keris Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/keris/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 12 Jun 2024 05:26:02 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 keris Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/keris/ 32 32 135956295 Keris yang Ditempa Rahim Api (3) https://telusuri.id/keris-yang-ditempa-rahim-api-3/ https://telusuri.id/keris-yang-ditempa-rahim-api-3/#respond Wed, 12 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42145 Saat ditanya, bagian mana dari keris yang terlihat paling feminin, Rista menjawab: ladrang. Pangkal warangka itu, baginya, seperti visualisasi gerakan menari dengan satu tangan ke atas dan yang lain ke bawah. Kita bisa menjumpai gestur...

The post Keris yang Ditempa Rahim Api (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat ditanya, bagian mana dari keris yang terlihat paling feminin, Rista menjawab: ladrang. Pangkal warangka itu, baginya, seperti visualisasi gerakan menari dengan satu tangan ke atas dan yang lain ke bawah. Kita bisa menjumpai gestur tersebut di banyak tarian Nusantara, bahkan pada gerakan darwis berputar Tarekat Maulawiyah. Tapi, secara zahir, ladrang memang tampak seperti labia mayora.

Jawaban ladrang ala Rista berbeda dengan pendapat arus utama bahwa ganja adalah unsur feminin keris yang dianggap lambang yoni. Dasar bilah keris itu merupakan bagian yang ditusuk pesi, besi yang mencuat di pangkal keris yang tampak seperti kontol cilik. Rista sepakat bila pesi merupakan elemen maskulin keris.

“Menurut mitos orang Jawa, kalau pesi-nya patah, bagian yang lain akan lemah. Bahkan, pesi seringkali dijadikan sikep. Pesi adalah inti keris. Aku pernah pakai aplikasi android untuk menguji daya magnet keris. Rata-rata daya tarik tinggi memang ada di bagian pesi.”

Keris yang Ditempa Rahim Api (3)
Ika Arista mengajar anak-anak TK/Ika Arista

Rista dan Madura

“Apa yang enggak kamu suka dari orang Madura?” Pertanyaanku langsung meloncat ke persoalan yang lebih personal.

“Bukan Maduranya, tapi lingkungan di mana aku tinggal dan berinteraksi,” ucap perempuan yang pernah bekerja dua tahun di Jakarta itu. “Tidak bisa dipukul rata. Madura terlalu luas. Masyarakatku belum siap menerima pilihan-pilihan hidup hari ini.”

“Tapi, kamu tetap bisa berkarya, kan?”

“Karena aku bodo amat. Orang ngomong, masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Aku lajang dikiranya pilih-pilih. Makanya, kalau lebaran aku memilih tinggal di rumah ibu di Blitar. Kalau di sini mengusik banget. Perkata style, misalnya. Uban itu kayak aib. Ibu minta aku mewarnai semua rambut untuk menghilangkan yang putih-putih. Malah, aku pengen diputihin semua biar dikomen masyarakat. Aku, kan, tipe orang yang suka coba-coba.”

“Cek ombak,” celetuk Rosi.

“Benar. Teman-teman sepantaranku, anaknya gede-gede semua, sedangkan aku? Udah enggak nikah, enggak berhijab, enggak feminin. Paket komplet bahan gibah. Awalnya agak jiper. Lama-lama peduli setan. Di sini, perempuan enggak dinilai dari pekerjaannya, tapi dari seberapa cepat dia menikah. Sebenarnya, masalah kerja, mereka support-support aja, tapi perkara nikah, orang-orang di sini masih konservatif.”

Rista memandang pernikahan sebagai kawah candradimuka untuk memaklumi ketidaknyamanan bersama orang lain. Baginya, menikah tidak enak, tapi bukan berarti ia tidak mau menikah. Ia berharap, suatu saat bisa menikah, tapi dengan cara tak seperti orang-orang melayarkan bahtera rumah tangganya. 

“Di tengah tekanan, tinggal di sini, enggak gila aja udah untung,” keluhnya. “Orang nikah itu ke mana-mana enggak harus bareng. Kayak apaan aja.”

“Bukannya orang menikah memang harus selalu bareng?”

“Aku enggak mau. Hidupmu tetap hidupmu, hidupku tetap hidupku.”

“Tapi tetap tinggal di rumah yang sama, kan?”

“Enggak harus.” Meski begitu, seorang suami, Rista akui tetap menjadi manzil penghabisan di mana ia bebas mengungkapkan diri kepada dunia tanpa penghakiman. “Kalau ternyata pernikahan itu enggak enak, ya sudah, cerai aja.”

“Punya kriteria pria idaman, enggak?”

“Enggak ada. Yang ngerti hidupku ajalah. Visi-misi hidupku, kan, udah nyeleneh banget. Emangnya ada cowok Madura yang bakal bilang: Kamu dengan hidupmu enggak apa-apa, aku dengan hidupku. Mustahil. Aku enggak bisa bersopan-santun kaku, harus salaman, duduk manis. Aduh, enggak, makasih. Kalau ditanya, mau nikah? Pengen. Enggak nikah juga enggak apa-apa. Aku sudah nyaman dengan hidupku hari ini.”

