kereta api Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kereta-api/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sun, 19 Nov 2023 11:32:02 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kereta api Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kereta-api/ 32 32 135956295 Jakarta – Merak: Perjalanan antar Commuter Line https://telusuri.id/jakarta-merak-perjalanan-antar-commuter-line/ https://telusuri.id/jakarta-merak-perjalanan-antar-commuter-line/#respond Mon, 20 Nov 2023 07:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40066 Sekitar pukul enam pagi saya sudah berada di salah satu stasiun kereta Commuter Line di Jakarta Timur. Pagi itu saya dan satu teman saya berencana pergi ke salah satu destinasi wisata di daerah Merak, Banten....

The post Jakarta – Merak: Perjalanan antar Commuter Line appeared first on TelusuRI.

]]>
Sekitar pukul enam pagi saya sudah berada di salah satu stasiun kereta Commuter Line di Jakarta Timur. Pagi itu saya dan satu teman saya berencana pergi ke salah satu destinasi wisata di daerah Merak, Banten. Dari Jakarta Timur, kami naik kereta KRL (Commuter Line) menuju Stasiun Tanah Abang. Entah apa yang dilakukan warga Jakarta di Minggu pagi, karena pagi itu kursi kereta sudah terisi penuh, sehingga memaksa beberapa orang untuk berdiri di lorong gerbong kereta, termasuk saya dan teman saya.

Antrian pintu keluar ruang tunggu kereta
Antrian pintu keluar ruang tunggu kereta/Nita Chaerunisa

Sesampainya di Stasiun Tanah Abang, dari peron jalur 2 kami langsung menuju peron jalur 5 & 6 untuk menyambung kereta Commuter Line tujuan Stasiun Rangkasbitung. Karena menurut arahan petugas, kereta arah Stasiun Rangkasbitung akan berada di antara jalur 5 & 6. Saat kami baru turun eskalator stasiun, di peron jalur 6 datang kereta tujuan Stasiun Serpong dan tidak lama berselang di peron jalur 5 datang kereta tujuan Stasiun Rangkasbitung. Kedua kereta tersebut memiliki jalur perjalanan yang sama, hanya saja yang satu hanya sampai di Stasiun Serpong. 

Saya dan teman saya langsung menaiki kereta rute tujuan akhir Stasiun Rangkasbitung. Situasi di dalam kereta terbilang sepi, hanya ada segelintir orang di dalamnya. Kami memilih duduk di gerbong dengan kursi-kursi yang tidak terlalu ramai penumpang, sehingga kami bisa rileks dengan menyandarkan punggung di kursi kereta. 

Waktu hampir menunjukkan pukul 07.00 pagi, kereta menuju Stasiun Rangkasbitung berangkat dari Stasiun Tanah Abang. Total waktu yang ditempuh dari stasiun Tanah Abang ke Stasiun Rangkasbitung adalah hampir 2 jam perjalanan dengan melewati 17 stasiun. Dari mulai penumpang kereta masih sepi, kemudian kursi-kursi mulai penuh, bahkan ada beberapa penumpang yang harus berdiri karena tidak mendapat kursi, hingga saat memasuki beberapa stasiun terakhir kondisi penumpang mendadak sepi kembali. Begitu pula dengan pemandangan yang terlihat dari balik jendela sepanjang perjalanan lintas kota ini—Jakarta ke Tangerang—mulai dari gedung dan perkantoran, kemudian beralih pemandangan rumah-rumah warga sampai pemandangan kebun dan sawah. 

Transit di Rangkasbitung

Sekitar pukul 08.45 kami tiba di Stasiun Rangkasbitung. Masih ada waktu kurang lebih 1 jam sebelum kereta Commuter Line Merak berangkat, jadi kami masih punya waktu untuk sarapan. Kami langsung bergegas menuju minimarket untuk membeli makanan yang dapat mengganjal rasa lapar sedari berangkat. Saat ingin masuk minimarket, terlihat ruang tunggu kereta Commuter Line tujuan Merak sudah lumayan ramai. 

Untuk menuju ruang tunggu kereta Commuter Line Merak kami harus check out terlebih dahulu dari Commuter Line Jabodetabek. Situasi di ruang tunggu kereta tampak lumayan sesak, kursi-kursi tunggu semua terisi, ada penumpang yang akhirnya memilih duduk di lantai, ada pula yang berdiri di sekitarnya, dan pun cuaca semakin panas. 

Karena masih ingin sarapan, jadi kami memutuskan untuk duduk dan menunggu kereta di luar area ruang tunggu. Di sini pun terbilang cukup ramai, mungkin di antara mereka ada yang memang bernasib sama seperti kami, ada pula mereka yang sedang mengantar teman atau saudaranya ke stasiun, dan ada pula yang sibuk mengantri tiket di loket.

Tidak lama berselang, petugas tiket menginformasikan melalui pengeras suara bahwa tiket kereta tujuan Stasiun Merak dengan pemberangkatan pukul 09.55—yaitu kereta kami—sudah habis, pemberangkatan selanjutnya baru ada pada pukul 13.50. Tak jadi masalah, karena kami sudah membeli tiket online sehari sebelum keberangkatan.

Tampak ada beberapa penumpang yang kecewa setelah mendengar informasi dari petugas. Di dekat kami ada beberapa ibu yang sibuk mondar-mandir sambil menelpon, sepertinya menelpon keluarganya. Terdengar bahwa mereka mencoba mencari opsi kendaraan lainnya untuk ke tujuan.

Meskipun sama berstatus Commuter Line, kereta rute Rangkasbitung–Merak ini berbeda dengan Commuter Line rute Jabodetabek. Commuter Line Merak merupakan jenis kereta api ekonomi lokal. Susunan kursi Commuter Line Merak menghadap searah dan berlawanan dengan lajunya kereta atau saling menghadap antar penumpang. Sedangkan kursi penumpang Commuter Line Jabodetabek memanjang mengikuti badan kereta, penumpang saling berhadapan dengan penumpang lainnya serta berdesain banyak pegangan tangan untuk penumpang yang tidak dapat kursi. 

Selain itu, Commuter Line Merak mengharuskan penumpang untuk memesan tiket terlebih dahulu baik secara online atau di loket stasiun, penumpang juga dapat memilih nomor kursi sendiri. Namun jika kursi sudah penuh, penumpang tetap bisa mendapatkan tiket tanpa nomor kursi. Satu tiket perjalanan seharga Rp3.000 per orang. Berbeda dengan Commuter Line Jabodetabek, penumpang harus menggunakan kartu sebagai tiket, yang bisa dibeli di loket stasiun atau menggunakan kartu uang elektronik milik pribadi. Harga tiket perjalanannya berbeda tergantung jarak dari naik dan turunnya penumpang.

Keasyikan makan, tak terasa waktu menunjukkan pukul 09.10. Kami lihat situasi di ruang tunggu semakin padat dan tampak orang-orang mulai bersiap. Kami pikir kereta sudah hampir sampai dan kami bisa menunggu di dalam kereta sebelum kereta berangkat. Jadi, kami memutuskan berjalan menuju meja penjaga untuk memindai tiket, lalu masuk ke ruang tunggu. Namun, petugas berkata, kereta baru akan tiba pukul 09.18, sehingga penumpang belum bisa langsung naik ke kereta, karena harus menunggu penumpang kereta sebelumnya turun.

Pukul 09.12 kami berada di dalam area ruang tunggu kereta, berarti 5 menit lagi kereta tiba. Meskipun belum bisa langsung masuk ke kereta, penumpang di ruang tunggu sudah pada bersiap. Ada yang merapikan barang-barang, ada yang bergegas mempercepat menghabiskan makanannya, ada yang menelepon untuk memberikan kabar. Sedangkan saya dan teman saya sudah masuk dalam antrian pintu keluar ruang tunggu kereta.

Perjalanan dari kursi yang berubah

Ketika rantai pembatas antara ruang tunggu dan koridor stasiun dibuka, yang berarti tanda bahwa penumpang sudah dipersilahkan untuk menaiki kereta, saya dan teman saya langsung bergegas mencari gerbong 3. Kemudian kami mulai menyusuri lorong gerbong untuk mencari nomor kursi kami, yakni 18B dan 18C. Kami duduk di kursi yang bermuatan 3 orang, saya dan teman saya duduk bersebelahan. Tepat di ujung kursi kami, di nomor kursi 18A sudah diduduki oleh seorang lelaki. Selain itu, kursi yang berada di hadapan kami juga sudah ada satu penumpang, seorang anak muda laki-laki.

Tidak lama berselang datang lah sepasang suami istri dan dua anaknya, satu balita dan satu bayi. Sang ibu dengan dua orang anaknya duduk persis di hadapan kami, di samping anak muda laki-laki tadi. Setelah membantu merapikan barang bawaan, sang ayah duduk di kursi yang membelakangi kursi istri dan anak-anaknya. Rupanya nomor kursi mereka tidak berdekatan. Baru saja mereka duduk di kursi masing-masing, tidak lama anaknya yang bayi merengek minta susu. Sang ibu langsung meminta suaminya untuk membantu.

