kota lama surabaya Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kota-lama-surabaya/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:03:29 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kota lama surabaya Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kota-lama-surabaya/ 32 32 135956295 Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3) https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-3/ https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-3/#respond Wed, 30 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46807 Perjalanan masih berlanjut. Kali ini Toufan membawa kami ke Jalan Glatik untuk beristirahat sejenak. Tak jauh dari sini, tepatnya di Jalan Mliwis, terdapat pabrik sirup legendaris Kota Surabaya, Siropen, yang didirikan  J.C. van Drongelen pada...

The post Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan masih berlanjut. Kali ini Toufan membawa kami ke Jalan Glatik untuk beristirahat sejenak. Tak jauh dari sini, tepatnya di Jalan Mliwis, terdapat pabrik sirup legendaris Kota Surabaya, Siropen, yang didirikan  J.C. van Drongelen pada 1923. Arsitektur bagian depannya masih bercirikan khas bangunan-bangunan era kolonial. Di sampingnya, ada penjual minuman Siropen. Cukup membayar Rp7.000, pengunjung bisa menikmati minum es Siropen.

Usai melalui Jalan Mliwis, Toufan kemudian membawa kami ke Jalan Jembatan Merah. Masih melewati beberapa gedung-gedung tua, tibalah kami di salah satu bangunan ikonis di seputaran jalan ini: Gedung Singa. 

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Pabrik sirup Siropen di Jalan Mliwis/Dewi Sartika

Gedung Singa

Penyebutan Gedung Singa mengacu pada keberadaan dua patung menyerupai singa yang ada di depan pintu masuk bangunan tersebut. Lebih tepatnya hewan mitologi yang memiliki sayap, bentuknya mirip sphinx. Kedua patung ini dibuat Da Costa de Mendes, pematung terkenal Eropa.

Hal lain yang membuat Gedung Singa istimewa yaitu mozaik rancangan seniman berdarah Belanda, Jan Toorop. Mozaik menggambarkan dua perempuan mengangkat bayi. Sosok berpenampilan menyerupai Firaun berada di tengah-tengahnya.

“Jadi, mozaik ini ada artinya. Yang kiri orang Eropa, yang kanan perempuan Jawa pribumi. Keduanya menggendong anak. Anak yang kiri gembira, yang kanan nangis. Terus dewanya yang di tengah-tengah itu, kakinya yang sebelah kiri menghadap perempuan Eropa. Itu rasis, ya, memilih perempuan Eropa,” terang Toufan kepada kami di seberang gedung.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Tampak depan Gedung Singa/Dewi Sartika

Mulanya, Gedung Singa merupakan Kantor Perusahaan Umum Asuransi dan Tunjangan Hari Tua (Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente), sebuah perusahaan asuransi terbesar di Hindia Belanda kala itu. Pembangunannya diarsiteki Hendrik Petrus Berlage, sedangkan peletakan batu pertama dilakukan pada 21 Juli 1901 oleh Jan Von Hemert. Saat ini, Gedung Singa dimiliki perusahaan asuransi Jiwasraya dan dibiarkan kosong.

Di seberang jalan Gedung Singa, ada bekas halte untuk menunggu kedatangan trem dan berfungsi juga sebagai tempat memarkir kendaraan. Hingga kini, bentuk bangunan yang atapnya dari tembok ini tak berubah sama sekali. Sekarang, beberapa pedagang memanfaatkan tempat ini untuk jualan.

“Hal menarik lainnya, dahulu tempat ini enggak setinggi ini, ya, alias lebih rendah dari jalan maupun gedung-gedung itu,” tambahnya.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Bekas halte trem dan tempat parkir/Dewi Sartika

Gedung Radar Surabaya

Selanjutnya, kami menuju Roode Brug alias Jembatan Merah yang letaknya tak jauh dari Gedung Singa. Menurut Toufan, jembatan ini sudah tidak asli lagi. Jembatan Merah berdiri di atas Kali Mas. Jalur transportasi utama di masa kolonial ini menghubungkan Jalan Rajawali dan Kembang Jepun (Pecinan). Dulunya di sekitar jembatan pernah berdiri kantor residen Surabaya. Jejak keberadaan kantor residen tak berbekas sama sekali karena bangunan tersebut dihancurkan untuk akses jalan.

