kesultanan demak Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kesultanan-demak/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 29 Jul 2024 08:47:17 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kesultanan demak Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kesultanan-demak/ 32 32 135956295 Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara https://telusuri.id/masjid-mantingan-potret-akulturasi-budaya-dan-agama-di-jepara/ https://telusuri.id/masjid-mantingan-potret-akulturasi-budaya-dan-agama-di-jepara/#respond Sat, 27 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42407 Legasi Kesultanan Demak di Jepara, Jawa Tengah antara lain menyuguhkan keragaman budaya Jawa, Cina, Islam, Hindu, dan Buddha. Di sini juga terdapat makam para pejuang dan tokoh penguasa Islam, yakni Ratu Kalinyamat, Sultan Hadirin, dan...

The post Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara appeared first on TelusuRI.

]]>
Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara
Tampak depan Masjid Mantingan atau Astana Hadlirin Jepara (Laily Nihayati)

Legasi Kesultanan Demak di Jepara, Jawa Tengah antara lain menyuguhkan keragaman budaya Jawa, Cina, Islam, Hindu, dan Buddha. Di sini juga terdapat makam para pejuang dan tokoh penguasa Islam, yakni Ratu Kalinyamat, Sultan Hadirin, dan Raden Abdul Jalil atau dikenal dengan Sunan Jepara.

Bulan lalu saya dan keluarga mengunjungi bulik yang tinggal di “Kota Ukir” tersebut. Selain bersilaturahmi, kami berniat berburu ukiran untuk menghias rumah. Zaki, sepupu saya berbaik hati mengantar kami ke sentra-sentra ukir di Jepara. Saya membeli beberapa vas dan tempat aksesoris yang dihias ukiran indah, sementara kakak saya membeli kaligrafi yang dibingkai dengan kayu berukir.

Menjelang Zuhur, Zaki mengajak kami ke sebuah masjid. Lokasinya berada di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Jepara. Dari pusat kota Jepara, jaraknya sekitar lima kilometer arah selatan. Sesuai dengan lokasi, masjid ini bernama Masjid Mantingan atau dikenal juga dengan Masjid Astana Sultan Hadlirin.

Gapura lengkung bertulis kalimat syahadat menyambut. Kami menaiki tangga berundak untuk masuk ke halaman masjid. Suasana asri langsung terasa begitu menapakkan kaki di halaman masjid yang banyak ditumbuhi tanamanan. Kendi-kendi berjajar rapi menghias latar masjid. Zaki bercerita, kendi-kendi tersebut menyimpan air yang dipercaya masyarakat Jepara bertuah untuk menguji kejujuran seseorang setelah meminumnya. 

Perpaduan Kekayaan Budaya

Azan berkumandang. Kami langsung menuju tempat untuk berwudu dan bersiap melaksanakan salat Zuhur berjamaah. Usai ibadah, saya beranjak menuju dinding masjid yang dihiasi dengan panel relief. Saya amati bentuk-bentuknya yang beragam. Ada yang persegi, lingkaran, geometris, dan heksagon. Menariknya, di dalam panel-panel ini terdapat relief beraneka motif, mulai dari sulur, bunga, daun, untaian tali, bangunan, candi hingga binatang yang distilir (disamarkan).

Teknik stilir tersebut menunjukkan peralihan seni Hindu-Buddha ke Islam yang melarang menggambarkan makhluk bernyawa. Adapun relief geometris dan flora (sulur-suluran tumbuhan) merupakan adaptasi dari seni kaligrafi. 

Panel relief tidak hanya terdapat di dinding depan masjid, tetapi juga ada di dinding belakang dan dinding pembatas antara ruangan tengah dengan ruang di samping kiri dan kanan. Saya hitung jumlahnya ada 51 panel relief yang terpasang. Zaki mengatakan totalnya ada 114 panel relief, sisanya disimpan dalam sebuah museum sederhana di samping masjid.

