komodo Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/komodo/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 31 May 2024 06:16:57 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 komodo Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/komodo/ 32 32 135956295 Suka Duka di Negeri Para Naga https://telusuri.id/suka-duka-di-negeri-para-naga/ https://telusuri.id/suka-duka-di-negeri-para-naga/#respond Fri, 31 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42071 Pada 2020 lalu, di Bima, saya terdiam memandangi layar ponsel. Saya amati Google Maps. Betapa dekat posisi saya dari Pulau Komodo. Hanya selat Sape yang memisahkan daratan di bawah kaki saya saat itu dengan negeri...

The post Suka Duka di Negeri Para Naga appeared first on TelusuRI.

]]>
Pada 2020 lalu, di Bima, saya terdiam memandangi layar ponsel. Saya amati Google Maps. Betapa dekat posisi saya dari Pulau Komodo. Hanya selat Sape yang memisahkan daratan di bawah kaki saya saat itu dengan negeri para naga. Namun, sayang sekali, saya harus pulang dan membiarkan rasa penasaran akan pulau-pulau ajaib tersebut mengendap.

Hasrat saya akan Pulau Komodo menemukan muaranya tahun ini. Tidak, saya tak pergi ke sana—setidaknya belum. Akan tetapi, buku terbaru Fatris MF cukup memberi saya secuil gambaran akan negeri kadal raksasa itu. 

Di Bawah Kuasa Naga adalah buku setebal 136 halaman yang ditulis dalam dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Isinya catatan perjalanan Fatris ke Taman Nasional Komodo, lengkap dengan hasil jepretan kamera yang menyokong cerita. 

Di halaman awal, saya mengalami momen dejavu. Pasalnya, di situ terpampang peta Asia Tenggara. Setitik noktah merah menunjukkan letak Taman Nasional Komodo di antara gugusan daratan-daratan lain. Memori saya sontak terlempar ke empat tahun lalu. Di halaman sebelumnya, foto seorang bocah menyapa lewat sorot mata polosnya. Setelah itu, saya diajak penulis mengingat jejak komodo dalam ingatan orang Indonesia. Sesuatu terngiang di kepala. Macet lagi, macet lagi, gara-gara si Komo lewat

Tak berlebihan rasanya jika menyebut travelog Fatris sebagai etnografi. Pasalnya, ia tak melulu berkisah soal komodo, tetapi juga kondisi masyarakat di pulau gersang itu. Melalui tulisannya, pembaca diajak berkeliling, duduk-duduk, tidur-tiduran, dan mengobrol bersama penduduk sekitar sambil mendengarkan tutur cerita mereka. 

Meski begitu, sang penulis tidak meromantisasi negeri ajaib itu, seperti lazimnya buku panduan wisata atau program-program televisi yang seringkali menyiarkan eksotisme kawasan pelosok. Dia tak hanya menyibak permukaan, ia menyelam lebih dalam.

Suka Duka di Negeri Para Naga
Sampul depan buku terbaru Fatris MF, Di Bawah Kuasa Naga/Asief Abdi

Kuasa Absolut Sang Naga

“Dunia modern telah menetapkan dia sebagai naga terakhir yang masih hidup di muka bumi, dan naga terakhir ini telah menjadi berhala dunia modern. Ia dikunjungi, dipuja, dibuatkan patung, dilindungi, setengah disembah. Untuk keberlangsungan hidup ribuan naga ini, ribuan manusia siap ditumbalkan. Hingga hari ini, naga itu menentukan nasib ribuan manusia.” (hal. 5).

Kalimat tersebut menjadi titik tolak Fatris bercerita soal suka duka di pulau tempat manusia dan komodo hidup berdampingan. Judul yang dipilihnya sangat pas dengan situasi yang ia amati. Lewat buku ini, Fatris memberitahu kita bahwa di negeri tersebut, komodo adalah kunci.

Catatan perjalanan Fatris dimulai dari Labuan Bajo. Dengan apik, ia menggambarkan transformasi kawasan itu dan keadaannya dalam lipatan pandemi. Saya bisa membayangkan jalanan lengang, kapal-kapal tertambat lesu, dan udara kering Nusa Tenggara Timur.

Ia pun menyeberang ke Pulau Rinca dan Komodo. Si penulis memang berniat melihat komodo. Itu pasti. Jika saya berlayar ke tempat itu, saya pun bakal begitu. Namun, sebagai seorang penulis kawakan, Fatris tak sekadar berjalan-jalan di sabana tandus dan melintasi laut bersama warga lokal, ia juga menjelajahi dimensi lain yang kerap luput dari kacamata wisatawan.