Setelah melewati Jembatan Merah, kami menuju kantor Radar Surabaya. Tak kalah dengan Gedung Singa, arsitektur gedung ini juga tak kalah menawan. Dengan dominasi warna putih, gedung bertingkat ini dilengkapi jendela-jendela besar berteralis di bagian bawahnya. Bagian depan menuju pintu masuk berbentuk melengkung sebagaimana Gedung Singa.

Gedung ini awalnya milik Unie Bank voor Nederland en Koloniën. Dibangun pada 1880. Sesudah kemerdekaan, bangunan ini digunakan sebagai kantor media cetak The Java Post milik orang Tionghoa. Selanjutnya, The Java Post diakuisisi lalu berganti nama menjadi Jawa Pos. 

Meskipun disebutkan berdiri pada abad ke-19, tetapi bangunan ini tidak mencirikan gaya indische empire dengan pilar-pilarnya yang khas. Menurut perkiraan Arief DKS, bangunan tersebut sudah mengalami renovasi di masa kolonial mengingat gaya bangunan dan ornamennya khas tahun 1900-an.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Gedung Radar Surabaya/Dewi Sartika

Beristirahat di Tepi Kali Mas

Selesai mengamati detail-detail ornamen yang ada di luar gedung tersebut, kami beranjak menuju Jalan Panggung. “Dinamakan Jalan Panggung karena dulunya rumah-rumah di sini bentuknya seperti panggung dan orang-orang Melayu tinggal di sini.”

Sebelum memasuki mulut gang, Toufan juga menerangkan, dahulu Jalan Panggung pernah menjadi pasar gelap transaksi opium. Tak hanya itu saja, ada terowongan menuju sungai untuk menyelundupkan opium.

Kami menyusuri Jalan Panggung yang meriah dengan bangunan bercat warna-warni. Makin ke dalam, bangunan-bangunan lawas bertingkat khas abad ke-19 terlihat jelas meski beberapa sudah direnovasi di sejumlah bagian. Hingga akhirnya, hidung saya membaui aroma rempah-rempah. Saya sempat membatin, kira-kira dari mana asal aroma ini, mengingat bangunan-bangunan di Jalan Panggung rata-rata digunakan sebagai toko sedang tutup di hari Minggu. Jawaban itu baru saya dapat ketika Toufan memberitahu ada toko obat-obatan tradisional terkenal di jalan ini.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Rumah-rumah bergaya indische empire di sepanjang Jalan Panggung/Dewi Sartika

Aroma rempah-rempah berangsur berkurang lalu berganti dengan bau amis ikan menjelang tiba di pertigaan Jalan Panggung. Para pedagang dengan hasil laut berganti bersahutan menawarkan ikan, kepiting, dan udang. Di sebelah kanan sebelum belok, mata saya tertuju pada Pasar Pabean yang memperdagangkan rempah-rempah. Saya belok ke kiri kemudian belok kanan.

Kami beristirahat di tepi Kali Mas. Di seberang berdiri Jembatan Merah Plaza (JMP). Dari tempat kami duduk yang dipisahkan jalan, terdapat permukiman padat penduduk. Berdekatan dengan rumah-rumah yang nyaris tak menyisakan ruang tersebut, berdiri menara syahbandar. 

“Ini menara syahbandar digunakan untuk mengawasi kapal-kapal yang datang ke sini. Kali Mas ini dulu, kan, pelabuhan sungai sebelum ada Tanjung Perak. Kita lihat di bangunan menara syahbandar ada gambar lambang, yang kiri lambang Surabaya lalu sebelah kanan lambangnya Jakarta,” jelas Toufan.