Suatu kali, rumah Rista kedatangan tamu pasutri dari Jawa. Mereka childfree

“Di pikiran kita, punya anak itu investasi masa tua. Kita melahirkan jongos lah, ya,” ucap Rista. 

Konon, pasutri tersebut sudah punya tabungan masa tua untuk biaya panti wreda. Rista iseng bertanya kepada ibunya: Bagaimana seandainya ia memutuskan tak menikah dengan konsekuensi tidak memiliki anak. Mungkin Rista juga harus menyiapkan anggaran untuk panti jompo sebagaimana pasutri itu. 

Ngapain?” jawab ibunya di luar dugaan. “Adik-adikmu mungkin akan menikah dan punya anak. Biar ponakan-ponakanmu yang merawatmu di masa tua. Atau kamu bisa bayar orang.”

Rista melihat orang-orang yang mencurahkan hidupnya di dunia ilmu dan kesenian jauh dari kata uzur, antipikun, masih sehat, dan tetap giat berkarya. Rista tak ingin masa tua seperti orang kebanyakan. Itulah yang membuat Rista, di usianya yang berkepala tiga, senantiasa menjaga kesehatan. 

“Aku enggak pernah mikir punya anak untuk ngurusin diriku. Cukup jadi khalifah aja. Kalaupun perlu punya penerus, penerus enggak mesti anak sendiri, kan?”

“Aku bayangin keris adalah suamimu,” timpalku acak.

“Wah, belum sepuitis itu. Masih jauh. Tetap ingin suami manusia. Tapi, kalau ada calon yang mau melarangku bikin keris, ya sudah, aku enggak nikah aja. Enggak apa-apa. Masa tiba-tiba datang sudah sok-sokan. Aku pengen suami yang maklum ketika istrinya ada tamu cowok-cowok, ngobrol hahahihi cekikikan. Laki-laki kayak gitu yang belum kutemukan. Nikah itu iseng-iseng berhadiah, enggak sih. Ya, coba aja dulu.”

Rista ngeri membayangkan proses persalinan. Itulah mengapa ia ragu untuk punya anak. Namun, ia sadar, ketakutan itu bisa saja hilang ketika sudah menikah. Ia suka anak kecil. Makanya, dulu ia pernah berprofesi guru TK.

“Bisa enggak sih punya anak tanpa melahirkan? Kayak orang meludah gitu. Atau pakai ibu pengganti. Halal, enggak? Halal ajalah, ya. Kita ambil telur, lalu pinjam rahim.” 

Pengakuan Rista tentu akan membuat kritikus seni macam Ellie Jones mengernyitkan jidat. Ia pernah bilang bahwa sejak abad ke-20, keibuan dan kehamilan telah menjadi siasat mapan bagi perempuan untuk menghadirkan diri. Seniman perempuan mengekspresikan pengalaman hamil dan peristiwa keibuan sebagai tema karya untuk memproyeksikan kompleksitas serta visi mereka. Tapi, konsekuensi dari pengalaman tubuh yang spesifik semacam itu telah Rista sublimkan melalui cita-citanya menciptakan keris yang mampu merepresentasikan kepekaan diri dalam merespons realitas sosial. Maka, Rista telah melampaui diskursus Jones dengan menarik ranah personal ke aras komunal.

Keris yang Ditempa Rahim Api (3)
Ika Arista menempa bilah/Ika Arista

Interseksi yang Tradisional dan yang Modern

Meski begitu, menciptakan karya dengan citarasa pribadi bukan harapan ultim Rista. Cita-cita terbesarnya, yaitu ingin memiliki minigaleri sebagai tempat berkumpulnya anak-anak muda yang hendak belajar bikin keris. Baginya, seorang seniman perlu berinteraksi dengan anak muda agar ketika tua tidak menjadi manusia kolot yang menganggap banal hal-hal baru. 

“Di sini, banyak senior kita yang merasa adidaya di zamannya dan songong di masa tuanya. Enggak mau digeser. Ketika udah enggak kepakai, nyinyir. Anak-anak muda bikin karya dijatuhin. Maunya dia aja yang selalu tampil dengan ide-idenya yang juga gitu-gitu aja. Itu bahaya banget buat pelestarian dan pengembangan budaya. Aku enggak mau jadi senior kayak gitu. Makanya aku harus terbuka. Kadang-kadang suka K-Pop juga, ngomongin anime, atau apa pun yang lagi hits. Aku melihat sisi lain itu meski orang-orang menganggapnya norak. Paling enggak, ketika anak-anak muda ngobrolin yang lagi viral hari ini, aku enggak haho.”

