kediri Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kediri/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 13 Jan 2023 08:18:31 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kediri Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kediri/ 32 32 135956295 Kediri dan Ceritaku tentang Tan Malaka https://telusuri.id/kediri-dan-ceritaku-tentang-tan-malaka/ https://telusuri.id/kediri-dan-ceritaku-tentang-tan-malaka/#comments Tue, 17 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36521 Sejarah bukan mata pelajaran favorit sewaktu aku sekolah dulu. Apa itu candi? Buat apa mempelajari perang? Tidak ada gunanya menghafal nama-nama yang susah dilafalkan ataupun angka-angka yang merujuk pada tahun yang bahkan kakekku pun belum...

The post Kediri dan Ceritaku tentang Tan Malaka appeared first on TelusuRI.

]]>
Sejarah bukan mata pelajaran favorit sewaktu aku sekolah dulu. Apa itu candi? Buat apa mempelajari perang? Tidak ada gunanya menghafal nama-nama yang susah dilafalkan ataupun angka-angka yang merujuk pada tahun yang bahkan kakekku pun belum dilahirkan. 

Ketika sekolah mengadakan karya wisata ke tempat-tempat seperti: museum, candi atau situs bersejarah lainnya, aku hanya menganggap itu tamasya–jalan-jalan sambil bersenang-senang bersama teman-teman. Tidak satupun materi sejarah dari perjalanan karya wisata tersebut yang masuk ke kepalaku.

Kesenangan jalan-jalan berlanjut ketika aku beranjak dewasa. Pantai, gunung dan tempat tempat yang menawarkan keindahan untuk dilihat dan difoto menjadi tujuan utama pada saat itu, termasuk museum, candi dan bangunan bangunan bernilai estetik. Tetapi nilai sejarah atau cerita dibalik tempat-tempat yang dikunjungi belum menjadi perhatianku pada saat itu. 

Seiring waktu, pemaknaanku akan perjalanan mulai berubah. Akhirnya, aku mulai menyukai berjalan-jalan di ruang dalam kota dengan segala produk budayanya: arsitektur, sosial, kuliner, bahkan nilai sejarah dan mulai berpaling dari keindahan pasir putih pantai dan dinginnya pegunungan nun hijau.

Aku jadi banyak membaca, mencari informasi tentang tempat atau bangunan yang ku kunjungi. Kebanyakan bahan bacaan yang kudapat dan kubaca adalah tentang sejarah, sesuatu yang tidak kusuka pada waktu dulu.

Angka di jam tangan menunjukkan 11.56 ketika aku turun dari KA. Kahuripan. Setelah salat Zuhur, aku bergegas keluar dari stasiun menuju ke sebuah warung yang menjual pecel tumpang, menurut aplikasi Google Maps, jaraknya hanya 450 meter dan waktu tempuh sekitar 5 menit berjalan kaki dari Stasiun Kediri.

Di awal minggu bulan terakhir di tahun 2022 kemarin, aku melakukan perjalanan ke Kediri. Setelah melakukan sedikit riset, daerah sekitaran alun-alun, wilayah Pecinan di Pakelan dan wilayah sekitaran Jembatan Lama dulu merupakan wilayah orang Eropa tinggal di masa kolonial Belanda, dan daerah tersebut masuk ke daftar tempat-tempat yang akan ku jelajahi di Kediri.

Aku menemukan fakta lain tentang Kediri. Di buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1762 – 1962 yang ditulis TH. Stevens menyebutkan Kediri adalah salah satu wilayah dimana gerakan Mason Bebas (Freemason) berkegiatan dan ternyata gedung atau loji tempat berkumpulnya anggota Freemason di Karesidenan Kediri dan sekitarnya pada masa pemerintahan Hindia Belanda masih ada sampai sekarang.

Kemudian di Kediri juga ada juga makam Tan Malaka. Beliau adalah seorang pejuang yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 53 tahun 1963.

Kehidupannya dan perjuangan Tan Malaka sangat misterius. Bahkan di buku sejarah SD sampai SMA pun tidak tertulis sejarah tentang beliau, padahal di namanya tersemat gelar Pahlawan Nasional. Beliau juga yang mengonsepkan negara Republik Indonesia melalui tulisannya di buku Naar de Republiek Indonesia yang ditulis tahun 1925. Tulisan beliau ini mengilhami tulisan lainnya dari Moh. Hatta, Indonesia Vrije tahun 1928 dan Soekarno ketika menulis Mencapai Indonesia Merdeka di tahun 1933.

