kopi robusta brenggolo Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kopi-robusta-brenggolo/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 22 Dec 2023 05:49:45 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kopi robusta brenggolo Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kopi-robusta-brenggolo/ 32 32 135956295 Menyigi Brenggolo dengan Kopi dan Kolaborasi https://telusuri.id/menyigi-brenggolo-dengan-kopi-dan-kolaborasi/ https://telusuri.id/menyigi-brenggolo-dengan-kopi-dan-kolaborasi/#respond Sun, 30 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39512 Pariwisata bisa melengkapi pengembangan kopi robusta Brenggolo di masa mendatang. Ada dua jalan, yaitu cara termurah yang mudah dan melenakan atau cara termahal untuk menjaga kualitas dan keberlanjutan. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda, Rony...

The post Menyigi Brenggolo dengan Kopi dan Kolaborasi appeared first on TelusuRI.

]]>
Pariwisata bisa melengkapi pengembangan kopi robusta Brenggolo di masa mendatang. Ada dua jalan, yaitu cara termurah yang mudah dan melenakan atau cara termahal untuk menjaga kualitas dan keberlanjutan.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rony Tri SP, Rifqy Faiza Rahman, dan Wonogirich


Usai tur kebun, panitia Suro Brenggolo 2023 membagi peserta menjadi tiga kelompok besar. Dua kelompok pria diinapkan di dua rumah yang terletak dekat dengan kantor Poktan Argo Wilis. Sementara kelompok perempuan menginap di rumah warga tak jauh dari masjid dusun di timur laut. Tim TelusuRI bersama enam pegiat kopi dari Wonogiri dan Sukoharjo menempati rumah milik Pak Narimo (68), yang berada di seberang kediaman Pak Doni—halamannya jadi tempat parkir kendaraan peserta.

Sama seperti petani kopi lainnya, rumah Pak Narimo tidak lepas dari segala pernak-pernik berbau kopi. Halaman rumah terpakai untuk menjemur kopi. Sudut ruang tamu, tempat peserta tidur, tersimpan setidaknya 10 karung berisi biji kopi dengan bobot masing-masing lebih dari setengah kuintal. Bahkan di kamar cucunya, Bayu Saputra, yang memiliki interior kekinian, tertempel aneka quotes tentang kopi dan kehidupan. Terakhir, yang hampir selalu ada sepanjang waktu, segelas kopi panas. Kopi seakan telah menyatu dalam nadi dan darah Pak Narimo dan warga Gemawang. Tiada hari tanpa kopi. Dalam satu hari, minimal empat gelas kopi hitam robusta harus masuk ke lambung. Jika kurang dari itu, menurut Pak Narimo, “Perutku malah kembung, ndas iso ngelu (kepala bisa pusing).”

Menyigi Brenggolo dengan Kopi
Pak Narimo (membawa cangkul, dua dari kanan) usai mendampingi Mbah Sadiman menanam bibit pohon beringin dekat mata air bersama pegiat kopi lainnya/Deta Widyananda

Jika tidak salah ingat, saya dan tim sudah meneguk kopi empat kali dalam waktu kurang dari delapan jam sejak kedatangan. Masing-masing segelas di acara pembukaan, setelah tur kebun, di rumah Pak Narimo, dan malam tasyakuran 1 Suro. Apa yang dialami Pak Narimo tentu sangat berlawanan dengan kami, khususnya Deta, fotografer TelusuRI. Semalaman dia bergelut dengan sakit kepala dan perut kembung karena “efek samping” kebanyakan kopi.

Budaya kopi yang menjalar di Brenggolo, dengan sendirinya, sudah menjadi daya tarik nilai lokal yang khas. Menurut pandangan saya, Gemawang jangan hanya berjalan di zona nyaman menjadi sektor hulu secara “mentah” saja. Ada banyak jalan yang bisa digapai dengan melihat lebih jauh, mendengar lebih tajam, dan merasakan lebih dalam.

Melihat Sisi Lain

Penyelenggaraan Suro Brenggolo, seperti kata Heriyudin (20), adalah sejarah baru bagi kampungnya. Setelah pendirian Poktan Argo Wilis pada 2017, acara tersebut seakan melegitimasi jejak serta pencapaian yang telah Pak Darmo dan Pak Yahmin ukir di Dusun Gemawang. Walaupun sederhana, setidaknya kopi robusta Brenggolo kian tersebar lewat banyak jejaring. Media sosial, khususnya, benar-benar menjadi senjata ampuh mengakomodasi angan-angan untuk maju dan bertumbuh lebih besar.