Selain menjejaki alam sekala, Fatris turut menyelami jagad niskala penduduk setempat yang sejak mula sudah hidup bersama sang naga. Ia menggali mitos lokal dan mengulik hubungan mereka dengan komodo yang totemis. Lewat percakapannya dengan Fatima, ia mengajak pembaca memahami mengapa orang-orang Rinca bisa tinggal berbagi ruang dengan kadal-kadal bersisik tebal itu dan ogah pindah walau bahaya bisa nongol kapan saja di kolong rumah mereka.

“ ‘Sabai, Piong ahu… punga. Lepas aku. Kita sama-sama komodo, saya tidak jahat sama kamu, saya hanya mengambil daun kayu. Falidi, pulang sana,’ kata Fatima dalam bahasa Komodo, pulau tempat nenek moyang komodo konon berasal, juga pulau tempat Fatima berasal.” (hal. 99).

Namun, Fatris menaruh perhatian lebih pada persoalan pariwisata. Sebab komodo tak bisa dipisahkan dari turisme. Sail Komodo, agenda masif pariwisata yang dielu-elukan tersebut, yang tampaknya akan membawa angin segar bagi warga sekitar taman nasional, nyatanya tak seindah itu. Melalui obrolannya bersama warga, sang penulis menyibak situasi sosial ekonomi masyarakat lokal di balik ingar bingar wisatawan.

Dengan telaten, Fatris mendengarkan suara-suara yang selama ini tak pernah terdengar. Kisah-kisah yang selama ini tersapu hegemoni wisata komodo. Ia memaksa saya berpikir ulang soal upaya konservasi di daerah itu. Juga perkara siapa yang paling diuntungkan dari aktivitas wisata gila-gilaan ini.

“ ’Membanggakan? Menebang kayu susah, berkebun susah, melaut susah, banyak aturan. Taman Nasional nol rupiah buat kami. Sekarang nenek-nenek kami sudah mulai diusir satu per satu. Kami mau diusir dari pulau kami,’ kata Muhammad Nur lagi.” (hal. 106).

Saya bisa membayangkan sang penulis duduk-duduk di kolong rumah bersama warga lokal, mengangguk-anggukkan kepala. Dia menyimak dengan saksama, lalu menarasikan kembali semua yang ia dengar dengan apik hingga mampu menggugah empati pembaca. Sampai-sampai saya merasa iba pada para pedagang yang menggantungkan nasib pada turis.

“Pedagang memanggil, ‘Mari, silakan masuk, Bapak, Ibu, ada kaos, ada kaos bagus!’ Namun, tak ada seorang pun turis yang menggubris. Mereka hanya berlalu setelah berhasil melihat komodo sambil menenteng minuman sendiri, lalu berfoto-foto, jepret sana jepret sini, lalu naik pinisi lagi, dan berlayar entah ke pulau mana lagi. Di laut depan gapura Loh Liang, belasan pinisi melego jangkar, menurunkan turis dan menaikkannya lagi, datang dan pergi. Sulit untuk membayangkan wisatawan-wisatawan itu akan singgah di warung Nur maupun warung-warung lusuh lain yang berjejer di situ untuk menikmati Nutri Sari es atau meminum kopi saset dicampur kental manis.” (hal. 106).

Suka Duka di Negeri Para Naga
Corat-coret penulis dan foto pembuka/Asief Abdi

Foto-foto Penting yang Menopang Cerita

Selain gaya bahasa yang anggun, kekuatan buku ini juga terletak pada foto. Puluhan hasil bidikan lensa Fatris dalam bukunya menopang keseluruhan isi cerita. Tentu bukan perkara sederhana seorang fotografer mampu berjarak sedekat itu dengan subjeknya. Butuh rasa saling percaya antara keduanya dan itu perlu waktu. Lewat gambar-gambar memukau, pembaca diajak menengok keseharian warga Rinca dan Komodo. Saya tak bisa membayangkan buku ini tanpa foto-foto itu. Rasanya pasti akan hambar.

Di bagian akhir, sebuah gambar berbentuk siluet burung menutup cerita. Saya teringat foto burung gagak di lembar depan. Makhluk berbulu hitam itu, seperti kita tahu, lekat dengan pertanda buruk. Barangkali, sang penulis tak menampilkan sosok itu sebagai citra visual belaka. Boleh jadi, gagak mewakili pandangan muram penulis akan apa yang dilihatnya di tanah ranggas itu.