Beberapa teman memutuskan melihat lebih dekat menara syahbandar. Tak lupa memotret bangunan tersebut. Saya lebih memilih untuk duduk saja karena masih merasa kelelahan. Satu hal yang kemudian agak saya sesali begitu balik ke Malang.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Penampakan menara syahbandar/Dewi Sartika

Peristiwa 10 November 1945

Kami cukup lama beristirahat di tepi Kali Mas, mungkin sekitar satu jam sambil ngobrol dengan tema random yang berkaitan dengan sejarah. Sesudahnya, kami mengayunkan langkah ke Taman Sejarah dan Museum Hidup Kota Lama Surabaya. Di sini, pengunjung yang ingin mengelilingi Kota Lama Surabaya bisa menaiki kendaraan dengan tarif bervariasi. 

Kami sempat berhenti sejenak mendengarkan cerita Toufan mengenai Peristiwa 10 November 1945. Di sini terdapat replika sedan SB 723 yang dinaiki Jenderal Mallaby.

“Pas Jepang menyerah, senjatanya direbut para pejuang kita, Inggris datang ke sini karena sebagai mandat pemenang Perang Dunia II. Jadi, dia punya misi untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan Jepang serta menjaga ketertiban yang nantinya akan diserahkan ke NICA Belanda. Nah, orang Indonesia berpikir, ngapain diserahkan ke Belanda sementara kita sudah merdeka sehingga para pejuang siap-siap sekitar bulan Agustus dan September.”

Sembari bersimpuh sebentar karena kepayahan, Toufan melanjutkan kisah mengenai kedatangan Sekutu (Inggris) ke Surabaya pada 25 Oktober. Para serdadu Inggris menyebar ke kota, salah satunya adalah gedung Internatio yang berhasil dikuasai.

“Pada tanggal 26, 27, 28, 29, dan 30 terjadi perang kota. Akhirnya Sukarno didatangkan ke Surabaya untuk berdiskusi, terjadi gencatan senjata. Tapi, tanggal 30 Oktober masih terjadi tembak-tembakan antara pejuang kita dan tentara Inggris. Lalu, Mallaby datang, tapi enggak diperbolehkan masuk ke gedung oleh pejuang. Lalu, tiba-tiba pasukan Inggris dari India datang, menyiapkan mortir dan senjata untuk menembaki pejuang supaya Mallaby masuk ke mobil karena dikepung para pejuang saat menunggu perundingan selesai. Banyak pejuang yang tewas, ada juga yang sembunyi di sungai sementara di dalam mobil, sembunyi tiga orang termasuk Mallaby dan ajudannya. Karena banyak rekannya yang ditembaki, tiba-tiba datang seorang pemuda lalu menembaki. Lalu, ajudannya keluar dari pintu samping melemparkan granat ke arah pemuda tersebut. Granatnya meledak. Mati Mallaby.”

Saya mendengarkan dengan saksama penjelasan mengenai kematian Jenderal Mallaby. Ia meneruskan ceritanya, kematian Mallaby bisa jadi karena orang Inggris sendiri.

“Ketembak, iya, tapi belum tentu [langsung] mati. Kena granat pasti mati. Yang nembak itu lalu loncat ke Dul Arnowo, ’Wes, Cak. Wes tak beresi (sudah saya beresi, Cak)’. Saat Dul Arnowo tahu siapa yang diberesi pemuda itu, Dul Arnowo pun meminta pemuda tersebut diam saja alias tidak mengaku. Karena pemuda inilah yang menjadi penyebab pertempuran 10 November.”

Toufan mengaku mengenal pemuda tersebut yang bernama Abdul Aziz dari Ampel, pejuang PRI (Pemuda Republik Indonesia). Apa yang ia ceritakan hanyalah salah satu dari beberapa versi terbunuhnya Mallaby. Akibat kejadian ini, Inggris kemudian marah lalu menelepon Sukarno. 

Pertempuran pun terjadi. Inggris sempat memberikan ultimatum kepada warga kota. Pada 9 November keesokan harinya warga harus menyerahkan diri dengan senjata yang dimiliki mulai pukul enam  pagi di tempat-tempat yang telah ditentukan. Namun, ultimatum ini diabaikan. Akhirnya, tanggal 10 November, Surabaya dibombardir dari darat, laut, dan udara  sampai tiga minggu. Karena kalah, pada 1 Desember para pejuang kemudian keluar dari kota.

