kelenteng eng an kiong Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kelenteng-eng-an-kiong/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 06 Mar 2025 07:31:13 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kelenteng eng an kiong Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kelenteng-eng-an-kiong/ 32 32 135956295 Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang-4/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang-4/#respond Thu, 06 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45870 Kami tidak lama di Kelenteng Eng An Kiong. Selama di tempat ini, saya dan lainnya hanya berada di bagian muka saja, alias di depan ruang utama ibadah Dewa Bumi yang terletak di tengah-tengah, diapit dua...

The post Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kami tidak lama di Kelenteng Eng An Kiong. Selama di tempat ini, saya dan lainnya hanya berada di bagian muka saja, alias di depan ruang utama ibadah Dewa Bumi yang terletak di tengah-tengah, diapit dua ruang ibadah lainnya yang berukuran lebih kecil. Pun, tak begitu banyak cerita yang dikisahkan Agung Buana, pemandu tur kami.

Ia menyebut Kelenteng Eng An Kiong didirikan menjelang Perang Jawa pecah, tepatnya tahun 1820. Dari segi bangunan ia menyebut, kelenteng pernah mengalami kebakaran di tahun 90-an atau tahun 2000 awal. Akibat kebakaran tersebut, kelenteng pun direnovasi dengan menggunakan material dari keramik sementara bahan asli dari kayu.

“Kita lihat, bangunan kelenteng ini didominasi warna kuning dan merah. Bagi masyarakat Tionghoa, merah itu mengandung makna kemakmuran sementara warna kuning berarti kemasyhuran,” terangnya.

Kelenteng Eng An Kiong disebut juga bangunan Tri Dharma karena menjadi tempat ibadah bagi pemeluk Buddha, Tao, dan Konghucu. Tidak hanya menyoroti tentang bangunannya saja, Agung juga menjelaskan bagaimana akulturasi kebudayaan Tionghoa dan lokal terjadi di kelenteng ini.

“Di bagian belakang kelenteng, ada gamelan, wayang, dan pertunjukan-pertunjukan yang sifatnya percampuran kebudayaan Tionghoa dan budaya masyarakat Jawa, termasuk juga budaya Madura. Ini adalah melting pot, pelelehan kebudayaan, akulturasi. Salah satu akulturasi ini tidak hanya pada bangunan, tetapi juga pada makanan.”

Salah satu akulturasi pada makanan adalah lontong Cap Go Meh. Ia mengatakan bahwa lontong berasal dari Jawa dan orang Tionghoa tidak mengenal lontong sebelumnya. Selain lontong, ada juga cwi mie dan bakso Malang. Misalnya, di bakso Malang ada siomay yang merupakan makanan Tionghoa. Adanya akulturasi dalam makanan ini tersirat makna kebersamaan dan toleransi dalam kehidupan sehari-hari.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
Ruang sembahyang lainnya di Kelenteng Eng An Kiong/Dewi Sartika

Jejak Sejarah di Hotel Emma

Selesai mengisi perut di kantin, kami meneruskan perjalanan ke selatan. Kami menelusuri Jalan Martadinata. Di sepanjang salah satu ruas jalan utama Kota Malang ini deretan toko berdiri menghiasi sisi jalan. Kami sempat berhenti sebentar ketika Agung memberikan aba-aba kepada para peserta. Ia membelakangi jalan raya dan sebuah bangunan showroom mobil bekas dengan tulisan “Hotel Emma” di bagian atasnya.

Menjorok ke dalam, di samping showroom tersebut ada Hotel Emma yang berada di bagian belakang. Hampir tidak tampak sama sekali bentuk bangunan hotel. Kepada kami, Agung mulai bercerita. Dahulu, kira-kira hampir 100 tahun lalu, Hotel Emma sudah ada dan termasuk hotel terbaik di wilayah Malang sebelah timur.

