kebun Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kebun/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 15 Apr 2024 14:38:53 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kebun Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kebun/ 32 32 135956295 Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo (2) https://telusuri.id/gemah-ripah-di-tanah-wingit-juwetrejo-2/ https://telusuri.id/gemah-ripah-di-tanah-wingit-juwetrejo-2/#respond Tue, 16 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41684 Saya tak mengira, sejak 2021 kebun di rumah telah menjelma sebagaimana di bawah asuhan Dewi Circe, seorang dukun Aiaia dan putri Dewa Helios yang memilih berkebun dalam pengasingan daripada kembali ke kahyangan. Dalam legenda Yunani,...

The post Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya tak mengira, sejak 2021 kebun di rumah telah menjelma sebagaimana di bawah asuhan Dewi Circe, seorang dukun Aiaia dan putri Dewa Helios yang memilih berkebun dalam pengasingan daripada kembali ke kahyangan. Dalam legenda Yunani, Circe adalah seorang dewi keturunan Helios (dalam jajaran dewa tertinggi) dan Perse (seorang siluman). Circe adalah nymph atau siluman yang kemudian diusir dari kahyangan ke lokasi terpencil. Di tempat inilah Circe kemudian berkebun. 

Sejauh ini, kebun Bu Jamik telah menumbuhkan sembilan jenis tanaman sayuran, yaitu kacang panjang, belimbing wuluh, terong, kol, labu siam, turi merah yang mulai langka, labu biasa, kelor, dan sawi. Ada pula 19 jenis buah yang namanya aneh bukan main juga tumbuh di sana. Sebut saja kelengkeng durian, kelengkeng matalada, kelengkeng kristal, avokad aligator, avokad miki, sawo jumbo, anggur jupiter, anggur ninel, anggur akademik, anggur everest, anggur transfigurasi. Lalu melon biasa, melon golden alisha, markisa jumbo, stroberi, arbei, belimbing, delima, lemon, dan aneka varietas mangga. Menyebutkan semuanya saja bikin terengah-engah.

Belum lagi tanaman bunga, baik untuk melawat maupun berobat. Ada sekitar sepuluh tanaman yang tersebar di kebun, antara lain aglaonema, sakura, anggrek moth, sukulen echeveria, telang, bunga sepatu, kenanga, melati, mawar de Rescht, dan rosela. Jangan lupakan pula tanaman apotek hidup, seperti kunyit, sirih, daun salam, jahe, kucai, bawang dayak, hingga daun ginseng.

Kalau sudah begini, siapa pernah mengira kebun  ini adalah “alun-alunnya” para demit?

  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo

Perjuangan Menumbuhkan Kesuburan Tanah Wingit

Tanah wingit ini mencapai puncak kesuburannya pada 2023 dan awal 2024. Anggur transfigurasi berbuah lebih dari 40 dompol, anggur ninel terus membuahkan lebih dari 30 dompol sebanyak dua kali dalam satu tahun, dan anggur akademik bisa mencapai tak kurang dari 20 dompol. Hampir satu RT pernah dapat markisa jumbo milik ibu saya, karena sekali panen pohon ini bisa menghasilkan puluhan buah. 

Itu bukan berarti bahwa tanah wingit ini memang subur dari sono-nya. Di awal-awal masa pembabatan pada akhir 2019, tanah di area ini merah. Terik matahari terblokir dinding rumah sehingga potensi mendapatkan sinar yang maksimal adalah saat siang hari hingga terbenam. Dalam satu bulan, posisi matahari yang berubah-ubah membuat ibu saya paling tidak memindahkan tanaman tomatnya hingga lima sampai tujuh posisi berbeda.

Entah itu adalah alasan estetika atau kegabutan luar biasa. Namun, posisi matahari memang berpengaruh penting. Jadi, tanaman-tanaman yang paling butuh banyak sinar harus diletakkan di area yang paling banyak mendapatkan cahaya matahari. 

Sinar matahari berperan sangat penting bagi pertumbuhan tanaman (Putriyana Asmarani)

Lapisan tanah juga sangat buruk; batu-batu bekas bangunan, pecahan tembikar, seng, dan besi. Komposisi tanah telah rusak dan senyawa yang terpendam di sana bisa jadi beracun. Dampaknya akan membunuh benih dalam sekali tebar atau tanaman sekali tancap. Oleh karena itu, suburnya tanah saat ini bukan hasil dari main sulap atau menumbalkan salah satu adik saya—ia tetap sehat walafiat—melainkan karena usaha tanpa jeda. 