Usai mendengarkan penuturan Toufan mengenai Peristiwa 10 November, kami menuju titik akhir tur, Jalan Kasuari. Deretan pajangan berupa tulisan berisi sejarah Kota Lama Surabaya menarik perhatian saya. 

Salah satunya tertulis, Raja Mataram Pakubuwono II menyerahkan Surabaya kepada VOC sebagai imbalan atas tertangkapnya Trunojoyo. Sebelumnya, sesuai catatan penulis Portugis, Tome Pires di tahun 1511, wilayah Surabaya dipimpin Pate Bubat yang independen. Lalu, Surabaya diserang Kerajaan Mataram berkali-kali hingga berhasil ditaklukkan pada 1625.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Gedung Internatio/Desi Mahargyani

Saya beralih ke tulisan lain yang menjelaskan asal-usul kata ‘Surabaya’. Ternyata nama kota ini berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti berani (melawan) bahaya. Sementara simbol Surabaya berupa ikan hiu dan buaya berasal dari cerita rakyat dan baru muncul di abad ke-19.

Dengan sisa-sisa tenaga, saya berjalan melewati lapangan yang berada di samping gedung Internatio. Gedung Internatio dulunya merupakan kantor Internationale Credit Vereeniging Rotterdam. Beberapa anak sedang bermain bola. Seorang juru foto menghampiri salah satu dari kami, menawarkan jasanya. Kami menggeleng sebagai isyarat menolak. Sebenarnya saya pribadi ingin mengabadikan momen dengan latar gedung ini, tetapi apa ada daya, rasa lelah sudah benar-benar menggerogoti tubuh.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-3/feed/ 0 46807
Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 2) https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-2/ https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-2/#respond Tue, 29 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46793 Tak hanya patung Kapolri pertama Indonesia, Jenderal Besar Soekanto saja yang sempat menyita perhatian saya. Tak jauh dari museum, sebuah gedung putih menjulang tinggi. Serupa dengan bangunan sebelumnya, gedung ini juga memiliki banyak daun jendela...

The post Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Tak hanya patung Kapolri pertama Indonesia, Jenderal Besar Soekanto saja yang sempat menyita perhatian saya. Tak jauh dari museum, sebuah gedung putih menjulang tinggi. Serupa dengan bangunan sebelumnya, gedung ini juga memiliki banyak daun jendela yang menjadi salah satu ciri khas bangunan peninggalan Belanda. Di bagian tengah ada menara  yang dihiasi jam pada bagian atasnya. Saat ini, gedung tersebut menjadi kantor Maybank dan terletak di pojok Jalan Cendrawasih.

Hanya beberapa langkah dari Maybank, Toufan mengajak kami berhenti sesaat di sebuah toko di Jalan Cendrawasih. Kesan jadul menjadi hal pertama yang saya lihat. Saya pun membatin, toko ini pasti berusia tua. Tak mungkin Toufan mengajak kami ke sini kalau bangunan ini bukan toko lawas.

Sebuah papan kayu dengan tulisan Kopi Sigan tergantung di bagian atas depan toko. Seiring langkah kami memasuki toko, aroma kopi menguar. Enak. Seorang perempuan dan laki-laki berjaga di depan. Dengan ramah keduanya menyambut kami. Beberapa merek kopi tersaji di etalase berkaca bening. Begitu pula barang-barang lain. Tak ketinggalan toples-toples kaca yang ada isinya juga tersaji. Suasana jadul benar-benar saya rasakan di toko ini. Dari keterangan penjaga, toko ini sudah ada sejak tahun 1930-an. 

