kedai sebastien Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kedai-sebastien/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 01 Mar 2024 12:25:47 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kedai sebastien Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kedai-sebastien/ 32 32 135956295 Kayutangan: Rekonstruksi Sukma Mama di Kedai Jengki Sebastien (2) https://telusuri.id/kayutangan-rekonstruksi-sukma-mama-di-kedai-jengki-sebastien-2/ https://telusuri.id/kayutangan-rekonstruksi-sukma-mama-di-kedai-jengki-sebastien-2/#respond Thu, 25 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41024 Satu minggu sebelum Hari Orang Utan Sedunia, saya dan sahabat saya mengikuti walking tour di area Kayutangan Malang. Sejak saat itu saya tidak bisa melupakan nyala orkes dari pelantang tua yang digendong pengemis jalanan. Regu...

The post Kayutangan: Rekonstruksi Sukma Mama di Kedai Jengki Sebastien (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Satu minggu sebelum Hari Orang Utan Sedunia, saya dan sahabat saya mengikuti walking tour di area Kayutangan Malang. Sejak saat itu saya tidak bisa melupakan nyala orkes dari pelantang tua yang digendong pengemis jalanan. Regu musisi entah apa dan siapa mendendangkan rentetan simfoni yang asing di telinga, berpadu dengan gebuk penjual nasi goreng dan tabuhan penjual jasuke—kudapan jagung susu keju. Kesan Kayutangan begitu kuat sehingga tidak mungkin tempat ini jadi endapan dalam ingatan jangka pendek. 

Ini adalah kali kedua saya mengunjungi Kayutangan bermodal nekat, tetapi tidak sendirian. Tentu saja, seperti Roronoa Zoro saya buta arah juga linglung tak tertolong menghadapi rute. Jadi, Nami atau Robin harus ada bersama saya. Sayang, saya hanya punya satu sahabat, Rifana, bukan Robin atau Nami. Dia berwatak Sanji. Alhasil, kami tersesat di enam titik berbeda dan bertengkar hebat bak Subali dan Sugriwa. Setelah berhasil melintasi lorong sungai yang tak asing, kami akhirnya tiba di Kedai Sebastien.

Sebelumnya kami mengunjungi Kedai Sebastien melalui arahan dan rute walking tour Pak Akbar dari Malang Walk Heritage. Kami datang lagi kemudian karena Minse (Admin media sosial Kedai Sebastien) menjanjikan saya kidung rahasia di balik pembangunan Kedai Sebastien—ini termasuk kisah babad Rumah Jengki. Ditambah akan ada dua awicarita yang bakal hadir menemani kami, yaitu Pak Sebastien (pemilik kedai) dan Pak Dhidiek (sahabat Pak Sebastien).

Pembahasan kami dimulai dengan mukadimah yang tidak sedap sama sekali. Awalnya Pak Sebastien menceritakan ulang secara kronologis kapan tempat itu dibeli kakeknya pada 1960. Itu adalah penjelasan yang sama sebagaimana Pak Akbar sampaikan. Saya juga sempat bertanya apakah beliau adalah tukang tafsir mimpi nyambi tukang cukur, mengingat di lantai satu digelar sobekan kitab tafsir mimpi dan di lantai dua ada tempat potong rambut. Beliau menjawab dengan gelak tawa, keduanya adalah barang-barang koleksi yang dipajang.

Namun, saya tak menyangka bahwa pembahasan ini mengalir lalu terempas di tengah samudra badai. Ocean Vuong memang legit betul saat menjelaskan sebuah kenangan―pernah kau mengatakan padaku bahwa kenangan adalah sebuah pilihan, tapi kalau kau adalah Tuhan, kau tahu bahwa kenangan adalah sebuah banjir bandang.

Kayutangan: Rekonstruksi Sukma Mama di Kedai Jengki Sebastien (2)
Pak Sebastien/Putriyana Asmarani

Kasih Sayang untuk Si Sulung

Pak Sebastien adalah cucu kesayangan dari kakek yang membeli Rumah Jengki yang kini menjadi kedai. Semesta kita dibangun untuk melimpahkan kasih sayang pada anak-anak bungsu—ini sudah jadi legitimasi—dimeriahkan dalam beribu legenda. Setiap pangeran menghendaki si bungsu yang jelita, setiap guru menggelontorkan aji-aji dan pusaka pada si bungsu, dan si bungsu Klenting Kuning (Dewi Candrakirana) berhasil menyatukan Jenggala dan Kediri. Kakek dan nenek yang lebih mencintai cucu bungsu adalah kelumrahan. Di sinilah dekonstruksi terjadi, kakek Pak Sebastien lebih menyayanginya karena ia putra sulung.

