klaten Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/klaten/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 26 Jun 2025 17:40:01 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 klaten Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/klaten/ 32 32 135956295 Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi https://telusuri.id/girpasang-menikmati-dusun-tertinggi-di-lereng-timur-gunung-merapi/ https://telusuri.id/girpasang-menikmati-dusun-tertinggi-di-lereng-timur-gunung-merapi/#respond Thu, 26 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47548 Penjelajahan saya kali ini cukup mendadak tanpa direncanakan sebelumnya. Awalnya, kedua orang tua saya dan kakak mengajak mencari sarapan pagi di sebuah warung soto di Kecamatan Tulung, Klaten. Hingga soto dihidangkan dan kami mencari lauk...

The post Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi appeared first on TelusuRI.

]]>
Penjelajahan saya kali ini cukup mendadak tanpa direncanakan sebelumnya. Awalnya, kedua orang tua saya dan kakak mengajak mencari sarapan pagi di sebuah warung soto di Kecamatan Tulung, Klaten. Hingga soto dihidangkan dan kami mencari lauk tempe, kedua orang tua saya tampak biasa-biasa saja. Tidak lama, ketika ibu akan membayar, tiba-tiba bapak merencanakan pergi ke lereng timur Gunung Merapi.

“Ayo jalan-jalan, ke Merapi sisi Klaten,” begitu ajakan bapak menggunakan bahasa Jawa. Kakak awalnya bingung, mau ke mana tepatnya. Ternyata bapak berinisiatif menikmati pemandangan alam Gunung Merapi dari Dukuh Girpasang, Desa Tegalmulyo, Kemalang, Klaten. Setelah selesai membayar dan membungkus teh panas untuk perjalanan, kami pun segera beranjak ke Girpasang. 

Perjalanan kami tempuh sekitar sejam perjalanan dengan mobil. Menyusuri jalan provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta, keluar di perempatan Pasar Ngupit ke arah barat melalui Jalan Jatinom –Boyolali menuju Dukuh Deles. Letak Girpasang di sisi utara Deles. Jalan ini juga yang menjadi jalan utama menuju Girpasang. 

Hanya saja, kami harus ekstra waspada karena berpapasan dengan truk pasir dari pertambangan pasir Kali Woro. Sepanjang jalan desa yang kami lalui, naungan pohon di tepi perkebunan setia menyambut dan menyegarkan mata. Meski begitu, sinyal internet yang kami gunakan membaca peta sering terputus saking lebatnya pepohonan. Kami pantang mundur dengan bertanya warga, jalan mana yang harus ditempuh hingga akhirnya kami tiba di Girpasang.

Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi
Jembatan merah Girpasang yang tampak seperti Golden Gate bergaya art deco di Kota San Francisco/Ibnu Rustamadji

Jembatan Merah, Pintu Masuk Dukuh Girpasang

Sesampainya di gapura Dukuh Girpasang, tampak dua orang warga dengan ramah memberikan izin masuk dukuh dan menunjukkan jalan yang harus kami lalui. Geliat warung warga menjajakan sayur dan buah hasil panen dan lalu-lalang warganya sendiri turut memberikan estetika kehidupan Girpasang. Awalnya kami bingung letak dukuh ini, karena melalui peta digital ada di tengah aliran pertemuan dua sungai. 

Ternyata benar, Girpasang ada di atas bukit dan di tengah aliran pertemuan dua sungai: Woro dan Gendol. Saat sedang asyik mengabadikan panorama sekitar, tiba-tiba mata lensa membidik sesuatu dari kejauhan yang tampak seperti anak tangga menuju ke bawah bukit di sisi timur Girpasang. 

Dugaan saya, itulah jalan setapak asli penghubung Dukuh Girpasang dan Desa Tegalmulyo, yang dibenarkan salah satu warga yang kebetulan melintas dari perkebunan. Sejauh pengalaman hidupnya sebagai anak kampung setempat, ia sudah khatam melalui jalan tersebut. Ia menambahkan, jauh sebelum jembatan merah Girpasang dibangun, warga harus melalui ratusan anak tangga tanpa pengaman, naik turun bukit dan sungai jika akan keluar dukuh. 

Tidak ada jalan lain selain itu, ungkapnya. Jika mereka pulangnya terlalu malam, sudah biasa mereka bermalam di kediaman salah satu warga Tegalmulyo. Keduanya sudah saling mengenal dan memaklumi keadaan yang ada. Beberapa warga memiliki kendaraan bermotor kala itu, yang dititipkan di warga Tegalmulyo, lalu lanjut jalan kaki untuk kembali ke rumah. Begitu seterusnya.

Kiri: Gerbang masuk Dukuh Girpasang dan jalan beton sebagai akses satu-satunya di kampung. Kanan: Bentang alam di sekitar Girpasang dan tampak garis jalan setapak asli yang dulunya jadi jalan satu-satunya untuk mobilitas masyarakat Girpasang/Ibnu Rustamadji

Ia mengisahkan, ketika Gunung Merapi erupsi besar tahun 2010, kondisi Desa Tegalmulyo cukup mencekam. Tanpa aliran listrik, semalam warga menyaksikan erupsi besar dengan lahar pijar keluar dari kawah. Sebagian besar warga diungsikan ke pusat Kabupaten Klaten. Pemuda desa banyak yang menetap, menjaga lingkungan dan mengevakuasi warga Girpasang yang terisolasi.

Mencekam, panik, harus naik turun bukit Girpasang dibarengi lahar pijar yang tidak mereda, sudah ia alami. Apabila tidak memungkinkan evakuasi seluruh warga, maka hanya bisa menunggu waktu dan keadaan. Mereka harus susah payah melalui anak tangga sempit tanpa penerangan dan pengaman, menuruni sungai dan mendaki bukit.

Meski begitu, warga tidak menyalahkan alam dan aktivitas Gunung Merapi. Malahan mereka sampai saat ini lebih memilih menetap di Girpasang, hidup berdampingan dengan gunung berapi yang setiap saat bisa kembali erupsi. Mereka berprinsip jogo titahing leluhur nengendi sangkan paranning dumadi, yang artinya menjaga amanat leluhur turun-temurun, di manapun berada, suatu saat akan berhasil. Tak ayal, hanya beberapa warga yang masih setia hidup di Girpasang hingga saat ini.  

Begitu jembatan selesai dibangun, warga tidak lagi harus melalui anak tangga curam. Puas mengobrol, kami segera menyeberangi jembatan menuju Dukuh Girpasang. Sisi kanan sepanjang jembatan merupakan aliran sungai dan lembah, sisi kiri perbukitan puncak Gunung Merapi. 

Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi
Mbah Padmo duduk santai sambil meracik rokok lintingan/Ibnu Rustamadji

Menjaga Amanat Leluhur, Hidup Berdampingan dengan Alam

Sugeng Rawuh ing Kampung Girpasang, begitu isi inskripsi gapura masuk Dukuh Girpasang. Uniknya, dukuh ini hanya memiliki satu jalan setapak yang terhubung dengan masing-masing rumah. Jika dihitung, jumlah rumah dari gapura hingga ujung barat dukuh tidak lebih dari 10 rumah. Saat asyik memotret, tiba-tiba muncul pria paruh baya dengan ramah menyilakan saya mengabadikan semuanya. 

Ia bernama Mbah Padmo, sesepuh dukuh, yang dengan senang hati bercerita pengalaman hidupnya tinggal di Girpasang. Menurutnya, munculnya Dukuh Girpasang tidak bisa dilepaskan dari jejak leluhur mereka, yakni Ki Trunosono, yang membuka alas (hutan) Girpasang pertama kali. Kediaman awal Ki Trunosono ada di dekat Goa Jepang di lembah kapuhan (hutan), di barat dukuh.

Mbah Padmo menambahkan, kala itu terjadi hujan deras yang menyebabkan tanah di sekitar kediaman Ki Trunosono longsor. Akibatnya, tanaman talas terbawa aliran hingga berhenti di Dukuh Girpasang saat ini, sedangkan longsoran tanah lain terbawa hingga Sungai Bengawan Solo. Sunan Pakubuwana IX, raja Keraton Surakarta selaku pemegang wilayah Klaten kala itu, lantas memberikan titah Ki Trunosono untuk tinggal dan membuka alas di lereng timur Merapi yang di sekitarnya ada temuan tanaman talas. 

Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi
Rumah Mbah Padmo yang terletak di depan pendopo Dukuh Girpasang/Ibnu Rustamadji

Kondisi tanaman talas yang ditemukan masih utuh, begitu pun tanah di sekitarnya, meski lainnya hancur akibat longsor. Begitu hujan dan longsor mereda, Ki Trunosono dan istri memutuskan untuk tinggal di sekitarnya yang tidak terdampak longsor. Sayangnya, sampai sekarang tidak ada catatan resmi kapan Ki Trunosono mulai menetap di Girpasang. Girpasang berasal dari kata “gligir” dan “sepasang”. Gligir artinya bukit yang diimpit dua aliran sungai, sedangkan sepasang merujuk keberadaan dua aliran sungai di bawah dukuh. 

Mbah Padmo mengungkapkan keinginannya menetap di Girpasang hingga akhir hayat untuk memenuhi titah leluhur. Alasannya, menjaga amanat leluhurnya, omahe pinggire jurang, papane sempit suk bakale rejo. Artinya, rumah di tepi sungai, wilayahnya sempit, suatu saat akan ramai. Ia menambahkan, mayoritas warga yang tinggal di sini adalah anak turun Ki Trunosono, sehingga mereka bersaudara satu sama lain. 

Keputusan unik bersama mereka adalah apabila salah seorang anak menikah, mereka harus hidup di luar Girpasang. Mereka kembali pada waktu-waktu tertentu, seperti upacara adat, atau hari raya untuk bersilaturahmi dengan orang tua. Selain itu, mereka juga melarang orang luar yang tidak memiliki hubungan keluarga dengan salah satu warga, untuk mendirikan hunian di wilayah Dukuh Girpasang. 

Tak ayal, populasi Dukuh Girpasang hanya ada 30 orang di sekitar 10 rumah. Pekerjaan mayoritas warga adalah petani dan peternak. Sebab, kondisi geografis sejak dahulu adalah perkebunan, sehingga warga menggantungkan nasib atas hasil panen. Setiap tahun mereka juga menggelar upacara sedekah bumi yang telah beregenerasi.

Warga Girpasang layaknya warga desa umumnya. Hanya saja, mereka memiliki adat istiadat yang sedikit berbeda. Meski begitu, mereka tidak sungkan dengan kedatangan orang luar wilayah. Malah mereka mempersilakan berkunjung dan menikmati kehidupan sederhana mereka sebagai warga lereng tertinggi Gunung Merapi.  

Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi
Mendaki jalan setapak berupa ratusan anak tangga untuk kembali menuju Desa Tegalmulyo/Ibnu Rustamadji

Pulang Menapaki Ratusan Anak Tangga 

Sejam berlalu, kami lantas berpamitan dan beranjak turun menuju Desa Tegalmulyo. Namun, kami memilih jalan setapak asli Dukuh Girpasang yang harus naik turun bukit dan sungai. Butuh waktu sekitar 1,5 jam perjalanan. 

Sudah bisa saya bayangkan betapa susahnya setiap hari melalui jalan setapak ini. Sepanjang perjalanan kami berhenti sepuluh kali, salah satunya di sumur sumber mata air yang ada di bawah sungai. Sampai di sumur, rasa lelah terbayar dengan sunyinya suasana dan segarnya air langsung dari sumbernya. 

Namun, kami tidak terlalu lama di sana dan segera kembali menaiki anak tangga. Sepanjang jalan, hanya kesunyian dan tanaman bambu setia menemani kami. Seraya berjalan, saya sempat memberikan kode dengan tepukan tangan dari bawah sungai kepada warga yang melintas di atas jembatan merah. Beberapa di antaranya merespons dengan tepukan tangan juga.

Matahari mulai tampak temaram dan suhu dingin mulai menusuk tulang. Kami lekas mempercepat langkah ke anak tangga tertinggi hingga akhirnya tiba di lembah Desa Tegalmulyo. Jalan setapak yang kami lalui sudah lama ditutup semenjak dibangunnya jembatan merah Girpasang, yang hanya diperuntukkan pejalan kaki dan sepeda. Ini demi menjaga keamanan dan mempermudah mobilitas warga setempat maupun saudara yang berkunjung. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan selama menjelajahi Dusun Girpasang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/girpasang-menikmati-dusun-tertinggi-di-lereng-timur-gunung-merapi/feed/ 0 47548
Candi Plaosan Lor: Monumen Cinta hingga Pertanyaan-Pertanyaan yang Belum Terjawab https://telusuri.id/candi-plaosan-lor-monumen-cinta-hingga-pertanyaan-pertanyaan-yang-belum-terjawab/ https://telusuri.id/candi-plaosan-lor-monumen-cinta-hingga-pertanyaan-pertanyaan-yang-belum-terjawab/#respond Fri, 09 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46880 Roda kendaraan akhirnya kembali berpacu. Kali ini, waktu yang saya pilih sengaja lebih pagi daripada biasanya agar lebih leluasa dan santai menikmati kehidupan sepanjang perjalanan. Selain itu juga sengaja menghindari jam sibuk masuk kerja dan...