Tidak hanya panel relief yang menarik perhatian, arsitektur bangunan masjidnya pun menawan. Atapnya berbentuk tumpang, disangga dengan empat tiang atau soko guru. Terdapat mustaka di atasnya, khas masjid kuno Jawa. Masjid ini memiliki lantai tinggi yang ubin dan undak-undakannya didatangkan langsung dari Makau. Pengaruh seni Cina yang lain terlihat pada piring-piring tembikar berwarna biru yang menghiasi dinding luar masjid. 

Jejak agama dan budaya Hindu juga tampak di area masjid seluas 2.935 meter persegi ini. Di antaranya gapura yang berbentuk lengkungan sebagai pintu masuk kawasan masjid, gerbang Candi Bentar pada makam, dan beberapa petilasan candi meski kini tak utuh lagi.

  • Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara
  • Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara

Jejak Sejarah Kesultanan Demak 

Masjid Mantingan dibangun pada era Kesultanan Demak. Melalui prasasti “Rupa Brahmana Warna Sari” yang terukir di mihrab, diketahui pembangunan masjid tertua kedua setelah Masjid Agung Demak ini rampung pada 1481 Saka atau 1559 Masehi. 

Pembangunan masjid tersebut diinisiasi oleh Ratu Kalinyamat. Dikutip dari buku Sejarah dan Hari Jadi Jepara (1988), nama asli Ratu Kalinyamat adalah Retno Kencono. Ia adalah putri dari Sultan Trenggono (1521–1546), pemimpin kerajaan Islam Demak. 

Sebelum diangkat menjadi sultan di Demak, Trenggono pernah menjabat sebagai bupati di Jepara. Di masa itulah, Pangeran Toyib—putra dari Sultan Aceh yang bernama Mughayat Syah—datang ke Jepara untuk berdakwah. 

Pangeran Toyib dikenal sebagai seorang ulama sekaligus saudagar yang gemar berkelana menuntut ilmu hingga ke mancanegara. Salah satu negara yang ia singgahi adalah Campa, Tiongkok. Di sana ia diangkat menjadi anak seorang menteri kerajaan Campa bernama Tjie Hwio Gwan. Pangeran Toyib mendapat nama baru Tjie Bin Thang atau Win-tang dalam ejaan Jawa.

Kemudian, Win-tang dan Tjie Hwio Gwan hijrah ke Jepara. Mereka mendirikan desa Kalinyamat. Win-tang lalu dikenal dengan nama Pangeran Kalinyamat. Kehadiran mereka disambut baik oleh bupati Jepara. Singkat cerita, sang bupati menikahkan putrinya, Retno Kencono dengan Pangeran Kalinyamat. Ratna Kencana pun mendapat gelar sebagai Ratu Kalinyamat. Mereka berdua memimpin kerajaan Kalinyamat yang berada dalam wilayah Jepara.

Saat masuk menjadi anggota keluarga Kesultanan Demak, Pangeran Kalinyamat dianugerahi gelar Sayyid Abdurrahman Ar Rumi atau Sultan Hadlirin. Ia diberi gelar Sultan Hadlirin, yang artinya “Raja Pendatang” karena asal-usulnya bukan merupakan orang Jawa asli.

Ketika Trenggono diangkat menjadi sultan Demak, Jepara diserahkan kepada Pangeran dan Ratu Kalinyamat. Wilayah kekuasaan Kerajaan Kalinyamat meluas meliputi Jepara, Kudus, Pati, Mataram (Jogja dan Solo yang masih hutan belantara). Di bawah kepemimpinan keduanya, Kerajaan Kalinyamat mencapai masa kejayaannya. 

Ayah angkat Pangeran Kalinyamat, Tjie Hwio Gwan turut membantu pemerintahaan kerajaan Kalinyamat dan menjadi patih bergelar Sungging Badar Duwung. Ia juga yang mengajarkan seni ukir pada penduduk Jepara.