Salah satu potensi yang bisa memanfaatkan kesempatan tersebut adalah mengembangkan ekowisata. Ekowisata bukan hanya dinyatakan sebagai sebuah sektor semata, melainkan prinsip atau kaidah ideal untuk mewujudkan pariwisata berkelanjutan dari hulu ke hilir. Dalam beberapa aspek, penerapan ekowisata bisa jadi memerlukan ongkos yang mahal daripada menggalakkan turisme massal yang lebih murah dan mudah.

Menurut M. Nurdin Razak, praktisi ecotourism dan penulis buku Ekowisata: Manajemen Kawasan Konservasi, ekowisata tidak melulu bicara soal kecintaan pada alam dan alasan ekonomi (penghasilan). Mahalnya ekowisata adalah sebagai bentuk penghargaan atau apresiasi tinggi pada wawasan dan pengetahuan terhadap suatu potensi dan seisinya. Ia pun menyarankan jalan teraman, yaitu pengelolaan berbasis pengalaman, storytelling, dan memaksimalkan panca indra sebagai nilai tambah.

Menyigi Brenggolo dengan Kopi
Pemandangan Gunung Lawu dari titik tertinggi Desa Brenggolo/Rifqy Faiza Rahman

Dalam ranah kepariwisataan, kopi bisa menjadi literasi pelengkap bahkan dasar dari ruang-ruang pengembangan lainnya. Namun, tentu ada batasan-batasan yang harus menjadi pagar supaya tetap lestari dan berkelanjutan. Masyarakat Gemawang, Brenggolo, harus menjadi pemeran utama di tempatnya sendiri. Mereka adalah filter terbaik untuk mencegah potensi eksplorasi berlebihan dari aktivitas wisata dan elemen lainnya yang ke depan mungkin jalan beriringan bersama kopi. Tapal batas untuk menjaga daya dukung optimal yang tidak membebani lingkungan Dusun Gemawang. Falsafah Jawa yang berbunyi “desa mawa cara, negara mawa tata” (setiap daerah memiliki adat istiadat atau aturan yang berbeda) adalah pondasi dan bekal penting sebelum menerima perubahan dari luar.

Bicara soal pengalaman dan tutur cerita, para anggota Poktan Argo Wilis dari lintas generasi sesungguhnya telah memiliki modal besar tersebut. Akan tetapi, penggawa Gemawang tak perlu memaksakan diri harus menguasai segala lini di luar perkopian. Sekalipun kelak akan terbiasa menjadi mandiri, mereka bisa menghemat banyak aspek jika berkolaborasi dengan sejumlah pihak yang relevan dan memberi manfaat.

Koneksi Lintas Komunitas

Bila ekowisata menjadi alternatif program untuk digabungkan dengan kopi, maka yang paling krusial adalah soal mengutamakan kualitas daripada kuantitas. Brenggolo, terutama Gemawang, sudah punya sumber daya alam paling fundamental dan harus dijaga dalam jangka panjang. Di hari kedua acara (19/07/2023), selepas Subuh, saya dan Rivai, rekan setim, melihat potensi besar tersebut dan menilai bahwa daya tarik alam Brenggolo bisa dimaksimalkan.

Kami menyaksikan panorama mengagumkan dengan radius pandang hampir 360 derajat dari puncak tertinggi Brenggolo. Pak Darmo dan orang-orang Gemawang menyebutnya Gunung Pepe. Ketinggiannya hampir mencapai 1.015 meter di atas permukaan laut (mdpl). Terdapat dua buah menara pemancar untuk jaringan telekomunikasi atau internet. Selain matahari terbit, tersaji gugusan perbukitan dan Gunung Lawu tepat di utara. Bergerak ke barat, di kejauhan terpaku kokoh Gunung Merapi dan Merbabu. Selanjutnya sampai ke selatan, Pegunungan Sewu yang terbentang dari Gunungkidul, melintasi Wonogiri sampai Pacitan bisa jadi laboratorium edukasi geologi. Menguak sejarah bumi selatan Jawa dari masa purba hingga saat ini. Pemandangan ini, kalau saya sebut, merupakan kombinasi maut untuk mengangkat nama Brenggolo selain sebagai salah satu sentra kopi robusta Wonogiri.