The post Candi Plaosan Lor: Monumen Cinta hingga Pertanyaan-Pertanyaan yang Belum Terjawab appeared first on TelusuRI.

]]>
Roda kendaraan akhirnya kembali berpacu. Kali ini, waktu yang saya pilih sengaja lebih pagi daripada biasanya agar lebih leluasa dan santai menikmati kehidupan sepanjang perjalanan. Selain itu juga sengaja menghindari jam sibuk masuk kerja dan berangkat sekolah.

Tidak seperti biasanya, saya mengambil rute melalui pinggiran kota. Sebab, jika saya melalui rute pinggiran kota akan lebih lama dan melelahkan. Saya putuskan melalui jalan utama antarprovinsi Yogyakarta dan Surakarta, Jawa Tengah agar mempersingkat jarak dan waktu.

Membutuhkan waktu kurang lebih satu jam perjalanan dari kampung lawas Laweyan, Kota Surakarta hingga pertigaan Candi Prambanan, Klaten. Tepat di pertigaan Prambanan, roda kendaraan berbelok ke arah barat memasuki Jalan Bugisan Raya. Sepanjang jalan tampak kehidupan desa wisata di sekitar Candi Prambanan. 

Sesampainya di simpang Jalan Bugisan dan Jalan Candi Plaosan, saya pilih mengikuti Jalan Candi Plaosan. Sebelum sampai di tujuan, biasanya saya mampir minum es dawet langganan di pertigaan KM 1 Manisrenggo. Namun, jarum jam menunjukan pukul 06.20, penjual dawet belum terlihat karena masih pagi. Saya langsung menuju tujuan utama, yaitu Candi Plaosan Lor di Desa Bugisan, Klaten, sekaligus mencari angkringan sebagai pelepas dahaga sebelum memulai penjelajahan.

Candi Plaosan Lor: Monumen Cinta hingga Pertanyaan-Pertanyaan yang Belum Terjawab
Reruntuhan candi perwara berlatar belakang pohon bodi dan candi induk Plaosan Lor/Ibnu Rustamadji

Tiba Terlalu Pagi

Pagi itu, aktivitas masyarakat sekitar Candi Plaosan Lor tampak ramai dengan  hilir mudik kendaraan antardesa, dan orang tua mengantar anaknya bersekolah maupun bekerja. Pemandangan lumrah, karena candi ini berada di tengah desa, dengan mobilitas warga cukup tinggi.

Beberapa warung angkringan pagi tampak sudah buka, tujuannya tidak lain untuk mengisi perut warga yang lalu-lalang sejak pagi buta. Untung saja, angkringan yang saya datangi baru saja buka, sehingga makanan yang disajikan masih hangat semua.

Selagi menunggu segelas teh panas disajikan, tiba-tiba datang seorang bapak paruh baya berkaus oblong dan bercelana kargo layaknya petualang, duduk satu meja dengan saya. Kami lantas bercengkerama ringan sambil menikmati sarapan nasi bandeng panas. 

Tidak saya sadari sebelumnya, beliau adalah satpam Candi Plaosan sekaligus suami dari empunya angkringan. Tanpa basa-basi, saya menanyakan harga tiket dan pemandu jika main ke Candi Plaosan. 

“Tunggu sampai 07.30 mas, nanti langsung masuk, isi buku tamu di pos depan, langsung silahkan hunting foto. Kamu terlalu pagi, Mas, datangnya, jadi masih gratis, bebas, tetapi setelah jam 08.00 dikenai tiket 5.000 rupiah,” jelasnya. 

Alam merestui. Saya tidak sabar ingin segera menikmati romantisisme dan  keabadian cinta di Candi Plaosan lor. Waktunya tiba, saya pun segera masuk halaman candi. Tentu setelah membayar sarapan. Keramaian warga desa, seketika sirna saat saya berhadapan dengan dua candi lintas agama ini, seakan Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani mempersilakan masuk dengan merangkul mesra dalam keheningan pagi.

Lingkungan sekitar didominasi persawahan berlatar belakang Gunung Merapi dan perdesaan, semakin menampakkan aura romantis kedua pendiri candi tersebut. Raja dan ratu sedang duduk di singgasananya, dengan baju kenegaraan warna hijau selalu menemani dalam suka maupun duka. Sungguh perpaduan yang elegan, antara keseimbagan energi manusia dan energi alam yang luar biasa. 

Wujud Cinta Pasangan Beda Agama

Pertama kali menyaksikan candi induk Plaosan Lor ini beberapa tahun lalu, yang tergambar dalam pikiran adalah rumah berlantai dua dibangun berdampingan tanpa pembatas dalam satu halaman luas, dengan ruang keluarga terbuka di sisi barat. Fakta jika Candi Plaosan Lor adalah wujud rancangan kekaguman dua insan beda agama.

Hal ini senada dengan isi prasasti Cri Kahulunan berangka tahun 842 Masehi, menyatakan bahwa Candi Plaosan dibangun pada abad ke-9 oleh Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, sebagai tempat pendarmaan sang istri, Pramodhawardani, putri Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra yang beragama Buddha.

Candi Plaosan didirikan sebagai bukti kekaguman dan cinta Rakai Pikatan yang luar biasa untuk sang istri. Terlebih latar belakang keduanya yang berbeda agama, dapat bersatu mengemudikan bahtera. Sungguh luar biasa. Relief candi induk utara menggambarkan sosok laki-laki, sedangkan di selatan menggambarkan sosok perempuan. Masing-masing memiliki relief setinggi seperti orang saat ini. 

Motif relief seorang lelaki di candi induk sebelah barat (kiri) dan relief sosok perempuan di candi induk sebelah timur/Ibnu Rustamadji

Tatkala sedang asyik melihat relief, tiba-tiba imajinasi saya dibawa hidup di zaman itu. Terbayang kehidupan masa lalu keduanya yang penuh canda tawa bahagia, meski juga memikul tanggung jawab berat terhadap kemakmuran rakyat dan masalah pelik lainnya.

Candi induk ini, selain sebagai bukti cinta, juga sebagai pendarmaan atau pembelajaran spiritual raja dan ratu, sehingga tak ayal dibangun berlantai dua sebagai tempat menyepinya raja dan ratu. Kedua candi induk memiliki dua lantai. Hanya saja papan kayu lantai dua dan tangga menuju ke atas kini hilang seiring berjalannya waktu, menyisakan relung sebagai bukti kemewahan Candi Plaosan kala itu. 

Sekitar dua jam menelusuri dua candi induk, kini saatnya melihat ruang keluarga di sisi barat candi induk. Para arkeolog menyebut tempat ini pelataran, bukan ruang keluarga. Saya istilahkan ruang keluarga karena jejeran arca Buddha duduk berderet saling berhadapan seolah sedang membicarakan sesuatu bersama keluarga.

Mungkin saja, arca ini adalah penggambaran dewa dalam agama Hindu-Buddha, dan pelataran inilah tempat Rakai Pikatan dan Pramodhawardani berhubungan dengan para dewa. Hubungan yang saya maksud adalah cara bersembahyang, bukan mengajak ngobrol.

Pelataran ini seharusnya tertutup, meski tidak sesolid candi induk. Rangka utama terbuat dari kayu jati yang dibuat ruang persegi panjang terbuka. Arca dewa tutur ternaungi, karena masuk bagian area bersembahyang raja dan ratu. Namun, kini kondisinya sudah tanpa konstruksi atap, hanya menyisakan umpak batu di beberapa sudut pelataran. Ketika pertama kali ditemukan oleh Casparis tahun 1800-an, pelataran sudah tidak ditemukan atapnya. Kondisinya kala itu pun lebih rusak parah daripada sekarang.

Candi Plaosan Lor: Monumen Cinta hingga Pertanyaan-Pertanyaan yang Belum Terjawab
Tampak umpak batu pondasi rangka atap yang kini hilang di salah satu sudut pelataran dengan latar belakang persawahan Desa Bugisan/Ibnu Rustamadji

Segudang Tanya yang Menanti Jawaban

Sebelum beranjak keluar kawasan, saya menyempatkan memandang kedua candi induk untuk “berpamitan” kepada sang raja dan ratu. Hanya saja, saya masih memiliki pertanyaan yang mungkin tidak bisa terjawab dalam waktu singkat.  

Pertama, bagaimana proses pembangunan dua candi induk berlantai dua seperti itu, sementara candi-candi sekitarnya (termasuk Candi Prambanan) hanya satu lantai?

Kedua, adakah jejak peradaban masyarakat pendukung situs percandian sekitar kawasan Prambanan? Sebab, ditemukan saluran air yang cukup besar di timur candi induk Plaosan Lor. Artinya, ada peradaban yang kini hilang, di manakah jejaknya? 

Ketiga, apakah ada penemuan sisa manusia yang pernah hidup di era Rakai Pikatan?

Saya yakin, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab dalam waktu semalam, seperti mitos kisah asmara Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso dengan seribu candinya. Masih banyak yang harus diteliti guna menyelamatkan monumen cinta Rakai Pikatan dan Pramodhawardani ini. 

Hari mulai beranjak siang. Saya putuskan membawa segudang pertanyaan itu keluar kawasan Candi Plaosan Lor seiring mencari tempat santap siang, lalu berkeliling di sekitar kompleks candi. Pukul 14.00, saya menyudahi perjalanan di Bugisan dan pulang ke Boyolali.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Candi Plaosan Lor: Monumen Cinta hingga Pertanyaan-Pertanyaan yang Belum Terjawab appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/candi-plaosan-lor-monumen-cinta-hingga-pertanyaan-pertanyaan-yang-belum-terjawab/feed/ 0 46880
Perjalanan Menyigi Sisa Kejayaan Perusahaan Tembakau Kebonarum di Klaten https://telusuri.id/perjalanan-menyigi-sisa-kejayaan-perusahaan-tembakau-kebonarum-di-klaten/ https://telusuri.id/perjalanan-menyigi-sisa-kejayaan-perusahaan-tembakau-kebonarum-di-klaten/#comments Wed, 26 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42232 Kali ini, saya mengeksplorasi eksistensi perkebunan tembakau terbaik di bekas wilayah Karesidenan Surakarta. Saya pergi ke Kecamatan Kebonarum, Klaten, untuk melihat sisa kejayaan perusahaan tembakau di sana, di antaranya los mbako atau los tembakau, tempat...

The post Perjalanan Menyigi Sisa Kejayaan Perusahaan Tembakau Kebonarum di Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
Kali ini, saya mengeksplorasi eksistensi perkebunan tembakau terbaik di bekas wilayah Karesidenan Surakarta. Saya pergi ke Kecamatan Kebonarum, Klaten, untuk melihat sisa kejayaan perusahaan tembakau di sana, di antaranya los mbako atau los tembakau, tempat pengeringan tembakau dan pabrik tembakau Kebonarum.

Pada masanya, terutama saat puncak kejayaan sekitar tahun 1930, tembakau Kebonarum masyhur dengan kualitas ekspor terbaik hingga ke Eropa. Kota Bremen di Jerman merupakan pasar utama tembakau Kebonarum untuk dijadikan cerutu dan dijual kembali ke kota lain di Benua Biru.

Namun, persaingan industri tembakau di Pulau Jawa yang semakin ramai memaksa Kebonarum yang sudah eksis sejak abad ke-19 kian terpuruk. Saat ini area yang dulunya menjadi perkebunan tembakau Kebonarum telah berubah menjadi ladang sawah dan kebun warga.

Saya tidak datang sendirian. Seorang rekan asli Klaten, Mbak Galih, ikut menemani saya menjelajah Kebonarum. Penelusuran awal kami fokuskan di sisi selatan antara pabrik pengolahan tembakau Kebonarum dan Desa Basin. 

Perjalanan Menyigi Sisa Kejayaan Perusahaan Tembakau Kebonarum di Klaten
Sudut jalan di area depan pabrik tembakau Kebonarum, Klaten/Ibnu Rustamadji

Jejak Pabrik dan Los Tembakau di Kebonarum

Industri tembakau di wilayah Klaten dikelola oleh N. V. Klattensche Cultuur-Maatschappij sejak pertengahan abad ke-19. Inisiator awal, Mendez da Costa, pertama kali membuka di daerah Gondang. Barulah berikutnya menyebar ke wilayah lain, salah satunya Kebonarum.

Perusahaan perkebunan tembakau biasa menyewa tanah milik Kasunanan Surakarta dalam jangka waktu lama. Tanaman tembakau ditanam sekitar bulan Juli–September, saat musim kemarau tiba. Meski begitu, tetap ada aliran air untuk menjaga kestabilan tanah.

Biji pohon tembakau Kebonarum cukup langka di Hindia Belanda (Indonesia kala itu) karena diimpor langsung dari Bremen. Cara budidayanya langsung ditanam di tanah sampai masa panen. Setelah itu dikeringkan dengan bantuan bara api khusus di dalam los yang dilakukan malam hari. 

Kemudian daun tembakau kering dikemas di pabrik Kebonarum dan langsung dibawa kembali ke Bremen untuk diolah menjadi cerutu. Sisa panen yang ada diolah kembali oleh pabrik tembakau Kebonarum. Karena produk tembakau sangat baik dan bernilai jual tinggi, dibangunlah proefstation voor Vorstenlandsche Tabak Onderneming atau laboratorium penelitian tembakau di kota Klaten pada 1898. Hingga saat ini fasilitas tersebut berada di bawah naungan Pusat Penelitian Tembakau PTPN X Persero Klaten.