Sangat sedikit buku dan tulisan berbahasa Indonesia yang membahas tentang Tan Malaka. Salah satunya adalah Harry A. Poeze, seorang sejarawan, penulis dan peneliti berkebangsaan Belanda  yang mendedikasikan hidupnya untuk meneliti secara mendalam tentang Tan Malaka.

Di buku beliau inilah, aku akhirnya mengetahui Tan Malaka bernama asli Sutan Ibrahim. Lahir di Nagari Pandam Gadang, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat pada tahun 1894. Dalam tubuhnya mengalir darah kebangsawanan dari pihak ibunya, sehingga ia mendapatkan gelar Datuk Sutan Malaka. Kehidupan politiknya berkembang semenjak beliau melanjutkan pendidikan di Belanda. Kepedulian akan sesama beliau peroleh ketika kembali ke Hindia Belanda dan melihat kenyataan yang tidak menyenangkan terjadi akibat dari penjajahan kolonial Belanda.

Kemudian ia bergabung dengan Sarekat Islam pimpinan H.O.S. Cokroaminoto, juga kemudian bergabung dengan Partai Komunis Indonesia bersama Muso, Alimin, Darsono dan Semaun, bahkan di kemudian hari beliau menjadi agen Komintern (Komunis Internasional yang berpusat di Moskow) untuk Asia Tenggara. 

Pandangan radikal Tan Malaka terhadap penjajahan membuat beliau menjadi buronan politik. Nama samaran pun sering digunakan ketika beliau bersembunyi atau bergerak untuk mengelabui intel pemerintahan kolonial Belanda dan antek anteknya. Elias Fuentes, Ong Soong Lee, Ramli Husein, Ilyas Husein, Cheng Kun, Tat, Eliseo Rivera dan Howard Law alias alias yang sering digunakan ia ketika berada di Filipina, Hongkong, Canton, Shanghai, Singapura dan Indonesia.

Tan Malaka juga menulis tentang hidupnya, Dari Penjara ke Penjara, ditulis ketika dia ketika berada di dalam penjara di Magelang dan Ponorogo. Terdiri dari 2 jilid, jilid pertama bukunya menuturkan tentang pergulatannya di penjara Hindia-Belanda dan Filipina. Sedangkan jilid kedua menceritakan tentang “perjalanannya” dari Shanghai, Hong Kong, hingga kembali ke tanah air.

Ada juga novel yang bercerita tentang Tan Malaka, berjudul Pacar Merah Indonesia. Di novel berlatar roman sejarah ini Motu Mona sang pengarang, mencampuradukkan fakta dan fiksi tentang gerakan komunis dan gerakan kiri radikal. Tokoh utamanya adalah Tan Malaka yang di novel ini disebut Pacar Merah, Muso sebagai Paul Musotte, Alimin sebagai Ivan Alminsky, Darsono sebagai Darsonof dan Semaun sebagai Semaunoff. Dan yang menarik, novel ini terbit di tahun 1938, dimana ketika Tan Malaka masih hidup. Sekarang, Pacar (Patjar, dengan ejaan lama) Merah  dijadikan nama oleh komunitas gerakan literasi yang sering mengadakan festival kecil literasi dan pasar buku keliling.

Ojek daring yang kupesan pun datang. Aku bertanya seberapa jauh perjalanan kali ini. Si bapak menjawab, “Lumayan jauh mas, soalnya makamnya ada di atas gunung.”

Aku beruntung mendapatkan pengendara ojek daring yang akhirnya ku tahu ia bernama Pak Agus. Rumah beliau ada di bawah Desa Selopanggung. Walaupun dia belum pernah ke makam Tan Malaka tetapi dia tahu persis lokasinya. 

Makam Tan Malaka terletak di lereng Gunung Wilis, Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Sepanjang perjalanan yang menanjak, aku disuguhi oleh pemandangan yang indah: jalan berkelok di bukit bukit yang hijau, sungai yang bergemericik, dan hamparan sawah berbentuk terasering.

