kelenteng boen tek bio Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kelenteng-boen-tek-bio/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 24 Feb 2025 11:18:20 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kelenteng boen tek bio Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kelenteng-boen-tek-bio/ 32 32 135956295 Pasar Lama Tangerang: Wujud Kerukunan Peradaban Islam dan Tionghoa https://telusuri.id/pasar-lama-tangerang-wujud-kerukunan-islam-tionghoa/ https://telusuri.id/pasar-lama-tangerang-wujud-kerukunan-islam-tionghoa/#respond Tue, 25 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45741 Awal Desember 2024, saya diajak oleh salah satu kawan untuk mengikuti walking tour bertema “Hidden History of Pasar Lama”. Ini menjadi kesempatan menambah pengetahuan tentang wilayah yang statusnya sebagai kota penyangga Jakarta. Apalagi Pasar Lama...

The post Pasar Lama Tangerang: Wujud Kerukunan Peradaban Islam dan Tionghoa appeared first on TelusuRI.

]]>
Awal Desember 2024, saya diajak oleh salah satu kawan untuk mengikuti walking tour bertema “Hidden History of Pasar Lama”. Ini menjadi kesempatan menambah pengetahuan tentang wilayah yang statusnya sebagai kota penyangga Jakarta. Apalagi Pasar Lama menjadi salah satu ikon wilayah Tangerang saat ini.

Setelah bergerak dari titik kumpul di Stasiun Tangerang, lalu melewati Jam Argo Pantes yang berada tepat di depan Pasar Lama, rombongan tur mulai memasuki Pasar Lama Tangerang. Tur kali ini dipandu oleh Ci Elsa, keturunan asli Cina Benteng yang ada di Tangerang.

Pagi itu aktivitas di Pasar Lama seperti pasar basah pada umumnya. Ramai penjual dan pembeli kebutuhan sehari-hari, seperti bahan makanan dan kebutuhan rumah tangga, serta kuliner pagi. Saat malam, sepanjang jalan Pasar Lama akan berubah menjadi pusat kuliner.

Mata saya sempat tertuju pada jajanan di bagian depan pasar. Seperti membaca pikiran saya, Ci Elsa bilang kalau onde-onde buatan warga Cina Benteng sangat enak dan punya ciri khas yang sedikit berbeda dengan yang lain. Namun, saya tidak mampir beli karena tidak ingin membuat peserta lain menunggu.

Pasar Lama Tangerang: Wujud Kerukunan Peradaban Islam dan Tionghoa
Cagar budaya makam dan Masjid Kalipasir/Nita Chaerunisa

Peradaban Islam dan Tionghoa di Sungai Cisadane

Tidak sampai terlalu dalam masuk area Pasar Lama, kami berbelok ke pemukiman warga. Bergerak ke depan rumah pembuatan salah satu kecap tertua di Tangerang dan produksi asli warga Cina Benteng. Kecap Istana, yang juga disebut kecap Benteng Tulen atau kecap Teng Giok Seng. Diperkirakan sudah diproduksi sejak 1882 dan sampai saat ini masih mempertahankan produksi dari satu rumah.

Selain Kecap Istana, ada pula kecap SH (Siong Hin) yang terkenal di Tangerang. Informasi baru bagi saya, ternyata kecap Bango produksi PT Unilever Indonesia, awalnya diproduksi oleh salah satu warga Cina Benteng di rumahnya.

Dari lokasi yang berada di sekitar perbatasan antara permukiman Islam dan peranakan Tionghoa, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Masjid Jami Kalipasir, yang merupakan salah satu bentuk kerukunan umat Islam Tangerang dan warga Cina Benteng. Berada di kawasan Pecinan, Masjid Jami Kalipasir dipengaruhi budaya Tionghoa yang tampak dari menara mirip pagoda. Masjid yang berada di pinggir jalan dan menghadap langsung ke Sungai Cisadane ini termasuk salah satu masjid tertua di Kota Tangerang dan diperkirakan sudah berdiri sejak 1576.

Masjid Jami Kalipasir sudah ditetapkan sebagai cagar budaya karena menyimpan banyak cerita peradaban Tangerang dari masa Kesultanan Banten sampai sekarang. Di halaman depan masjid terdapat sejumlah makam para tokoh dan pemuka agama Islam dari masa Kesultanan Banten.