Itulah mengapa rumah Rista berdesain modern meski juga menjadi kediaman benda-benda pusaka. Tak sesuai ekspektasi Rosi yang berharap memasuki griya adat dengan suasana suram sebagaimana yang ditontonnya dalam film KKN di Desa Penari

“Dupa juga ada, sih. Tapi aku enggak mau stagnan di masa lalu. Yang sudah berlalu cukup jadi romantisme. Serap spiritnya aja. Ke mana-mana aku berkain, tapi enggak mesti berkebaya, toh? Bawahan kain, atasannya Erigo enggak masalah, kan? Klasik itu enggak melulu kita lempar mentah. Batik aja bergeser. Awalnya cuma dipakai sebagai bawahan, lalu jadi baju, bahkan sekarang cuma ditempel-tempelin di aksesoris. Zaman sudah berubah.”

Dengan semangat modern pula, kini Ika tengah mencari desain blawong minimalis dengan lampu elegan sehingga tak terkesan kuno. Ia tak ingin keris-kerisnya cuma nangkring di jagrak ukir naga sebagaimana yang teronggok di ruangan itu. 

“Desain rumahnya modern, tapi jomplang sama keris yang dari sononya sudah bernuansa mistis. Enggak nyatu. Makanya, paling enggak, tatakannya dibuat kekinian juga,” pungkasnya. 

Jagrak dengan keris. Keris dengan rumah. Rumah dengan kampung. Yang tenang dengan yang bising. Yang keras dengan yang lembut. Yang dingin dengan yang panas. Yang feminin dengan yang maskulin. Oposisi-oposisi biner itu akan menjadi pekerjaan rumah (PR) di sepanjang hayat Rista. Berdamai dengan jukstaposisi. Berdiri di atas antinomi. 

Akhirnya, Rista memandai segala paradoks itu agar hadir bukan sebagai konflik, melainkan pasangan yang saling melengkapi. Tentu, penyatuan dua unsur kontradiktif tersebut menghendaki sebuah adidaya. Sebagai perempuan, ia telah menggenggamnya. Sebab, perempuan adalah prima causa yang darinya keberadaan hidup menjadi mungkin. Sebab, perempuan adalah pemilik garba yang olehnya dunia dilahirkan. Maka, karena Rista seorang per-‘empu’-an, ia tak hanya menatah keris, tetapi juga menempa hayat dengan tubuhnya, dengan rahimnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Keris yang Ditempa Rahim Api (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/keris-yang-ditempa-rahim-api-3/feed/ 0 42145
Keris yang Ditempa Rahim Api (2) https://telusuri.id/keris-yang-ditempa-rahim-api-2/ https://telusuri.id/keris-yang-ditempa-rahim-api-2/#respond Tue, 11 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42139 Ketika ditanya tentang aktualisasi cita rasa pribadi pada keris, Rista menjawab: cita rasa perempuan. “Sebab, menjadi perempuan Madura enggak segampang perempuan modern. Mau berkelit dengan dunia modern pun, hukum sosial belum bergeser sepenuhnya.” Awalnya, Rista...

The post Keris yang Ditempa Rahim Api (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Ketika ditanya tentang aktualisasi cita rasa pribadi pada keris, Rista menjawab: cita rasa perempuan. “Sebab, menjadi perempuan Madura enggak segampang perempuan modern. Mau berkelit dengan dunia modern pun, hukum sosial belum bergeser sepenuhnya.”

Awalnya, Rista bangga menjadi satu-satunya empu perempuan dengan segala prestasi yang telah digapai. Namun, lambat laun, pergunjingan mulai menusuk lubang telinganya. Orang-orang bersyak wasangka: Mungkin dia tak ‘kan menikah? Apa yang dibutuhkan? Toh, bisa mencari uang sendiri? Kendatipun dia ingin suami, pasti akan mencari lelaki dengan kemampuan lebih. Kalau laki-laki ecek-ecek, dia tidak akan mau.

“Akhirnya, kemandirian menjadi momok menakutkan. Akhirnya, semua itu bukan pencapaian, tapi pengerdilan perempuan,” ratap perajin yang telah menerima berbagai penghargaan dan berpameran internasional itu.

“Bukankah karena bergender perempuan, seluruh lampu sorot keberuntungan terarah padamu? Empu laki-laki kan sudah banyak.”

“Justru itu letak pengerdilannya. Koki laki-laki tidak se-disorot itu: laki-laki kok masak? Bidan laki-laki juga enggak se-sentral itu, kan?”

Cita Rasa Feminin

Rista pernah dicap lalakè’a burung. Lelaki jadi-jadian. Julukan tersebut beban berat baginya. Seolah-olah hanya laki-laki yang dapat melakukan ini-itu. Jika ada perempuan yang bisa, ia pasti dianggap laki-laki, tetapi gagal di bagian kelamin. 

“Akhirnya kami enggak dilihat sebagai perempuan.”