Memulai sesuatu yang benar-benar baru memang tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Tatkala budidaya kopi pertama kali muncul menggantikan cengkih dan komoditas nonproduktif lainnya, perjuangan Pak Darmo dan Pak Yahmin ibarat menyusuri belantara tanpa peta dan peralatan memadai. Di balik tekad dan optimisme, keduanya seperti bertaruh sendirian dengan waktu dan siklus alam. Jika duet musisi Ananda Badudu dan Rara Sekar sudah hadir di era itu, barangkali tembang “Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti” akan menjadi musik latar mereka di tengah kebun kopi prematur nan sunyi.

Menyigi Brenggolo dengan Kopi
Peserta bersama panitia dan warga Poktan Argo Wilis foto bersama di akhir sesi Suro Brenggolo di depan rumah jemur kopi. Kolaborasi lintas komunitas adalah jalan terbaik untuk sama-sama berkembang/Wonogirich

Saat itu, sangat mungkin istilah kolaborasi belum muncul sebagai sebuah gerakan populer. Maka Suro Brenggolo adalah momentum yang tepat untuk memulai langkah berikutnya. Wonogirich dan Salaga ID besutan Yosep Bagus Adi bersama kawan-kawannya sudah menunjukkan itu. Bukti nyata betapa sinergi antarkomunitas sangat penting agar makin berkembang. Baik industri kopi itu sendiri, maupun pihak-pihak yang memiliki gairah besar pada pengembangan pariwisata berbasis masyarakat.

Kopi adalah sektor yang membutuhkan koneksi dan merawat interaksi satu sama lain. Menyatukan frekuensi agar kemauan untuk saling belajar dan berproses memang tidak boleh berhenti. Cita-cita besar tak akan tercapai dengan meneriakkan slogan-slogan kosong saja, tanpa keteguhan hati dan kerja keras.

Menerangi Brenggolo tidak hanya dengan kopi sebagai pelita tunggal. Apa pun yang telah hadir dan tumbuh mengalir di sekitar kopi, mulai dari sumber air dan vegetasi lainnya, lalu tekad baja dari pribadi petani yang bersahaja, adalah sebuah dream team terbaik untuk “menang” di saat ini dan masa depan. Seperti tersirat dari lantangnya pesan Mbah Sadiman di akhir acara siang itu, “Kopi Brenggolo, semangatlah! Semangatlah! Supaya kopinya berkualitas unggul!”

Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari seri liputan TelusuRI ke Wonogiri yang dapat Anda baca dalam tajuk Suro Brenggolo.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyigi Brenggolo dengan Kopi dan Kolaborasi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyigi-brenggolo-dengan-kopi-dan-kolaborasi/feed/ 0 39512
Heri, Jati Diri, dan Kopi https://telusuri.id/heri-jati-diri-dan-kopi/ https://telusuri.id/heri-jati-diri-dan-kopi/#respond Sat, 29 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39482 Terkadang jalan hidup dan masa depan seseorang sudah tergambar sejak ia kecil. Heri, anak seorang petani kopi Brenggolo, mencoba menawar takdirnya. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Rony Tri SP Langkahnya gegas, tetapi tidak...

The post Heri, Jati Diri, dan Kopi appeared first on TelusuRI.

]]>
Terkadang jalan hidup dan masa depan seseorang sudah tergambar sejak ia kecil. Heri, anak seorang petani kopi Brenggolo, mencoba menawar takdirnya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Rony Tri SP


Langkahnya gegas, tetapi tidak tergesa-gesa. Meski kadang tampak kikuk, gerak geriknya memperkuat asumsi tentang keinginan kuat untuk menjadi tuan rumah yang baik. Tak segan berbaur dengan peserta dari pelbagai latar belakang. Sadar atau tidak, Suro Brenggolo, yang terselenggara pada 18—19 Juli 2023, merupakan panggung terbaik untuk seorang Heriyudin (20), putra sulung Pak Yahmin dan Bu Titi.

Selama acara inti Suro Brenggolo, terutama sesi pembukaan, tasyakuran, dan penutupan; Heri selalu duduk di depan. Sejajar di antara para senior, seperti Pak Darmo dan bapaknya sendiri. Ia seperti “dilatih” untuk menjadi penerus garda depan Poktan Argo Wilis, Brenggolo, Kecamatan Jatiroto. Walaupun sempat mengaku tak pandai bicara, tindak tanduknya menunjukkan sebaliknya.