Kereta pun semakin ramai, mungkin sang suami merasa bahwa kursi kosong di sampingnya tidak berpenghuni sehingga ia meminta istri dan anak-anaknya untuk pindah ke sampingnya. Dibawa lah semua barang-barang mereka ikut berpindah. Dengan cepatnya kursi milik sang ibu dan anaknya sudah ditempati oleh penumpang lain yang tidak mendapatkan nomor kursi, satu orang bapak dan satu orang anak muda, yang akhirnya mereka duduk berhadapan dengan saya dan teman saya. Memang banyak penumpang yang tidak mendapatkan nomor kursi. Beberapa dari mereka ada yang berpindah-pindah tempat duduk karena sang pemilik kursi sudah datang, ada pula yang pasrah memilih berdiri di lorong kereta.

Tiba-tiba kesialan menimpa saya tepat ketika kereta baru saja berangkat dari Stasiun Rangkasbitung, sekitar pukul 09.55. AC (Air Conditioner) yang berada tepat di atas kepala saya mengeluarkan rintik-rintik air. “Waduh! Sial AC-nya bocor,” ucap saya berbisik. Penumpang-penumpang yang berada di kursi yang sama dengan saya dan kursi di hadapan saya langsung menoleh ke arah saya.

Bukan hanya kursi saya yang basah, baju dan celana saya mulai banyak bekas air berjatuhan. Saya bangun dari kursi dan mencoba membersihkan kursi, baju dan celana saya, sambil mencoba menahan rintik air dari AC. Bapak yang tadi baru saja menduduki kursi milik ibu sebelumnya, dengan baik hati mempersilahkan saya untuk berpindah ke kursi yang ia tempati. Setelah mengucapkan terima kasih, saya menduduki kursinya, yang akhirnya membuat saya dan teman saya tidak lagi bersebelahan melainkan kami saling berhadapan.

Saya sedikit kesal dengan kondisi yang terjadi, namun apa yang bisa saya perbuat. Ini merupakan perjalanan pertama saya menaiki kereta Commuter Line lokal Merak. Jadi saya mencoba kembali menikmati perjalanan dengan sibuk melihat pemandangan hamparan sawah, kebun, pepohonan dan rumah-rumah warga dari balik jendela sambil mendengarkan musik melalui earphone. Namun sesekali saya juga melepaskan earphone untuk berusaha mengamati apa yang sedang terjadi di dalam gerbong.

Misalnya, ada penumpang yang mendapat nomor kursi yang sama, namun mereka naik dari stasiun yang berbeda, hingga akhirnya perdebatan di antara mereka harus dilerai oleh petugas kereta. Ada pula para remaja yang bersenda gurau dengan teman-temannya. Tentunya ada pula suara yang paling sering terdengar, bahkan selalu terdengar dari awal perjalanan, yaitu suara ocehan dan tangisan bayi. 

Dari Stasiun Rangkasbitung, kereta harus melewati 10 stasiun untuk sampai ke Stasiun Merak. Sependek ingatan dan penglihatan saya, penumpang kereta paling banyak turun dan naik di Stasiun Serang, Cilegon, dan Krenceng. Termasuk dua orang penumpang yang sudah lebih dulu duduk di kursi yang sama dengan saya dan teman saya, mereka turun di stasiun yang sama yakni Stasiun Krenceng. 

Saat kereta hampir memasuki Stasiun Merak suara riuh penumpang semakin ramai. Penumpang sibuk menyiapkan diri dan barang bawaannya untuk segera dibawa turun. Namun di sela-sela itu saya lihat ada beberapa di antara mereka yang mencoba mengabadikan pemandangan laut dari balik jendela kereta dan ada pula yang menelepon sanak saudaranya untuk memberi kabar bahwa dirinya sudah hampir sampai. 

Tepat pukul 11.40 sesuai jadwal yang tertera di tiket, kereta memberhentikan lajunya di Stasiun Merak. Saya dan teman saya tidak langsung tergesa-gesa untuk turun, kami menunggu sampai lorong dan pintu kereta lengang baru kami memutuskan untuk turun. Setelah turun dari kereta pun kami juga tidak langsung menuju pintu keluar yang masih ramai penumpang, kami memutuskan untuk pergi ke toilet terlebih dahulu sambil meregangkan otot.

Situasi di Stasiun Merak cukup ramai, penumpang yang baru turun kereta berusaha segera keluar stasiun dan ada pula penumpang yang baru datang untuk naik kereta selanjutnya. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jakarta – Merak: Perjalanan antar Commuter Line appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jakarta-merak-perjalanan-antar-commuter-line/feed/ 0 40066
Pahlawan Pinggiran Rel Kereta Kebumen https://telusuri.id/pahlawan-pinggiran-rel-kereta-kebumen/ https://telusuri.id/pahlawan-pinggiran-rel-kereta-kebumen/#respond Tue, 04 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39206 Berbicara mengenai pahlawan di Indonesia, sejarah kerap mencatatnya sebagai sosok yang lekat dengan perjuangan besar dan hebat. Perjuangan mereka lekat dengan karisma dan popularitasnya bagi masyarakat. Mereka merupakan patron yang memimpin aksi-aksi pemberontakan, hingga menyusur...

The post Pahlawan Pinggiran Rel Kereta Kebumen appeared first on TelusuRI.

]]>
Berbicara mengenai pahlawan di Indonesia, sejarah kerap mencatatnya sebagai sosok yang lekat dengan perjuangan besar dan hebat. Perjuangan mereka lekat dengan karisma dan popularitasnya bagi masyarakat. Mereka merupakan patron yang memimpin aksi-aksi pemberontakan, hingga menyusur dasar-dasar terbentuknya tatanan negara.

Sebut saja Soekarno sebagai founding father bagi bangsa Indonesia, Bung Tomo bagi perlawanan arek-arek Surabaya, hingga Cut Nyak Dhien yang memperjuangkan kebebasan rakyat Aceh dari Belanda. Lalu jasa dan riwayat mereka disusun dalam bentuk kurikulum, agar generasi mendatang dapat meneladan sebagai rasa cinta tanah air.

Namun, jarang dari kita melihat pahlawan dari aksi-aksi paling pinggiran. Pahlawan yang sejatinya telah mengambil peran yang cukup penting, tetapi kadang keberadaanya kerap kali terpinggirkan. Alhasil, jasa dan kontribusinya segera lekas terlupakan bahkan terkubur ke dalam liang bersama jasadnya.

Pahlawan pinggiran itu bernama Sholeh, penjaga palang pintu kereta api di Kelurahan Selang, Kebumen, Jawa Tengah. Pertama kali saya menjumpai pemuda berusia 20 tahun itu ketika pagi-pagi saya sedang mencari kopi di sekitar “tempat dinasnya”.

Pahlawan Pinggiran Rel Kereta Kebumen
Kedai kopi di dekat perlintasan kereta api, Kelurahan Selang/Mohamad Ichsanudin Adnan

Berkenalan Lewat Rokok dan Kopi

Kala itu matahari masih cukup malu memperlihatkan simpul senyumnya yang mekar di hamparan sawah. Entah mengapa sinarnya yang menguning membasahi padi-padi, membuat saya bersemangat untuk mencari kopi. Oleh warga sekitar, saya diarahkan menuju kedai kopi yang sudah buka dan berada tepat di selatan palang pintu kereta api. Saya lekas menelusuri jalan menuju lokasi dengan jalan kaki. 

Benar saja. Saya mendapati sebuah warung kopi dengan tawaran kudapan pagi yang menarik, yakni bubur. Di tengah asyik menikmati secangkir kopi, ditambah siluet baskara yang mulai membilas wajah saya, dari arah barat suara klakson terdengar cukup nyaring. Tanda akan ada kereta yang melintas.

Berbekal tiang bambu, sang penjaga lekas menarik tali yang telah terikat di ujung palang. Akses jalan antarkelurahan segera tertutup. Tak berselang lama terlihat kereta melaju kencang. Masinis memberikan klakson kecil kepada relawan penjaga itu dan ia membalasnya dengan lambaian tangan. 

Para pengendara yang akan menyeberang seketika harus berhenti. Menunggu sampai kereta benar-benar lewat. Beberapa di antara mereka menyisipkan sejumput uang ke dalam kotak bertuliskan “Kotak Swadaya” di pinggir jalan. Mungkin hasilnya untuk bekal jajan atau kebutuhan ngopi si penjaga palang kereta itu.

Pikiran saya langsung tertuju pada sebuah pertanyaan, “Mengapa hari ini masih ada palang yang dijalankan secara manual? Bukankah di luar sana palang kereta sudah bekerja secara otomatis?” 

Namun, pertanyaan tersebut lekas pergi ketika mata saya menatap sosok itu dari kejauhan. Ia pun balas menatap saya. 

Saya langsung beranjak dari kedai kopi dan menghampirinya. Ia masih siaga menunggu laju kereta berikutnya. Berbekal sebatang rokok dan kopi yang masih hangat, saya mencoba mengajaknya berkenalan.

“Saya Sholeh,” ia menyebutkan namanya.

Pahlawan Pinggiran Rel Kereta Kebumen
Kasus kecelakaan kereta api di Kelurahan Selang/Seputar Kebumen

Jasa yang Hidup dari Swadaya

Dari perkenalan awal tersebut, kami jadi cukup sering bertemu. Selama tiga bulan tinggal di Kebumen, kami sesekali bertukar cerita. Sembari menikmati kopi dan melihat kereta melintas dari jarak yang sangat dekat. Ternyata jika laju kereta itu kita dekati dalam jarak beberapa meter, tubuh kita bisa terempas karena saking kencangnya.