Perebutan Takhta dan Kematian Sultan Hadlirin

Sultan Hadlirin memimpin Kerajaan Kalinyamat sampai tahun 1549. Ia tewas di tangan utusan Arya Penangsang yang berupaya berebut takhta kerajaan Demak. Semua berawal dari perseteruan antara anak-anak Raden Patah (Jin Bun), raja pertama Kesultanan Demak.  Raden Patah memiliki enam putra dari tiga istrinya: Pangeran Sabrang Lor, Pangeran Surowiyoto, Pangeran Trenggono, Raden Kanduruwan, dan Raden Pamekas.

Sepeninggal Raden Patah, takhta diturunkan kepada Pangeran Sabrang Lor atau dikenal dengan Pati Unus. Penobatan ini tidak ada yang menentang. Semua berlancar mulus lantaran Pati Unus merupakan putra mahkota tertua dari istri pertama. Secara silsilah memang dia yang paling berhak menduduki tampuk kekuasaan. 

Api pertikaian mulai tersulut ketika Pati Unus mangkat atau wafat pada 1521 tanpa meninggalkan putra. Terjadilah perebutan takhta antara Pangeran Surowiyoto dan Pangeran Trenggono. 

Kedua belah pihak saling mengklaim paling berhak menjadi pemimpin kesultanan Demak. Pangeran Surowiyoto atau yang dikenal juga dengan Raden Kikin merasa berhak menggantikan Pangeran Sabrang Lor karena dialah yang berusia paling tua. Masalahnya, Raden Kikin adalah putra dari istri ketiga. Sementara Trenggono, walaupun usianya lebih muda, tetapi ia merupakan anak dari istri pertama Raden Patah. 

Perseteruan kedua putra raja dan para pendukungnya tersebut berlangsung sengit hingga menumpahkan darah. Raden Kikin tewas dibunuh oleh anak buah Sunan Prawoto yang tidak lain adalah putra sulung dari Trenggono. Mahkota pun jatuh ke Trenggono. Perebutan kekuasaan antara putra Jin Bun ini tercatat dalam kronik Tionghoa dari klenteng Sam Po Kong di Semarang dengan tarikh tahun 1521.

  • Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara
  • Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara

Sultan Trenggono tewas dalam perang Panarukan tahun 1546. Meninggalnya Sultan Trenggono ini membuka kesempatan Arya Penangsang, putra Raden Kikin untuk merebut takhta. Dalam buku Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia (2020) karya Binuko Amarseto, disebutkan Arya Penangsang memiliki dendam kesumat terhadap keluarga Sultan Trenggono, terutama Sutan Prawoto yang menjadi dalang terbunuhnya ayahanda. 

Arya Penangsang pun bersiasat mengirim anak buahnya yang bernama Rangkud untuk membalas kematian ayahnya. Dalam Babad Tanah Jawi, dikisahkan bahwa pada tahun 1549 Rangkud berhasil menyusup ke dalam kamar tidur Sunan Prawoto dan berhasil membunuhnya. Rangkud juga tewas terkena tusukan keris Sunan Prawoto. Tidak berhenti menyingkirkan Sunan Prawoto, Arya Penangsang juga membunuh Adipati Jepara, Sultan Hadlirin yang dianggap sebagai kandidat kuat Sultan Demak berikutnya.

Kematian Sultan Hadlirin membuat Ratu Kalinyamat sedih dan murka. Ia bersumpah akan bertapa hingga Arya Penangsang terbunuh. Untuk mengatasi kesedihannya, Ratu Kalinyamat membuatkan makam serta masjid di daerah Mantingan yang dipersembahkan untuk suaminya, Sultan Hadlirin. 


Referensi

Amarseto, B. (2020). Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Istana Media.
Na’am, M. F. (2018). Pertemuan antara Hindu, Cina dan Islam pada Ornamen Masjid dan Makam Mantingan Jepara. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten jepara.
Olthof, W. L. (2014). Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647. Yogyakarta: Narasi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/masjid-mantingan-potret-akulturasi-budaya-dan-agama-di-jepara/feed/ 0 42407
Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1) https://telusuri.id/serpihan-cerita-api-abadi-mrapen-dari-masa-ke-masa-1/ https://telusuri.id/serpihan-cerita-api-abadi-mrapen-dari-masa-ke-masa-1/#respond Tue, 19 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41418 Api abadi Mrapen adalah sebuah objek wisata yang berada di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Tepatnya di Desa Manggarmas, Kecamatan Godong. Lokasinya sangat strategis karena berada di pinggir Jalan Raya Purwodadi—Semarang, hanya masuk sekitar 100 meter....