Ada dua pabrik tembakau yang masih eksis hingga sekarang di Kecamatan Kebonarum, yakni pabrik Kebonarum dan pabrik Gayamprit. Sebagai areal perusahaan tentu dilengkapi fasilitas penunjang, salah satunya adalah los tembakau.

Los tembakau merupakan bangunan semipermanen berbentuk persegi panjang. Konstruksi utama berbahan bambu dengan atap pelana terbuat dari ijuk dan daun tebu kering, sedangkan dinding dibuat dari anyaman bambu. Los mbako biasa dibangun memanjang ke arah utara–selatan, tergantung kondisi geografis dan arah angin wilayah setempat. 

Selain untuk tempat transit bibit sebelum ditanam, los juga berfungsi sebagai tempat pengeringan tembakau hasil panen. Cara mengeringkan daun tembakau antara lain diasapi dengan perapian sekam padi di malam hari. Setelah cukup kering, daun tembakau dibawa ke pabrik untuk pengolahan berikutnya.

Sejatinya, keberadaan los di Kebonarum cukup banyak. Namun, seiring perkembangan waktu mulai hilang menjadi lahan sawah. Sangat disayangkan, tetapi itulah faktanya.  Untungnya kami masih menjumpai satu yang masih utuh sebagai monumen hidup kejayaan tembakau Kebonarum. Galih pun menyatakan hal senada. Kami bersyukur masih bisa mengabadikan los meski berada di desa lain. 

Perjalanan Menyigi Sisa Kejayaan Perusahaan Tembakau Kebonarum di Klaten
Petani melintas di samping salah satu los tembakau yang tersisa di Kebonarum/Ibnu Rustamadji

Sisa-sisa Kejayaan dan Catatan Lainnya

Penelusuran berlanjut kembali ke arah sekitar pabrik tembakau Kebonarum. Menyaksikan sisa-sisa bangunan yang ada mesti tidak semua. 

“Sisa paling jelas, ya, ini, Mas! Pabrik tembakau Kebonarum dan pabrik tembakau Gayamprit sekitar 2,5 kilometer dari sini [Kebonarum] ke utara,” jelas Galih. 

Kedua pabrik tembakau masih tampak sebagai monumen hidup meski tidak lagi beroperasi. Pemicunya adalah kalah saing dengan perusahaan rokok besar seperti saat ini, sebab keduanya memproduksi tembakau linting.

Di saat sedang asyik mengobrol, tiba-tiba Galih melontarkan pertanyaan yang tidak saya pikirkan sebelumnya. “Mas, tadi lewat Gayamprit terus ke barat melewati depan SD Negeri Ngligi 1, kan?”

Perjalanan Menyigi Sisa Kejayaan Perusahaan Tembakau Kebonarum di Klaten
Tampak depan SD Ngligi 1 Kebonarum/Ibnu Rustamadji

Rupanya, sebelum menjadi sekolah dasar saat ini, dahulunya merupakan rumah sakit perkebunan milik perusahaan perkebunan tembakau Kebonarum, yang juga digunakan oleh perkebunan tembakau Gayamprit. Hal ini disebabkan lokasinya tepat di antara kedua perusahaan perkebunan tersebut. Pikir saya, pantas saja letak sekolahnya unik karena ada di tengah hamparan sawah. Saya sering lewat, tetapi baru tahu sekarang.

“Mbak, proses pengeringannya, kan, menggunakan api. Apa tidak berbahaya dan menciptakan kebakaran losnya?” tanya saya ke Galih.

Merujuk pada catatan yang ia miliki, los tembakau milik perkebunan tembakau Kebonarum sering terbakar. Sejak zaman Belanda pun tercatat ratusan los di Klaten dilalap si jago merah. Api diduga muncul setelah proses pengeringan semalam selesai, lalu tidak dimatikan secara baik sehingga merambat ke konstruksi bambu.

Proses pengeringan yang berlangsung semalam selalu ditunggu para pekerja. Api yang dihasilkan pun tidak terlalu menyala besar, karena sejatinya yang dibutuhkan untuk pengeringan adalah kestabilan suhu dan uap yang dihasilkan untuk mengeringkan daun tembakau.

Sementara daun tembakau yang dikeringkan di los mbako tidak kalah sedap jika dibandingkan pengeringan secara terbuka di bawah sinar matahari langsung. Yang membedakan hanya waktu dan proses pengeringan, karena di los tembakau lebih rumit dan lama.

Saat proses itulah kadang api menyambar ke bagian lain yang mudah terbakar. Terlebih konstruksi los yang didominasi bambu dan ijuk, membuat api mudah menyala besar dan cepat.

Perjalanan Menyigi Sisa Kejayaan Perusahaan Tembakau Kebonarum di Klaten
Daun tembakau dalam proses pengeringan paska panen di dalam los/Ibnu Rustamadji

“Apalagi kalau pekerja kelelahan setelah sebelumnya panen, terus melanjutkan pengeringan. Ini juga faktor utamanya, karena harus lek-lekan (jaga malam),” terang Galih.

Petani adalah profesi mayoritas di Kebonarum. Dahulu, jika memasuki masa tanam tembakau, para petani akan beralih sementara dari semula padi menjadi tembakau. Begitu juga sebaliknya. Namun, saat ini petani tembakau sudah jarang ditemukan. Mereka lebih memilih menjadi petani padi dan penggarap sawah milik orang lain. Bukan disebabkan oleh harga, melainkan lebih pada mudahnya perawatan dan lahan—yang kini dibebaskan untuk jalan tol—menjadi alasan mereka beralih profesi.

Kalaupun masih ada tanaman tembakau, biasanya milik perusahaan rokok yang menyewa lahan pertanian. Sewa perkebunan pun menyesuaikan waktu tanam setiap tahun. Lahan yang disewa pun tidak lagi ke perusahaan tembakau Kebonarum, tetapi tanah kas desa setempat.

Selesai masa tanam, tanah diolah kembali untuk perkebunan tahunan. Begitu seterusnya. Lahan perkebunan kini dikelola warga dan tidak untuk perusahaan pengolahannya. Saat ini, status sisa kejayaan perusahaan tembakau Kebonarum itu berada di bawah naungan PTPN X.

Begitu pula dengan lahan, yang dahulu digunakan sebagai los mbako di wilayah Kecamatan Kebonarum. Warga dan petani yang tinggal berdampingan pun tak mempermasalahkan hal tersebut. Mereka tetap bekerja seperti biasa di persawahan  milik mereka.

Perjalanan Menyigi Sisa Kejayaan Perusahaan Tembakau Kebonarum di Klaten
Persawahan dengan latar belakang reruntuhan jalur air perkebunan tembakau/Ibnu Rustamadji

Setitik Harapan

Puas menikmati areal sawah dan melihat lebih dekat los tembakau yang tersisa, kami putuskan kembali ke titik semula. Melihat sekali lagi sisa kejayaan tembakau Kebonarum. Dua pabrik pengolahan tersebut hingga kini masih berdiri tegak, memandang dengan angkuh siapa pun yang melintasi jalanan. Epik dan mewah, dua kata ini yang mungkin bisa menggambarkan betapa eksotisnya bangunan pabrik-pabrik tersebut. 

Mungkin tidak semua orang mengetahui adanya pabrik tembakau Kebonarum, karena lokasinya yang jauh dari jalan utama Solo–Yogyakarta. Persisnya di jalur alternatif Yogyakarta–Boyolali. Tidak jauh dari kompleks pabrik gula Gondang Winangoen. Penampakan fisik pabrik Kebonarum bisa juga dilihat melalui citra peta digital.

Bagi yang ingin mengunjungi pabrik ini, tinggal berkendara sekitar 20 menit ke arah barat dari pertigaan lampu merah pertama Gondang Winangoen. Selanjutnya melalui Desa Basin sekitar 650 meter ke utara. Pabrik pengolahan tembakau Kebonarum berdiri tepat di sisi kiri jalan.

Senja mulai bergelayut. Penelusuran kami pun berakhir. Sebelum pulang, kami sempat menengok sisi barat pabrik. Tepat di belakang tembok pabrik, terdapat satu kompleks makam Jawa Islam. Awalnya saya berpikir kompleks makam pegawai pabrik dari Eropa atau kerkop, tetapi ternyata bukan.

Perjalanan Menyigi Sisa Kejayaan Perusahaan Tembakau Kebonarum di Klaten
Makam tua di belakang pabrik tembakau Kebonarum/Ibnu Rustamadji

“Kompleks makam Islam tua ini, Mas. Ya, mungkin saja, beberapa pegawai Eropa dari pabrik ini (Kebonarum) juga ada di sini,“ ujar Galih.

Sejatinya lazim kalau pegawai Eropa juga turut disemayamkan dengan makam Jawa Islam. Mereka memiliki hubungan pernikahan dengan salah satu perempuan priyayi wilayah setempat. Kompleks makam ini cukup tua, dibuktikan dengan salah satu epitaf nisan berangka 1832.

Saya dan Galih lantas mengirimkan doa untuk mendiang, sebelum berkemas untuk kembali ke kediaman masing-masing. Besar harapan kami perusahaan perkebunan tembakau Kebonarum dan Gayamprit tetap dipertahankan sesuai aslinya. Sebagai wujud perwakilan eksistensi di zamannya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Menyigi Sisa Kejayaan Perusahaan Tembakau Kebonarum di Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-menyigi-sisa-kejayaan-perusahaan-tembakau-kebonarum-di-klaten/feed/ 1 42232
Belajar Merawat Kebudayaan dari Festival Peken Pinggul Klaten https://telusuri.id/belajar-merawat-kebudayaan-dari-festival-peken-pinggul-klaten/ https://telusuri.id/belajar-merawat-kebudayaan-dari-festival-peken-pinggul-klaten/#respond Thu, 06 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42112 Minggu Legi (10/3/2024), masyarakat Desa Melikan, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten merayakan festival budaya bernama Peken Pinggul. Peken Pinggul merupakan sebuah festival yang diadakan oleh masyarakat Melikan dengan tujuan utama nguri-nguri budaya Jawa untuk mencoba melestarikan...

The post Belajar Merawat Kebudayaan dari Festival Peken Pinggul Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
Minggu Legi (10/3/2024), masyarakat Desa Melikan, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten merayakan festival budaya bernama Peken Pinggul. Peken Pinggul merupakan sebuah festival yang diadakan oleh masyarakat Melikan dengan tujuan utama nguri-nguri budaya Jawa untuk mencoba melestarikan berbagai tradisi.

Jauh sebelum festival Peken Pinggul hari itu, saya dan kawan-kawan memutuskan untuk berkunjung sehari sebelum acara dimulai. Mereka berangkat dari Jogja, Sabtu sore (9/3/2024) pukul 15.00 WIB. Estimasi perjalanan dari Jogja ke Klaten hanya sekitar 1 jam. Sementara saya harus ke Semarang dulu untuk menjemput pacar saya, baru meluncur ke Klaten.

Kami akan menginap di salah satu rumah warga yang pernah digunakan untuk tempat tinggal teman seorganisasi yang pernah KKN di sana. Namanya Abi atau akrab dipanggil Irul. Ia sudah berangkat lebih dulu untuk melihat serangkaian acara sebelum Peken Pinggul. Kebetulan kami datang bertepatan dengan ulang tahun ke-5 Peken Pinggul.

Setibanya kami di Melikan, Irul sudah mengenakan pakaian pesa’an khas Madura yang dipadupadankan dengan kaus hitam. Lengkap dengan celana berwarna senada, blangkon, dan sebatang cerutu. 

Saat Irul bertemu kami, ia berkata, “Seko omah warga, hayo rene melu nang omahe pak Tugiman (Dari rumah warga, ayo ikut ke rumah Pak Tugiman).” Kami pun memutuskan beristirahat di sana. Tanpa diminta, kopi, teh, dan rokok diberikan Tugiman secara sukarela. 

Perbincangan cukup panjang hadir sore itu. Irul sebagai mahasiswa yang berkecimpung di bidang sejarah cukup fasih menjelaskan serpihan-serpihan sejarah di Melikan. Tugiman, yang memang penduduk asli Desa Melikan, turut menyahut untuk memberikan perspektifnya mengenai sejarah dan kebudayaan lokal. 

  • Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten
  • Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten

Keunikan Ragam Kuliner Peken Pinggul

Setelah semalaman beristirahat bersama kawan-kawan yang lain, keesokan paginya, kami bersiap menuju tempat berlangsungnya festival budaya Peken Pinggul. Kami hanya perlu berjalan kaki karena lokasinya yang tak terlalu jauh. Tepatnya di samping sungai yang berada di tengah-tengah Desa Melikan.

Awan gelap membuat pagi itu sedikit dingin. Matahari pun ikut terlambat bersinar. Oleh karena itu, suasana perdesaan sangat asri dengan pepohonan yang masih rindang. Bekas hujan semalam menambah hawa awal hari kian menusuk kulit. 

