kerkop Belanda Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kerkop-belanda/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 01 Aug 2024 22:30:18 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kerkop Belanda Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kerkop-belanda/ 32 32 135956295 Menengok Peninggalan-Peninggalan Kolonial yang Tersisa di Kota Madiun https://telusuri.id/menengok-peninggalan-peninggalan-kolonial-yang-tersisa-di-kota-madiun/ https://telusuri.id/menengok-peninggalan-peninggalan-kolonial-yang-tersisa-di-kota-madiun/#respond Fri, 02 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42445 Tiba-tiba main ke Madiun. Begitu kira-kira kalimat yang pas untuk perjalanan singkat saya kali ini. Tujuan utama adalah melihat sejarah masa lalu di sekitaran alun-alun kota. Saya menempuh perjalanan dengan kereta api dari Solo. Setibanya...

The post Menengok Peninggalan-Peninggalan Kolonial yang Tersisa di Kota Madiun appeared first on TelusuRI.

]]>
Tiba-tiba main ke Madiun. Begitu kira-kira kalimat yang pas untuk perjalanan singkat saya kali ini. Tujuan utama adalah melihat sejarah masa lalu di sekitaran alun-alun kota. Saya menempuh perjalanan dengan kereta api dari Solo.

Setibanya di Madiun sekitar pukul 08.10 pagi, saya lekas menikmati sarapan sepincuk pecel legendaris khas Madiun. Usai sarapan dan melihat pameran kereta api di kantor Daerah Operasi (Daop) 7 Madiun, saya melangkahkan kaki sejauh 35 menit ke arah selatan, menuju alun-alun kota.

Saya ditemani Andrik Akira, pegiat sejarah dan putra asli Madiun. Selama penelusuran, lensa kamera tak henti mengabadikan peninggalan kolonial di Jalan Pahlawan.

Mengunjungi Kerkop Seniman Musik dan Film di Kota Madiun

Tujuan pertama saya ada di kerkop Madiun, Kecamatan Manguharjo. Ada sekitar 10 makam berbeda di sini, tetapi hanya satu yang membuat mata saya berpaling. Tanpa inskripsi nama, hanya batu blok besar.

Ternyata, batu nisan ini milik seorang perempuan kelahiran Jonggrangan, Klaten tahun 1868, yakni Mary Emmie Josephine Manuel. Ia putri dari pasangan Joseph August Manuel dan Elisabeth Janseen. Mereka tinggal di Madiun karena J. August  Manuel pindah tugas sebagai pengawas jalur kereta api Madiun–Solo. 

Mereka tinggal di Jalan Pahlawan, hingga orang tua Emmie J. Manual wafat. Ia pun lantas menjadi pewaris tunggal kediaman tanpa memiliki suami, keluarga, dan pelayan. Sampai dianggap perempuan aneh dan pelit, walau sejatinya tidak.

Menengok Peninggalan-Peninggalan Sejarah yang Tersisa di Kota Madiun
Tempat peristirahatan terakhir Mary Emmie Josephine Manuel di Kerkop Madiun tanpa nama dan nisan/Ibnu Rustamadji

Merujuk catatan yang Andrik temukan, Emmie J. Manuel penyumbang dana pengembangan balai kota dan pembangunan Schouwburg (teater atau gedung pertunjukan) Madiun. Ia juga memiliki saham sebesar 80.000 gulden di Indische Leening dan permata seharga 5.000 gulden.

Saking kayanya, ia pernah kerampokan permata dua kali. Semasa hidup ia dikenal sebagai seniman musik dan film yang eksentrik, sering bergaun panjang dengan korset ketika menonton film. Ia pandai bermain piano dan tergabung dalam Madiun Kunstkring atau Seniman Madiun. Sering kali ia bermain piano di tengah malam, diterangi lampu temaram.

Nasib tidak selamanya mujur. Emmie J. Manuel ditemukan wafat keesokan harinya oleh jongos—yang akan bekerja untuknya—tanpa diketahui sebabnya. Ketika dilakukan penyelidikan, ditemukan sepucuk surat wasiat di atas meja kamar tidur.