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (2)
Toko Sigan/Dewi Sartika

Lawang Sewu-nya Surabaya

Usai membeli kopi serta jajanan di Kopi Sigan, kami berjalan kembali. Hanya butuh beberapa menit saja, kami tiba di gedung PTPN XI di Jalan Merak. Sebenarnya, kami tidak berniat masuk ke gedung ini. Namun, sepertinya Toufan menangkap peluang bisa memasukinya sewaktu mendapati ada dua bus yang terparkir di luar gedung. 

“Mumpung ada yang mengunjungi gedung ini, kita coba masuk saja.”

Toufan kemudian memandu kami masuk ke gedung. Di dalam, rombongan siswa sekolah sedang melakukan foto kelulusan. Sedikit tergesa-gesa, saya meniti anak tangga menuju lantai dua. Kondisi di bagian atas lebih ramai lagi. Bersama yang lain saya lalu menuju teras. 

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 2)
Salah satu bagian gedung PTPN XI yang berada di belakang/Dewi Sartika

“Gedung ini disebut juga sebagai Lawang Sewu-nya Surabaya,” ujar Toufan kepada kami. Memang dari luar, penampakan bangunan ini memang menyerupai Lawang Sewu.

Awalnya, gedung ini merupakan kantor Handelsvereeniging Amsterdam (HVA) atau Asosiasi Perdagangan Amsterdam yang berdagang gula, kopi, dan singkong. Dibangun pada 1911–1921 dengan bahan-bahan material dari luar negeri, diresmikan 18 April 1925.

Tidak hanya bagian luarnya saja yang terlihat megah dan mewah, tetapi juga interior bagian dalamnya, sangat berkelas. Di lantai dua terdapat panel relief yang menggambarkan aktivitas di perkebunan. 

Kami tak bisa berlama-lama di dalam gedung, seorang satpam mendatangi kami. Karena tak berizin, kami pun harus lekas keluar. Toufan mengajak kami ke tepi anak tangga. Telunjuknya tertuju pada kaca patri yang terpasang di atas. Saya mendongak. Di tiap-tiap bagian tengah, ada panel stained glass dengan lambang berbeda.

“Ada delapan lambang, jadi tiap lambang yang ada berbeda-beda bentuknya. Lambang-lambang tersebut melambangkan kota-kota yang ada di Hindia Belanda. Salah satunya ada lambang Kota Surabaya.”

Kami bergegas keluar gedung, tetapi masih berada di bagian depan. Toufan memberitahu kami bahwa di samping pintu masuk ada bungker. Satpam mengizinkan kami untuk masuk. Kesan pertama, bungker ini lebih mirip galeri seni karena kondisinya bersih dan beberapa pajangan terpasang di tembok.

Fakta unik lain mengenai gedung yang diarsiteki Hulswit, Fermont, dan Cuypers, ternyata gedung ini tahan gempa. Hal ini tampak pada salah satu pilar bangunan di luar yang berada di tengah-tengah. Diamati lebih saksama, berbeda dengan pilar lainnya, bagian tengah pilar tersebut seolah terbelah yang ditandai dengan keberadaan garis vertikal. 

Meskipun waktu yang kami miliki hanya sedikit, setidaknya kami beruntung bisa masuk. Selanjutnya, Toufan mengajak kami untuk melihat sebuah bangunan yang diperkirakan sebagai rumah tertua di Surabaya. Letaknya berada di seberang jalan Gedung PTPN XI. Untuk mencapai rumah tersebut, kami harus melewati gang kecil.

“Dilihat dari bentuk atapnya, sudah kelihatan ini kalau rumahnya dari masa VOC,” celetuk Arief DKS dari Komunitas Indonesia Colonial Heritage (ICH) Malang sekaligus seorang arsitek yang turut membersamai perjalanan kami.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (2)
Bangunan yang disinyalir sebagai rumah tertua di Surabaya/Dewi Sartika

Cerita Korps Cacad Veteran

Perjalanan menjelajahi Kota Lama Surabaya masih berlanjut dengan melewati Jalan Krembangan Timur. Kepada kami, Toufan bercerita mengenai Makam Krembangan yang pernah menjadi kuburan pertama orang-orang Eropa di Surabaya sebelum pindah ke Peneleh. Kebetulan, letaknya tak jauh dari tempat kami berjalan. Dulunya, letak makam selalu berada di luar tembok kota.