Sesampainya di lokasi, Peken Pinggul sudah tampak ramai. Padahal waktu baru menunjukan pukul 07.00. Para penjual terlihat sibuk melayani para pembeli. Tak mau menunggu lama, kami segera menukarkan sejumlah uang menjadi koin gerabah untuk melakukan transaksi.

Di Peken Pinggul, metode transaksinya memang menggunakan koin gerabah. Cara mendapatkannya, saat masuk ke lokasi Peken Pinggul, akan ada sebuah stan yang terbuat dari bambu. Di sana penjaga menjereng koin-koin tersebut. Sebutir koin nilainya sama dengan Rp2.000.

Tak menunggu lama, saya pun menukarkan sebanyak 10 koin gerabah untuk menikmati kuliner di sana. Hasilnya saya mendapatkan soto dan teh hangat senilai tiga koin. Harganya yang cukup murah tidak mengurangi rasa dari soto tersebut. Selain terjangkau, yang menjadi daya tarik dan menggugah selera adalah penggunaan gerabah sebagai mangkuk soto dan gelas teh. Ini memberikan kesan tradisional yang kental. 

Setelah kenyang, selanjutnya saya mencoba menu lain yang mengingatkan saya saat masih sekolah dasar, yaitu es goreng. Jajanan ini membawa saya ke kenangan masa lalu. Jika dulu saya membelinya dengan harga seribu rupiah, di Peken Pinggul saya bisa menikmatinya dengan harga satu koin. 

  • Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten
  • Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten
  • Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten

Kenikmatan wisata kuliner tidak berhenti sampai di situ saja. Setelah menilik lebih jauh, ternyata masih banyak kuliner yang sudah jarang ditemui, tetapi bisa dicicipi lewat Peken Pinggul. Salah satunya adalah getuk, yang terbuat dari singkong bercampur gula. Kudapan khas Jawa tersebut sangat populer di kalangan masyarakat desa. Rasanya yang manis dan mengenyangkan dipadu dengan kelapa parut sangat cocok untuk menjadi menu sarapan.

Usai kenyang dengan asupan soto, teh, getuk, dan es goreng, saya berangan makanan penutup adalah hal yang pas untuk pagi ini. Dari awal saya datang ke Peken Pinggul, saya sangat ingin menikmati makanan tradisional bernama sawut. 

Meskipun terbuat dari singkong, tekstur dari sawut sangat lembut dan mudah dicerna. Penganan ini memiliki rasa manis alami yang berasal dari singkong, serta taburan gula yang bercampur dengan gurihnya parutan kelapa. Tanpa pikir panjang, saya pun langsung membelinya dengan dua koin. 

Sebenarnya masih banyak kuliner yang bisa dicoba, misalnya dawet ayu, telur gulung, dan cilor. Bahkan tak hanya makanan olahan yang dimasak, Peken Pinggul juga menjual buah, seperti salak dan manggis. Namun, sayangnya perut dan dompet saya tak mampu mengakomodasi semangat berlebih dari wisata kuliner ini. 

Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten
Sawut, kudapan jadul yang saya nanti-nantikan sejak sebelum berangkat ke Peken Pinggul/Aldino Jalu Seto

Belajar Pengembangan Desa dari Peken Pinggul

Setelah menelusuri dari ujung ke ujung, saya melihat banyak keunikan dari Peken Pinggul. Selain jajanan pasar yang sangat dekat dengan saya semasa kecil, Peken Pinggul juga menghadirkan panggung kesenian yang diisi oleh masyarakat Desa Melikan sendiri, seperti karawitan. 

Dalam sebuah obrolan dengan Sri Lestari, sekretaris KUBe (Kelompok Usaha Bersama) yang membantu pelaksanaan Peken Pinggul, mengungkapkan alasan mengapa Peken  Pinggul hanya diadakan setiap Minggu Legi. 

Legi [dalam bahasa Jawa] itu [artinya] manis. [Legi] diambil mungkin biar laris manislah. Kalau Peken Pinggul, [kata] pinggul diambil dari ‘pinggir tanggul’,” terangnya. Adapun arti dari peken adalah pasar.

Akan tetapi, tidak setiap Minggu Legi ada panggung pertunjukan yang ditampilkan. Pementasan tersebut hanya dilakukan untuk merespons momentum-momentum besar agar keunikan di Peken Pinggul tetap terjaga. 

“Kalau biasanya kita cuma dagang. Kadang ada yang senam, kalau Hari Ibu kita adakan lomba apa [yang setema], [atau] agustusan. Kita sesuaikan dengan momen di bulan tertentu. Kalau tahun kemarin sebelum [pandemi] COVID-19 ada arak-arakan, bisa buka [dokumentasinya] di Instagram,“ jelas Lestari. Ia juga menambahkan kalau dulu para peserta harus pakai baju kebaya, lurik, caping, dan menggunakan bahasa Jawa.

Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten
Kelompok karawitan Desa Melikan sedang pentas di panggung Peken Pinggul/Aldino Jalu Seto

Lima tahun lalu Dani Utomo, pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) Desa Melikan, memikirkan cara agar para penerima PKH ini dapat sejahtera lewat usahanya sendiri. Lantas ia bersama ibu-ibu anggota PKH mulai berembuk membuat sesuatu yang unik dan lekat dengan tradisinya.

“Awalnya itu dari ibu-ibu yang menerima bantuan PKH. Kita bikin acara apa yang bisa menambah pemasukan, paling tidak, [bisa] bermanfaat dari bantuan-bantuan yang diterima itu ben dapat penghasilan. Ya, itu, dari kelompok PKH dirasa kok ramai dan unik akhirnya banyak yang gabung,” ungkap Dani.

Peken Pinggul memberikan kesan di benak saya. Tak hanya makanannya yang enak, tetapi imajinasi mengenai desa yang hidup dengan swadaya dapat direngkuh. Hasil yang didapatkan Peken Pinggul pun tak main main. Menurut keterangan salah satu pengurus, Peken Pinggul mampu menarik minat 500–1.000 orang dalam sehari. 

Lewat Peken Pinggul saya melihat potensi Melikan bagi masyarakatnya sangat besar. Apalagi ditambah dengan masih suburnya kebudayaan lokal di desa. Jika masyarakat merawat kebudayaannya, tak menutup kemungkinan kebudayaan tersebut dapat menghadirkan nilai-nilai tersendiri bagi perawatnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Belajar Merawat Kebudayaan dari Festival Peken Pinggul Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/belajar-merawat-kebudayaan-dari-festival-peken-pinggul-klaten/feed/ 0 42112
Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten https://telusuri.id/menguak-kisah-gillavry-dan-windijk-di-kemudo/ https://telusuri.id/menguak-kisah-gillavry-dan-windijk-di-kemudo/#respond Thu, 30 Nov 2023 06:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40151 Sebuah perjalanan membawa saya ke Dukuh Tegalsari, Desa Kemudo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Tujuan saya yakni mencari makam keluarga Belanda, Europeesche Familiegraafplaats Andre-Mac Gillavry. Makam tersebut berada satu kompleks dengan makam Islam Jawa...

The post Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebuah perjalanan membawa saya ke Dukuh Tegalsari, Desa Kemudo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Tujuan saya yakni mencari makam keluarga Belanda, Europeesche Familiegraafplaats Andre-Mac Gillavry. Makam tersebut berada satu kompleks dengan makam Islam Jawa di Pemakaman Umum Kemudo, di sebelah barat Balai Desa Kemudo.

Setelah sekitar 30 menit berkeliling Desa Kemudo, nampak dari kejauhan seorang petani yang sedang berladang. Saya memutuskan mendekat dan menanyakan keberadaan makam. “Pak, mohon maaf mengganggu. Anda paham makam Belanda di Dukuh Tegalsari Kemudo?” begitu sekiranya pertanyaan saya. Dengan ramah, beliau menjawab dan menunjukan arah makam yang saya maksud.

Meski sudah mengikuti petunjuknya, saya tetap saja kebablasan saat memasuki gang di perkampungan. Tapi inilah seni petualang, saya malah bisa bertegur sapa dengan warga yang tinggal di sana.

Entah tidak sengaja atau kebetulan, tanpa disadari, makam keluarga Andre-Mac Gillavry sudah saya lalui sebelumnya. Makam tersebut berada di belakang masjid tempat saya istirahat dan salat.

“Oh ternyata, belakang masjid yang dimaksud si bapak tadi Masjid Al Huda toh. Terus saya harus melompat tembok? Atau ada jalan masuk utama? Ah, bukan. Harus lewat timur,” begitu kira-kira saya gumam ketika pertama kali menemukan lokasi makam. Lalu, tibalah saya di depan pintu gerbang makam keluarga Andre-Mac Gillavry yang berada di sebelah timur Masjid Al Huda.

Jika ingin berziarah ke sini, pengunjung bisa melalui jalan desa samping Kantor Balai Desa Kemudo, ke arah barat. Dari sana, pengunjung bisa langsung menuju makam. Jika mengikuti posisi saya dari Masjid Al Huda, maka harus jalan memutar lebih dahulu untuk tiba di makam. 

  • Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten
  • Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten
  • Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten

Silsilah Keluarga Andre-Mac Gillavry

Kaki saya lalu menapak ke dalam kompleks, dan mata langsung tertuju pada dua nisan berbentuk obelisk di sisi kiri gapura makam. Akhirnya saya berhadapan dengan makam keluarga dari Andre-Mac Gillavry meski kondisinya sudah rusak, bahkan batu nisan dengan inskripsi nama salah satu keluarganya pecah tak beraturan.

Saya bersyukur, tidak semua pecahan nisan hilang. Bahkan masih dapat dirangkai menjadi satu kesatuan utuh. Selain itu, nisan milik Andre-Mac Gillavry dalam kondisi sangat baik. Saya pun mulai menelusuri kisah Andre-Mac Gillavry, “siapa dia dan bagaimana bisa bersemayam di sini?”

Berbekal informasi dari rekan saya yakni Han Boers, begini kira-kira cerita singkatnya.

Andre-Mac Gillavry merupakan anak dari Louise Joseph Andre dan Caroline Wilhelmine Mac Gillavry. Pernikahan orangtuanya digelar di Surakarta pada 8 Mei 1879.

“Andre-Mac Gillavry, wafat saat usianya masih muda. Hanya itu saja catatan mengenainya, tidak lebih. Tetapi kalau mengenai keluarga ada beberapa,” sambungnya.

Hans menambahkan, Andre-Mac Gillavry wafat di Klaten. Ada dugaan bahwa ia tinggal di rumah sang ibu karena ayahnya diketahui lahir di Pasuruan, 20 Januari 1853 dan wafat di Cilacap, 28 November 1916. Sedangkan ibunya, kelahiran Surakarta, 21 Januari 1862 dan wafat Yogyakarta, 28 Agustus 1940. 

Ada dugaan Andre-Mac Gillavry wafat karena kondisi kesehatan menurun setelah terjangkit virus. Jamak terjadi, karena sarana kesehatan kala itu kurang memadai.

Sedang asik mengabadikan monumen kematian Andre-Mac Gillavry, tiba-tiba Hans Boers mengirimkan pesan yang tidak saya duga sebelumnya.

“Ternyata, ia (Andre-Mac Gillavry) hingga wafat belum dibaptis dan belum memiliki nama sendiri,” ungkapnya. “Lantas inskripsi makam beliau ini siapa?” tanya saya seraya memandangi batu nisan.

Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten
Batu nisan milik Andre-Mac Gillavry/Ibnu Rustamadji

Hans kemudian menjelaskan asal mula nama pada batu nisan. Menurutnya, nama Andre-Mac Gillavry merupakan perpaduan dua nama marga orangtua. Andre (diambil dari marga ayah yakni Louise Joseph Andre) dan Mac Gillavry (marga ibu yakni Mac Gillavry).

“Ada yang menarik juga mengenai orangtua, Mas! Louise Joseph Andre, putra dari Louis Andre dan Wilhelmina Maria van Hooy. Sang istri yakni Caroline Wilhelmina Mac Gillavry, putri dari Willem Joan Julius Mac Gillavry dan Wilhelmina Jacoba de Chauvigny de Blot,” tambahnya.

Louise Andre yang notabene kakek Andre-Mac Gillavry, seorang purnawirawan direktur perusahaan perkebunan Boemi Asih di Cilacap. Sedangkan kakek dari pihak ibu yakni Willem Joan Julius Mac Gillavry, merupakan purnawirawan Weeskamer Surabaya pada 1852, Weeskamer Semarang pada 1855, dan terakhir sebagai sekertaris Residen Madura pada 1857. 

Andre-Mac Gillavry wafat pada 10 April 1881, belum dibaptis dan memiliki nama  sendiri. Tak ayal batu nisan hanya sederhana namun mendalam maknanya bagi keluarga yang ditinggalkan. Langkah kaki kemudian bergeser ke sisi barat makam Andre-Mac Gillavry, tepatnya di makam keluarga Windijk.

Nisan yang hancur milik Christiaan Leonard Windijk

Kondisi makam keluarga Windijk rusak cukup parah, bahkan batu nisan dengan inskripsi nama mendiang dalam keadaan hancur menjadi beberapa bagian. Tak banyak hal yang bisa dilakukan untuk menyelamatkannya. Untung saja, beberapa pecahannya jatuh tak jauh sehingga masih bisa disusun kembali.