Kemudian pemandu tur mengajak kami berpindah, hanya berjarak 300 meter sampai di Toa Pekong Air atau Prasasti Tangga Jamban yang berada tepat di pinggir Sungai Cisadane. Awalnya banyak warga yang sedang memancing ikan di tepi Toa Pekong Air. “Nanti lanjut lagi, ada turis yang mau belajar dulu,” celetukan dari salah satu pemancing.

Pasar Lama Tangerang: Wujud Kerukunan Peradaban Islam dan Tionghoa
Plang Toa Pekong Air/Nita Chaerunisa

Toa Pekong Air yang didominasi warna merah ini merupakan dermaga kecil, dan ada sebuah tempat pembakaran dupa untuk warga Cina Benteng bersembahyang. Toa Pekong Air dulunya dibangun untuk menautkan tali perahu warga dari luar wilayah ini ataupun sebaliknya. Namun, dulu juga banyak warga yang menjadikan lokasi ini untuk buang air sehingga disebut juga Tangga Jamban—karena terdapat tangga yang menghubungkan jalanan dengan Toa Pekong Air.

Sungai Cisadane sendiri sering menjadi tempat digelarnya perayaan Peh Cun atau tradisi lomba perahu naga setiap tanggal lima bulan lima penanggalan Konghucu. Toa Pekong Air menjadi salah satu lokasi utama setiap kali acara Peh Cun

Saat pemandu tur sedang bercerita di pinggir Sungai Cisadane, beberapa rombongan perahu dayung melintas. Dari tulisan di perahunya, sepertinya mereka adalah para atlet perahu dayung yang sedang latihan.

Pemandu tur juga bercerita tentang asal usul sebutan Cina Benteng. Dulu, Tangerang, terutama wilayah ini terkenal dengan sebutan ‘Benteng’, merujuk pada bangunan benteng di pinggir Sungai Cisadane yang dibangun VOC untuk berlindung dari serangan pasukan Kesultanan Banten. Namun, pendatang dari Cina di Tangerang sendiri dapat ditelisik jauh sebelum VOC datang, dari cerita rombongan anak buah Laksamana Cheng Ho. 

Mereka bermukim dan menikah dengan penduduk lokal. Hasil dari pernikahan itu menghasilkan peranakan Tionghoa yang kemudian disebut Cina Benteng—karena banyak bermukim di sekitar benteng VOC. Orang Cina Benteng dikenal dengan warna kulitnya yang sedikit lebih gelap dibandingkan warga keturunan Tionghoa lainnya. “Hitaci atau hitam tapi Cina,” kata Ci Elsa.

Warga dan anak-anak setempat memancing di Toa Pekong Air (kiri) dan para atlet perahu dayung berlatih di Sungai Cisadane/Nita Chaerunisa

Rumah Bergaya Tionghoa Lama

Dari Sungai Cisadane kami bergerak menuju area Pasar Lama. Di perjalanan kami melewati permukiman penduduk, termasuk rumah-rumah peninggalan peranakan Tionghoa lama.  Misalnya Roemah Boeroeng, yang awalnya merupakan rumah keluarga warga biasa, lalu diubah menjadi rumah burung walet oleh pengusaha burung walet. Setelah mengalami restorasi, bangunan ini sempat digunakan untuk menyimpan barang-barang kuno dan menjadi sebuah restoran. 

Sayangnya, Roemah Boeroeng sudah ditutup untuk umum. Saat rombongan kami datang, tepat di depannya terparkir sebuah mobil sehingga kami tidak dapat melihat lebih dekat bangunan ini. Roemah Boeroeng memiliki gaya arsitektur yang unik, kontras dengan rumah-rumah di sekelilingnya. Di depan Roemah Boeroeng terdapat rumah penulis buku silat terkenal Oey Kim Tiang (OKT). Semasa hidupnya OKT telah menerjemahkan lebih dari 100 buku silat, dari bahasa Hokkien menjadi Melayu Pasar.

Selain itu, kami juga melewati rumah-rumah tua yang umurnya diperkirakan sudah hampir ratusan tahun. Salah satu atap rumah ada yang bergaya Tiongkok Selatan bernama Pelana Kuda. Pada jendela rumah bagian samping terdapat ukiran keramik, bahkan pada tiang penyangga bagian depan rumah juga terdapat lukisan di atasnya. Meskipun bangunan sudah semakin tergerus, tetapi ukiran pada bangunan masih dapat dianalisis dengan jelas. 