Lalu, berdirilah kami tepat di depan sebuah pintu gerbang berwarna merah hati. Agak lama kami berdiri sembari mengamati pintu gerbang tersebut, terutama desain serta besinya.

“Diduga kuat, tembok lama dari Kota Lama yang masih tersisa yang itu.” Toufan menunjuk ke tembok berwarna hijau yang berada tak jauh dari pintu gerbang.

Ketika meneruskan perjalanan, kami melewati tembok yang dimaksud Toufan tadi. Berjalan agak pelan, saya memerhatikan tembok itu karena posisi lebih dekat. Temboknya tak begitu tinggi, sekitar 175 sentimeter. Padahal dalam bayangan saya, temboknya tinggi sekali. Menurut Toufan, tembok Kota Lama setinggi itu karena elevasi jalan semakin meninggi tiap waktu.

Kemudian, tibalah kami di kawasan utama Kota Lama Surabaya, Jalan Rajawali. Toufan mengajak kami ke kompleks bangunan Korps Cacad Veteran RI Kota Surabaya. Semula kami memang tak berencana masuk ke dalam area kompleks ini. Namun, setelah mendapat izin, kami lekas masuk.

Sebelum masuk, Toufan memberitahu kami, kompleks ini sekarang digunakan sebagai tempat tinggal. Begitu masuk, mata saya terbelalak, untuk menyakinkan diri tempat ini memang benar-benar ada yang mendiami. Deretan ruangan yang menyerupai rumah petak dengan kondisi kusam dan nyaris kumuh menjadi perhatian saya, sebelum belok ke kanan mengikuti Toufan dari belakang.

Seorang perempuan berusia lanjut tengah duduk di pojokan. Setelah Toufan meminta izin, perempuan bernama Bu Endang itu lalu memandu kami memasuki bungker dan membuka pintu. Sebelum masuk, ia memberitahu ruangan bungker masih tergenang air karena hujan yang turun semalam.

Bungker dipenuhi berbagai barang. Hampir tak menyisakan ruang kosong. Berbeda dengan bungker di Malang yang pernah saya masuki, kondisi di sini sangat pengap sehingga menimbulkan bau yang sulit digambarkan. Sebuah kipas angin kecil dinyalakan untuk memberikan udara baru. Namun, belum ada tiga menit di dalam bungker, saya memutuskan secepatnya keluar karena tak sanggup berlama-lama di bungker.

Di luar, saya mendapati seorang pria sedang duduk di kursi. Namanya Pak Agus. “Dulu tempat ini menjadi rumah bagi perwira militer Belanda. Cirinya kalau bangunan penting itu ada bungker. Sejak awal saya tinggal di sini,” ucapnya mengawali pembicaraan.

Pak Agus menjadi penghuni yang masih bertahan di tempat ini sementara lainnya telah direlokasi ke Kampung Pejuang, Benowo. Bukan tanpa alasan ia memutuskan bertahan. Ia ingin melihat kebijakan wali kota terkait pemanfaatan bangunan ini ke depannya. Masih dari penuturan Pak Agus, dulunya ada 17 keluarga yang tinggal di sini. Ia adalah generasi kedua.

Dari pembicaraan itu, saya jadi tahu mengapa kompleks ini dinamakan Korps Cacad Veteran serta memiliki semboyan: tumbal negara. “Jadi, kalau pahlawan itu ditembak, beliau meninggal, tetapi kalau veteran ditembak itu sakti alias masih hidup, tapi cacat,” jelas Pak Agus.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (2)
Bagian depan kompleks bangunan Korps Cacad/Dewi Sartika

‘Diculik’ Nona Cilik Belanda

Kami meneruskan perjalanan menyusuri Jalan Rajawali. Deretan bangunan lawas yang masih kukuh berdiri di tepi jalan. Plakat cagar budaya tertempel di tiap sisi bangunan.