  • Makam Tan Malaka
  • Makam Tan Malaka
  • Makam Tan Malaka

Setelah 30 menit lebih, kami melihat penanda dari kayu di pinggir jalan bertuliskan “Bapak Republik Indonesia, Ibrahim Datuk Tan Malaka, Tidak Pernah Mati’, rupanya kami telah sampai di lokasi makam. 

Aku mengajak Pak Agus untuk turun ke bawah, menuruni anak tangga yang bersudut 45 derajat di lereng bukit. Letak makam ada di tengah area persawahan, kurang lebih 30 meter dari pinggir jalan. 

Suasana sejuk pegunungan menyambut di area pemakaman yang tidak terlalu luas. Hanya ada beberapa makam yang kulihat disini–kebanyakan makam tua—termasuk makam Mbah Selopanggung, tokoh yang pertama tinggal di Desa Selopanggung. 

Jirat berbentuk persegi panjang di tanah yang terbuat batu bata, dilapisi semen dan nisan yang bertuliskan nama Tan Malaka serta keppres pengangkatan beliau sebagai Pahlawan Nasional, makam yang sangat sederhana berbanding terbalik dengan kebesaran nama beliau di gerakan revolusi Indonesia.

  • Makam Tan Malaka
  • Makam Tan Malaka
  • Makam Tan Malaka

Di buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, Dan Revolusi Indonesia – Jilid 4: September 1948 – Desember 1949, Harry A. Poeze menuliskan kisah tewasnya Tan Malaka sampai proses penemuan makam Tan Malaka.

Keadaan politik pada saat itu menyebabkan Tan Malaka berseberangan sikap dengan pemerintahan Republik Indonesia yang masih seumur jagung. Kepemimpinan Soekarno-Hatta yang lebih memilih cara diplomasi terhadap Belanda yang masih ingin berkuasa di Indonesia ditentang habis oleh Tan Malaka, karena itu dia dianggap berbahaya bagi keutuhan negara dan harus segera ditangkap. 

Dalam pelariannya di Jawa Timur, beliau ditangkap di Desa Selopanggung oleh pasukan dari Batalyon Sikatan Divisi Brawijaya. Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi mati oleh Suradi Tekebek atas perintah Letda Soekotjo yang kemudian hari menjadi Walikota Surabaya tahun 1972-1974. Ketika makamnya dibongkar untuk kepentingan forensik, kerangka yang ditemukan dalam keadaan tangan terikat ke belakang.

Setelah berdoa dan membersihkan makam  dari sampah daun dan tanaman, aku kembali ke tengah Kota Kediri. 

Di perjalanan pulang, Pak Agus mengajak ke Gereja Puhsarang yang masih berada di lereng Gunung Wilis. Di tengah kesyahduan menikmati bangunan gereja indah yang dibangun tahun 1936 ini, aku membuka galeri foto di telepon genggam, melihat kembali foto makam Tan Malaka yang ku foto dari kejauhan. Kisah hidupnya memang penuh gejolak dan misteri, namun di peristirahatan terakhirnya, ia berbaring dengan tenang; ditemani gemericik air Sungai Brantas dan semilir angin sejuk di sepi lereng Gunung Wilis.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kediri dan Ceritaku tentang Tan Malaka appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kediri-dan-ceritaku-tentang-tan-malaka/feed/ 1 36521
Mau ke Kampung Inggris Pare? Jawab Dulu 3 Pertanyaan Ini https://telusuri.id/sebelum-ke-kampung-inggris/ https://telusuri.id/sebelum-ke-kampung-inggris/#respond Thu, 05 Jul 2018 07:09:15 +0000 https://telusuri.id/?p=9504 Banyak alumni Pare yang berhasil mencapai tujuan sepulang dari Kampung Inggris itu. Tapi nggak sedikit juga yang pulang dengan tangan hampa sepulang dari sana. Waktu habis, dompet tipis. Nah, supaya petualangan kamu di Kampung Inggris...

The post Mau ke Kampung Inggris Pare? Jawab Dulu 3 Pertanyaan Ini appeared first on TelusuRI.

]]>
Banyak alumni Pare yang berhasil mencapai tujuan sepulang dari Kampung Inggris itu. Tapi nggak sedikit juga yang pulang dengan tangan hampa sepulang dari sana. Waktu habis, dompet tipis.