Dari kacamata orang luar Brenggolo, Heri tampak seperti padanan seorang putra daerah yang ingin mengembangkan tanah kelahirannya sendiri. Bernapas dan mengisi hidup dari harumnya kopi. Ia tumbuh di masa-masa perjuangan awal bapaknya dan Pak Darmo menggalakkan penanaman kopi di kampungnya sendiri, Dusun Gemawang.

Heri, Jati Diri, dan Kopi
Tampak belakang Heri, yang duduk di depan hadirin saat malam tasyakuran dan potong tumpeng Suro Brenggolo/Deta Widyananda

“Saya masih ingat dulu, zaman ketika [membantu Bapak] mencari bibit kopi siang malam. Termasuk belajar memilih kualitas bibit kopi yang bagus,” Heri memulai ceritanya mengenal kopi. Usianya masih tujuh tahun waktu itu. Setengah windu setelah bapaknya dan Pak Darmo pulang dari perantauan.

Heri tak lupa susahnya membantu pekerjaan sang bapak di kebun kopi yang baru. Karena belum ada polybag, di usia segitu ia harus membawa 15 pohon bibit kopi berikut tanah setengah kilogram per bibitnya, ke kebun yang berjarak 1,5 kilometer dari rumah. Di masa itu, lahan kopi bapaknya tergolong paling dekat dari permukiman dan belum seluas saat ini. Jalannya juga belum sebagus sekarang yang sudah berlapis cor sampai setidaknya menjelang masuk hutan.

Meskipun tergolong muda, ia masih sempat merasakan perbedaan suasana sebelum dan sesudah kehadiran kopi robusta di kampungnya. “Dahulu saat budidaya cengkih mati, kondisinya memprihatinkan,” kenangnya.

Walau Dusun Gemawang terhitung cukup tinggi karena berada di ketinggian sekitar 800—900 mdpl, kondisi alamnya sangat kontras. Alih-alih sejuk dan dingin, rasanya malah panas. Sumber air berkurang, banyak longsor, dan tanah rusak akibat mayoritas petani menanam komoditas jangka pendek, seperti cabai, jagung, dan rempah-rempah.

Sampai akhirnya Pak Darmo dan Pak Yahmin pulang dari tanah rantau membawa kabar gembira, bahwa Brenggolo cocok untuk berbudidaya kopi. Bak malaikat penyelamat, walaupun berjuang sendirian dan tak jarang terabaikan di awal-awal “kampanye” kopi, secara berangsur-angsur mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat Gemawang. “Masyarakat akhirnya merasakan perbedaan dari sisi lingkungan. Sumber air melimpah lagi dan kondisi tanah mulai membaik. Bahkan kejadian tanah longsor sangat minim,” kata Heri.

Perubahan drastis dan perkembangan baik tersebut ternyata belum cukup membuka mata Heri. Dia belum tahu, jika keluarganya bisa hidup dari kopi. Ia telah merencanakan jalan hidup yang lain.

Di persimpangan jalan

Ruang mimpi di masa kecil Heri sama seperti umumnya anak-anak yang lain. Selepas lulus sekolah dasar sampai menjelang remaja kelak, potret kesuksesan tergambar pada aneka profesi. Di antara alternatif yang ada, seperti presiden, dokter, pilot, astronot, hingga guru, Heri memilih bercita-cita menjadi anggota militer.

“Saat itu rasanya, wah, [kayaknya] hebat dan gagah pakai baju tentara,” ujar Heri berangan-angan. Angan-angan serupa yang terpatri di benak anak-anak muda seusianya, bahkan mungkin berlangsung sampai sekarang.

Heri sempat berpikir bahwa untuk menjadi orang yang dihormati di dusun harus berseragam. Kalau hanya sekadar punya uang, itu sudah biasa. Sementara, seperti Heri katakan mengutip pernyataan beberapa warga, ada kelaziman pandangan, “Kowe ki diarani kerjo, nek kowe ora ning daerahmu. (Kamu ini dianggap bekerja kalau kamu tidak berada di tempatmu sendiri). Seperti merantau, itu baru bisa dikatakan bahwa kamu bekerja. Kalau hanya di rumah dan bertani, tidak akan dianggap bekerja.”