“Hotel Emma termasuk hotel yang punya reputasi baik sebelum zaman Jepang. Namun, setelah Jepang masuk ke Malang, Hotel Emma menjadi hotel untuk khusus tentara Jepang yang pangkatnya bukan perwira. Jadi, prajurit-prajurit ke bawah di sini tempatnya. Banyak peristiwa yang namanya jugun ianfu. Ngambil orang-orangnya dari mana? Orang Bululawang, Kepanjen, Wonokoyo, Arjowinangun, diambillah lalu dibawa ke sini. Jadi, hotel ini punya sejarah cukup kelam saat Jepang masuk mulai tahun 1942 hingga 1945. Setelah itu jadi hotel untuk orang-orang yang melakukan transaksi perdagangan di Kota Malang,” jelasnya.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
Bagian depan Hotel Emma yang digunakan sebagai showroom mobil/Dewi Sartika

Objek menarik lainnya di Jalan Martadinata membuat langkah kami terhenti lagi. Masih sederet dengan Hotel Emma yang berada di seberang jalan, sebuah rumah tua bergaya kolonial membuat mata saya tertuju kepadanya. Sayangnya, keindahan bangunan tersebut luput dari para pemakai jalan karena terhalang pagar dan tanaman yang menutupi bagian muka rumah.

“Rumahnya cantik sekali, ya. Rumahnya masih bertahan sampai sekarang. Model arsitekturnya, art deco. Coba lihat ornamen di pilar-pilarnya, ada ornamen art deco yang kental sekali di tahun 1920-an. Kedua, railing tangga, kaca patrinya juga masih bagus. Ini adalah rumah yang masih mempertahankan diri,” terang Agung.

Benar adanya kalimat terakhir yang diucapkan Agung. Sepanjang Jalan Martadinata, rumah tersebut bisa dibilang satu-satunya sampai saat ini yang masih terawat. Walaupun sebenarnya ada lagi satu atau dua rumah era kolonial di pinggir jalan ini yang juga masih berdiri. Hanya saja sebagian besar telah berubah.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
Salah satu rumah era kolonial yang masih utuh di Jalan Martadinata/Dewi Sartika

Tugu Lonceng, Penanda Kawasan Pecinan

Jalan Martadinata tersambung dengan pertigaan Pecinan, yaitu Jalan Kyai Tamin. Kemudian, kami berdiri di samping kompleks ruko yang berada tepat di pertigaan. Kami berada di dekat sebuah pohon dengan daun-daunnya yang besar. Saya tak tahu pohon apa ini. Beberapa orang yang melewati atau berada di jalan ini tampak memerhatikan keberadaan kami.

Dekat pohon besar tersebut ada sebuah pajangan menyerupai tugu dengan ujungnya berupa jam. Orang-orang menyebut kawasan pertigaan ini dengan sebutan kawasan Lonceng karena keberadaan tugu tersebut. Jujur, saya sempat bingung dengan sebutan ‘lonceng’ mengingat tugu itu tak memiliki lonceng pada umumnya.

“Kawasan Lonceng ini adalah penanda kawasan Pecinan. Pecinan paling selatan ditandai dengan adanya sebuah lonceng. Nah, lonceng yang dimaksud adalah sebuah tugu dengan tanda waktu atau jam. Letaknya dulu ada di tengah-tengah sini. Namun, sekarang dipindah di sini,” terang Agung sembari tangannya menyentuh tugu bercat merah.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
Gerbang Pecinan di Jalan Kyai Tamin yang berada persis di seberang tugu lonceng/Dewi Sartika

Ia juga menjelaskan lokasi tugu lonceng ini bergeser letaknya karena adanya pelebaran jalan. Saking terkenalnya sebutan lonceng ini, beberapa warung kuliner yang ada di sekitar Pertigaan Lonceng ini turut memakai nama lonceng, seperti tahu telur lonceng dan soto lonceng.

Kami lalu menyeberang di tengah padatnya lalu lintas di pertigaan menuju kawasan Pecinan. Kawasan ini ditandai dengan adanya gerbang di Jalan Kyai Tamin. Tak begitu jauh, ada warung soto lonceng yang menjual soto Lamongan. Sederet dengan soto lonceng, masuk ke gerbang kompleks ruko, di pagi hari ada penjual nasi buk Madura. Di pagi hari, para pembeli antri berbaris untuk membeli nasi buk ini. Namun, saat kami berada di Jalan Kyai Tamin menjelang siang, penjual nasi buk sudah membereskan dagangannya.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
Salah satu kuliner terkenal yang berada di dekat Gerbang Pecinan/Dewi Sartika

Bekas Terminal Angkutan

Selanjutnya, kami belok kanan ke Pasar Besar Malang. Suasana tampak ramai meski tak sepadat hari-hari aktif. Toko-toko di sepanjang Jalan Kopral Usman banyak yang tutup. Kemudian kami mendengarkan penjelasan Agung tentang tempat ini.

