kayutangan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kayutangan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 01 Mar 2024 12:25:47 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kayutangan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kayutangan/ 32 32 135956295 Kayutangan: Rekonstruksi Sukma Mama di Kedai Jengki Sebastien (2) https://telusuri.id/kayutangan-rekonstruksi-sukma-mama-di-kedai-jengki-sebastien-2/ https://telusuri.id/kayutangan-rekonstruksi-sukma-mama-di-kedai-jengki-sebastien-2/#respond Thu, 25 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41024 Satu minggu sebelum Hari Orang Utan Sedunia, saya dan sahabat saya mengikuti walking tour di area Kayutangan Malang. Sejak saat itu saya tidak bisa melupakan nyala orkes dari pelantang tua yang digendong pengemis jalanan. Regu...

The post Kayutangan: Rekonstruksi Sukma Mama di Kedai Jengki Sebastien (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Satu minggu sebelum Hari Orang Utan Sedunia, saya dan sahabat saya mengikuti walking tour di area Kayutangan Malang. Sejak saat itu saya tidak bisa melupakan nyala orkes dari pelantang tua yang digendong pengemis jalanan. Regu musisi entah apa dan siapa mendendangkan rentetan simfoni yang asing di telinga, berpadu dengan gebuk penjual nasi goreng dan tabuhan penjual jasuke—kudapan jagung susu keju. Kesan Kayutangan begitu kuat sehingga tidak mungkin tempat ini jadi endapan dalam ingatan jangka pendek. 

Ini adalah kali kedua saya mengunjungi Kayutangan bermodal nekat, tetapi tidak sendirian. Tentu saja, seperti Roronoa Zoro saya buta arah juga linglung tak tertolong menghadapi rute. Jadi, Nami atau Robin harus ada bersama saya. Sayang, saya hanya punya satu sahabat, Rifana, bukan Robin atau Nami. Dia berwatak Sanji. Alhasil, kami tersesat di enam titik berbeda dan bertengkar hebat bak Subali dan Sugriwa. Setelah berhasil melintasi lorong sungai yang tak asing, kami akhirnya tiba di Kedai Sebastien.

Sebelumnya kami mengunjungi Kedai Sebastien melalui arahan dan rute walking tour Pak Akbar dari Malang Walk Heritage. Kami datang lagi kemudian karena Minse (Admin media sosial Kedai Sebastien) menjanjikan saya kidung rahasia di balik pembangunan Kedai Sebastien—ini termasuk kisah babad Rumah Jengki. Ditambah akan ada dua awicarita yang bakal hadir menemani kami, yaitu Pak Sebastien (pemilik kedai) dan Pak Dhidiek (sahabat Pak Sebastien).

Pembahasan kami dimulai dengan mukadimah yang tidak sedap sama sekali. Awalnya Pak Sebastien menceritakan ulang secara kronologis kapan tempat itu dibeli kakeknya pada 1960. Itu adalah penjelasan yang sama sebagaimana Pak Akbar sampaikan. Saya juga sempat bertanya apakah beliau adalah tukang tafsir mimpi nyambi tukang cukur, mengingat di lantai satu digelar sobekan kitab tafsir mimpi dan di lantai dua ada tempat potong rambut. Beliau menjawab dengan gelak tawa, keduanya adalah barang-barang koleksi yang dipajang.

Namun, saya tak menyangka bahwa pembahasan ini mengalir lalu terempas di tengah samudra badai. Ocean Vuong memang legit betul saat menjelaskan sebuah kenangan―pernah kau mengatakan padaku bahwa kenangan adalah sebuah pilihan, tapi kalau kau adalah Tuhan, kau tahu bahwa kenangan adalah sebuah banjir bandang.

Kayutangan: Rekonstruksi Sukma Mama di Kedai Jengki Sebastien (2)
Pak Sebastien/Putriyana Asmarani

Kasih Sayang untuk Si Sulung

Pak Sebastien adalah cucu kesayangan dari kakek yang membeli Rumah Jengki yang kini menjadi kedai. Semesta kita dibangun untuk melimpahkan kasih sayang pada anak-anak bungsu—ini sudah jadi legitimasi—dimeriahkan dalam beribu legenda. Setiap pangeran menghendaki si bungsu yang jelita, setiap guru menggelontorkan aji-aji dan pusaka pada si bungsu, dan si bungsu Klenting Kuning (Dewi Candrakirana) berhasil menyatukan Jenggala dan Kediri. Kakek dan nenek yang lebih mencintai cucu bungsu adalah kelumrahan. Di sinilah dekonstruksi terjadi, kakek Pak Sebastien lebih menyayanginya karena ia putra sulung.

Sebagai anak sulung, kewajiban atas seluruh silsilah dan kelayakan hidup saudara-saudara yang lebih muda otomatis menjadi tanggung jawab dan buah pikirnya. Menjadi anak sulung berarti menjadi lubang penampungan keluh kesah kedua orang tua, keluh kesah yang tidak diceritakan pada anak yang lebih muda. 

Maka tidak heran bila Pak Sebastien tidak bisa melepaskan kalimat yang dahulu kerap diucapkan kakeknya saat panen avokad, “Buah-buah ini untuk Sebastien.” Sebagai seorang petani, kakek Pak Sebastien selalu menyisakan hasil panen terbanyak khusus untuk Pak Sebastien. Saya yakin untuk hal lainnya selain panen avokad, Pak Sebastien menjadi prioritas utama dari atensi kakeknya.

Tahun 1960, yang saat itu kakek Pak Sebastien adalah petani miskin, berhasil mendapatkan rumah impiannya. Namun, kakeknya harus pindah dan rumah itu diserahkan pada mama Pak Sebastien. Kisah-kisah masa kecil melatari perjumpaan saya dengan Pak Sebastien kemudian. Misalnya, betapa dahulu arang begitu berharga, terasi adalah lauk utama, hingga permen jahe dan telur ayam. Utang kerap menunggak pada penjual sayur dan arang karena papa Pak Sebastien adalah sopir luar kota yang jarang pulang. 

Indonesia yang saat itu masih muda dan ekonomi yang jauh dari kata pulih berimbas pada siapa saja. Saya cukup terkesan dengan kisah seekor ayam yang diceritakan Pak Sebastien. Pada suatu hari, mama Pak Sebastien membeli seekor ayam betina demi menghemat agar tidak beli telur. Namun, sebelum ayam tersebut bertelur, teman-teman sekolah Pak Sebastien berkunjung ke rumah. Mau tak mau ayam itu disembelih untuk makan bersama mengingat tidak ada yang tersisa di dapur untuk disuguhkan. Pak Sebastien berkata, “Mama saya itu, justru dalam keadaan tidak punya, ia selalu mengusahakan untuk berbagi atau memberi.”