Tetangga sampai berkelakar, bila ibu saya pingsan sekalipun ia bakal terus mencangkul dalam keadaan tidak sadar. Ibu saya terus berkebun: mengukur pH tanah, meramu pupuk, serta membuat lapisan tanah baru dari damen dan batang pisang. Semua ia lakukan dan hanya berhenti kalau sudah tifus saja.

Parahnya ia tidak hanya berjibaku dengan kondisi alam dan tanah semata. Ia juga mesti menghadapi kritik tak sedap dari segala penjuru mata angin. Misalnya, “anaknya sendiri minum susu SGM, tanamannya digelontor susu sapi”, “tokonya sudah ditelantarkan, dia fokus pada kebun padahal tidak menghasilkan”, atau komentar-komentar pedas lainnya menggunakan bahasa rimba.

Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
Belimbing wuluh/Putriyana Asmarani

Strategi Ibu

Gosip sama kekalnya dengan sepercik api abadi di gunung es. Bersamaan dengan itu, tetangga ibu kiri-kanan dan belakang (tidak ada depan karena langsung berhadapan area sawah dan makam) kerap mampir sambil menenteng kantung plastik. Dengan templat salam yang sama mereka menyapa, “Pagi, Yu Jamik, akas temen (cekatan betul) pagi-pagi sudah di kebun. Aku minta kemangi, ya; cabe, ya; tomat-terong-belimbing wuluh-kelor-ya.”

Ini justru sangat menyenangkan. Itulah syarat evolusi, karena mereka harus bertahan hidup di tengah resesi dan kelangkaan pangan. Tak peduli besok bawa gosip baru atau kemarin menyebarkan gosip lama. Ibu saya sendiri juga suka dengan teori evolusi tersebut. Kalau tidak begini, ia tidak tahu lagi cara lain untuk beramal dan berbuat baik. Saat ini pun ia masih belum ada kehendak untuk menjual hasil panennya. Entah karena alasan apa. Tidak ada cara lain untuk memahaminya. Kadang uang memang tidak bisa dipakai untuk mengelap keringat jerih payah.

Yang jelas, ini adalah permulaan. Sudah saatnya tanah terbengkalai, wingit, dan kosong diolah menjadi area produktif. Sudah saatnya kita “sowan” pada demit di area kosong dan angker, lalu “mengusirnya” dengan cara baik-baik. Meskipun di kebun ibu saya tidak ada ritual pengusiran atau semacamnya, cukup berdoa saja dan berniat baik maka tidak akan ada kendala. Kecuali kendala ayam tetangga yang sedang nayap. Bandit Rambo berceker itu kalau sudah lolos masuk kebun melalui lubang entah dari mana, mereka bakal menghabisi apa saja. Kendala ini memang tidak tertolong.

Di Juwetrejo, beberapa tetangga juga sudah mulai minta benih atau cukulan untuk mereka tanam sendiri. Dan ibu saya memberinya dengan cuma-cuma. Ini termasuk strategi jitu ibu saya, “Kalau mau tomat ini ada cukulan-nya, tanam sendiri saja.”

Secara langsung pernyataannya adalah motivasi untuk merdeka pangan, meski dalam skala kecil. Merdeka pangan berarti sebagai manusia kita telah mencukupi kebutuhan paling dasar dan tidak bergantung pada siapa saja, termasuk kebijakan pasar maupun ekonomi. Merdeka pangan berarti bisa tercukupi. Cukup saat harga komoditas anjlok, berlimpah kala harga komoditas meroket.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gemah-ripah-di-tanah-wingit-juwetrejo-2/feed/ 0 41684
Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo (1) https://telusuri.id/gemah-ripah-di-tanah-wingit-juwetrejo-1/ https://telusuri.id/gemah-ripah-di-tanah-wingit-juwetrejo-1/#respond Mon, 15 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41674 Dua tahun lalu, sekitar Maret 2022, saya terlonjak kaget menemukan 10 liter susu sapi perah murni masih terbungkus, ditadah dalam dandang jumbo di atas meja dapur. Keluarga kami hanya terdiri dari lima orang, saya kemudian...

The post Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Dua tahun lalu, sekitar Maret 2022, saya terlonjak kaget menemukan 10 liter susu sapi perah murni masih terbungkus, ditadah dalam dandang jumbo di atas meja dapur. Keluarga kami hanya terdiri dari lima orang, saya kemudian memekik, “Bu, semua ini buat menyusui siapa?”