Atmosfer Egaliter Suro Brenggolo Wonogiri
Heriyudin, petani kopi anggota termuda Poktan Argo Wilis/Rony Tri SP

Heri sebenarnya memiliki “modal” yang kuat untuk mewujudkan cita-citanya. Waktu bersekolah di bangku SMK di Jatiroto, Kodim Wonogiri pernah merekrutnya sebagai bagian tim jurnalistik. Dalam sebuah kesempatan ia pernah berbincang langsung dengan Pangdam V Brawijaya kala itu. Dan kevakuman berurusan dengan kopi selama tiga tahun, seakan makin meneguhkan hatinya menjadi prajurit setelah lulus SMK. 

Namun, impiannya menjadi seorang abdi negara harus ia kubur dalam-dalam. Alih-alih tidak memenuhi persyaratan, Heri malah tidak melangkah sejengkal pun untuk mendaftarkan diri. Keteguhan niatnya membentur tembok tebal bernama restu orang tua. Terutama ibu. Tak ada perdebatan atau perlawanan. Sama sekali. Heri memilih diam dan manut setelah sempat “menguji” keputusan ibunya.

“Saya sampai menanyakan sebanyak tiga kali ke Ibu, tetapi tiga kali pula jawaban Ibu tetap sama. Saya tidak boleh menjadi tentara,” tuturnya tegar, “ketika orang tua tiga kali bilang ‘nggak boleh’, ya ke belakangnya nanti bakalan tidak baik juga.”

Untuk beberapa hari kakak kandung Olivia (12) itu berada di persimpangan jalan. Laiknya remaja yang belum stabil secara emosi, ia pun sempat sugetan atau mutung, lalu cukup lama mengurung diri. Terombang-ambing takdir. Status prajurit tak akan pernah terkejar, sedangkan dunia kopi sudah lama ia tinggalkan. Heri belum sepenuhnya menyadari tentang pilihan jalan hidup terbaik yang sebenarnya.

Akan tetapi, tampaknya memang hidayah benar-benar hak prerogatif Tuhan yang bersifat mutlak. Tidak bisa diganggu gugat. Apa saja yang menjadi rencana manusia, bila terwujud sekalipun, itu memang sudah menjadi rencana Tuhan.

Suatu ketika, di tengah rintik hujan, Heri menyulut rokok dan menyeruput kopi di teras rumah. Pikirannya kalut. Sampai pada sebuah titik matanya melihat bunga-bunga kopi yang tumbuh di pekarangan. Tanpa aba-aba, entah kerasukan apa, seketika lisannya menceletuk tutur demi tutur yang ia kenang sampai sekarang. Perenungan yang mengubah nuansa sendu dalam sekejap.

“Saya bisa menjadi harum [seperti bunga kopi]. Saya tidak perlu untuk tetap menonjol, walaupun saya [berada] di pinggir. Ketika saya berguna, harumnya [bunga kopi] pasti sampai ke mana-mana.”

Tiba-tiba labirin memori membawa Heri kilas balik ke masa kecil. Tergambar perjalanan panjang Yahmin dan iparnya, Pak Darmo, selama hampir satu dasawarsa ke Bumi Sriwijaya. Perjuangan berat demi menghidupi anak dan istri yang terpisah ribuan kilometer.

Lalu akhirnya mereka memutuskan kembali ke Gemawang. Pulang tanpa membawa harta melimpah—bahkan nyaris tidak berbekal apa-apa—kecuali modal ilmu penanaman dan perawatan kopi. Sebuah komoditas perkebunan yang mereka kerjakan selama di perantauan. Sebuah jalan hidup yang akhirnya mengubah Brenggolo menjadi seperti sekarang.

Heri mengaku, sedari kecil sampai remaja tidak tebersit setitik pun di pikirannya untuk menjadi penerus Bapak sebagai petani kopi. Hanya sekadar membantu pekerjaan orang tua, pikirnya. Selebihnya ia sedang meniti satu per satu anak tangga menuju ketetapan definisi sukses yang pernah ia canangkan.

“Namun, ya, itu tadi. Ketika mendidik dengan penuh kesabaran, batu sekeras apa pun [pasti akan halus] jika cukup konsisten dibasahi air setetes demi setetes. Contohnya, seperti saya. Dengan kesabaran Bapak mendidik saya, saya merasakan sendiri bahwa keegoisan itu dapat diluluhkan,” ujarnya dengan binar mata kelegaan. 