Pak Sebastien tertawa saat menceritakan satu-satunya ayam betina yang pernah ia miliki. Akan tetapi, beberapa detik kemudian ingatannya merambak pada sebuah kursi panjang lawas berwarna merah kecokelatan seperti darah kerbau, yang sekarang terletak di tempat kami berbincang. Dahulu kursi ini berada di ruang tamu. 

Kursi ini memang betul hanya kursi biasa. Kayu biasa, sandaran, dan busanya biasa saja, tetapi bagi Pak Sebastien kursi itu benda pusaka. Semasa Pak Sebastien berjuang mencari nafkah, mama Pak Sebastien tak pernah alpa untuk menunggunya di ruang tamu. Ia duduk di atas kursi itu sambil menanti kepulangan Pak Sebastien. 

Tanpa disadari Pak Sebastien menitikkan air mata. Tidak ada lagi yang menunggunya kini. Mama Pak Sebastien meninggal tahun 2016 lalu karena kanker. Air mata makin tumpah tak terkendali saat Pak Sebastien mengatakan kalimat terakhir yang diucapkan padanya, “Bas, kalau Mama meninggal, adik-adikmu bagaimana?” 

Kayutangan: Rekonstruksi Sukma Mama di Kedai Jengki Sebastien (2)
Kursi lawas di ruang utama Kedai Sebastien/Putriyana Asmarani

Persembahan untuk Mama

Saya banyak membaca kisah orang-orang yang akan menghadapi kematian, misalnya seorang pendeta yang dipenjara di Château d’If semasa Napoleon dibuang ke Elba. Pendeta tersebut malah memikirkan sahabatnya, Joseph Conrad. Sebelum meninggal, seluruh pikirannya terpusat pada putranya yang menderita post-traumatic stress disorder (PTSD) atau trauma pascaperang. Akhir-akhir ini Afrizal Malna juga membuat puisi perihal kematian, yang menurut saya tidak terfokus pada dirinya melainkan kehancuran jagat raya. Intinya, saya kira mereka yang akan meninggal akan sibuk memikirkan donat macam apa yang belum dicoba atau tempat seperti apa yang ingin dikunjungi. Kebanyakan dari mereka yang akan meninggal, justru tidak sedang memikirkan kepentingan dan kebahagiaan sendiri. 

Jadi, apa yang mendasari Rumah Jengki ini jadi kedai kopi, Kedai Sebastien? Kebanyakan pemilik dalam wawancara di media menggunakan template yang sama: ini passion saya atau dari dulu suka kopi. Namun, jawaban Pak Sebastien berbeda, “Kedai Sebastien ini ada untuk mengenang mama. Mama bahagia bila ada orang berkunjung ke rumah. Saya kira semua ini tentang mama. Meski tidak punya banyak makanan untuk dibagi, wajah mama bersinar bila banyak orang berkunjung ke rumahnya.”

Apabila Rumah Jengki ini dijual, tentu semuanya akan lebih mudah. Tegelnya saja jenis yang tidak biasa dan ada beberapa orang yang mendekati Pak Sebastien untuk membeli tempat itu dengan harga berapa pun. Tak peduli semahal apa.

Akan tetapi, Pak Sebastien menolak. Ia ingin merawat kenangannya. Ia tak mau kenangannya berpindah tangan apalagi bisa dibeli orang. Saat kedai buka dan banyak orang berkunjung, wajah mama Pak Sebastien kian segar di ingatan. “Kira-kira, bagaimana senyum mama saat ini bila melihat rumahnya ramai begini?” ungkapnya.

Pertama kali saya mengunjungi Kedai Sebastien, saya menyematkan satu kata yang saya kira bisa mewakili identitas tempat ini: “Rumah Jengki, sebuah resistensi”. Setelah perjumpaan saya dengan Pak Sebastien, kata-kata baru muncul di kepala saya. Kebebasan, karena Pak Sebastien memiliki kendali sepenuhnya atas kenangan yang ia miliki. Satu-satunya yang paling berharga baginya dan ini tidak jatuh di tangan orang asing. Kehidupan, karena meskipun mama Pak Sebastien telah tiada, jiwanya terus hidup bersama dengan benderangnya Kedai Sebastien. 

Dalam perjalanan pulang, saya menyadari satu hal penting lainnya. Tentang gemerlap Kayutangan yang saya pandang sebelah mata, komersialisasi sejarah dan peninggalan. Memandang Kayutangan dengan lebih dalam bisa membuat saya berpikir jernih. Mengunjungi Kayutangan berbeda dengan mengunjungi museum. Di museum kita ditunjukkan rentetan peninggalan dalam berbagai rupa dan bentuk. Di sana ada angka tahun dan secarik penjelasan singkat. Saya selalu merasa, dengan penjelasan sesingkat itu benda-benda sejarah justru terlihat mati dan tidak pernah hidup sama sekali. Mereka seperti remahan barang masa lalu yang tidak punya kisah. Saya selalu kesulitan menjiwai benda-benda kolektif di museum. 

Namun, di Kayutangan, di Kedai Sebastien, benda-benda di sana memiliki kisah, dirawat dengan baik oleh pemiliknya, lalu diceritakan kembali pada para pengunjung. Saya berkhayal, andai museum di Indonesia memiliki konsep seperti Kayutangan, betapa banyak kisah menarik yang bisa dipelajari. Betapa kita semua kemudian bisa bersambung dengan para pendahulu melalui cerita generasi setelahnya. Ini mengingatkan saya pada serial Anne with an E, yang kalau tidak salah seperti ini alih bahasanya: “Kurasa setiap barang usang adalah kesenian yang tengah merana, ia melalui banyak hal dalam kehidupan: duka, lara, dan bahagia, kurasa ia lebih berharga dibandingkan dengan barang-barang baru yang hanya dipajang belum melewati satu kehidupan sama sekali.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kayutangan: Rekonstruksi Sukma Mama di Kedai Jengki Sebastien (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kayutangan-rekonstruksi-sukma-mama-di-kedai-jengki-sebastien-2/feed/ 0 41024
Kayutangan: Morfologi Resistensi Arsitektur Jengki Jadi Kedai Sebastien (1) https://telusuri.id/kayutangan-morfologi-resistensi-arsitektur-jengki-jadi-kedai-sebastien-1/ https://telusuri.id/kayutangan-morfologi-resistensi-arsitektur-jengki-jadi-kedai-sebastien-1/#respond Wed, 24 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41018 Kayutangan tengah berlomba dan berpacu. Barang lawas dan langka dikumpulkan, dipajang lalu dipamerkan. Ia jadi ladang cuan, kiblat para pebisnis di Kota Malang, serta poros estetika peninggalan Belanda dan Jepang. Pendatang berbondong menyamar, mengenakan pakaian...