Kalimat tersebut mematahkan dugaan Rosi bahwa Rista sejenis feminis eksistensialis. Simone de Beauvoir, sang pelopor feminis eksistensialis, berharap perempuan bisa menjadi seperti laki-laki sebagai modus ada-untuk-diri. Dengan menjadi laki-laki, perempuan akan eksis. Sebab, apa yang didefinisikan sebagai manusia adalah mereka yang berjenis kelamin laki-laki. Sementara itu, keyakinan Rista lebih dekat dengan para pemikir perempuan gelombang ketiga, seperti Julia Kristeva, Hélène Cixous, dan Luce Irigaray. Perempuan bisa mengada melalui karakter karnalnya yang khas tanpa harus menjadi laki-laki.  

“Padahal, di biologi, sebenarnya laki-laki adalah perempuan yang salah hormon,” hiburku.

“Oh, ya? Bagus, dong, kalau ada laki-laki sensitif.”

“Dan laki-laki yang ingin menjadi perempuan sejatinya adalah manusia yang hendak kembali ke fitrahnya.”

“Waria?” sahut Rosi.

“Wah, bahasamu langsung nembak, ya,” tanggap Rista. 

Karena itulah Rista berharap suatu saat dapat mengungkapkan persoalan tersebut lewat karya. Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Sumenep itu ingin orang-orang membahas kerisnya dari rasa feminin, misal langgam dhapur yang lebih luwes karena dipengaruhi hormon sehingga berefek pada gerak-gerik tubuh saat menempa dan menatah bilah. Meski semua itu berelasi kuat dengan identitas biologisnya sebagai perempuan, Rista tak ingin orang-orang membincangkan karya-karyanya ad hominem.

“Bagaimana kamu menempatkan diri di antara rekan laki-laki?” Rosi kembali bertanya.

“Aku pernah dituduh selingkuhin suami orang. Dan itu kakek-kakek hampir tujuh puluh tahun. Sumpah.”

“Sebuah pusaka, makin tua makin sakti, kan?” candaku.

“Bisa juga.” Rista ngakak. “Tapi, enggaklah. Mau bilang bandot tua, enggak enak. Kaya juga enggak. Bercanda.”

Saat berhadapan dengan pemesan yang kebanyakan laki-laki, Rista memosisikan diri sebagai perajin profesional. Sebab, tak sedikit pelanggan menggodanya hanya karena ia belum menikah. Rista akan membungkam kegenitan itu dengan berkata, “Laki-laki itu besi. Suhumu semana? Oh, suhumu segitu aja?” 

Bahkan, ada pula korban mitos Empu Sombro dengan meminta Rista menjepit keris pesanan dengan selangkangan agar sakti mandraguna. Kalau sudah begitu, ia akan menjelaskan kepada si pemesan bahwa mutu bahan merupakan faktor paling dasar yang menentukan kualitas sebuah pusaka. Baginya, mitos sudah bergeser. Pemahaman tentang kekuatan supranatural juga bergeser. Spiritualitas tradisional mesti ditafsirkan dengan perspektif modern.

“Dulu, orang suka menyepi dari hiruk-pikuk dengan bersemedi. Sekarang kita menepi dari keriuhan media sosial. Ini juga tirakat. Budaya berkembang. Cara pandang bergeser.”

Keris yang Ditempa Rahim Api (2)
Penulis bercakap-cakap dengan Ika Arista/Wardedy Rosi

Tak Sekadar Kanca Wingking

“Lalu, siapa perempuan historis yang kamu kagumi?”

Rista berpikir agak lama, lalu menjawab, “Dyah Gayatri.”

Dyah Gayatri atau Gayatri Rajapatni adalah putri bungsu Kertanegara, penguasa terakhir Singasari, dan istri Wijaya, raja pertama Majapahit. Ketika Jayanegara tewas di tangan Ra Tanca, mestinya Gayatri naik takhta sebagai penguasa Majapahit selanjutnya. Namun, ia telah undur dari kehidupan duniawi dan memilih jalan monastik bikuni. Lantas, ia menaikkan putrinya, Tribhuwanatunggadewi ke takhta Majapahit. 

“Dia bukan cuma perempuan kanca wingking,” Rista mengungkap alasan. “Dia juga punya kuasa. Dia bukannya enggak tahu perjanjian Majapahit timur dan barat, tapi enggak ada larangan terhadap pembaiatan Wiraraja. Dia memilih diam. Citranya dibikin gokil. Dia enggak mau takhta, malah tetap memilih jadi bikuni. Dia enggak peduli gelar raja, tapi namanya enggak kosong dalam sejarah. Semua orang tahu, di balik naiknya Tribhuwanatunggadewi ada Gayatri yang hidup di tiga rezim. Bagiku, dia enggak sesederhana seorang bikuni.”