Seperti kapten kapal dagang Saint-Antoine yang menghemat bubuk mesiu untuk dikirim ke Venezuela, ibu saya bertitah, “Jangan diminum. Itu takaran sudah pas untuk bikin pupuk cair.”

Sontak saya membayangkan 10 liter susu sapi diguyur di atas tanah. Untuk memastikan itu saya memutuskan menghampiri ibu saya yang tengah mengolah sesuatu—yang entah apa—di dapur. Terbelalak, saya semakin tercengang setelah mendapati apa yang ia kerjakan. Ibu saya tengah merebus 10 liter susu kedelai. Ini juga untuk pupuk cair. 

Orang memanggil ibu saya: Bu Jamik. Semua orang di Dusun Juwetrejo mengenalnya.  Jadi, bisa dipastikan serunyam apa pun gang di Kecamatan Gondang, Kabupaten Mojokerto, kurir tak bakal tersesat mencari rumah Bu Jamik. Lahir dari keluarga petani, ibu saya pandai berdagang. Mungkin ini termasuk kasus gen menyimpang dalam silsilah keturunan karena seluruh Bani Kasmadi adalah petani, kecuali dirinya. Ia mengelola toko bahan pangan sejak 1996.

Namun, akhir-akhir ini ia mendapatkan julukan baru karena obsesinya terhadap tanaman. Orang semakin menggila saat mendengar ibu saya berhasil menumbuhkan labu kendi yang hanya muncul di legenda Tiongkok lama. “Memang betul dia Bani Kasmadi.”

Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
Lanskap jalan kampung Dusun Duwetrejo dan persawahan berlatar Gunung Welirang/Putriyana Asmarani

Racikan Nyeleneh Bu Jamik

Rahasia paling besar ibu saya di desa adalah pupuk cair premium miliknya. Dibuat dari susu sapi, kedelai, dan bahan lainnya, yang tampaknya hanya saya dan orang suruhannya yang tahu. Mengapa ini jadi rahasia? Karena orang akan menyerang dan berkilah soal dunia pupuk-memupuk nyeleneh-nya. Jangankan orang lain, saya sendiri kurang bisa memahami konsep kesuburan tanah.

Meskipun dianggap nyeleneh, pupuk bikinan Bu Jamik terbukti manjur. Pengetahuannya didapat bukan dari kelas-kelas resmi pertanian, tetapi grup menanam di Facebook. Dari Facebook, ia kemudian tergabung dalam grup menanam di Whatsapp dan mendapatkan informasi perihal perkebunan di sana. Misalnya, informasi soal lapisan tanah, pH tanah, daya resap tanah, cara meracik biang POC (Pupuk Organik Cair), pupuk kohe (kotoran hewan), serta dosis POC dan kohe.

Adapun satu-satunya logika perkebunan bagi orang awam seperti saya, hanya sebatas Isaac Newton duduk di bawah pohon apel lalu apel jatuh tergelincir ke permukaan tanah. Paling jauh mungkin hanya sebatas biji jadi tunas, tunas jadi pohon, pohon disirami, bunga mekar jadi buah, lalu buah ranum bisa dikonsumsi. Maka saya kepayahan menarik kesimpulan logis dua puluh liter susu sapi campur susu kedelai digunakan untuk memupuk tanaman, sementara Dewi Demeter saja hanya menyerahkan sebuah obor untuk mengajari kaumnya menanam.

Itu pun belum mencapai batasnya. Saya pernah diamanahi tugas mencari penjual nanas kupas di Pasar Pohjejer, sekitar 60 meter sebelah barat Balai Desa Pohjejer. Tidak, saya tidak disuruh membeli buah nanas, tetapi beli sampah bekas kupasan kulit nanas. Saya tidak bisa melupakan tatapan nanar penjual buah nanas di keramaian pasar. Ia menolak sampah itu dibeli. Namun, saya tetap membayar dengan membeli buah nanas untuk menutupi biaya sungkan.

Kebanyakan air kelapa gratis didapatkan di Pasar Pohjejer. Biasanya orang datang membawa botol tanggung. Dengan senang hati penjual kelapa akan mengisi botol tanggung tersebut dengan air kelapa. Akan tetapi, karena ibu saya datang membawa jeriken, penjual kelapa jadi speechless. Saya yakin di kepalanya sedang berputar pertanyaan berulang, “Emang boleh? Emang boleh?”