Saya akhirnya menemukan hal menarik tentang Sholeh dan perlintasan kereta tanpa palang pintu di kelurahan ini. Sholeh baru menekuni profesi sebagai penjaga palang kereta beberapa tahun belakangan ini. Sebelumnya, perlintasan rel tersebut sama sekali tidak ada pos penjagaan.

Menurut penuturan beberapa warga, rel kereta tersebut sudah banyak memakan korban jiwa. Salah satunya adalah seorang kakek yang hendak membuang sampah. Alhasil, beredarlah kisah-kisah mistis yang kerap melekat pada lintasan kereta tersebut.

Namun, setelah Sholeh mengambil perannya, angka kecelakaan serta korban jiwa hampir tidak lagi ia dengar. Tak sedikit warga sekitar yang menyisihkan uang kembalian belanja dari pasar untuknya, ketika mereka hendak melewati rel. Maka Sholeh berinisiatif memasang kotak swadaya agar memudahkan orang yang mau menaruh uang. 

Pahlawan Pinggiran Rel Kereta Kebumen
Sholeh ketika bertugas menjaga perlintasan tanpa palang pintu/Mohamad Ichsanudin Adnan

“Untuk apa uang tersebut?” tanya saya.

“Rokok dan kopi di warung sebelah,” jawabnya. Sisanya akan ia tabung, entah untuk kebutuhan apa.

Sholeh merupakan angkatan produktif yang masih tinggal di Selang. Sementara banyak dari kawan seusianya memilih untuk meninggalkan tempat tinggalnya, karena harus merantau ke daerah lain. Tak pelak waktu Sholeh lebih banyak dihabiskan di palang pintu kereta. Atau sekadar nongkrong bersama bapak-bapak lain di dekat posnya. Bahkan ia sudah siap sedia di tempatnya bertugas ketika pagi masih gelap.

Sebelum kembali ke Yogyakarta, sesekali saya memberanikan diri untuk menjajal peran Sholeh. Kalau saya pikir-pikir lagi, menarik palang pintu secara manual ternyata membuat jantung saya berdebar-debar. Sebabnya bunyi klakson kereta luar biasa menakutkan. Ditambah terpaan angin yang dihasilkan kereta ketika hanya berjarak beberapa meter dari ular besi itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pahlawan Pinggiran Rel Kereta Kebumen appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pahlawan-pinggiran-rel-kereta-kebumen/feed/ 0 39206
Mutiara Selatan dan 14 Jam Dalam Kesendirian https://telusuri.id/mutiara-selatan-dan-14-jam-dalam-kesendirian/ https://telusuri.id/mutiara-selatan-dan-14-jam-dalam-kesendirian/#respond Tue, 25 May 2021 01:13:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28157 Semenjak SMA, tidak pernah terpikirkan dalam benak saya untuk merantau jauh demi menempuh pendidikan tinggi.  Nyatanya, Tuhan berkehendak lain dengan menempatkan saya di Bandung, kota terbesar ketiga di Indonesia yang berada di Jawa Barat. “Itu...

The post Mutiara Selatan dan 14 Jam Dalam Kesendirian appeared first on TelusuRI.

]]>
Semenjak SMA, tidak pernah terpikirkan dalam benak saya untuk merantau jauh demi menempuh pendidikan tinggi.  Nyatanya, Tuhan berkehendak lain dengan menempatkan saya di Bandung, kota terbesar ketiga di Indonesia yang berada di Jawa Barat.

“Itu mah nggak jauh,” cibir orang-orang.  “Wah, lumayan jauh ya!”  Ada beragam komentar yang sering kali bertentangan tiap kali seseorang mengetahui lokasiku berkuliah.  Betul sih, memang Bandung dan Surabaya masih berada dalam pulau yang sama.  Aksesnya pun mudah, lewat darat atau udara bisa dijalani.

Awal-awal berkuliah, orang tua saya selalu berusaha menyediakan fasilitas termudah dan terbaik bagi saya untuk melaksanakan pindahan dari rumah ke kos.  Mereka selalu menyarankan saya untuk menggunakan pesawat.  Saya masih ingat, tahun 2017 harga satu tiket pesawat ekonomi dari bandara Juanda ke bandara Husein Sastranegara masih tergolong terjangkau, setara dengan kursi eksekutif kereta api yang ditambah 200 atau 300 ribu.

Memang rasanya sangat efisien.  Dari Surabaya ke Bandung, saya hanya perlu duduk selama satu setengah jam.  Pemandangan yang saya dapatkan dari jendela pesawat pun sangat ciamik dan tentunya, instagramable.  Rasanya seperti menggunakan ‘pintu kemana saja’ milik Doraemon, karena perpindahan jarak panjang ditempuh sangat singkat.  Rasanya seperti sedang main ke kabupaten sebelah untuk sementara.

Tahun 2018, terjadi pengurangan kuota penerbangan dari Surabaya ke Bandung.  Tidak hanya itu, bandara Kertajati yang hampir rampung akan menjadi destinasi utama datangnya pesawat domestik.  Akibatnya, harga pesawat melonjak naik.  Saya tidak ingin menjadi beban, sehingga akhirnya hingga saat itu dan sampai sekarang, menolak untuk menggunakan pesawat apabila harus pergi ke Bandung atau pulang ke Surabaya.  Kereta jelas jauh lebih terjangkau dibandingkan tiket pesawat.

Ada banyak pilihan kereta yang memiliki jadwal tetap antara Jawa Timur dan Jawa Barat, bahkan sampai Jakarta.  Namun entah mengapa, saya dari dulu selalu naik Mutiara Selatan.  Padahal, ada kereta lain yang rute pemberhentiannya lebih sedikit.

“Kamu pulangnya gimana?”  Pertanyaan ini selalu rutin diajukan kepada saya setiap kali semester pembelajaran hendak berakhir.  “Biasa, South Pearl.”  Jawab saya.  Kereta ini selalu berangkat sekitar pukul 6 sore dari stasiun Bandung.  Bagi saya yang tidak suka bangun pagi, jam ini memberikan rasa nyaman sehingga saya tidak terburu-buru.  Walaupun, memang saya harus berangkat satu jam lebih awal agar tidak terjebak macet di jam-jam pulang kantor.

Swafoto Dalam Kereta/Eunike Dewanggasani

“Perjalanan berapa lama sih kalau naik kereta?”  Ini adalah pertanyaan kedua setelah orang menanyakan moda transportasi yang saya gunakan untuk mudik.  “Empat belas jam.”  Jawaban ini akan menerima respon yang rata-rata sama: kaget dan takjub.  Bagi mereka yang belum pernah bepergian jarak jauh dengan kereta, 14 jam mungkin terasa sangat panjang.  Bagi saya, itu hanya sebatas angka saja.  Tubuh saya sudah terlatih selama tiga tahun belakangan untuk menghabiskan waktu sebanyak itu di dalam gerbong kereta.

Maret tahun lalu, saya pulang ke rumah dan menjalani masa-masa lockdown selama hampir setengah tahun di Surabaya.  Saya sempat kembali ke Bandung, lalu pulang kembali ke Surabaya Desember tahun lalu.  Terhitung sudah lima bulan sejak kali terakhir saya menginjakkan kaki di peron stasiun.

Setiap perjalanan dalam kereta memiliki kesannya masing-masing.  Walaupun melewati pemandangan dan stasiun yang sama, orang-orang yang saya temui dalam perjalanan tidak pernah sama.  Perasaan yang menghantui hati ini juga selalu berubah.  Terkadang saya emosional dan menggunakan waktu dalam kereta untuk menangis tersedu-sedu.  Saya sudah tidak peduli dengan pandangan orang, toh mereka tidak kenal saya.  Ada pula saya merasa sangat gembira dan bersemangat.  Pun juga masa-masa saya ingin tenggelam dalam pikiran sendiri, atau masa-masa bertukar cerita dengan orang asing yang duduk di samping saya.

Sudah sekitar satu tahun ini saya memilih untuk duduk di kursi paling depan (atau paling belakang), kursi one-seater yang tidak memiliki kursi pasangan.  Dengan begitu, saya lebih leluasa untuk bermain telepon genggam atau makan.  Tidur pun lebih nyaman dan saya bisa menggunakan dua lubang kontak charger untuk diri sendiri.  Empat belas jam akan saya habiskan dengan melihat indahnya pemandangan di luar jendela, seringkali sembari merenungi makna kehidupan.  Tiap perjalanan spesial karena selalu memiliki catatan perjalanan dan pemikiran yang unik.

Orang bilang, “Enjoy the journey, not the destination.” Ah, bagi saya keduanya sama-sama layak untuk dinikmati.  Setengah hari yang saya habiskan dari pagi hingga pagi lagi adalah sebuah waktu untuk berada dalam ketenangan.  Rasanya seperti memiliki waktu berduaan dengan diri sendiri.

Saya tidak tahu kapan bisa kembali ke Bandung.  Perjalanan terakhir menggunakan Mutiara Selatan bulan Desember lalu masih saya ingat dengan jelas tiap detailnya.  Saya takjub dengan perubahan baru stasiun Bandung yang tampak seperti bandara dengan adanya boarding line dan eskalator.  Punggung saya memikul tas punggung yang penuh dengan barang bawaan, koper di tangan kanan dan tas tangan berisi makanan di tangan kiri.  Mungkin tulisan ini juga sebagai bentuk pengakuan dosa saya.  Ya, saya melakukan satu hal terlarang Desember lalu, yaitu menyelundupkan penumpang gelap bersama dengan saya.