Sebagai anak sulung, kewajiban atas seluruh silsilah dan kelayakan hidup saudara-saudara yang lebih muda otomatis menjadi tanggung jawab dan buah pikirnya. Menjadi anak sulung berarti menjadi lubang penampungan keluh kesah kedua orang tua, keluh kesah yang tidak diceritakan pada anak yang lebih muda. 

Maka tidak heran bila Pak Sebastien tidak bisa melepaskan kalimat yang dahulu kerap diucapkan kakeknya saat panen avokad, “Buah-buah ini untuk Sebastien.” Sebagai seorang petani, kakek Pak Sebastien selalu menyisakan hasil panen terbanyak khusus untuk Pak Sebastien. Saya yakin untuk hal lainnya selain panen avokad, Pak Sebastien menjadi prioritas utama dari atensi kakeknya.

Tahun 1960, yang saat itu kakek Pak Sebastien adalah petani miskin, berhasil mendapatkan rumah impiannya. Namun, kakeknya harus pindah dan rumah itu diserahkan pada mama Pak Sebastien. Kisah-kisah masa kecil melatari perjumpaan saya dengan Pak Sebastien kemudian. Misalnya, betapa dahulu arang begitu berharga, terasi adalah lauk utama, hingga permen jahe dan telur ayam. Utang kerap menunggak pada penjual sayur dan arang karena papa Pak Sebastien adalah sopir luar kota yang jarang pulang. 

Indonesia yang saat itu masih muda dan ekonomi yang jauh dari kata pulih berimbas pada siapa saja. Saya cukup terkesan dengan kisah seekor ayam yang diceritakan Pak Sebastien. Pada suatu hari, mama Pak Sebastien membeli seekor ayam betina demi menghemat agar tidak beli telur. Namun, sebelum ayam tersebut bertelur, teman-teman sekolah Pak Sebastien berkunjung ke rumah. Mau tak mau ayam itu disembelih untuk makan bersama mengingat tidak ada yang tersisa di dapur untuk disuguhkan. Pak Sebastien berkata, “Mama saya itu, justru dalam keadaan tidak punya, ia selalu mengusahakan untuk berbagi atau memberi.”

Pak Sebastien tertawa saat menceritakan satu-satunya ayam betina yang pernah ia miliki. Akan tetapi, beberapa detik kemudian ingatannya merambak pada sebuah kursi panjang lawas berwarna merah kecokelatan seperti darah kerbau, yang sekarang terletak di tempat kami berbincang. Dahulu kursi ini berada di ruang tamu. 

Kursi ini memang betul hanya kursi biasa. Kayu biasa, sandaran, dan busanya biasa saja, tetapi bagi Pak Sebastien kursi itu benda pusaka. Semasa Pak Sebastien berjuang mencari nafkah, mama Pak Sebastien tak pernah alpa untuk menunggunya di ruang tamu. Ia duduk di atas kursi itu sambil menanti kepulangan Pak Sebastien. 

Tanpa disadari Pak Sebastien menitikkan air mata. Tidak ada lagi yang menunggunya kini. Mama Pak Sebastien meninggal tahun 2016 lalu karena kanker. Air mata makin tumpah tak terkendali saat Pak Sebastien mengatakan kalimat terakhir yang diucapkan padanya, “Bas, kalau Mama meninggal, adik-adikmu bagaimana?” 

Kayutangan: Rekonstruksi Sukma Mama di Kedai Jengki Sebastien (2)
Kursi lawas di ruang utama Kedai Sebastien/Putriyana Asmarani

Persembahan untuk Mama

Saya banyak membaca kisah orang-orang yang akan menghadapi kematian, misalnya seorang pendeta yang dipenjara di Château d’If semasa Napoleon dibuang ke Elba. Pendeta tersebut malah memikirkan sahabatnya, Joseph Conrad. Sebelum meninggal, seluruh pikirannya terpusat pada putranya yang menderita post-traumatic stress disorder (PTSD) atau trauma pascaperang. Akhir-akhir ini Afrizal Malna juga membuat puisi perihal kematian, yang menurut saya tidak terfokus pada dirinya melainkan kehancuran jagat raya. Intinya, saya kira mereka yang akan meninggal akan sibuk memikirkan donat macam apa yang belum dicoba atau tempat seperti apa yang ingin dikunjungi. Kebanyakan dari mereka yang akan meninggal, justru tidak sedang memikirkan kepentingan dan kebahagiaan sendiri. 

