kerkhof Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kerkhof/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 28 Feb 2023 03:44:03 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kerkhof Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kerkhof/ 32 32 135956295 Menelusuri Kisah Carel Frederik Winter dan R.Ng. Ronggowarsito di Kerkhof Palar https://telusuri.id/menelusuri-kisah-carel-frederik-winter-dan-r-ng-ronggowarsito-di-kerkhof-palar/ https://telusuri.id/menelusuri-kisah-carel-frederik-winter-dan-r-ng-ronggowarsito-di-kerkhof-palar/#respond Mon, 27 Feb 2023 04:11:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37387 Penelusuran saya menjelajah kerkhof di Klaten berlanjut. Kali ini tujuan saya ada di Dukuh Padangan, Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Lebih tepatnya di komplek makam Raden Ngabehi (R.Ng.) Ronggowarsito. Dari Kecamatan Ceper, ke selatan...

The post Menelusuri Kisah Carel Frederik Winter dan R.Ng. Ronggowarsito di Kerkhof Palar appeared first on TelusuRI.

]]>
Penelusuran saya menjelajah kerkhof di Klaten berlanjut. Kali ini tujuan saya ada di Dukuh Padangan, Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Lebih tepatnya di komplek makam Raden Ngabehi (R.Ng.) Ronggowarsito. Dari Kecamatan Ceper, ke selatan sekitar 15 menit perjalanan. 

Untuk menuju makam R.Ng Ronggowarsito, saya melalui Jalan Pedan–Trucuk Klaten. Sampai di Pasar Kiringan saya bertanya pada warga setempat arah makam R.Ng Ronggowarsito yang ternyata berada di tengah Desa Palar, sebelah barat Desa Sumber.

Setelah melalui dua desa selama 20 menit, saya akhirnya tiba di Desa Palar. Dari timur desa, saya melihat ada pohon beringin di tengah pertigaan jalan. Tanpa pikir panjang saya mencoba untuk mendekat ke arah barat.

Setelah lebih dekat, barulah terlihat bahwa pohon beringin yang menjadi bagian dari komplek makam R.Ng. Ronggowarsito. Saya menitipkan kendaraan di sini, lalu berjalan ke belakang pohon beringin. Di sana, makam R.Ng. Ronggowarsito dan Kerkhof  Palar berada.

Awalnya saya penasaran. “Makam R.Ng. Ronggowarsito bergaya Islam Jawa, mana mungkin ada kerkhof sih?” gumam saya.

Setelah menelusurinya, baru menemukan kerkhof tersebut berada di dalam—tepat di samping mausoleum sang pujangga R.Ng. Ronggowarsito.

Pintu gerbang depan komplek makam R.Ng. Ronggowarsito/Ibnu Rustamadji

Makam Carel Frederik Winter

Perhatian saya tertuju pada satu nisan ber-epitaf Jawa berbentuk obelisk di samping mausoleum R.Ng. Ronggowarsito. Inilah Kerkhof Palar yang saya maksud. Lalu, dengan segera saya mengabadikan seluruh detail makam. 

Tidak lupa saya kirimkan dokumentasi ini kepada Hans Boers untuk mendapatkan catatan detail siapa mendiang, dan bagaimana hubungannya dengan R.Ng. Ronggowarsito. Saya menduga, mendiang merupakan orang yang berpengaruh.

Tak hanya itu, saya juga menduga bahwa nisan yang ada di depan saya ini hasil pindahan dari suatu tempat karena masih tampak baru, bercungkup gaya Jawa. Dugaan saya ini kemudian dibenarkan oleh sang juru kunci. Menurutnya, makam Winter ini merupakan pindahan dari kuburan Belanda di Jebres, Solo. “Kerkhof Jebres digusur tahun 1980-an, termasuk makam Winter, makam lainnya tidak bersisa. Tulang belulang Winter turut dibawa ke sini, diletakkan dalam peti kayu. Jadi tidak hanya nisannya.” tambahnya.

Merujuk epitaf batu nisan, sepasang suami istri-lah yang mendiami makam ini. Ialah Carel Frederik Winter dan sang istri, Jacoba Hendrika Logeman.

“Carel Frederik Winter, kelahiran Yogyakarta 5 Juli 1799, wafat di Surakarta 14 Januari 1849. Sang ayah bernama Johannes Wilhelmus Winter, dan ibu bernama Christina Louisa Karnatz.” ungkap Hans Boers. 

Hans Boers menambahkan, “Carel Winter merupakan penerjemah di kantor Karesidenan Surakarta. Ia memulai karir sejak tahun 1818, kala itu masih sebagai Asisten Penerjemah Bahasa Jawa di Institut Bahasa Surakarta.”

Tahun 1825 Carel Winter resmi menjabat sabagai penerjemah dan mengajar di institusi yang sama, hingga institut dibubarkan tahun 1843. Setahun kemudian, pemerintah Belanda menjalin kerjasama dengan tuan Wilkens dan Carel Winter, menyusun kamus Etimologi Jawa–Belanda. 

“Tulisan mereka menjadi een eerste proeve’ atau tajuk utama, di majalah Van Nederlands Indie VI tahun 1844,” tambahnya. Tahun 1845 Carel Winter didaulat menjadi Komisaris Pemerintah Surakarta.

Tidak lama kemudian, Carel Winter mendapat tugas menerjemahkan sebagian kitab Undang-Undang Hindia Belanda (Staatsblad van Nederlandsch Indie) ke bahasa Jawa atas perintah Residen Surakarta tuan .J.F.W. van Nes.

“Carel Frederik Winter menjadi penerjemah dibantu sang istri yakni Jacoba Hendrika Logeman. Hingga Carel Winter sukses mendirikan perusahaan Surat Kabar Mingguan berbahasa Jawa bernama Bromartani di Surakarta.” tambah Hans Boers. Ia bersama sang anak, Gustaaf Winter mengelola surat kabar tersebut.

Kebahagian Carel Winter dan sang istri, tidak berlangsung lama. Jacoba Hendrika Logeman wafat di tahun 1828, ia dimakamkan di Kerkhof Jebres. Untuk menyambung hidup, Carel Winter bekerja sebagai editorial di Bromartani. Tidak lama kemudian dipecat, karena meloloskan artikel panas mengenai sastra.

Bromartani terbit pertama kalinya 29 Maret 1855, bekerja sama dengan Penerbit Hartevelt. Namun sayang. Dua perusahaan media ternama itu, hanya bertahan satu tahun. Tepatnya 23 Desember 1856, Bromartani terbit terakhir kalinya.

Hubungan Antara Carel Winter dan R.Ng. Ronggowarsito

Usai redupnya Bromartani dan wafatnya sang istri, Carel Winter dipandang sebagai sastrawan Jawa terakhir. Karena setelahnya, priyayi Jawa lebih banyak berguru dengan intelek Belanda. Carel Winter dan R.Ng. Ronggowarsito lalu bekerjasama dalam penerjemahan naskah-naskah sastra kuno ke dalam Bahasa Jawa–Belanda maupun sebaliknya. Tidak dipungkiri, mereka juga memiliki ikatan kekeluargaan. Jadi, tak heran makam Carel Winter berada di samping mausoleum R.Ng. Ronggowarsito.

Hubungan antara Carel Winter dan R.Ng. Ronggowarsito tertuang dalam serat dan babad yang mereka ciptakan. Mayoritas berbahasa Jawa, hasil terjemahan Bahasa Sansekerta dan Kawi. Beberapa karya Carel Winter, berupa puisi dan prosa adaptasi. Sebagian puisi karyanya diterbitkan Bataviasche Genootschap XXI, Prosa Hangling Darma dan Lonjang Damar Woelan. Sedangkan karya lain saat bekerja sama dengan Roorda dan Gaal di antaranya adaptasi Prosa dari Bratajoeda, Prosa Rama dan Ardjoenasra diterbitkan Roorda tahun 1845, Kitab Adji-Saka diterbitkan Roorda dan Gaal tahun 1857, Sahabat Djawa Vol 1 diterbitkan Roorda tahun 1848 dan Vol 2 diterbitkan Keyzer tahun 1858. 