Inti isi surat menyatakan, Emmie J. Manuel mewariskan semua harta kepada pemerintah Madiun dan kediaman diwakafkan untuk pembangunan Schouwburg. Jika pemerintah tidak bisa menyanggupi, warisan akan diserahkan ke Panti Asuhan Gereja Katolik Madiun. Ia juga meminta agar pemerintah menjadi penanggung jawab pemakamannya dan meminta ia dikubur satu pusara bersama sang ibu.

Setelah dikabulkan oleh pemerintah, warisan dibagi dua dengan panti asuhan gereja Katolik. Pemerintah bertanggung jawab atas pemakaman dan meminta perusahaan marmer Ai Marmi Italiani Surabaya sebagai penyedia batu marmer untuk obelisk Emmie J. Manuel dan sang ibu seharga 2.000 gulden.

Makam Emmie J. Manuel dan sang ibu sejatinya berupa obelisk dengan hiasan guci di bagian atas, lalu bagian tengah bertuliskan inskripsi “Hier Rusten Mary Emmie Jozephine Manuel en haar Moeder Elisabeth Jensen”. Namun, sekarang tinggal bongkahan nisan besar berinskripsi “Ai Marmi Italiani” dan angka 622 yang setia menemani.

Kantor Bakorwil dan Tapak Jejak Benteng Tua yang Hilang

Bagi warga Madiun, kantor Badan Koordinasi Wilayah Pemerintahan dan Pembangunan (Bakorwil) 1 adalah istana merdeka-nya Madiun. Dianggap memiliki kemiripan dengan Istana Merdeka di Jakarta, tetapi berbeda fungsi dan masa lalunya.

Istana Merdeka dulunya bernama Paleis Koningsplein atau Istana Kerajaan, sedangkan Bakorwil I Madiun dahulu bernama Resident Huiz atau Rumah Residen. Tempat residen Belanda yang ditugaskan mengawasi wilayah Karesidenan Madiun. Residen Madiun yang pertama kali menempati adalah Loudewijk De Launy. Menurut data yang Andrik miliki, rumah Residen Madiun ini dibangun tahun 1831 di atas benteng tua di tepi Sungai Madiun.  

Menengok Peninggalan-Peninggalan Sejarah yang Tersisa di Kota Madiun
Tampak depan gedung Bakorwil 1 Madiun/Ibnu Rustamadji

Rumah residen dibangun bergaya indische empire dengan beranda lebar, ditopang pilar bergaya Yunani dengan balutan lantai marmer. Sebagai simbol hubungan dan legitimasi, bagian dalam dibangun aula dengan lukisan raja dan ratu Belanda.

Situasi rumah residen kala itu masih sepi, dikelilingi sawah yang berbatasan dengan hutan jati dan lereng Gunung Wilis. Ada sebuah catatan menarik yang ia temukan, yakni catatan seorang geolog Belanda bernama Franz Wilhelm Junghuhn. 

Dalam catatannya, tertanggal 13 Juni 1838, ia (Franz W. Junghun) menginap di sebuah bangunan kompleks kediaman residen yang serupa dengan benteng kecil. Kondisi saat itu masih sangat sepi, hanya ditinggali tiga orang Eropa. Menurutnya, kondisi demikian layaknya peternakan di Eropa yang dikelilingi padang rumput.

Ada juga catatan perjalanan pelancong Eropa lain yang menulis sebaliknya.  Tahun 1840, rumah residen yang berada di tepi Sungai Madiun bangunannya paling indah, tetapi kurang bersih. Lalu catatan tahun 1849 menyatakan rumah residen sangat indah dengan halaman luas.

Menengok Peninggalan-Peninggalan Sejarah yang Tersisa di Kota Madiun
Beranda depan berhias kolom bergaya Yunani/Ibnu Rustamadji

Namun, sayang keindahan rumah residen harus terkoyak ketika dilanda angin kencang pada Februari 1852. Perbaikan dilakukan setelahnya. Seorang pelancong Eropa bernama Van Gelder menuliskan rumah residen berada di kampung Eropa di Patoman Madiun dan merupakan bangunan yang sangat indah.