Nah, supaya petualangan kamu di Kampung Inggris Pare nggak sia-sia, mending kamu jawab dulu 3 pertanyaan berikut sebelum memutuskan untuk berangkat ke sana:

1. Apa sih tujuanku ke Kampung Inggris Pare?

kampung inggris

Suasana kursusan di Pare/Fuji Adriza

Sebelum cari tiket kereta ke Kediri, kamu mesti jawab dulu pertanyaan pertama ini: “Apa sih tujuanku ke Kampung Inggris Pare?” Cuma mengisi waktu luang atau memang pengen belajar bahasa Inggris?

Kalau cuma pengen waktu luang, mending urungkan niatmu buat ke Pare. Masih banyak tempat lain yang lebih keren kalau kamu cuma mau ngisi waktu luang. Tapi kalau niatmu memang pengen belajar bahasa Inggris, kamu nggak perlu ragu-ragu lagi buat ke Pare karena… Pare ‘kan memang tempat buat belajar bahasa Inggris.

2. Apa sih target yang mau kucapai?

kampung inggris

Di dalam kelas/Fuji Adriza

Nah, kalau kamu sudah yakin bahwa tujuanmu adalah pengen belajar bahasa Inggris, kamu mesti menjawab pertanyaan kedua: “Apa sih target yang mau kucapai?” Mau menguasai tata bahasa (grammar) atau berbicara (speaking).

Kalau kamu pengen menguasai grammar, pas di Pare nanti kamu mesti banyak-banyak ngambil kelas grammar. Tapi kalau kamu cuma pengen bisa speaking, banyak-banyakin aja kelas kosakata (vocabulary), pengucapan (pronunciation), dan percakapan (conversation). Salah ngambil kelas, ujung-ujungnya kamu bakal malas datang dan cuma jadi donatur buat kursusan-kursusan di sana.

3. Siap nggak buat lama-lama jauh dari rumah?

kampung inggris

Odong-odong di Kampung Inggris Pare/Fuji Adriza

Satu termin di Kampung Inggris Pare biasanya antara dua minggu sampai satu bulan, dan intensif. Jadi kamu mesti ikut kursus setiap hari. Kelas speaking biasanya cuma sekali sehari, sementara kelas grammar bisa beberapa kali sehari.

Jadi, buat ke Pare kamu mesti nyiapin waktu minimal dua minggu. (Meskipun nggak ada jaminan kamu bakal jago bahasa Inggris dalam waktu dua minggu itu.) Orang-orang yang punya tujuan jelas biasanya tinggal minimal tiga bulan di Pare supaya bisa belajar dari mulai tingkat beginner sampai intermediate atau advanced. Siap buat lama-lama jauh dari rumah?

Jadi kapan mau ke Pare?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mau ke Kampung Inggris Pare? Jawab Dulu 3 Pertanyaan Ini appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sebelum-ke-kampung-inggris/feed/ 0 9504
Tak Pernah Bolos selama Kursus di Kampung Inggris Pare https://telusuri.id/tak-pernah-bolos-selama-kursus-di-kampung-inggris-pare/ https://telusuri.id/tak-pernah-bolos-selama-kursus-di-kampung-inggris-pare/#respond Wed, 27 Jun 2018 09:00:56 +0000 https://telusuri.id/?p=9399 Kampung Inggris Pare adalah lanskap yang selalu berubah. Bangunan silih berganti beralih fungsi. Manusia datang dan pergi. Itulah sebabnya setiap cerita tentang Pare akan selalu berbeda dan mewakili satu rentang waktu tertentu. Saya berusia seperempat...

The post Tak Pernah Bolos selama Kursus di Kampung Inggris Pare appeared first on TelusuRI.

]]>
Kampung Inggris Pare adalah lanskap yang selalu berubah. Bangunan silih berganti beralih fungsi. Manusia datang dan pergi. Itulah sebabnya setiap cerita tentang Pare akan selalu berbeda dan mewakili satu rentang waktu tertentu.