The post Kayutangan: Morfologi Resistensi Arsitektur Jengki Jadi Kedai Sebastien (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kayutangan tengah berlomba dan berpacu. Barang lawas dan langka dikumpulkan, dipajang lalu dipamerkan. Ia jadi ladang cuan, kiblat para pebisnis di Kota Malang, serta poros estetika peninggalan Belanda dan Jepang. Pendatang berbondong menyamar, mengenakan pakaian model 90-an, terpasang di setiap lembah tubuh mereka. Vintage, retro, atau dark academia, Kayutangan adalah sesobek dari lembaran roti tawar identitas yang sering dipertanyakan. Perlombaan itu, tentunya menghadiahi seorang atau beberapa pemenang―mereka yang memiliki paling banyak kenangan, yang menjadi tokoh utama dalam pewayangan bukan dalang, sinden atau penabuhnya, mereka yang merajai kelangkaan dan kelawasan.

Tanpa melalui gerbang indra, pengetahuan takkan tercipta, begitu kata Aristoteles. Jadi, apa salahnya mencoba sehari saja untuk berlakon seperti ahli epistemologi. Sebelumnya Kayutangan bagi saya adalah pasar hidangan dan minuman, suaka bagi pemusik jalanan, dan Toulon-nya tahu petis. Setiap ojek daring yang mengantar saya ke Stasiun Malang tak pernah tanggal mengungkapkan, “Kalau punya kafe di sini saya tak bakal jadi tukang ojek.”

Dipandang sebelah mata, mungkin kita semua punya sindrom yang sama, the Marxist delusions. Setiap kali saya ditakdirkan melewati area Kayutangan, saya selalu mendengar perspektif orang lain, melihat tren yang dirayakan orang lain, dan mengendus misi orang lain terhadap tempat itu. Sehingga setangkai tunas teratai muncul dalam diri saya, ia tumbuh untuk mengatakan, “Saya mesti mengenal Kayutangan dengan cara saya sendiri.”

Maka terjadilah, tanggal 12 Agustus 2023, Pak Akbar dari Malang Walk Heritage memandu saya untuk mendekatkan diri pada tempat itu. Seperti Raden Wijaya mengunjungi Alas Tarik, karena itu adalah satu-satunya harapan baginya setelah Singosari dihabisi Jayakatwang dan empat istrinya diincar. Sebenarnya saya menaruh harapan besar akan tempat ini. Bukan mengharapkan soal pembangunan yang semata-mata untuk kepentingan komersial, melainkan harapan bahwa saya akan mendapatkan kesan yang berbeda dari Kayutangan. Kayutangan versi sebelum terdistorsi. You only find what you are looking for—kata Mary Leakey—menjadi ungkapan yang sepenuhnya mewakili kesan saya pada salah satu destinasi walking tour, yaitu Kedai Sebastien.

Kayutangan: Morfologi Resistensi Arsitektur Rumah Jengki Menjadi Kedai Sebastien (1)
Pak Akbar dari Malang Walk Heritage berkisah di Kedai Sebastien/Putriyana Asmarani

Pagi di Kedai Sebastien

Kedai Sebastien akrab dengan kosakata vintage atau retro. Bila terus-menerus disandingkan, dua kata tersebut menjadi semantik dan suatu saat nanti akan tersemat menjadi identitas yang terus melekat padanya. Saya merasa dua kata tersebut tak cukup mewakili wadak bangunan Kedai Sebastien. Pak Akbar memperkenalkan tempat ini dengan sebutan Rumah Jengki, rumah yang dibangun atas dasar resistensi arsitektur. Pada masa itu American dream-nya masyarakat adalah memiliki, membangun, atau tinggal di rumah bergaya Belanda.

Selain ingin lepas dari khazanah Belanda, mereka ingin memiliki rumah dengan gaya dan cita rasa sendiri. Bukan Belanda. Sebuah resistensi, seperti supernova yang meledak lalu remahannya tersedot lubang hitam. Saya pikir resistensi adalah kata yang tepat untuk merepresentasikan tempat itu secara badani. 

Namun, tidak terpikirkan oleh saya untuk bertanya pada Pak Akbar, apa Jengki itu. Apakah ia sebuah singkatan? Siapa pencetusnya? Di manakah Rumah Jengki pertama di Malang? Pertanyaan semacam existing, being, dan becoming benar-benar tak muncul di kepala saya saat itu. Mungkin karena mata saya sibuk merayapi dinding, jendela, pagar, kursi, meja, dan perabotan hingga ke pori-porinya. Siapa pun pencetusnya, di manakah Rumah Jengki pertama dibangun, intinya adalah baru kali ini saya ketemu kedai kopi yang Jengki betulan, bukan jengki-jengkian.

Jengki seperti apakah Kedai Sebastien? Bisakah ia menjadi tempat Tolstoy dan Dostoevsky nongkrong bersama? Pertanyaan ini saya pakai untuk pemicu agar saya tidak terjebak pada ulasan “Jengki adalah”, karena penjelasan semacam ini kadang malah mendistorsi makna aslinya.

Pagi itu pukul setengah delapan, kopi dan teh pesanan kami sedang diracik. Sinar matahari yang belia ikut berkecipak di atas aliran sungai. Kami, para pendengar Pak Akbar—saat itu Pak Akbar membimbing lima orang―tengah melihat sisi lain dari ruang utama di lantai satu yang konon dulunya adalah kamar Pak Sebastien. Barulah saya sadar, Sebastien adalah nama empu kedai ini. 

Pak Akbar menunjukkan perabot anak sekolah tahun 90-an, meja kayu lipat yang tampaknya terbuat dari kayu pilihan karena tidak ada jejak rayap. Yang ada hanya jejak coret-coret para bocah yang tengah jatuh cinta. Ada juga coretan-coretan nama dengan huruf tebal, mungkin ditorehkan di sana untuk mengukuhkan eksistensi pemiliknya. 