Lokasi rumah residen Madiun dulu adalah benteng pertahanan guna menghalau serangan pasukan Diponegoro ketika pecah Java Oorlog atau Perang Jawa 1825–1830. Benteng dibangun atas inisiatif Pierre Medard Diard, seorang tuan tanah dari Yogyakarta.

Setelahnya Ronggo Prawirodiningrat, bupati Madiun kala itu, menugaskan Raden Tumenggung Sosronegoro—seorang pegawai pajak di Madiun—untuk mendirikan benteng di Kartoharjo. Proses pembangunan dilaksanakan dengan dua bastion menghadap selatan dan utara untuk mengawasi rumah bupati.

Benteng selesai dibangun pada 1826 dengan empat bastion dan bernama Fort Blokhuis. Pasca Perang Jawa, benteng tidak difungsikan dan berubah menjadi rumah residen yang kelak disebut Bakorwil I Madiun.

Jalan Pahlawan di depan Bakorwil I Madiun, di masa lalu adalah bagian dari Jalan Pos (Postweg Daendels) Pantai Utara. Jalan Pahlawan dibangun untuk mempermudah akses pedalaman Jawa. 

Balai Kota Madiun, Jejak Karya Maestro Art Deco di Madiun

Gedung Balai Kota Madiun pertama kali ditempati seorang Asisten Residen Madiun bernama W. M. Ingenluyff pada 20 Juni 1919. Perencanaan awalnya dimulai 10 Oktober 1919, tetapi karena keterbatasan lahan dan biaya, rencana pembangunan ditangguhkan selama 10 tahun. 

Selama itu, kegiatan pemerintahan tetap aktif di kantor asisten residen. Puncaknya pada 27 Maret 1929, dengan menggandeng AIA Bureau Fremont-Buyer dari Batavia, di bawah pengawasan dinas permukiman Kota Madiun, rencana pembangunan balai kota kembali didengungkan. 

Pada Sabtu pagi (30 November 1929), digelar upacara peletakan batu pertama pembangunan balai kota oleh istri Hendrik Cornelis van den Bosch (residen Madiun saat itu) yang bernama  E. L. E. van den Bosch. Turut hadir pula pejabat pemerintah Madiun dan Batavia, lalu dilanjutkan doa bersama. 

Menengok Peninggalan-Peninggalan Sejarah yang Tersisa di Kota Madiun
Balai Kota Madiun bergaya art deco karya Marius Hulswit Freymont en Cuyper/Ibnu Rustamadji

Melalui laporan kegiatan pembangunan, perusahaan marmer italia Ai Marmi Italiani perwakilan kantor Surabaya dan Mevrouw Mia Lyons turut serta menyumbang ide desain interior gedung. Mia Lyon merupakan pelukis kenamaan Yogyakarta beraliran realisme. Ia juga turut menyempurnakan rancangan balai kota Madiun bersama rekan kerjanya di Yogyakarta. Salah satunya memberikan lukisan 12 zodiak pada bagian panel jendela dan lampu gantung warna. Sementara Ai Marmi Italiani bertugas menghias seluruh bangunan dengan lantai marmer. 

Ruang kerja dirancang sangat tenang dengan hiasan panel kayu jati setinggi dua meter dan berhias lampu kaca patri. Tanpa kendala berarti, gedung balai kota Madiun akhirnya selesai dan upacara peresmian digelar pada 1 Januari 1930 dengan jamuan santap siang dan gelaran musik Eropa.

H. C. van den Bosch, dalam catatan yang Andrik miliki, berharap balai kota Madiun menjadi gedung terindah di Karesidenan Madiun. Ia mengucapkan terima kasih atas karya ketiga maestro tersebut hingga akhirnya berdiri megah di selatan rumah residen (kantor Bakorwil I Madiun).