Saya berusia seperempat abad saat pertama kali menginjakkan kaki di Pare. Sendirian saya menyusuri Jalan Kemuning mencari kursusan tempat saya akan belajar grammar bahasa Inggris selama hampir setengah tahun.

kampung inggris pare

Jus Bang Doel Pare/Fuji Adriza

Entah bagaimana sekarang, tapi yang jelas dulu Jalan Kemuning masih belum diaspal—dan di Pare masih belum ada Go-Jek. Pendengaran masih dipenuhi suara sepeda bergetar yang menggelinding di atas jalanan yang tak rata. Persawahan masih terbentang luas di sisi selatan. Di sisi utara kursusan dan rumah-rumah yang dijadikan camp berjejeran.

Kursusan yang saya cari, Elfast, tampak mencolok. Bangunannya bernuansa oranye. Saya berjalan melintasi halaman penuh sepeda menuju office Elfast. Deg-degan. Rasanya seperti pertama kali kenalan dengan teman-teman KKN dulu.

kampung inggris pare

Elfast/Fuji Adriza

Datang sehari sebelum tanggal 10, saya mendaftar untuk kelas yang dimulai keesokan harinya. (Di Pare kelas dimulai tanggal 10 dan 25 tiap bulan.) Saya mengambil program grammar paling dasar, Basic Program I, yang kelasnya tiga kali sehari—main class, parts of speech, dan study club. Libur hanya Sabtu dan Minggu.

Tiga kelas dalam sehari bagi saya cukup. Saya urungkan niat untuk sekalian mengambil program tingkat dua. Jika saya ikut terlalu banyak kelas dalam sehari, pasti materi yang saya terima masuk kanan keluar kiri. Lagian saya memang sengaja meluangkan waktu untuk ke Pare. Jadi buat apa tergesa-gesa?

kampung inggris pare

Rambu lucu di Jalan Kemuning Pare/Fuji Adriza

Tak pernah bolos kelas

Saya kaget sendiri mendapati bahwa saya tak pernah bolos sekali pun selama belajar di Kampung Inggris Pare. Jangankan bolos, terlambat pun tidak pernah. (Seingat saya, pernah sekali saya masuk kelas barengan dengan guru, yakni pada hari pertama program grammar tingkat dua.)

Saya merasa rugi kalau terlambat, sebab ilmu-ilmu yang ditransfer begitu menarik. Kelas-kelas yang saya ikuti bak praktikum di laboratorium biologi. Tiap-tiap bahasan seperti preparat segar yang menyajikan organisme-organisme mikroskopik baru dari palung terdalam di dunia.

kampung inggris pare

Suasana kelas grammar/Fuji Adriza

Di tiap kelas, saya punya spot reguler. Dari sanalah saya berusaha mencerna setiap materi yang saya dapat: mengamati tulisan di papan tulis, menyalinnya ke buku, menginternalisasikannya, lalu mengeluarkannya kembali sebagai jawaban dalam latihan dan ujian.

Saking seriusnya belajar, saya seperti menjadi makhluk antisosial di kelas. Enggan saya melayani obrolan basa-basi tanpa arti, sebab saya sadar bahwa sedetik saja melengah bangun ilmu bahasa Inggris yang ada dalam kepala saya bisa saja goyah. Saya hanya bersuara kalau ingin bertanya pada guru yang sedang menerangkan pelajaran di depan.

kampung inggris pare

Acara seni di depan Eminence/Fuji Adriza

Lucunya, hampir semua kelas di Kampung Inggris Pare seperti tarawih di bulan Ramadan; semakin lama pesertanya kian sedikit. Semula, kelas Basic Program I yang saya ikuti berisi lima belas siswa. Pada akhirnya yang ikut ujian akhir hanya lima orang! Saya cowok satu-satunya di antara lima orang itu.

Biasanya yang pertama gugur adalah siswa-siswa paling vokal di kelas yang selalu menyanggah apa pun yang diterangkan guru. Terlalu sibuk menyanggah, mereka lupa menghayati materi-materi baru yang mereka terima. Di Parelah saya mulai mengerti maksud pepatah “diam itu emas.”

kampung inggris pare

Tulisan dari kapur di Jendela Mimpi/Fuji Adriza

Sebuah mikro-utopia bernama Jendela Mimpi

Kampung Inggris Pare seperti negeri di atas pelangi yang disebut-sebut dalam lagu “Somewhere over the Rainbow.” Mimpi-mimpi berkeliaran di jalanan Pare, menggelinding bersama sepeda yang pada masa itu bisa disewa seharga Rp 80 ribu per bulan.