Meski begitu, tidak banyak informasi yang bisa didapat dari batu nisan tersebut, bahkan dari Hans Boers. Jika nama mendiang masih dapat terbaca jelas, mungkin akan sangat membantu. Karena hanya menyisakan marga Windijk, tentu data untuk menelusurinya menjadi sangat terbatas.

Ada dugaan makam yang saya datangi ini milik seorang pemuda kelahiran Surakarta, 22 Maret 1899 dan wafat di Klaten, 06 April 1915, ialah Christiaan Leonard Windijk.

“Ada dugaan juga keluarga C. Leonard Windijk, memiliki kekerabatan dengan keluarga Dezentje. Mengenai pernikahan anak atau sama-sama pemilik perkebunan, tidak ada data pasti,” jelasnya.

Benar adanya.

Christiaan Leonard Windijk putra merupakan dari Charles Windijk dan Leonarde Eureline Dezentje.  Kakek dan nenek dari pihak ayah C. Leonard Windijk yakni Louis Lodeweijk Windijk, dan istri seorang perempuan Jawa yang tidak diketahui namanya. Sedangkan kakek dan nenek dari pihak ibu yakni Alexander Gerard Dezentje dan Raden Roro Salimah.

Karena Christiaan Leonard Windijk wafat di usia muda yakni 16 tahun, tentu tidak banyak catatan tentangnya. Sama seperti pusara mendiang Andre-Mac Gillavry muda di makam sebelumnya.

“Kompleks makam ini milik anak-anak yang wafat usia muda, dua di antaranya Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk,” pikirku. 

Keluarga Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk, diduga memiliki hubungan kekerabatan. Tak ayal dimakamkan secara berdampingan. Hanya sedikit yang bisa kami gali mengenai dua makam keluarga Belanda di Dukuh Tegalsari, Desa Kemudo Klaten ini.

Sebelum saya memutuskan untuk menyudahi pengambilan gambar dan berdoa, mata saya tertuju pada satu monumen lain berukuran sedikit lebih besar. Tanpa ditemani inskripsi, hanya sebuah monumen berbentuk persegi empat dengan bagian tengahnya terbuka.

Monumen ini biasa digunakan untuk meletakan karangan bunga, atau bunga tabur bagi keluarga yang berziarah. Tidak lazim, tetapi inilah yang terjadi.  Awalnya saya juga bingung, monumen makam tetapi tidak lazim bentuknya. Ternyata, ada maksud di balik rancangannya.

  • Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten
  • Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten

***

Jumlah makam Belanda di kompleks kedua keluarga ada sekitar 4 unit, satu rusak parah, tiga sisanya terbengkalai. Hanya ada dua yang memiliki inskripsi, sisanya makam Islam Jawa milik warga Dukuh Tegalsari Desa Kemudo. 

Selama penelusuran makam keluarga Andre-Mac Gillavry dan keluarga Windijk, rasa takut tidak menghinggapi. Selain karena berada di tengah dukuh, juga karena salah satu rumah warga menyalakan musik dangdut berjudul “Ngopi Maszeh” yang dipopulerkan Happy Asmara menggelegar.

Kesan seram dan gelap dari pemakaman seketika berubah menjadi cerah. Terlebih bagi saya sudah biasa untuk menelusuri makam Belanda yang bercampur dengan makam Islam Jawa. Sekali dayung, tiga pulau terlampaui. Sekali ziarah, mendoakan seluruhnya yang telah mendahului meski bukan keluarga.

Mereka yang bersemayam di sini [pemakaman], membutuhkan doa dan tidak meminta untuk digaibkan atau menjadi tempat untuk “meminta”. Jika ingin meminta sesuatu, ya mintalah langsung kepada Tuhan yang menciptakan kehidupan dan kematian. 

Memento mori yang artinya ingatlah akan kematian, sudah sepatutnya setiap orang menghargai dan menyadari. Begitu kira-kira yang bisa gambarkan dari perjalanan saya kali ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menguak-kisah-gillavry-dan-windijk-di-kemudo/feed/ 0 40151
Jejak yang Tersisa dari Mausoleum Van Den Engh Klaten https://telusuri.id/jejak-yang-tersisa-dari-mausoleum-van-den-engh-klaten/ https://telusuri.id/jejak-yang-tersisa-dari-mausoleum-van-den-engh-klaten/#respond Mon, 31 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39527 Tujuan perjalanan saya kali ini mencari keberadaan mausoleum (monumen makam) keluarga Van Den Engh, di Dusun Sukorejo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten. Mausoleum keluarga Van Den Engh adalah satu-satunya makam Belanda yang tersisa di dusun tersebut....

The post Jejak yang Tersisa dari Mausoleum Van Den Engh Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
Tujuan perjalanan saya kali ini mencari keberadaan mausoleum (monumen makam) keluarga Van Den Engh, di Dusun Sukorejo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten. Mausoleum keluarga Van Den Engh adalah satu-satunya makam Belanda yang tersisa di dusun tersebut. Selebihnya adalah makam Islam Jawa milik warga setempat.

Hasil yang terjadi saat telusur pertama kalinya adalah saya salah masuk desa. Setelah kira-kira satu jam keliling dua desa, terakhir saya fokus mencari Dusun Sukorejo. Saya tidak menduga, dusun ini sudah saya lalui sebelumnya. Apa daya, warga sekitar sedang sibuk beraktivitas di sawah sehingga tidak banyak yang bisa saya lakukan.

Kepastian lokasi tersebut akhirnya saya dapatkan ketika istirahat di Masjid Al Ikhlash yang berada di tengah dusun. Terdapat pemakaman umum di belakangnya. Berbekal rasa penasaran saya mencoba peruntungan. Nasib baik, saya berhasil menemukan mausoleum Van Den Engh.

Letaknya di sudut selatan pekuburan Dusun Sukorejo. Sepintas bentuknya sederhana seperti makam Islam di sekitarnya. Namun, kalau jeli melihat terdapat satu nisan berepitaf bahasa Belanda berbunyi “Van Den Engh”. Tanpa pikir panjang saya segera mendokumentasikan dan meneliti setiap sudutnya. Berharap menemukan sesuatu yang melebihi dugaan saya sebelumnya.

Lagi-lagi nasib baik. Saya melihat satu kompleks makam bergaya Islam Jawa milik keluarga Van Den Engh, tepat di depan mausoleum. Akan tetapi, daripada menduga yang tidak-tidak, saya segera mengirimkan hasil dokumentasi ke Hans Boer untuk mendapatkan informasi.

  • Jejak yang Tersisa dari Mausoleum Van Den Engh Klaten
  • Jejak yang Tersisa dari Mausoleum Van Den Engh Klaten

Prajurit Lintas Benua

Baru menginjakkan kaki pertama memasuki area mausoleum, mata saya tertuju pada deretan makam menjulang dengan pilar pada bagian depannya. Inilah mausoleum keluarga Van Den Engh yang saya cari. Lantas siapakah Van Den Engh?

Merujuk informasi Hans Boers, tersebutlah satu nama lebih lengkap, yakni Dirk van den Engh. Ia adalah purnawirawan prajurit militer Belanda kelahiran Dordrecht, 18 Februari 1796. Ia menjadi prajurit untuk Kerajaan Belanda yang tengah melawan kolonial Prancis di bawah kepemimpinan Napoleon Bonaparte.

Pertempuran sengit antara dua negara adidaya kala itu, menjadikan Dirk Van Den Engh melampaui batasanya sebagai prajurit kerajaan. Ia tidak segan mengeksekusi prajurit musuh di hadapan komandannya. Dirk Van Den Engh kemudian meningkatkan kemampuan diri sebagai seorang prajurit kerajaan. Berkat keahliannya, Kerajaan Belanda menugaskan dia ke Hindia Belanda pada 30 April 1816. Tugas pertamanya adalah Maluku, yang ia jalani hingga tahun 1834. Kala itu, Dirk Van Den Engh tergabung dalam ekspedisi untuk ekspansi wilayah kolonialisme Kerajaan Belanda atas Kepulauan Maluku.

Selama hidup di Maluku, banyak suka duka menerpa. Kondisi itu tidak terlepas dari Maluku sebagai pusat perdagangan rempah dunia. Para pedagang dari Eropa dan Timur Asing melakukan ekspedisi untuk menempati wilayah, lalu turut serta memonopoli perdagangan rempah.

Ia pun harus mempertahankan tampuk kekuasaan Kerajaan Belanda di Kepulauan Maluku. Tentu terjadi banyak pertempuran dan persaingan dagang yang harus dia lalui. Berkat kepiawaiannya Kerajaan Belanda mampu mencengkeram Maluku cukup lama. Namun, di awal tahun 1835, Dirk Van Den Engh pindah tugas ke Padang. Hanya sebentar di sana, ia memutuskan pensiun pada pertengahan 1836 dan tinggal di Boyolali, Jawa Tengah.

Rekam Jejak Keluarga di Mausoleum Van Den Engh

Anggota keluarga lain yang ikut dimakamkan di mausoleum Van Den Engh adalah Mas Adjeng Van Den Engh dan Emile Eugene Van Den Engh, putra Pieter Wilhelmus Van Den Engh (wafat 25 Juni 1864) dan Maria Jacoba Van Blommestein dari Surakarta. Dirk Van Den Engh, yang saya sebut sebelumnya, tidak lain merupakan kakek dari Emile Eugene Van Den Engh.

Nisan di mausoleum itu berbunyi: Hier Rust. E.E. van den Engh. Geb. Bojolali 10 Juli 1853. Overld. Kartasoera 25 November 1909. Artinya, Emile Eugene Van Den Engh lahir 10 Juli 1853 di Boyolali dan wafat 25 November 1909 di Kartasura.

Semasa hidup, Emile Eugene Van Den Engh berprofesi sebagai pegawai Buergerlijk Openbarew Werken atau dinas pekerjaan umum di Kota Surakarta. Ia seorang yang cukup loyal dan cakap atas pekerjaannya. Tak ayal pihak instansi tempat ia bekerja memberinya sejumlah penghargaan.

Ia memiliki seorang istri bernama Mbok Saminah, perempuan Jawa yang beragama Islam. Pasca pernikahan mereka tinggal di Kartasura, hingga memiliki empat orang anak: Emma Van Den Engh, Marie Van Den Engh, Adolf Eugene Van Den Engh, dan Sophie Van Den Engh.

Dalam perjalanan waktu, suatu saat takdir akhir pasti sudah ditentukan. Bulan November 1909, instansi tempat ia bekerja mengabarkan bahwa Emile Eugene Van Den Engh wafat di usia 56 tahun. Kabar wafatnya Emile Eugene Van Den Engh cukup mengejutkan rekan sejawatnya. Pasalnya selama bekerja tidak menandakan jika ia mengidap sakit sebelumnya. Emile Eugene Van Den Engh wafat di Kartasura dan dimakamkan di kampung halaman sang istri, yakni Dusun Sukorejo, Wonosari, Klaten. 

Siapa itu Mas Adjeng Van Den Engh? 

Menurut Hans Boer, apabila merujuk tahun wafatnya (1945) dapat ia pastikan jika Mas Adjeng Van Den Engh adalah nama lain dari Sophie Van Den Engh. Anak keempat Emile Eugene dan Mbok Saminah. Mas Adjeng atau Sophie adalah istri dari Frederik Herman Strassners pensiunan pegawai kantor kereta api Netherlandsche Indies Spoorweg Maatschappij (NIS) Surakarta.

Ada dugaan, Frederik Herman turut dikuburkan berdampingan atau bisa juga dimakamkan di kerkop Jebres, Surakarta. Namun, yang pasti Emile Eugene Van Den Engh, Mbok Saminah, dan Sophie Van Den Engh dikubur berdampingan. Tampak pada mausoleum yang memiliki tiga ruang, tetapi hanya milik Emile Eugene Van Den Eng yang memiliki nisannya.

Julukan “Mas Adjeng” untuk Sophie Van Den Engh bukan tanpa sebab. Penyebutan tersebut lazim bagi masyarakat Jawa kala itu. Hal ini diperkuat dengan adanya makam bergaya Islam Jawa di sekeliling mausoleum. Namun, karena menggunakan huruf Jawa, tidak banyak diketahui secara pasti siapa sosok mendiang. Penggunaan huruf Jawa tidak semata-mata tertulis nama mendiang, bisa juga berisi doa. 

Keluarga Emile Eugene Van Den Engh di Sukorejo, Wonosari, Klaten sangat dihormati sebagai keluarga priayi. Status ini membuat Sophie mendapat julukan “Mas Adjeng” meskipun ia seorang perempuan. Penyebutan untuk perempuan berasal dari kata Raden Mas Adjeng, sementara untuk laki-laki, Den Mas, berasal dari kata Raden Mas. Hingga saat ini, beberapa dukuh atau desa di eks Karesidenan Surakarta masih menggunakan sebutan itu sebagai bentuk penghormatan.

Mungkin bagi kalian yang sejak kecil tinggal di kota besar, tidak pernah mendengar penyebutan ini. Saya dapat memahami karena kondisi budaya setempat sudah sangat berbeda. Hal ini tak perlu jadi soal, terpenting adalah tetap menjunjung tinggi kekeluargaan dan menghormati orang yang lebih dewasa.