Tulisan “Basecamp Pemuda Hijrah” yang terlukis di dinding atap rumahnya, barangkali jadi penegasaan jati diri Heri dan teman-temannya sebagai “pendakwah” kopi milenial. 

Heri, Jati Diri, dan Kopi
Lukisan di dinding atap rumah Heri. Tampak di belakang perbukitan penuh pinus yang tumbuh banyak kopi di permukaan tanah/Heriyudin

Siap menjadi ujung tombak

Heri dan anak-anak muda di dusun jelas patut berterima kasih pada hasil perjuangan orang-orang tua yang mbabat alas alias membuka jalan baru untuk budidaya kopi robusta Brenggolo. Terlebih saat ini, menurut Pak Darmo, terdapat ribuan pohon kopi yang tersebar ke hampir 90 persen lahan kopi produktif dari total 42 hektare di Gemawang.

Heri mengakui dan amat mensyukuri itu. “Ketika melihat orang tua kami, yang sampai sekarang bertahan dari arus ombak dari lingkungan sekitar [sejak] saat memulai penanaman kopi, itu menjadi inspirasi dan sesuatu yang luar biasa bagi kami, para pemuda.”

Suro Brenggolo yang pertama ini, menurut Heri, bisa menjadi salah satu sejarah baru dan batu lompatan bagi para petani kopi di naungan Poktan Argo Wilis. Khususnya anak-anak muda yang diharapkan meneruskan keberlanjutan jenama kopi khas Brenggolo. Ia sendiri tak menduga adanya keterlibatan dan perhatian teman-teman yang berasal dari luar Brenggolo.

“Ketika kita sudah dikenal dengan orang [dari tempat} yang jauh, rasanya di kami muncul sebuah tanggung jawab untuk terus berbenah dan berkembang,” sahutnya.

Ibarat pepatah Jawa yang ia katakan, nek wong Jowo wis njegur banyu ojo wedi teles (kalau orang Jawa sudah masuk air jangan takut basah), Heri memahami bahwa ketika fokus menggeluti suatu bidang maka jangan setengah-setengah apalagi takut. Meski menanggung beban yang tidak ringan, ada tanggung jawab yang harus dijaga untuk keberlanjutan Poktan Argo Wilis dan kopi robusta Brenggolo.

“Apa pun risikonya harus kita hadapi. Dan ketika kita terjatuh pun itu sudah hal yang biasa. Tanggung jawab kita sebagai generasi milenial adalah meneruskan tonggak perjuangan dari yang tua, dan membuat program yang sudah berjalan menjadi lebih baik ke depan,” tegasnya. Matanya nyalang memandang bagian perbukitan Gunung Sewu di seberang Brenggolo. 

Heri, Jati Diri, dan Kopi
Heri (tengah) dan komunitas pegiat kopi saat mencicipi aneka hasil “processing” kopi eksperimental racikan Aprilian Teja/Deta Widyananda

Meskipun jalan masih panjang, Heri tak ragu untuk terus belajar mengasah diri dan berkolaborasi dengan generasi di atasnya. Termasuk pada bapaknya sendiri dan petani-petani kopi lainnya. Dari Suro Brenggolo, ia berharap bisa berkontribusi besar dalam upaya perbaikan internal kelompok. Mulai dari manajemen kelompok tani, perkebunan, hingga pengolahan.

Untuk itulah Heri rela menunda keinginannya yang lain, yaitu melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi. Ia tidak ingin kehilangan momentum. Ia tidak ingin melepas jati dirinya. “Saya masih eman dan merasa belum mapan di tengah naik daunnya Kopi Brenggolo sejak 2020 lalu. Ada saatnya nanti [melanjutkan perkuliahan].”

Mengutip Wahid Budi Utomo di tasyakuran malam 1 Suro, pegiat kopi Dusun Sirap, Kabupaten Semarang itu mengatakan bahwa peran sebagai seorang pelopor berarti harus siap menjadi ujung tombak dan siap tombok. Tombok biaya, waktu, dan tenaga. Itulah yang Pak Darmo dan Pak Yahmin alami di Brenggolo. Heri, dengan percaya diri, yakin mampu meneruskan kiprah para pendahulu.

“Apakah panjenengan siap menjadi ujung tombak kopi robusta Brenggolo di masa mendatang?” tanya saya.

“Siap, Mas!” 