Tampak depan Roemah Boeroeng (kiri) dan Kelenteng Boen Tek Bio/Nita Chaerunisa

Kelenteng Boen Tek Bio dan Museum Benteng Heritage

Kelenteng Boen Tek Bio berada di dalam area Pasar Lama dan berbatasan dengan permukiman warga. Kelenteng ini diperkirakan berdiri tahun 1684 dan menjadi kelenteng tertua yang ada di Tangerang. Di bagian depan kelenteng ada lonceng yang diperkirakan sudah ada sejak 1835 dan sepasang ciok say atau singa batu yang diperkirakan dibuat tahun 1827.

Saat itu suasana Kelenteng Boen Tek Bio sangat ramai. Selain beribadah, umat Tridharma juga sedang mengadakan acara donor darah. Kegiatan donor darah berlangsung di salah satu ruangan yang masih termasuk dalam bagian kelenteng. Kami tidak berlama-lama di satu titik, supaya tidak menghambat lalu-lalang orang.

Pemandu tur mengajak rombongan mengelilingi altar-altar yang ada. Kami dapat melihat langsung umat Tridharma sedang beribadah. Dewi utama di Klenteng Boen Tek Bio adalah Dewi Kwan Im atau dewi welas asih, yang katanya patungnya sudah ada sejak kelenteng berdiri. Ini pengalaman pertama bagi saya masuk ke area kelenteng, melihat langsung umat Tridharma sembahyang dari satu altar ke altar lain. 

Kami juga diajak ke depan sebuah ruang tempat menyimpan tandu untuk perayaan arak-arakan Gotong Toapekong. Jadi, setiap 12 tahun sekali Kelenteng Boen Tek Bio melanggengkan tradisi yang sudah dimulai sejak 1856. Ritual Gotong Toapekong bermula saat adanya pemindahan dan pengembalian patung dewi utama saat terjadi revitalisasi Kelenteng Boen Tek Bio pada tahun 1844. 

Saat acara Gotong Toapekong pada 21 September 2024 lalu, ada tiga dewa yang diarak mengelilingi sekitar wilayah Kelenteng Boen Tek Bio dan Pasar Lama Tangerang, dewi utama Kwan Im Hud Couw, Kwan Seng Tee Kun, dan Kha Lam Ya. Selain itu juga terdapat parade lintas budaya dan lintas agama. Acara arak-arakan Gotong Toapekong bukan hanya menjadi acara tradisi yang dinantikan umat Tridharma Kelenteng Boen Tek Bio atau warga Cina Benteng, melainkan masyarakat umum di Tangerang dan bahkan sekitarnya juga selalu ikut meramaikan. Acara ini seakan menjadi wujud toleransi keberagaman yang ada di Tangerang.

Setelah dari Kelenteng Boen Tek Bio, berjalan kurang dari 100 meter kami sampai di Museum Benteng Heritage. Berbeda dari tempat lain, Museum Benteng Heritage berada tepat di tengah-tengah Pasar Lama. Di samping kiri dan kanan pintu masuk museum ramai pedagang. Bahkan pemandu tur sempat menyarankan, jika ingin mencoba kecap khas Tangerang dapat membeli di warung sembako samping museum.

Pasar Lama Tangerang: Wujud Kerukunan Peradaban Islam dan Tionghoa
Pernik hiasan di bagian depan Museum Benteng Heritage/Nita Chaerunisa

Museum Benteng Heritage merupakan hasil restorasi sebuah bangunan tua milik warga Cina Benteng yang diduga dibangun sekitar abad ke-17. Pemilik museum ini adalah orang Cina Benteng asli, Udaya Halim. Saat hendak masuk, kami disambut oleh dua patung ciok say di kiri dan kanan pintu. Serupa dengan yang ada di Kelenteng Boen Tek Bio.

Untuk menjelajahi gedung dua lantai tersebut, setiap orang akan dikenakan tiket masuk sebesar Rp30.000 dan akan dipandu berkeliling selama satu jam. Katanya, di dalam museum bisa menemukan banyak peninggalan orang-orang Cina Benteng yang bisa menandai eksistensi mereka dari masa ke masa.