Kebanggaan atas Perhatian Warga

Ketika saya berkeliling desa, saya tidak menemukan jejak lain dari keluarga Van Den Engh. Bahkan kediaman pun tidak ada. Dugaan saya karena hilang atau beralih kepemilikan. Bisa jadi karena sang istri yang notabene warga Wonosari, Klaten, tentu hidup dan memiliki bentuk tempat tinggal layaknya warga dusun lainnya. 

Meski memiliki kultur yang berbeda, tidak membuat mereka menjalani gaya hidup sendiri sesuai asal leluhurnya. Keempat anak yang saya sebut sebelumnya, patut disebut sebagai anak pribumi. Mereka terlahir dari orang tua dengan dua budaya berbeda dan hidup berdampingan dengan kebudayaan Jawa. 

Terlepas dari status sosial keluarga Van Den Engh, setiap tahun warga rutin merawat kompleks makam secara keseluruhan. Terutama menjelang hari raya keagamaan. Saya sangat bangga, mereka menaruh perhatian terhadap mausoleum keluarga Van Den Engh, dengan cara tidak merusaknya. Sebagai bukti, monumen makam ini masih utuh dan tidak mengalami kerusakan yang berarti.

  • Jejak yang Tersisa dari Mausoleum Van Den Engh Klaten
  • Jejak yang Tersisa dari Mausoleum Van Den Engh Klaten

Khususnya pada bagian nisan yang masih utuh. Dengan adanya nisan, siapa pun yang berkunjung pasti akan membaca nama seseorang yang dikuburkan di sini. Apabila nisan sudah hilang atau rusak tentu akan susah mengetahuinya, terutama jika ada keluarga yang berziarah.

Selama penelusuran dan menyaksikan secara langsung kompleks makam tersebut, saya menduga masih ada anak atau keturunannya hingga saat ini. Namun, karena keterbatasan informasi dari Hans Boer dan warga dusun, dugaan saya masih menjadi pertanyaan besar yang belum terjawab sampai sekarang.

Besar harapan saya, melalui cerita dan penelusuran ini, bisa sedikit membantu keturunan Van Den Engh—di mana pun berada—mengetahui lokasi leluhur mereka tinggal. Sudah selayaknya juga kerkop atau mausoleum lain di Indonesia mendapat perhatian khusus dari pihak pemangku kepentingan (stakeholder). Tidak hanya untuk kepentingan tertentu, seperti penelitian atau lainnya, tetapi juga membantu anak dan keturunan Van Den Engh yang sekian tahun mungkin masih mencari jejak leluhur mereka. Saya yakin mereka masih terus mencari dan saya harap mereka akan menemuinya suatu saat nanti.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak yang Tersisa dari Mausoleum Van Den Engh Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-yang-tersisa-dari-mausoleum-van-den-engh-klaten/feed/ 0 39527
Menelusuri Kisah Carel Frederik Winter dan R.Ng. Ronggowarsito di Kerkhof Palar https://telusuri.id/menelusuri-kisah-carel-frederik-winter-dan-r-ng-ronggowarsito-di-kerkhof-palar/ https://telusuri.id/menelusuri-kisah-carel-frederik-winter-dan-r-ng-ronggowarsito-di-kerkhof-palar/#respond Mon, 27 Feb 2023 04:11:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37387 Penelusuran saya menjelajah kerkhof di Klaten berlanjut. Kali ini tujuan saya ada di Dukuh Padangan, Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Lebih tepatnya di komplek makam Raden Ngabehi (R.Ng.) Ronggowarsito. Dari Kecamatan Ceper, ke selatan...

The post Menelusuri Kisah Carel Frederik Winter dan R.Ng. Ronggowarsito di Kerkhof Palar appeared first on TelusuRI.

]]>
Penelusuran saya menjelajah kerkhof di Klaten berlanjut. Kali ini tujuan saya ada di Dukuh Padangan, Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Lebih tepatnya di komplek makam Raden Ngabehi (R.Ng.) Ronggowarsito. Dari Kecamatan Ceper, ke selatan sekitar 15 menit perjalanan. 

Untuk menuju makam R.Ng Ronggowarsito, saya melalui Jalan Pedan–Trucuk Klaten. Sampai di Pasar Kiringan saya bertanya pada warga setempat arah makam R.Ng Ronggowarsito yang ternyata berada di tengah Desa Palar, sebelah barat Desa Sumber.

Setelah melalui dua desa selama 20 menit, saya akhirnya tiba di Desa Palar. Dari timur desa, saya melihat ada pohon beringin di tengah pertigaan jalan. Tanpa pikir panjang saya mencoba untuk mendekat ke arah barat.

Setelah lebih dekat, barulah terlihat bahwa pohon beringin yang menjadi bagian dari komplek makam R.Ng. Ronggowarsito. Saya menitipkan kendaraan di sini, lalu berjalan ke belakang pohon beringin. Di sana, makam R.Ng. Ronggowarsito dan Kerkhof  Palar berada.

Awalnya saya penasaran. “Makam R.Ng. Ronggowarsito bergaya Islam Jawa, mana mungkin ada kerkhof sih?” gumam saya.

Setelah menelusurinya, baru menemukan kerkhof tersebut berada di dalam—tepat di samping mausoleum sang pujangga R.Ng. Ronggowarsito.

Pintu gerbang depan komplek makam R.Ng. Ronggowarsito/Ibnu Rustamadji

Makam Carel Frederik Winter

Perhatian saya tertuju pada satu nisan ber-epitaf Jawa berbentuk obelisk di samping mausoleum R.Ng. Ronggowarsito. Inilah Kerkhof Palar yang saya maksud. Lalu, dengan segera saya mengabadikan seluruh detail makam. 

Tidak lupa saya kirimkan dokumentasi ini kepada Hans Boers untuk mendapatkan catatan detail siapa mendiang, dan bagaimana hubungannya dengan R.Ng. Ronggowarsito. Saya menduga, mendiang merupakan orang yang berpengaruh.

Tak hanya itu, saya juga menduga bahwa nisan yang ada di depan saya ini hasil pindahan dari suatu tempat karena masih tampak baru, bercungkup gaya Jawa. Dugaan saya ini kemudian dibenarkan oleh sang juru kunci. Menurutnya, makam Winter ini merupakan pindahan dari kuburan Belanda di Jebres, Solo. “Kerkhof Jebres digusur tahun 1980-an, termasuk makam Winter, makam lainnya tidak bersisa. Tulang belulang Winter turut dibawa ke sini, diletakkan dalam peti kayu. Jadi tidak hanya nisannya.” tambahnya.

Merujuk epitaf batu nisan, sepasang suami istri-lah yang mendiami makam ini. Ialah Carel Frederik Winter dan sang istri, Jacoba Hendrika Logeman.

“Carel Frederik Winter, kelahiran Yogyakarta 5 Juli 1799, wafat di Surakarta 14 Januari 1849. Sang ayah bernama Johannes Wilhelmus Winter, dan ibu bernama Christina Louisa Karnatz.” ungkap Hans Boers. 

Hans Boers menambahkan, “Carel Winter merupakan penerjemah di kantor Karesidenan Surakarta. Ia memulai karir sejak tahun 1818, kala itu masih sebagai Asisten Penerjemah Bahasa Jawa di Institut Bahasa Surakarta.”

Tahun 1825 Carel Winter resmi menjabat sabagai penerjemah dan mengajar di institusi yang sama, hingga institut dibubarkan tahun 1843. Setahun kemudian, pemerintah Belanda menjalin kerjasama dengan tuan Wilkens dan Carel Winter, menyusun kamus Etimologi Jawa–Belanda. 

“Tulisan mereka menjadi een eerste proeve’ atau tajuk utama, di majalah Van Nederlands Indie VI tahun 1844,” tambahnya. Tahun 1845 Carel Winter didaulat menjadi Komisaris Pemerintah Surakarta.

Tidak lama kemudian, Carel Winter mendapat tugas menerjemahkan sebagian kitab Undang-Undang Hindia Belanda (Staatsblad van Nederlandsch Indie) ke bahasa Jawa atas perintah Residen Surakarta tuan .J.F.W. van Nes.

“Carel Frederik Winter menjadi penerjemah dibantu sang istri yakni Jacoba Hendrika Logeman. Hingga Carel Winter sukses mendirikan perusahaan Surat Kabar Mingguan berbahasa Jawa bernama Bromartani di Surakarta.” tambah Hans Boers. Ia bersama sang anak, Gustaaf Winter mengelola surat kabar tersebut.

Kebahagian Carel Winter dan sang istri, tidak berlangsung lama. Jacoba Hendrika Logeman wafat di tahun 1828, ia dimakamkan di Kerkhof Jebres. Untuk menyambung hidup, Carel Winter bekerja sebagai editorial di Bromartani. Tidak lama kemudian dipecat, karena meloloskan artikel panas mengenai sastra.

Bromartani terbit pertama kalinya 29 Maret 1855, bekerja sama dengan Penerbit Hartevelt. Namun sayang. Dua perusahaan media ternama itu, hanya bertahan satu tahun. Tepatnya 23 Desember 1856, Bromartani terbit terakhir kalinya.

Hubungan Antara Carel Winter dan R.Ng. Ronggowarsito

Usai redupnya Bromartani dan wafatnya sang istri, Carel Winter dipandang sebagai sastrawan Jawa terakhir. Karena setelahnya, priyayi Jawa lebih banyak berguru dengan intelek Belanda. Carel Winter dan R.Ng. Ronggowarsito lalu bekerjasama dalam penerjemahan naskah-naskah sastra kuno ke dalam Bahasa Jawa–Belanda maupun sebaliknya. Tidak dipungkiri, mereka juga memiliki ikatan kekeluargaan. Jadi, tak heran makam Carel Winter berada di samping mausoleum R.Ng. Ronggowarsito.

Hubungan antara Carel Winter dan R.Ng. Ronggowarsito tertuang dalam serat dan babad yang mereka ciptakan. Mayoritas berbahasa Jawa, hasil terjemahan Bahasa Sansekerta dan Kawi. Beberapa karya Carel Winter, berupa puisi dan prosa adaptasi. Sebagian puisi karyanya diterbitkan Bataviasche Genootschap XXI, Prosa Hangling Darma dan Lonjang Damar Woelan. Sedangkan karya lain saat bekerja sama dengan Roorda dan Gaal di antaranya adaptasi Prosa dari Bratajoeda, Prosa Rama dan Ardjoenasra diterbitkan Roorda tahun 1845, Kitab Adji-Saka diterbitkan Roorda dan Gaal tahun 1857, Sahabat Djawa Vol 1 diterbitkan Roorda tahun 1848 dan Vol 2 diterbitkan Keyzer tahun 1858. 

Menurut Hans Boers, ada yang lebih menarik di balik kisah Carel Winter dan Ronggowarsito. Ia pun merujuk penelitian Nancy Florida dan menemukan fakta menarik mengenai Carel Winter yakni perannya sebagai seorang dalang di balik penangkapan dan pengasingan ayah dari R.Ng. Ronggowarsito saat geger Perang Jawa tepatnya tahun 1828.

Raden Mas Pajangswara yang notabene ayah R.Ng. Ronggowarsito sekaligus guru Carel Winter diduga berkhianat oleh pemerintah kolonial. R.M. Pajangswara kemudian ditahan dan dibuang hingga wafat.

Mengetahui hal ini, R.Ng. Ronggowarsito tidak bisa berkutik, ia memilih melawan dalam keheningan melalui pengetahuan. Salah satu karya mengenai perlawanannya tertuang dalam Serat Kalatidha.

Hans Boers menambahkan, “Carel Winter wafat lima tahun pascaperusahaan Bromartani tutup, tepatnya 14 Januari 1859 karena penyakit stroke. Jenazahnya dimakamkan berdampingan dengan sang istri, Jacoba Hendrika Logeman di Kerkhof Jebres.

Orang Belanda yang dikubur di Kerkhof Jebres selain keluarga Carel Winter, yakni P.W.C. Blackwardt, seoang kepala Rumah Sakit Kadipolo sekaligus Kepala Perkebunan Mento-Toelakan Sukoharjo. Juga keluarga Ellen Vogel, pemilik perusahaan Buwalda & Co Surakarta.

Saat ini, Kerkhof  Jebres sudah tidak berbekas. Berubah menjadi perkampungan dan rumah susun sewa Jebres. Dulu, letaknya berada persis di seberang Stasiun Kereta Api Jebres Surakarta. Ada dugaan kediaman Carel Winter dan istri, tidak jauh dari kawasan Jebres dan Keraton Kasunanan Surakarta.

Menurut saya, sisi menarik lain dari makam Carel Winter bukan hanya pada catatan sejarah yang menyertainya, tetapi juga batu nisannya. Nisan berbentuk obelisk dengan panji heraldic, lazim untuk kerkhof di Indonesia. 

Selain berbentuk obelisk dengan heraldic, keunikan lain terdapat pada hiasan sisi kiri dan kanan plakat tembaganya. Merujuk karya Tui Snider mengenai arti simbol batu nisan, hiasan tersebut berupa obor terbalik atau inverted torch. Obor terbalik digunakan untuk menunjukan apabila jiwa seseorang yang telah wafat, akan tetap menyala di akhirat. Menariknya lagi, cungkup makam Carel Winter berbentuk pendapa berbahan kayu dengan epitaf huruf Jawa.