Tulisan ini merupakan bagian kedua dari seri liputan TelusuRI ke Wonogiri yang dapat Anda baca dalam tajuk Suro Brenggolo.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Heri, Jati Diri, dan Kopi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/heri-jati-diri-dan-kopi/feed/ 0 39482
Atmosfer Egaliter Suro Brenggolo Wonogiri https://telusuri.id/atmosfer-egaliter-suro-brenggolo-wonogiri/ https://telusuri.id/atmosfer-egaliter-suro-brenggolo-wonogiri/#respond Thu, 27 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39457 Perjalanan ke Brenggolo seperti memperjelas sisi pelosok Wonogiri yang kering, terjal, dan terpencil. Namun, kopi menjadi perias wajah baru yang berbeda. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Rony Tri SP Persis sebelum azan Asar...

The post Atmosfer Egaliter Suro Brenggolo Wonogiri appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan ke Brenggolo seperti memperjelas sisi pelosok Wonogiri yang kering, terjal, dan terpencil. Namun, kopi menjadi perias wajah baru yang berbeda.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Rony Tri SP


Atmosfer Egaliter Suro Brenggolo Wonogiri
Yosep Bagus Adi (dua dari kiri), pemilik kedai kopi Wonogirich dan Ivan (memegang topi) ikut mengobrol dengan salah satu peserta Suro Brenggolo/Rony Tri SP

Persis sebelum azan Asar berkumandang, tak kurang dari 30 peserta meramaikan pembukaan Suro (Syukuran Panen Robusta) Brenggolo di “markas” Kelompok Tani (Poktan) Argo Wilis, Dusun Gemawang, Desa Brenggolo, Jatiroto, Wonogiri (18/07/2023). Suro Brenggolo merupakan sebuah acara kolaborasi antara petani kopi setempat dengan komunitas pelaku usaha industri kopi di Wonogiri. 

Menurut Ivan, panitia gabungan dari Wonogirich dan Salaga ID selaku penggagas acara, ada alasan penerapan pembatasan maksimal peserta. Selain karena baru pertama kali, panitia ingin konsep acara sederhana tanpa aktivitas yang terlalu padat dan terjalin hubungan yang hangat antara peserta dan warga.

“Yang kami tidak sangka, dari 30 peserta itu 80% di antaranya berasal dari luar Wonogiri,” kata Ivan. 

Data tersebut menunjukkan antusiasme dan jejaring luas yang menembus batas-batas geografis. Sebagian besar peserta pun tak menyangka ada mutiara kopi tersembunyi di Brenggolo. Bahkan Yosep Bagus Adi, pemilik kedai Wonogirich, terang-terangan menyebut jika kopi sudah mengubah hidup warga dan alam Brenggolo. Sebuah desa di puncak perbukitan yang perlu ekstra hati-hati untuk menjangkaunya karena jalanan ekstrem, berliku, dan terjal. Perkampungan warga itu berbatasan langsung dengan ngarai dalam di sisi selatan yang masuk Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.

Dari kopi untuk kopi

Puluhan gelas kopi robusta panas langsung tersaji begitu semua orang duduk merapat dan berkumpul di basecamp Poktan Argo Wilis. Tak lupa jajanan tradisional pun beredar, seperti kacang rebus hangat. Suguhan yang harus diakui membantu menetralkan adrenalin dan lambung, usai melibas tikungan sempit dan tanjakan tajam Desa Boto—Brenggolo sepanjang enam kilometer.

Ketua Poktan Argo Wilis, Pak Darmo (53), yang saat itu mengenakan setelan kemeja batik lengan pendek motif biru-cokelat, turut menyambut kehadiran peserta lintas daerah di kampung halamannya. Meski tidak terdengar muluk, tetapi ia mengaku menaruh harapan besar terhadap penyelenggaraan Suro Brenggolo.

“Mudah-mudahan [acara ini] bisa berlanjut. [Tidak lupa] meminta pada Yang Kuasa, berkah, penghasilan lumayan, petani jadi meningkat,” harapnya. 

Sesuai namanya, kegiatan puncaknya berupa tasyakuran, diskusi sembari ngopi robusta khas Brenggolo, dan potong tumpeng dilakukan bertepatan pada malam Tahun Baru Islam 1 Muharram 1445 H atau 1 Suro dalam penanggalan Jawa. Adapun agenda lainnya adalah belajar petik merah dan tur kebun kopi warga di ketinggian sekitar 880 mdpl, serta belajar pengolahan kopi hulu—hilir bersama Yusuf Fauzan (Amunisi Kopi) dan Aprilian Teja (prosesor kopi eksperimental) dari Temanggung, Jawa Tengah.