Menurut Hans Boers, ada yang lebih menarik di balik kisah Carel Winter dan Ronggowarsito. Ia pun merujuk penelitian Nancy Florida dan menemukan fakta menarik mengenai Carel Winter yakni perannya sebagai seorang dalang di balik penangkapan dan pengasingan ayah dari R.Ng. Ronggowarsito saat geger Perang Jawa tepatnya tahun 1828.

Raden Mas Pajangswara yang notabene ayah R.Ng. Ronggowarsito sekaligus guru Carel Winter diduga berkhianat oleh pemerintah kolonial. R.M. Pajangswara kemudian ditahan dan dibuang hingga wafat.

Mengetahui hal ini, R.Ng. Ronggowarsito tidak bisa berkutik, ia memilih melawan dalam keheningan melalui pengetahuan. Salah satu karya mengenai perlawanannya tertuang dalam Serat Kalatidha.

Hans Boers menambahkan, “Carel Winter wafat lima tahun pascaperusahaan Bromartani tutup, tepatnya 14 Januari 1859 karena penyakit stroke. Jenazahnya dimakamkan berdampingan dengan sang istri, Jacoba Hendrika Logeman di Kerkhof Jebres.

Orang Belanda yang dikubur di Kerkhof Jebres selain keluarga Carel Winter, yakni P.W.C. Blackwardt, seoang kepala Rumah Sakit Kadipolo sekaligus Kepala Perkebunan Mento-Toelakan Sukoharjo. Juga keluarga Ellen Vogel, pemilik perusahaan Buwalda & Co Surakarta.

Saat ini, Kerkhof  Jebres sudah tidak berbekas. Berubah menjadi perkampungan dan rumah susun sewa Jebres. Dulu, letaknya berada persis di seberang Stasiun Kereta Api Jebres Surakarta. Ada dugaan kediaman Carel Winter dan istri, tidak jauh dari kawasan Jebres dan Keraton Kasunanan Surakarta.

Menurut saya, sisi menarik lain dari makam Carel Winter bukan hanya pada catatan sejarah yang menyertainya, tetapi juga batu nisannya. Nisan berbentuk obelisk dengan panji heraldic, lazim untuk kerkhof di Indonesia. 

Selain berbentuk obelisk dengan heraldic, keunikan lain terdapat pada hiasan sisi kiri dan kanan plakat tembaganya. Merujuk karya Tui Snider mengenai arti simbol batu nisan, hiasan tersebut berupa obor terbalik atau inverted torch. Obor terbalik digunakan untuk menunjukan apabila jiwa seseorang yang telah wafat, akan tetap menyala di akhirat. Menariknya lagi, cungkup makam Carel Winter berbentuk pendapa berbahan kayu dengan epitaf huruf Jawa.

Makam Carel Winter paling mencolok, karena satu-satunya makam milik orang Belanda dan bersanding dengan pujangga besar R.Ng. Ronggowarsito. Harmoni dalam kebhinekaan tampak begitu jelas pada kedua makam ini. Sastrawan yang menaruh kecintaan terhadap Indonesia, berdampingan dengan pujangga terakhir Jawa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Kisah Carel Frederik Winter dan R.Ng. Ronggowarsito di Kerkhof Palar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-kisah-carel-frederik-winter-dan-r-ng-ronggowarsito-di-kerkhof-palar/feed/ 0 37387
Kisah Casper Frederik Deuining dan Nisan Polyglot yang Tersisa dari Keluarga Portier https://telusuri.id/kisah-casper-frederik-deuining-dan-nisan-polyglot-yang-tersisa-dari-keluarga-portier/ https://telusuri.id/kisah-casper-frederik-deuining-dan-nisan-polyglot-yang-tersisa-dari-keluarga-portier/#respond Thu, 23 Feb 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37293 Usai mengabadikan nisan Adolph B. Andreas, 10 langkah ke utara, saya menyambangi nisan Casper Frederik Deuining. Ia seorang pengawas senior Pabrik Gula Cokro Tulung Klaten. Berdasar keterangan Hans Boers, beliau suami dari Djeminem Kamijoyom, anak...

The post Kisah Casper Frederik Deuining dan Nisan Polyglot yang Tersisa dari Keluarga Portier appeared first on TelusuRI.

]]>
Usai mengabadikan nisan Adolph B. Andreas, 10 langkah ke utara, saya menyambangi nisan Casper Frederik Deuining. Ia seorang pengawas senior Pabrik Gula Cokro Tulung Klaten. Berdasar keterangan Hans Boers, beliau suami dari Djeminem Kamijoyom, anak dari Raden Tumenggung Kamidjoyo dan Raden Ayu Soemantri.

Pernikahan Deuning dan Djeminem digelar di Ceper pada 9 Septmber 1884. Pascamenikah, Djeminem berubah nama menjadi Johanna Trouwen, dan keduanya sempat tinggal sementara di Boyolali sebelum menetap di Klaten.

Menurut Hans, keluarga besar Deuning memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga August Jan Caspar Dezentje (Boyolali), P.A. Van Der Steur (Magelang), dan Kasunanan Solo.

Kerkhof Ceper
Nisan milik Casper Frederik Deuning, Pengawas Senior Pabrik Gula Cokro Tulung/Ibnu Rustamadji

Sebelum bekerja sebagai pengawas Pabrik Gula Cokro Tulung, ia seorang distributor suku cadang mesin pabrik gula dan kopi. Deuning bekerja sebagai insinyur mesin di Cokro Tulung sejak tahun 1886, kala itu John van der Linden menjadi atasannya.

Semasa bekerja, Deuning tercatat berperilaku baik. Ia pun mendapat kehormatan dari pemilik dan karyawan Pabrik Gula Cokro Tulung. Karirnya melonjak tajam. Berawal dari insinyur mesin dan pengawas pabrik, tahun 1890, Deuning mampu mengakuisisi seluruh manajemen Pabrik Gula Cokro Tulung. 

Sayangnya, tidak lama kemudian sang istri wafat pada 29 Mei 1898 di Klaten, disusul pemberitaan miring mengenai keluarganya dan kabar mengenai ditangkapnya adik bungsu Deuning yang bernama Ferdinandus, atas tuduhan membunuh bayinya yang baru dilahirkan. Hal ini merupakan pukulan bertubi-tubi baginya yang sedang di puncak kejayaan.

“Itu ternyata isu, untuk menutupi masalah sewa tanah perkebunan antara si orang (tidak diketahui siapa) dan Ferdinandus” terang Hans. “Untungnya, Deuning dapat mengatasi masalah hingga pergantian pengawas perkebunan gula Pabrik Gula Cokro Tulung hingga tahun 1899” tambahnya.

Enam tahun kemudian Casper Frederik Deuning wafat tanggal 9 September 1905, di usia 68 tahun dimakamkan di Ceper Klaten berdampingan dengan Adolph B. Andreas. Sedangkan makam istri Casper Deuning tidak diketahui berada di mana. Ada dugaan istri dan anak juga dimakamkan di sini.

Saudara kandung Deuning, mayoritas bekerja dengan Tuan Dorrepal dan Dezentje. Ada juga keluarganya, penyewa tanah perkebunan di Kaliwingko untuk budidaya padi. 