Walau demikian, Di Bawah Kuasa Naga tetap menarik. Pada akhirnya, buku ini bukan tentang Varanus komodoensis, melainkan tentang orang-orang yang hidup bersama makhluk purba itu. Dengan wawasan mumpuni dan narasi yang sastrawi, Fatris berhasil membuat tulisan yang enak dibaca perihal geliat pariwisata di Taman Nasional Komodo berikut kompleksitasnya. Sesuatu yang jarang kita temui di media-media arus utama. Buku ini merupakan karya Fatris MF pertama yang saya baca. Dan sepertinya, saya harus membaca tulisan-tulisan dia yang lain.


Judul: Di Bawah Kuasa Naga
Penulis: Fatris MF
Penerbit: Jual Buku Sastra (JBS), Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2024
Tebal: xxvii + 138 halaman
ISBN: 978-623-7904-87-8


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Suka Duka di Negeri Para Naga appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/suka-duka-di-negeri-para-naga/feed/ 0 42071
Proyek “Jurassic Park” Taman Nasional Komodo https://telusuri.id/proyek-jurassic-park-taman-nasional-komodo/ https://telusuri.id/proyek-jurassic-park-taman-nasional-komodo/#respond Sun, 05 Dec 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30724 Proyek pembangunan kawasan pariwisata di Taman Nasional Komodo menyita perhatian publik. Anggapan bahwa pembangunan itu dapat mengancam keberlangsungan hidup komodo menyeruak di masyarakat. Tersebarnya foto komodo menghadap truk proyek membuat pembangunan Taman Nasional Komodo dijuluki...

The post Proyek “Jurassic Park” Taman Nasional Komodo appeared first on TelusuRI.

]]>
Proyek pembangunan kawasan pariwisata di Taman Nasional Komodo menyita perhatian publik. Anggapan bahwa pembangunan itu dapat mengancam keberlangsungan hidup komodo menyeruak di masyarakat. Tersebarnya foto komodo menghadap truk proyek membuat pembangunan Taman Nasional Komodo dijuluki “Jurassic Park”. Nama itu muncul karena komodo sebagai satwa langka yang mengingatkan publik terhadap dinosaurus di film dengan judul yang sama.

Taman Nasional Komodo sebenarnya adalah gugusan pulau di Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Pulau Komodo merupakan bagian dari taman nasional tersebut bersama Pulau Rinca, Pulau Padar, serta sejumlah pulau kecil lainnya. Dikenal sebagai habitat asli komodo, pulau-pulau ini dinobatkan menjadi situs warisan dunia UNESCO.

Komodo merupakan spesies kadal terbesar di dunia dengan panjang 2-3 meter dan berat tubuh rata-rata 90 kilogram. Kini komodo sendiri termasuk satwa langka yang dilindungi. Berdasarkan data 2019, ada sekitar 3.022 komodo di pulau-pulau bagian dari Taman Nasional Komodo. Selain komodo, laut di sekitar taman nasional adalah rumah bagi ratusan jenis biota laut. Sehingga, keindahan bawah lautnya juga tak perlu diragukan lagi.

Keindahan alam dan bawah laut yang memukau berhasil menarik perhatian wisatawan untuk melancong ke Taman Nasional Komodo. Di pulau yang berbatasan dengan Nusa Tenggara Barat itu, para wisatawan dapat melihat kehidupan komodo di alam liar. Pesona yang dimiliki rumah bagi ribuan komodo itu telah menjadikannya salah satu destinasi wisata unggulan Indonesia, bersanding dengan Bali dan Raja Ampat.

Komodo Menghadang Truk-Instagram @gregoriusafioma
Komodo menghadang truk/Instagram @gregoriusafioma

Proyek Pengembangan Pariwisata

Pulau Rinca-Unsplash-Azis Pradana
Pulau Rinca via Unsplash/Azis Pradana

Pemerintah pun berusaha melakukan pembangunan, sehingga taman nasional ini tampak semakin apik. Salah satunya proyek pembangunan yang menghebohkan publik akhir-akhir ini. Pemerintah berujar bahwa kali ini merupakan pembangunan tempat wisata premium di kawasan Taman Nasional Komodo, NTT. Khususnya di Pulau Rinca yang difokuskan sebagai tujuan pariwisata massal.