Pare adalah utopia. Banyak yang terlena di sana selama bertahun-tahun sebelum sadar dan buru-buru kabur ke luar. Untuk membuktikannya, kamu bisa tanya sendiri pada para mister dan miss yang mengajar di berbagai kursusan di Kampung Inggris Pare.

kampung inggris pare

Jendela Mimpi/Fuji Adriza

Di antara mereka, banyak yang semula hanya ingin satu atau dua bulan saja di Pare. Namun, tanpa sadar setengah tahun berlalu, kemudian setahun, dua tahun, dan mereka masih di sana-sana saja. Sementara di luar sana Planet Bumi masih berputar mengelilingi matahari.

U, salah seorang kawan karib saya di Pare, bukan guru bahasa Inggris. Tapi dia juga akhirnya “terjebak” di Kampung Inggris. Dia dari Banten, dulunya ketua BEM di universitas negeri paling top di provinsi itu. Sempat bekerja selama beberapa tahun di sebuah institusi swasta, tiba-tiba dia ingin melanjutkan studi master di negerinya Mustafa Kemal Atatürk.

kampung inggris pare

Makan bersama di Jendela Mimpi/Fuji Adriza

Dia ke Pare. Beberapa waktu di sana, belum sempat menuntaskan sebuah program kursus, ia malah tertarik untuk membuka usaha. Ceritanya, sekalian mencari uang untuk membiayai kursus. Akhirnya ia buka kafe yang diberi nama Jendela Mimpi. Alih-alih kursus, ia malah sibuk mengembangkan bisnis.

Kebetulan saya tiba di Pare hampir bertepatan dengan dibukanya kafe itu. Jendela Mimpi kemudian jadi tempat nongkrong saya selama di Pare. Hampir tiap hari saya ke sana—bahkan bermalam di sana saat ada deadline yang harus ditepati.

kampung inggris pare

Kamar kos/Fuji Adriza

Jendela Mimpi jadi semacam mikro-utopia saya. Kafe kecil di pelosok Kediri itu jadi tempat saya dan kawan-kawan berdiskusi tentang banyak hal, belajar bahasa Inggris, memupuk tekad untuk meraih mimpi, bernyanyi bersama dengan iringan gitar—nonton Piala Dunia 2014!

Kembali ke dunia nyata

Mendekati akhir puasa ketika akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke Jogja. Waktu itu saya sudah menyelesaikan enam program—lima program grammar dan satu IELTS.

kampung inggris pare

Sepeda adalah alat transportasi utama pelajar bahasa Inggris di Pare/Fuji Adriza

Pare rasanya makin sepi. Jalan Brawijaya, Bali House, Ketan Susu—sepi. Satu per satu teman-teman pergi, entah pulang ke daerahnya atau melanjutkan perantauan ke negeri-negeri jauh. Ketika berpamitan, kami selalu berjanji untuk bertemu lagi suatu saat dan mengenang kembali kisah-kisah klasik selama di Kampung Inggris Pare.

Pagi itu saya berpamitan dengan kawan sekamar. Diantar oleh E, kawan asal Makassar yang di kemudian hari akan tinggal satu kos dengan saya di Jogja, saya pergi ke perempatan Tulungrejo. Di sana saya mencegat elf menuju Jombang. Pare perlahan menjauh.

kampung inggris pare

Foto bareng sebelum pulang/Fuji Adriza

Dipikir-pikir, Kampung Inggris Pare seperti sebuah kapal besar yang membawa penumpang dari satu dermaga ke dermaga lain; ke tujuan masing-masing. Hanya saja, Pare tidak ke mana-mana.

Di awal tulisan saya menyebut bahwa Pare adalah lanskap yang selalu berubah. Tanpa sadar, di akhir masa tinggal di Pare saya pun jadi bagian dari perubahan itu. Dalam bayangan saya, sepeninggal saya seorang awak “KM Pare” pasti langsung ke kabin yang saya tempati selama hampir setengah tahun untuk membersihkannya agar siap ditempati penumpang lain.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tak Pernah Bolos selama Kursus di Kampung Inggris Pare appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tak-pernah-bolos-selama-kursus-di-kampung-inggris-pare/feed/ 0 9399