Nisan Polyglot yang Tersisa dari Keluarga Portier

Ada satu nisan Eropa yang berada di pemakaman ini masih utuh lengkap dengan epitaf tiga bahasa Jawa, Arab dan Belanda, biasa disebut makam polyglot. Baru kali ini, saya menemukan tiga bahasa dalam satu nisan.

Epitaf berbahasa Belanda berbunyi, “Hier Rust. Arend Alexander Portier. Geborend den 22 Augustus 1880, Overleden den 13 Januari 1886.” 

Epitaf nisan berbahasa Arab Pegon dan Jawa berbunyi, “Ing ngriki ajalipun. Arind Alexander Purtier, Lahir Ahad 22 Agustus 1880 Wulan Siyam ing Tahun Wawu 1071. Ajal Rabu Legi Tanggal Kaping 7 Robi’ul Akhir Tahun Dal 1818.” 

Ketiga epitaf artinya, “Di sini beristirahat. Arend Alexander Portier, lahir Minggu (puasa) 22 Agustus 1880, wafat Rabu (Legi) 13 Januari 1886/7 Robiu’ul Akhir Tahundal 1818.” 

  • Kerkhof Ceper
  • Kerkhof Ceper
  • Kerkhof Ceper
  • Kerkhof Ceper

Selain tiga bahasa berbeda, ada juga simbol kematian berupa pahatan berwujud tengkorak.

“Di Solo dan Jogja, banyak kerabat Portier. Kalau saya mencari menurut nama orang tua, atau leluhurnya ketemu nama Alexander Leendert Portier,” terang Hans. 

Tahun 1876 di Solo, ada penerbit dan penjual buku Namanya Jonas, usahanya bernama Jonas Portier en Co, tambahnya. Buku yang diterbitkan berbahasa Jawa kuno tentang perawatan sawah untuk mendapat hasil panen optimal. 

“Tahun 1881 toko Jonas Portier en Co dijual kepada tuan C.L. Baier,” sambungnya. Kediaman Jonas L. Portier en Co di Kedung Kopi, Solo juga dijual tanggal 1 Oktober 1880.

Nah, apakah mereka memiliki keterkaitan? Hans tidak bisa memberikan kepastian. Yang jelas ibunya priyayi dan sang ayah pegawai Belanda. 

  • Kerkhof Ceper
  • Kerkhof Ceper

Terakhir, ada satu makam lagi yang berada di timur makam Alexader Portier. Makam tidak dikenal, karena nama yang terukir rusak. Hanya tersisa hiasan makam berbentuk cincin yang artinya kehidupan abad.

Sebelum meninggalkan kawasan pemakaman, tidak lupa saya mengirim doa untuk mereka yang telah mendahului. Harapan saya, empat makam ini tidak dirusak demi menjaga bukti arkeologis bagi peneliti generasi mendatang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah Casper Frederik Deuining dan Nisan Polyglot yang Tersisa dari Keluarga Portier appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-casper-frederik-deuining-dan-nisan-polyglot-yang-tersisa-dari-keluarga-portier/feed/ 0 37293
Jejak Adolph Barsikh Andreeas di Kerkhof Ceper Klaten https://telusuri.id/jejak-adolph-barsikh-andreeas-di-kerkhof-ceper-klaten/ https://telusuri.id/jejak-adolph-barsikh-andreeas-di-kerkhof-ceper-klaten/#respond Wed, 22 Feb 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37278 Saya melanjutkan penelusuran kerkhof yang ada di sekitar Kabupaten Klaten. Kali ini di Dukuh Pason, Desa Sinden, Kecamatan Ceper Klaten. Dukuh Pason sendiri ada di sisi utara bekas Pabrik Gula Ceper, dipisahkan oleh tembok pabrik...

The post Jejak Adolph Barsikh Andreeas di Kerkhof Ceper Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya melanjutkan penelusuran kerkhof yang ada di sekitar Kabupaten Klaten. Kali ini di Dukuh Pason, Desa Sinden, Kecamatan Ceper Klaten. Dukuh Pason sendiri ada di sisi utara bekas Pabrik Gula Ceper, dipisahkan oleh tembok pabrik dan saluran irigasi.

Kerkhof Ceper
Gapura Dukuh Pason, Desa Ceper Klaten. Pintu masuk Kerkhof Ceper/Ibnu Rustamadji

Setelah menelusuri jalanan dukuh sekitar 20 menit, saya sampai di gapura dukuh. Dari gapura, saya masuk dan melihat sebuah rumah—atau mungkin pendapa—yang berada di ujung jalan. Tanpa berpikir panjang, saya menuju ke sana.

Semakin mendekat, barulah terlihat bahwa bangunan ini adalah balai pertemuan warga. Sayangnya, tidak ada warga yang beraktivitas di sana yang bisa saya tanyai mengenai Kerkhof Ceper. Saya diam sejenak hingga lima menit kemudian, seorang pria paruh baya terlihat keluar dari belakang balai pertemuan.

Saya yang terlanjur penasaran akan letak kerkhof, memutuskan untuk menunggu pria tadi. Setidaknya saya bisa bertanya, bukan? Pikir saya.

Sayangnya, ia tak kunjung muncul kembali. Saya kemudian nekat pergi ke belakang balai pertemuan, dan menemukan hal tak terduga. Di sinilah Kerkhof Ceper berada. 

Sepintas Kerkhof Ceper tampak seperti makam pada umumnya, makam modern dengan kijing keramik mendominasinya. Namun, di sela-sela kijing keramik, terdapat nisan-nisan milik orang Eropa. Yang pertama adalah nisan yang terbuat dari batu granit berwarna hitam, dan berbentuk persegi panjang.

Saya menduga nisan ini pernah diperbaiki sebelumnya, terlihat dari marmer yang masih mengkilap dan tidak usang. Mendiang yang dikuburkan di sini bernama Adolph Barsikh Andreeas, seorang pria kelahiran Semarang memiliki darah Armenia dan Iran.

Dulunya, beliau pengawas senior di Pabrik Gula Ceper. Daripada saya dikira menduga, beberapa dokumentasi saya kirim ke Hans Boers. Tidak lama, Hans membalas pesan saya dengan mengirimkan sejumlah informasi mengenai Adolph Barsikh Andreas.

Kerkhof Ceper
Nisan Adolph Barsikh Andreas/Ibnu Rustamadji

“Adolph Andreas berdarah Armeia. Tahun 1602 ada beberapa keluarga orang Armenia berasal dari Nagorno Karabakh (dahulu bernama Artsakh), pindah ke Iran atas undangan Shah Abas dari Persia di kota Nor Jugha (Isfahan).” 

Hans melanjutkan, “Mereka berangkat ke Iran karena, di sana, membutuhkan bantuan dana dan sukarelawan untuk berperang melawan Turki.” Warga negara Armenia di Iran kala itu, ternyata diijinkan membangun gereja, sekolah dan tempat tinggal sendiri.

Lantas bagaimana sebagian dari mereka bisa sampai di Indonesia?

“Mereka (orang Armenia) berdagang di India, Indonesia, Thailand, Kamboja, Filipina dan Birma; kemudian, ada yang tinggal di negara tersebut dan kembali ke Iran.”

Adolph Barsikh Andreas, anak dari Barsikh Andreas sepupu dari Agha Hovsep Hovhannes Amirkan.

“Agha Hovsep Hovhannes, ini moyang saya,” tambahnya. Saya semakin penasaran tentunya. 

Adolph Barsikh Andreas kelahiran Semarang 25 Mei 1842, anak dari Barsikh Andreas yang merupakan warga Armenia dan Augustina Carolina Waitz yang berdarah Belanda dan Jerman. Adolph Barsikh merupakan seorang perwira militer KNIL Semarang. Beliau lahir ketika orangtuanya berdinas di Semarang. Istrinya bernama Josephine Andreas van Waardenburg.