“Ini adalah bagian belakang pasar. Tapi kira-kira di antara tahun 1928 sampai 1930-an, bagian belakang pasar ini adalah sebuah terminal. Jadi, pasarnya ada di bagian depan sementara di belakang ini terminal untuk mobil-mobil angkutan yang namanya demmo, bukan bemo. Demmo saat itu menjadi alat transportasi untuk perkotaan. Jadi, kalau orang belanja dari sana terus ke sini,” jelasnya. Tangannya mengarah ke bagian depan Pasar Besar.

Ia lalu menerangkan lebih lanjut bahwa terminal di belakang Pasar Besar ini dulunya dibagi menjadi dua bagian, yaitu angkutan untuk mengangkut orang yang kendaraannya memakai mesin dan dokar penumpang. Sementara dokar pengangkut barang berada di sebelah selatan Pasar Besar, tepatnya di daerah Comboran. 

  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)

“Di situlah kuda-kuda dari Kepanjen, Kedungkandang, dan Bululawang berhenti di Comboran. Kudanya istirahat, disuruh makan dan minum. Ketika kudanya minum dari gentong besar, ini namanya nyombor. Makanya dinamakan Comboran,” ucap Agung Buana sewaktu menjelaskan asal-usul nama Comboran.

Perjalanan kami berlanjut melewati bagian depan Pasar Besar lalu Jalan Zainul Arifin atau lebih populer disebut Kudusan. Berikutnya, kami belok ke Jalan KH Ahmad Dahlan lalu memasuki Kampung Temenggungan sebelum tiba di titik awal pemberangkatan, Kafe Pop Mason 52. 

Sungguh, sebuah perjalanan yang lumayan melelahkan bagi saya pribadi. Saya kemudian mencoba mengingat-ingat kembali tur heritage sebelumnya yang pernah saya ikut. Rasa-rasanya tur kali ini menjadi rute terjauh yang pernah saya tempuh. Namun, rasa lelah yang mendera cukup terobati dengan pengetahuan yang didapat dari hasil menelusuri jejak sejarah sudut-sudut Kota Malang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang-4/feed/ 0 45870
Kelenteng Eng An Kiong, Jejak Komunitas Tionghoa di Malang https://telusuri.id/kelenteng-eng-an-kiong-jejak-komunitas-tionghoa-di-malang/ https://telusuri.id/kelenteng-eng-an-kiong-jejak-komunitas-tionghoa-di-malang/#respond Thu, 18 Jan 2024 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40936 Untuk ketiga kalinya saya kembali mengunjungi Kelenteng Eng An Kiong di Jalan Martadinata, Kota Malang. Kunjungan pertama 2022 lalu, sementara dua kunjungan terakhir, Februari dan Juni tahun 2023. Tentu saja, bukan tanpa sebab saya bisa...

The post Kelenteng Eng An Kiong, Jejak Komunitas Tionghoa di Malang appeared first on TelusuRI.

]]>
Untuk ketiga kalinya saya kembali mengunjungi Kelenteng Eng An Kiong di Jalan Martadinata, Kota Malang. Kunjungan pertama 2022 lalu, sementara dua kunjungan terakhir, Februari dan Juni tahun 2023. Tentu saja, bukan tanpa sebab saya bisa datang lagi ke tempat ini. Saya berkesempatan datang ke kelenteng sewaktu mengikuti walking tour bertema Eksplorasi Kuliner Legendaris Malang

Sebenarnya, saya sendiri tak menyangka Kelenteng Eng An Kiong menjadi salah satu rute yang akan dikunjungi. Yang jelas, hati saya bungah begitu mengetahui akan diajak masuk ke kelenteng. Dibanding dua kunjungan sebelumnya, saya merasa kunjungan yang ketiga ini lebih istimewa dibanding sebelumnya. Mengapa? Karena saya mendapat pengetahuan baru tentang kelenteng tersebut dan daerah sekitarnya yang tidak saya dapat dari dua kunjungan sebelumnya.

