kementerian lingkungan hidup dan kehutanan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kementerian-lingkungan-hidup-dan-kehutanan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 31 Jan 2024 08:09:39 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kementerian lingkungan hidup dan kehutanan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kementerian-lingkungan-hidup-dan-kehutanan/ 32 32 135956295 Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri https://telusuri.id/membangun-masyarakat-desa-hutan-di-lumajang-pengabdian-untuk-negeri/ https://telusuri.id/membangun-masyarakat-desa-hutan-di-lumajang-pengabdian-untuk-negeri/#respond Wed, 31 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41059 Namanya Deddy Hermansjah. Laki-laki yang berusia hampir setengah abad ini merupakan seorang tim pendamping Integrated Area Development (IAD) Lumajang dan juga Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Raja Giri Lumajang. Ia sudah mendampingi masyarakat desa hutan...

The post Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri appeared first on TelusuRI.

]]>
Namanya Deddy Hermansjah. Laki-laki yang berusia hampir setengah abad ini merupakan seorang tim pendamping Integrated Area Development (IAD) Lumajang dan juga Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Raja Giri Lumajang. Ia sudah mendampingi masyarakat desa hutan di beberapa desa di Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur sejak 2002.

Beberapa waktu lalu, TelusuRI berbincang dengan beliau tentang aktivitasnya mendampingi IAD Lumajang. Berikut hasil wawancaranya. Simak, ya!

Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri
Deddy Hermansjah, Ketua LSM Raja Giri Lumajang

Apa saja program agroforestri atau silvopasture dan industri yang ada di IAD Lumajang?

Program agroforestri yang berkembang baik di Kabupaten Lumajang adalah Kelompok Tani Hutan (KTH) Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wono Lestari yang terletak di Desa Burno, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang.

KTH LMDH Wono Lestari didirikan pada tanggal 29 Juli 2006 dengan Akta Notaris No. 5/2006 dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU 0006625 AH 01.07.2017. Selanjutnya juga mendapatkan Surat Keputusan Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan dengan Nomor: SK.5633/MENLHK/PSKL/PKPS/PSL.0/10/2017 dengan kawasan Hutan Pangkuan seluas 940 hektare (ha).

Dalam proses perkembangannya terkait dengan tata kelola kawasan hutan, kelembagaan dan usaha masyarakat (agroforestri/silvopasture) KTH LMDH mendirikan beberapa Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), di antaranya:

  1. KUPS Peternakan Sapi Perah dengan kapasitas produksi 1.900.000 liter/tahun;
  2. KUPS Peternakan Kambing Etawa Senduro, kapasitas produksi susu 336.000/tahun;
  3. KUPS Pisang Mas Kirana dan Pisang Agung Semeru, kapasitas produksi 130 ton/tahun;
  4. KUPS Produksi Olahan Pertanian (keripik, sale), kapasitas produksi 7,2 ton/tahun;
  5. KUPS Kopi dengan kapasitas produksi 27 ton/tahun;
  6. KUPS Ternak Lebah, produksi 600 liter/tahun;
  7. KUPS Kerajinan (batik tulis bahan alam dan kerajinan lainnya), produksi sesuai permintaan;
  8. KUPS Talas dengan kapasitas produksi 84 ton/tahun; dan
  9. KUPS Wanawisata Siti Sundari, dengan rata-rata kunjungan 15.000 pengunjung/tahun
  • Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri
  • Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri
  • Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri

Bagaimana kondisi awal kawasan dan masyarakat sebelum ada program ini?

Pada awalnya, kondisi umum masyarakat Desa Burno dan beberapa desa lainnya di Kecamatan Senduro memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif rendah, pendapatan per kapita rendah, berpendidikan rendah, sehingga menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang rendah, dan mayoritas hanya bergantung kepada pertanian subsisten.

Pada awal pendampingan pada tahun 2001, kondisi infrastruktur sangat tidak memadai sehingga menyebabkan akses sangat terbatas. Kondisi tersebut membuat masyarakat terisolasi dari dunia luar. Kondisi geografis memaksa mereka menerima beban hidup yang lebih besar dibanding masyarakat desa lainnya. Pendapatan dan pengeluaran penduduk dalam satu keluarga dalam setahun menunjukkan nilai minus.

Sampai pada awal tahun 2000-an masih terasa ketidakadilan dalam distribusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terhadap masyarakat desa hutan. Distribusi dana Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang diterima pemerintah daerah memiliki presentasi yang tidak proporsional bagi desa sekitar hutan. Padahal masyarakat desa hutanlah yang menjadi benteng terakhir dalam membendung dampak negatif perusakan hutan.