Kerkhof Ceper
Nisan milik Adolph B. Andreas, Casper F. Deuning dan Arend A. Portier berdampingan/Ibnu Rustamadji

Ia wafat dan dimakamkan di Ceper karena selain sebagai pengawas senior, beliau juga pemilik Sebagian saham Pabrik Gula Ceper.

Selama pengawasannya, Pabrik Gula Ceper tidak lagi mengekspor gula berskala kecil. Keputusan berani yang ia pilih kala itu. Hans Boers menambahkan, “Enam tahun kemudian, tepatnya tanggal 16 Mei 1898, Adolph B. Andreas tergabung dalam Solosche Landhuurders-Vereeniging wilayah Ceper Klaten.” 

Solosche Landhuurders-Verening, merupakan organisasi berisikan pemilik sekaligus penyewa tanah di Solo. Ketua organisasinya Jhr. W.D. van Nispen, sekaligus ketua Maconniek Solo. Anggotanya sejumlah 11 orang tuan tanah. Menurut Hans, sisi menarik Adolph B. Andreas tidak hanya nisannya, tetapi mengenai kehidupannya di Solo.

Selama aktif berorganisasi, Adolph B. Andreas sering menulis kritik di koran ‘De Locomotief’—surat kabar Semarang era Hindia Belanda. Inti kritikan ditujukan ke organisasinya, karena tidak puas dalam keterbukaan antar anggota.

Puncak kritikan Adolph B. Andreas terjadi saat pembukaan Soos (Societeit) di Solo. Pembukaan dirayakan dengan gelaran pentas “Kantata”. Pengisi acaranya yakni anak-anak pengusaha, pemilik modal. Adolph B. Andreas mengetahui hal ini geram. Beliau menyatakan pentas “Kantata” harusnya diramaikan semua kalangan, tidak hanya anak keluarga pengusaha. 

Warga lokal lalu diperkenankan hadir dan memeriahkan perayaan sejak pukul 7 malam. Soos yang dibangun oleh organisasi Adolph B. Andreas, ditujukan untuk sarana hiburan para priyayi Jawa dan Eropa di Kota Solo. Adolph B. Andreas mengkritik karena kesewenangan para anggota, supaya organisasi Solosche Landhuurder-Vereeniging mendapat tempat di masyarakat. 

Tanggal 8 Oktober 1900 adalah masa terpuruk bagi keluarga Adolph B. Andreas. Anak sulungnya yang bernama Angelique Adolphine wafat pada usia sangat sekitar 15 bulan. 

“Hanya saja, lokasi makam Angelique Adolphine berada, di Ceper atau tempat lain, tidak ada catatannya,” ujar Hans Boers.

Sejauh pengamatan saya di Kerkhof Ceper, jangankan makam Angelique Adolphine, makam Josephine Andreas van Waardenburg juga tidak ada. 

Adolph Barsikh Andreas wafat 25 Oktober 1902 pada usia 54 tahun karena mengidap stroke cukup lama, tepat dua tahun setelah Angelique Adolphine wafat. Hingga akhir hayat, beliau menjabat pengawas senior di Pabrik Gula Ceper. Pascapemakaman, barulah jabatan pengawas senior digantikan Tuan Knoops mantan pengawas Pabrik Gula Kaliwungu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak Adolph Barsikh Andreeas di Kerkhof Ceper Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-adolph-barsikh-andreeas-di-kerkhof-ceper-klaten/feed/ 0 37278
Sepenggal Cerita dari Kerkhof Wonosari, Klaten https://telusuri.id/sepenggal-cerita-dari-kerkhof-wonosari-klaten/ https://telusuri.id/sepenggal-cerita-dari-kerkhof-wonosari-klaten/#comments Wed, 01 Feb 2023 04:00:11 +0000 https://telusuri.id/?p=36555 Perjalanan saya selanjutnya berlanjut di perbatasan antara Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sukoharjo, yakni Kecamatan Wonosari. Bukan Kecamatan Wonosari Yogyakarta, tetapi Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten. Bagi masyarakat awam, mungkin akan bingung. Tahunya Wonosari itu ada di...

The post Sepenggal Cerita dari Kerkhof Wonosari, Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan saya selanjutnya berlanjut di perbatasan antara Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sukoharjo, yakni Kecamatan Wonosari. Bukan Kecamatan Wonosari Yogyakarta, tetapi Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten. Bagi masyarakat awam, mungkin akan bingung. Tahunya Wonosari itu ada di Yogyakarta. Padahal, Wonosari juga ada di Klaten, tepatnya berada di selatan Kabupaten Sukoharjo. Di sini ada sisa-sisa kerkhof yang menarik untuk kita telusuri. Posisinya berada di belakang Polsek Wonosari.

Woalah, berada di Desa Tinggen!” gumam saya.

Saya sempat kebablasan sesampainya di Polsek Wonosari. Mau tanya warga, iya kalau mereka tahu, kalau tidak? Saya pun berpikir dua kali. Langsung saja putar balik, dan masuk Desa Tinggen. Sekitar 30 menit keluar masuk desa saya tidak menemukannya, akhirnya saya putuskan menyebrang jembatan antar dukuh. 

“Pojok jembatan Desa Tinggen tadi, ada gang kecil ke timur, apa di sana posisinya?” tanya saya pada diri sendiri.

Tidak lama, saya langsung putar balik. Menyusuri gang kecil padat, di pojokan rumah ada jalan beton mengarah ke antah berantah. Ternyata ini jalan menuju Makam Kyai Klunggu, lokasi tujuan saya.

  • Kerkhor Wonosari Klaten
  • Kerkhor Wonosari Klaten
  • Kerkhor Wonosari Klaten
  • Kerkhor Wonosari Klaten

Selamat Datang di Makam Keluarga Van Groll dan De Bruijn

Tujuan saya memang ke Makam Kyai Klunggu, tetapi saya ke sana bukan untuk mengunjungi makam beliau, melainkan makam keluarga Van Groll dan De Bruijn. Bukan kenapa-napa, tetapi saya memang  tidak mengetahui informasi apapun tentang Kyai Klunggu.

Setibanya di sana makam, tampak ada dua komplek makam keluarga. Posisinya berada di sisi barat makam warga lokal. Ada sekitar 8 nisan berinskripsi Belanda di sini. Tebakan saya, Kerkhof  Wonosari adalah makam keluarga pengusaha.

Tebakan saya tepat. Hans Boers mengatakan bahwa Van Groll dan De Bruijn adalah keluarga pemilik perkebunan pewarna di Klaten. Nama perusahaannya adalah Perkebunan Budidaya Pewarna Indigo ‘Gondangsari’. Dari penjelasan awal Hans Boers ini, saya sempat bingung.

“Lah, kenapa makamnya ada di Wonosari, apakah karena pernikahan dengan perempuan Jawa, dan pasca pernikahannya mereka tinggal di sini?” 

Ternyata lagi, selain pemilik perkebunan, mereka sekaligus tinggal di rumah pribadi tengah perkebunan. 

Perkebunan Indigo ‘Gondangsari’ lokasinya tidak jauh dari Kerkhof  Wonosari, walaupun sekarang sudah berubah menjadi persawahan dan pemukiman warga. “Rumahnya bagus sebenarnya, Mas. Tapi sekarang sudah hilang, saya ada foto portrait dan rumahnya. Mau saya kirimi?” lanjut Hans.