“Kayak Bu Tien gitu, ya?” Bu Tien atau Siti Hartinah, istri Presiden Soeharto, sosok yang digadang-gadang berdiri di balik kesuksesan sang Jenderal-Tersenyum mencengkeram Rezim Orde Baru dalam waktu panjang. 

“Banget. Dan Ratu Hemas.” Gusti Kanjeng Ratu Hemas adalah permaisuri Hamengkubuwana X di Kesultanan Yogyakarta. 

“Dia bakal menaikkan Pembayun enggak, ya?”

“Kayaknya.”

Pernah santer isu suksesi kepemimpinan Yogya tentang siapa yang akan menggantikan Sultan setelah lengser keprabon. Desas-desus bakal dimahkotainya putri sulung Sultan, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun, tentu bakal menabrak tradisi provinsi monarki tersebut yang biasanya menyerahkan posisi kepemimpinan kepada laki-laki. Meski berkata “kayaknya”, bukan berarti Rista tidak yakin Pembayun akan menjadi sultanah. Di situlah Rista percaya peran Hemas akan bermain untuk menjunjung putrinya supaya menggantikan sang suami. 

Di Sumenep sendiri, seorang perempuan pernah duduk di takhta. Kepemimpinan Raden Ayu Tirtonegoro di abad ke-18 hampir mirip pilihan hidup Gayatri. Ia tak lama menjadi Adipati Sumenep. Sebab, pada akhirnya ia menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Muhammad Saot, lelaki jelata yang dinikahinya berdasarkan petunjuk mimpi. 

Mundur dari wilayah publik sebagaimana Gayatri dan Tirtonegoro barangkali cara sintas paling efektif bagi umat manusia. Jejak kebudayaan tersebut dapat ditarik jauh ke masa purba ketika laki-laki berburu, sedangkan perempuan berjibaku dalam aktivitas pengasuhan di gua. Pembagian kerja semacam ini cukup efisien bagi perempuan beserta segala situasi biologisnya sebagai tubuh dengan siklus menstruasi dan penyedia susu. Rumah menjadi ruang paling sehat untuk jasmani fluktuatif dan menjamin keamanan bagi proses pertumbuhan anak-anak. 

Kalaupun perempuan harus turut berpartisipasi dalam mencari nafkah, wilayah domestik bisa dianggap lokasi paling sangkil bagi kompleksitas raga feminin. Pernyataan ini memang terdengar esensial. Namun, kenyataannya, budaya pembagian kerja demikian cukup adaptif sampai sekarang karena kemangkusannya terbukti telah menjaga spesies kita dari ancaman punah. 

Argumentasi tersebut mestinya memberi legitimasi saintifik bagi Hannah Arendt yang memandang perempuan tidak cocok menjadi pemimpin—di ranah publik. Katanya, perempuan tak pantas memerintah laki-laki. Tapi, tidak berstatus pemimpin bukan berarti tak memiliki otoritas, kan? 

Dalam filsafat politik Jawa—yang pada akhirnya ternyata juga menjadi roh kepemimpinan Indonesia—negara adalah perluasan halaman rumah tangga sehingga peran ibu amat sentral. Itulah mengapa, ketika Gayatri undur dari politik publik, kita tidak bisa gegabah menyangka bahwa kapasitas kekuasaannya ikut surut. Faktanya, perempuan inilah dalang di balik layar sejarah kedigdayaan Majapahit. Ia sosok kharismatik yang diabadikan dalam figur arca Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan paripurna. Sang ibu suri telah berperan sebagai mentor politik suami, putri, dan cucunya, Hayam Wuruk, serta Gadjah Mada yang diangkatnya dari kalangan rakyat jelata.

Pada kasus yang sama, Babad Tanah Jawi juga memberi tahu kita bahwa Panembahan Senapati, pendiri Mataram Islam, belajar ilmu tata negara kepada Nyai Rara Kidul. Perempuan, kita akui, memang pemegang wawasan tentang cara mengoperasikan rumah dengan baik. 

Keris yang Ditempa Rahim Api (2)
Bilah karya Ika Arista/Ika Arista

Perempuan dan Senjata

“Menurutmu perempuan cocok [atau] enggak menggunakan keris?” lanjutku sambil membayangkan Angelina Jolie yang lincah berlaga dengan dua pistol ketika dikeroyok robot-robot kecerdasan artifisial di film Lara Croft: Tomb Raider. 

“Bisa. Keris dalam fungsinya yang simbolis, psikologis, spiritual, atau sebagai teman hidup.” Rista menyuguhkan cerita Arok versi novel Pramoedya Ananta Toer dengan keris Gandring yang dipakai sebagai alat politik. Atau pada eksekusi Trunajaya, Amangkurat menggunakan keris Blabar sebagai simbol kuasa raja. 

“Pernah bikin celurit?”