Jadi, apa yang mendasari Rumah Jengki ini jadi kedai kopi, Kedai Sebastien? Kebanyakan pemilik dalam wawancara di media menggunakan template yang sama: ini passion saya atau dari dulu suka kopi. Namun, jawaban Pak Sebastien berbeda, “Kedai Sebastien ini ada untuk mengenang mama. Mama bahagia bila ada orang berkunjung ke rumah. Saya kira semua ini tentang mama. Meski tidak punya banyak makanan untuk dibagi, wajah mama bersinar bila banyak orang berkunjung ke rumahnya.”

Apabila Rumah Jengki ini dijual, tentu semuanya akan lebih mudah. Tegelnya saja jenis yang tidak biasa dan ada beberapa orang yang mendekati Pak Sebastien untuk membeli tempat itu dengan harga berapa pun. Tak peduli semahal apa.

Akan tetapi, Pak Sebastien menolak. Ia ingin merawat kenangannya. Ia tak mau kenangannya berpindah tangan apalagi bisa dibeli orang. Saat kedai buka dan banyak orang berkunjung, wajah mama Pak Sebastien kian segar di ingatan. “Kira-kira, bagaimana senyum mama saat ini bila melihat rumahnya ramai begini?” ungkapnya.

Pertama kali saya mengunjungi Kedai Sebastien, saya menyematkan satu kata yang saya kira bisa mewakili identitas tempat ini: “Rumah Jengki, sebuah resistensi”. Setelah perjumpaan saya dengan Pak Sebastien, kata-kata baru muncul di kepala saya. Kebebasan, karena Pak Sebastien memiliki kendali sepenuhnya atas kenangan yang ia miliki. Satu-satunya yang paling berharga baginya dan ini tidak jatuh di tangan orang asing. Kehidupan, karena meskipun mama Pak Sebastien telah tiada, jiwanya terus hidup bersama dengan benderangnya Kedai Sebastien. 

Dalam perjalanan pulang, saya menyadari satu hal penting lainnya. Tentang gemerlap Kayutangan yang saya pandang sebelah mata, komersialisasi sejarah dan peninggalan. Memandang Kayutangan dengan lebih dalam bisa membuat saya berpikir jernih. Mengunjungi Kayutangan berbeda dengan mengunjungi museum. Di museum kita ditunjukkan rentetan peninggalan dalam berbagai rupa dan bentuk. Di sana ada angka tahun dan secarik penjelasan singkat. Saya selalu merasa, dengan penjelasan sesingkat itu benda-benda sejarah justru terlihat mati dan tidak pernah hidup sama sekali. Mereka seperti remahan barang masa lalu yang tidak punya kisah. Saya selalu kesulitan menjiwai benda-benda kolektif di museum. 

Namun, di Kayutangan, di Kedai Sebastien, benda-benda di sana memiliki kisah, dirawat dengan baik oleh pemiliknya, lalu diceritakan kembali pada para pengunjung. Saya berkhayal, andai museum di Indonesia memiliki konsep seperti Kayutangan, betapa banyak kisah menarik yang bisa dipelajari. Betapa kita semua kemudian bisa bersambung dengan para pendahulu melalui cerita generasi setelahnya. Ini mengingatkan saya pada serial Anne with an E, yang kalau tidak salah seperti ini alih bahasanya: “Kurasa setiap barang usang adalah kesenian yang tengah merana, ia melalui banyak hal dalam kehidupan: duka, lara, dan bahagia, kurasa ia lebih berharga dibandingkan dengan barang-barang baru yang hanya dipajang belum melewati satu kehidupan sama sekali.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kayutangan: Rekonstruksi Sukma Mama di Kedai Jengki Sebastien (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kayutangan-rekonstruksi-sukma-mama-di-kedai-jengki-sebastien-2/feed/ 0 41024
Kayutangan: Morfologi Resistensi Arsitektur Jengki Jadi Kedai Sebastien (1) https://telusuri.id/kayutangan-morfologi-resistensi-arsitektur-jengki-jadi-kedai-sebastien-1/ https://telusuri.id/kayutangan-morfologi-resistensi-arsitektur-jengki-jadi-kedai-sebastien-1/#respond Wed, 24 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41018 Kayutangan tengah berlomba dan berpacu. Barang lawas dan langka dikumpulkan, dipajang lalu dipamerkan. Ia jadi ladang cuan, kiblat para pebisnis di Kota Malang, serta poros estetika peninggalan Belanda dan Jepang. Pendatang berbondong menyamar, mengenakan pakaian...