Tentu saya tidak menolak tawarannya. Tidak lama, dua foto lama keluarga Van Groll dan De Bruijn masuk di pesan singkat saya. Melalui foto potraitnya, mereka tampak seperti orang Jawa, tapi keduanya dari Belanda. Orang tuanya Jawa dan Belanda, anaknya berketurunan Indonesia.

Makam kedua keluarga masih utuh kondisinya. Adapun nisan yang masih bisa terbaca milik Albertien Louise Breton van Groll, Rosalie Adolpien Breton van Groll, dan Gerardien Nicolien Breton van Groll. 

  • Kerkhor Wonosari Klaten
  • Kerkhor Wonosari Klaten
  • Kerkhor Wonosari Klaten

Mereka bertiga cucu dari Gustaaf Adolf Breton van Groll, kelahiran Ampel Boyolali; dan Theodoroa Breton van Groll geboren de Bruijn kelahiran Gawok Sukoharjo. “Theodora Breton de Bruijn, keluarga Nicolaas de Bruijn,” lanjut Hans melalui pesan singkat.

“Jadi, keluarga Van Groll menikah dengan keluarga De Bruijn dan semasa tinggal di Indonesia (Hindia Belanda) kala itu berada di Wonosari Klaten,” lanjutnya. Pantas, hanya dua keluarga ini yang tinggal hingga wafat di Wonosari, Klaten.

“Bapak, ibu, dan yang cucu wafat dimakamkan kembali ke tanah kelahiran mereka di sini (Wonosari),” gumam saya sembari mengabadikan nisan milik dua keluarga ini. Tidak lama, Hans Boers mengirim pesan yang saya tidak duga sebelumnya. Dalam pesannya, Hans menulis; 

“…Hoogwater. Uit de dessa schrijft men onder dato van 25 dezer aan de N. Vorstenlanden; Het is verschrikkelijk met den bandjir. Reeds drie maal vie ren twintig uren staan mijn zeven en half bouw indigo en tachtig bouw padi onder water en nog dringt het bandjir-water verder de Velden en dessa’s in. Van gemelden aanplant zal natuurlijk niets terecht komen…”

“…In de kedjawen dessa’s Pangang We’oot, Tempel, Ngepringan, Gondanglegi enz. is het nog erger gesteld. Daarvan is de bevolking met haar karbouwen, sapi’s, kippen en eenden naar bandjir vrije dessa’s gevlucht…”

…De onderneming Gondangsari is op eem gedeelte na geheel onder water, tot de woning van den beheerde toe…”

Tenang saja, sudah saya terjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Berikut hasil terjemahannya.

“…Vorstenlanden (Solo). Air tinggi menggenangi desa di tanggal 25 Januari 1895 disusul banjir selama 3 hari. Kebun pewarna dan sawah, tergenang air banjir. Setelah itu memasuki saluran air dan desa. Tentu tidak ada hasil panen…”

“…Di desa Pangang, Ngepringan, Gondanglegi lebih parah lagi. Warga harus mengungsi dengan kerbau, sapi, unggasnya ke daerah lain yang bebas banjir…”

“…Banjir selain menggenangi desa juga perkebunan budidaya dan persawahan. Perkebunan Budidaya Pewarna Indigo ‘Gondanglegi’ dan rumah pemiliknya juga ikut tergenang…” 

Perkebunan budidaya dan kediaman van Groll ikut tergenang, “Mungkinkah, banjir ini membuat kondisi mereka rentan terserang virus dan wafat di usia muda?” Hans Boers meyakini bahwa banjir dan kesehataan yang memburuk menjadi penyebab mereka tidak berumur panjang.

  • Kerkhor Wonosari Klaten
  • Kerkhor Wonosari Klaten

Dari penelusuran saya bersama Hans Boer, kami dapatkan kesimpulan mengenai silsilah keluarga Van Groll dan De Bruijn di Wonosari Klaten ini. Berikut detail mengenai kedua keluarga, saya urutkan dari generasi tertua.

Gustaaf Adolf Adriaan Breton van Groll, lahir di Ampel Boyolali 22 Juni 1837 wafat di Surakarta 4 Oktober 1902. Gustaaf A. Adrian Breton van Groll anak dari Gerhardus Nicolaas van Groll dan Nancy van Stralendorff.

Gustaaf. A. Adrian Breton van Groll suami dari Theodora de Bruijn. Karena menikah dengan keluarga Van Groll, namanya menjadi Theodora Breton van Groll geb. De Bruijn. Theodora de Bruijn kelahiran Gawok 21 Oktober 1855, wafat di Gondangsari 18 Juli 1913. 

Pernikahan Gustaaf. A. Adrian Breton van Groll dan Theodora van Groll diselenggarakan 6 Oktober 1880 di Klaten. Dari pernikahan, mereka dikaruniai 7 orang anak. Semua bermarga Van Groll. 

Mereka adalah Ernestien Nicolien, Adolf Ernest, Theodoor Henry Mathieu, Louis Ernelier, Henry Gerardus, Gustaaf Adolf Paul dan August Johan Nicolaas. Anak-anaknya hidup menyebar ke seluruh Jawa, tidak hanya di Surakarta.

Makam lain yang ada di sini adalah milik Albertien Louise Breton van Groll, Rosalie Adolpien Breton van Groll, dan Gerardien Nicolien Breton van Groll. Kami menduga mereka saudara kandung dari Gustaaf. A Adrian Breton van Groll. 

Nisan makam milik keluarga De Bruijn, berdiri berdampingan dengan Albertien Louise Breton van Groll. Tertulis pada nisannya Johannes Nicolaas de Bruijn, kelahiran Semarang 1810, wafat di Gawok 1868. Kami duga, J. Nicolaas de Bruijn merupakan orang tua dari Theodora de Bruijn. Tidak ada catatan lain mengenai keduanya.

Oiya, saya hampir lupa masih ada 3 nisan di sini. Nisan milik Wiliam Antonie (1 Tahun), Pauline Antonie (1 Tahun), dan Christian Antonie (3 Tahun). Kami duga, ketiga anak balita ini cucu dari Gustaaf. A. Adrian Breton van Groll, dan Theodora van Groll geb. De Bruijn. 

Makam mereka dilapisi keramik putih berhias keramik motif pemandangan Belanda, namun sayang nisan berinskripsi nama mereka sedikit terpendam di dalam tanah.

Keluarga Breton van Groll pemilik Perkebunan Budidaya Pewarna Indigo bernama “Gondangsari”. Musibah banjir tahun 1895, memaksa kedua keluarga untuk bertahan hidup serba terbatas. Namun pada akhirnya menyerah dengan keadaan di usia mereka yang masih muda. Mereka wafat, dikebumikan tidak jauh dari tanah kelahiran sang ibu.

Sebelum meninggalkan kompleks makam kedua keluarga, saya sempatkan untuk mengirim doa untuk mereka.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sepenggal Cerita dari Kerkhof Wonosari, Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sepenggal-cerita-dari-kerkhof-wonosari-klaten/feed/ 1 36555
Kisah di Balik Kerkhof Gombong (2) https://telusuri.id/kisah-di-balik-kerkhof-gombong-2/ https://telusuri.id/kisah-di-balik-kerkhof-gombong-2/#respond Wed, 04 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36803 Perjalanan saya menelusuri Kerkhof Gombong berlanjut. Setelah dari makam W.H. Poepaart, mata saya tertuju pada satu nisan utuh berdiri di tengah nisan lain, kondisinya rusak parah. Ternyata makam tersebut milik seorang letnan infanteri di Gombong. ...

The post Kisah di Balik Kerkhof Gombong (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan saya menelusuri Kerkhof Gombong berlanjut. Setelah dari makam W.H. Poepaart, mata saya tertuju pada satu nisan utuh berdiri di tengah nisan lain, kondisinya rusak parah. Ternyata makam tersebut milik seorang letnan infanteri di Gombong. 