Jejak Kediaman Kapitan Tionghoa yang Tersisa di Madiun

Tujuan akhir perjalanan ini adalah kediaman kapitan Tionghoa Madiun, Njoo Swie Lian, tepat di selatan alun-alun. Njoo Swie Lian, selain menjabat sebagai kapitan, juga bekerja di perusahaan perkebunan jati di Madiun dan pengawas jalur kereta api di Bangil.

Ia memiliki beberapa istri, satu di antaranya Njoo Hong Siang. Njoo Swie Lian wafat di usia 55 tahun pada 17 Februari 1930. Upacara pelepasan jenazah digelar pada 26 Februari 1930, pukul 08.15 pagi di kediamannya saat ini. Prosesi pemakaman digelar pukul 10.00 di pemakaman Tionghoa Mangoenharjo, Madiun.

Menengok Peninggalan-Peninggalan Sejarah yang Tersisa di Kota Madiun
Bekas kediaman kapitan Madiun Njoo Swie Lian/Ibnu Rustamadji

Kabar duka itu disampaikan sang istri yang menyusul wafat lima tahun kemudian. Satu hal yang menarik dari masa lalu rumah ini adalah cerita wafatnya Njoo Hong Siang di tahun 1935.

Upacara pelepasan dan pemakaman dihadiri ratusan peziarah, di antaranya Pangeran Hangabehi beserta sang istri, Raden Ayu R. M. A Josodipoero mewakili Sunan Pakubuwono X. Turut hadir pula Raden Ayu Hardjosoebroto mewakili Pangeran Arya Mangkunegara IX. Dari pihak pemerintah Belanda yang hadir antara lain residen dan asisten residen, ketua landraad Madiun, pengurus pabrik gula Madiun, bupati Magetan, dan bupati Ngawi. Karangan bunga berjejer rapi memenuhi halaman.

Iring-iringan pembawa jenazah berangkat dari rumah duka menggunakan kereta layon atau kereta duka. Jenazah Njoo Hong Siang dimakamkan di samping mendiang suami.

Saat ini, bentuk asli kediaman sang kapitan masih dipertahankan. Namun, kini sudah beralih fungsi menjadi coffee shop kekinian.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menengok Peninggalan-Peninggalan Kolonial yang Tersisa di Kota Madiun appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menengok-peninggalan-peninggalan-kolonial-yang-tersisa-di-kota-madiun/feed/ 0 42445
Kisah yang Terlupakan dari Kerkop C. H. Schukking dan Pabrik Gula Gembongan Kartasura https://telusuri.id/kisah-yang-terlupakan-dari-kerkop-c-h-schukking-dan-pabrik-gula-gembongan-kartasura/ https://telusuri.id/kisah-yang-terlupakan-dari-kerkop-c-h-schukking-dan-pabrik-gula-gembongan-kartasura/#comments Mon, 01 Jan 2024 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40777 Tempo hari setelah menyempatkan singgah di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, tiba-tiba rekan memberikan kabar mengenai dugaan kerkop di Kartasura. Rasa penasaran saya makin terpacu mendengar hal tersebut. Tidak perlu waktu lama, saya segera meminta koordinat...

The post Kisah yang Terlupakan dari Kerkop C. H. Schukking dan Pabrik Gula Gembongan Kartasura appeared first on TelusuRI.

]]>
Tempo hari setelah menyempatkan singgah di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, tiba-tiba rekan memberikan kabar mengenai dugaan kerkop di Kartasura. Rasa penasaran saya makin terpacu mendengar hal tersebut. Tidak perlu waktu lama, saya segera meminta koordinat tempat terduga kerkop tersebut berada.

“Menurut peta lama Leiden, ada di Singopuran. Sebelah barat Pabrik Gula Gembongan,” ungkap teman saya. 

“Wah, menarik ini,” timpal saya. Posisi yang tidak jauh dari gula tersebut berarti menunjukkan mungkin dulunya bekerja sebagai pengawas perkebunan.

Sekitar dua hari kemudian, saya putuskan untuk menjelajahi Desa Singopuran. Layaknya sebuah desa, akses jalan terhubung satu sama lain. Awalnya saya pesimis jika kerkop berada di sini. Setelah hampir seharian berkeliling, saya tidak menemukan adanya dugaan atau bekas reruntuhan kerkop.