Selanjutnya, kami berhenti di sebuah bangunan bergaya indische empire dari abad ke-19. Sebelumnya, Toufan menunjukkan kepada kami foto lawas bangunan tersebut. Ia memberitahu bahwa dulunya bangunan dengan sejumlah pilar putih tersebut adalah apotek pertama di Surabaya.

Kami bertemu Sri dan Subaidi yang sedang membersihkan bagian dalam bangunan. Ternyata, keduanya mengenal Toufan. “Rencananya mau dibuat warung kopi,” jawab Sri saat ditanya hendak dibuat apa ruangan tempat ia sedang menyapu.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (2)
Bekas bangunan apotek pertama di Surabaya/Dewi Sartika

Bangunannya sendiri tersekat menjadi dua yang dipisahkan tembok tepat di bagian tengah. Namun, menurut Arief DKS, tembok pemisah ini dulunya tak ada. Kondisi bagian dalamnya masih berantakan. Di bagian belakang malah nyaris hitam pekat. Sementara atapnya sendiri berupa kayu. 

Sri dan Subaidi berbaik hati mengizinkan kami semua untuk masuk ke ruangan sebelah yang terdapat anak tangga menuju lantai atas. Berbeda dengan ruangan sebelah yang kosong dan gelap, ruangan yang baru saja saya masuki ini diisi dengan banyak barang. Sepertinya dimanfaatkan untuk tempat tinggal.

Anak tangga bercat hijau berada di sebelah kanan. Satu per satu kami menaikinya lalu tibalah kami di lantai dua. Lantai atas kelihatan lengang, tak banyak barang. Ada beberapa ruangan di sini. Lantainya berupa kayu. Menurut Arief DKS, terbuat dari kayu jati tua yang diperkirakan umurnya puluhan tahun sehingga terlihat kuat. Jendela-jendela berukuran besar juga menghiasi bagian atas.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 2)
Bagian dalam bangunan yang ditempati Bu Sri/Dewi Sartika

Usai melihat-lihat, kami kemudian turun. Sri dan Subaidi menghentikan aktivitas mereka membersihkan ruangan. Kami berbincang-bincang dengan keduanya di bagian depan bangunan.

“Saya pernah kehilangan anak saya selama satu jam. Dicari-cari di dalam enggak ketemu. Lalu, saya mau turun tangga, ternyata anak saya ada di belakang saya. Katanya, dia ada di sini. Terus saya tanya, dari mana? Dia jawab, kalau dia diajak noni-noni main, dikasih mainan. Noninya cantik. Noninya bilang, itu lo, kamu dipanggil mamamu, ayo pulang tak antar,” terang Sri sambil duduk di kursi plastik.

Sri dan Subaidi telah tinggal di bangunan tersebut sejak 1993, sedangkan orang tuanya pertama kali menempati gedung ini tahun 1970-an. Dari keterangannya, status kepemilikan gedung ini adalah milik mereka.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-2/feed/ 0 46793
Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (1) https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-1/ https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-1/#respond Mon, 28 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46783 Keinginan untuk mengunjungi Kota Lama Surabaya sebenarnya sudah lama. Namun, apa daya, hal tersebut hanya bisa dipendam saja, setidaknya hingga menjelang akhir Januari lalu. Bersama sahabat-sahabat yang saya kenal di komunitas heritage, saya akhirnya bisa...

The post Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Keinginan untuk mengunjungi Kota Lama Surabaya sebenarnya sudah lama. Namun, apa daya, hal tersebut hanya bisa dipendam saja, setidaknya hingga menjelang akhir Januari lalu. Bersama sahabat-sahabat yang saya kenal di komunitas heritage, saya akhirnya bisa menuntaskan keinginan tersebut.

Tidak seperti tahun lalu sewaktu mengikuti tur heritage di Kampung Peneleh, saya bersama seorang teman berangkat dari Malang sekitar pukul 04.30 WIB naik kereta api, membuat kami berdua lumayan mengantuk selama perjalanan. Untuk menghindari itu, saya dan lainnya memutuskan mengambil jadwal kereta pukul enam pagi.