Pernah pada suatu hari ibu saya mendatangkan ahli kimia, atau sebagaimana ibu menyebutnya “ahli pertanian” ke rumah untuk meracik bahan-bahan pupuk yang sudah disiapkan. Alasannya adalah membuat pupuk cair harus mengikuti takaran tertentu di mana ia kurang paham soal itu. Ahli kimia tersebut rupanya mantan pegawai toko pertanian. Padahal saat itu saya tengah membayangkan petugas lab betulan datang ke rumah. Atau ahli kimia Timur Tengah, yang dijumpai seorang penggembala kambing Andalusia karangan Paulo Coelho, punya urusan dengan kebun di rumah.

Saya jadi paham mengapa Elizabeth Lavenza adalah karakter paling kasihan di zamannya karena mencintai ilmuwan optimis nan ambisius, seperti Victor Frankenstein. Saya menjumpai keoptimisan yang sama dari Frankenstein dan Dr. Jekyll pada ibu saya. Maka sangat perlu bagi saya menjadi manusia gubahan yang hidup dari eksperimen Frankenstein, untuk mempertanyakan semua kemustahilan pada pupuk cair.

Saya mencoba mencuri kesempatan dan memohon restu pada ibu saya, apakah ia berkenan bila harus terpampang wajahnya di media koran sebagai penanda 205 tahun kebangkitan ambisi Dr. Jekyll dan Frankenstein? Tak disangka, ia berkenan.

  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo

Rona Kehidupan di Tanah Wingit

Semua ini bermula dari sepetak kebun di samping rumah. Di sana teronggok sumur tua bertuah dan dulu ada pohon nangka angker. Bapak cilik (paklik) saya pernah bilang area itu cukup wingit. Di sisi lain nenek juga setuju dengan menyodorkan sejibun bukti.

Misalnya, dulu ada saudara meninggal secara misterius di sekitar pohon nangka (kini sudah ditebang). Lalu terdapat jalur lalu lintas gaib di belakang sumur; maksudnya jalur ini dipakai untuk makhluk gaib datang mondar-mandir. Jadi, ketika pukul lima sore, kalau seandainya lengan tersenggol selembar daun beluntas, rasanya seperti seseorang entah siapa mendorong hingga jatuh tersungkur. Ada pula suatu kejadian orang tersandung lalu terjungkal hingga lumpuh, hanya karena tersandung selempeng pecahan genteng.

Dulu, setelah pohon nangka ditebang—sebelum COVID-19—area samping rumah hanya ditumbuhi dua pohon mangga saja. Kini bermacam-macam tumbuhan berbuah di sana. Misalnya, di belakang sumur tumbuh subur labu kendi yang cukup populer di legenda Tiongkok. Meski hidupnya singkat, pohon rambat ini telah berbuah lebih dari enam puluh labu sebelum kemudian diganti dengan pohon markisa jumbo. Siapa sangka, area yang dulunya angker ini bisa gemah-ripah.

Ini mengingatkan saya pada petuah lama Jawa “tresna marang bumi menika mujudaken wajibing gesang”, artinya tugas utama manusia adalah menjaga dan mencintai bumi. Ibu saya sendiri tidak heran jika semua tanamannya tidak pernah menghilang secara misterius, atau membusuk karena ulah entah apa pun itu. Penghuni alam lain tak akan mengusik manusia yang tengah menunaikan tanggung jawabnya pada alam. Setan ora doyan, demit ora ndulit.

Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
Media tanam labu kendi yang tumbuh subur/Putriyana Asmarani

Sebagai contoh, sekitar pukul sepuluh sampai dua siang burung-burung ciblek (sejenis perenjak jawa) mematuk-matuk buah arbei. Meskipun begitu, mereka tidak pernah bikin onar. Entah di mana burung-burung kecil ini belajar etiket. Berbeda dengan codot yang mencotok satu buah dan tidak dihabiskan, lalu menyerang buah lainnya yang masih bulat segar. Kecuali codot, burung-burung lainnya, seperti merbah cerukcuk, cucak kutilang, tekukur, madu sriganti, si manis tledekan, dan pipit tidak pernah merusak atau melampaui batas. 

Kedengarannya, makhluk-makhluk tersebut adalah hama pengganggu. Namun, melihat mereka sewaktu-waktu di kebun, seperti menukik rendah, melompat-lompat, berkejaran dengan berpasang-pasangan, bahkan sesekali mencomot arbei; membuat kesan tersendiri bahwa saya tak perlu ke alam baka terlebih dahulu untuk mengunjungi Taman Eden. 