Tiga hari kemudian, berbekal rasa ingin tahu dan penasaran, saya putuskan memetakan sendiri di mana dugaan kerkop berada. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Setelah berkutat dengan peta lama keluaran Leiden tahun 1934, akhirnya saya berhasil menemukan jawaban. Kerkop ini terletak di Desa Wirogunan.

Kisah yang Terlupakan dari Kerkop C. H. Schukking dan Pabrik Gula Gembongan Kartasura
Sendang Wirogunan yang berada tepat di selatan makam Wirogunan Kulon/Ibnu Rustamadji

Makam Wirogunan Kulon, Peristirahatan Terakhir Keluarga C. H. Schukking

Desa Wirogunan berjarak sekitar empat kilometer ke barat dari Pabrik Gula Gembongan. Perbatasan antara Kecamatan Colomadu dan Kabupaten Boyolali. Pabrik Gula Gembongan pun merupakan peninggalan Belanda.

Dari jalan utama Solo—Semarang menuju makam melalui Jalan Kranggan. Seperti biasa, saya menggunakan GPS—Gunakan Penduduk Setempat.

“Oh, iya ada, tapi kayaknya bukan makam orang Belanda. Tapi saya juga tidak tahu siapanya, masih ada nisan beraksara Jawanya,” ujar salah satu warga.

Ia lantas menunjukan jalan menuju kerkop yang saya cari. “Lurus mengikuti jalan ini (Jalan Kranggan) ke utara, jangan belok sebelum menyeberang jembatan. Setelah jembatan, langsung belok kiri ikuti jalan hingga bertemu Sendang Wirogunan, di depan sendang ada makam Wirogunan Kulon. Di situlah dugaan kerkop berada.”

Setelah mengikuti petunjuk jalan, tibalah saya di makam Wirogunan Kulon. Ada inskripsi di atas pintu gerbang masuk makam. Tidak ada salahnya saya mencoba menengok ke dalam, siapa tahu ada warga sedang berziarah.

Pertama kali menyusuri, mata langsung tertuju pada deretan cungkup di ujung utara. Saya langsung bergumam, wah, berarti rekan kemarin ngajak melawak, koordinat lokasi yang dikirim keliru. Bukan Singopuran, melainkan Wirogunan.  Satu di antara makam Islam Jawa di sini merupakan kerkop yang saya cari. 

Segera saya mendokumentasikan dengan segala kondisi yang ada. Tidak lupa saya kirimkan ke Hans Boer, untuk saling melengkapi informasi makam Belanda yang terlupakan.

Kisah yang Terlupakan dari Kerkop C. H. Schukking dan Pabrik Gula Gembongan Kartasura
Batu nisan berepitaf Jawa milik Nyonya Rasina dan salah satu anaknya/Ibnu Rustamadji

Moeder mijner Kinderen, C. H. Schukking. Begitu inskripsi yang tersisa dari batu nisan makam. Merujuk informasi dari Hans Boers, artinya batu nisan milik istri dari C. H. Schukking, yakni seorang perempuan Jawa bernama Nyonya Rasina.

C. H. Schukking kelahiran Batavia, merupakan putra dari Hendrik Schukking dan Gritje Leemkuil. Adapun Nyonya Rasina kelahiran Yogyakarta. Tidak ada yang tahu pasti tanggal kelahiran keduanya. Hanya mengenai tahun pernikahannya, yakni Februari 1869, terselenggara di Batavia.

Sekitar empat tahun pascapernikahan, C. H. Schukking dan sang istri pindah ke Kartasura, karena Schukking bekerja sebagai pengawas perkebunan di Pabrik Gula Gembongan. Pabrik ini memproduksi gula merah, menggantikan pabrik sebelumnya di Dukuh Krambilan, yang di kemudian hari menjadi Pabrik Gula Colomadu.