Proyek pembangunan Taman Nasional Komodo sejak tahun lalu memang sangat gencar dilakukan. Bertujuan untuk pengembangan pariwisata, salah satu daerah yang dibangun secara signifikan adalah Loh Buaya, Pulau Rinca. Bahkan, wilayah ini sempat ditutup guna percepatan pembangunan dan penataan sarana serta prasarana di Resor Loh Buaya. Pembangunan kawasan wisata di Loh Buaya, meliputi dermaga, penginapan ranger dan pemandu alam, serta bermacam sarana pendukung pariwisata, dilakukan selama pandemi.

Pemerintah mengklaim sudah menugaskan beberapa polisi hutan guna mengawasi agar tidak ada komodo yang menjadi korban proyek tersebut. Nantinya, Pulau Rinca akan jadi tempat wisata (mass tourism) di Taman Nasional Komodo. Sehingga, turis-turis akan diarahkan ke Pulau Rinca. Lalu, Pulau Komodo dijadikan wilayah pusat konservasi para komodo yang membuat kunjungan ke sana akan dibatasi.

Peringatan UNESCO

Pembangunan yang dianggap mengganggu kesejahteraan komodo ini disoroti oleh berbagai lembaga dan organisasi nasional dan internasional. Bahkan, proyek ini pun mendapat peringatan agar dihentikan oleh UNESCO. Permintaan penghentian seluruh proyek di kawasan Taman Nasional Komodo tertuang data dokumen yang terbit usai konvensi tanggal 16-31 Juli 2021.

Menurut UNESCO, pembangunan itu dapat mempengaruhi Outstanding Universal Value (OUV) sebelum adanya peninjauan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) oleh Uni Internasional Konservasi Alam (IUCN). Komite Warisan Dunia UNESCO juga dibuat cemas dengan adanya undang-undang yang mengizinkan pembangunan infrastruktur tanpa AMDAL (UU Cipta Kerja).

Meskipun sudah diminta untuk dihentikan, ternyata pemerintah masih keukeuh melanjutkan pembangunan di kawasan Taman Nasional Komodo. Pemerintah berdalih bahwa proyek ini tidak akan memberi dampak lingkungan. Selain itu, pembangunan ini sudah sesuai konsep berkelanjutan yang sejak awal diusung.

Pemerintah juga mengatakan bahwa pembangunan di Taman Nasional Komodo bertujuan renovasi sarana dan prasarana yang sudah ada, tetapi tidak layak. Sarana dan prasarana tersebut akan diganti dengan yang berstandar internasional. Oleh karena itu, pembangunan daerah pariwisata tersebut dianggap tidak akan membahayakan satwa, terutama komodo sebagai aset berharganya.

Ramainya TN Komodo-Unsplash-Rizknas @rizknas
Ramainya TN Komodo-Unsplash-Rizknas @rizknas

Janji Pemerintah

Dengan adanya pengembangan itu, pemerintah secara berani menargetkan target kunjungan sebanyak 500.000 orang per tahun. Tentu hal ini menjadi perhatian khusus, sebagaimana diketahui jumlah kunjungan tahunan Taman Nasional Komodo berkisar 250.000 orang sebelum pandemi. Namun, lagi dan lagi pemerintah meyakinkan bahwa mereka tetap berfokus pada pariwisata berkualitas di kawasan Taman Nasional Komodo. Pariwisata berkualitas itu juga akan tetap menjunjung asas keberlanjutan.

Bagi masyarakat sekitar, pemerintah menambahkan bahwa mereka akan memaksimalkan potensi budaya maupun konten lokal sebagai kekuatan utama wisata di taman nasional tersebut. Masyarakat setempat akan dilibatkan hingga kesejahteraan mereka akan meningkat seiring pembangunan kawasan Taman Nasional Komodo. Pernyataan itu seolah-olah jadi jawaban atas desakan masyarakat untuk melaksanakan pengembangan pariwisata berbasis kerakyatan.

Namun, berbagai respons pemerintah dianggap belum mampu meyakinkan masyarakat. Bahkan, masyarakat sempat membuat petisi ditujukan kepada Pak Jokowi dan kementerian terkait. Isi petisi itu agar pembangunan di Pulau Rinca dihentikan. Hal tersebut karena proyek pembangunan kawasan pariwisata premium di Pulau Rinca merupakan ancaman serius. Masyarakat lokal, aktivis lingkungan hidup, hingga pemerhati alam tetap berharap pembangunan ini tidak dilanjutkan. Karena dampaknya tidak hanya lingkungan, tetapi juga satwa dan masyarakat sekitar.