Meja tebal itu berkaki ramping. Di bagian atas ternyata bisa dibuka. Saya membayangkannya seperti cara Edmond Dantes membuka harta karun di Pulau Monte Cristo saat Napoleon dibuang ke Elba. Saat penutup tersingkap, di dalam meja terdapat dua atau tiga sobek kertas. Pak Akbar berkata, “Di balik meja adalah tempat di mana anak-anak menempel jadwal pelajaran dan kotak di dalamnya berisi buku-buku pelajaran.”

Di situlah saya menambahkan sedikit cerita gatal, “Mungkin mereka juga menyelipkan surat cinta di sana, sebagaimana penyamun menyelundupkan bubuk mesiu.” 

Kayutangan: Morfologi Resistensi Arsitektur Rumah Jengki Menjadi Kedai Sebastien (1)
Meja dan kursi sekolah tahun 90-an di Kedai Sebastien/Putriyana Asmarani

Pak Akbar kemudian mengacungkan jari telunjuknya ke langit-langit ruangan. Ia berkata bahwa langit-langit ruangan itu ditopang besi rel kereta api. Sekeras apa pun saya berimajinasi, karena saya hanya tahu caranya membangun rumah pasir di pesisir pantai dan bukan rumah sungguhan, sulit bagi saya untuk memahaminya baik dengan cara berkhayal, sistematis, maupun matematis. Akan tetapi, itu yang membuat daya tarik dari ruangan tersebut―sesuatu mengganjal di langit-langit kamar Pak Sebastien dan Sherlock Holmes perlu disewa untuk memecahkannya: rel kereta api menopang langit-langit kamar.

Ruang tengah, di depan mbak-mbak barista ayu meracik teh dan kopi pesanan kami, terdapat seonggok meja yang ditata seakan-akan itu adalah meja kerja. Ada telepon kabel, buku-buku berbaris, map tua berisi entah apa, dan kursi kecil. Di belakang meja ada latar tempelan sobekan halaman buku dari togel dan tafsir mimpi. “Dulu diperbolehkan, sekarang dilarang,” kata Pak Akbar.

Yang ia maksud adalah praktik tafsir mimpi dan togel. Lembaran-lembaran kertas yang menempel di dinding itu, dulunya adalah buku pedoman penafsir mimpi. Sayang, Pak Akbar tidak mengajarkan pada saya cara membaca buku tersebut. Padahal saya berharap bisa menuntaskan rasa penasaran saya atas mimpi-mimpi saya, yang meskipun tak menguntungkan, mereka mungkin punya arti. Di atas kertas, ilustrasi hewan, dewa-dewi, dan tetumbuhan ada untuk mewakili angka dan beberapa kata yang sayangnya tidak saya pahami.

Jejak Nostalgia Lainnya di Lantai Dua

Di lantai dua terdapat tempat potong rambut, kursi tinggi berwarna selendang Nyai Ratu Kidul berbahan pentil, kaca lebar dan panjang sebagaimana sebuah salon, dan ada selembar wajah Diana di atas majalah beberapa tahun sebelum cerai dengan Charles. Tampaknya itu adalah halaman-halaman dari majalah lama dan pascamodern, karena di sana ada Emilia Clarke, Angelina Jolie, dan Selena Gomez.

Lantai dua cukup ikonis, ada ruang salon berdinding mozaik tempelan-tempelan berita hiburan. Melihat potongan-potongan itu mengingatkan saya pada arus gegap gempita dunia, yang dulunya benderang dan kini tenggelam begitu saja seperti nyanyian Kunti saat pagi menjelang. Pak Akbar berkata kalau salon zaman dahulu menggunakan kursi seperti itu. Ada pijakan kayu dan kebanyakan sandarannya berbahan karet pentil. 

Kursi-kursi lantai dua yang terlihat usang dan karat adalah penanda masa kesenjaan mereka. Namun, kursi ini tidak terlihat renta, ia arkais sehingga penampakannya cukup mengundang, “Sini Nona, duduk di sini.” Lepas dari ruangan salon, ada pintu yang menghubungkan ruangan tempat kursi-kursi tersebut berjajar. Tembok terbagi menjadi tiga arena terbuka, tembok pertama di posisi matahari terbenam yang terdapat jam tangan raksasa menggantung, tembok kedua adalah barisan foto keluarga, dan tembok arah matahari terbit bersisi pajangan benda pecah belah, foto aktris entah siapa, dan kalender tahun 1977. 

Beberapa barang dan perabot tempat itu adalah koleksi pribadi dan beberapa lainnya beli. Itu bukan masalah, menurut saya. Barang-barang tersebut butuh suaka yang tepat. Jadi, berada di Kedai Sebastien membuat mereka menyumbangkan identitas asli sehingga terbentuk identitas kolektif. TV lama dengan layar tambahan berwarna biru, cermin berbingkai kayu, setrika arang, guci ikan, seonggok sepeda anak, dan lain-lain diletakkan di sudut-sudut hampa sehingga tempat itu punya nyawa. 

Ruangan terakhir―jendela menghadap sungai dan matahari lingsir―adalah ruang paling terpencil. Melihat ruangan ini saya teringat pada seorang karakter penyamun dan penembak tua, pensiunan, yakni Peyrol dalam buku The Rover karya Joseph Conrad. Peyrol kembali ke kampung halamannya, tetapi masa kecil dan seluruh jejak keberadaannya telah tergusur oleh gonjang-ganjing politik Prancis. Ia kemudian menyewa kamar. Di sana ia memutuskan untuk mencari ketenangan.

Kayutangan: Morfologi Resistensi Arsitektur Rumah Jengki Menjadi Kedai Sebastien (1)
Salah satu sudut menarik di lantai dua Kedai Sebastien/Putriyana Asmarani

Di Kedai Sebastien, di tempat ini, jendela khas Jengki menghadap kelok sungai dan rumah-rumah, langit terhampar, dan dari bibir jendela semesta terbentang luas―sama seperti tempat Peyrol menyendiri. Saya tak punya kenangan apa pun soal tempat ini, bukan pula penyamun tua yang mengucilkan diri. Namun, area ini membawa kesan nostalgia.

Oleh karena itu, otomatis saya membayangkan koper tua milik Peyrol dan harta karun yang ia kumpulkan sepanjang perjalanan hidupnya di samudra tak terbatas. Saya juga otomatis membayangkan suatu saat nanti akan datang ke Kedai Sebastien lagi, duduk menyendiri di sudut itu, membaca atau mengarang secarik puisi. 