The post Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Api abadi Mrapen adalah sebuah objek wisata yang berada di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Tepatnya di Desa Manggarmas, Kecamatan Godong. Lokasinya sangat strategis karena berada di pinggir Jalan Raya Purwodadi—Semarang, hanya masuk sekitar 100 meter.

Objek wisata ini pernah menjadi primadona—setidaknya destinasi wisata kebanggaan masyarakat Grobogan—selain Bledug Kuwu. Tahun 1980-an atau 1990-an, api abadi Mrapen masih banyak dikunjungi wisatawan.

Bahkan hingga tahun 2000-an, objek wisata tersebut masih banyak dikunjungi. Namun, seiring waktu pamor api abadi Mrapen semakin lama semakin meredup. Pada 2012 Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah mengambil alih pengelolaannya. Pemprov membeli lahannya dari kepemilikan pribadi, kemudian dibangun menjadi lebih “wah” dan dilengkapi Gelanggang Olahraga (GOR).

Kendati demikian, hal itu ternyata tidak serta-merta bisa mendongkrak pamornya. Apalagi sejak pagebluk COVID-19 melanda dunia. Pamor dan tingkat kunjungan pun kian menurun.

Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1)
Pengunjung mendokumentasikan lokasi api abadi Mrapen/Badiatul Muchlisin Asti

Fenomena Geologi

Api abadi Mrapen sendiri adalah sebuah objek wisata yang berbasis fenomena geologi. Di dalamnya terdapat tiga daya tarik, yaitu api abadi Mrapen (objek utama), Sendang Dudo, dan Batu Bobot. 

Api abadi Mrapen merupakan api alam yang menyala di atas tanah dan timbul karena adanya gas yang keluar dari dalam tanah. Pusat semburan gas memiliki diameter sekitar 1,5 meter. Meski diberi nama api abadi, tetapi api ini sebenarnya bisa padam. Misalnya, bila terjadi hujan lebat yang disertai angin kencang. Namun, jika api mati, api bisa dihidupkan kembali dengan cara menyulutnya menggunakan korek api. Sebuah data menunjukkan, dulu, pijaran api abadi Mrapen tergolong besar. Pada 1992 intensitas debit gasnya pernah mengecil, tetapi tidak sampai membuat padam. 

Pada September 2020, untuk pertama kalinya dalam sejarah, api abadi Mrapen sempat padam total akibat eksploitasi gas di sekitarnya oleh warga. Namun, akhirnya api abadi berhasil dihidupkan kembali pada April 2021.

Kemudian Sendang Dudo, sebuah telaga, airnya keruh dan berwarna kekuning-kuningan serta bergelembung. Seperti kondisi air yang sedang mendidih, tetapi airnya tidak panas. Gelembung-gelembung udara itu berasal dari gas yang keluar dari tanah. Letupan gas itu akan menyala bila terkena pijaran api, sehingga dimungkinkan gas tersebut adalah gas yang ada pada api abadi Mrapen.

Dalam buku Menyingkap Peninggalan Sunan Kalijaga di Mrapen yang diterbitkan oleh Tourist Information Center (TIC) Provinsi Jawa Tengah, dari hasil penelitian di laboratorium ditemukan bahwa air Sendang Dudo banyak mengandung mineral, mulai dari kalsium, besi, hingga magnesium. Oleh karena itu air Sendang Dudo kerap digunakan untuk mengobati penyakit kulit, seperti gatal-gatal dan eksim. 

Adapun Batu Bobot, menurut cerita dulunya adalah umpak atau landasan tiang bangunan Kerajaan Majapahit yang hendak dibawa ke Kesultanan Demak. Namun, Sunan Kalijaga dan rombongan meninggalkannya karena berat dan menghambat perjalanan. Batu ini kemudian digunakan Empu Supo sebagai paron atau landasan untuk membuat keris. Berat batu bobot kurang lebih 20 kilogram.

  • Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1)
  • Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1)

Legenda Terjadinya Api Abadi Mrapen

Cerita asal-usul terjadinya api abadi Mrapen yang berkembang di masyarakat selama ini lebih bersifat legenda. Dalam perkembangannya, kisah genealogis yang seharusnya bersifat faktual (fakta historis) itu bercampur dengan pelbagai mitos. Keberadaan api abadi Mrapen sendiri dikaitkan dengan perjalanan pulang rombongan Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga setelah dari Kerajaan Majapahit.

Menurut cerita, hikayat asal mula api abadi Mrapen terjadi pada masa akhir Kerajaan Majapahit. Sebagai kerajaan penakluk—banyak sejarawan yang menolak narasi yang menyebutkan bahwa Kesultanan Demak pernah melakukan serangan dalam rangka menaklukkan Kerajaan Majapahit—Kesultanan Demak di bawah Sultan Fattah, raja pertamanya, bermaksud memindahkan benda-benda berharga milik Kerajaan Majapahit. Pemindahan itu dilakukan oleh rombongan yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga.

Ketika rombongan hendak sampai Demak, mereka singgah sejenak untuk beristirahat di sebuah tempat. Saat mereka hendak memasak untuk kepentingan konsumsi rombongan yang sudah mulai lapar, mereka tidak mendapati air dan api. Sebab tempat mereka singgah memang jauh dari permukiman warga.  

Menyadari hal itu, Sunan Kalijaga lalu berdoa dan menancapkan tongkatnya ke tanah. Ketika dicabut, keluarlah api yang menyala terus-menerus. Sunan Kalijaga kemudian berjalan agak ke timur dan kembali menancapkan tongkatnya ke tanah. Ketika tongkat dicabut, menyemburlah air yang sangat jernih.

Para pengikut Sunan Kalijaga pun sangat senang melihat hal itu. Mereka dapat memanfaatkan api dan air itu untuk memasak dan mencukupi kebutuhan minum mereka. Titik menyemburnya api itulah yang kelak dikenal sebagai api abadi Mrapen, sedangkan tempat keluarnya air kelak dikenal dengan nama Sendang Dudo.

Setelah dirasa cukup beristirahat melepas penat, makan, minum, dan salat, mereka meneruskan perjalanan menuju Demak. Baru akan berangkat, salah seorang anggota rombongan yang bertugas membawa batu umpak atau landasan tiang bangunan Kerajaan Majapahit mengeluh karena benda itu terlalu berat. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak kuat membawanya.

Mendengar keluhan itu, Sunan Kalijaga memerintahkan untuk meninggalkan saja benda tersebut. Benda itulah yang kelak dikenal dengan nama Batu Bobot. Setelah meninggalkan batu itu, rombongan kemudian meninggalkan tempat tersebut dan segera bertolak ke Demak. 

Beberapa waktu kemudian, Sunan Kalijaga meminta Empu Supo—ahli pembuat keris pusaka pada masa itu—untuk membuatkan sebilah keris di sebuah tempat yang sudah tersedia api untuk membakar, batu umpak sebagai landasan menempa, dan air yang digunakan menyepuh keris. Berdasarkan petunjuk tersebut, berangkatlah Empu Supo sembari membawa logam sebagai bahan membuat keris ke tempat yang dimaksud oleh Sunan Kalijaga.

Di tempat itulah, Empu Supo kemudian membuat keris yang diberi nama keris Kyai Sengkelat. Keris ini unik, karena menurut cerita, dalam proses pembuatannya Empu Supo tidak menggunakan palu sebagai alat untuk menempa logam, tetapi dengan tekanan jari-jarinya untuk membentuk keluk keris tersebut.

Keris yang dibuat kemudian disepuh atau dicelupkan ke dalam sendang. Air sendang yang semula sangat jernih seketika berubah menjadi keruh kekuning-kuningan. Airnya juga bergolak atau menimbulkan gelembung menyerupai air yang sedang mendidih. 