Meskipun hari Minggu, suasana sekitar kelenteng ramai akan lalu-lalang kendaraan. Ya, maklum saja, Jalan Martadinata adalah salah satu jalan utama di Malang. Belum lagi Kelenteng Eng An Kiong berada di perempatan jalan. Di area kelenteng sendiri relatif sepi. Hanya ada beberapa pengunjung.

Kelenteng Eng An Kiong terletak di kawasan Pecinan Lama, tepatnya di Kebalen. Dahulu Kebalen bersama daerah sekitarnya termasuk kawasan Pecinan Lama. Makanya, di Kebalen masih bisa dijumpai beberapa toko milik orang Tionghoa. Pada tahun 1924, kawasan Pecinan bergeser sedikit ke barat seiring kehadiran Pasar Besar. Inilah yang kemudian disebut dengan Pecinan Baru.

Kelenteng Eng An Kiong, Jejak Komunitas Tionghoa di Malang
Para beserta walking tour berfoto bersama di depan Kelenteng Eng An Kiong/Panitia

Sejarah Keberadaan Kelenteng

Kami tak langsung masuk kelenteng. Terlebih dahulu kami mendengarkan penjelasan dari pemandu tur tentang kawasan tempat Eng An Kiong berdiri. Saya hanya mengangguk kecil ketika Irawan Paulus selaku pemandu tur berbicara.

“Orang-orang Tionghoa memilih mendirikan kelenteng di lokasi saat ini karena mereka menemukan arca Dewi Durga di tempat itu. Arca Dewi Durga yang bertangan banyak inilah dipercaya sebagai Dewi Kwan Im yang dikatakan bertangan,” jelas Irawan Paulus.

Letak Eng An Kiong yang berada di Kebalen berdekatan dengan bekas pusat Kerajaan Tumapel, Kutho Bedah. Tidak mengherankan di kemudian hari banyak ditemukan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Tumapel, seperti arca. Cerita semacam ini yang tidak saya dapatkan di kedatangan sebelumnya. Mendengarnya tentu saja membuat saya terperangah sekaligus antusias.

Keberadaan Klenteng Eng An Kiong di Kota Malang menjadi penanda perkampungan orang-orang Tionghoa waktu itu. Kelenteng dibangun pada tahun 1825, yang dipelopori  Letnan Kwee Sam Hway. Pangkat letnan di sini tidak merujuk pada pangkat di kemiliteran, tetapi hanya gelar yang diberikan pemerintah kolonial kepada pemimpin-pemimpin komunitas saat itu.

Dahulu orang-orang Tionghoa yang datang ke Malang banyak yang berasal dari suku Hokkian. Umumnya, mereka bekerja sebagai petani. Untuk itulah dewa utama yang disembah di Kelenteng Eng An Kiong adalah Dewa Bumi. Selain memiliki keahlian bertani, mereka juga mempunyai pengetahuan dalam bidang perkayuan, sehingga hingga pemerintah kolonial Belanda di Kota Malang memanfaatkan mereka sewaktu membangun rel kereta api.

Mulanya, bangunan kelenteng hanya berupa ruang altar Dewa Bumi yang berada di tengah. Karena jumlah orang Tionghoa makin banyak, diputuskan untuk menambah bangunan di sayap kanan dan kiri. Eng An Kiong juga menjadi rumah bagi tiga agama, yaitu Buddha, Tao, dan Konghucu.