Sejak diluncurkan pada akhir 2001, Program Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) oleh Perum Perhutani berupaya menjembatani interaksi antara masyarakat desa hutan dan Perhutani. Banyak yang meragukan PHBM akan bernasib sama seperti program-program sebelumnya yang pernah diluncurkan sejak 1970—2001.

Dalam perjalanan saya mendampingi masyarakat desa hutan di Burno dan beberapa desa hutan lainnya di Kecamatan Senduro. Saya melihat implementasi PHBM memiliki tingkat keberhasilan yang beragam. Di daerah lain begitu pesat pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa hutan dengan nilai konversi puluhan juta rupiah per tahun. Sementara di desa lainnya berkembang sangat lambat bahkan pada tingkat yang mengkhawatirkan. 

PHBM bukan hanya mengandalkan LMDH sebagai institusi yang berperan dalam keberhasilan ekonomi masyarakat desa hutan, tetapi dibutuhkan kerja sama antara Perhutani, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan komunitas bisnis. LMDH sebagai salah satu implementator haruslah dapat mengikuti alur perubahan yang terjadi di sekelilingnya. LMDH dituntut untuk terus berada dalam proses pembelajaran, memperbarui diri, serta mengembangkan kreativitas sosial ekonomi. 

Keberhasilan implementasi PHBM di Desa Burno yang dilaksanakan sejak tahun 2006 berhasil memberikan sumbangsih yang sangat berharga bagi percepatan dan pembangunan masyarakat desa hutan. Sumbangsih tersebut berupa munculnya tiga sumber energi, yaitu dana bagi hasil produksi, optimalisasi ruang kelola, dan sinergi kelembagaan lintas sektoral.

Pada tahun 2016, Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan program baru untuk membangun Indonesia dari pinggiran. Salah satunya adalah program perhutanan sosial. Pengaturan skema pengelolaan hutan disederhanakan dalam satu peraturan mengenai Perhutanan Sosial yang diatur oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. Sebuah program yang bertujuan melakukan pemerataan ekonomi melalui tiga pilar: lahan, kesempatan usaha, dan sumber daya manusia.

Akses legal mengelola kawasan hutan ini kami jadikan sarana untuk meneruskan keberhasilan program PHBM dan pada tahun 2017 KTH LMDH Wono Lestari Kecamatan Senduro menerima Surat Keputusan (SK) dari KLHK Nomor: SK.5633/MENLHK/PSKL/PKPS/PSL.0/10/2017.

Bagaimana awalnya meyakinkan masyarakat agar mau ikut serta dalam program?

Kemiskinan yang awalnya menghantui masyarakat desa hutan nyaris menjadi ketakutan turun temurun yang diturunkan ke generasi selanjutnya. Masyarakat desa hutan sangat bergantung pada aksesibilitas terhadap kawasan hutan, dan oleh sebagian orang dianggap sebagai “ancaman” kelestarian hutan di sekitarnya.

Beberapa hal yang mendorong saya untuk mengajak masyarakat desa hutan bersama-sama mengubah kondisi dan stigma yang dilekatkan kepada mereka. Kami harus berproses dengan berbagai daya upaya yang bisa dilakukan bersama. LMDH diperlakukan sebagai sebuah entitas sosio-ekonomi desa hutan sebagai poin permulaan dalam keberhasilan implementasi PHBM dan dilanjutkan dengan program perhutanan sosial dengan skema pengakuan dan perlindungan kemitraan kehutanan.

Sosio-ekonomi yang dimaksudkan adalah membangun ekonomi desa hutan berdasarkan atas nilai-nilai kearifan sosial yang ada di sana. Dalam upaya mewujudkan hal tersebut saya mendorong komunitas masyarakat desa hutan berperan aktif dalam tiga bentuk aktivitas:

  1. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan;
  2. Pengembangan inovasi ekonomi kreatif melalui penguatan modal dan jejaring pasar; dan
  3. Terus-menerus melakukan propaganda penyadaran upaya pelestarian hutan 
Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri
Peta klaster agroforestri dan silvopasture terpadu/KTH LMDH Wono Lestari

Apa saja tantangan yang dihadapi dalam menjalankan program-program ini?