Dalam perkembangannya, Empu Supo lalu diberi tugas khusus oleh Sultan Demak untuk membuat senjata-senjata yang digunakan untuk kepentingan militer Kesultanan Demak. Tempat itu kemudian dikenal dengan nama “Mrapen” dan menjadi pusat pembuatan senjata kerajaan. Mrapen sendiri berasal dari kata “prapen” yang berarti perapian.

Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1)
Warung-warung yang sepi pengunjung di kompleks objek wisata api abadi Mrapen/Badiatul Muchlisin Asti

Api Abadi Mrapen di Masa Sultan Trenggono

Menurut sejarah, ditemukan atau munculnya api abadi Mrapen oleh Sunan Kalijaga terjadi saat Kesultanan Demak berada di bawah kepemimpinan Sultan Fattah atau Raden Patah. Setelah Raden Patah wafat pada 1518 M, takhta Kesultanan Demak beralih ke putranya yang bernama Pati Yunus. 

Pati Yunus menjabat sebagai Sultan Demak tidak lama, hanya sekitar tiga tahun. Sejak 1518 hingga 1521 M. Pati Yunus wafat dalam pertempuran melawan Portugis di Malaka pada 1521. Setelah Pati Yunus wafat, takhta Kesultanan Demak beralih ke Sultan Trenggono, putra Raden Fattah dan adik Pati Yunus. 

Pada masa kekuasaan Sultan Trenggono itulah api abadi Mrapen mendapatkan perhatian khusus. Utamanya karena tempat itu telah ditetapkan sebagai pusat pembuatan senjata pusaka kerajaan. Maka Sultan Trenggono menugaskan Ki Demang Singodiro, seorang demang—semacam jabatan lurah yang saat itu memimpin sekitar tiga desa—untuk mengelola dan menjaga situs peninggalan Sunan Kalijaga tersebut.

Selain diberi tugas menjaga dan merawat situs peninggalan Sunan Kalijaga, kesultanan juga memberikan kawasan Mrapen sebagai tanah perdikan kepada Ki Demang Singodirono. Setelah Ki Demang Singodirono wafat, tongkat estafet juru pelihara dilanjutkan oleh keturunannya.

Berdasarkan buku Menyingkap Peninggalan Sunan Kalijaga di Mrapen, silsilah juru kunci atau juru pelihara yang bertugas mengelola Mrapen adalah sebagai berikut:

  1. Ki Demang Singodirono
  2. Ki Demang Singosemito
  3. Ki Demang Kerto Semito
  4. Ki Demang Kerto Leksono
  5. Ki Lurah Kromoharjo (wafat 1942).
  6. Nyi Parminah (1946—2000)
  7. Mulai tahun 2000—2012 sebagai juru kunci dijalankan oleh tujuh anak Nyi Parminah secara bergiliran
  8. Selanjutnya sejak 2012 pengelolaannya diambil alih oleh Pemprov Jawa Tengah melalui dinas pemuda dan olahraga dengan cara membeli lahan situs api abadi Mrapen

Annas Rofiqi (31), petugas objek wisata api abadi Mrapen saat ini, menambahkan informasi bahwa sejak Nyi Parminah meninggal dunia, pengelolaan api abadi Mrapen sempat dipegang oleh suaminya yang bernama Mbah Supradi. Setelah Mbah Supradi wafat pada 2006, pengelolaan kawasan api abadi Mrapen dilanjutkan oleh anak-anaknya.

Annas Rofiqi sendiri yang saat ini menjadi petugas resmi Dinpora Jawa Tengah merupakan cucu Nyi Parminah. Putra dari anak bungsu mendiang yang bernama Rubiyatno.

(Bersambung)


Referensi

Buku TIC Provinsi Jawa Tengah. Menyingkap Peninggalan Sunan Kalijaga di Mrapen. Semarang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/serpihan-cerita-api-abadi-mrapen-dari-masa-ke-masa-1/feed/ 0 41418