The post Kayutangan: Morfologi Resistensi Arsitektur Jengki Jadi Kedai Sebastien (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kayutangan tengah berlomba dan berpacu. Barang lawas dan langka dikumpulkan, dipajang lalu dipamerkan. Ia jadi ladang cuan, kiblat para pebisnis di Kota Malang, serta poros estetika peninggalan Belanda dan Jepang. Pendatang berbondong menyamar, mengenakan pakaian model 90-an, terpasang di setiap lembah tubuh mereka. Vintage, retro, atau dark academia, Kayutangan adalah sesobek dari lembaran roti tawar identitas yang sering dipertanyakan. Perlombaan itu, tentunya menghadiahi seorang atau beberapa pemenang―mereka yang memiliki paling banyak kenangan, yang menjadi tokoh utama dalam pewayangan bukan dalang, sinden atau penabuhnya, mereka yang merajai kelangkaan dan kelawasan.

Tanpa melalui gerbang indra, pengetahuan takkan tercipta, begitu kata Aristoteles. Jadi, apa salahnya mencoba sehari saja untuk berlakon seperti ahli epistemologi. Sebelumnya Kayutangan bagi saya adalah pasar hidangan dan minuman, suaka bagi pemusik jalanan, dan Toulon-nya tahu petis. Setiap ojek daring yang mengantar saya ke Stasiun Malang tak pernah tanggal mengungkapkan, “Kalau punya kafe di sini saya tak bakal jadi tukang ojek.”

Dipandang sebelah mata, mungkin kita semua punya sindrom yang sama, the Marxist delusions. Setiap kali saya ditakdirkan melewati area Kayutangan, saya selalu mendengar perspektif orang lain, melihat tren yang dirayakan orang lain, dan mengendus misi orang lain terhadap tempat itu. Sehingga setangkai tunas teratai muncul dalam diri saya, ia tumbuh untuk mengatakan, “Saya mesti mengenal Kayutangan dengan cara saya sendiri.”

Maka terjadilah, tanggal 12 Agustus 2023, Pak Akbar dari Malang Walk Heritage memandu saya untuk mendekatkan diri pada tempat itu. Seperti Raden Wijaya mengunjungi Alas Tarik, karena itu adalah satu-satunya harapan baginya setelah Singosari dihabisi Jayakatwang dan empat istrinya diincar. Sebenarnya saya menaruh harapan besar akan tempat ini. Bukan mengharapkan soal pembangunan yang semata-mata untuk kepentingan komersial, melainkan harapan bahwa saya akan mendapatkan kesan yang berbeda dari Kayutangan. Kayutangan versi sebelum terdistorsi. You only find what you are looking for—kata Mary Leakey—menjadi ungkapan yang sepenuhnya mewakili kesan saya pada salah satu destinasi walking tour, yaitu Kedai Sebastien.

Kayutangan: Morfologi Resistensi Arsitektur Rumah Jengki Menjadi Kedai Sebastien (1)
Pak Akbar dari Malang Walk Heritage berkisah di Kedai Sebastien/Putriyana Asmarani

Pagi di Kedai Sebastien

Kedai Sebastien akrab dengan kosakata vintage atau retro. Bila terus-menerus disandingkan, dua kata tersebut menjadi semantik dan suatu saat nanti akan tersemat menjadi identitas yang terus melekat padanya. Saya merasa dua kata tersebut tak cukup mewakili wadak bangunan Kedai Sebastien. Pak Akbar memperkenalkan tempat ini dengan sebutan Rumah Jengki, rumah yang dibangun atas dasar resistensi arsitektur. Pada masa itu American dream-nya masyarakat adalah memiliki, membangun, atau tinggal di rumah bergaya Belanda.

Selain ingin lepas dari khazanah Belanda, mereka ingin memiliki rumah dengan gaya dan cita rasa sendiri. Bukan Belanda. Sebuah resistensi, seperti supernova yang meledak lalu remahannya tersedot lubang hitam. Saya pikir resistensi adalah kata yang tepat untuk merepresentasikan tempat itu secara badani. 