Dalam pengawasannya, produksi gula merah meningkat signifikan hingga menembus pangsa pasar Eropa di tahun pertama pembukaan pabrik tahun 1899. Tahun 1902 menjadi puncak kesuksesan Schukking. Tidak lama kemudian, ia mengajukan cuti selama enam bulan untuk rehat di Eropa.

Izin cuti diberikan oleh perusahaan. Sebagai gantinya jabatan sementara dipegang oleh Tuan J. L. Bulb. Setahun setelah cuti, ia mengajukan izin pengunduran diri karena kondisi kesehatan mulai menurun. 

Menariknya, sekitar enam bulan sebelum rehat di Eropa, ia membuat suatu gebrakan bersama G. E. V Vreede, pengawas Pabrik Gula Bangak, dan Francois Ord (F. O) Marshall, pemilik perkebunan Brajan, Boyolali. 

Mereka meminta konsesi perusahaan trem milik Solosche Tramweg Maatschappij (SoTM), yang pada masanya berfungsi sebagai angkutan barang dan karyawan dari dan menuju perkebunan di Vorstenlanden Surakarta (Solo kala itu). Permintaan tersebut mereka sampaikan di Societeit Harmonie Solo, di hadapan sang ketua, yakni Sie Dhian Ho dan wakilnya C. F. Happe. Permintaan diwarnai perbedaan pendapat antaranggota yang terlibat, termasuk perusahaan trem.

Kisah yang Terlupakan dari Kerkop C. H. Schukking dan Pabrik Gula Gembongan Kartasura
Cungkup makam Nyonya Rasina, istri C. H. Schukking/Ibnu Rustamadji

Menurut data mengenai Schukking yang Hans miliki, tercatat Tuan Schukking bersikeras meminta agar karyawan perkebunan tidak terlambat datang dan mempermudah akses keluar masuk hasil perkebunan. Perbedaan pendapat lalu mereda, sehingga permintaan mereka pun terpenuhi dengan syarat bagi hasil.

Salah satu bukti perusahaan trem memenuhi permintaan mereka tersimpan jelas di Desa Bangak, Boyolali. Tepat di barat Pabrik Gula Bangak—saat ini milik perusahaan percetakan buku PT Solo Murni (KIKY)—terdapat reruntuhan halte trem untuk penumpang karyawan perkebunan.

Halte trem utama milik SoTM berada di pusat kota Boyolali. Adapun jalur trem kala itu bermula dari Stasiun Purwosari Solo, lalu melalui Kartasura hingga berakhir di Boyolali. Atau sepanjang Jalan Raya Solo—Boyolali saat ini.  Pabrik Gula Bangak dan Pabrik Gula Gembongan berdiri di tepi jalur trem tersebut.

Saya sempat bercanda pada Hans, “Halte trem Bangak sekarang jadi warung soto Kirun. Kalau libur saya sering jajan di situ, Pak.”

Roda kehidupan terus berputar. Karir sedang melejit. Akan tetapi, karena kesehatan makin menurun, C. H. Schukking memutuskan mengundurkan diri sebagai pengawas Pabrik Gula Gembongan. Ia rehat hingga wafat pada 21 Juni 1904 di Wirogunan, Kartasura. 

Kisah yang Terlupakan dari Kerkop C. H. Schukking dan Pabrik Gula Gembongan Kartasura
Makam tanpa batu nisan (paling depan) yang diduga milik C. H. SchukkingIbnu Rustamadji

Ada dugaan makam C. H. Schukking tanpa nisan dan terletak di sebelah barat makam sang istri di makam Wirogunan Kulon. Tidak diketahui pasti sebab Nyonya Rasina wafat. Yang jelas, ia adalah eorang perempuan priayi. Batu nisan pusaranya beraksara Jawa, tidak seperti makam Islam Jawa lain yang menggunakan aksara latin.

Puas mengabadikan makam kedua mendiang, tidak lupa saya kirimkan doa.  Setelahnya perjalanan saya berlanjut mencari kompleks kediaman Schukking dan istri di sekitar Desa Wirogunan. Namun, sayang seribu sayang saya tidak berhasil menemukannya. 