Saya rasa, dengan alih wujud Rumah Jengki yang dulunya hanya bisa diresapi oleh pemiliknya menjadi kedai kopi seperti Kedai Sebastien, dapat memperkaya horizon Rumah Jengki itu sendiri. Saya tidak pernah mendengar ada Rumah Jengki sebelumnya, jadi saya selalu merasa dirundung oleh krisis identitas. Ngikut Wong Londho. Sehingga, saya bisa sedikit lebih bangga, resistensi yang dilakukan bangsa ini ternyata dilakukan secara menyeluruh: pikiran, perbuatan, aksi, juga arsitektur.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kayutangan: Morfologi Resistensi Arsitektur Jengki Jadi Kedai Sebastien (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kayutangan-morfologi-resistensi-arsitektur-jengki-jadi-kedai-sebastien-1/feed/ 0 41018
Kayutangan Heritage Ramai (Lagi) https://telusuri.id/kayutangan-heritage-ramai-lagi/ https://telusuri.id/kayutangan-heritage-ramai-lagi/#respond Mon, 16 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36879 Kawasan Koridor Kayutangan Heritage kembali ramai setelah sebelumnya dilakukan perbaikan dan pembenahan. Memasang lampu-lampu yang sekilas tampak mirip dengan kawasan Malioboro di Koridor Kayutangan diharapkan dapat membuat kawasan ini “lebih hidup”. Pemerintah setempat juga kembali...

The post Kayutangan Heritage Ramai (Lagi) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kawasan Koridor Kayutangan Heritage kembali ramai setelah sebelumnya dilakukan perbaikan dan pembenahan. Memasang lampu-lampu yang sekilas tampak mirip dengan kawasan Malioboro di Koridor Kayutangan diharapkan dapat membuat kawasan ini “lebih hidup”. Pemerintah setempat juga kembali menggagas Kayutangan Heritage sebagai pusat keramaian dengan menambahkan kursi-kursi dan banyak ornamen lain.

Ide tersebut ternyata berhasil. Sejak awal terpasangnya lampu-lampu tersebut, Koridor Kayutangan Heritage semakin ramai—menjadi jujukan anak muda hingga orang tua untuk nongkrong maupun sekadar berjalan-jalan santai. Keramaian ini selaras dengan pembukaan kafe-kafe bernuansa heritage tepat di sisi samping koridor. 

Meskipun pada akhirnya timbul persoalan baru seperti tidak adanya lahan parkir khusus bagi pengunjung Koridor Kayutangan, Pemerintah Kota Malang tetap kukuh dengan ambisinya untuk meramaikan Kayutangan Heritage dengan beragam acara hiburan yang dapat dinikmati secara gratis oleh masyarakat.

Salah satunya, pada Sabtu (26/11/2022) lalu, sebuah keramaian kembali terjadi di sini. Jauh hari sebelumnya, saya telah mendapatkan informasi bahwa akan ada acara besar di kawasan tersebut, yakni Malang Creativa Festival yang diselenggarakan oleh Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Kota Malang.

Malang Creativa Festival membawa gagasan sebagai wadah untuk menampung kreativitas warga Kota Malang untuk dapat dimanfaatkan sebagai sarana kebangkitan ekonomi masyarakat. Oleh sebab itu, ada sekitar 50 stan yang diisi oleh beragam hal seperti kuliner, kerajinan tangan, produk-produk UMKM, dan lainnya.

Ketika saya berkunjung ke acara tersebut, memang benar bahwa banyak stan yang menunjukkan kekhasan dan kreativitas masyarakat Kota Malang, akan tetapi saya merasa stan dari hotel-hotel di sekitar Malang mendominasi. Sedangkan warga sekitar Kayutangan sendiri, hanya ambil andil pada sebagian kecil stan ada.

Stan-stan dari hotel tersebut saling “berlomba” menunjukkan kuliner unggulan masing-masing. Bahkan, mereka menawarkannya dengan harga yang jauh lebih murah ketimbang membelinya langsung di hotel terkait.

Meskipun acara Malang Creativa Festival dibuka gratis untuk umum, namun berbagai jenis kuliner hingga produk oleh-oleh diperjualbelikan di sini. Jelas saja, karena tujuan dari kegiatan ini memang untuk memajukan ekonomi “masyarakat”.

malang creativa
Keramaian di acara saat pagi hari/Lutfia Indah Mardhiyatin

Stan-stan miliki warga Kayutangan menarik perhatian saya. Mereka seakan membawa pernak-pernik dari kampung yang untuk dipamerkan. Alhasil, nuansanya cukup berbeda dengan stan lain. Lebih klasik, tempo dulu. Tak hanya dekorasi saja yang menarik, warga juga menjajakan produk olahan seperti kue khas Kayutangan. Dan yang paling menarik, mereka juga menghadirkan soto batok yang sesuai namanya disajikan menggunakan batok kelapa.

Selain hotel dan warga Kayutangan, kampung sebelah juga ikut unjuk gigi. Salah satunya, Kampung Keramik Dinoyo yang sesuai namanya, membawa kerajinan-kerajinan dari keramik. Saya sangat senang dengan warna-warna yang mereka gunakan dalam pembuatan keramik, tampak lembut namun menyegarkan mata. Menurut saya, hal ini menjadikan kerajinan keramik ini jauh dari kesan “tua” dan tentu saja sangat cocok untuk pajangan, membuat ruang-ruang menjadi lebih estetik. 

Para pengrajin keramik di kampung tersebut juga mencetuskan sebuah ide baru yakni membuat topeng Malang-an dari bahan keramik. Kita bisa mencoba membuatnya, ada meja putarnya. Namun sayang, tak bisa dipakai karena saat saya datang, tidak ada listrik yang terhubung ke sini.

Salah satu stan, menarik perhatian saya. Di stan tersebut memamerkan produk-produk garapan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), salah satunya yakni topeng malangan. Ketika saya mampir untuk sekedar melihat-lihat, beberapa ABK tengah sibuk mewarnai topeng-topeng yang akan mereka pajang dan diperjual-belikan nantinya. Rupanya, produk-produk tersebut sudah memiliki satu ruangan khusus di dalam Gedung DPRD Kota Malang untuk dipasarkan.

Di Malang Creativa Festival, ada gelaran musik jalanan yang biasa diselenggarakan di Koridor Kayutangan. Sebuah panggung besar pun tak ketinggalan. Selama acara berlangsung, panggung tersebut tak pernah berhenti menampilkan band-band dan hiburan lainnya, kecuali ketika hujan.

