Kedaulatan Pangan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kedaulatan-pangan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 12 Jun 2025 11:42:23 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Kedaulatan Pangan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kedaulatan-pangan/ 32 32 135956295 Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan https://telusuri.id/mendambakan-kedaulatan-udang-sorong-selatan/ https://telusuri.id/mendambakan-kedaulatan-udang-sorong-selatan/#respond Mon, 06 Jan 2025 09:00:04 +0000 https://telusuri.id/?p=45082 Komunitas nelayan di Kampung Konda dan Wamargege terus berjuang demi mendapatkan dua aspek pengakuan: wilayah hutan adat dan pusat penghasil udang banana. Butuh perjalanan panjang dan sinergi multipihak untuk mencapainya. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta...

The post Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan appeared first on TelusuRI.

]]>
Komunitas nelayan di Kampung Konda dan Wamargege terus berjuang demi mendapatkan dua aspek pengakuan: wilayah hutan adat dan pusat penghasil udang banana. Butuh perjalanan panjang dan sinergi multipihak untuk mencapainya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda & Mauren Fitri


Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan
Kampung Konda dan Wamargege terletak berdampingan di pinggiran Sungai Kaibus/Deta Widyananda

Woi! Ada udang, kah?” seru Piter Meres (38) lantang pada sekelompok pria di atas perahu bermesin tempel Johnson yang melambat. Orang-orang itu adalah nelayan yang baru pulang melaut sejak pagi. Sesaat lagi mereka akan merapat ke dermaga milik Misdam, warga keturunan Bone-Konda yang membuka usaha pengepulan dan rumah timbang udang.

Lokasinya tidak jauh dari tempat kami menyapa mereka, di rumah timbang udang milik Koperasi Fgan Fen Sisi. Koperasi ini dibangun atas inisiatif Yayasan EcoNusa, organisasi nirlaba yang bergerak dalam kegiatan pengelolaan sumber daya alam dan berkelanjutan berbasis masyarakat dengan fokus wilayah di kawasan Indonesia Timur. Dalam operasionalnya, EcoNusa menggandeng PT Ekosistem Bumi Lestari (KOBUMI) sebagai pembeli utama udang hasil tangkapan nelayan anggota koperasi. KOBUMI adalah perusahaan gabungan dari koperasi-koperasi milik masyarakat adat binaan EcoNusa di Papua dan Maluku dengan konsep bisnis berkelanjutan, untuk meningkatkan daya saing komoditas lokal dan kesejahteraan masyarakat adat.

Bangunan berbahan kayu nani laut dan merbau itu didirikan dengan model rumah panggung di tubir Sungai Kaibus. Terdapat dua bilik kamar—salah satunya gudang penyimpanan alat-alat melaut—dan teras luas terbuka untuk ruang tamu, lengkap dengan dapur kecil serta tiga chest freezer (kulkas pendingin dan pembeku ikan). Kami menginap di “basecamp” tersebut beberapa hari saat liputan ekspedisi Arah Singgah Papua 2024 di Kampung Konda dan Kampung Wamargege. 

Dua kampung dengan jumlah populasi 1.500-an penduduk (BPS Sorong Selatan, 2022) tersebut memang bersebelahan. Membentang kurang lebih satu kilometer di pinggir aliran Sungai Kaibus. Jaraknya sekitar 15 km dari Bariat, terletak di ujung jalan penghubung Teminabuan–Konda yang penuh lubang. Untuk ke sini, ada dua opsi. Pertama, naik motor atau mobil dengan estimasi jarak 25 km dan waktu tempuh normal 1 jam dari pusat Kota Teminabuan. Kedua, seperti kata Piter, bisa naik perahu atau speedboat dari Pelabuhan Teminabuan dengan waktu tempuh sedikit lebih cepat.

Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan
Dua orang nelayan yang baru pulang melaut dan berhasil membawa hasil tangkapan udang banana/Deta Widyananda

Jalan kecil yang membentang lurus dari gereja lawas Migdal Eder menjadi garis batas wilayah administrasi kampung. Konda di timur, Wamargege di barat. Rata-rata masyarakat adat yang menghuni kedua kampung tersebut berasal dari subsuku Yaben, bagian dari suku besar Tehit. Sebagian lagi merupakan subsuku Nakna dan Afsya. Selain tetap memanfaatkan kawasan hutan untuk berkebun atau berburu, kebanyakan bekerja sebagai nelayan. 

Udang menjadi komoditas laut yang paling diandalkan di sini, terutama udang banana. Melebihi lobster, kepiting bakau, atau ikan-ikan lainnya—baik kelompok demersal (hidup di dasar perairan) maupun pelagis (hidup dekat permukaan air). Udang banana (Penaeus merguiensis) atau banana shrimp adalah nama di pasar internasional. Dikenal juga dengan sebutan udang putih atau udang jerbung. Sala dkk (2021) menyebut lebih dari 50–70 persen hasil tangkapan masyarakat Konda dan Wamargege berupa udang banana. Bahkan mereka masih menjaga tradisi berupa ritual adat pemanggilan udang.

Sore itu (20/8/2024) kami memang menanti-nanti bagaimana bentuk udang banana yang jadi andalan masyarakat setempat itu. Walaupun tidak berharap banyak. Sebab, kami datang ke sini bulan Agustus. Kata Piter, ini bulan-bulan musim ombak dan angin kencang. Penduduk setempat menyebutnya angin selatan. Jarang nelayan yang berani melaut, terutama sampai ke laut lepas. Bulan ini juga bukan merupakan musim puncak udang banana. 

Untuk itulah Onesimus Ebar atau akrab disapa Ones (37), koordinator program EcoNusa Sorong Selatan sekaligus ketua koperasi, meliburkan sementara aktivitas ekonomi di Fgan Fen Sisi. Aktivitas timbang udang masih berlangsung terbatas di segelintir pengepul lokal saja, seperti di tempat Misdam. Di sana kami membeli dua kilogram udang untuk dimasak ramai-ramai. Marcelina, ibu satu anak yang tinggal di rumah seberang koperasi, didapuk sebagai juru masak oleh Ones.

  • Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan
  • Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan
  • Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan

Udang Konda ingin lebih dikenal dunia lewat koperasi

Kampung Konda dan Wamargege memiliki salah satu kawasan ekosistem mangrove terbesar di Sorong Selatan. Terbentuk oleh alam selama berabad-abad. Ekosistem ini menjadi bagian dari hutan mangrove di DAS Kaibus, salah satu dari 14 DAS yang menyusun zona Green Belt (sabuk hijau) Sorong Selatan dengan luas tutupan mencapai 76.171 hektare (Proyek SEA USAID, 2018). Seperti halnya di distrik pesisir lain—Saifi, Kokoda, dan Inanwatan—habitat primer di Konda didominasi oleh jenis Rhizophora apiculata. Tegakan pohonnya bisa mencapai 30–40 meter.

Hutan mangrove di sepanjang aliran Sungai Kaibus tersebut menjadi rumah besar bagi berbagai satwa liar, mulai dari kepiting bakau, buaya muara, aneka burung, dan termasuk udang putih atau udang banana—komoditas dominan. Meski demikian, nelayan Konda dan Wamargege umumnya lebih memilih lokasi muara atau laut untuk mencari udang daripada daerah sungai maupun teluk (woronggey). Sebab, potensi hasil tangkapannya lebih besar. Mulut laut selatan itu terlihat cukup jelas dari kampung.