“Lah, kenapa tidak dimakamkan di ereveld, tapi malah di kerkhof?” pikir saya. Ereveld dan kerkhof artinya sama yakni pemakaman. Hanya berbeda fungsi. 

Ereveld makam pahlawan bagi pejuang berdarah Belanda di Indonesia. Kerkhof makam elit warga Belanda di halaman gereja. Memang tidak semua prajurit Belanda di Indonesia yang gugur dimakamkan di ereveld. Tergantung keluarga, dikebumikan di ereveld, kerkhof, atau kremasi. 

Biasanya prajurit yang dikebumikan di luar ereveld, atas kehendak keluarga atau mendiang sendiri karena merasa terikat batin dengan wilayah setempat. Seperti beberapa makam yang saya abadikan kali ini. Menariknya makamnya berbaur dengan milik orang Belanda lain di Kerkhof Gombong. 

Makam C.F.H Campen

“Wah, nama depan disingkat, terus siapa beliau?” 

Pada nisan, tertulis nama C.F.H. Campen. Karena rasanya tidak mungkin menerka-nerka, pilihan terakhir untuk mengetahui nama lengkapnya adalah saya menghubungi Hans Boers. Tidak lama, saya mendapatkan balasan petunjuk pembuka dari Hans Boers.

“Orang militer ini Mas, apa mungkin dahulu bekerja di Benteng Gombong?” 

“Kemungkinan pak, 1e Luit. der Inf. Ridder. M.W.O. Tidak ada keterangan lain.” Kami sama-sama bingung sejadinya. Tidak lama, masuk pesan singkat kembali dari Hans Boers. 

“Mas, makam ini milik instruktur sekolah siswa militer di Gombong!” Akhirnya mulai terbuka siapa orang di balik nisan tua ini. Saya dan Hans Boers sempat bercanda, “Coba bayangkan, namamu disingkat, terus kamu aku kenalkan dengan nama singkatanmu. Enak didengar tidak?” Kami hanya bisa saling menertawakan.

Makam Letnan C.F.H. Campen
Makam Letnan C.F.H. Campen. Salah satu makam Belanda yang utuh di Kerkhof Gombong/Ibnu Rustamadji

Sembari menunggu kabar lebih lanjut, saya putuskan untuk mengabadikan lebih jauh nisan lain yang tersisa di Kerkhof Gombong. Tiba-tiba Hans Boers mengirim pesan kembali mengenai C.F.H. Campen. Dalam pesan singkatnya, berikut detail mengenai C.F.H. Campen.

Letnan 1 Prajurit Infanteri C.F.H. Campen, Instruktur Sekolah Siswa militer Gombong. Kala itu, bernama Militaire Pupillen School Gombong. Inisiatif dari Institusi Pendidikan Angkatan Darat Hindia Belanda atau Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL). Sekolah Militer Gombong, didirikan untuk melatih anak-anak terlantar menjadi prajurit KNIL. 

Sekolah militer Gombong pertama kali dibangun tahun 1835 atas perintah Mayor Jenderal Hubert de Steurs. Kala itu sekolah militer masih menempati rumah sang mayor. Barulah di tahun 1848 dibangunkan sebuah gedung permanen di Kedong–Kebo oleh Mayor Jenderal Von Lutzow. Sekolah Militer dari Kedong–Kebo kemudian dipindahkan menuju Gombong, dan menempati areal di Benteng Van Der Wijck. 

Sebelum bernama Van Der Wijck, benteng itu bernama Fort Cochius. Letnan Campen adalah Instruktur Sekolah Militer Gombong, ketika sekolah berada di Benteng Van Der Wijck. Namun sayang, C.F.H. Campen tidak berumur panjang. Hans Boers menambahkan, “Campen terbunuh dengan cara ditusuk belati oleh seorang pribumi, tidak diketahui motifnya apa.” 

Letnan Campen dikenal aktif menulis mengenai perkembangan Sekolah Siswa Militer Gombong. Karena pentingnya karya tulis Letnan Campen mengenai sekolah militer Gombong, pihak pemerintah Belanda menggandakan sebanyak 1000 eksemplar dan diberikan secara cuma-cuma ke warga sekitar sekolah. Salah satu judul artikelnya yakni Het Korps Pupillen te Gombong. 

Sebelum tugas di Gombong, Letnan Campen diketahui dirotasi bersama beberapa prajurit lain dari Surabaya. Letnan Campen wafat usia 33 tahun pada 24 Januari 1886, pemakaman dihadiri Asisten Residen Kebumen, Kepala Distrik Kebumen dan Gombong, seluruh warga Gombong dan siswa Sekolah Militer Gombong

H. Heffelaar, Makam Prajurit lain di Kerkhof Gombong

Puas mengabadikan detail nisan makam dan mendapat informasi mengenai Letnan C.F.H. Campen, langkah saya berikutnya berhenti di makam milik H. Heffelaar. Nisan masih utuh, tapi kalau tidak jeli membaca hurufnya seakan berbunyi “HFFFFLPPP”.  

Informasi siapa Haffelaar, masih saya dapatkan dari Hans Boers. Makam ini milik Hermanus Heffelaar lahir di Rotterdam 6 Maret 1881, dan wafat di Gombong 29 April 1924 usia 43 tahun. Sang istri bernama Nyonya Painam, pernikahanya digelar di Kotaraja 25 Mei 1916. 

“Nikah di Kotaraja, jauh sekali, Pak?”

 “Iya. Karena, Hermanus Haffelaar, prajurit militer KNIL tugas akhir di Gombong!” 

Makam Hermanus Heffelaar
Makam Hermanus Heffelaar/Ibnu Rustamadji

H. Heffelaar anak dari Johannes Bernardus Heffelaar dan Anna van Hoewijk. Hermanus Heffelaar, dan Poepaart satu kesatuan di militer Angkatan Darat. Tapi, H. Heffelaar lebih banyak di KNIL-nya, begitu informasi yang saya dapat dari Hans Boers. 

Pantas mereka dimakamkan di Kerkhof Gombong, dekat Benteng Van Der Wijck dan Kamp militer Gombong tempat Heffelaar dan Poepaart bekerja. Nisan milik H. Heffelaar bertuliskan, “Hier Rust. Mijn Lieve Man en Vader H. Heffelaar in Der Ouderdom Van 41 Jaaren. R.I.P.”. 

Artinya “Di sini Beristirahat. Ayah sekaligus pria yang kami sayang, Hermanus Heffelaar di Umur 41 Tahun”.

Nisan K. Emor, Makam Tersembunyi di Balik Pohon

Makam berikutnya setelah Poepaart dan Heffelaar yang saya datangi ini pria kelahiran Manado tinggal di Gombong. Makamnya ditumbuhi pohon liar setinggi orang dewasa yang menyembunyikan batu nisannya.

Sebelum melihat nama mendiang lebih jauh, saya dikejutkan suara si bapak juru kunci. “Ini Mas nisannya, saya bersihkan dulu. Semoga kelihatan. Soalnya pohon ini tumbuh liar ini Mas, jadi makamnya rusak.”

Makam ini rusak bukan karena nisan marmer yang dicuri, tapi oleh pohon liar, yang menurut saya salah satu faktornya adalah karena tidak diziarahi dan dibersihkan secara rutin.

Inskripsi pada nisan, berbunyi “Hier Rust onze Innig Geleiefde Vader K. Emor, Overleden 19 September 1899 in den Ouderdom van 74 jaar”. K. Emor wafat usia 74 tahun pada 19 September 1899. Hanya saja tidak diketahui apa yang menyebabkannya wafat. Bahkan untuk siapa keluarga K. Emor, tidak banyak informasi.

