjo tidak terurus selama puluhan tahun. Pesanggrahan ini hanya digunakan untuk upacara hari tertentu, seperti malam 1 Suro dan Maulid Nabi.

Pesanggrahan Langenharjo, Eksistensi Keraton Kecil di Tepi Bengawan Solo

Puas melihat Pesanggrahan Pracimoharjo, kami bergeser ke Pesanggrahan Langenharjo. Setibanya di sana, perasaan saya campur aduk antara senang dan sedih setelah melihat kondisinya, meskipun masih jauh lebih baik daripada Pesanggrahan Pracimoharjo.

Posisinya yang tepat menghadap aliran Sungai Bengawan Solo, menjadikan Pesanggrahan Langenharjo juga digunakan sebagai sarana tirakat raja. Pesanggrahan ini didirikan semasa kepemimpinan Sunan Pakubuwana IX dan selesai pada 15 Juli 1931 di bawah kepemimpinan Sunan Pakubuwana X.

Menurut serat Jitna Hiswara beraksara Jawa yang Heri miliki, didapatlah cerita mengenai Sunan Pakubuwana IX. Diceritakan bahwa ia sering berkunjung ke Pesanggrahan Langenharjo untuk kungkum atau berendam di tepi sungai Bengawan Solo untuk berdiam diri. 

Tidak salah dan lazim terjadi. Bukan artian meminta, melainkan menyeimbangkan energi diri dengan alam. Aliran sungai yang sering kali bisa berubah tiba-tiba, tidak menjadi halangan bagi sunan untuk menenangkan batin. Heri menambahkan, selain untuk rumah tetirah juga kerap digunakan untuk menggelar pesta keluarga.  

Pesanggrahan Langenharjo juga merupakan tempat pertama terciptanya beschaafd Langenharjan atau beskap Langenharjan oleh Kanjeng Gusti Mangkunegara IV, ketika beliau menghadap raja di pesanggrahan. Beskap tersebut tercipta dari perpaduan jas Barat dengan jas Mangkunegaran.

Beskap Langenharjan digunakan hanya hari-hari tertentu oleh keluarga raja Pura Mangkunegaran, sebagai simbol perpaduan dua budaya negara yang berbeda. Pemakai beskap Langenharjan pun harus memahami filosofi kehidupan, ajaran, dan arti penting yang terkandung dalam satu beskap. Makna tersebut rumit untuk bisa segera dipahami, karena harus mampu menyeimbangkan alam pikiran dan perilaku.

Penggunaan jarit (jarik) pun tidak sembarangan, yakni sebagai upaya menahan diri agar tidak iri dan gegabah mengambil sebuah keputusan ke depannya. Keluarga raja yang menggunakan beskap Langenharjan dengan jarik, diharapkan mampu menjaga harkat martabatnya sebagai manusia. Memanusiakan manusia dan manunggaling kawula Gusti. Tatkala pesta selesai, pesanggrahan kembali digunakan tetirah para permaisuri untuk sekadar memerintahkan juru nembang menghibur mereka. 

Melacak Jejak Pesanggrahan Lawas Peninggalan Kasunanan Surakarta
Menara lantai dua Pesanggrahan Langenharjo/Ibnu Rustamadji

“Sejatinya apa keistimewaan pesanggrahan, selain lokasinya di tepi Bengawan, Mas?“ tanyaku penasaran.

Ternyata, bagian belakang pesanggrahan terdapat kolam sumber mata air panas.  Tidak lazim, tetapi faktanya demikian. Jika ditinjau dari kondisi geografis, sangat tidak mungkin terdapat aliran uap air panas, karena dekat Bengawan Solo. Jarak dengan pegunungan juga cukup jauh.

Namun, kolam itu ada dan masih berfungsi hingga sekarang. Hanya saja, setiap sore selalu dipenuhi warga yang memanfaatkan kolam untuk sekadar bercengkerama di sekitarnya. Fakta adanya kolam sumber air panas didukung dengan keberadaan kamar mandi keluarga raja yang digunakan setelah berendam. 

“Tahu menara sangga buwana Kori Kamandungan, kan? Di sini juga ada, tetapi lebih kecil,” ucapnya.

Menara yang dimaksud Heri, sejatinya ruang nyepi, ruang santai sekaligus tempat sembahyang sunan. Bukan seperti yang didengungkan liar, jika menara sangga buwana merupakan tempat bertemunya Sunan Pakubuwana X dan Ratu Pantai Selatan—yang sejatinya mitos semata. Raja tentu ingin menyaksikan lingkungannya tanpa harus keluar regol kori Kamandungan Lor/Kidul, menggunakan menara sangga buwana. 

Sama juga fungsi dari ruang menara di bagian belakang ndalem ageng Pesanggrahan Langenharjo. Tidak banyak rumah tetirah milik priyayi Jawa atau elit Belanda yang memiliki menara. Selain sebagai privasi, nilai estetis juga sangat diperhatikan.

Melacak Jejak Pesanggrahan Lawas Peninggalan Kasunanan Surakarta
Ruang utama di ndalem ageng pesanggrahan/Ibnu Rustamadji

Renungan di Pinggiran Sungai

Puas menikmati setiap sudut Pesanggrahan Langenharjo, langkah kaki kami beranjak menuju aliran sungai tepat di depan pesanggrahan. Ketika kami tiba di atas tanggul, baru saya sadari jika letak pesanggrahan jauh lebih rendah dari aliran sungai.

“Bukan pesanggrahan yang turun atau dibangun lebih rendah, tapi kali Bengawan yang mengalami pendangkalan dan tanggul tepi dibuat semakin tinggi,” jelasnya. 

Uniknya, warga yang ingin berkunjung ke pesanggrahan dari seberang sungai harus menggunakan perahu berjuluk jung dan bersandar di pelabuhan Langenharjo. Hanya saja, sekarang pelabuhan sudah tidak ada imbas peningkatan sedimentasi dasar sungai. Saat ini, jika ingin mengakses pesanggrahan harus melalui gerbang utara. Sampai di halaman depan, tampak pendapa menghadap tanggul sungai. Tanggul itulah lokasi gerbang awal pesanggrahan berada.

Langit senja mulai menggelayuti, kami pun memutuskan untuk menikmati wedangan lesehan. Sekadar melepas lelah setelah penelusuran dua pesanggrahan. Besar harapan kami, keberadaan Pesanggrahan Pracimoharjo dan Pesanggrahan Langenharjo dapat bertahan hingga tahun-tahun mendatang.

Perbaikan bangunan yang rusak, sejatinya bisa diselesaikan dengan sinergi pihak-pihak terkait. Kalaupun tingkat kerusakan cukup berat, alangkah baiknya dilakukan penyimpanan dan reproduksi sesuai aslinya. Hal ini dilakukan tidak lain untuk modal belajar anak muda seperti kami yang haus akan keindahan masa lalu.

Kalau peninggalan dihancurkan, anak cucu kita akan melihat apa? Apakah cukup dengan “katanya orang dulu” yang sangat diragukan kebenarannya? Hanya waktu dan kita yang bisa menjawab.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melacak Jejak Pesanggrahan Lawas Peninggalan Kasunanan Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melacak-jejak-pesanggrahan-lawas-peninggalan-kasunanan-surakarta/feed/ 0 42385