Kecilnya persentase keberhasilan LMDH dalam implementasi PHBM menjadi kritik umum oleh banyak pihak. Kritik yang sering dilontarkan adalah LMDH adalah bentukan dan “Anak Perhutani” untuk menunjukkan kepedulian semua terhadap corporate social responsibility (CSR). Sebagian kasus benar terjadi demikian. Sebagian LMDH dibentuk secara tidak alamiah dan dipaksakan untuk ada.

Akibatnya, LMDH lebih mengejar kuantitas daripada kualitas organisasi. Dampaknya adalah ketidakberdayaan organisasi serta kurangnya pemahaman yang mendalam tentang tugas pokok, peran, serta fungsi.

Dengan proses yang tidak mudah kami berhasil meyakinkan beberapa tokoh masyarakat akan pentingnya menjaga dan melestarikan hutan. “Pendekatan dengan hati”, itulah yang kami lakukan ketika itu di tengah hiruk piruk penjarahan kayu hutan serta upaya penguasaan lahan kawasan hutan di beberapa desa di Kecamatan Senduro dan beberapa [desa lainnya] di Kabupaten Lumajang.

Pada 2006, beberapa tokoh masyarakat bersepakat mendirikan LMDH dengan biaya sendiri, mulai dari musyawarah, sosialisasi, sampai pembiayaan akta notaris. Terpeliharanya semangat mandiri dari para tokoh Desa Burno inilah yang membedakan dengan beberapa LMDH desa lainnya.

Apakah ada hambatan dalam menjalankan program ini dan bagaimana cara penyelesaiannya?

Hambatan dalam melaksanakan IAD tentu ada dalam proses implementasinya. Pertama, tentu saja tidak mudah dapat menyelaraskan pemahaman terkait konsepsi IAD antarlembaga.

Kedua, memadukan kepentingan banyak pihak merupakan hal yang sulit karena masing-masing lembaga memiliki tata cara birokrasi dan pakem yang berbeda. Ketiga, mensosialisasikan pengembangan IAD kepada masyarakat di tingkat bawah memerlukan waktu dan energi yang besar serta sinergi yang baik dari semua pihak.

Dampak perubahan yang dirasakan masyarakat akan program ini seperti apa?

Ada tiga perubahan yang tampak dalam pelaksanaan IAD program perhutanan sosial di Kabupaten Lumajang: 

  1. Dampak ekonomi yang paling terasa adalah hak pengelolaan lahan yang memberikan nilai tambah bagi aset tanah dan aset tumbuhan (yang memiliki nilai ekonomis) dan kemudian mendorong masyarakat untuk terus memanfaatkan lahan hutan untuk pariwisata dan kemudian akan mampu menyerap tenaga kerja yang banyak;
  2. Fungsi hutan secara sosial adalah sebagai penyedia kebutuhan dasar bagi masyarakat sekitar hutan sebagai sumber pencaharian, obat-obatan, penelitian, dan sebagainya. Sebelumnya sering terjadi konflik antara petugas negara dan masyarakat desa. Setelah penggarap lahan mendapatkan surat keputusan perhutanan sosial, mereka tidak perlu cemas lagi tiap kali memasuki rimba;
  3. Secara ekologi, hutan sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia, hewan, dan tumbuhan, antara lain sebagai penyerap karbondioksida, penghasil oksigen, sumber air, pencegah erosi dan banjir, habitat hewan, dan lainnya. Dalam konteks program ini, masyarakat diarahkan untuk meningkatkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif pengelolaan hutan.
Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri
Pemandangan Gunung Semeru di kejauhan saat pagi hari di destinasi wisata B-29, Desa Argosari, Senduro, Lumajang. Sisi kanan adalah kaldera purba Bromo berselimut kabut/Rifqy Faiza Rahman

Apakah ke depannya ada rencana pengembangan program atau pengembangan program pendukung yang baru?

Tentu. Ada beberapa rencana pengembangan IAD di Kabupaten Lumajang yang meliputi pengembangan desa adat dan desa tujuan pendakian Gunung Semeru di Ranupane, pengembangan objek wisata “Negeri di Atas Awan Puncak B-29” di Desa Argosari, pengembangan Bumi Perkemahan Glagaharum di Desa Kandangtepus, dan rencana pengembangan pembangunan kampus Universitas Islam Negeri di Desa Kandangtepus.