Ada dua periode puncak musim penangkapan udang, yaitu bulan-bulan antara Maret–Mei atau Oktober–Desember. Diperkirakan terdapat ratusan ton udang banana yang bisa dihasilkan saat musim puncak tersebut. Seblum Serio (30), anggota Koperasi Fgan Fen Sisi, mengungkap bahwa dalam satu perahu Johnson 15 PK berisi dua orang nelayan bisa mendapatkan rata-rata 50–100 kilogram tangkapan udang banana per hari. “Biasanya kami pergi melaut itu jam delapan pagi, pulang jam 5 sore,” katanya.

Dalam sekali melaut, untuk mesin Johnson, nelayan membutuhkan 20 liter minyak (bensin) dan seliter oli mesin yang cukup untuk pergi-pulang. Di Konda, harga bensin Rp15.000 per liter dan oli Rp50.000 per liter. Kalau ingin hemat pakai perahu jenis jolor, karena menggunakan solar dengan harga Rp5.000 per liter. 

Ketika hasil tangkapan berlimpah, rumah-rumah timbang akan sibuk. Baik yang dikelola masyarakat maupun koperasi. Rata-rata rumah timbang akan menghargai sebesar Rp60.000 per kilogram udang banana. Seblum menambahkan, seorang nelayan minimal harus dapat 10 kilogram ke atas jika ingin mendapatkan pemasukan bersih setidaknya Rp50-100 ribu. Pada dasarnya nelayan berhak memilih dan akan mencari rumah timbang yang bisa membeli harga tinggi. Namun, ada perbedaan pengelolaan yang mendasar di antara keduanya.

Jika memilih menimbang di pengepul lokal seperti Misdam, ada imbal balik yang harus dilakukan nelayan. Nelayan mesti sekalian membeli bahan bakar minyak (BBM) di tempatnya. Misdam, yang selalu dibantu oleh Amir, adiknya, juga menyediakan persewaan jaring untuk nelayan. Maka setiap nelayan menjual udang ke Misdam, ada potongan sekitar Rp100 ribu untuk sewa alat tangkap tersebut.

Itu belum ditambah dengan potongan-potongan lain yang timbul karena adanya utang nelayan kepada Misdam. Begitu pun terjadi di pengepul-pengepul lain. Utang tersebut berupa modal keperluan melaut, seperti BBM, jaring, hingga bekal mencakup gula, kopi, dan rokok. Tak jarang seorang nelayan pulang ke rumah dengan tangan kosong karena hasil tangkapan hari itu belum cukup untuk melunasi utang. Yusup Sianggo (39), sekretaris koperasi, mengkonfirmasi ini.

Selama dua dekade terakhir, meski udang banana sudah menjadi produk unggulan, sebagian nelayan memang masih terkendala untuk mencapai taraf ekonomi yang diharapkan. Mereka pergi melaut demi bisa menutupi utang-utang yang kerap menumpuk karena hasil tangkapan kurang memuaskan. Bisa karena cuaca, keterbatasan alat tangkap, bahkan permainan pengepul di Teminabuan–Sorong atau perusahaan di tingkat atas yang terkadang mempermainkan harga. Kerap terjadi situasi yang “dikondisikan”, seperti tidak ada pembeli karena saking berlimpahnya panen udang. Akibatnya, hasil tangkapan nelayan tidak terserap secara adil.

Mengisi waktu dengan memancing ikan di kantor Koperasi Fgan Fen Sisi. Koperasi ini diharapkan bisa membantu perekonomian masyarakat Konda-Wamargege/Deta Widyananda

Untuk itulah Koperasi Fgan Fen Sisi berusaha hadir membantu masyarakat. Menurut Yusup, keberadaan koperasi untuk membantu nelayan agar dapat kepastian ekonomi dari udang banana maupun tangkapan ikan lainnya. Koperasi melalui KOBUMI akan mencarikan pasar atau pembeli udang banana hasil tangkapan nelayan. Selain membantu menyediakan alat tangkap jaring dan BBM dengan biaya terjangkau, koperasi juga memberlakukan sistem tabungan untuk nelayan. Tujuannya agar nelayan tidak terbebani dengan pengeluaran rutin atau ikatan utang setiap melaut.

“Misalnya, ada nelayan dapat 20 kg udang. Koperasi beli, tapi ada [hasil] 2–3 kg yang disisihkan untuk ditabung. Bendahara akan menyimpan uang dan mencatatnya dalam buku rekening yang dibawa oleh nelayan,” jelas Yusup. Sisa uang penjualan yang tidak ditabung bisa dibawa pulang nelayan. Sementara tabungan di koperasi tersebut, selain untuk simpanan mencukupi kebutuhan keluarga, juga bisa menjadi modal nelayan untuk melaut lagi di hari-hari berikutnya.

Kami melihat satu hal yang menarik perhatian di rumah timbang Misdam. Sebuah kondisi yang lazim berlaku di Konda dan Wamargege. Ternyata, setelah hasil tangkapan nelayan ditimbang dan dibeli, bagian kepala udang dibuang begitu saja. Sebab, sejauh ini, menurut Misdam, permintaan industri pengolahan udang di Kota Sorong tidak terlalu membutuhkan kepala udang. Sisanya disimpan dalam kotak es untuk selanjutnya disetor kepada pengepul di Teminabuan. Umumnya masyarakat belum terlalu mengetahui manfaat dari kepala udang.

Dari Teminabuan, udang-udang tanpa kepala itu akan dibawa ke Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI), Jembatan Puri, Kota Sorong. Pabrik-pabrik pengolahan ikan di sana akan memberi lokasi usahanya (Sorong) pada label kemasan. Dari ujung barat Papua itu, udang-udang Sorong Selatan berkelana sampai ke Jawa, mendarat di Surabaya hingga Jakarta. Setibanya di destinasi tujuan, orang-orang Jawa akan lebih mengenalnya sebagai udang Sorong daripada udang Sorong Selatan.

Kenyataan tersebut disayangkan sekaligus diterima sebagai kenyataan oleh Yusup dan nelayan-nelayan di kampung. Ia berharap di masa depan kedua kampung ini bisa berdaulat dalam mengelola hasil tangkapan udang banana di tanah sendiri. Yang jelas, seperti kata Yusup, orang-orang Konda dan Wamargege di Sorong Selatan ingin lebih dikenal sebagai penghasil udang banana daripada Sorong.

Senada dengan Yusup, Ones juga mengungkap peran penting lain dari koperasi. “Pada prinsipnya koperasi akan mendorong bagaimana udang produksi asli Konda ini bisa terkenal di tempat lain. Mungkin di Jakarta, atau daerah Jawa pada umumnya,” jelas suami Sopice Sawor, mantan kepala Distrik Konda itu. “bagaimana kita bisa mempertahankan nama Konda itu sampai di Sorong? Bahkan diekspor ke luar [negeri]?”

  • Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan
  • Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan

Kaldu udang Mama Yulita berharap dukungan pemerintah

Di sisi lain, inisiatif ekonomi berbasis masyarakat datang dari Yulita Sawor (45). Sejak tahun 2022, perempuan Konda tersebut membuat kaldu udang di dapur rumahnya. Priskila Sawor, istri Ones yang juga mantan kepala Distrik Bariat, juga menempati rumah ini.

Ide pembuatan kaldu udang berasal dari keresahan Yulita terhadap banyaknya bagian kepala udang banana yang terbuang begitu saja di rumah timbang.  Kecuali untuk konsumsi sendiri, nelayan akan menyimpan utuh seluruh bagian udang untuk dimasak. Maka ketika EcoNusa datang untuk memberi pendampingan pemberdayaan ekonomi lewat Koperasi Fgan Fen Sisi, Yulita menyambut hangat. Bantuan organisasi nonprofit itu membuat Yulita memiliki produk kaldu udang dengan kemasan yang lebih baik. Nama “Saipo” ia pilih sebagai merek usaha yang tercantum dalam label kemasan. “Saipo” dalam bahasa lokal artinya udang. 

Dari satu kilogram kepala udang banana segar, Yulita bisa memproduksi 500 gram tepung atau kaldu udang. Biasanya ada dua mama di sekitar rumah yang ikut membantunya, yaitu Dorsea Sawor (70) dan Miriam Serio (55). Namun, itu pun dalam satu hari Yulita hanya mampu mengolah maksimal enam kilogram bahan baku kepala udang. 

Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan
Contoh kemasan kaldu udang produksi Mama Yulita yang didukung EcoNusa/Deta Widyananda

“Tidak bisa lebih karena [produksinya] memakan waktu lama. Butuh kesabaran dan kita harus istirahat juga,” kata Yulita. Jika suaminya, Abraham, ikut membantu, kapasitas produksinya bertambah empat kilogram lebih banyak. 

Jika dimasukkan dalam botol kemasan 100 gram, maka terdapat lima botol dengan harga jual Rp25.000 per botol. Syarat estimasi produksi sebanyak itu hanya satu, bahan baku udang harus segar dan proses pengolahannya dilakukan pada satu hari yang sama. Sebab, Yulita tidak menggunakan pengawet, sehingga Yulita hanya membuat kaldu udang berdasarkan pesanan. 

Saat ini, meski sudah mengantongi sertifikat izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) dari dinas kesehatan kabupaten, Yulita mengaku masih mengalami sejumlah kesulitan untuk mengembangkan usahanya. Selain pemasaran yang belum stabil, Yulita menilai dukungan pemerintah untuk industri rumah tangga di kampung pedalaman belum maksimal. Padahal, ia beberapa kali mewakili Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM Sorong Selatan ke acara-acara bazar atau pameran di luar kota.

“Selama ini pemerintah tahu saya membuat kaldu, tapi tidak pernah ada perhatian [lebih lanjut] dari mereka untuk kami,” keluh Yulita. Ia berharap bisa mendapat akses permodalan untuk memperbarui dan meningkatkan kapasitas alat-alat produksinya, serta jejaring pemasaran yang menjamin stabilitas pendapatan Yulita dan tim produksi.

Proses pengupasan kepala udang sebagai bahan baku pembuatan kaldu udang di rumah Mama Yulita/Deta Widyananda

Tidak hanya kaldu saja yang Yulita bisa buat, tetapi juga kerupuk udang dan bakso udang. Dua produk olahan ini sudah mampu ia hasilkan sejak sedekade lalu. Meski, lagi-lagi produksinya hanya berdasarkan pesanan karena keterbatasan alat dan tenaga kerja.

Kesulitan lain yang Yulita alami adalah faktor iklim, yang sangat berpengaruh pada pasokan bahan baku. Jika musim angin kencang atau gelombang besar, seperti saat kami datang ke sana, tidak banyak nelayan yang turun melaut. Kalaupun ada yang melaut, tidak banyak udang yang didapat. Akibatnya, hasil tangkapan terbatas. Kalaupun Yulita harus pergi melaut sendiri, itu juga bergantung dengan ketersediaan perahu, bahan bakar, dan risiko keselamatan yang harus ia tanggung. 

Namun, di tengah banyaknya tantangan yang dihadapi, Yulita sejatinya masih belum putus harapan. Ia bermimpi kelak memiliki perusahaan kaldu udang sendiri, meski dalam skala industri rumah tangga. Ia percaya dengan masa depan Saipo, selama ada sinergi dukungan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat Konda-Wamargege itu sendiri dalam menjaga lingkungan habitat udang banana. 

Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan
Mama Yulita (paling kanan) bersama Dorsea Sawor (tengah) dan Miriam Serio. Ketiga mama produktif ini berharap mendapat dukungan pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi kaldu udang khas Konda/Deta Widyananda

Mendesak pengakuan hutan adat

Mesin perahu dimatikan. Hanya terdengar kecipak air sungai yang membentur dinding perahu. Gelombangnya kemudian menerjang akar-akar bakau yang mencuat di atas permukaan air. 

Dalam kesunyian hutan mangrove berusia tua itu, dari atas perahu Yohan Meres (70), tokoh adat Kampung Konda, bersenandung dalam bahasa lokal. Lagu yang dinyanyikan ibunya semasa ia kecil. Ia mengenang masa anak-anak saat diajak ibunya berlayar ke laut. Masa-masa saat alam masih asri, bulan bersinar terang, dan laut banyak ikan. Sesekali suaranya tertahan, tangannya menyeka air mata yang diiringi isak. Terbayang keindahan masa lalunya yang bersahaja.

Meski zaman sekarang berbeda, Yohan mengharapkan alam di Konda tetap terjaga seterusnya. Tak terkecuali ribuan hutan mangrove di perairan Sungai Kaibus yang selalu jadi pemandangan sehari-hari masyarakat Konda-Wamargege. Ia bahkan menyebut pohon-pohon bakau itu pun punya hak adat, sebab “mereka” sudah tinggal lama dan menyatu dengan alam di sekitarnya. Hak adat yang tidak hanya berlaku bagi ekosistem di laut saja, tetapi juga di darat. 

“Jadi, kalau ada pengusaha-pengusaha yang datang untuk [penebangan] kayu, memang kami masyarakat ini menolak itu,” tegas pria berdarah Nakna itu. Penolakan masyarakat juga berlaku untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit maupun industri ekstraktif lainnya.

Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan
Yohan Meres, sesepuh adat Kampung Konda mengenakan ikat kepala adat khas Kampung Konda, difoto di tengah hutan mangrove. Sikapnya tegas memperjuangkan pengakuan hutan adat dan menolak segala investasi kapitalisme apa pun masuk ke kampungnya/Deta Widyananda

Ones pun menguatkan sikap Yohan. Menurutnya, dari lima sistem perhutanan sosial yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Hutan Adat (HA) merupakan skema terbaik dan berkekuatan hukum paling kuat. Terutama di kawasan yang memiliki komunitas adat dan penerapan tanah ulayat seperti Papua. Sebab, hanya masyarakat adat yang lebih paham tentang cara menjaga hutan, sungai, dan lautan yang ada di wilayah mereka.