Tidak hanya para sahabat kecil—burung-burung—berkeriap dan berkicau, kupu-kupu berukuran kecil, tanggung, dan jumbo pun sibuk bergelayutan di kelopak bunga kertas dan asoka. Berbeda dengan burung-burung yang cenderung pemalu dan ambyar saat pemilik kebun memperhatikan, kupu-kupu menyesap anteng saat dipotret bahkan dalam jarak dekat.

Para pengunjung kebun, dari yang bertubuh molek sampai kelompok reptil macam ular sawah dan biawak sekalipun, singgah di kebun lalu membuat resapan baru pada Kidung Reksabumi; reksa bumi ajeg asri, mindha among karsa sagotro. Mungkin kidung ini juga berarti bahwa berkebun turut berperan menyediakan pasokan pangan untuk satwa liar dan menyeimbangkan lingkungan.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gemah-ripah-di-tanah-wingit-juwetrejo-1/feed/ 0 41674
Memulai Kebun Pertama di Mekko https://telusuri.id/memulai-kebun-pertama-di-mekko/ https://telusuri.id/memulai-kebun-pertama-di-mekko/#respond Thu, 06 Oct 2022 02:48:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35666 Teh panas adalah minuman yang tepat untuk menghantarkan obrolan kami bersama beberapa orang; Pak Jabar, Pak Said, dan Pak Bakri. Kebetulan Pak Bakri adalah orang Mekko yang sudah melalang buana ke berbagai tempat di Indonesia,...

The post Memulai Kebun Pertama di Mekko appeared first on TelusuRI.

]]>
Teh panas adalah minuman yang tepat untuk menghantarkan obrolan kami bersama beberapa orang; Pak Jabar, Pak Said, dan Pak Bakri. Kebetulan Pak Bakri adalah orang Mekko yang sudah melalang buana ke berbagai tempat di Indonesia, termasuk kawasan lainnya di Asia Tenggara; Brunei Darussalam dan Malaysia.

Diskusi bersama pak Said dan pak Bakri
Diskusi bersama Pak Said dan Pak Bakri/Arah Singgah

Orang Mekko menurut Pak Bakri hanya mempunyai dua pilihan: merantau ke daerah orang untuk belajar, atau melaut seperti kebiasaan orang-orang Bajo.

“Anak muda, apalagi kalau sudah putus sekolah, ya melaut,” ujar Pak Bakri mengeluhkan kesempatan anak muda dari Mekko.

Pengalaman Pak Bakri selama merantau, membawanya pada satu kesimpulan: pertanian adalah yang paling memungkinkan dilakukan orang Bajo di Mekko untuk memperbaiki taraf hidup. Membawa orang Bajo yang berdarah laut untuk kemudian bertani? Sepertinya terdengar unik atau mustahil?

“Saya melihat dari bertani ini, penghasilannya luar biasa. Kalau ada orang yang suruh saya pilih nelayan atau petani, saya pilih menjadi petani,” ujar Pak Bakri, suaranya dengan mantap meyakinkan bahwa pilihan yang pernah ia jalani ketika di perantauan ini tidak salah lagi. Dengan bertani, hasil panen dapat diperkirakan sejak jauh-jauh hari. Sedangkan melaut tidak bisa diprediksi. Bisa banyak, bisa sedikit. Harapannya dengan bertani, setidaknya hasil panen dapat menjadi sandaran orang-orang Mekko ketika hasil laut tidak seperti yang diharapkan.

Rencana hari ini adalah kami akan membantu Pak Said untuk membuat kebun pertama di Mekko. Kebun ini mini, paling hanya tiga langkah orang dewasa. Bedengan berada tepat di bawah jendela ruang tamu dan kamar. Atas perintah Syukron, kami berempat mulai mencari tanah yang bisa dijadikan bahan dasar pupuk. Ada empat bahan dasar yang harus kami kumpulkan; tanah humus, ranting dan daun kering, arang kayu, dan kotoran hewan. Sebelumnya, kami merebus gula putih dan gula merah yang dibeli dari pasar untuk menjadi campuran yang disebut molase.