Harapan membangun bangsa yang berdikari dimulai dari wilayah yang terkecil. Sebuah desa yang terletak di pinggir hutan seyogianya bisa menjadi agen perubahan, meningkatkan ekonomi masyarakat tanpa merusak habitat yang telah ada sebelumnya.  Sayangnya belum semua desa mampu membangun perekonomian mereka secara mandiri. LSM sebagai penggerak diharapkan mampu memicu masyarakat untuk membuat ekonomi kreatif agar mampu mengurangi jumlah pengangguran dengan membuat usaha mandiri yang berbasis lingkungan.

Foto sampul:
Pemandangan Gunung Semeru dari Desa Ranupane. Desa ini merupakan jalur pendakian utama dan satu-satunya menuju puncak tertinggi Pulau Jawa tersebut/RifqyFaiza Rahman


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/membangun-masyarakat-desa-hutan-di-lumajang-pengabdian-untuk-negeri/feed/ 0 41059
Cerita Kehidupan Mangrove dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Belitung https://telusuri.id/cerita-kehidupan-mangrove-dalam-pengelolaan-hutan-kemasyarakatan-di-belitung/ https://telusuri.id/cerita-kehidupan-mangrove-dalam-pengelolaan-hutan-kemasyarakatan-di-belitung/#respond Tue, 30 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41053 Menarilah dan terus tertawaWalau dunia tak seindah surgaBersyukurlah pada yang kuasaCinta kita di dunia, selamanya Kutipan lagu yang dinyanyikan Nidji sebagai lagu pengantar film Laskar Pelangi berhasil menyihir penikmat musik di Indonesia. Laskar Pelangi tidak...

The post Cerita Kehidupan Mangrove dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Belitung appeared first on TelusuRI.

]]>
Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada yang kuasa
Cinta kita di dunia, selamanya

Kutipan lagu yang dinyanyikan Nidji sebagai lagu pengantar film Laskar Pelangi berhasil menyihir penikmat musik di Indonesia. Laskar Pelangi tidak hanya menceritakan kisah sekelompok anak yang pantang menyerah dalam mengejar cita-cita, tetapi berhasil mengenalkan Bangka Belitung sebagai tempat yang indah di Indonesia.

Sayangnya, keindahan yang kita kenal ternyata menyimpan borok yang menganga: lubang-lubang bekas galian tambang, hutan mangrove yang telah hilang, dan vegetasi alami yang semakin sedikit.

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sedang mengembangkan program “50 Pesona Perhutanan Sosial Nusantara Integrated Area Development (IAD)” atau Pengembangan Area Terintegrasi. Fungsinya seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm) untuk kesejahteraan ekonomi rakyat dan juga sebagai sarana konservasi. 

Salah satu IAD yang sukses menjalankan misinya terletak di Bangka Belitung. IAD Bangka Belitung terdiri dari beberapa HKm, yaitu HKm Juru Seberang, HKm Bukit Peramun, HKm Desa Terong, HKm Teluk Munsang, dan HKm Batu Bedil.

Kali ini, TelusuRI ajak kamu menelusuri cerita HKm yang ada di sana.

Mengolah Bekas Tambang Menjadi Ekowisata

Lahan sebesar 757 hektare (ha) telah disahkan melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK 79/MenLHK-II/2015 yang diterbitkan pada 10 Maret 2015. Sebagai salah satu kelompok Hutan Kemasyarakatan, HKm Juru Seberang mengelola bekas lahan tambang, hutan mangrove, dan hutan pantai sebagai lahan untuk kesejahteraan masyarakat Desa Juru Seberang.

Sesuai dengan visinya, yaitu menjadi komunitas kehutanan yang profesional melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil, dan berkelanjutan; masyarakat Desa Juru Seberang berupaya memulihkan bekas tambang timah yang menyasar hutan mangrove.

Pemulihan besar-besaran dilakukan untuk mencegah abrasi di daerah pesisir. Penanaman mangrove dapat membuat ekosistem kembali pulih. Belitung Mangrove Park yang masuk dalam kawasan Juru Seberang terdiri dari 52,02 ha berdiri berkat kerja sama HKm dengan Yayasan Terumbu Karang Indonesia. 

Kita bisa menyusuri trek mangrove atau susur sungai menggunakan kapal untuk melihat sekeliling. Bila beruntung kita akan mendapati burung-burung liar yang beterbangan.

Taman Hortikultura, bagian lainnya dari HKm Juru Seberang, menyediakan arena pembelajaran bercocok tanam bagi para pengunjung yang ingin mencoba langsung menanam atau memetik hasil kebun. Ada mangga, lengkeng, sirsak, sukun, menteng, jambu mete, dan sayuran. Selain untuk kegiatan wisata, Taman Holtikultura juga menjadi sumber pendapatan masyarakat.