Begitu pun dengan Konda-Wamargege. Kepastian legalitas surat keputusan (SK) pengakuan hutan adat, yang nantinya dikeluarkan oleh pemerintah, akan menjamin kelangsungan ekosistem sumber daya perairan dua kampung itu. Keputusan Bupati Sorong Selatan pada Juni 2024, yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan wilayah hutan adat di Distrik Konda, harus dikawal hingga mendapat kepastian hukum mengikat di tingkat pemerintah pusat.

Jika mengacu pada riset Irwanto dkk dalam Proyek SEA USAID (2018), bisa jadi Distrik Konda jadi benteng terakhir hutan mangrove Sorong Selatan. Sebab, beberapa daerah di Kais, Metamani, Saifi, dan Kokoda telah terjadi penebangan hutan mangrove untuk keperluan akses perkebunan kelapa sawit maupun eksplorasi minyak dan gas. Dampaknya rawan terjadi konflik tenurial antarmarga karena penyempitan lahan adat.

Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan
Pucuk-pucuk pohon bakau pembentuk ekosistem hutan mangrove di Sungai Kaibus/Deta Widyananda

Di satu sisi, harapan Yusup dan Ones agar udang Konda dan Wamargege lebih dikenal luas masih memiliki prospek cerah. Kelestarian ekosistem yang menjadi syarat dasar keberlanjutan hingga kini masih dijaga para nelayan. Kata Ones, jika sedang menangkap ikan, udang, atau kepiting, lalu menemukan ada yang masih bertelur, nelayan akan mengembalikan lagi ke laut. Tujuannya membiarkan satwa bertelur dan tumbuh ideal terlebih dahulu. Bahkan jika ada ikan yang tidak diperlukan lalu terjaring tidak sengaja, selama masih hidup, akan dilepaskan juga. Hal ini dilakukan agar menjaga ketersediaan satwa di laut secara berkelanjutan.

Kondisi itu sejalan dengan temuan menarik dari beberapa penelitian metode penangkapan ikan nelayan-nelayan di Sorong Selatan. Ratna (2019) mengungkapkan, indikasi frekuensi pelanggaran atau penangkapan destruktif kurang dari lima kasus per tahun. Sementara Sala dkk (2021) menyebut bahwa upaya penangkapan ikan oleh nelayan masih cukup jauh di bawah batas jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB). 

Maka, selanjutnya melestarikan kemasyhuran udang banana Konda-Wamargege tergantung pada kerja sama warganya. Seperti tersirat dari nama koperasi, “Fgan Fen Sisi” yang bermakna “berjalan sama-sama”, mengindikasikan ajakan untuk sejalan dalam harapan dan kesejahteraan. Melestarikan warisan dan pesan luhur dari leluhur adat.

Dampaknya, masyarakat bisa memanfaatkan hasil alam secukupnya untuk ekonomi dan kebutuhan rumah tangga; tanpa terusik ancaman investasi ekstraktif atau gangguan apa pun. Tidak terkecuali hutan mangrove tua dan kawasan laut yang menjadi ujung Sungai Kaibus itu. Rumah bagi kepiting, ikan, dan udang banana yang harus terus dijaga. (*)


Referensi:

Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dan Proyek Sustainable Ecosystems Advanced (SEA) USAID (2018). Kondisi Laut: Indonesia, Jilid Tiga: Menjelajahi Indonesia bagian Timur. Proyek SEA USAID – Lokasi dan Kegiatan. Jakarta, pp. 206. https://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PA00XBT6.pdf.
Ratna. (2019). Sustainable Shrimp Fisheries Management at Sorong Selatan of West Papua  Using EAFM  Tools  In  Fishing  Domain  Techniques. Russian  Journal  of Agricultural and Socio-Economic Sciences, 7(91), July 2019. https://doi.org/10.31227/osf.io/g9tvx.
Sala, R. (2021) Sumber Daya Perikanan Laut Perairan Sorong Selatan: Pemanfaatan dan Pengelolaan Berkelanjutan. Yogyakarta: Deepublish.


Foto sampul:
Tumpukan udang banana hasil tangkapan nelayan Konda dan Wamargege. Udang banana merupakan komoditas laut yang diandalkan masyarakat kedua kampung/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendambakan-kedaulatan-udang-sorong-selatan/feed/ 0 45082
Menyambut Inisiatif Orang Muda Bandung dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Perkotaan https://telusuri.id/menyambut-inisiatif-orang-muda-bandung-dalam-mewujudkan-ketahanan-pangan-perkotaan/ https://telusuri.id/menyambut-inisiatif-orang-muda-bandung-dalam-mewujudkan-ketahanan-pangan-perkotaan/#comments Fri, 13 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44560 Sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia, Bandung memiliki tantangan serius untuk mencukupi kebutuhan pangan lokal warganya. Betapa tidak, sejumlah data statistik menunjukkan perlunya intervensi dan gebrakan besar yang bersifat kolaboratif untuk mengatasi persoalan tersebut. Kota...

The post Menyambut Inisiatif Orang Muda Bandung dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Perkotaan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia, Bandung memiliki tantangan serius untuk mencukupi kebutuhan pangan lokal warganya. Betapa tidak, sejumlah data statistik menunjukkan perlunya intervensi dan gebrakan besar yang bersifat kolaboratif untuk mengatasi persoalan tersebut.

Kota berpenduduk sekitar 2,5 juta jiwa pada tahun 2022 itu (BPS Kota Bandung, 2023), dengan populasi terbesar penduduk berusia produktif antara 15–29 tahun (mencapai 24%), harus menggantungkan pasokan sumber pangan segar yang aman dikonsumsi sebanyak 96% dari daerah luar Bandung (Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Bandung, 2022). Baik dari provinsi di Jawa maupun luar Jawa. Jenis pangan itu antara lain tanaman pangan dan hortikultura (beras, buah-buahan, sayuran, palawija, rempah-rempah), hasil peternakan (telur, daging, susu), serta hasil perikanan (ikan segar dan ikan asin).

Selanjutnya tersisa hanya kurang dari 4% saja total kebutuhan pangan yang sanggup dipenuhi dari hasil produksi pertanian lokal. Penyebabnya antara lain ketersediaan lahan pertanian yang sangat kecil, yakni 807,11 hektare, atau hanya 4,8% dari total luas wilayah Kota Bandung yang mencapai 167,31 km2. Angka ini bisa terus menurun akibat konversi lahan untuk pembangunan nonpertanian dan lambatnya regenerasi petani (BPS Kota Bandung, 2023).

Kondisi alam turut memengaruhi stabilitas pasokan pangan di Bandung. Riset Adib (2014) mencatat curah hujan yang tinggi pada tahun 2010 menyebabkan hilangnya 30% pasokan sayuran segar untuk kota ini. Bencana hidrometeorologi lanjutan, yakni banjir, menghambat alur distribusi dan aksesibilitas pasokan pangan ke masyarakat.

Di tengah kondisi itu, Kota Bandung juga menghadapi dampak perubahan iklim yang memengaruhi kestabilan pasokan pangan. Pada tahun 2010, tingginya curah hujan menyebabkan hilangnya 30% pasokan sayuran untuk kota ini (Adib, 2014). Distribusi pangan juga terhambat oleh masalah banjir, terutama di bagian selatan kota, yang sering terjadi dan mengganggu aksesibilitas. Selain itu, inflasi sebesar 7,45% pada Desember 2022 telah meningkatkan harga barang pokok, memperburuk daya beli masyarakat dan menambah tekanan pada akses pangan (BPS Kota Bandung, 2023).