Namun siapa sangka, salah satu tujuan pemerintah daerah setempat untuk menjadikan pusat keramaian di Kawasan Kayutangan Heritage rupanya tidak sepenuhnya berjalan lancar. Ramainya kawasan koridor tidak memberikan banyak pengaruh bagi kunjungan masyarakat ke dalam Kampung Kayutangan Heritage. Ketika saya mengunjungi stan milik warga Kampung Kayutangan Heritage, saya tidak sengaja bertemu dengan Bu Mila, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kampung Kayutangan Heritage. 

  • kayutangan heritage
  • Kampung Kayutangan Heritage
  • Karya teman-teman ABK
  • Kerajinan keramik

Bu Mila bercerita bahwa meskipun berkali-kali Pemerintah Kota Malang menggagas acara serupa di Kawasan Koridor Kayutangan, tidak akan membuat kampung tersebut sebanding keramaiannya dengan koridor. Menurutnya persoalan tersebut diakibatkan perbedaan segmen yang ada, seperti pengunjung yang datang ke Kampung Kayutangan merupakan mereka yang benar-benar ingin berkunjung menikmati nuansa heritage perkampungan. Sedangkan mereka yang datang ke kawasan koridor, tentu saja untuk mencari hiburan, memanfaatkan kursi-kursi yang ada untuk jagongan, juga pergi ke kafe-kafe untuk nongkrong.

Kendati demikian, hal tersebut tak langsung membuat para warga merasa ciut. Ramainya Koridor Kayutangan membuat mereka lebih memutar otak untuk memajukan wisata di perkampungan tersebut. Bu Mila juga berharap ketika terdapat acara di Koridor Kayutangan lagi, ia menginginkan pemerintah juga mengikutsertakan kawasan perkampungan sehingga kegiatan tidak hanya terpusat di kawasan koridor semata.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kayutangan Heritage Ramai (Lagi) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kayutangan-heritage-ramai-lagi/feed/ 0 36879
Kayutangan dari Cerita Mbah Ndut (2) https://telusuri.id/kayutangan-dari-cerita-mbah-ndut-2/ https://telusuri.id/kayutangan-dari-cerita-mbah-ndut-2/#respond Wed, 11 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36251 Perjalanan di Kayutangan pun kami lanjutkan dengan menyusuri sungai. Mbah Ndut bercerita bahwa saat musim hujan, air bisa meluap sampai atas. Rumah-rumah akan kebanjiran. Sudah jadi langganan setiap tahun katanya. Makanya di sisi kanan, rumah-rumah...

The post Kayutangan dari Cerita Mbah Ndut (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan di Kayutangan pun kami lanjutkan dengan menyusuri sungai. Mbah Ndut bercerita bahwa saat musim hujan, air bisa meluap sampai atas. Rumah-rumah akan kebanjiran. Sudah jadi langganan setiap tahun katanya. Makanya di sisi kanan, rumah-rumah dibangun lebih tinggi daripada jalan.

“Makanya, sungai di sini nggak bisa dipakai untuk body rafting atau semacamnya, Mbak. Dulu pas saya masih kecil, kalau pas banjir malah senang. Saya bisa berenang di sini sama teman-teman,” kenangnya.

Sungai ini dibangun oleh Belanda, tapi hanya sampai ujung saja. Tidak sampai loji, sebuah perumahan orang Belanda yang berdiri di sebelahnya.

  • Kayutangan Heritage
  • Kayutangan Heritage

Ia lalu menunjukkan sebuah rumah tua dari kejauhan. Menjelaskan bahwa kami, para pengunjung, boleh memotretnya namun tak boleh mengunjunginya. Pemilik tidak memberikan izin. Di seberangnya, ada sebuah langgar. Di depannya, tertulis “Madrasah Diniyah KH Wahid Hasyim”. Jamaahnya hanya perempuan.

Untuk kesekian kali, kami melewati jembatan. Rute walking tour memang mengelilingi kampung. Keluar masuk gang, menyusuri sungai berkali-kali.

“Bro, enake narapas opo iki ewul” tertulis pada sebuah tembok rumah di pinggir sungai. Awalnya saya bingung dengan maksud kalimat tersebut, namun perlahan memahaminya ketika Mbah Ndut mengingatkan bahwa masyarakat Malang identik dengan membalik kata-kata.

“Bro, enake sarapan opo iki luwe” yang artinya, “Bro, enaknya sarapan apa ya, lapar.”

Kayutangan Heritage
Salah satu mural di pinggir sungai Kampung Kayutangan/Mauren Fitri

Kami masih menyusuri sungai, melihat beberapa mural yang tergambar di tembok-tembok rumah warga. Sebelum saya bertanya siapa yang punya ide membuat mural ini, Mbah Ndut menceritakannya lebih dulu.

“Pembuatan mural dihentikan Mbak, karena kami merasa kurang sesuai dengan identitas kampung ini. Ada beberapa masalah internal, ceritanya.”

Kami lalu melewati kumpulan anak-anak SMP di pinggir sungai, kelleran. Beberapa sedang merokok, sisanya hanya duduk-duduk saja. Mereka bukan warga Kayutangan, tapi setelah pulang sekolah, kerap nongkrong di sana. Sering juga masyarakat lain menyapa kami sambil keheranan karena jalan pas panas-panasnya.

Bicara soal Kayutangan, ternyata cukup luas. Ada Talun dan Semeru yang terhubung dengan Kayutangan. Tak bisa berdiri sendiri. Saat menjelaskan hal tersebut, kami baru saja tiba di Talun—kampung yang berada di sebelah Kayutangan.

Dulu, ada yang namanya es Talun. Namun si empunya pindah ke Pasuruan, sehingga saya tak bisa mencicipinya.

  • Kayutangan Heritage
  • Galeri Omah Lor
  • Kayutangan
  • Kayutangan

Kami lalu tiba di sebuah toko barang antik, tempatnya cukup unik. Galeri Omah Lor namanya. Papan “Jual Kopi” dan “Sugeng Rawuh” menggantung di depan rumah dengan cat hijau toska ini. Di kanan kiri pintunya ada patung Gareng dan Semar. Dinding kaca jendelanya penuh dengan stiker. Ada dua kursi besi warna putih di depannya. Toko kopinya berada di pojok kanan. Bendera merah putih berkibar di sampingnya. Sang pemilik menyapa saya, sangat ramah.

“Koleksi, Mas?”

“Kolektor, Mbak! Koleksi payu didol (koleksi, kalau laku ya dijual),” jawabnya sambil tertawa.