Namun, rombongan kami hanya melihat-lihat ruang depan museum saja. Di bagian depan terdapat beberapa lukisan yang menggambarkan kondisi Pasar Lama Tangerang tempo dulu, poster kegiatan warga, dan beberapa piagam rekor MURI. Museum Benteng Heritage menjadi lokasi terakhir dalam perjalanan tur kali ini. Para peserta berpisah setelah Ci Elsa resmi menutup walking tour yang ia pimpin hari itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pasar Lama Tangerang: Wujud Kerukunan Peradaban Islam dan Tionghoa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pasar-lama-tangerang-wujud-kerukunan-islam-tionghoa/feed/ 0 45741
Pasar Lama Tangerang: Simbol Persatuan di Balik Perbedaan https://telusuri.id/pasar-lama-tangerang-simbol-persatuan-di-balik-perbedaan/ https://telusuri.id/pasar-lama-tangerang-simbol-persatuan-di-balik-perbedaan/#comments Thu, 31 Aug 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39706 Setiap hari, Pasar Lama Tangerang selalu ramai. Terlebih saat musim liburan.  Kebetulan saya mengunjunginya di akhir pekan. Tentu saya harus berhadapan dengan kemacetan Kota Tangerang dan menyelam di tengah lalu-lalang warga. Namun, kalau masuk gang-gang...

The post Pasar Lama Tangerang: Simbol Persatuan di Balik Perbedaan appeared first on TelusuRI.

]]>
Setiap hari, Pasar Lama Tangerang selalu ramai. Terlebih saat musim liburan.  Kebetulan saya mengunjunginya di akhir pekan. Tentu saya harus berhadapan dengan kemacetan Kota Tangerang dan menyelam di tengah lalu-lalang warga.

Namun, kalau masuk gang-gang sempitnya mungkin bisa sedikit bernafas lega. Seperti yang saya lakukan tempo hari, guna menghindari keramaian di ruas utama Pasar Lama Tangerang. Gang-gang sempit dengan segala keriuhannya setia menemani setiap langkah saya.

Yang menjadi kekhawatiran saya adalah keberadaan copet yang beraksi di tengah-tengah kerumunan. Untungnya selama penelusuran di Pasar Lama Tangerang saya diberikan keselamatan lahir batin. Pun saya mendapatkan kenikmatan seusai berkeliling. Rasanya tidak cukup satu minggu atau satu bulan untuk menjelajahi tempat ini.

Keterbatasan waktu membuat saya hanya memiliki tujuan utama, tepatnya berada di balik pertokoan Jalan Kisamaun atau ruas utama Pasar Lama Tangerang. 

Museum Benteng Heritage: Rekam Jejak Peranakan Tionghoa Tangerang

Perjalanan saya ke Pasar Lama Tangerang sebenarnya sekadar iseng untuk memeriahkan Tahun Baru Imlek lalu (22/01/2023). Selepas mengantar saudara ke Bandara Soekarno-Hatta, saya putuskan menuju Pasar Lama di Sukasari, Kota Tangerang.

Karena bertepatan dengan akhir pekan dan perayaan Tahun Baru Imlek, kawasan Pasar Lama Tangerang penuh lautan manusia dan stan jajanan kekinian. Setelah memarkirkan kendaraan, saya lanjut berjalan kaki menyusuri Pasar Lama. Saya sudah memiliki target destinasi di sekitar Pasar Lama, sehingga tidak butuh waktu lama mencapai tujuan. Berbekal rasa penasaran, saya masuk gang sebelah ruas utama Pasar Lama.

Gang di sepanjang Jalan Cilame Pasar Lama merupakan akses tercepat menuju Kelenteng Boen Tek Bio dan Museum Benteng Heritage. Dua tujuan utama saya. Kunjungan pertama saya adalah Museum Benteng Heritage Tangerang, sebuah museum peranakan Tionghoa milik pribadi, yaitu Udaya Halim. 

Pasar Lama Tangerang: Simbol Persatuan di Balik Perbedaan
Tampak depan Museum Benteng Heritage di kawasan Pasar Lama Tangerang/Ibnu Rustamadji

Setelah menyampaikan izin dan maksud kedatangan, pengelola mengizinkan saya masuk untuk menikmati setiap detailnya. Namun sayang, ketika di dalam saya tidak boleh mengambil gambar. Saya memaklumi karena museum pribadi tersebut penuh dengan memorabilia peranakan Tionghoa Tangerang. 

Menginjakkan kaki ke dalam, rasa kagum dan senang campur aduk menjadi satu.  Bagi saya Museum Benteng Heritage adalah satu dari sekian banyak rumah peranakan Tionghoa di Indonesia yang masih terawat. Nuansa dan gaya bangunan khas peranakan Tionghoa sangat kentara terpampang di seluruh sisi museum.