Cerita Kehidupan Mangrove dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Belitung
Pemandangan hutan mangrove di tepi pantai di bawah pengelolaan HKm Juru Seberang Belitung/KLHK

HKm untuk Semua Kalangan

Apriyanto yang menjabat sebagai ketua HKm Teluk Munsang menjelaskan jenis kegiatan yang bisa dilakukan di Teluk Munsang. “Ada trekking mangrove, diving, snorkeling, pondok wisata, spot foto. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) berupa lebah madu dan jamur.”

Seperti HKm lainnya di Belitung, kita akan mendapati mangrove sebagai ekowisata. Keberadaan mangrove menjadi sebuah tolok ukur rasa syukur. Tidak hanya bagi keindahan, tetapi juga bagi para nelayan.

“Ada tanggung jawab moral bagi kami untuk merestorasi wilayah yang sebagian telah rusak akibat tambang,” jelas Apriyanto.

Kami menanyakan apakah profesi penambang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat sekitar, tetapi Apriyanto menampik, “Tidak dilakukan secara turun temurun. Tambang untuk umum baru dimulai sekitar tahun 2000—2005.”

Pertemuan dengan Perhutani yang menjadi awal mula HKm sempat mendapat pro-kontra di kalangan masyarakat. “Ada yang antusias, ada yang kontra, karena ramainya masyarakat yang masih ingin menambang. Kondisi sekarang 90% masyarakat sudah beralih ke program Perhutani, yang nambang sudah pindah semua dari wilayah itu,” jelasnya.

HHBK yang menjadi primadona Teluk Munsang adalah madu dan jamur. Pengambilan madu masih dilakukan secara tradisional, yaitu menggunakan api dan asap lalu kemudian diiris. Panen madu bisa mencapai tiga kali dalam setahun. Hasilnya cukup memuaskan, bisa mencapai lima liter. Adapun jamur masih mengandalkan proses alamiah untuk tumbuh. Masyarakat cenderung lebih mengandalkan pencaharian sebagai nelayan daripada hanya bergantung kepada HHBK.

Mangrove demi Kehidupan

Bicara daerah pesisir pasti tidak lepas dari peran mangrove. Ibarat sebuah film, mangrove adalah peran utama yang bakal mengundang sorotan karena menjadi pusat cerita. Sama halnya dalam kehidupan, mangrove menjadi peran utama dalam ekosistem pesisir: menyediakan rumah bagi ikan-ikan, melindungi pantai dari empasan ombak secara langsung, hingga mencegah pemanasan global.

Sebelum menjadi HKm, dulunya tempat tersebut hanyalah semak belukar dan jalan setapak. “Awal mula menjadi HKm sebenarnya dari iseng-iseng membersihkan semak, karena banyak yang ikut akhirnya minta pengarahan ke pihak desa dan keluarlah SK,” terang Egi Saputra, Ketua Pemuda Nelayan Pecinta Alam (PNPA) Desa Terong.

Egi menuturkan sudah tidak ada lagi penambang timah di sekitar sini. Sebagian besar menjadi nelayan atau petani. Program-program yang digalakkan, seperti pembibitan dan penanaman mangrove serta wisata pantai melibatkan masyarakat secara aktif. 

Pengunjung bisa ikut menanam mangrove dengan biaya Rp20.000 per orang. Sudah mencakup perlengkapan dan pemandu yang akan mengarahkan cara menanam.

Dampak yang dirasakan tidak main-main. Tersedianya lapangan kerja menghasilkan tambahan pundi-pundi rupiah, meski belum stabil. Masyarakat tetap bergantung kepada kegiatan bertani dan mencari ikan sebagai pendapatan utama. Integrasi dengan Desa Wisata Terong memperkaya paket wisata yang ditawarkan dan merangkul semua potensi yang ada di sini.

Cerita Kehidupan Mangrove dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Belitung
Contoh brosur promosi paket wisata di Desa Terong/HKm Desa Terong

HKm dan Kemandirian Ekonomi Lokal

HKm Batu Bedil memang belum seperti HKm lainnya yang sudah tertata rapi dengan berbagai macam pilihan kegiatan. Meskipun bangunan yang ada masih swadaya, tetapi Rencana Kinerja Tahunan (RKT) untuk pembangunan pembangunan sudah tersusun rapi. Infrastruktur menjadi pilihan utama selain pengajuan pertanian mete, lada, dan, buah-buahan. “Kita mengusulkan sekitar 20 hektare tambahan untuk lahan pertanian. Kami juga sudah mengelola 20 hektare tanah yang ditanami mete,” jelas Suhardi, ketua HKm Batu Bedil.