Tekanan lain datang dari pengolahan sampah yang belum optimal. Sebanyak 44,52% sampah perkotaan di Bandung berasal dari limbah makanan, mulai dari limbah rumah tangga, pasar, perhotelan, hingga limbah makanan kedaluwarsa yang terbuang begitu saja. Angka ini sekitar 3,88% lebih tinggi dari rata-rata nasional (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2022). Padahal pengeluaran masyarakat Kota Bandung untuk makan cukup besar dan terjadi peningkatan setiap tahunnya. Jika tidak dikelola dengan baik, masalah-masalah tersebut bisa mengancam kegiatan perekonomian dan ketahanan pangan Kota Bandung.

Untuk itu perlu langkah progresif dan tepat sasaran agar penyediaan sumber pangan lokal tidak terus terjatuh dalam jurang krisis. Tingginya minat orang muda terhadap bisnis dan gerakan kemasyarakatan, ketersediaan lokapasar digital, hingga keterbukaan pada kolaborasi lintas sektor di hulu–hilir mesti disambut baik.

Inisiatif-inisiatif yang bermula dari lingkup kecil, tetapi bisa berdampak besar telah menunjukkan bukti konkret secara perlahan. Orang-orang muda muncul bak tunas pemberi harapan.

Fokus kegiatan Seni Tani menggarap lahan-lahan tidur di kawasan perkotaan menjadi kebun sayur produktif untuk menunjang
ketahanan pangan/Dokumentasi Seni Tani

Inisiatif ketahanan pangan berbasis masyarakat

Persoalan pemenuhan kebutuhan pangan lokal di Kota Bandung mengundang orang-orang muda bergerak. Salah satu yang populer adalah Seni Tani, sebuah kelompok orang muda yang diinkubasi atau diberdayakan dari Komunitas 1000Kebun. Seni Tani berfokus menghidupkan kembali lahan-lahan pertanian perkotaan yang “tertidur” alias tidak produktif di kawasan Arcamanik, khususnya Kelurahan Sukamiskin. 

Gerakan tersebut muncul dengan konsep Community Supported Agriculture (CSA), yang menghasilkan produk pertanian ramah lingkungan secara kolektif. Program CSA berupaya mengembangkan sistem pasar pangan lokal secara adil, menghubungkan konsumen dan petani tanpa sekat, hingga melakukan edukasi dan praktik pertanian berkelanjutan untuk generasi muda. Generasi muda di Bandung menjadi kelompok yang paling diperhatikan, mengingat tingginya tingkat depresi akibat pengaruh media sosial dan kesulitan ekonomi selama pandemi COVID-19 lalu.

Berdasarkan riset Pertiwi dkk (2021), pada Agustus 2020, dari 647 responden remaja usia 14–18 tahun di Kota Bandung, sebanyak 58,74 mengalami kecemasan sebagai bentuk kondisi psikologi negatif akibat pandemi COVID-19. Dari jumlah itu, 32,15% di antaranya mengalami depresi sedang atau berat. Mereka mengalami tekanan psikologis yang berat akibat adanya kebijakan pembatasan interaksi dan adaptasi kebiasaan baru oleh pemerintah. Sementara BPS Kota Bandung (2021) menyatakan adanya kenaikan tingkat pengangguran terbuka di kalangan muda (angkatan kerja di atas 15 tahun) di kota tersebut selama pandemi. Dari 105.067 orang (8,16%) pada 2019, meningkat menjadi sebanyak 147.081 orang (11,19%) pada 2020.

Kondisi itu termasuk yang melandasi lahirnya gerakan berbasis orang muda oleh Seni Tani. Setidaknya ada tiga aspek yang diperjuangkan Seni Tani, yaitu lingkungan, sosial, dan ekonomi. Dari sisi lingkungan, Seni Tani mengubah lahan tidur di kawasan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) Arcamanik menjadi kebun pertanian organik. Lalu dari segi sosial, Seni Tani melibatkan orang muda dan komunitas setempat untuk mendapatkan pelatihan urban farming dan menyediakan akses pangan lokal dan sehat. Terakhir di aspek ekonomi, para petani muda kota yang tergabung dalam Seni Tani mendapatkan kepastian pendapatan dari hasil tani mereka dengan pendekatan sistem CSA atau Tani Sauyunan.

Contoh komoditas sayur organik hasil panen dari kebun-kebun yang dikelola Seni Tani maupun petani muda mitra
di Kota Bandung/Dokumentasi Seni Tani

“Sauyunan” bermakna kebersamaan, yang berarti sistem ini akan mendekatkan petani dan masyarakat secara langsung. Sampai dengan Oktober 2024, 189 orang warga Kota Bandung telah menjadi anggota CSA-Tani Sauyunan. Sejak Januari 2021, gerakan ini telah menggarap 913 m2 lahan tidur, mengolah 12.046 kg sampah dapur dan halaman, menghasilkan 6.023 kg kompos, dan memproduksi 1.934 kg sayuran sehat.

Inisiatif hebat dari orang muda tersebut disambut positif oleh AKATIGA, lembaga penelitian nonprofit yang berdiri sejak tahun 1991 dan didirikan oleh sekelompok peneliti ilmu sosial Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan International Institute of Social Studies Den Haag (ISS). Lembaga ini bergerak dengan tiga fokus kegiatan: penelitian sosial, monitoring dan evaluasi program-program pembangunan, serta rekomendasi kebijakan.

Sebagai upaya memastikan kelestarian sistem CSA oleh Seni Tani, kedua pihak kemudian sepakat membangun Konsorsium Paguyuban Pangan (PUPA) dengan program utama penguatan kapasitas komunitas dalam mengembangkan sistem pangan lokal Kota Bandung secara berkelanjutan. Dalam rilis resminya, AKATIGA meyakini CSA Tani Sauyunan sebagai peluang orang-orang muda untuk menciptakan lingkungan sosial, politik, dan ekonomi; yang memungkinkan orang muda memiliki akses dan kontrol lebih besar terhadap sumber daya penghidupan berkelanjutan di perkotaan.

Konsorsium ini adalah bagian dari program Urban Futures yang didukung oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis). AKATIGA berupaya mendukung perkembangan CSA Tani Sauyunan melalui kerangka riset dan advokasi kebijakan. Harapannya, kemudian mendorong ruang kebijakan yang dapat memfasilitasi sistem berbasis komunitas tersebut sebagai alternatif untuk memperkuat sistem pangan berkelanjutan di Kota Bandung.

Dalam pernyataan resminya di acara peluncuran Urban Futures di Pendopo Kota Bandung (8/3/2024), Vania Febriyantie, pendiri Seni Tani, menganggap Seni Tani bagaikan doa yang diaminkan lewat program Urban Futures. Baginya, sangat penting untuk mengenal asal makanan, siapa yang menanam, dan bagaimana cara menanam agar menimbulkan empati pada sepiring makanan yang tersaji. Ia berharap bisa berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk menjaga ketahanan pangan di Kota Bandung secara berkelanjutan.