Museum yang dahulu merupakan rumah peranakan Tionghoa ini awalnya milik keluarga Tionghoa bermarga Loa. Sebagaimana rumah milik taipan kala itu, rumah marga Loa pun sangat mewah. Rumah berlantai dua dengan elemen kayu jati utuh dan dua pasang daun pintu di setiap lantai. 

Pada ventilasi terdapat ukiran dan epitaf karakter Tionghoa. Lalu empat pilar persegi berukir menopang bagian tengah ruangan. Tujuannya supaya rumah tidak lembap dan memiliki sirkulasi udara yang baik. Bagian tengahnya terdapat relief Sie Jin Kui, bercerita mengenai jenderal perang Kwan Kong (160—220 M) yang hidup di masa Dinasti Tang pada abad ketujuh—kesepuluh. Dalam relief tergambar sang jenderal sebagai sosok pahlawan yang sangat dihormati lantaran kemenangan yang dia peroleh.

Namun, tidak ada catatan lebih lanjut tentang sepak terjang sang jenderal karena hanya sebagian relief yang ditemukan. Terlepas dari itu, rumah seorang taipan Tionghoa setidaknya terdapat satu altar sembahyang. Museum Benteng Heritage memiliki dua altar.

Setiap altar terpampang foto keluarga awal pemilik rumah, di antaranya Loa Tiang Lie, Khouw Pit Nio,  Loa Siong Lim, dan Loa Pek Yam. Ketika di masa kepemilikan Loe Tiang Lie, rumah ini pernah digunakan sebagai rumah lelang dan gudang ikan asin. Sedangkan keluarga lain berdagang kelontong.

Tidak menutup kemungkinan fungsinya sebagai rumah lelang dan gudang ikan, mengingat lokasinya tepat di pinggiran aliran sungai Cisadane, pusat nadi perekonomian Tangerang abad ke-18 hingga masa kemerdekaan. Semua itu terekam kuat di museum ini.

Adapun cerita mengenai masyarakat China Benteng di Tangerang sendiri cukup rumit dan kompleks. Sudah banyak peneliti dari luar negeri yang risetnya mengkhususkan mengenai masyarakat China Benteng.

“Kalau saya ceritakan hari ini, tentu Mas Benu tidak pulang!” canda Udaya Halim. Faktanya memang demikian. Kunjungan pertama kali tersebut membuat saya merasa tidak ingin pulang dan ingin mengenal lebih jauh kehidupan mereka. Namun, apa daya waktu berlalu cukup cepat dan saya harus segera melanjutkan perjalanan.

Saat keluar museum, mata saya tertuju pada tiga pintu utama museum. Tentu aneh apabila museum peranakan Tionghoa memiliki daun pintu layaknya warung makan. Ternyata, memang sejak dahulu pintu tersebut ada.

Pasar Lama Tangerang: Simbol Persatuan di Balik Perbedaan
Penarik becak setia menunggu penumpang di tengah hiruk pikuk Pasar Lama Tangerang/Ibnu Rustamadji

Sejak pertama kali dibangun, Museum Benteng Heritage Tangerang tidak banyak berubah. Hanya saja saat pihak keluarga sempat mengosongkan rumah ini selama puluhan tahun karena pindah ke Jakarta, terjadi penjarahan di beberapa sudut.

Udaya Halim sejatinya tetangga depan rumah keluarga Loa—sekarang Museum Benteng Heritage. Udaya menjadi pemilik museum lantaran keluarga Loa menjual rumah leluhur mereka. Ia yang lahir dari kawasan pecinan Pasar Lama Tangerang sudah mengenal betul keluarga Loa.

Masa kecil Udaya Halim dikenal sebagai keluarga miskin, hingga tuan tanah mengusir mereka dari tempat mereka tinggal. Kini keluarga Udaya Halim, yang menaruh perhatian besar terhadap Museum Benteng Heritage, tengah mengumpulkan artefak mengenai sejarah China Benteng Tangerang untuk koleksi museum. Serta mengembalikan marwah Pasar Lama Tangerang, dengan komunitas China Benteng yang terkenal kala itu.

Menurut dia, “Artefak yang dibutuhkan tidak harus benda antik peninggalan jaman itu. Sepasang baju atau sandal, kalau pemiliknya memiliki cerita di dalamnya, bisa dimasukan dalam museum.”