  • Kelenteng Eng An Kiong, Jejak Komunitas Tionghoa di Malang
  • Kelenteng Eng An Kiong, Jejak Komunitas Tionghoa di Malang

Altar-altar di dalam Kelenteng Eng An Kiong

Selesai mendengar kata pengantar dari pemandu tur, saya lalu berjalan menuju pintu masuk yang berada di sebelah kanan. Adapun pintu keluar terletak di bagian kiri. Bersama peserta lain, kami langsung diarahkan ke ruang sembahyang yang terletak di teras bangunan utama kelenteng. Sebuah meja altar dengan papan bertulis Tuhan Yang Mahaesa yang dilengkapi dengan dupa, tiga piring berisi buah-buahan, dan beberapa lembar kertas kuning. Beberapa waktu kemudian, baru saya ketahui kalau lembaran-lembaran kuning itu adalah uang kertas atau cii jien yang digunakan untuk mengirim uang kepada leluhur.

Irawan Paulus mempraktikkan kepada kami tata cara beribadah. Ia mengambil sebuah hio lalu memasukkannya ke dalam mangkok bening berisi api dan cairan. Tangannya kemudian mengibas-ngibas hio tersebut hingga mati kemudian mulutnya komat-kamit seperti sedang merapal doa. Selesai sembahyang, ia kemudian beranjak ke navicula (wadah dupa yang terbuat dari tembaga) untuk menaruh hio.

Kelenteng Eng An Kiong, Jejak Komunitas Tionghoa di Malang
Irawan Paulus sedang menjelaskan ritual ciam si/Dewi Sartika

Saat kami hendak ke altar berikutnya, datang seorang lelaki berbaju batik. Pak Rudi, itulah namanya saat Irawan Paulus mengenalkannya kepada para peserta. Pak Rudi merupakan seorang pengurus Yayasan Kelenteng Eng An Kiong. Ini menjadi kesempatan kedua bagi saya bertemu dengannya. Pertemuan pertama terjadi pada 2022 tatkala saya mengikuti tur bertema Pecinan.

Ditemani Pak Rudi, kami menuju altar yang terdapat patung Dewa Bumi. Inilah ruang sembahyang utama. Dibanding altar di depan, tentu saja, ruangan altar utama ini dipenuhi dengan berbagai ornamen mewah yang didominasi warna merah. Sementara pada bagian dinding terdapat 46 gambar. Gambar-gambar tersebut bercerita tentang seorang anak yang berbakti kepada orang tua. 

“Itu ada gambar seorang anak masuk ke ruang tidur. Karena saat itu belum ada obat nyamuk, maka si anak masuk terlebih dahulu ke ruang tidur dengan maksud agar nyamuk-nyamuk menggigit si anak. Setelah nyamuknya tidak ada, orang tuanya baru masuk ke dalam,” kata Pak Rudi sembari telunjuknya mengarah ke salah satu gambar di tembok.

Kami lalu menuju bagian belakang ruang altar utama melalui pintu di sebelah kiri. Ada sejumlah altar di sini. Tiap altar yang berupa ruangan tersebut terdapat patung dewa yang berbeda-beda. Salah satu altar yang kami masuki adalah ruang ibadah kepada Dewi Kwan Im. Di ruangan ini Pak Rudi menjelaskan tentang ciam si. Sebuah ritual untuk meminta petunjuk. Dahulu, orang-orang Tionghoa melakukan ritual ciam si untuk meminta petunjuk terkait kehidupan. Salah satunya, meminta petunjuk sewaktu sakit.

Kelenteng Eng An Kiong, Jejak Komunitas Tionghoa di Malang
Pak Rudi (tengah) bersama para peserta tur/Dewi Sartika

Kembali Irawan Paulus maju mempraktikkan ciam si kepada kami. Tangannya meraih dua bilah kayu di meja lalu dilempar. Agar proses ciam si masih berlanjut, syaratnya kedua bilah kayu tersebut harus dalam posisi tertelungkup dan terbuka. Ini menggambarkan posisi yin dan yang. Pemohon diberi kesempatan sebanyak tiga kali untuk melempar bilah kayu. Jika  kedua bilah kayu itu tidak menggambarkan posisi yin dan yang, maka pemohon tidak bisa meneruskan ciam si dan baru bisa melakukannya kembali setelah jeda beberapa hari.