Kkobugi Dalam Pangkuan Di Kereta/Eunike Dewanggasani

Namanya Kkobugi.  Nama tersebut hanyalah terjemahan bahasa Korea untuk ‘kura-kura’.  Saya mengadopsinya karena ia ditelantarkan oleh salah seorang penghuni di kos saya.  Saya tidak sampai hati kalau harus meninggalkannya di kosan sendirian tanpa ada orang yang memeliharanya.  Berhubung saya sudah pernah punya pengalaman memelihara amfibi, saya mengadopsinya dan memutuskan untuk ikut membawanya ke Surabaya.

Kkobugi tentu saja mabuk karena akuarium kecilnya yang saya selundupkan di tas tangan terus bergoyang-goyang akibat getaran dari laju kereta.  Saya akhirnya mengeluarkan dia dari akuarium dan memangkunya di perut sembari menutup tubuhnya dengan jaket.  Selain agar dia tidak kedinginan akibat AC di dalam gerbong, hal ini supaya keberadaannya tidak diketahui juga.

Ah, begitu banyak episode dan kejadian-kejadian yang selalu berkesan di setiap perjalanan saya dengan South Pearl ini.  Seperti peristiwa Kkobugi ini dalam perjalanan terakhir saya.  Saya rindu Bandung dan rindu perjalanan yang biasa saya lalui untuk sampai di Tanah Pasundan tersebut, namun saya tidak tahu kapan akan merasakan hal itu lagi.Until then, South Pearl.  Sampai jumpa di petualangan berikutnya, mungkin nanti di masa yang akan datang.

The post Mutiara Selatan dan 14 Jam Dalam Kesendirian appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mutiara-selatan-dan-14-jam-dalam-kesendirian/feed/ 0 28157
Naik Kereta Api di Museum Kereta Api Ambarawa https://telusuri.id/naik-kereta-api-di-museum-kereta-api-ambarawa/ https://telusuri.id/naik-kereta-api-di-museum-kereta-api-ambarawa/#respond Wed, 03 Feb 2021 10:38:52 +0000 https://telusuri.id/?p=26805 Liburan akhir pekan memang sering saya habiskan untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan kebetulan target saya kali ini adalah Museum Kereta Api Ambarawa. Tak hanya belajar tentang sejarahnya saja, saya juga berniat untuk mencoba pengalaman naik...

The post Naik Kereta Api di Museum Kereta Api Ambarawa appeared first on TelusuRI.

]]>
Liburan akhir pekan memang sering saya habiskan untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan kebetulan target saya kali ini adalah Museum Kereta Api Ambarawa. Tak hanya belajar tentang sejarahnya saja, saya juga berniat untuk mencoba pengalaman naik kereta api tua yang usianya bisa dibilang sudah ratusan tahun. 

Lokomotif di Museum Kereta Api Ambarawa ini merupakan peninggalan zaman Belanda, jadi bentuk dan pengoperasiannya pun masih terlihat kuno. Namun hal ini tampak berbeda saat saya sudah tiba di stasiunnya.

Setelah membayar tiket masuk seharga Rp10 ribu, saya mulai memasuki area di dalam dari Stasiun Ambarawa.  Terlihat beberapa lokomotif yang bentuknya unik dan vintage dengan cat yang bisa dibilang masih baru. Dari sisi bangunannya berciri khas bangunan peninggalan Belanda karena gaya arsitekturnya mirip seperti yang ada di Lawang Sewu atau Kota Lama Semarang. 

Walaupun usianya sudah tua, stasiun ini sangat terawat, terbukti dari areanya yang bersih dan penempatan barang-barangnya pun teratur. Di beberapa titik akan ada papan informasi tentang sejarah dan seluk beluk sejarah perkeretaapian Indonesia. Beberapa barang-barangnya banyak yang berasal dari stasiun lain yang bahkan sudah tidak beroperasi, salah satunya adalah loket kayu dari Stasiun Demak.

Menurut obrolan saya dengan salah satu petugas yang ada di sana,  Stasiun Ambarawa tak hanya berfungsi sebagai tempat wisata saja. Di sini pengunjung bisa melakukan berbagai macam kegiatan seperti pemotretan, shooting film, festival, bazaar, meeting, bahkan workshop juga pernah diadakan di tempat ini. 

Museum Kereta Api Ambarawa
Museum Kereta Api Ambarawa/Deta Widyananda

Sejarah Museum Kereta Api Ambarawa

Sebelum dikenal sebagai Stasiun Ambarawa, dulunya stasiun ini dikenal dengan nama Stasiun Willem I yang dibangun oleh NISM (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij), diresmikan tanggal 21 Mei 1873 bersama dengan pembukaan lintas Kedungjati-Ambarawa.

Ambarawa memang dikenal sebagai daerah militer karena perannya yang menyokong Magelang untuk mengontrol daerah di pedalaman. Pada tahun 1835 dibangunlah sebuah kompleks benteng besar yang selesai pada tahun 1848 dan diberi nama Willem I. Benteng ini merupakan benteng terbesar di Jawa pada masa pemerintahan Raja Willem I. 

Pada tahun 1873 dibuatlah jaringan kereta api oleh perusahaan kereta api swasta, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) yang merupakan syarat untuk mendapatkan izin konsesi pembangunan jalur kereta api Semarang – Vorstenlanden (dikenal sebagai Solo – Yogyakarta). NISM diwajibkan untuk membangun jalur kereta api sepanjang 37 km dari Kedungjati sampai Ambarawa untuk keperluan militer pada saat itu. 

Pemberian nama Stasiun Willem I ini karena lokasinya yang tidak jauh dari Benteng Willem I. Pada tahun 1905 berlanjut membangun jalur kereta api Secang-Magelang dengan jalur kereta khusus menggunakan rel bergerigi. 

Selanjutnya pada tahun 1907, dilakukan renovasi terhadap Stasiun Ambarawa dengan mengganti material kayu dan bambu menjadi batu bata. 

Semenjak dioperasikan, Stasiun Willem I ini digunakan sebagai angkutan komoditas ekspor dan keperluan militer di sekitar Jawa Tengah. Namun pada tahun 1976, stasiun ini dinonaktifkan dan digunakan sebagai Museum Kereta Api oleh Gubernur Jawa Tengah pada saat itu. 

Tujuannya untuk menyelamatkan teknologi kuno yang masih bisa dioperasikan yaitu lokomotif uap yang sekarang ini menjadi daya tarik tersendiri di sana. Stasiun Ambarawa dipilih karena nilai historisnya yang kuat dengan perjuangan kemerdekaan NKRI yaitu Pertempuran Ambarawa. 

Di museum ini, saya bisa melihat berbagai koleksi peninggalan masa Hindia Belanda sampai pra Kemerdekaan RI seperti sarana, prasarana dan perlengkapan administrasi. Untuk koleksi kereta apinya sendiri memiliki 26 lokomotif uap, 4 lokomotif diesel, 5 kereta dan 6 gerbong dari berbagai daerah tak hanya di Ambarawa saja. 

Pengelola Kereta Wisata Ambarawa juga menyediakan fasilitas bagi pengunjung untuk merasakan sensasi naik kereta api dengan dua jalur yang berbeda, yaitu Ambarawa-Tuntang PP dan Ambarawa-Bedono PP. 

Untuk jalur Ambarawa-Bedono PP menggunakan kereta api uap yang melewati rel bergerigi, satu-satunya rel bergigi yang masih aktif di Indonesia. Namun saat ini yang beroperasi adalah jalur Ambarawa-Tuntang PP menggunakan Kereta Api Diesel. 

Museum Kereta Api Ambarawa
Kereta Api di Museum KA Ambarawa/Deta Widyananda

Jadwal Kereta Wisata Ambarawa

Update jadwal dan harga tiket Kereta Wisata Ambarawa per November 2020 adalah Rp60 ribu per orang (anak usia 3 tahun lebih diwajibkan untuk membeli tiket). Untuk jadwalnya terbagi menjadi 3 sesi setiap hari Sabtu dan Minggu yaitu jam 9 pagi, 11 siang, dan 1 siang. 

Pengalaman saya sewaktu datang ke Stasiun Ambarawa memang harus datang pagi hari dan langsung membeli tiket karena biasanya sudah terjual habis. Untungnya saya masih mendapatkan satu tiket terakhir untuk jam 1 siang. 

Rute kereta api yang saya naiki adalah Ambarawa – Tuntang PP menggunakan Kereta Api Diesel Vintage. Rutenya nanti melewati areal persawahan di sekitar Rawa Pening dengan pemandangan yang menakjubkan, kata salah satu petugas yang ada di sana sih. 

Bunyi dengung setiap getaran mesinnya dan decasan dari uapnya memperlihatkan bahwa kereta ini masih tangguh untuk menelusuri setiap jengkal relnya. Terlihat lokomotif dengan kayu sebagai bahan bakarnya dan sudah terpasang dengan gerbongnya. Tak lama kemudian saya naik dan menduduki salah satu tempat yang pas yaitu dekat jendela. 

Sesaat kemudian terdengar peluit yang menandakan bahwa kereta akan berangkat. Perlahan berjalan pelan dan meninggalkan Stasiun Ambarawa. Laju keretanya memang tidak terlalu kencang, inilah kelebihan kereta wisata di sini, jadi bisa melihat setiap ujung pemandangan yang disuguhkan. 