Saya memutuskan mengakhiri penelusuran makam Schukking. Selanjutnya saya menyambangi dan mengabadikan Pabrik Gula Gembongan di Dukuh Tegalmulyo, Honggobayan, Pabelan, sekitar empat kilometer ke arah timur dari Desa Wirogunan.

Kisah yang Terlupakan dari Kerkop C. H. Schukking dan Pabrik Gula Gembongan Kartasura
Struktur cerobong asap Pabrik Gula Gembongan tampak masih kokoh dan menjulang/Ibnu Rustamadji

Yang Tersisa dari Pabrik Gula Gembongan

Pabrik Gula Gembongan berdiri sekitar tahun 1899, dimiliki oleh perusahaan perkebunan swasta bernama Kartasoera Cultuur Maatschappij. Secara kasatmata bangunannya masih utuh dan tampak jejak pembangunan yang dilakukan bertahap.

Saya memasuki areal pabrik ditemani Widodo, penjaga pabrik. Terlihat bangunan yang ada di dalam kawasan tersebut dibangun bergaya art deco. Ada gedung yang dibangun pada 1918 hingga 1920, ada pula yang berdiri sekitar 1930-an.

Saya mengabadikan sisa kejayaan Pabrik Gula Gembongan cukup lama. Selama ini mungkin tidak banyak warga mengetahui kisahnya. Kisah mengenai Pabrik Gula Gembongan mungkin suatu saat akan saya ceritakan lebih detail.

Warga Gembongan memercayai pabrik ini merupakan pabrik tembakau, padahal sejatinya bukan. Widodo pun awalnya juga berpikir demikian. Namun semenjak beliau bertugas menjaga pabrik, ia mulai memahami pabrik tersebut memproduksi gula.

Ketika kami mengobrol, beliau bercerita banyak pengalaman masa kecil hidup di lingkungan pabrik gula. Salah satunya nyolong (mencuri) tebu di atas kereta lori yang melintas. Tanpa saya duga sebelumnya, beliau juga sempat menunjukkan kepada saya keberadaan bungker di dalam Pabrik Gula Gembongan.  

Maka nikmat Tuhan mana yang engkau dustakan, batin saya. Setelah sebelumnya ziarah pusara C. H. Schukking, kini dipungkasi dengan kesempatan menelusuri Pabrik Gula Gembongan. Rasanya jika obrolan kami berlanjut, tidak cukup sehari selesai. Setelah puas, saya berpamitan dengan Widodo dan memotret tampak depan pabrik gula dari luar untuk terakhir kalinya.

Kisah yang Terlupakan dari Kerkop C. H. Schukking dan Pabrik Gula Gembongan Kartasura
Salah satu sudut bagian dalam Pabrik Gula Gembongan Kartasura/Ibnu Rustamadji

Pabrik Gula Gembongan, kini menjadi The Heritage Palace tanpa mengubah kondisi asli pabrik kala itu. Nasibnya pun lebih beruntung daripada kerkop sang pengawas, yaitu C. H. Schukking. Meski begitu, saya cukup bersyukur masih dapat menemukan dan mengenalkan ke khalayak meski kondisinya tidak sempurna.

Warga Wirogunan pun sepertinya tidak mempermasalahkan keberadaan pusara Schukking di makam Wirogunan Kulon. Hal ini terbukti dengan kondisi nisan sang istri yang awalnya sudah terkoyak, tidak semuanya lantas dirusak sehingga warga menggantinya dengan nisan baru. Termasuk nisan tanpa nama di sebelah barat.

Besar harapan saya kepada warga Wirogunan untuk tetap menjaga makam keluarga Schukking di desanya. Semoga dengan sedikit cerita ini, anak dan keturunannya di luar sana dapat membaca dan mengetahui keberadaan moyang mereka.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah yang Terlupakan dari Kerkop C. H. Schukking dan Pabrik Gula Gembongan Kartasura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-yang-terlupakan-dari-kerkop-c-h-schukking-dan-pabrik-gula-gembongan-kartasura/feed/ 1 40777