Hans Boers, merujuk satu nama yakni Karel Emor. “Susah Mas, karena ada beberapa orang yang menyandang nama Karel Emor tapi tidak ada satupun yang cocok dengan keterangan nisannya.” 

“Juga ada seorang dokter dari Jawa yang terkenal bernama Jan Emor, lahir di Tana Kwangkot, Kecamatan Tombari, Minahasa, Manado; dan pada tahun 1711, dan seorang  perempuan bernama Ida Emor (nama Yahudi) dibaptis di Belanda.”

Juru kunci Kerkhof Gombong
Juru kunci Kerkhof Gombong, tengah membersihkan nisan milik Karel Emor/Ibnu Rustamadji

“Saya sendiri memiliki gagasan kuat kalau Karel Emor adalah orang kelahiran Manado dan dia pegawai militer KNIL,” lanjutnya. Karel Emor diketahui wafat di Karanganyar Kebumen di usia 74.

“Adakah keluarganya, Pak?” tanya saya penasaran.

Menurut Hans ada; yakni, Johanna Antoinette Emor meninggal 4 Oktober 1959 di Zwollerkerspel pada usia 75, lahir sekitar tahun 1884. Mungkinkah dia putri Karel Emor? 

“Saya belum menemukan data lebih jauh mengenai hubungan keduanya.” Alhasil, informasi mengenai keluarga K. Emor di Gombong hanya sebatas praduga, bahwa K. Emor bernama asli Karel Emor seorang perwira militer KNIL di Gombong.

Yang Tersisa dari Kerkhof Gombong

Sebelum mengakhiri penelusuran di Kerkhof Gombong, saya mengabadikan beberapa makam lain yang kondisinya rusak parah. Kerkhof Gombong, menurut saya sejatinya sudah selayaknya diselamatkan dan dilestarikan. Miris rasanya melihat berbagai nisan teronggok begitu saja tanpa terawat. 

Kerkhof Gombong bagi saya, adalah saksi bisu Kecamatan Gombong, Kabupaten Kebumen, dari waktu ke waktu. Jelas, di balik orang Belanda dalam mengembangkan Gombong, tidak lepas juga dari peran warga Gombong sendiri.

  • Makam keluarga tidak teridentifikasi.
  • De Bruijn
  • Makam Obelisk
  • Makam Obelisk
  • makam unik

Situs peninggalan di Gombong sangat banyak. Selain kerkhof, ada juga ngebong atau areal pemakaman warga Tionghoa yang tidak kalah menarik untuk kami telusuri. Belum lagi, Benteng Van Der Wijck, Pabrik Rokok Klembak Menyan, satu lagi Rumah Martha Tilaar, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Oiya, saya hampir kelupaan. Tidak semua orang Belanda di Gombong yang wafat dikebumikan di Kerkhof Gombong. Ada juga yang di luar kota, atau mungkin kembali ke keluarga di Belanda. 

Sekarang, bukan saatnya menyalahkan mana yang benar dan yang salah. Tapi, bagaimana cara untuk menghargai apa yang telah diwariskan generasi sebelum kita. 

Seperti Kerkhof Gombong ini, bukti masa lalu untuk pelajaran hidup di masa depan. Terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman penelusuran Kerkhof Gombong, teman-teman di Rumah Martha Tilaar yang setia menemani dan menerima kritikan dan saran saya, dan mohon maaf tidak bisa saya sebut semuanya.

Perjalanan ke Kerkhof Gombong berakhir dengan semua memori di kamera. Satu minggu tidaklah cukup untuk mengenal Gombong lebih jauh, suatu saat pasti kembali. “Sekarang, saatnya kembali ke Solo, dan buka bersama di kereta!”

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah di Balik Kerkhof Gombong (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-di-balik-kerkhof-gombong-2/feed/ 0 36803
Kisah di Balik Kerkhof Gombong (1) https://telusuri.id/kisah-di-balik-kerkhof-gombong-1/ https://telusuri.id/kisah-di-balik-kerkhof-gombong-1/#respond Tue, 03 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36791 Seorang rekan mengajak saya jalan, kali ini ke selatan Jawa Tengah, tepatnya Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Tujuan kami yakni menelusuri makam Belanda atau kerkhof di Gombong.  “Bro, minggu depan berangkat ke Gombong mau...

The post Kisah di Balik Kerkhof Gombong (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Seorang rekan mengajak saya jalan, kali ini ke selatan Jawa Tengah, tepatnya Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Tujuan kami yakni menelusuri makam Belanda atau kerkhof di Gombong. 

“Bro, minggu depan berangkat ke Gombong mau nggak?” begitu ajakannya.

Saya pun lantas menanyakan tujuan, “Mau ke mana, Rumah Martha Tilaar, apa benteng?”

“Jelajah Kerkhof Gombong, bagimana, setuju tidak?”

“Wah, pasti, berangkat kita!”

Ia mengajak saya berangkat sehabis Subuh, katanya sekalian ngabuburit di Gombong. Saya pun mengiyakan. Sehari sebelum keberangkatan, ia mengingatkan jadwal. Maklum, kami berbeda kota. 

Pagi-pagi sekali, kami berangkat menuju titik kumpul yakni Stasiun Balapan Solo. Kami membeli tiket kereta api pergi-pulang dari Solo menuju Gombong dan sebaliknya. Dari sini, butuh waktu sekitar empat jam untuk tiba di Gombong.

Setibanya di Stasiun Gombong, ada seorang rekan yang menunggu. Awalnya kami sama-sama bingung, benar orang yang saya maksud atau bukan. Sampai akhirnya ia menyapa terlebih dulu.

Berkumpul di Rumah Martha Tilaar

Jelajah Kerkhof Gombong saya awali dari Rumah Martha Tilaar di Jalan Sempor Lama. Melangkah masuk halaman Rumah Martha Tilaar, Alona Ong dan Mas Sigit, rekan saya di Gombong menyambut kedatangan kami.

Persiapan jelajah Kerkhof Gombong berlangsung sekitar satu jam. Mulanya, kami beranjak ke jalan menuju kerkhof  di Jalan Sempor Lama, Semanding Gombong Kebumen. Dari Rumah Martha Tilaar menuju lokasi tidak sampai 10 menit, lokasinya juga tidak jauh dari Benteng Van Der Wijck.

Gapura sederhana berpagar besi siap dibuka, menanti kedatangan siapapun untuk berziarah. Selepas dipersilakan masuk, yang pertama kali saya lakukan adalah mengirim doa untuk mereka yang beristirahat dengan damai di sini. Tidak ada rasa takut saat saya menginjakan kaki dan melihat-lihat nisan yang tersisa.

Mausoleum Familie Van Burm: Makam Keluarga yang Tersisa di Kerkhof Gombong

Tengah mengabadikan setiap sudut dan nisan makam, mata saya tertuju pada satu makam yang terlihat lebih besar dari sekitarnya. Ternyata, nisan ini adalah makam keluarga—mausoleum familie van Burm.

Menengok ke dalam, mausoleum ini sudah rusak dan penuh sampah. Lebih tepatnya terbengkalai, dengan meninggalkan satu nisan milik Loucia Burm dan Pieter Peelen. 

Tanpa pikir panjang, saya langsung menghubungi Hans Boers. Menurut keterangannya, keluarga Van Burm tertua di Gombong adalah Charles Louis Burm kelahiran 27 September 1805, wafat 25 November 1895. Tidak diketahui tinggal di mana semasa hidupnya, hanya keterangan lahir dan wafat yang ditemukan. 