Namun, tidak terpikirkan oleh saya untuk bertanya pada Pak Akbar, apa Jengki itu. Apakah ia sebuah singkatan? Siapa pencetusnya? Di manakah Rumah Jengki pertama di Malang? Pertanyaan semacam existing, being, dan becoming benar-benar tak muncul di kepala saya saat itu. Mungkin karena mata saya sibuk merayapi dinding, jendela, pagar, kursi, meja, dan perabotan hingga ke pori-porinya. Siapa pun pencetusnya, di manakah Rumah Jengki pertama dibangun, intinya adalah baru kali ini saya ketemu kedai kopi yang Jengki betulan, bukan jengki-jengkian.

Jengki seperti apakah Kedai Sebastien? Bisakah ia menjadi tempat Tolstoy dan Dostoevsky nongkrong bersama? Pertanyaan ini saya pakai untuk pemicu agar saya tidak terjebak pada ulasan “Jengki adalah”, karena penjelasan semacam ini kadang malah mendistorsi makna aslinya.

Pagi itu pukul setengah delapan, kopi dan teh pesanan kami sedang diracik. Sinar matahari yang belia ikut berkecipak di atas aliran sungai. Kami, para pendengar Pak Akbar—saat itu Pak Akbar membimbing lima orang―tengah melihat sisi lain dari ruang utama di lantai satu yang konon dulunya adalah kamar Pak Sebastien. Barulah saya sadar, Sebastien adalah nama empu kedai ini. 

Pak Akbar menunjukkan perabot anak sekolah tahun 90-an, meja kayu lipat yang tampaknya terbuat dari kayu pilihan karena tidak ada jejak rayap. Yang ada hanya jejak coret-coret para bocah yang tengah jatuh cinta. Ada juga coretan-coretan nama dengan huruf tebal, mungkin ditorehkan di sana untuk mengukuhkan eksistensi pemiliknya. 

Meja tebal itu berkaki ramping. Di bagian atas ternyata bisa dibuka. Saya membayangkannya seperti cara Edmond Dantes membuka harta karun di Pulau Monte Cristo saat Napoleon dibuang ke Elba. Saat penutup tersingkap, di dalam meja terdapat dua atau tiga sobek kertas. Pak Akbar berkata, “Di balik meja adalah tempat di mana anak-anak menempel jadwal pelajaran dan kotak di dalamnya berisi buku-buku pelajaran.”

Di situlah saya menambahkan sedikit cerita gatal, “Mungkin mereka juga menyelipkan surat cinta di sana, sebagaimana penyamun menyelundupkan bubuk mesiu.” 

Kayutangan: Morfologi Resistensi Arsitektur Rumah Jengki Menjadi Kedai Sebastien (1)
Meja dan kursi sekolah tahun 90-an di Kedai Sebastien/Putriyana Asmarani

Pak Akbar kemudian mengacungkan jari telunjuknya ke langit-langit ruangan. Ia berkata bahwa langit-langit ruangan itu ditopang besi rel kereta api. Sekeras apa pun saya berimajinasi, karena saya hanya tahu caranya membangun rumah pasir di pesisir pantai dan bukan rumah sungguhan, sulit bagi saya untuk memahaminya baik dengan cara berkhayal, sistematis, maupun matematis. Akan tetapi, itu yang membuat daya tarik dari ruangan tersebut―sesuatu mengganjal di langit-langit kamar Pak Sebastien dan Sherlock Holmes perlu disewa untuk memecahkannya: rel kereta api menopang langit-langit kamar.

Ruang tengah, di depan mbak-mbak barista ayu meracik teh dan kopi pesanan kami, terdapat seonggok meja yang ditata seakan-akan itu adalah meja kerja. Ada telepon kabel, buku-buku berbaris, map tua berisi entah apa, dan kursi kecil. Di belakang meja ada latar tempelan sobekan halaman buku dari togel dan tafsir mimpi. “Dulu diperbolehkan, sekarang dilarang,” kata Pak Akbar.

Yang ia maksud adalah praktik tafsir mimpi dan togel. Lembaran-lembaran kertas yang menempel di dinding itu, dulunya adalah buku pedoman penafsir mimpi. Sayang, Pak Akbar tidak mengajarkan pada saya cara membaca buku tersebut. Padahal saya berharap bisa menuntaskan rasa penasaran saya atas mimpi-mimpi saya, yang meskipun tak menguntungkan, mereka mungkin punya arti. Di atas kertas, ilustrasi hewan, dewa-dewi, dan tetumbuhan ada untuk mewakili angka dan beberapa kata yang sayangnya tidak saya pahami.