Banyak masyarakat berpegang teguh pada perspektif bahwa Taman Nasional Komodo sebagai kawasan konservasi, bukan ladang bisnis. Meskipun adanya perdebatan tentang proyek “Jurassic Park” di Taman Nasional Komodo, semua lapisan masyarakat tetap berharap yang terbaik dan pemerintah tak ingkar dengan janji-janji yang telah dibuat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
.

The post Proyek “Jurassic Park” Taman Nasional Komodo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/proyek-jurassic-park-taman-nasional-komodo/feed/ 0 30724
Boleh Genjot Pariwisata, Tapi Jangan Abai Konservasi https://telusuri.id/boleh-genjot-pariwisata-tapi-jangan-abai-konservasi/ https://telusuri.id/boleh-genjot-pariwisata-tapi-jangan-abai-konservasi/#comments Sat, 12 Dec 2020 11:44:00 +0000 https://telusuri.id/?p=25849 Investasi di sektor pariwisata sedang digenjot habis-habisan. Pemerintah Indonesia saat ini sedang ngebut menyelesaikan proyek pembangunan infrastruktur di lima Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Salah satunya yaitu proyek pembangunan infrastruktur untuk mendukung berdirinya Jurassic Park...

The post Boleh Genjot Pariwisata, Tapi Jangan Abai Konservasi appeared first on TelusuRI.

]]>
Investasi di sektor pariwisata sedang digenjot habis-habisan. Pemerintah Indonesia saat ini sedang ngebut menyelesaikan proyek pembangunan infrastruktur di lima Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Salah satunya yaitu proyek pembangunan infrastruktur untuk mendukung berdirinya Jurassic Park di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur.

Ditargetkan Jurassic Park di Taman Nasional Komodo ini bisa rampung pada Juni 2021 mendatang. Harapannya tentu saja yaitu dapat turut meningkatkan produktivitas di sektor pariwisata kita pada tatanan kenormalan baru (new normal). Pemerintah punya keyakinan bahwa sektor ekonomi utama yang dapat bangkit dengan cepat di masa tatanan baru adalah sektor pariwisata.

Akan tetapi, sejumlah pihak mengeluarkan suara ketidaksetujuannya. Mereka berpendapat pembangunan Jurassic Park tidak selaras dengan spirit konservasi dan akan mengancam kelestarian komodo dan keanekaragaman hayati yang ada di Taman Nasional Komodo.

Para penentang pembangunan Jurassic Park menginginkan pemerintah lebih konsen pada urusan konservasi Taman Nasional Komodo ketimbang mengutak-atik kawasan tersebut untuk urusan investasi industri pariwisata yang berbasis pada pembangunan infrastruktur skala besar, yang pada gilirannya bakal merusak ekosistem Taman Nasional Komodo.

Pemerintah sendiri menjamin bahwa pembangunan Jurassic Park di Taman Nasional Komodo sama sekali tidak akan mengganggu ekosistem dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah konservasi.

Gapura di Loh Buaya, Pulau Komodo

Gapura di Loh Buaya, Pulau Komodo. TEMPO / Frannoto

Dampak Ekologis

Sebagai kawasan konservasi, Taman Nasional Komodo — yang meliputi Pulau Komodo, Pulau Rinca dan Pulau Padar — bukan hanya diperuntukkan bagi kepentingan pelestarian komodo (Varanus komodoensis), tetapi juga untuk melindungi seluruh keanekaragaman hayati, baik yang ada di laut maupun yang ada di darat.

Menurut Strategi Konservasi Dunia (World Conservation Strategy) yang digagas oleh The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) yang berbasis di Gland, Swiss, konservasi memiliki tiga tujuan utama, yaitu (a) memelihara proses ekologi yang esensial dan sistem pendukung kehidupan; (b) mempertahankan keaneka-ragaman genetis; dan (c) menjamin pemanfaatan jenis (spesies) dan ekosistem secara berkesinambungan.

Idealnya, kawasan konservasi harus dilindungi secara ketat sehingga tidak boleh ada sedikitpun gangguan tangan manusia yang dapat merecoki proses alami di kawasan tersebut.