“Satu kali dan enggak lagi,” kisahnya putus asa. “Susah. Celurit condong pada fungsi pragmatis. Kalau enggak untuk bertani, ya untuk carok. Kalau untuk carok, celurit harus efektif dan efisien. Cekungannya mesti presisi karena akan menentukan arah sabetan. Bahkan, harusnya aku menyelami teknik bela diri biar ngerti posisi celurit ketika penggunanya sedang bertarung.”

“Berpikir sejauh itu?”

“Tentu.”

“Berat juga menentukan,” sahut Rosi.

“Jangan sampai mengganggu pergerakan saat duel,” respons Rista.

“Bisa enggak, kita bilang bahwa keris berwatak lebih feminin ketimbang celurit?”

“Ada satu mantra yang dilafalkan ketika keris dimasukkan ke dalam sarungnya,” daku Rista. Mantra tentang penyatuan laki-laki dengan perempuan yang diibaratkan cermin beserta bayang-bayang, juga ditamsilkan sebagai suami yang memasuki kamar pengantin.

“Tak ada perbedaan keris dengan warangka. Kau adalah bayanganku, aku adalah bayanganmu.” Dibuka dengan salam, mantra itu dicawiskan saat keris telah rampung dibuat dan pertama kali disarungkan ke dalam warangka. Kata Rista, mantra tersebut cuma diucapkan sesuai permintaan pemesan. Ada pemesan yang tidak mau kerisnya diisi apa pun. Ia hanya ingin memiliki. Lagipula, Rista tidak memberi jasa pengisian energi. “Aku cuma bikin rumah. Sebaik-baiknya.” 

Baginya, perempuan tidak untuk mengisi. Seperti filosofi rumah tanéyan lanjhȃng yang dibikin pihak istri dengan perabot yang dilengkapi suami. “Perempuan hanya maqam. Mengisi bukan tugas kami.”

Desing gerinda berakhir.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Keris yang Ditempa Rahim Api (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/keris-yang-ditempa-rahim-api-2/feed/ 0 42139
Keris yang Ditempa Rahim Api (1) https://telusuri.id/keris-yang-ditempa-rahim-api-1/ https://telusuri.id/keris-yang-ditempa-rahim-api-1/#respond Mon, 10 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42129 Sombro, perempuan Tuban zaman Pajajaran itu, menatah keris dengan jari-jemarinya sambil melayang-layang di atas samudra. Perempuan, keris, dan samudra. Andai mendengar legenda ini, Erich Neumann akan menariknya sebagai mitografi bunda agung. Mungkin beginilah psikolog Jerman...

The post Keris yang Ditempa Rahim Api (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Sombro, perempuan Tuban zaman Pajajaran itu, menatah keris dengan jari-jemarinya sambil melayang-layang di atas samudra. Perempuan, keris, dan samudra. Andai mendengar legenda ini, Erich Neumann akan menariknya sebagai mitografi bunda agung.

Mungkin beginilah psikolog Jerman itu akan berbicara bila memang harus menafsirkan kisah tersebut: Nyai Sombro adalah arketipe penyihir bijak yang menempa keris tanpa api, adalah alkemis sakti yang mampu menyulap materi melalui kearifan. Mencipta keris hanya dengan jemari merupakan persatuan harmoni antar-elemen kontradiktif, antara yang keras dengan yang halus, sebuah tema umum dalam psikologi analitik Jungian yang disebut “integrasi antitesis”.

Namun, bisa pula Neumann akan bilang begini: Membuat keris tanpa api bukan berarti membentuknya tanpa panas. Sombro, sang Ibu Samudra, sang Bunda Bumi, tengah menyelenggarakan dunia dengan menyerap tenaga solar dari Ayah Matahari, Papa Langit. Uniomistik Bumi dan Surga. Jikapun ia tak meminjam kalor dari energi maskulin, pada dasarnya api juga unsur fundamental feminin. Dengan tenaga agni yang inheren dalam diri, Sombro menempa keris via kelembutan jari-jari. Bagaimanapun interpretasinya, hikayat Mbok Sombro menjadi citra bawah sadar tentang pencarian keselarasan dalam diri manusia.

Keseimbangan eksistensial melalui alegori keris ini pun muncul pada satu dari tiga laku utama orang Madura: Mon kerras paakerrès. Jika keras, berkerislah. Sifat tegas (keras) tanpa watak wicaksana (keris) hanya akan menggiring dunia ke jurang kaotik. Keserasian fungsi dengan morfologi keris diharap menjadi ibrah bahwa hidup jangan semata-mata tajam dan runcing, tapi juga indah. Seloka tersebut adalah otokritik bagi masyarakat Madura yang telanjur ketiban stereotip miring sebagai orang-orang berdarah panas. 

Keris yang Ditempa Rahim Api (1)
Gerbang Kabupaten Sumenep/Royyan Julian

Melawat Kota Keris

Kebajikan simbolik keris inilah yang barangkali Ika Arista tanggung. Perempuan 34 itu lahir dan besar di kabupaten paling timur Pulau Madura. Sebagai daerah yang memiliki hampir tujuh ratus perajin tosan aji, Sumenep berselempang nama “Kota Keris”. Dengan peradaban kerisnya, Sumenep telah menggenapi takdir Ika sebagai seorang empu.