Saya lalu masuk ke dalamnya, rak-rak kayu penuh dengan kamera antik dari berbagai jenis merek. Vespa kuning mencuri perhatian saya. Sisi lainnya penuh dengan toples dan barang-barang antik lain seperti peralatan makan hingga telefon manual jadul. Jika tertarik dengan koleksi di sini, kamu bisa membelinya secara daring ke pemilik.

Mbah Ndut lalu berbincang dengan pemilik tentang rumah tetangga mereka yang baru saja terjual. Saya? Masih sibuk dengan kamera-kamera antik di dalam.

Usai berbincang di Galeri Omah Lor, kami melanjutkan perjalanan kaki ke Galeri Eko yang menjual barang antik juga namun tak sebanyak di galeri sebelumnya. Di sepanjang jalan, saya menemui beberapa rumah lain yang juga menjual barang-barang antik layaknya Pasar Klitikan di Kota Lama Semarang. Bedanya, barang-barang antik di sini dijual di rumah, bukan di kios. 

Seperempat perjalanan terakhir, Mbah Ndut mengajak saya melihat beberapa rumah tua yang masih berpenghuni. “Ini perkampungan yang dibangun oleh Belanda, tapi tidak ada orang Belanda yang tinggal di sini. Hanya dibangun pada era penjajahan saja.” 

Mayoritas masyarakat Kayutangan bekerja sebagai PNS, sebagian lagi berwirausaha. Makanya pas siang-siang saya datang, kampung tampak sepi.

  • Kayutangan Heritage
  • Kayutangan Heritage
  • Kayutangan Heritage

“Ini rumah saya, peninggalan dari eyang dan bapak. Bapak saya pejuang, pernah ikut pertempuran di Siola. Ini ada tanda jasa dengan tanda tangan Soekarno—asli. Beliau ini lahir di Sidoarjo.”

Sontak, saya memelototi tanda jasa dan deretan foto berwarna hitam putih dengan bingkai coklat yang terpasang di dinding ruang tamunya. Melihatnya dengan seksama.

“Ini ijazah waktu Ayah masih SD, tahun 1936. Lalu yang ini adalah foto almarhum kakak saya, diambil 1971. Akabri juga,” ia melanjutkan.

Rumah yang ditinggali Mbah Ndut, adalah rumah punden. Rumah peninggalan yang boleh ditempati, tetapi tidak boleh diubah sama sekali apalagi dijual. Di rumah ini, seluruh keluarga besar Mbah Ndut berkumpul kala lebaran tiba. Ia menjelaskan, kalau anak dan cucunya rindu dengan orang tua, ada kenangan yang masih bisa dilihat, ada tempat jujukan untuk datang.

Kami lalu berbincang cukup lama sembari saya melihat isi rumahnya. Cukup banyak barang antik tersimpan. Di bagian depan misalnya, tumpukan kaset, televisi jadul, radio tua, sentir, rak televisi, hingga piring-piring antik terpajang. Di bagian dalam, koleksi set alat makan dan minum lebih mendominasi.

Di balik cerita-cerita menarik Mbah Ndut tentang bangunan bersejarah hingga masyarakat Kayutangan, saya masih bisa menemui kesan kumuh di beberapa sudut kampung ini. Namun, upaya untuk mengubahnya tak henti dilakukan.

“Ya memang agak susah, kita harus pendekatan ke masyarakat dulu dan itu prosesnya tidak sebentar. Untuk sekedar ngasih tahu, jangan menjemur pakaian dalam di depan rumah saja, kita memberikan pengertian berkali-kali bawah hal itu tidak nyaman dipandang mata, apalagi jika ada wisatawan datang.” ujar Mas Aan yang saya temui di Kedai Rupaduta usai berkeliling Kayutangan.

Kalau memperhatikan lebih detail, rata-rata bangunan dan interior di Kayutangan berwarna hijau toska. Entah kenapa, saya pun tak bertanya pada Mbah Ndut mengenai hal itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kayutangan dari Cerita Mbah Ndut (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kayutangan-dari-cerita-mbah-ndut-2/feed/ 0 36251
Kayutangan dari Cerita Mbah Ndut (1) https://telusuri.id/kayutangan-dari-cerita-mbah-ndut-1/ https://telusuri.id/kayutangan-dari-cerita-mbah-ndut-1/#respond Tue, 10 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36252 “Mas, saya mau ke Kampung Wisata Kayutangan. Ada rekomendasi pemandu yang bisa temani saya keliling, nggak? Saya kebetulan lagi di Malang.” Begitu pesan singkat yang saya kirim kepada Mas Aan—penggiat ekowisata di East Java Ecotourism...

The post Kayutangan dari Cerita Mbah Ndut (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
“Mas, saya mau ke Kampung Wisata Kayutangan. Ada rekomendasi pemandu yang bisa temani saya keliling, nggak? Saya kebetulan lagi di Malang.” Begitu pesan singkat yang saya kirim kepada Mas Aan—penggiat ekowisata di East Java Ecotourism Forum, sekaligus kolaborator TelusuRI yang saya temui secara virtual pada awal pandemi COVID-19.

Ia kemudian mengirimkan nomor seorang pemuda warga Kayutangan, sekaligus bilang “Saya sudah teruskan pesan kamu ke dia, langsung hubungi saja. Kalau dia nggak bisa, hubungi nomor kedua ya!”

Lima belas menit kemudian, saya tiba di sebuah gang kecil di tepi Jalan Kawi setelah menyusuri trotoar Jalan Arif Rahman Hakim dari Toko Oen yang masih berantakan karena proyek pembangunan.

Plang “HATI-HATI! 50 M LAGI ADA PEKERJAAN PROYEK KAYU TANGAN HERITAGE” ada di sepanjang jalan yang saya lewati. Meski cukup lenggang, namun debu-debu proyek bertebaran. Membuat pejalan seperti saya tak nyaman. Pun, cuaca pas panas-panasnya, kala itu waktu menunjukkan pukul dua siang. Nafas saya mulai tersengal-sengal. Meski jarak Toko Oen ke Kayutangan tak jauh, namun ransel yang menempel di punggung lumayan berat membuat ritme jalan saya melambat. Saya mengernyitkan dahi, sambil mengelap keringat yang membasahinya menggunakan bagian lengan kaos putih kesayangan yang makin buluk.