Reproduksi foto dan silsilah keluarga Loa juga tengah berlangsung. Besar harapan agar rumah keluarga Loa tidak kehilangan sejarahnya dan diselamatkan untuk generasi mendatang. Selain itu menumbuhkan kesadaran akan pentingnya bangunan tertua di kawasan pecinan Pasar Lama Tangerang maupun tempat lainnya. 

Kelenteng Boen Tek Bio: Wujud Persatuan dalam Perbedaan

Puas bercengkerama di Museum Benteng Heritage, perjalanan saya berlanjut ke Kelenteng Boen Tek Bio. Kelenteng tertua di Tangerang yang sudah ada sejak  1684. Pertama kali berkunjung, saya kira awalnya hanya lalu lalang teman-teman yang sembahyang saja. Ternyata lebih dari itu.

Tentu banyak yang beribadah di Hari Raya Imlek. Banyak pula rekan seperjalanan dan fotografer yang tengah mengabadikan kegiatan di luar kelenteng. Saya pun ikut lekas merekam momen yang ada. Tidak perlu keahlian khusus untuk mendapatkan momen terbaik. Tentu tetap harus mengutamakan tata krama. Selama saya hunting tidak sampai mengganggu jalannya ibadah mereka.

Pasar Lama Tangerang: Simbol Persatuan di Balik Perbedaan
Wujud akulturasi budaya berbeda di Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang/Ibnu Rustamadji

Di tengah asyik mengambil gambar, tiba-tiba rasa iseng saya muncul. Saya masuk ke kelenteng dan ikut menyalakan hio di hiolo. Tentu saya mendapat izin melakukan itu setelah memperkenalkan diri dan menyampaikan tujuan kedatangan saya kepada pengurus.

Puas menyalakan hio tidak lupa saya mengucapkan terima kasih dan memohon maaf atas ketidaknyamanan yang saya buat. Saya pun kembali ke halaman kelenteng untuk mengabadikan momen-momen dari sudut pandang lain. Di sinilah awal mula saya kena iseng dari salah satu pengelola kelenteng. 

Ia tanpa basa-basi mempersilakan saya untuk mengobrol dan mengambil buah-buahan yang tersaji di sisi kiri kelenteng. Awalnya saya ragu untuk mengambil, karena waktu itu saya berpikir sajian tersebut untuk keperluan upacara di dalam. Ternyata yang berada di luar, siapa pun itu, boleh mengambil secukupnya.

“Mas, tadi kamu masuk kelenteng, ya? Kalau iya, silakan ambil ini buah-buahan. Dari mana asalnya?” tanyanya sambil mempersilakan saya mengambil buah.

Setelah saya memperkenalkan diri, ia tertegun sejenak dengan apa yang yang saya sampaikan. Ia tidak menyangka, saya yang datang dari Jawa Tengah memang sengaja iseng main ke Tangerang buat ikut perayaan Imlek. Apalagi saya seorang muslim dan mengunjungi kelenteng. 

Pasar Lama Tangerang: Simbol Persatuan di Balik Perbedaan
Kondisi salah satu gang di sekitar Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang/Ibnu Rustamadji

Ternyata saya sangat dihargai, karena tidak semua orang berani melihat ke dalam klenteng. Rekan-rekan fotografi mengabadikan momen hanya di halaman depan. Namun, balik lagi ke pembaca untuk menyikapi. Bukan menilai, tetapi ini fakta yang terjadi. Saya termasuk di antara ratusan rekan Tionghoa yang masuk ke kelenteng Boen Tek Bio.

Mengetahui hal tersebut, akhirnya ia memberi saya dua buah apel dan satu buah pir untuk bekal perjalanan. Setelah kira-kira 2,5 jam mengambil gambar di kelenteng, saya pun berpamitan dengan pengurus dan melanjutkan perjalanan ke Bogor.

Rasanya sangat menyenangkan melihat kerukunan antarumat beragama, suku, dan daerah asal setiap orang. Besar harapan saya tahun depan dan yang akan datang kerukunan seperti ini tetap terjaga. Tidak hanya saling bertoleransi, tetapi juga rukun dalam bermasyarakat. Seperti yang saya alami selama di Pasar Lama Tangerang.

Semoga.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pasar Lama Tangerang: Simbol Persatuan di Balik Perbedaan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pasar-lama-tangerang-simbol-persatuan-di-balik-perbedaan/feed/ 1 39706