Benar saja yang dibilang bapak tadi, pemandangannya sangat menakjubkan, dari areal persawahan yang hijau membentang dengan latar belakang pegunungan kecil di sekitar Ambarawa. Jika beruntung, penumpang bisa melihat ternak yang sedang digembalakan atau kerbau yang sedang membajak sawah.

Berselang 23 menit kemudian sampailah saya di Stasiun Tuntang yang ukurannya tidak terlalu besar dan megah seperti Stasiun Ambarawa. Di sini lokomotif akan dipindahkan dari gerbong depan ke gerbong belakang (mundur). Ada sesi istirahat sejenak sekitar 20 menit yang bisa digunakan pengunjung untuk melihat-lihat Stasiun Tuntang atau mengabadikan momen saat lokomotif berpindah. 

Sempat saya mengelilingi Stasiun Tuntang namun tidak banyak hal yang bisa saya ceritakan karena memang tidak ada apa-apa dan waktunya pun terhitung singkat. Hanya ada beberapa papan informasi tentang sejarah lokomotif dan Stasiun Tuntang yang terpampang di beberapa titiknya. 

Tak lama kemudian, kereta wisata berangkat dari Stasiun Tuntang menuju ke Stasiun Ambarawa secara perlahan. Pemandangan yang disajikan memang masih sama dan tidak berbeda saat berangkat tadi. Dalam hitungan menit yang sama, kereta wisata yang saya tumpangi sudah sampai di Stasiun Ambarawa.

Dari pengalaman itulah setidaknya saya tahu bahwa Museum Kereta Api Ambarawa merupakan tempat bersejarah yang menyimpan teknologi kuno sejak penjajahan Belanda. Tak hanya sebagai daya tarik wisata saja namun Museum Kereta Api Ambarawa benar-benar mengingatkan saya bahwa teknologi sekarang ada merupakan hasil dari inovasi dan pengembangan yang tak pernah berhenti. 

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Naik Kereta Api di Museum Kereta Api Ambarawa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/naik-kereta-api-di-museum-kereta-api-ambarawa/feed/ 0 26805
Melihat Sundel Bolong Nordik di Flam https://telusuri.id/melihat-sundel-bolong-nordik-di-flam/ https://telusuri.id/melihat-sundel-bolong-nordik-di-flam/#respond Tue, 10 Nov 2020 08:23:32 +0000 https://telusuri.id/?p=25086 Keindahaan alam Norwegia agak mirip dengan Indonesia. Jika di Indonesia banyak sawah luas membentang dengan tanaman padinya, di Norwegia banyak padang rumput hijaunya. Gunung-gunungnya pun sama indahnya, begitu juga sungai, pantai, maupun air terjunnya. Soal...

The post Melihat Sundel Bolong Nordik di Flam appeared first on TelusuRI.

]]>
Keindahaan alam Norwegia agak mirip dengan Indonesia. Jika di Indonesia banyak sawah luas membentang dengan tanaman padinya, di Norwegia banyak padang rumput hijaunya. Gunung-gunungnya pun sama indahnya, begitu juga sungai, pantai, maupun air terjunnya.

Soal ekspresi budaya juga ternyata tak jauh-jauh amat bedanya. Alam perhantuan, misalnya. Jika Indonesia punya “sundel bolong”, Norwegia punya “peri”. Nah, ceritaku kali ini adalah tentang pengalamanku melihat “peri” di Norwegia.


Kereta api buatku bukanlah sesuatu yang aneh. Jika bepergian ke Bandung, ke daerah-daerah di Jawa Tengah, mapun ke Jawa Timur, aku kadang menggunakan moda transpor ini. Enaknya naik kereta api, jika dibandingkan dengan bus atau pesawat terbang, misalnya, adalah kita tak cuma bisa duduk manis di bangku, namun juga bisa bebas berjalan ketika moda transpor ini sedang melaju. Selain itu, pemandangan yang bisa dilihat juga biasanya elok.

Jalan seperti Kelok 9 dekat jalur kereta Flam, Norwegia/Ruth Sandra Devi

Pada suatu hari yang dingin di musim panas, aku naik kereta api di sebuah desa kecil di Norwegia. Namanya Flam. Tunggu—hari yang dingin di musim panas? Aku tidak salah ketik. Sekalipun sedang musim panas, suhu udara memang dingin sekali, bisa mencapai 0 derajat Celsius. Bisa dibayangkan sendiri betapa dinginnya musim dingin.

Flam sendiri menawarkan dua hal pada para turis, yaitu pengalaman melihat fjord naik kapal (fjord cruise) dan pengalaman melihat keindahan alam naik kereta api (panoramic train). Untuk yang kedua ini, jendela kereta apinya sengaja dibuat demikian besar agar turis lega memandang ke luar.

Salah satu desa yang dilewati saat perjalanan naik kereta/Ruth Sandra Devi

Perjalanan kereta panoramik ini dimulai di Flam, terus ke Stasiun Myrdal, lalu kembali ke Flam. Jarak antara Flam dan Myrdal sekitar 20 km saja dan ditempuh selama satu jam. Perbedaan ketinggian antara kedua tempat itu membuat kereta mesti melaju menanjak dan menurun. Flam hanya 2 mdpl, sementara Myrdal 866 mdpl.

Pemandangan yang kulihat dari jendela kereta, sebagaimana di Indonesia, juga indah. Agak-agaknya pemandangan indah itulah yang dijual oleh Norwegia pada para turis. Aku dipukau gunung-gunung yang tinggi, lembah, sungai, terowongan yang membelah bukit, dan desa-desa yang cantik. Sekali waktu aku melihat jalan berliku yang mengingatkanku pada Kelok 9.

Sekitar 5 km sebelum sampai di Myrdal, kereta tiba-tiba berhenti. Para penumpang berebut turun dari kereta. Aku pun ikut turun untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata kereta memang sengaja berhenti di situ untuk memberikan kesempatan pada para turis melihat sebuah air terjun cukup besar. Suara air yang berjatuhan bergemuruh. Air terjun itu bernama Kjosfossen. Orang-orang pun sibuk berfoto dengan latar belakang air terjun.

Sedang asyik berswafoto, sayup-sayung telingaku mendengar suara orang bernyanyi. Iya, menyanyi! Diiringi suara alat musik pula! Kombinasi keduanya bikin suasana jadi mistis dan bikin bulu roma merinding. Lalu, di sana, berdekatan dengan air terjun, tiba-tiba saja muncul sesosok wanita bergaun merah. Dengan rambut putih yang panjang terurai, ia menari-nari di atas apa yang tampak seperti reruntuhan bangunan. Makin menegangkan saja!

Rupanya itu adalah atraksi. Sosok berbaju merah itu manusia yang berpenampilan seperti huldra, sosok mitologis Nordik semacam “peri” yang tinggal di hutan. Penampilannya sebelas-dua belas dengan sundel bolong—ada lubang di punggungnya! Tapi, hulder punya ekor.

Huldra di AIr Terjun Kjosfossen/Ruth Sandra Devi

Atraksi hulder menari-nari di depan Air Terjun Kjosfossen itu sengaja dibikin agar turis mendapat pengalaman yang berkesan dalam perjalanan naik kereta itu. Memang benar, sih, “peri” yang menari-nari itu bikin aku tak mampu melupakan perjalanan ke Flam.

Setelah berhenti sekitar 10 menit untuk melihat peri, perjalanan berkereta dilanjutkan ke Stasiun Myrdal. Berhenti tidak lama di Myrdal, kereta kembali lagi ke Flam.

Stasiun Myrdal/Ruth Sandra Devi

Saat tiba di Kjosfossen, kereta berhenti lagi, dan sosok peri tadi muncul lagi. Sayangnya, nyanyian dan sosoknya tetap sama. Kalau di Indonesia, pastilah akan bervariasi. Misalnya, pada perhentian pertama yang muncul ada gending Jawa beserta penari dengan baju kebayanya. Begitu balik lagi, lagunya ganti jadi lagu Papua. Membayangkannya saja aku sudah ingin sekali mencoba kereta itu.

The post Melihat Sundel Bolong Nordik di Flam appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-sundel-bolong-nordik-di-flam/feed/ 0 25086
Sewaktu Pulang Kerja dengan Kereta https://telusuri.id/sewaktu-pulang-kerja-dengan-kereta/ https://telusuri.id/sewaktu-pulang-kerja-dengan-kereta/#comments Mon, 11 May 2020 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=21516 Kereta menjadi medium utama perjalanan saya dalam beberapa tahun terakhir. Dari Jakarta ke kota-kota lainnya di Pulau Jawa sewaktu liburan, dari Depok ke tempat magang semasa kuliah, dan perjalanan yang sudah menjelma rutinitas sejak tahun...

The post Sewaktu Pulang Kerja dengan Kereta appeared first on TelusuRI.

]]>
Kereta menjadi medium utama perjalanan saya dalam beberapa tahun terakhir. Dari Jakarta ke kota-kota lainnya di Pulau Jawa sewaktu liburan, dari Depok ke tempat magang semasa kuliah, dan perjalanan yang sudah menjelma rutinitas sejak tahun lalu: dari kantor ke rumah.

Kepraktisan memang yang pertama mendasari pilihan itu. Kantor dan rumah saya dekat dengan stasiun kereta sehingga bisa menghemat ongkos ojek online. Tarif naik kereta antardua stasiun itu pun tidak lebih dari lima ribu rupiah. Alasan ini rasanya juga diperhitungkan oleh ribuan penumpang kereta setiap hari.