“Charles Louis Burm, menikah dua kali, pernikahan pertama dengan keluarga Hammerich, dan pernikahan kedua dengan keluarga Boomhoff,” jelasnya. “Cuma, semuanya tidak ditemukan catatan hidupnya.” 

Istri pertama Charles Louis Burm bernama Carolina Frederik Hammerich kelahiran 7 Maret 1838, wafat 5 Desember 1854. Pernikahan mereka dikaruniai sekitar 5 anak, salah satunya Loucia Burm kelahiran 12 Mei 1851. Istri kedua bernama C.W. Burm-Bomhoff kelahiran 23 September 1923, wafat 10 Oktober 1893.

Loucia Burm istri dari Pieter Peelen, seorang prajurit militer KNIL Gombog. Pieter Peelen kelahiran Den Haag 12 Januari 1837, wafat 10 Maret 1910. Pernikahan keduanya digelar di Karanganyar, Kebumen pada 02 Februari 1877. 

Pasca menikah mereka tinggal di Gombong dan mendirikan usaha penginapan bernama Hotel  Gombong. Sebuah penginapan prestisius di zamannya, tentunya. Selain usahanya Hotel Gombong, mereka juga membuka usaha jasa perjalanan wisata.

Wisata di Gombong? Kemungkinan iya. Wisata ke Geopark Karst Karangsambung dan Goa Jatijajar penuh dengan ornamen nama-nama orang Belanda yang bermukim di Kebumen dan sekitarnya.

Sepeninggal Loucia, penginapan yang mereka rintis berakhir. Hotel Gombong terjual pada tahun 1901, atas nama Mevrouw Loucia. Hotel dan jasa wisata dijual lagi oleh Pieter Peelen, namun hingga sepeninggal Pieter Peelen, Hotel Gombong belum laku. 

Makam Maria Anna Elisabeth Cooke

Dari mausoleum familie van Burm, saya melanjutkan menuju nisan tersisa lain. Tujuan selanjutnya yakni makam perempuan muda bernama Maria Anna Elisabeth Cooke. 

Maria Anna Elisabeth lahir pada 26 Februari 1882 dan wafat 18 Mei 1884. Maria Anna Elisabeth anak dari Richard Henry Cooke III dan Carolina Frederika Prager.

“Keluarga Cooke ini rekan dari saudara saya, sama-sama meninggal di Pulau Bawean, di atas kapal HMS de Ruyter tanggal 27 Februari 1942,” lanjut Hans Boers. 

Maria Anna Eliza Cooke
Nisan milik perempuan muda, Maria Anna Eliza Cooke/Ibnu Rustamadji

Pada nisan Maria Anna Elisabeth, terdapat ukiran heraldic rumit dalam kondisi rusak dan tidak mudah untuk dibaca kembali. Padahal kalau ukiran tersebut masih utuh, akan terlacak dimana dan siapa keluarga Maria Anna Elisabeth berasal.

Floris Kraake, Perwira Militer dari Gombong

Saya berhadapan dengan makam Floris Kraake, kelahiran Utrecht 23 Juni 1824, wafat di Gombong 9 Oktober 1886. Floris Kraake, putra Jacob Kraake dan Wilhelmina Elisabeth de Nigtere. Floris Kraake menikah dua kali. Pertama dengan Georgia Alexander dan kedua dengan istri Jawa, bernama Samiem di Karanganyar Kebumen, tanggal 29 Agustus 1877.

Georgia Alexander wafat di Semarang 2 Agustus 1868, dan memiliki anak Floris Karel dan Wilhelmus Jacobus. Floris Kraake wafat sebagai pensiunan ajudan militer di Semarang. Kedua anaknya, juga berprofesi sebagai perwira militer. 

Nisan Floris Kraak,
Nisan Floris Kraak, masih ada keluarga yang menziarahinya/Ibnu Rustamadji

Wilhelmus Jacobus Kraake, anak kedua Floris Karel dan Georgia Alexander, diketahui memiliki hubungan dengan Willem Hendrik Poepaart yang sama-sama perwira militer di Gombong. Saya langsung  menuju makam milik W. H. Poepaart.

Willem Hendrik Poepaart, Saksi Perang Aceh Pertama dari Gombong

Makam Willem Hendrik Poepaart berada di sudut kiri gerbang masuk Kerkhof Gombong. Bagian nisan bertuliskan, “Hier Rust. Mijn Dierbare Man en Vader Liner Dankbare Kinderen W.H. Poepaart, geboren 16 Agustus 1857, overladen 9 April 1936”. 

Saya kira nisan asli utuh, ternyata sudah pernah dirusak dan baru selesai diperbaiki. Nisannya bertuliskan, Di sini beristirahat, suami sekaligus ayah dari anak-anak terkasih Willem Hendrik (W.H) Poepaart, lahir 16 Agustus 1857, wafat 9 April 1936”.

Bagian atas nisan sejatinya patung dewi bergaya Yunani berbahan marmer Italia. Untung saja, patung dewi tersebut tidak hilang tapi hanya digeser demi keamanan. Patung dewi Yunani berada di sudut bawah makam W.H. Poepaart. 

W.H. Poepaart lahir di Belgia 16 Agustus 1857, dan wafat di Gombong 9 April 1936. “W.H. Poepaart menikahi perempuan Jawa bernama Karsina pada 21 September 1891 di Bagelen Purworejo dan. pernikahan mereka dikaruniai 12 anak,” lanjut Hans Boer. 

Anak-anaknya, diantaranya adalah Ronsina lahir di Gombong 1891 wafat tahun 1958 di Enschede, Gedion Frederik Teo seorang perwira militer kelahiran Gombong 9 November 1906. Selain itu, Johanna Catharina kelahiran Gombong 21 April 1896 istri dari Hendrikus Hendrik, Charles Hendrik kelahiran Gombong 3 Februari 1883. 

W.H. Poepaart merupakan perwira militer Gombong, penerima medali kehormatan dari Keraton Yogyakarta. Atas dasar apa, beliau mendapatkan medali kehormatan? Ternyata, yang pertama, W.H. Poepaart lulusan terbaik sekolah perwira militer Gombong. Tidak lama kemudian. W.H. Poepaart tergabung dalam ekspedisi Perang Aceh pertama 1873-1874, dan terlibat peperangan dengan rakyat Aceh dipimpin Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah. Pihak kolonial dipimpin oleh Kohler. 

Atas kontribusinya, W.H. Poepaart pensiun sebagai veteran Perang Aceh pertama. Tak ayal, beliau mendapat penghargaan yang luar biasa dari Keraton Yogyakarta. Adapun penghargaan yang diraihnya, Kraton-Medaille, Atjeh-Kruis, dan Zilveren Medaille. W.H. Poepaart memilih Gombong sebagai tempat peristirahatan terakhir karena “welk plaatsje hij zeer life had” artinya tempat yang sangat dicintai”

“Wilhelmus Jacobus Kraake, hadir dalam pemakaman rekan militernya, beserta rekan lama dan kenalan almarhum (W.H. Poepaart),” ucap Hans Boer. Pemakaman dilakukan secara militer, hanya ucapan terima kasih dari istri dan rekan W.H. Poepaart yang bergema. 

Jadi. W.H. Poepaart adalah warga Belgia, yang berkontribusi besar terhadap Gombong dan Indonesia secara luas melalui jasanya di bidang militer. 

Selain makam Van Burm, Maria Anna Elisabeth, Floris Kraake dan W.H. Poepaart, masih ada yang menarik untuk dikulik lebih jauh. Perjalanan saya dalam jelajah Kerkhof Gombong belum berakhir, nantikan kelanjutannya!

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah di Balik Kerkhof Gombong (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-di-balik-kerkhof-gombong-1/feed/ 0 36791