“Batu Bedil merupakan salah satu geosite yang ada di Belitung,” terang Suhardi. Sebagai informasi, peresmian Batu Bedil sebagai geopark dilakukan pada 2019 dan dicanangkan masuk sebagai UNESCO Global Geopark.

Tidak hanya keindahan alam saja yang ditawarkan, tetapi juga terdapat beberapa peninggalan arkeologis yang masih dapat disaksikan hingga sekarang. Selain ekowisata mangrove, Batu Bedil juga menawarkan snorkeling di konservasi Karang Tima. Selama pandemi berlangsung, hanya turis mancanegara yang berkunjung. Sekolah-sekolah lokal yang biasanya mengadakan kunjungan belum terlihat batang hidungnya. Mandeknya kegiatan pariwisata membuat pengelola beralih ke budidaya kerapu sulu.

Para penambang yang lebih dahulu memakai kawasan Batu Bedil menjadi tersingkirkan setelah kawasan tersebut resmi menjadi hutan lindung. “Kita beri pengertian kepada masyarakat untuk tidak menambang di area HKm Batu Bedil, karena kita sudah diberi amanah oleh negara untuk menjaganya,” jelas Suhardi.

Kesolidan masyarakat Batu Bedil diuji dengan kondisi ekonomi yang belum mencukupi kebutuhan sehari-hari. Namun, syukurnya mereka tetap solid dan semangat mengelola HKm.

“Harapan kita ke depannya pemerintah bisa membantu fasilitas, ya, namanya tempat wisata kan harus ada fasilitas. Dan saya harap juga kawan-kawan di HKm ini bisa semakin membantu ekonomi masyarakat sekitar,” pungkas Suhardi.

HKm Digital, HKm Terdepan

Upaya digitalisasi rupanya tidak hanya menyasar para pelaku ekonomi di negeri ini. Sektor HKm tidak ketinggalan juga ikut menyusul bagian pariwisata lainnya dalam menggalang konten digital.

Adi Darmawan, mobile developer yang berhasil kami wawancarai, membeberkan bahwa HKm Bukit Peramun menawarkan virtual apps untuk paket wisata digital. Konsep yang diusung oleh HKm Bukit Peramun adalah hutan berbasis digital.

“Ada virtual guide, ada pengenalan pohon yang berbentuk hologram yang bisa bicara sendiri, tapi aplikasi hanya bisa dipakai di kawasan Bukit Peramun,” jelasnya.

Ada empat paket wisata yang ditawarkan oleh HKm Bukit Peramun yang semuanya menggabungkan keseruan realitas dan digital. Misalnya, trekking dan spot foto virtual, pengamatan tarsius malam hari, geowisata lintas alam, dan wisata edukasi untuk anak-anak sekolah.

Mayoritas masyarakat yang dulunya adalah penambang perlahan-lahan mengubah diri menjadi pegiat alam. Masyarakat sekitar mulai memahami bahwa ketika alam rusak, tidak akan ada yang bisa berjalan dengan baik. Akhirnya konservasi berhasil, ekonomi berjalan. Sayangnya badai pagebluk Covid-19 mulai menghantam pariwisata. Ekonomi yang awalnya sempat bangkit kembali menjadi terpuruk. Untungnya pengelola sudah menyiapkan mitigasi usaha yang cukup menjanjikan, yaitu produksi tanaman herbal dan kompos.

Adi berharap ke depannya ada stimulus dari pemerintah untuk membantu masyarakat dalam mengelola HKm. Terutama mengenai tata kelola lokasi, promosi, serta pelayanan. Digitalisasi menyeluruh juga diharapkan dapat membantu perkembangan HKm dalam menghadapi era industri 4.0 saat ini.

Foto sampul:
Sisi lain panorama kawasan hutan mangrove di tepi pantai di bawah pengelolaan HKm Juru Seberang Belitung/KLHK


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cerita Kehidupan Mangrove dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Belitung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-kehidupan-mangrove-dalam-pengelolaan-hutan-kemasyarakatan-di-belitung/feed/ 0 41053