Namun, bukan berarti saya terpaksa melakukannya. Alasan pertama telah melahirkan alasan berikutnya, saya menikmati perjalanan dengan kereta. Banyak hal yang bisa diamati karena kemajemukannya. Segala jenis orang menggunakan alat transportasi ini, lantas jadi mencirikan jalur-jalur kereta. Misalnya, kereta yang dipenuhi penumpang dengan tas atau plastik besar tentu berasal dari Stasiun Tanah Abang. Atau, penumpang berpakaian rapi—tetapi tidak terlalu formal—biasanya mengisi kereta jalur Jakarta Kota, terutama Stasiun Gondangdia dan Cikini.

Lebih dari itu, saya diingatkan setiap kali naik kereta dan mengamati para penumpang tersebut: ini bentuk masyarakat, banyak dan berbeda. Melihat apa pun tidak bisa dari sudut pandang saya atau golongan saja, apalagi memaksakan dan menganggapnya yang paling benar. Karena itu, saya selalu berusaha memahami ibu-ibu yang berebut mendahului satu sama lain untuk masuk ke dalam gerbong perempuan. Semua harus dimulai dari hal terkecil, ‘kan?

Satu setengah jam perjalanan pulang kerja dengan kereta juga jadi masa peralihan antara kantor dan rumah bagi saya. Setelah seharian bekerja, saya bisa menggunakan waktu di kereta untuk mencurahkan semua rasa lelah. Mengeluh, mendengarkan lagu, membaca media sosial, melihat jalanan, atau mengamati para penumpang. Mereka pun melakukan hal serupa, dengan wajah capek yang tidak jauh berbeda. Ah, rasanya seperti menemukan kawan-kawan senasib—meski rasa lelah saya mungkin hanya lima persen dari mereka. Lega sekali.

Penumpang Kereta Rel Listrik Commuter Line menunggu kedatangan kereta di peron Stasiun Manggarai, Jakarta, Kamis, 13 Februari 2020 via TEMPO/Hilman Fathurrahman

Dengan begitu, energi saya sudah terisi kembali sesampai di rumah. Saya bisa mengobrol bersama orangtua, bertukar kabar dengan beberapa teman, atau melakukan apa pun yang saya suka tanpa terbebani tugas di kantor sekaligus rasa lelah.

Sayangnya, saya kehilangan waktu dan momen perjalanan tersebut sejak sekitar dua bulan lalu.

Kantor saya menerapkan work from home (WFH) bagi para karyawannya sesuai imbauan—akhirnya menjadi aturan—Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan apa pun di rumah akibat pandemi COVID-19. Awalnya, imbauan itu saya anggap sebagai kabar gembira. Saya bisa bangun lebih siang, hemat ongkos, dan punya lebih banyak waktu di rumah. Namun, setelah dijalankan, jam kerja saya justru berubah tidak teratur.

Selama WFH berlangsung, saya tidak punya kewajiban menempuh perjalanan dari kantor ke rumah seperti sebelumnya. Karena itu, mendekati akhir jam kerja, saya terbiasa mengatakan, “Tanggung, deh. Sedikit lagi.” Waktu perjalanan pulang kerja pun berganti menjadi waktu kerja, bahkan beberapa kali sampai tengah malam. Akibatnya, rasa lelah pada hari itu memengaruhi produktivitas saya esok harinya.

Lelah yang bertumpuk, ditambah jenuh melihat pemandangan rumah dan isinya yang itu-itu saja, membuat saya sulit fokus bekerja. Akhirnya, saya bisa menghabiskan setengah hari hanya bengong dan sibuk mengecek ponsel. Setengah hari berikutnya, saya baru mulai menyelesaikan tugas satu demi satu. Siklus jam kerja tidak teratur pun terulang lagi.

Meski perjalanan pulang kantor dengan kereta telah menjadi bagian penting, kini saya gelisah memikirkan nantinya harus kembali melakukan rutinitas itu. Sewaktu COVID-19 mulai parah menyebar di Jabodetabek, sebagian besar penumpang kereta tampak tak acuh. Mereka tetap memegang railing tangga stasiun dengan sembarangan dan berdesak-desakan saat naik atau turun di peron. Kondisi yang sama rasanya bisa langsung terjadi ketika aturan WFH tidak lagi diberlakukan.

Padahal, pencabutan aturan itu bukan menunjukkan pandemi berhasil diatasi, melainkan hanya penyebarannya yang sudah berkurang. Artinya, potensi penularan di masyarakat masih ada. Ini yang membuat saya gelisah. Jika potensi ini kemudian diabaikan, masyarakat pun tidak lagi menjaga jarak satu sama lain, masalah yang sama tentu akan muncul kembali.

Pandemi COVID-19 pada akhirnya akan selesai, lalu lama-kelamaan dilupakan, sama seperti sejumlah wabah yang terjadi sebelumnya. Sayangnya, belum ada yang tahu kapan “akhirnya” itu tiba. Saya mungkin bisa kembali menempuh perjalanan pulang dari kantor ke rumah dengan kereta dalam satu bulan lagi, tetapi entah apakah saya akan menikmatinya, apakah saya akan lega mencurahkan semua rasa lelah, atau justru bertambah gelisah.

Mungkin menyiapkan diri pada berbagai kemungkinan kondisi setelah WFH berakhir jadi langkah terbaik yang bisa saya lakukan saat ini, termasuk meneruskan atau mengganti kereta sebagai medium utama perjalanan saya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sewaktu Pulang Kerja dengan Kereta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sewaktu-pulang-kerja-dengan-kereta/feed/ 2 21516
Pas Nunggu Kereta di Stasiun Wates https://telusuri.id/nunggu-kereta-stasiun-wates/ https://telusuri.id/nunggu-kereta-stasiun-wates/#respond Tue, 06 Aug 2019 14:01:01 +0000 https://telusuri.id/?p=16425 Jadi pas nunggu kereta di Stasiun Wates kemaren, ada anak muda, wedok, yang ujug-ujug ngejak ngobrol. Pertama aku kira tukang hipnotis. Tapi, pas dia bilang ibunya asli Gunungkidul, aku langsung sumringah. Soalnya aku juga asli...

The post Pas Nunggu Kereta di Stasiun Wates appeared first on TelusuRI.

]]>
Jadi pas nunggu kereta di Stasiun Wates kemaren, ada anak muda, wedok, yang ujug-ujug ngejak ngobrol. Pertama aku kira tukang hipnotis. Tapi, pas dia bilang ibunya asli Gunungkidul, aku langsung sumringah. Soalnya aku juga asli sana.

“Gunungkidul-nya mana?” kutanya.

“Wonosari, Bu. Cuma memang dari dulu sudah merantau ke Jakarta,” begitu jawabnya.

Berarti ibunya sama kayak aku. Asli Gunungkidul, merantau ke Jakarta.

Dia cuma sendirian. Gembolannya tas gede, tentengan warna kuning, sama tas selempang merah kotak-kotak. Pas aku tanya umur, jawabannya bikin kaget: “Dua-puluh dua tahun, Bu.”

“Berani banget kamu, Nak. Nggak takut?”

“Udah biasa, Bu,” begitu dia jawab. Ndak ragu-ragu. Jarang banget aku ketemu anak perempuan seumuran dia yang jalan-jalan sendirian.

Terus dia lanjut cerita. Katanya, rasa takut pasti ada, tapi dia selalu cari cara supaya takutnya hilang. Lagian, ternyata dia juga udah rampung kuliah, di Unpad, terus nyambut gawe jadi wartawan, nulis soal jalan-jalan di media Jakarta. Wartawan ndak mungkin takutan.

stasiun wates
Ruang tunggu di Stasiun Wates/Dewi Rachmanita Syiam

Nah, ini dia mau balik ke Jakarta naik Gaya Baru Malam jam enam kurang seperempat nanti. Biar ndak ketinggalan kereta, dia bela-belain mangkat naik Prameks ke Stasiun Wates jam dua siang. Kalau naik Prameks berikutnya ya ndak nyandak. Sambil ketawa, dia bilang kalau dia udah dicari-cari orang kantor karena kelamaan mondar-mandir di Jogja. Lihat dia ketawa, aku ikutan ketawa.

Ndak tau kenapa, aku kok seneng ngobrol sama dia. Aku nyaman-nyaman aja cerita urusan pribadi. Aku cerita ke dia soal suamiku yang kena stroke. Ternyata bapak si anak ini juga baru kena stroke. Syukurnya ndak parah. Udah mendingan. Dia ngasih saran buat ngasih suamiku black garlic, bawang putih hitam. Ampuh katanya buat stroke.

Aku juga cerita soal anakku yang baru aja kena begal di Pamulang. Jadi kemaren itu dia baru pulang jualan baju di mal. Pulangnya malem banget. Sendirian. Pas lewat jalan sepi, dia dipepet orang. Jatuh. Untungnya uang dagangan selamat karena udah dibawa pulang sama kancane.

Dikit-dikit aku juga cerita soal Gunungkidul jaman mbiyen. Dulu belum ada wisata-wisata. Boro-boro wisata, makan aja susah. Nasi susah. Kami dulu maem singkong. Nggolek banyu yo angel. Dia ketawa-ketawa aja denger ceritaku. Dia bilang, ibunya juga banyak cerita soal Gunungkidul jaman dulu.