Jejak Nostalgia Lainnya di Lantai Dua

Di lantai dua terdapat tempat potong rambut, kursi tinggi berwarna selendang Nyai Ratu Kidul berbahan pentil, kaca lebar dan panjang sebagaimana sebuah salon, dan ada selembar wajah Diana di atas majalah beberapa tahun sebelum cerai dengan Charles. Tampaknya itu adalah halaman-halaman dari majalah lama dan pascamodern, karena di sana ada Emilia Clarke, Angelina Jolie, dan Selena Gomez.

Lantai dua cukup ikonis, ada ruang salon berdinding mozaik tempelan-tempelan berita hiburan. Melihat potongan-potongan itu mengingatkan saya pada arus gegap gempita dunia, yang dulunya benderang dan kini tenggelam begitu saja seperti nyanyian Kunti saat pagi menjelang. Pak Akbar berkata kalau salon zaman dahulu menggunakan kursi seperti itu. Ada pijakan kayu dan kebanyakan sandarannya berbahan karet pentil. 

Kursi-kursi lantai dua yang terlihat usang dan karat adalah penanda masa kesenjaan mereka. Namun, kursi ini tidak terlihat renta, ia arkais sehingga penampakannya cukup mengundang, “Sini Nona, duduk di sini.” Lepas dari ruangan salon, ada pintu yang menghubungkan ruangan tempat kursi-kursi tersebut berjajar. Tembok terbagi menjadi tiga arena terbuka, tembok pertama di posisi matahari terbenam yang terdapat jam tangan raksasa menggantung, tembok kedua adalah barisan foto keluarga, dan tembok arah matahari terbit bersisi pajangan benda pecah belah, foto aktris entah siapa, dan kalender tahun 1977. 

Beberapa barang dan perabot tempat itu adalah koleksi pribadi dan beberapa lainnya beli. Itu bukan masalah, menurut saya. Barang-barang tersebut butuh suaka yang tepat. Jadi, berada di Kedai Sebastien membuat mereka menyumbangkan identitas asli sehingga terbentuk identitas kolektif. TV lama dengan layar tambahan berwarna biru, cermin berbingkai kayu, setrika arang, guci ikan, seonggok sepeda anak, dan lain-lain diletakkan di sudut-sudut hampa sehingga tempat itu punya nyawa. 

Ruangan terakhir―jendela menghadap sungai dan matahari lingsir―adalah ruang paling terpencil. Melihat ruangan ini saya teringat pada seorang karakter penyamun dan penembak tua, pensiunan, yakni Peyrol dalam buku The Rover karya Joseph Conrad. Peyrol kembali ke kampung halamannya, tetapi masa kecil dan seluruh jejak keberadaannya telah tergusur oleh gonjang-ganjing politik Prancis. Ia kemudian menyewa kamar. Di sana ia memutuskan untuk mencari ketenangan.

Kayutangan: Morfologi Resistensi Arsitektur Rumah Jengki Menjadi Kedai Sebastien (1)
Salah satu sudut menarik di lantai dua Kedai Sebastien/Putriyana Asmarani

Di Kedai Sebastien, di tempat ini, jendela khas Jengki menghadap kelok sungai dan rumah-rumah, langit terhampar, dan dari bibir jendela semesta terbentang luas―sama seperti tempat Peyrol menyendiri. Saya tak punya kenangan apa pun soal tempat ini, bukan pula penyamun tua yang mengucilkan diri. Namun, area ini membawa kesan nostalgia.

Oleh karena itu, otomatis saya membayangkan koper tua milik Peyrol dan harta karun yang ia kumpulkan sepanjang perjalanan hidupnya di samudra tak terbatas. Saya juga otomatis membayangkan suatu saat nanti akan datang ke Kedai Sebastien lagi, duduk menyendiri di sudut itu, membaca atau mengarang secarik puisi. 

Saya rasa, dengan alih wujud Rumah Jengki yang dulunya hanya bisa diresapi oleh pemiliknya menjadi kedai kopi seperti Kedai Sebastien, dapat memperkaya horizon Rumah Jengki itu sendiri. Saya tidak pernah mendengar ada Rumah Jengki sebelumnya, jadi saya selalu merasa dirundung oleh krisis identitas. Ngikut Wong Londho. Sehingga, saya bisa sedikit lebih bangga, resistensi yang dilakukan bangsa ini ternyata dilakukan secara menyeluruh: pikiran, perbuatan, aksi, juga arsitektur.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kayutangan: Morfologi Resistensi Arsitektur Jengki Jadi Kedai Sebastien (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kayutangan-morfologi-resistensi-arsitektur-jengki-jadi-kedai-sebastien-1/feed/ 0 41018