Kami melewati lapangan bola di ujung dusun untuk sampai pada tempat yang dituju. Gunung Ili Ape menjulang, diiringi embikan kambing yang sedari tadi mengiringi motor supra butut Ale yang menerabas lapangan. Di selokan depan lahan kosong itu, saya Syukron, Ale, Ayu dan Pak Said memungut tanah dengan sekop dan cangkul. Ada sekitar tujuh karung yang berhasil kami bawa ke rumah. Tidak jauh dari lahan kosong tersebut, di kandang kambing milik Pak Jabbar, kami memungut remah-remah kotoran kambing. Debu membumbung ke angkasa ketika Syukron memasukkan kotoran kambing ke dalam karung. Baunya tidak seberapa, karena sebelumnya sudah kering terpanggang matahari Mekko.

Mengambil tanah dalam parit/Arah Singgah

Orang-orang dusun tampak bingung, antara mengerti atau tidak dengan kami yang lalu lalang bak pekerja bangunan. Saya dan Ale yang mengantar karung-karung berisi tanah dan kambing, disapa warga dengan anggukan dan senyuman. Roda supra butut Ale melibas rumput dan mengusir ayam yang menghalangi jalan kami.

Sebelum matahari gugur ke peraduan, kami semua telah mencampurkan semua bahan dasar. Syukron melakukan tahap akhir dari pembuatan media tanam organik dengan menyiramkan campuran gula merah dan gula putih yang telah direbus dengan air. Untuk pemakaiannya, kami tambahkan Em4 dengan perbandingan 3 tutup botol molase dan 1 tutup botol Em4. Tanah yang telah dicampur tersebut kemudian ditutupi oleh tikar serta karung untuk mempercepat proses kesuburan tanah.

Membuat pupuk organik cair/Arah Singgah

Seusai mengolah tanah, malam harinya kami beristirahat sambil mengobrol tentang berbagai kejadian di Mekko, salah satunya angin seroja yang sempat menggemparkan bumi NTT.

“Waktu angin seroja, semuanya panik karena ada isu air naik dan tsunami,” kenang Pak Said. Angin seroja waktu itu menyebabkan curah hujan tinggi dan badai yang mengamuk tanpa ampun. Pak Said mengisahkan bagaimana kepanikan di Mekko menyebabkan orang-orang berlarian menuju ke Witihama yang lebih tinggi.

“Sekembali dari Waiwerang, saya mendapati orang-orang yang berlarian keluar dari Mekko. Ketika sampai di rumah, istri sama anak-anak saya kok udah nggak ada, eh ternyata sudah lari duluan ke arah Kalimati,” kenangnya. Kepanikan angin seroja yang berlangsung selama seminggu itu membuat Pak Said “tidur pistol” di kursi dengan pintu terbuka, jaga-jaga jika air laut pasang mendadak.

Besoknya, kami mencampurkan kembali beberapa tanah ke dalam polybag untuk menambah media tanam selain bedengan yang kami buat di bawah jendela. Biji tanaman yang sudah disemai kami pindahkan masing-masing ke dalam satu polybag.

Kami juga membuatkan Pak Bakri puluhan polybag yang sudah diisi dengan tanah campuran. Dirinya yang memang sudah lama ingin mencoba berkebun di Mekko, membulatkan tekad bersama Pak Said untuk menjadi contoh bagi orang-orang di Mekko untuk memulai kebun dari rumah.

Fahri dan Pak Said sedang membibit/Arah Singgah

Kami menaruh polybag di samping rumahnya, tepatnya di sebuah rangka rumah yang sudah tidak terpakai. Fahri, anaknya Pak Bakri yang berusia 12 tahun dengan bertelanjang kaki menyirami satu per satu polybag untuk menjaga kelembaban tanah yang sudah dicampur. Penting untuk tetap lembab, karena udara panas Mekko gampang sekali membuat tanah kering dan kehilangan unsur haranya.

“Tangan dan kakinya itu juga basah kayak kamu,” celoteh Pak Bakri sambil menunjuk anaknya, setelah sehari sebelumnya ia memperhatikan kaki saya yang berkeringat ketika memindahkan tanah ke dalam polybag.

“Anak saya ini kalau main bola, sering bawa beberapa kaus kaki buat ganti,” tambahnya.

“Kelas berapa?” tanya saya kepada Fahri, penasaran.

“Tidak sekolah,” jawabnya polos.

“Males sekolah dia,” timpal Pak Bakri. Fahri, dengan senyum simpul menanggapi ocehan bapaknya, lalu mengambil sebongkah biskuit yang sudah terbuka dan memakannya perlahan-lahan.