Lama kami cerita-cerita. Cuma ya akhirnya kami mesti pisah pas mau berangkat dari Stasiun Wates. Dia pamit, terus jalan bawa gembolannya. Banter banget jalannya. Aku sama bapak ya pelan-pelan aja di belakang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pas Nunggu Kereta di Stasiun Wates appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/nunggu-kereta-stasiun-wates/feed/ 0 16425
Nostalgia! 7 Hal “Ngangenin” dari Kereta Ekonomi https://telusuri.id/7-hal-ngangenin-dari-kereta-ekonomi/ https://telusuri.id/7-hal-ngangenin-dari-kereta-ekonomi/#comments Fri, 02 Feb 2018 02:30:15 +0000 https://telusuri.id/?p=6246 PT KAI benar-benar sudah berbenah. Wajah perkeretaapian Indonesia pun drastis berubah. Demi kenyamanan penumpang, fasilitas kereta semua kelas ditingkatkan. Fasilitas pendingin ruangan, misalnya. Kalau dulu AC cuma bisa dinikmati penumpang kereta eksekutif, sekarang fasilitas itu...

The post Nostalgia! 7 Hal “Ngangenin” dari Kereta Ekonomi appeared first on TelusuRI.

]]>
PT KAI benar-benar sudah berbenah. Wajah perkeretaapian Indonesia pun drastis berubah. Demi kenyamanan penumpang, fasilitas kereta semua kelas ditingkatkan. Fasilitas pendingin ruangan, misalnya. Kalau dulu AC cuma bisa dinikmati penumpang kereta eksekutif, sekarang fasilitas itu juga bisa dinikmati oleh mereka yang naik kereta ekonomi atau bisnis.

Tapi, konsekuensinya banyak hal yang udah nggak bisa lagi kamu rasakan kalau naik kereta ekonomi. TelusuRI ngajak kamu nostalgia mengenang sensasi naik kereta ekonomi zaman dulu. Nih, 7 hal yang paling ngangenin dari kereta ekonomi.

1. Ketinggalan kereta, kamu bisa naik kereta api berikutnya asal tujuannya sama

kereta ekonomi

Stasiun kereta via facebook.com/Yangga86

Misalnya kamu mau ke Jakarta dari Jogja. Semestinya kamu naik Progo. Tapi, karena semalam abis begadang, kamu tidur dari pagi sampai agak sore. Akibatnya kamu telat, kereta Progo ke Jakarta sudah keburu berangkat. Nah, kalau dulu kamu masih bisa naik kereta selanjutnya, yakni Bengawan yang tujuannya sama-sama Jakarta.

Sekarang udah nggak bisa lagi. Kamu mesti naik kereta sesuai tiket. Kedapatan naik kereta yang nggak sesuai tiket, bisa-bisa kamu diturunin di stasiun terdekat.

2. Berdiri sampai tujuan karena nggak kebagian tempat duduk

kereta ekonomi

Gerbong restorasi kereta ekonomi tahun 2010/Fuji Adriza

Dulu, kalau kamu cuma dapat tiket tanpa nomor bangku (yang bentuknya kayak kupon Timezone) siap-siaplah buat berdiri. Kalau sudah agak malam, biasanya pada mulai mengeluarkan koran bekas buat dijadiin alas duduk atau tidur. Lha, mereka tidur di mana?

Macam-macam. Penumpang kereta zaman dulu punya kemampuan tinggi buat mencari kenyamanan di tengah keterbatasan. Ada yang tidur di lorong gerbong. Sebagian lagi tidur atau senderan di bordes alias sambungan kereta sambil merokok bareng kenalan baru. Kadang-kadang ada yang tidur di kompartemen barang atau mencari suaka di toilet kereta! Pahit bangetlah pokoknya.

3. Beli “cangcimen,” “kopmi,” “pecel,” dll

kereta ekonomi

Suasana gerbong kereta/Rio Praditia

“Cangcimen,” “kopmi,” “narasi,” “pecel,” adalah kata-kata yang dulu bakal sering kamu denger waktu naik kereta ekonomi. Kata-kata itu keluar dari mulut para pedagang asongan yang pada umumnya menjajakan makanan.

Serunya, kamu bakal bisa menikmati kuliner-kuliner khas dari daerah-daerah yang kamu lewati. Waktu kereta ekonomi melintas di Jawa Barat, kamu bisa mencoba tahu sumedang. Pas kereta berhenti di Stasiun Madiun atau Ngawi, kamu bisa mencicipi pecel madiun yang pedas bukan main. Sekarang udah nggak bisa lagi.

4. Stok receh menipis karena pengamen nggak habis-habis

kereta ekonomi

Pengamen di kereta ekonomi/Ika Soewadji

Dulu orang bebas ngamen di kereta ekonomi. Seru ‘kan bisa denger live music di kereta? Seru sih seru. Masalahnya, para pengamen seolah-olah datang tanpa henti. Macam-macam jenisnya. Ada yang emang suaranya bagus, ada juga yang cuma sekadar krecek-krecek atau tepuk tangan.

Makanya setiap kali naik kereta ekonomi, kita mesti sedia receh yang banyak dari rumah. Bisa sih kamu nggak ngasih. Tapi siap-siap buat mendengar gerutuan pengamennya. Sekarang udah nggak ada lagi ‘kan yang ngamen di kereta ekonomi?

5. Kadang-kadang masuk lewat jendela

kereta ekonomi

Suasana gerbong KA Ekonomi Sri Tanjung tahun 2009/Fuji Adriza

Pas arus mudik, jumlah penumpang kereta jadi melonjak tinggi. Banget. Stasiun pada penuh oleh orang-orang yang menunggu kereta datang. Pas kereta akhirnya masuk stasiun, semuanya langsung buru-buru naik ke dalam gerbong supaya kebagian tempat duduk.

Saking ramainya manusia, buat masuk kereta aja susah banget. Nah, daripada empet-empetan masuk kereta lewat pintu, sebagian orang memilih buat masuk kereta lewat jendela. Ya, kamu nggak salah baca: jendela! Sekarang kamu nggak bakal bisa masuk lewat jendela. Soalnya jendelanya udah nggak bisa dibuka.

6. Sebelum kereta tiba di tujuan, bakal ada yang “ngamen” nyapu sampah

kereta ekonomi

Gerbong kereta ekonomi via facebook.com/wusana.pamungkas

Sekarang sudah ada petugas yang khusus mengurus sampah. Dulu nggak ada. Sudahlah nggak ada petugasnya, tong sampah pun terbatas jumlahnya. Buat menampung sampah ratusan orang yang ada dalam sebuah gerbong, tiga tong kecil nggak bakal cukup. Bisa ditebak: gerbong kotor.

Biasanya menjelang tiba di tujuan bakal ada yang datang sambil bawa sapu. Dia bakalan nyapu sampah satu gerbong dari ujung satu ke ujung lainnya. Tapi itu nggak gratis. Mereka bakal minta uang dari penumpang. Kalau kamu nggak ngasih, kadang-kadang mereka bakalan ngambek dan meninggalkan sampah yang sudah “disapu” itu begitu saja.

7. “Terlambat dua jam itu biasa”

kereta ekonomi

Stasiun Gubeng/Fuji Adriza

Dulu kereta ekonomi itu selalu telat sampai-sampai Bang Iwan Fals bikin lagu “Kereta Tiba Pukul Berapa.” Sekarang sudah jarang banget kasus telat sampai berjam-jam. Paling cuma hitungan menit. Kalau telatnya lama, biasanya memang ada force majeure.

Kamu sendiri pernah ngalamin hal-hal itu?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Nostalgia! 7 Hal “Ngangenin” dari Kereta Ekonomi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/7-hal-ngangenin-dari-kereta-ekonomi/feed/ 6 6246
Sudah Pernah ke 7 Stasiun Kereta Bersejarah di Indonesia Ini? https://telusuri.id/stasiun-kereta-bersejarah-di-indonesia/ https://telusuri.id/stasiun-kereta-bersejarah-di-indonesia/#comments Fri, 15 Sep 2017 17:15:22 +0000 http://telusuri.org/?p=2075 Siapa di antara kamu yang suka traveling naik kereta api? Nah, kereta api di Indonesia ternyata punya peranan penting dalam sejarah bangsa Indonesia, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan. Kalau saja stasiun-stasiun kereta di Indonesia bisa...

The post Sudah Pernah ke 7 Stasiun Kereta Bersejarah di Indonesia Ini? appeared first on TelusuRI.

]]>
Siapa di antara kamu yang suka traveling naik kereta api? Nah, kereta api di Indonesia ternyata punya peranan penting dalam sejarah bangsa Indonesia, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan. Kalau saja stasiun-stasiun kereta di Indonesia bisa bicara, tentu banyak sekali cerita yang bisa kita dapat dari mereka.

Kamu pasti akan kaget mendengar bahwa Indonesia adalah negara pertama yang menggunakan kereta api di Asia Tenggara. Sejarah kereta api di negeri ini dimulai sejak diterapkannya sistem tanam paksa. Untuk mengangkut hasil bumi, pemerintah Hindia-Belanda mengajukan proposal pembangunan jalur kereta api. Akhirnya, di bawah perusahaan swasta NISM (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij) jalur pertama kereta api di Hindia-Belanda beroperasi perdana pada tahun 1867 dengan rute Semarang – Tanggung.