Makam Carel Winter paling mencolok, karena satu-satunya makam milik orang Belanda dan bersanding dengan pujangga besar R.Ng. Ronggowarsito. Harmoni dalam kebhinekaan tampak begitu jelas pada kedua makam ini. Sastrawan yang menaruh kecintaan terhadap Indonesia, berdampingan dengan pujangga terakhir Jawa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Kisah Carel Frederik Winter dan R.Ng. Ronggowarsito di Kerkhof Palar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-kisah-carel-frederik-winter-dan-r-ng-ronggowarsito-di-kerkhof-palar/feed/ 0 37387
Kisah Casper Frederik Deuining dan Nisan Polyglot yang Tersisa dari Keluarga Portier https://telusuri.id/kisah-casper-frederik-deuining-dan-nisan-polyglot-yang-tersisa-dari-keluarga-portier/ https://telusuri.id/kisah-casper-frederik-deuining-dan-nisan-polyglot-yang-tersisa-dari-keluarga-portier/#respond Thu, 23 Feb 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37293 Usai mengabadikan nisan Adolph B. Andreas, 10 langkah ke utara, saya menyambangi nisan Casper Frederik Deuining. Ia seorang pengawas senior Pabrik Gula Cokro Tulung Klaten. Berdasar keterangan Hans Boers, beliau suami dari Djeminem Kamijoyom, anak...

The post Kisah Casper Frederik Deuining dan Nisan Polyglot yang Tersisa dari Keluarga Portier appeared first on TelusuRI.

]]>
Usai mengabadikan nisan Adolph B. Andreas, 10 langkah ke utara, saya menyambangi nisan Casper Frederik Deuining. Ia seorang pengawas senior Pabrik Gula Cokro Tulung Klaten. Berdasar keterangan Hans Boers, beliau suami dari Djeminem Kamijoyom, anak dari Raden Tumenggung Kamidjoyo dan Raden Ayu Soemantri.

Pernikahan Deuning dan Djeminem digelar di Ceper pada 9 Septmber 1884. Pascamenikah, Djeminem berubah nama menjadi Johanna Trouwen, dan keduanya sempat tinggal sementara di Boyolali sebelum menetap di Klaten.

Menurut Hans, keluarga besar Deuning memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga August Jan Caspar Dezentje (Boyolali), P.A. Van Der Steur (Magelang), dan Kasunanan Solo.

Kerkhof Ceper
Nisan milik Casper Frederik Deuning, Pengawas Senior Pabrik Gula Cokro Tulung/Ibnu Rustamadji

Sebelum bekerja sebagai pengawas Pabrik Gula Cokro Tulung, ia seorang distributor suku cadang mesin pabrik gula dan kopi. Deuning bekerja sebagai insinyur mesin di Cokro Tulung sejak tahun 1886, kala itu John van der Linden menjadi atasannya.

Semasa bekerja, Deuning tercatat berperilaku baik. Ia pun mendapat kehormatan dari pemilik dan karyawan Pabrik Gula Cokro Tulung. Karirnya melonjak tajam. Berawal dari insinyur mesin dan pengawas pabrik, tahun 1890, Deuning mampu mengakuisisi seluruh manajemen Pabrik Gula Cokro Tulung. 

Sayangnya, tidak lama kemudian sang istri wafat pada 29 Mei 1898 di Klaten, disusul pemberitaan miring mengenai keluarganya dan kabar mengenai ditangkapnya adik bungsu Deuning yang bernama Ferdinandus, atas tuduhan membunuh bayinya yang baru dilahirkan. Hal ini merupakan pukulan bertubi-tubi baginya yang sedang di puncak kejayaan.

“Itu ternyata isu, untuk menutupi masalah sewa tanah perkebunan antara si orang (tidak diketahui siapa) dan Ferdinandus” terang Hans. “Untungnya, Deuning dapat mengatasi masalah hingga pergantian pengawas perkebunan gula Pabrik Gula Cokro Tulung hingga tahun 1899” tambahnya.

Enam tahun kemudian Casper Frederik Deuning wafat tanggal 9 September 1905, di usia 68 tahun dimakamkan di Ceper Klaten berdampingan dengan Adolph B. Andreas. Sedangkan makam istri Casper Deuning tidak diketahui berada di mana. Ada dugaan istri dan anak juga dimakamkan di sini.

Saudara kandung Deuning, mayoritas bekerja dengan Tuan Dorrepal dan Dezentje. Ada juga keluarganya, penyewa tanah perkebunan di Kaliwingko untuk budidaya padi. 

Nisan Polyglot yang Tersisa dari Keluarga Portier

Ada satu nisan Eropa yang berada di pemakaman ini masih utuh lengkap dengan epitaf tiga bahasa Jawa, Arab dan Belanda, biasa disebut makam polyglot. Baru kali ini, saya menemukan tiga bahasa dalam satu nisan.

Epitaf berbahasa Belanda berbunyi, “Hier Rust. Arend Alexander Portier. Geborend den 22 Augustus 1880, Overleden den 13 Januari 1886.” 

Epitaf nisan berbahasa Arab Pegon dan Jawa berbunyi, “Ing ngriki ajalipun. Arind Alexander Purtier, Lahir Ahad 22 Agustus 1880 Wulan Siyam ing Tahun Wawu 1071. Ajal Rabu Legi Tanggal Kaping 7 Robi’ul Akhir Tahun Dal 1818.” 

Ketiga epitaf artinya, “Di sini beristirahat. Arend Alexander Portier, lahir Minggu (puasa) 22 Agustus 1880, wafat Rabu (Legi) 13 Januari 1886/7 Robiu’ul Akhir Tahundal 1818.” 

  • Kerkhof Ceper
  • Kerkhof Ceper
  • Kerkhof Ceper
  • Kerkhof Ceper

Selain tiga bahasa berbeda, ada juga simbol kematian berupa pahatan berwujud tengkorak.

“Di Solo dan Jogja, banyak kerabat Portier. Kalau saya mencari menurut nama orang tua, atau leluhurnya ketemu nama Alexander Leendert Portier,” terang Hans. 

Tahun 1876 di Solo, ada penerbit dan penjual buku Namanya Jonas, usahanya bernama Jonas Portier en Co, tambahnya. Buku yang diterbitkan berbahasa Jawa kuno tentang perawatan sawah untuk mendapat hasil panen optimal. 

“Tahun 1881 toko Jonas Portier en Co dijual kepada tuan C.L. Baier,” sambungnya. Kediaman Jonas L. Portier en Co di Kedung Kopi, Solo juga dijual tanggal 1 Oktober 1880.

Nah, apakah mereka memiliki keterkaitan? Hans tidak bisa memberikan kepastian. Yang jelas ibunya priyayi dan sang ayah pegawai Belanda. 

  • Kerkhof Ceper
  • Kerkhof Ceper

Terakhir, ada satu makam lagi yang berada di timur makam Alexader Portier. Makam tidak dikenal, karena nama yang terukir rusak. Hanya tersisa hiasan makam berbentuk cincin yang artinya kehidupan abad.

Sebelum meninggalkan kawasan pemakaman, tidak lupa saya mengirim doa untuk mereka yang telah mendahului. Harapan saya, empat makam ini tidak dirusak demi menjaga bukti arkeologis bagi peneliti generasi mendatang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah Casper Frederik Deuining dan Nisan Polyglot yang Tersisa dari Keluarga Portier appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-casper-frederik-deuining-dan-nisan-polyglot-yang-tersisa-dari-keluarga-portier/feed/ 0 37293
Jejak Adolph Barsikh Andreeas di Kerkhof Ceper Klaten https://telusuri.id/jejak-adolph-barsikh-andreeas-di-kerkhof-ceper-klaten/ https://telusuri.id/jejak-adolph-barsikh-andreeas-di-kerkhof-ceper-klaten/#respond Wed, 22 Feb 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37278 Saya melanjutkan penelusuran kerkhof yang ada di sekitar Kabupaten Klaten. Kali ini di Dukuh Pason, Desa Sinden, Kecamatan Ceper Klaten. Dukuh Pason sendiri ada di sisi utara bekas Pabrik Gula Ceper, dipisahkan oleh tembok pabrik...

The post Jejak Adolph Barsikh Andreeas di Kerkhof Ceper Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya melanjutkan penelusuran kerkhof yang ada di sekitar Kabupaten Klaten. Kali ini di Dukuh Pason, Desa Sinden, Kecamatan Ceper Klaten. Dukuh Pason sendiri ada di sisi utara bekas Pabrik Gula Ceper, dipisahkan oleh tembok pabrik dan saluran irigasi.

Kerkhof Ceper
Gapura Dukuh Pason, Desa Ceper Klaten. Pintu masuk Kerkhof Ceper/Ibnu Rustamadji

Setelah menelusuri jalanan dukuh sekitar 20 menit, saya sampai di gapura dukuh. Dari gapura, saya masuk dan melihat sebuah rumah—atau mungkin pendapa—yang berada di ujung jalan. Tanpa berpikir panjang, saya menuju ke sana.

Semakin mendekat, barulah terlihat bahwa bangunan ini adalah balai pertemuan warga. Sayangnya, tidak ada warga yang beraktivitas di sana yang bisa saya tanyai mengenai Kerkhof Ceper. Saya diam sejenak hingga lima menit kemudian, seorang pria paruh baya terlihat keluar dari belakang balai pertemuan.

Saya yang terlanjur penasaran akan letak kerkhof, memutuskan untuk menunggu pria tadi. Setidaknya saya bisa bertanya, bukan? Pikir saya.

Sayangnya, ia tak kunjung muncul kembali. Saya kemudian nekat pergi ke belakang balai pertemuan, dan menemukan hal tak terduga. Di sinilah Kerkhof Ceper berada. 

Sepintas Kerkhof Ceper tampak seperti makam pada umumnya, makam modern dengan kijing keramik mendominasinya. Namun, di sela-sela kijing keramik, terdapat nisan-nisan milik orang Eropa. Yang pertama adalah nisan yang terbuat dari batu granit berwarna hitam, dan berbentuk persegi panjang.

Saya menduga nisan ini pernah diperbaiki sebelumnya, terlihat dari marmer yang masih mengkilap dan tidak usang. Mendiang yang dikuburkan di sini bernama Adolph Barsikh Andreeas, seorang pria kelahiran Semarang memiliki darah Armenia dan Iran.

Dulunya, beliau pengawas senior di Pabrik Gula Ceper. Daripada saya dikira menduga, beberapa dokumentasi saya kirim ke Hans Boers. Tidak lama, Hans membalas pesan saya dengan mengirimkan sejumlah informasi mengenai Adolph Barsikh Andreas.

Kerkhof Ceper
Nisan Adolph Barsikh Andreas/Ibnu Rustamadji

“Adolph Andreas berdarah Armeia. Tahun 1602 ada beberapa keluarga orang Armenia berasal dari Nagorno Karabakh (dahulu bernama Artsakh), pindah ke Iran atas undangan Shah Abas dari Persia di kota Nor Jugha (Isfahan).” 

Hans melanjutkan, “Mereka berangkat ke Iran karena, di sana, membutuhkan bantuan dana dan sukarelawan untuk berperang melawan Turki.” Warga negara Armenia di Iran kala itu, ternyata diijinkan membangun gereja, sekolah dan tempat tinggal sendiri.

Lantas bagaimana sebagian dari mereka bisa sampai di Indonesia?

“Mereka (orang Armenia) berdagang di India, Indonesia, Thailand, Kamboja, Filipina dan Birma; kemudian, ada yang tinggal di negara tersebut dan kembali ke Iran.”

Adolph Barsikh Andreas, anak dari Barsikh Andreas sepupu dari Agha Hovsep Hovhannes Amirkan.

“Agha Hovsep Hovhannes, ini moyang saya,” tambahnya. Saya semakin penasaran tentunya. 

Adolph Barsikh Andreas kelahiran Semarang 25 Mei 1842, anak dari Barsikh Andreas yang merupakan warga Armenia dan Augustina Carolina Waitz yang berdarah Belanda dan Jerman. Adolph Barsikh merupakan seorang perwira militer KNIL Semarang. Beliau lahir ketika orangtuanya berdinas di Semarang. Istrinya bernama Josephine Andreas van Waardenburg.

Kerkhof Ceper
Nisan milik Adolph B. Andreas, Casper F. Deuning dan Arend A. Portier berdampingan/Ibnu Rustamadji

Ia wafat dan dimakamkan di Ceper karena selain sebagai pengawas senior, beliau juga pemilik Sebagian saham Pabrik Gula Ceper.

Selama pengawasannya, Pabrik Gula Ceper tidak lagi mengekspor gula berskala kecil. Keputusan berani yang ia pilih kala itu. Hans Boers menambahkan, “Enam tahun kemudian, tepatnya tanggal 16 Mei 1898, Adolph B. Andreas tergabung dalam Solosche Landhuurders-Vereeniging wilayah Ceper Klaten.” 

Solosche Landhuurders-Verening, merupakan organisasi berisikan pemilik sekaligus penyewa tanah di Solo. Ketua organisasinya Jhr. W.D. van Nispen, sekaligus ketua Maconniek Solo. Anggotanya sejumlah 11 orang tuan tanah. Menurut Hans, sisi menarik Adolph B. Andreas tidak hanya nisannya, tetapi mengenai kehidupannya di Solo.