Memasang jaring dalam rumah polybag/Arah Singgah

Polybag sudah tersusun rapi, sesuai ukuran dan target tanaman yang akan ditanam, kini tinggal memasang pukat mengelilingi rumah agar terhindar dari ayam yang sering mengais tanah. Wadah-wadah bekas telur, kami jadikan sebagai tempat untuk menumbuhkan bibit sebelum dipindah ke polybag.

Tanah yang sudah siap ditanami itu selalu disiram pada pagi hari oleh Pak Said dan Pak Bakri. Bibit-bibit kangkung, cabai, sawi, bayam, terong, dan tomat mulai muncul pada hari ketiga. Melihat bagaimana bibit mulai tumbuh memang masih pada tahap awal, setidaknya pucuk tanaman yang mulai berkembang, seakan memberikan harapan yang sama pada Mekko. Mekko yang tandus ini bisa menjadi Mekko yang hijau kalau diniatkan dengan sungguh-sungguh. Awal yang bagus untuk perubahan Mekko.

***

Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan dan nantinya dapat digunakan bagi para pemangku kebijakan sebagai pertimbangan dalam merubah suatu tatanan yang telah ada.

Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memulai Kebun Pertama di Mekko appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memulai-kebun-pertama-di-mekko/feed/ 0 35666
PPKM Diperpanjang Kebun Nanas menjadi Pilihan https://telusuri.id/ppkm-diperpanjang-kebun-nanas-menjadi-pilihan/ https://telusuri.id/ppkm-diperpanjang-kebun-nanas-menjadi-pilihan/#respond Fri, 08 Oct 2021 01:23:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30862 Semasa corona, pasien COVID-19 terus bertambah, ekonomi semakin turun, dan kebutuhan hidup terasa menjadi mahal. Semua masyarakat dipukul rata dengan keadaan yang kala itu terus mencekam. Tidak sedikit yang mengalami rasa takut untuk sakit yang...

The post PPKM Diperpanjang Kebun Nanas menjadi Pilihan appeared first on TelusuRI.

]]>
Semasa corona, pasien COVID-19 terus bertambah, ekonomi semakin turun, dan kebutuhan hidup terasa menjadi mahal. Semua masyarakat dipukul rata dengan keadaan yang kala itu terus mencekam. Tidak sedikit yang mengalami rasa takut untuk sakit yang berujung pada kematian. Untuk itu pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meredam penyebaran COVID-19. Mulai dari social distancing, PSBB, dan sekarang PPKM. 

PPKM pertama kali diberlakukan sejak tanggal 11-25 Januari 2021 untuk wilayah DKI Jakarta dan 23 Provinsi lainnya yang memiliki risiko tinggi penyebaran COVID-19. Namun, solusi ini dianggap belum efektif dan akhirnya muncul  PPKM mikro yang mulai 9-22 Februari 2021 yang berlaku untuk tujuh provinsi.

Pada bulan Juli PPKM diberlakukan lagi dengan sebutan PPKM darurat yang berlaku mulai tanggal 3-20 Juli 2021, khususnya wilayah Jawa-Bali. Namun, seiring kasus yang terus meningkat PPKM darurat terus diperpanjang hingga saat ini. Seluruh kegiatan pembelajaran dilakukan secara daring, mal/swalayan/pusat perdagangan ditutup total, tempat wisata ditutup dan tidak boleh makan di restoran (dine-in).

Bagi kami seorang mahasiswa yang suka me-refresh pikiran disela-sela kesibukan kuliah terasa bosan dan sumpek. Mal, restoran, dan tempat wisata yang biasa dikunjungi tutup total. Bertemu dengan teman sekelas pun hanya bisa tatap muka secara daring. Tidak ada tawa renyah saat duduk di taman depan kelas sambil menunggu dosen. Kami hanya bisa berdoa wabah pandemi segera berakhir.Kesibukan yang tidak pernah usai walau hanya via daring, tapi membuat rasa jenuh semakin membara. Lalu bagaimana harus menghibur diri? Baca novel, nonton drama korea, dan bermain game online menjadi kebiasaan baru kami. Nyatanya itu semakin membuat beban menumpuk. Sedangkan untuk kondisi sekarang kita harus tetap bahagia supaya bisa meningkatkan iman dan imun.