Sejak itu, tak terhitung banyaknya jumlah stasiun kereta api yang didirikan dan jadi saksi bisu sejarah Indonesia. Sebagian dari stasiun-stasiun itu terus bertahan dan menjadi penyintas zaman. Tapi banyak juga yang sekarang cuma tinggal reruntuhan. Nah, inilah 7 stasiun bersejarah di Indonesia yang bisa kamu jadikan destinasi jalan-jalan:

1. Stasiun Kereta Tanjung Priuk, Jakarta Utara

Rupa Stasiun Tanjung Pruik tempo dulu via tropenmuseum.nl

Stasiun Tanjung Priuk di Jakarta Utara ini sebenarnya merupakan perluasan dari stasiun kereta lama yang terletak di dekat dermaga Tanjung Priuk. Perhentian kereta Tanjung Priuk dalam wujudnya yang sekarang dibangun oleh Perusahaan Kereta Api Negara Hindia-Belanda (Staatsspoorwegen) dan diarsiteki oleh Ir. C.W. Koch.

Pembangunan stasiun ini lumayan lama, yaitu sekitar 9 tahun. Akhirnya, pada tanggal 6 April 1925 stasiun ini diresmikan. Pada tanggal itu pula peristiwa bersejarah lain terjadi, yakni diresmikannya rel listrik pertama di Hindia-Belanda dengan rute Tanjung Priuk – Meester Cornelis (Jatinegara).

Istimewanya, stasiun ini juga dilengkapi dengan fasilitas penginapan bagi penumpang transit. Bagi yang senang hal-hal berbau mistis, Stasiun Tanjung Priuk punya tempat-tempat misterius, seperti terowongan atau bunker di bawah bangunan stasiun. Terlepas dari wujudnya yang sekarang, pada puncak kejayaannya Stasiun Tanjung Priuk bisa dikatakan sebagai stasiun termegah di Asia Tenggara.

2. Halte Pondok Terong, Depok

Letaknya di antara Stasiun Depok dan Stasiun Citayam. Sekilas, halte yang melayani KRL Jakarta – Bogor ini terlihat biasa saja. Namun siapa sangka bahwa pada tahun 1993 di dekat halte ini pernah terjadi sebuah musibah besar dalam sejarah kereta api di Indonesia, yaitu kecelakaan kereta api Ratu Jaya.

Tabrakan dua rangkaian kereta itu konon disebabkan oleh miskomunikasi antara petugas pengatur perjalanan di Stasiun Kereta Api Depok dan Stasiun Citayam. Akibatnya, ratusan orang luka-luka dan dua puluh orang meninggal dunia. Saat itu, perlintasan di jalur Depok menuju Bogor masih menggunakan jalur tunggal. Setelah kecelakaan tersebut halte itu dibongkar demi pembangunan rel ganda di lintas Depok – Bogor.

3. Stasiun Cibatu, Garut

Foto tua Stasiun Cibatu via tropenmuseum.nl

Selain punya pemandangan cantik yang tersohor ke seluruh penjuru dunia, ternyata Garut alias Swiss van Java juga punya sebuah stasiun kereta api kebanggan yang pernah berjaya di masa lalu, yaitu Stasiun Cibatu yang dulunya adalah salah satu depo lokomotif uap terbesar di Jawa-Sumatera sebelum ditutup tahun 1983.

Karena Garut pernah tenar sebagai destinasi liburan, Stasiun Cibatu pun pernah kunjungi oleh sederetan nama-nama terkenal. Pada tahun 1927, Charlie Chaplin datang bersama Mary Pickford yang merupakan artis pemenang Academy Awards. Tahun 1935, ia kembali datang bersama Paulette Goddard. (Uniknya, tanggal persemian Stasiun Cibatu sama dengan hari kelahiran Chaplin.)

Selain Chaplin, Georges Clemenceau yang merupakan Perdana Menteri Perancis dua periode (1906-1909 dan 1917-1920) juga pernah berlibur ke Garut dan singgah di stasiun kereta ini. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta juga pernah transit di Stasiun Cibatu dengan kereta luar biasa saat menuju Yogyakarta. Bung Karno bahkan sempat turun menemui warga Garut dan menyampaikan pidato.

4. Stasiun Cikajang, Garut

Bekas stasiun kereta tertinggi di Indonesia

Bekas stasiun tertinggi di Indonesia via id.wikipedia.org

Sekarang, stasiun kereta tertinggi yang masih aktif di Indonesia adalah Stasiun Nagreg (848 mdpl). Tapi, dulu Garut punya stasiun yang terletak lebih tinggi, yaitu Stasiun Cikajang (1.246 mdpl) yang juga jadi stasiun “tertinggi” yang pernah dibangun di Indonesia.

Tapi mungkin tak banyak yang tahu soal stasiun ini. Sebab, Stasiun Cikajang yang dulu cukup ramai ini sudah berhenti beroperasi sejak 1983 karena sudah terlalu uzur dan mulai rusak di sana-sini.

5. Stasiun Medan, Sumatera Utara

Wajah stasiun medan zaman dulu via tropenmuseum.nl

Jalur kereta api tak hanya dibangun di Jawa. Sumatera juga dilintasi oleh rel kereta api. Keberadaan rel di Sumatera adalah penting dikarenakan banyaknya perkebunan yang memerlukan alat transportasi yang memadai dan cepat.

Tidak seperti di pulau Jawa, pembangunan rel di Sumatera dijalankan oleh perusahaan perkebunan, yaitu Deli Maatschappij yang membangun perkebunan tembakau, kemudian diperluas dengan menanam komoditas lain seperti teh, karet dan produk kayu.

Rel Medan – Labuhan yang diresmikan pada tahun 1886 dapat dikatakan sebagai momen penting dalam dunia perkeretaapian Pulau Sumatera dan membawa dampak positif. Nah, pembangunan jalur kereta api pertama di Swarnadwipa ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Stasiun Medan sebagai stasiun sentral. Peresmian Stasiun Medan pada 25 Juli 1886 adalah tonggak sejarah perkembangan “sepur” di Sumatera.

6. Stasiun Takalar, Sulawesi Selatan

Stasiun kereta api di Sulawesi

Stasiun kereta api di Sulawesi via tropenmuseum.nl

Tak banyak yang tahu bahwa kereta api dulu pernah beroperasi di Sulawesi, yakni dari Makassar ke Takalar. Kereta yang pernah beroperasi di jalur ini adalah Takalar Express. Mulai dibangun pada 1922, proyek sempat terhenti akibat Perang Dunia I dan akhirnya baru bisa diresmikan pada 1 Juli 1923.

Jalur yang menghubungkan Passer Boetoeng, Sungguminasa, hingga Takalar, ini tidak beroperasi terlalu lama. Penyebabnya adalah karena moda transportasi lain seperti mobil atau truk dinilai masih lebih efektif dibanding kereta api—apalagi jalur kereta api terbatas dan tidak menjangkau semua daerah. Tahun 1927 mulai banyak kritik yang dilayangkan pada SS (Staatsspoorwegen) sebagai pihak manajemen. Lama-lama publik Celebes (Sulawesi) kehilangan ketertarikan untuk menggunakan jasa kereta api.

Meskipun riwayat jalur kereta api di Sulawesi sudah lama berakhir, Stasiun Takalar yang berada di kawasan pesisir Cilalang, Desa Takalar, ini masih menyimpan kisah-kisah sejarah. Pada masa jayanya stasiun kereta ini dilengkapi meja putar lokomotif dan sarana lainnya, seperti dipo untuk perawatan lokomotif dan gerbong, serta sarana bak penampungan air untuk ketel uap lokomotif. Tapi jalur ini harus ditutup ketika dunia diterjang krisis ekonomi pada tahun 1930.

7. Stasiun Samarang, Semarang

Kereta api sedang berhenti di Stasiun Samarang via id.wikipedia.org

Reruntuhan kompleks Stasiun Samarang di perkampungan padat bernama Spoorland itu konon adalah ibu dari semua stasiun kereta api di Indonesia. Stasiun yang dikelola oleh NISM ini dibangun tahun 1864 dan diresmikan tiga tahun kemudian, bertepatan dengan dengan dibukanya jalur kereta api pertama di Indonesia, yaitu jalur Semarang – Tanggung (25 km) melalui Halte Alastua dan Brumbung.

Namun, kebenaran bahwa Stasiun Samarang adalah stasiun pertama di Indonesia masih diperdebatkan. Ada versi yang meyakini bahwa bahwa stasiun pertama di Indonesia adalah antara Stasiun Semarang Gudang dan Stasiun Kemijen. Namun, sumber lain berpendapat bahwa, dari beberapa bukti fisik yang ditemukan, lebih masuk akal bila Stasiun Samarang adalah stasiun pertama yang dibangun.

Stasiun Samarang—kompleks yang berisi bangunan stasiun barang, stasiun penumpang, balai yasa, hingga kantor NISM sebelum dipindah ke Lawang Sewu—akhirnya ditutup tahun 1905 dan dipindahkan ke Stasiun Semarang Tawang. Sebab, jalur dan stasiun terendam air rob—lokasinya memang berdekatan dengan laut. Bahkan, saat ini Stasiun Samarang sudah ambles sedalam 3 meter dan jalur rel kereta api yang pertama dibangun sudah terkubur dalam tanah.

The post Sudah Pernah ke 7 Stasiun Kereta Bersejarah di Indonesia Ini? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/stasiun-kereta-bersejarah-di-indonesia/feed/ 1 2075