Program CSA-Tani Sauyunan menghubungkan distribusi produk sayuran antara petani dengan pemesan (pasar)
secara langsung/Dokumentasi Seni Tani

Gandeng tangan untuk ketahanan pangan Bandung

AKATIGA dan Seni Tani tidak bisa berjalan sendirian. Langkah progresif lewat bingkai Konsorsium PUPA perlu kawalan tangan multipihak untuk menjamin keberlanjutan. Sebab, pertumbuhan populasi penduduk merupakan keniscayaan. Kian banyak orang yang harus dicukupi kebutuhan pangan dan nutrisinya. Pun perubahan iklim terus menggerus bumi, menimbulkan ketidakpastian dalam sistem pertanian masyarakat. Butuh banyak tangan orang muda untuk saling bergandengan mewujudkan ketahanan pangan perkotaan.

Urban Futures menjadi salah satu medium untuk mewujudkan itu. Program global lima tahun (2023–2027) tersebut berfokus pada sistem pangan perkotaan, kesejahteraan golongan muda, dan aksi iklim. Di Indonesia, selain Manggarai Barat, pelaksanaan program yang dikelola Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis) dengan dukungan mitra, jaringan, dan pakar lokal tersebut juga berlangsung di Bandung. Acara kick-off Urban Futures Bandung berlangsung pada 5–6 Maret 2024 di Pendopo Kota Bandung. Sejumlah pemangku kepentingan hadir. Mulai dari Yayasan Humanis, Pemerintah Kota Bandung, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Bandung, hingga pelaksana program Urban Futures di Bandung, seperti RISE Foundation dan Konsorsium KOPAJA. 

Dalam keterangannya melalui portal berita Pemerintah Provinsi Jawa Barat (8/3/2024), Asisten Perekonomian dan Pembangunan Pemerintah Kota Bandung Eric M. Attauriq menyambut positif kegiatan tersebut. Ia menyebut kolaborasi tidak hanya penting untuk mendukung ketahanan pangan, tetapi juga memberi kemudahan akses pangan berkelanjutan, beragam, dan bergizi. Baginya, Urban Futures sangat relevan dengan budaya kreatif yang dimiliki orang muda Kota Bandung dalam melakukan transformasi sistem pangan yang inklusif dan berkelanjutan.

Di sisi lain, Kepala DKPP Kota Bandung Gin Gin Ginanjar mengungkapkan rasa syukurnya karena, Kota Bandung mendapat kesempatan menyelenggarakan kegiatan Urban Futures. Ia menyebut kegiatan ini merupakan buah dari upaya Pemerintah Kota Bandung dalam menggalakkan program Buruan Sae, sebuah program pertanian perkotaan (urban farming) terintegrasi yang ditujukan untuk menanggulangi ketimpangan permasalahan pangan di Kota Bandung. Program ini mengajak masyarakat memanfaatkan pekarangan atau lahan yang ada untuk berkebun memenuhi kebutuhan pangan di lingkup keluarga.

Pernyataan dari perwakilan pemerintah daerah tersebut menunjukkan komitmen dan dukungan pada ikhtiar mewujudkan kemandirian pangan lokal, termasuk mengakomodasi peluang kolaborasi dengan inisiatif-inisiatif komunitas setempat. Tujuannya adalah agar Kota Bandung tidak bergantung pada wilayah lain.

Direktur Eksekutif Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial, Tunggal Pawestri menyampaikan apresiasi terhadap Pemerintah Kota Bandung. Kota Kembang ini terpilih sebagai kolaborator berkat sejumlah prestasi serta rekam jejak aktivasi Pemerintah Kota Bandung dalam upaya menjaga ketahanan pangan. Lebih lanjut, Tunggal Pawestri mendorong generasi muda untuk menjadi aktor transformasi ketahanan pangan di masa depan.

Maka terbitnya Perda Kota Bandung Nomor 3 Tahun 2024 tentang Pelayanan Bidang Pangan, Pertanian dan Perikanan, yang berimplikasi mendorong peningkatan produksi pangan lokal, perlu diterjemahkan lebih teknis ke dalam peraturan-peraturan turunan. Tujuannya, payung-payung hukum tersebut akan melindungi upaya peningkatan produksi pangan lokal berbasis masyarakat, memastikan akses pangan secara sehat dan aman, serta mencari bibit orang-orang muda lainnya sebagai garda terdepan dalam peningkatan produksi dan ketahanan pangan lokal di Kota Bandung. 


Referensi:

Adib, M. (2014). Pemanasan Global, Perubahan Iklim, Dampak, dan Solusinya di Sektor Pertanian. BioKultur, Vol.III/No.2/Juli–Desember 2014, hal. 420–429. https://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-bkbbfe09eddcfull.pdf.
Badan Pusat Statistik Kota Bandung. (2020). Kota Bandung dalam Angka 2020. Diakses dari https://bandungkota.bps.go.id/id/publication/2020/04/27/0a1cfa49906db067b3fb7e5e/kota-bandung-dalam-angka-2020.html.
Badan Pusat Statistik Kota Bandung. (2021). Kota Bandung dalam Angka 2021. Diakses dari https://bandungkota.bps.go.id/id/publication/2021/02/26/2fb944aeb2c1d3fe5978a741/kota-bandung-dalam-angka-2021.html.
Badan Pusat Statistik Kota Bandung. (2023). Kota Bandung dalam Angka 2023. Diakses dari https://bandungkota.bps.go.id/id/publication/2023/02/28/13fdfc9d27b1f2c450de2ed4/kota-bandung-dalam-angka-2023.html.
Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Bandung. (2022). Rencana Strategis (Renstra) Perubahan Kota Bandung 2018–2023. Diakses dari https://ppid.bandung.go.id/storage/ppid_pembantu/informasi_setiap_saat/dS2XItXwdwGYkIrVET4EaaEYPawo6S1qeq4FFWUZ.pdf.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2022). Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional. SIPSN. Diakses dari https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/.
Pertiwi, S. T., Moeliono, M. F., dan Kendhawati, L. (2021). Depresi, Kecemasan, dan Stres Remaja selama Pandemi Covid-19. Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI HUMANIORA, Vol. 6, No. 2, September 2021. DOI: http://dx.doi.org/10.36722/sh.v6i2.497.

Foto sampul: Inisiatif orang muda peduli sistem pangan berkelanjutan lewat gerakan Seni Tani di Kota Bandung, Jawa Barat/Dokumentasi Seni Tani


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyambut Inisiatif Orang Muda Bandung dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Perkotaan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyambut-inisiatif-orang-muda-bandung-dalam-mewujudkan-ketahanan-pangan-perkotaan/feed/ 1 44560
Saatnya Orang Muda Manggarai Raya Berdaulat atas Pangan Berkelanjutan https://telusuri.id/saatnya-orang-muda-manggarai-raya-berdaulat-atas-pangan-berkelanjutan/ https://telusuri.id/saatnya-orang-muda-manggarai-raya-berdaulat-atas-pangan-berkelanjutan/#respond Wed, 03 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42272 Sebagai kelompok etnis paling barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Manggarai memiliki jejak panjang histori dan corak kebudayaan yang menarik. Mulai dari sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan lokal dan tatanan sosial di masa lampau yang pernah...