Seorang pemuda yang mengenakan jaket dan topi warna hitam, sneakers, dan tas ransel tersenyum dari kejauhan. Di sebelahnya ada seorang bapak tua, mengenakan kaos berwarna kuning dan juga seorang pengemudi becak. Keduanya turut menyambut saya.

Karena ada kegiatan lain, Kombet Rodi—pemuda tadi—mohon izin memperkenalkan Mbah Ndut, seorang warga Kayutangan yang akan menemani saya berkeliling kampung. Beliau menjadi pemandu saya dalam rute terpanjang walking tour Kayutangan sore itu.

Kayutangan
Kartu post dari Kayutangan/Mauren Fitri

“Silakan mengisi daftar hadir dulu, Mbak.”

Saya menulis nama serta membayar HTM seharga Rp5.000 di depan Gang IV, Kampung Kayutangan. Seorang ibu kemudian mengulurkan sebuah kartu pos bergambar rumah Nyik Aisyah yang merupakan salah satu rumah tua di kampung ini. Sebelum memasuki kampung, Mbah Ndut sempat menawarkan memotret saya di gang depan, namun saya menolaknya dengan canda.

“Kami mulai membuka Kampoeng Heritage Kajoetangan pada 2018. Pada akhir tahun tersebut, kampung cukup ramai dengan kunjungan wisatawan. Penuh-penuhnya [wisatawan] sekitar tahun 2019. Sayangnya pandemi [COVID-19] datang, sehingga kami harus menutup kampung dari aktivitas wisata selama tiga tahun.”

“Nah, [baru-baru ini] kami baru buka lagi. Perlahan sih, karena sebelumnya tutup lama sekali.” Mbah Ndut lanjut menjelaskan kepada saya tentang muasal Kampung Kayutangan menjadi destinasi wisata sembari kami berjalan menyusuri sebuah gang kecil.

Selama tutup, Kampung Kayutangan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak berupa pendampingan untuk penataan kampung dan juga gang-gang yang ada di sana. UMKM sekitar juga mulai tumbuh. 

  • Kayutangan
  • Kayutangan Heritage
  • Kayutangan

Tiba-tiba kami sudah memasuki ujung Gang VI. Di sini, banyak berdiri rumah-rumah peninggalan zaman dulu. Rumah pertama yang kami singgahi yakni rumah kuno berarsitektur Jengki, dibangun pada tahun 1950-an. Pagarnya berwarna hijau toska, begitu juga dengan dindingnya. Meski warnanya jauh lebih terang. Di halaman dalam rumahnya, sebuah Vespa nyentrik dengan warna biru terparkir.

Dari depan, saya bisa melihat dengan jelas bentuk atap pelana dari rumah ini. Ada patahan, dan perbedaan ketinggian atap yang membuat rumah ini tampak lebih menarik dari rumah lain di sekitarnya. Dari literatur yang saya baca, arsitektur Jengki muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap pengaruh arsitektur Eropa yang kala itu sangat marak. “Kalau ini memang dibangun saat perpindahan antara arsitektur Belanda dengan arsitektur Nusantara. Orang zaman dulu menyebutnya rumah separuh jadi karena atapnya tampak tidak sempurna.”

Tak banyak yang Mbah Ndut ceritakan tentang rumah dengan nomor 976 ini, ia pun buru-buru menjelaskan rumah lain yang berada di depan kanan dari rumah ini. Rumah dengan arsitektur Belanda yang dibangun pada tahun 1920-an. Salah satu ciri khasnya yakni ornamen manisan yang ada di bagian atap depan.

Rumah ketiga yang saya singgahi yakni rumah paling tua di kampung ini, dibangun sekitar 1870-an, milik almarhum Pak Nur Wasil yang sudah pindah ke Jalan Candi Mendut. Kini rumah ini menjadi base camp Pokdarwis Kayutangan.

Mengutip dari perkim.id, Kampung Kayutangan punya sejarah yang dibagi menjadi beberapa periode perkembangan. Pertama, pada periode pra-Indische (sebelum tahun 1800), Kayutangan merupakan perkampungan yang dihubungkan oleh jalan setapak. Selanjutnya, periode saat Belanda masuk ke Indonesia tahun 1800-1940. Kampung Kayutangan berkembang menjadi kawasan perekonomian di Kota Malang, jalan-jalan besar juga mulai dibangun.

Kampung Kayutangan kemudian terus berkembang hingga tahun 1980-an. Bangunan permukiman padat makin banyak berdiri mendekati area perekonomian di Kampung Kayutangan, sampai akhirnya pada tahun 1986 pembangunan kompleks pertokoan modern dekat alun-alun Malang membuat perubahan besar pada Kampung Kayutangan yang mulai ditinggalkan sebagai pusat perekonomian (Rizaldi, 2010).

Tak heran, rumah-rumah kuno hingga pertokoan memenuhi kampung ini. Meski sebagian besar di antaranya sudah hilang karena perubahan pembangunan.

  • Kayutangan Heritage
  • Kayutangan Heritage
  • Kayutangan
  • Kayutangan

Sesaat kemudian, saya tiba di Pasar Krempyeng. Pasar dadakan yang hanya ada pagi hari sampai sekitar pukul satu siang ini menjual berbagai kebutuhan harian masyarakat, khususnya sembako.

“Pasar ini sudah ada semenjak saya masih kecil. Sekarang usia saya 65 tahun,” terang Mbah Ndut.

Mbah Ndut kemudian menunjuk salah satu sudut pasar, “Dulu TK saya di situ. Di sebelah bangunan warna ungu. Sekarang sudah jadi losmen.”

“Olahraga siang, Mbak?” sapa seorang ibu, sambil tersenyum ramah.

Nggeh, Bu,” jawab saya meringis sambil merapikan kembali cangklongan tas ransel yang semakin tak nyaman. 

Mbah Ndut lalu mengajak saya ke sebuah terowongan tua. Terowongan ini menjadi jalan tembus antara Semeru ke Kayutangan.

“Dulu waktu TK, rumah saya ada di gang sana. Kalau ke sekolah, nggak boleh lewat atas. Harus lewat terowongan ini supaya lebih aman.” 

Seperempat jalan menyusuri Kayutangan, saya tiba-tiba teringat dengan Ciputat. Kedua tempat ini punya kesamaan yang terlihat jelas. Tak ada mobil yang bisa masuk kampung karena lebar gang kurang dari dua meter. Bangunan berdiri berhimpitan, rapat hampir tidak ada sekat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kayutangan dari Cerita Mbah Ndut (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kayutangan-dari-cerita-mbah-ndut-1/feed/ 0 36252