Selama aktif berorganisasi, Adolph B. Andreas sering menulis kritik di koran ‘De Locomotief’—surat kabar Semarang era Hindia Belanda. Inti kritikan ditujukan ke organisasinya, karena tidak puas dalam keterbukaan antar anggota.

Puncak kritikan Adolph B. Andreas terjadi saat pembukaan Soos (Societeit) di Solo. Pembukaan dirayakan dengan gelaran pentas “Kantata”. Pengisi acaranya yakni anak-anak pengusaha, pemilik modal. Adolph B. Andreas mengetahui hal ini geram. Beliau menyatakan pentas “Kantata” harusnya diramaikan semua kalangan, tidak hanya anak keluarga pengusaha. 

Warga lokal lalu diperkenankan hadir dan memeriahkan perayaan sejak pukul 7 malam. Soos yang dibangun oleh organisasi Adolph B. Andreas, ditujukan untuk sarana hiburan para priyayi Jawa dan Eropa di Kota Solo. Adolph B. Andreas mengkritik karena kesewenangan para anggota, supaya organisasi Solosche Landhuurder-Vereeniging mendapat tempat di masyarakat. 

Tanggal 8 Oktober 1900 adalah masa terpuruk bagi keluarga Adolph B. Andreas. Anak sulungnya yang bernama Angelique Adolphine wafat pada usia sangat sekitar 15 bulan. 

“Hanya saja, lokasi makam Angelique Adolphine berada, di Ceper atau tempat lain, tidak ada catatannya,” ujar Hans Boers.

Sejauh pengamatan saya di Kerkhof Ceper, jangankan makam Angelique Adolphine, makam Josephine Andreas van Waardenburg juga tidak ada. 

Adolph Barsikh Andreas wafat 25 Oktober 1902 pada usia 54 tahun karena mengidap stroke cukup lama, tepat dua tahun setelah Angelique Adolphine wafat. Hingga akhir hayat, beliau menjabat pengawas senior di Pabrik Gula Ceper. Pascapemakaman, barulah jabatan pengawas senior digantikan Tuan Knoops mantan pengawas Pabrik Gula Kaliwungu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak Adolph Barsikh Andreeas di Kerkhof Ceper Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-adolph-barsikh-andreeas-di-kerkhof-ceper-klaten/feed/ 0 37278
Sepenggal Cerita dari Kerkhof Wonosari, Klaten https://telusuri.id/sepenggal-cerita-dari-kerkhof-wonosari-klaten/ https://telusuri.id/sepenggal-cerita-dari-kerkhof-wonosari-klaten/#comments Wed, 01 Feb 2023 04:00:11 +0000 https://telusuri.id/?p=36555 Perjalanan saya selanjutnya berlanjut di perbatasan antara Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sukoharjo, yakni Kecamatan Wonosari. Bukan Kecamatan Wonosari Yogyakarta, tetapi Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten. Bagi masyarakat awam, mungkin akan bingung. Tahunya Wonosari itu ada di...

The post Sepenggal Cerita dari Kerkhof Wonosari, Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan saya selanjutnya berlanjut di perbatasan antara Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sukoharjo, yakni Kecamatan Wonosari. Bukan Kecamatan Wonosari Yogyakarta, tetapi Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten. Bagi masyarakat awam, mungkin akan bingung. Tahunya Wonosari itu ada di Yogyakarta. Padahal, Wonosari juga ada di Klaten, tepatnya berada di selatan Kabupaten Sukoharjo. Di sini ada sisa-sisa kerkhof yang menarik untuk kita telusuri. Posisinya berada di belakang Polsek Wonosari.

Woalah, berada di Desa Tinggen!” gumam saya.

Saya sempat kebablasan sesampainya di Polsek Wonosari. Mau tanya warga, iya kalau mereka tahu, kalau tidak? Saya pun berpikir dua kali. Langsung saja putar balik, dan masuk Desa Tinggen. Sekitar 30 menit keluar masuk desa saya tidak menemukannya, akhirnya saya putuskan menyebrang jembatan antar dukuh. 

“Pojok jembatan Desa Tinggen tadi, ada gang kecil ke timur, apa di sana posisinya?” tanya saya pada diri sendiri.

Tidak lama, saya langsung putar balik. Menyusuri gang kecil padat, di pojokan rumah ada jalan beton mengarah ke antah berantah. Ternyata ini jalan menuju Makam Kyai Klunggu, lokasi tujuan saya.

  • Kerkhor Wonosari Klaten
  • Kerkhor Wonosari Klaten
  • Kerkhor Wonosari Klaten
  • Kerkhor Wonosari Klaten

Selamat Datang di Makam Keluarga Van Groll dan De Bruijn

Tujuan saya memang ke Makam Kyai Klunggu, tetapi saya ke sana bukan untuk mengunjungi makam beliau, melainkan makam keluarga Van Groll dan De Bruijn. Bukan kenapa-napa, tetapi saya memang  tidak mengetahui informasi apapun tentang Kyai Klunggu.

Setibanya di sana makam, tampak ada dua komplek makam keluarga. Posisinya berada di sisi barat makam warga lokal. Ada sekitar 8 nisan berinskripsi Belanda di sini. Tebakan saya, Kerkhof  Wonosari adalah makam keluarga pengusaha.

Tebakan saya tepat. Hans Boers mengatakan bahwa Van Groll dan De Bruijn adalah keluarga pemilik perkebunan pewarna di Klaten. Nama perusahaannya adalah Perkebunan Budidaya Pewarna Indigo ‘Gondangsari’. Dari penjelasan awal Hans Boers ini, saya sempat bingung.

“Lah, kenapa makamnya ada di Wonosari, apakah karena pernikahan dengan perempuan Jawa, dan pasca pernikahannya mereka tinggal di sini?” 

Ternyata lagi, selain pemilik perkebunan, mereka sekaligus tinggal di rumah pribadi tengah perkebunan. 

Perkebunan Indigo ‘Gondangsari’ lokasinya tidak jauh dari Kerkhof  Wonosari, walaupun sekarang sudah berubah menjadi persawahan dan pemukiman warga. “Rumahnya bagus sebenarnya, Mas. Tapi sekarang sudah hilang, saya ada foto portrait dan rumahnya. Mau saya kirimi?” lanjut Hans.

Tentu saya tidak menolak tawarannya. Tidak lama, dua foto lama keluarga Van Groll dan De Bruijn masuk di pesan singkat saya. Melalui foto potraitnya, mereka tampak seperti orang Jawa, tapi keduanya dari Belanda. Orang tuanya Jawa dan Belanda, anaknya berketurunan Indonesia.

Makam kedua keluarga masih utuh kondisinya. Adapun nisan yang masih bisa terbaca milik Albertien Louise Breton van Groll, Rosalie Adolpien Breton van Groll, dan Gerardien Nicolien Breton van Groll. 

  • Kerkhor Wonosari Klaten
  • Kerkhor Wonosari Klaten
  • Kerkhor Wonosari Klaten

Mereka bertiga cucu dari Gustaaf Adolf Breton van Groll, kelahiran Ampel Boyolali; dan Theodoroa Breton van Groll geboren de Bruijn kelahiran Gawok Sukoharjo. “Theodora Breton de Bruijn, keluarga Nicolaas de Bruijn,” lanjut Hans melalui pesan singkat.

“Jadi, keluarga Van Groll menikah dengan keluarga De Bruijn dan semasa tinggal di Indonesia (Hindia Belanda) kala itu berada di Wonosari Klaten,” lanjutnya. Pantas, hanya dua keluarga ini yang tinggal hingga wafat di Wonosari, Klaten.

“Bapak, ibu, dan yang cucu wafat dimakamkan kembali ke tanah kelahiran mereka di sini (Wonosari),” gumam saya sembari mengabadikan nisan milik dua keluarga ini. Tidak lama, Hans Boers mengirim pesan yang saya tidak duga sebelumnya. Dalam pesannya, Hans menulis; 

“…Hoogwater. Uit de dessa schrijft men onder dato van 25 dezer aan de N. Vorstenlanden; Het is verschrikkelijk met den bandjir. Reeds drie maal vie ren twintig uren staan mijn zeven en half bouw indigo en tachtig bouw padi onder water en nog dringt het bandjir-water verder de Velden en dessa’s in. Van gemelden aanplant zal natuurlijk niets terecht komen…”

“…In de kedjawen dessa’s Pangang We’oot, Tempel, Ngepringan, Gondanglegi enz. is het nog erger gesteld. Daarvan is de bevolking met haar karbouwen, sapi’s, kippen en eenden naar bandjir vrije dessa’s gevlucht…”

…De onderneming Gondangsari is op eem gedeelte na geheel onder water, tot de woning van den beheerde toe…”

Tenang saja, sudah saya terjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Berikut hasil terjemahannya.

“…Vorstenlanden (Solo). Air tinggi menggenangi desa di tanggal 25 Januari 1895 disusul banjir selama 3 hari. Kebun pewarna dan sawah, tergenang air banjir. Setelah itu memasuki saluran air dan desa. Tentu tidak ada hasil panen…”

“…Di desa Pangang, Ngepringan, Gondanglegi lebih parah lagi. Warga harus mengungsi dengan kerbau, sapi, unggasnya ke daerah lain yang bebas banjir…”

“…Banjir selain menggenangi desa juga perkebunan budidaya dan persawahan. Perkebunan Budidaya Pewarna Indigo ‘Gondanglegi’ dan rumah pemiliknya juga ikut tergenang…” 

Perkebunan budidaya dan kediaman van Groll ikut tergenang, “Mungkinkah, banjir ini membuat kondisi mereka rentan terserang virus dan wafat di usia muda?” Hans Boers meyakini bahwa banjir dan kesehataan yang memburuk menjadi penyebab mereka tidak berumur panjang.

  • Kerkhor Wonosari Klaten
  • Kerkhor Wonosari Klaten

Dari penelusuran saya bersama Hans Boer, kami dapatkan kesimpulan mengenai silsilah keluarga Van Groll dan De Bruijn di Wonosari Klaten ini. Berikut detail mengenai kedua keluarga, saya urutkan dari generasi tertua.

Gustaaf Adolf Adriaan Breton van Groll, lahir di Ampel Boyolali 22 Juni 1837 wafat di Surakarta 4 Oktober 1902. Gustaaf A. Adrian Breton van Groll anak dari Gerhardus Nicolaas van Groll dan Nancy van Stralendorff.

Gustaaf. A. Adrian Breton van Groll suami dari Theodora de Bruijn. Karena menikah dengan keluarga Van Groll, namanya menjadi Theodora Breton van Groll geb. De Bruijn. Theodora de Bruijn kelahiran Gawok 21 Oktober 1855, wafat di Gondangsari 18 Juli 1913. 

Pernikahan Gustaaf. A. Adrian Breton van Groll dan Theodora van Groll diselenggarakan 6 Oktober 1880 di Klaten. Dari pernikahan, mereka dikaruniai 7 orang anak. Semua bermarga Van Groll. 

Mereka adalah Ernestien Nicolien, Adolf Ernest, Theodoor Henry Mathieu, Louis Ernelier, Henry Gerardus, Gustaaf Adolf Paul dan August Johan Nicolaas. Anak-anaknya hidup menyebar ke seluruh Jawa, tidak hanya di Surakarta.

Makam lain yang ada di sini adalah milik Albertien Louise Breton van Groll, Rosalie Adolpien Breton van Groll, dan Gerardien Nicolien Breton van Groll. Kami menduga mereka saudara kandung dari Gustaaf. A Adrian Breton van Groll. 

Nisan makam milik keluarga De Bruijn, berdiri berdampingan dengan Albertien Louise Breton van Groll. Tertulis pada nisannya Johannes Nicolaas de Bruijn, kelahiran Semarang 1810, wafat di Gawok 1868. Kami duga, J. Nicolaas de Bruijn merupakan orang tua dari Theodora de Bruijn. Tidak ada catatan lain mengenai keduanya.

Oiya, saya hampir lupa masih ada 3 nisan di sini. Nisan milik Wiliam Antonie (1 Tahun), Pauline Antonie (1 Tahun), dan Christian Antonie (3 Tahun). Kami duga, ketiga anak balita ini cucu dari Gustaaf. A. Adrian Breton van Groll, dan Theodora van Groll geb. De Bruijn. 

Makam mereka dilapisi keramik putih berhias keramik motif pemandangan Belanda, namun sayang nisan berinskripsi nama mereka sedikit terpendam di dalam tanah.

Keluarga Breton van Groll pemilik Perkebunan Budidaya Pewarna Indigo bernama “Gondangsari”. Musibah banjir tahun 1895, memaksa kedua keluarga untuk bertahan hidup serba terbatas. Namun pada akhirnya menyerah dengan keadaan di usia mereka yang masih muda. Mereka wafat, dikebumikan tidak jauh dari tanah kelahiran sang ibu.

Sebelum meninggalkan kompleks makam kedua keluarga, saya sempatkan untuk mengirim doa untuk mereka.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sepenggal Cerita dari Kerkhof Wonosari, Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sepenggal-cerita-dari-kerkhof-wonosari-klaten/feed/ 1 36555