The post Saatnya Orang Muda Manggarai Raya Berdaulat atas Pangan Berkelanjutan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai kelompok etnis paling barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Manggarai memiliki jejak panjang histori dan corak kebudayaan yang menarik. Mulai dari sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan lokal dan tatanan sosial di masa lampau yang pernah dikuasai secara bergantian oleh Kesultanan Bima (Sumbawa) dan Kesultanan Gowa (Sulawesi); sampai dengan ritus-ritus adat sebagai bentuk harmoni dengan alam di sekitarnya. Masyarakatnya tersebar di tiga kabupaten yang biasa disebut kawasan Manggarai Raya, yaitu Manggarai Timur, Manggarai, dan Manggarai Barat. 

Tak hanya itu. Sebagai bagian dari budaya, alam dataran rendah Flores yang relatif kering dengan curah hujan rendah, menumbuhkan komoditas-komoditas pangan endemik dan unik. Salah satu yang khas adalah sorgum atau garai. Produk kuliner yang sempat lama melekat sebagai bahan pokok utama di NTT selain jagung.

Namun, gempuran beras dan kenikmatan tepung terigu (seperti digunakan pada adonan mi dan roti) turut berkontribusi pada terpinggirkannya sorgum dari daftar utama makanan pokok. Liputan Tirto (04/10/2023) menyebutkan bahwa banyak generasi muda tidak tahu nama dan bentuk sorgum itu sendiri. Sebab sorgum dan varietas pangan lokal lainnya sudah digeser dari meja makan orang-orang NTT, tak terkecuali di Manggarai Raya. Padahal sorgum jauh lebih bermanfaat dan sehat karena bebas gluten, tetapi terabaikan saat program swasembada beras merebak di masa Orde Baru.

Kini, belakangan mulai tumbuh optimisme dan kepercayaan diri untuk mengangkat kembali aneka pangan lokal yang terlupakan. Satu hal yang menarik, harapan itu muncul dari generasi muda, khususnya di Manggarai Raya. Manggarai Raya, khususnya Manggarai Barat, bukan hanya membicarakan Labuan Bajo dan komodo. Di balik gemerlap polesan destinasi wisata super premium, terdapat gebrakan para orang muda yang peduli pada kehidupan berkelanjutan. Salah satunya dengan upaya melestarikan pangan lokal dengan memanfaatkan komoditas-komoditas yang tumbuh di sekitar rumah. Menyeimbangkan kebutuhan ekonomi sekaligus fungsi ekologis.

Bisnis lestari di Lembah Pesari

Tidak terlalu jauh dari gemerlap destinasi wisata super premium Labuan Bajo, kira-kira berjarak tak lebih dari 20 km, nyala terang kiprah perempuan Flores tergambar pada sosok Elisabet Yana Tararubi (39). Seorang lulusan D3 kebidanan dan pernah bekerja di salah satu klinik di Banyuwangi, Jawa Timur, yang kemudian mengubah haluan hidupnya untuk berdikari di tanahnya sendiri.

Bersama sang suami, perempuan kelahiran Sikka itu mendirikan Sten Lodge Eco Homestay di kampung Melo, Liang Ndara, Kecamatan Mbeliling, Manggarai Barat. Di dalamnya, Dapur Tara yang menjadi bagian penginapan ramah lingkungan tersebut menjadi daya tarik lebih bagi pengunjung, baik itu dari kalangan domestik maupun mancanegara. Kedua bidang bangunan itu bersanding dengan kebun berlimpah varietas lokal yang jadi kebanggaan Liz, sapaan akrabnya.

Pernyataan yang disampaikan di akun Instagram pribadinya, saat Najwa Shihab—jurnalis kenamaan—berkunjung ke Dapur Tara belasan minggu yang lalu, menegaskan misi utama Liz dalam melestarikan sumber-sumber pangan lokal yang terlupakan. “Hari ini, [kami] menyediakan apa yang dikasih semesta,” katanya.

Dalam usahanya menjaga keberlanjutan lingkungan di Lembah Pesari, nama lain dari daerah yang ia tempati sekarang, Liz memutuskan untuk menerapkan teknik permakultur tradisional. Keputusan itu lahir dari kesadarannya akan bahaya pertanian dengan pola tanam monokultur yang kurang berkelanjutan. Hasil makanan yang ia olah bukan hanya untuk dirinya dan keluarga, melainkan juga tamu-tamu yang menginap di homestay miliknya

Liz (kiri) dan sudut kebun permakultur di kompleks Dapur Tara dan homestay miliknya (Instagram Dapur Tara Flores)

Menurut Kementerian Pertanian, permakultur merupakan salah satu desain sistem produksi pangan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Lanskap produksi pangan yang dikerjakan meniru keragaman dan ketahanan ekosistem alami yang tumbuh di lingkungan sekitar.  Sistem ini mendasarkan pendekatan desain holistik dengan kepedulian terhadap kesehatan lingkungan. Salah satu penerapan permakultur yang dilakukan Liz adalah menanam berbagai jenis tanaman sesuai fungsinya dalam mendukung ekosistem. Misalnya, rumput untuk meningkatkan sumber air bersih, lalu tanaman kemangi dan serai yang mampu mengurangi populasi hama serangga yang berpotensi merugikan.

Namun, ada satu kendala yang ia hadapi, yaitu belum adanya pasokan listrik di tempat tinggalnya itu sehingga ia tidak bisa memanfaatkan lemari pendingin untuk menyimpan makanan. Sebagai solusi agar kualitas bahan makanan tetap terjaga, Liz aktif mempraktikkan metode pengawetan tradisional, seperti pengasapan dan pengawetan sambal dalam bambu.

Bisnis lestari yang dilakukan Liz memang sekilas tidak “seksi” atau jauh dari kata “modern”. Akan tetapi, ia melakukannya untuk menciptakan kedaulatan pangannya sendiri demi masa depan berkelanjutan. Di tengah maraknya jual beli lahan untuk keuntungan individu dan atas nama pengembangan pariwisata, Liz menitipkan pesan. Ia mengatakan, “Penting sekali untuk tidak menjual tanah yang kita punya, sebab tanah dan hutan adalah sumber makanan dan obat-obatan yang tak ternilai harganya.”

Perenungan berbuah kecap raping

Namanya Angela Ratna Sari Biu. Akrab disapa Angel Biu. Perempuan muda asal Desa Kajong, Kecamatan Reok Barat, Kabupaten Manggarai ini adalah seorang lulusan S-1 Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana, Kupang. Namanya mencuat ke publik ketika ia mulai dikenal setelah menemukan kecap raping atau kecap berbahan gula aren beberapa tahun lalu.

Pertemuan Angel Biu dengan kecap raping tidak berlangsung tiba-tiba. Semua bermula pada perenungan Angel Biu terhadap perjalanannya berbisnis pangan selama lima bulan. Penggunaan plastik dalam bahan baku dan kemasan makanan yang dijual membuatnya sadar jika telah berkontribusi pada kerusakan lingkungan. 

Sejak saat itu, Angel Biu mulai mengubah sudut pandang dan pola bisnisnya. Ia berupaya mengolah pangan lokal untuk mengurangi potensi sampah anorganik yang berdampak negatif terhadap lingkungan. Meskipun awalnya merasa kebingungan, ia menantang dirinya sendiri untuk menciptakan resep-resep baru yang unik dan menarik bagi konsumen.