Atmosfer Egaliter Suro Brenggolo Wonogiri
Diskusi bersama sebelum syukuran potong tumpeng malam 1 Suro di Brenggolo/Deta Widyananda

Suhu yang menusuk kulit tatkala malam hingga subuh, ditambah cuaca cerah dan berangin, tidak mengurangi kekhidmatan Suro Brenggolo yang tampil bersahaja. Baik yang penikmat maupun bukan, kopi menjadi alat diplomasi yang ampuh untuk merekat pertemanan dan pengalaman baru. Obrolan di luar acara pun berlanjut di sudut-sudut homestay tempat peserta menginap. Berbaur dengan warga pemilik rumah.

Lagi-lagi, gairah yang menguar selama hampir 24 jam acara berlangsung, tumbuh karena menghormati dedikasi tinggi dalam menjaga kualitas kopi dan nama baik Brenggolo. Biaya registrasi sebesar Rp75.000, yang mencakup fasilitas menginap, makan, minum, snack, dan tumpengan; terasa terlalu murah untuk tujuan besar Suro Brenggolo itu sendiri.

Dari generasi ke generasi

Ada satu kesan yang tertangkap dalam penyelenggaraan Suro Brenggolo pertama ini, yaitu suasana egaliter yang terbangun begitu hangat. Tidak ada sekat antara orang tua dan muda. Masing-masing generasi saling menghormati dan selalu ada keinginan untuk belajar.

Anak-anak muda pun sangat mendapat tempat di lini masa perjalanan kopi Brenggolo menjaga keberlanjutannya. Menurut Pak Darmo, jika dalam satu Kepala Keluarga (KK) anggota poktan terdapat anak muda, maka ia harus ikut terlibat bertani kopi di dusunnya.

“Kalau anak-anak muda tidak ikut, kopi Brenggolo nanti akan mati karena tidak ada penerusnya. Kalau anak-anak muda ikut, ‘kan, [tetap ada] petani, ada kedai, [jadi] bisa nyambung terus,” tegasnya.

Atmosfer Egaliter Suro Brenggolo Wonogiri
Heriyudin, petani kopi anggota termuda Poktan Argo Wilis/Rony Tri SP

Heriyudin (20), anak kandung Pak Yahmin, adalah yang termuda di antara 22 anggota aktif Poktan Argo Wilis. Pada 1997, ayahnya ikut merantau ke Palembang bersama Pak Darmo dan bekerja di kebun kopi. Keduanya merupakan peletak pondasi awal hadirnya kopi di Brenggolo sejak 2007. Bangkit dari ketidakpastian setelah belasan tahun bergulat dengan rendahnya produktivitas dan hasil penjualan cengkih, jagung, dan tanaman lainnya.

Sejak awal hingga akhir acara, Heri—panggilan akrabnya—terlihat menunjukkan peran yang tidak kalah penting dengan senior-seniornya. Termasuk kawan sebayanya, seperti Tito (putra Pak Darmo) dan Bayu (cucu Pak Narimo, yang rumahnya jadi tempat menginap tim TelusuRI). Sejak kecil mereka bernapas dan tumbuh lekat dengan aroma kopi Brenggolo. Dalam waktu tak lama, setidaknya kurang dari satu dasawarsa, di pundak merekalah masa depan kopi Argo Wilis bergantung.

Kopi adalah warisan Brenggolo yang harus terjaga sepanjang masa. Termasuk menjaga hutan-hutan dan sumber air di sekitarnya. Sesuai dukungan dan doa baik Mbah Sadiman (71), peraih Kalpataru Nasional dan Kick Andy Heroes Award 2016, yang hadir langsung memberikan inspirasi sekaligus melakukan “hobinya”, menanam dua bibit pohon beringin di dekat salah satu mata air Dusun Gemawang.

Tulisan ini merupakan bagian pertama dari seri liputan TelusuRI ke Wonogiri yang dapat Anda baca dalam tajuk Suro Brenggolo.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Atmosfer Egaliter Suro Brenggolo Wonogiri appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/atmosfer-egaliter-suro-brenggolo-wonogiri/feed/ 0 39457