Kunjunganku ke kediaman Rista terjadi pada Minggu yang terik. Bersama Rosi, aku memasuki lanskap Desa Aeng Tong-tong yang masih memiliki kualitas mooi Indie. Pohon-pohon kelapa menjulang di pematang, satu unsur dari trinitas panorama Hindia molek. Desa-desa di Sumenep memang akan membawa kita pada realisme puisi-puisi Zawawi Imron yang kerap menghadirkan pokok siwalan, vegetasi yang cocok tumbuh di tanah paling tandus di Madura. Akan tetapi, romantisme akardian tersebut sirna begitu kami menginjakkan kaki di halaman rumah Rista. Desing gerinda melahap seluruh kedamaian pastoral itu.

Sementara masih melayani tiga tamu di beranda, Rista menyambut dengan seutas senyum dan menyilakan kami di ruang tamu. Di atas permadani dengan meja kayu berdesain natural, kami duduk. Satu sisi dinding putih memajang aneka hiasan ukir. Di bawahnya, dua jagrak kayu minimalis dan berukir naga memajang keris-keris. Lalu, rak buku. Di sisi lain, jagrak bufet modern memampang sejumlah gagang keris di satu kolom. Selebihnya kosong.

Beberapa menit berlalu, tamu pamit dan Rista menghampiri kami. Rambut panjangnya yang dihiasi helai-helai uban dikuncir kuda. Ia beratasan kaus hitam lengan pendek bernuansa hardcore dan bawahan kain. Kulitnya cokelat berkilat, seperti disepuh waktu. 

“Aku tahu maksudmu datang ke sini,” tebak Rista. “Kamu barusan habis nulis sate, kan? Bentar lagi pasti nulis keris.”

“Aku enggak bakal ngulang daftar pertanyaan wartawan Kompas dan jurnalis National Geographic, kok,” tanggapku. “Aku bakal nanya yang filosofis aja.”

“Jangan sampai kamu nanya kayak mahasiswa-mahasiswa barusan.” Dua mahasiswi dan seorang pria paruh baya—barangkali dosennya. “Keris itu benda budaya bernilai sakral sehingga tak semuanya harus dibeberkan, apalagi ditakar nominal,” sambungnya mengeluhkan wawancara dengan tamu sivitas akademika itu.

“Enggak cocok ekonomi dihubungkan dengan ihwal esoteris keris. Masa mereka nanya, ada berapa jenis keris, modalnya berapa, dan dijual berapa.” Anggap saja ada keris suvenir dan keris koleksi yang bisa disebutkan harganya. Tapi, bagi Rista, keris ageman yang bernilai spiritual tak bisa ditanya dengan kata ‘berapa’. “Kadang seorang empu membikin sebilah keras berpuasa terlebih dahulu. Rahasia keris adalah rahasia pemesan. Keris sèkep enggak boleh diketahui orang lain karena itulah kelemahan si pemilik. Ini bukan perkara enggak terbuka sama ilmu pengetahuan dan pengembangan penelitian loh, ya.”

Matra Medis Keris

Bahkan, dimensi medis keris pun masih enigmatik meski Rista pernah memperkarakannya di G20 yang dihelat British Council dan Museum Macan di Bali. Ia sadar tak punya latar belakang ilmu kesehatan dan metalurgi. Ia hanya berangkat dari status praktisi. Tapi, ia mulai tertarik pada matra medis keris ketika sepupunya di Blitar disembuhkan dengan benda itu dari bisa ular. Keris menyedot racun yang menjalari saraf. Kasus yang sama ia saksikan ketika ayahnya menyembuhkan seseorang yang digigit ular dengan mata tombak. Tanpa menyentuh, ujung tombak didekatkan pada bekas gigitan, lalu bisa itu merambat keluar. 

“Kupikir enggak ada hubungannya sama bahan, filosofi pamor, dan bentuk.” Rista sudah membandingkan sejumlah keris. Ia berspekulasi, mungkin keris-keris tersebut memang punya kesamaan. Besinya bisa berbeda, tetapi ada kandungan nikel meski kadarnya tak sama. “Kadang penyembuhan itu hanya pakai jempol atau mantra. Artinya, bukan masalah kerisnya, tapi energinya.” 

Rista merasa, sejak dulu masyarakat kita telah melampaui pengetahuan fisik. Mereka mengimani kearifan energi. “Masalahnya, orang percaya sisi ilmiah batu giok untuk kesehatan. Bayar mahal untuk diteliti. Tapi, animo masyarakat pada keris kok enggak sekeren itu, ya. Kalau ngomongin medis keris, jatuhnya klenik,” ucapnya. Di sini, Rista insaf, pengetahuan kita berjalan tanpa jembatan. Dari yang tradisional langsung meloncat ke yang modern. Keduanya tak dihubungkan tali sambungan, tak dianggap sebagai budaya yang berkesinambungan. 