Pelbagai riset maupun wawancara ke masyarakat lokal dilakoni Angel Biu. Hingga akhirnya ia sampai pada satu simpulan setelah berbicara dengan para petani gula aren. Mereka mengungkapkan masalah yang sering dihadapi, yaitu produksi gula aren berlebih. Angel Biu pun kembali merenung, mengapa tidak mengolah sisa gula aren menjadi sesuatu yang baru? 

Pertanyaan kunci tersebut menghasilkan jawaban-jawaban setelahnya. Angel Biu menemukan bahwa rasa dari gula aren hampir sama dengan kecap, yang manisnya disukai oleh banyak ibu di dapur mereka. Ia juga menyadari pohon aren merupakan varietas lokal yang tumbuh di lingkungan sekitar, sehingga mengolah limbah gula aren menjadi kecap merupakan solusi yang tepat dan berkelanjutan. Pengolahan sisa gula aren menjadi kecap ramah lingkungan itu diberi nama kecap raping. Dalam bahasa Manggarai, “raping” berarti aren.

Angel Biu (kiri) dan produk kecap gula aren cap Raping sebagai salah satu produk unggulan UMKM Hekang Dite (Instagram Angel Biu dan Hekang Dite)

Pada 2021, ia mendirikan UMKM Hekang Dite dan menjadi direktur program untuk memperluas bisnisnya. Tujuan utamanya sesuai nama “hekang” yang tersemat di jenama tersebut, yang dalam bahasa setempat berarti rumah. Angel Biu ingin membawa konsep rumah untuk menjadi tempat yang dekat dan akrab bagi masyarakat lokal.

Tentu saja jalan Angel Biu tak semulus yang dibayangkan. Menurutnya, penerapan lingkungan berkelanjutan di Manggarai Barat masih memiliki banyak tantangan. Meskipun sudah ada banyak advokasi tentang keberlanjutan, implementasinya masih minim. Sebab, banyak yang mengira bahwa keberlanjutan hanya berkaitan dengan isu lingkungan. Padahal konsep berkelanjutan sebenarnya melibatkan semua aspek kehidupan. Belum lagi berbagai macam stereotip, seperti budaya patriarki yang masih menempatkan laki-laki sebagai peran sentral, atau pandangan miring padanya sebagai lulusan universitas yang harusnya bekerja di perusahaan besar.

Namun, tantangan demi tantangan yang dihadapi bukanlah akhir perjalanan. Angel Biu percaya diri untuk terus maju dan tidak takut dengan jalan hidupnya berbisnis pangan lokal yang ramah lingkungan. Sebab baginya, setiap kontribusi, sekecil apa pun itu memiliki nilai yang baik. Ia berpesan kepada semua perempuan di mana pun berada, “Mereka tidak perlu takut untuk bermimpi dan menekuni passion mereka, karena setiap pribadi memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang.”

Setiap orang berhak atas pilihan hidupnya. Semua memiliki kesempatan yang sama untuk setara.

Urun tangan orang muda lewat Urban Futures

Kiprah-kiprah orang muda Manggarai Raya tersebut merupakan secercah harapan bagi pelestarian sumber daya pangan lokal dan lingkungan. Namun, mereka tidak bisa berjalan sendirian. Harus ada urun tangan orang-orang muda lainnya, bahkan lintas generasi, serta sinergi lintas sektor untuk mewujudkan transformasi sistem pangan perkotaan yang lebih berkelanjutan. 

Salah satu langkah progresif untuk mewujudkan itu adalah melalui Urban Futures. Sebuah program global berjangka waktu lima tahun yang dikelola Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis). 

Di Indonesia, Manggarai Barat merupakan kota pertama (disusul Bandung) untuk peluncuran Urban Futures. Acara yang berlangsung pada 24 Januari 2024 di Aula Sekretariat Pemerintah Daerah Manggarai Barat tersebut diresmikan Yayasan Humanis bersama dengan Kementerian PPN/Bappenas, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, dan Koalisi Pangan Bernas yang mencakup Yayasan KEHATI selaku ketua serta Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) dan Yakines sebagai anggota. Tujuan penyelenggaraan program Urban Futures adalah untuk memadukan sistem pangan perkotaan, kesejahteraan generasi muda, dan aksi iklim untuk partisipasi aktif orang muda dalam transformasi pangan yang ramah lingkungan dan inklusif.

Menyambut baik program ini, Direktur Pangan dan Pertanian Kementerian PPN/Bappenas, Jarot Indarto, Ph.D., mengatakan, “Fokus utama kami hingga tahun 2027 adalah memperkuat aspek pangan lokal, memanfaatkan sumber pangan alternatif seperti yang terdapat di wilayah pesisir, mengurangi pemborosan dan limbah pangan, meningkatkan kandungan gizi melalui biofortifikasi, dan menyediakan data yang dapat menjadi dasar bagi pengambilan keputusan.”

Angel Biu, pendiri UMKM Hekang Dite Manggarai dan pebisnis kecap raping, turut hadir menyampaikan kisah inspiratifnya dalam acara ini. “Orang muda bukan masa lalu dan bukan masa depan, tetapi masa sekarang. Orang muda harus aktif, kreatif, dan inovatif untuk memanfaatkan sumber daya lokal,” tegasnya.

Saatnya Orang Muda Manggarai Raya Berdaulat atas Pangan Berkelanjutan
Petrus Antonius Rasyid dari Bappeda Kabupaten Manggarai Barat (kiri) memberikan cendera mata kepada Marius Bria Nahak, pemilik usaha Kopi Wamor Labuan Bajo/Koalisi Pangan Bernas

Pernyataan senada juga disampaikan oleh Marius Bria Nahak, orang muda yang mendirikan usaha kopi Manggarai bernama Kopi Wamor Labuan Bajo. Menurutnya, masyarakat lokal Manggarai sendiri juga berhak menikmati kopi berkualitas. Tak melulu hasilnya diekspor ke luar negeri.

Urban Futures memercayai bahwa wirausaha muda, seperti halnya Liz, Angel Biu, dan Marius bukanlah hal baru. Namun, ekosistem yang mewadahi mereka masih minim. Oleh karena itu, Urban Futures ingin merangkul orang muda dan UMKM untuk mencapai kedaulatan pangan yang inklusif dan berkelanjutan.

“Orang muda memiliki identitas dan posisi unik dalam masyarakat, namun ruang-ruang atau ekosistem dalam sistem pangan yang dapat mewadahi aspirasi orang muda masih belum tersedia,” ucap Rebecca, perwakilan dari Pamflet Generasi, salah satu mitra program Urban Futures.

Kedaulatan pangan adalah masa depan. Berdaulat pangan berarti berdaulat atas kehidupan.


Foto sampul: Acara Kick-off Program Urban Futures di Manggarai Barat/Koalisi Pangan Bernas


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Saatnya Orang Muda Manggarai Raya Berdaulat atas Pangan Berkelanjutan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/saatnya-orang-muda-manggarai-raya-berdaulat-atas-pangan-berkelanjutan/feed/ 0 42272