Kendatipun ada yang berpandangan bahwa pembangunan — sampai batas tertentu — dapat saja dilakukan di kawasan konservasi sepanjang sesuai dengan bentang alam dan lingkungan setempat, tidak sedikit pakar lingkungan yang berkeyakinan bahwa pembangunan sekecil apa pun di kawasan konservasi tetap akan melahirkan sejumlah dampak ekologis yang mengancam pada kelestarian alam lingkungan.

Ambil contoh, pembangunan biasanya menuntut dibukanya akses jalan baru bagi kendaraan bermotor. Keberadaan jalur jalan baru ini selain meningkatkan polusi suara dan udara, juga menjadi ancaman khusus bagi berbagai fauna yang ada di kawasan konservasi. Masih ingat foto viral yang menunjukkan seekor komodo dan sebuah truk yang membawa tiang pancang, baru-baru ini?

Sejumlah fasilitas juga akan berdiri seiring dengan pembangunan yang dilakukan. Namun, umumnya fasilitas yang dibangun tidak selalu ada kaitannya dengan aktivitas konservasi. Keberadaan sejumlah fasilitas kemungkinan besar malah bisa mengubah struktur tanah, mengubah pola resapan serta aliran air hujan yang mengakibatkan timbulnya erosi dan perubahan topografi alam, yang menjadikan kualitas lingkungan di kawasan konservasi berikut kawasan di sekitarnya makin terdegradasi.

Pembangunan sangat boleh jadi akan memicu meningkatnya penggunaan tenaga listrik, bahan bakar minyak, penggunaan air dan produksi sampah. Buntutnya terjadi peningkatan polusi (udara, suara, cahaya maupun tanah) di sekitar kawasan konservasi, yang pada gilirannya membuat kelestarian alam lingkungan makin rusak.

Taman Nasional Komodo

Salah satu pulau di Kawasan Taman Nasional Komodo. TEMPO / Tony Hartawan.

Mengingat dampak ekologis yang mungkin akan timbul, wajar jika sejumlah pihak bukan saja menyayangkan tetapi juga menentang pembangunan Jurassic Park di Taman Nasional Komodo.

Dampak Ekonomis

Ditilik dari kacamata bisnis pariwisata, keberadaan Jurassic Park nantinya memang bisa menjadi salah satu primadona sektor pariwisata negeri ini dan ikut mengatrol pendapatan negara kita.

Seperti kita ketahui bersama, gara-gara wabah corona (COVID-19), sejak Februari silam, pendapatan dari sektor pariwisata negara kita mengalami penurunan. Ada yang menaksir industri pariwisata Indonesia diperkirakan telah mengalami kerugian mencapai Rp 85,7 triliun. Target kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia tahun ini dipastikan pula meleset.

Sebelumnya, Indonesia menargetkan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) pada 2020 ini sebanyak 17 juta kunjungan. Tahun 2019 silam, jumlah wisman yang datang ke Indonesia adalah sebanyak 16,1 juta, meningkat dari jumlah kunjungan wisman 2018, yang berjumlah 15,81 juta kunjungan.

Keberadaan Jurassic Park di Taman Nasional Komodo setidaknya akan bisa menjadi magnet bagi para wisatawan untuk berduyun datang, terutama di masa recovery pasca-corona.

Sektor pariwisata memang dapat diandalkan sebagai salah satu industri pokok yang mampu menopang perekonomian. Industri pariwisata bukan hanya mampu mengucurkan keuntungan devisa yang lumayan besar, tetapi juga menjadi katalis bagi pembangunan negara.

Mengingat manfaatnya yang tidak kecil, banyak negara memberi perhatian sangat serius bagi pengembangan sektor pariwisata.Thailand, Singapura serta Malaysia adalah beberapa contoh negara di lingkup ASEAN yang telah cukup berhasil mengembangkan industri pariwisatanya dewasa ini.

Indonesia sudah barang tentu tidak boleh sedikit pun ketinggalan langkah dalam membangun industri pariwisatanya. Investasi di sektor ini perlu terus digenjot. Meskipun begitu, pembangunan sektor pariwisata perlu pula memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan. Salah satunya yaitu menjaga agar jangan sampai pembangunan pariwisata mengorbankan dan merusak kawasan-kawasan konservasi.

Labuan Bajo

Labuan Bajo. TEMPO / Tony Hartawan.

 

The post Boleh Genjot Pariwisata, Tapi Jangan Abai Konservasi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/boleh-genjot-pariwisata-tapi-jangan-abai-konservasi/feed/ 1 25849