Buah nanas
Buah nanas/Dwi Wigati

Kami orang desa yang memiliki mayoritas mata pencaharian sebagai petani menjadikan sawah sebagai tempat hiburan utama. Mulai dari menanam padi, jagung, tembakau, sayur-mayur, hingga buah-buahan. Salah satunya menanam buah nanas. Menanam nanas ini menjadi salah satu mata pencaharian pokok masyarakat Desa Ponggok, Kabupaten Blitar untuk memenuhi kebutuhan. Untuk itu, mayoritas lahan yang dimiliki masyarakat penuh dengan tanaman nanas. Anehnya hanya tanaman ini yang bisa tumbuh hingga berbuah dengan baik. 

Meskipun jalanan sawah yang kecil dan berliku tidak menyurutkan rasa bahagia kami yang mendapat hiburan sederhana. Bentuk unik dari pohon nanas, daun hijau yang runcing dan bergerigi pada sisi-sisinya, serta buah yang ada daunnya runcing menjadi pengetahuan baru bagi kami, khususnya saya. Ini adalah pengalaman pertama yang saya dapat. Selama ini suka dengan buah nanas tetapi tidak mengetahui wujud dari pohonnya.

Susur
Sungai dikelilingi pohon besar/Dwi Wigati

Tepat pada sawah paling bawah terdapat sungai kecil yang dikelilingi pohon-pohon besar. Saat turun ke bawah kami harus melewati jalan berkelok dan tertutupi daun nanas juga. Namun, membuat kami semakin penasaran dan tertantang. Sedikit demi sedikit melewati jalan yang licin dan menurun. Teman-teman yang ada di belakang saya harus bersabar dan perlahan menunggu antrian melalui jalan kecil. 

Sungai itu dikelilingi pohon besar yang sedikit rimbun. Walaupun sungainya kecil seperti tidak berpenghuni, di dalamnya juga ada ikan-ikan kecil dan kepiting sungai yang hidup. Bebatuan yang besar menjadikan mereka mudah untuk berlindung dari hujan dan panas. Airnya tidak begitu dalam, sehingga kami berani memanfaatkannya untuk menghibur diri dengan bermain air. Air-air yang mengalir dengan mudahnya membawa daun-daun yang berserakan di atasnya. Sungai ini sepi dan berada paling bawah, tetapi tidak membuat kami takut dan menyurutkan rasa ingin tahu kami untuk bermain air dan berfoto ria di tengah rasa panas dari matahari yang menyengat. 

Tempat yang sederhana itu tidak kalah estetis dengan tempat wisata lainnya. Sederhana tapi angelnya dapat. Matahari pun mau berkongsi dengan kamera ponsel Android sederhana milik Ila, teman saya. Pohon-pohon besar yang mengelilingi sungai juga tidak mau menghalangi sinar surya yang menerpa. Warna pastel dari jilbab dan jaket Levi’s warna hitam yang saya pakai mendukung background sekitar. 

Nanas yang berbuah manis dan segar ini biasanya dibuat rujak buah. Dan, ternyata satu buahnya memiliki harga yang sangat murah dari petani. Per biji yang lumayan besar hanya senilai Rp2 ribu. Bahkan harganya seperti makanan gorengan yang terdapat pada pinggir jalan. Padahal buah nanas ini memiliki banyak manfaat, loh. Salah satunya memiliki kandungan vitamin C yang berguna untuk meningkatkan imunitas tubuh. Sedangkan gorengan memiliki banyak lemak yang bisa memicu kolesterol.

Pernahkah teman-teman membayangkan kalau harga hasil panen petani tidak sesuai dengan jerih payah mereka? Mulai dari menanam hingga menunggu hasil panennya yang paling cepat sekitar sepuluh bulan. Jika mereka menanam yang berjenis madu hingga 24 bulan baru bisa dipanen buahnya. Belum hitungan seberapa banyak biaya pupuk yang mereka keluarkan. Bisa rugi yang mereka dapatkan. Inilah hal yang sangat disayangkan juga selama pandemi. Penghasilan menurun dari banyak segi termasuk pertanian. Sedangkan bahan makanan pokok semakin mahal.

Siangnya pada salah satu rumah masyarakat, kami diberi suguhan buah nanas yang sudah dipotong, cilok, kerupuk sambal, semangka, dan es sirup segar. Suguhan ringan tetapi menggiurkan. Rasa asam, manis, dan segar dari nanas cocok dimakan dengan cilok bersaus dan kerupuk sambal. Begitulah indahnya sikap dan nuansa desa yang tidak terlupakan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post PPKM Diperpanjang Kebun Nanas menjadi Pilihan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ppkm-diperpanjang-kebun-nanas-menjadi-pilihan/feed/ 0 30862