Seseorang menyuguhkan kami teh panas ketika Rista bercerita bahwa ibunya termakan hoaks telur covid. “Karena berita wabah simpang siur, ada manipulasi birokrasi kesehatan, dan teori konspirasi mendominasi, orang-orang mulai kembali ke pengobatan lama,” tukasnya. 

Sebenarnya, orang-orang Indonesia tidak kembali ke pengobatan lama. Mereka hanya diberi pilihan: medis modern atau pengobatan tradisional. Pengobatan herbal yang kerap bercampur anasir nonrasional tidak hilang dari alam pikir masyarakat kita. Fenomena ini tak sama dengan cara pandang orang-orang Barat yang beberapa kali memang mengalami titik balik. Katakanlah tikungan peradaban itu terjadi di Eropa abad ke-18 ketika gerakan Romantik lahir sebagai respons atas supremasi akal budi. Atau di Amerika tahun 60-an terjadi ledakan kembali ke budaya kuno yang ditandai dengan munculnya gerakan New Age, praktik samanistik, keyakinan datangnya zaman Aquarius, dan seterusnya, saat orang-orang melihat dekadensi kemanusiaan karena residu modernitas. 

“Pemerintah mestinya juga mewadahi pengobatan ‘alternatif’. Para praktisi pengobatan ‘alternatif’ itu kerap disumpah untuk ikhlas memberi bantuan tanpa mengharap imbalan.” Seperti yang tersirat pada Sumpah Hippokrates yang justru diikrarkan para calon dokter modern walau sukar diamalkan.

Keris yang Ditempa Rahim Api (1)
Ika Arista dengan latar keris-kerisnya/Wardedy Rosi

Perempuan, Besi, Api

“Bergelut dengan keris sejak SD, ngomong-ngomong, gimana hubunganmu sama besi?” Aku membelokkan topik dengan kelokan yang tak jauh-jauh amat. “Di alkimia, besi dan baja punya sifat laki-laki. Diwakili Planet Mars. Perempuan biasanya dihubungkan dengan timbal.”

“Bahaya, dong,” tawa Rista.

Femme fatale.”

Di kepercayaan Jawa, menurut Rista, besi malah dianggap perempuan. Ia terbenam di perut Bumi. Maka, keris akan ideal ketika raga besinya dicampur secuil besi meteor. Ia spiritualitas sempurna dari persatuan feminin dan maskulin, Ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa. “Kaum feminis bakal protes, kok kita di bawah terus,” tawanya lagi. 

“Tapi, semudah itukah memperoleh besi meteor di Indonesia? Bukankah batu meteor dijual bersertifikat dalam satuan gram?”

“Itu di luar negeri. Di sini, beli besi meteor bisa colong-colong. Dan emang beneran kecolongan karena enggak bersertifikat.”  

“Jadi, apa arti besi menurutmu?” Rosi menegaskan.

“Perlambang kelemahan,” jawab Rista. Rosi tertawa kecil. “Mungkin itulah kesamaan besi dengan laki-laki. Sama-sama lemah. Kuat di luar, tapi ketika kena suhu yang pas bakal meleleh, termasuk besi meteor.”

Dan unsur panas itu perempuan?”

“Pasti.”

“Cewek mengendalikan.”

“Karena kita tahu suhunya, kita pengendali api. Kita bisa melipat besi kayak jeli.”

Di media sosial, warganet perempuan sering berkomentar “Rahimku anget, Mas” saat melihat foto pria tampan. Api boleh kita anggap gabungan par excellence sisi terang dan gelap perempuan. Ia elemen konduktor kelahiran kembali, proses inisiasi, sekaligus daya penghancur. Seperti neraka dan purgatori sebagai bejana penyucian atau bayi burung feniks yang bangkit dari abu bakar induknya.

Kesadaran tentang sisi lemah besi Rista alami ketika terbang ke Kalimantan untuk menghadiri sebuah acara. Berada di pesawat, melawan gravitasi, dan akrofobia menjadi momen partisipasi mistik tentang kedaifan manusia. Jauh di ketinggian cakrawala, ia merasa kerdil, segala dosa dihitung dan hinggap di pelupuk mata. Rasa gentar menghubungkannya dengan kemegahan hidup yang buas. Dan di situlah, di hadapan bayang-bayang Al-Maut, segemerlap apa pun statusmu, kedua dengkul pasti gemetar.

Memento mori membuat semua pencapaian hidup kelihatan omong kosong. Tapi, kalau pesawat sudah mendarat, kita bikin dosa lagi,” Rista terbahak.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Keris yang Ditempa Rahim Api (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/keris-yang-ditempa-rahim-api-1/feed/ 0 42129