Bilah kayu yang dilempar Irawan Paulus tidak berhasil mencapai posisi yin dan yang, tetapi ia tetap meneruskan proses ciam si sebagai contoh kepada kami. Sesudah meletakkan bilah kayu, ia lalu mengambil sebuah wadah menyerupai gelas berisi batang bambu dengan tulisan nomor pada salah satu sisi batang. Kemudian ia mengocoknya hingga salah satu bambu jatuh ke lantai.

Irawan Paulus lalu memungut batang bambu tersebut untuk melihat nomor yang tertera. Nomor itulah yang kemudian dicocokkan dengan lembar-lembar kertas di lemari kecil yang tertempel di dinding. Lembaran kertas diberi nomor. Masing-masing berisi tentang penyakit yang diderita dan resep obat. Sesudah mengetahui jenis penyakit dan obatnya, si pemohon lalu membawa resep obat tersebut ke toko obat.

Kelenteng Eng An Kiong, Jejak Komunitas Tionghoa di Malang
Gambar pada ruang sembahyang Dewa Bumi/Dewi Sartika

Misi Utama Kelenteng Eng An Kiong

Sesudah menyaksikan proses ciam si hingga akhir, kami melanjutkan tur mengelilingi kelenteng ditemani Pak Rudi. Hanya berjarak sekitar 10 meter dari altar pemujaan Dewi Kwan Im, langkah saya terhenti di depan beberapa prasasti yang tertempel pada dinding. Prasasti-prasasti ini berisi nama-nama donatur kelenteng. Saya hampir tak memercayai bahwa nama-nama yang terukir di prasasti tersebut sudah dimulai sejak tahun 1901 sebagaimana yang tertulis di atasnya.

Selesai mendengar cerita Pak Rudi, saya beserta yang lain kemudian bergerak menuju bagian belakang kelenteng. Di sini terdapat semacam aula terbuka yang biasanya digunakan untuk latihan barongsai dan tari tradisional. Hebatnya lagi, menurut keterangan Pak Rudi, kegiatan ini bisa diikuti siapa saja tanpa dikenai biaya alias gratis. 

Kelenteng Eng An Kiong, Jejak Komunitas Tionghoa di Malang
Prasasti berisi nama-nama donatur kelenteng/Dewi Sartika

“Ada tiga misi yang dibawa oleh kelenteng. Pertama, misi agama sebagai tempat ibadah Konghucu, Tao, dan Buddha. Misi kedua, budaya, di mana kelenteng juga melestarikan budaya Tionghoa, seperti barongsai dan budaya nusantara dengan mengadakan kursus tari tradisional. Sementara misi terakhir adalah sosial. Pihak kelenteng menyediakan balai pengobatan gratis yang berada di samping kelenteng,” jelas Pak Rudi.

Mendengar pernyataan Pak Rudi, saya makin dibuat terkesan sekaligus mengapresiasi misi yang diemban Kelenteng Eng An Kiong. Apalagi Pak Rudi juga memberitahu kepada kami bahwa siapa pun bebas melihat latihan barongsai dan tari. Dalam hati, saya berpikir suatu saat nanti akan mengajak dua anak saya ke sini. 

Puas melihat-lihat bagian belakang, selanjutnya kami diajak menuju ke ruangan bagian depan dekat pintu masuk. Kami mendatangi ruang ibadah Tao yang terlihat lengang karena orang-orang Tao sudah selesai menjalankan ibadah. Begitu pula saat kami mendatangi ruang ibadah Buddha yang berada dekat pintu keluar. Suasananya juga sepi.

Selesai berkunjung ke dua ruangan tersebut, kami lalu beranjak keluar. Sebenarnya kurang puas mengelilingi kelenteng dan mendengar cerita dari Pak Rudi. Namun, kami harus pergi. Sebelum berlalu, kami menyempatkan foto bersama di pelataran depan kelenteng. Tentu saja, meski sudah ketiga kalinya saya ke sini, saya berharap semoga suatu saat nanti saya bisa berkunjung ke Eng An Kiong kembali sembari mendengarkan lebih banyak lagi kisah dari Pak Rudi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kelenteng Eng An Kiong, Jejak Komunitas Tionghoa di Malang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kelenteng-eng-an-kiong-jejak-komunitas-tionghoa-di-malang/feed/ 0 40936