Kami tiba di Stasiun Surabaya Kota sekitar pukul 08.30. Selama menjelajahi Kota Lama Surabaya, kami akan dipandu Toufan Hidayat. Ia seorang pegiat sejarah yang tergabung dalam komunitas pegiat sejarah. Beberapa kali ia mengikuti tur heritage di Kota Malang. Dari sinilah, saya mengenalnya. 

Berjarak sekitar 1,5 kilometer dari Stasiun Surabaya Kota, kami memilih berjalan kaki saja daripada naik taksi daring. Hitung-hitung olahraga sembari menikmati bangunan-bangunan tua. Begitu keluar dari stasiun, saya terperangah. Suasana hiruk-piruk menjadi pemandangan utama. Ada pasar baju bekas layak pakai, para pedagang menggelar lapak di tepi jalan raya. Baju-baju tergantung di hanger, ada pula yang menaruhnya begitu saja di bawah. Tak ketinggalan para pedagang kuliner ringan juga meramaikan suasana.

Saat berjalan, saya mengedarkan pandangan ke sekeliling, berharap menemukan penjual nasi. Sayangnya, hanya ada nasi pecel. Sementara yang lain rupanya lebih tertarik meneruskan perjalanan menuju titik pertemuan dengan Toufan. Untuk mengganjal perut, kami sempat berhenti di sebuah minimarket.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 1)
Toufan Hidayat, pemandu tur, sedang memberi penjelasan kepada peserta tur/Dewi Sartika

Berkunjung ke Museum Hidup Polisi

“Halo, Mbak, posisi di mana?”

Saya lalu bertanya kepada yang lain sesudah mengangkat telepon dari Toufan sewaktu mengantre di kasir. “Kita di Jalan Veteran,” ucap Vadia, salah satu sahabat yang turut serta dalam tur ini.

Usai mengetahui posisi kami, Toufan kemudian memberitahu titik pertemuan. Tak lagi di Kantin Kasuari sebagaimana rencana awal, tetapi bergeser ke depan Museum Polrestabes Surabaya. Kami pun tak berlama-lama di minimarket. Setelah beristirahat sebentar untuk mengisi perut, kami bergegas melanjutkan perjalanan. 

Pagi itu, Jalan Veteran cukup lengang. Hanya beberapa kendaraan yang lewat. Dari kejauhan sesosok laki-laki bertopi berdiri di depan museum. Kami menghampirinya. Tak berselang lama ia lalu menjelaskan mengenai kawasan kami berada saat itu.

“Jadi, Kota Lama dulu dikelilingi tembok. Temboknya, ya, jalan ini lalu sungainya ada di belakang bangunan-bangunan itu. Sementara di sini juga pintu pos utama keluar Kota Surabaya,” terang Toufan kepada kami. Telunjuknya mengarah kepada jalan di depan kami sewaktu menerangkan bahwa jalan raya tersebut dulunya adalah tembok kota.

Menurut Toufan juga, dahulu permukiman orang-orang Belanda (VOC) bentuknya mengikuti model bangunan di Eropa yang dikelilingi tembok. Saya pun teringat kastil-kastil di Eropa yang pernah muncul di film berlatar abad pertengahan. Sesudah tembok lalu ada sungai yang juga mengelilingi permukiman tersebut, sungai berisi buaya. Baik sungai dan tembok ini berfungsi sebagai benteng pertahanan. 

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 1)
Tampak depan bangunan Museum Hidup Polisi/Dewi Sartika

Sesudah mendengar keterangannya, pandangan saya langsung tertuju ke gedung Museum Polrestabes Surabaya yang tepat di berada di samping kami berdiri. Dari kejauhan, bangunan tersebut seolah-olah sudah menunjukkan keangkuhannya. Gedung museum dihiasi pilar-pilar raksasa putih serta deretan jendela berukuran besar.

Toufan melangkah memasuki kompleks museum. Ia hendak meminta izin agar bisa memasuki gedung, lebih tepatnya dalam istilah Bahasa Jawa, untung-untungan. Bisa masuk, ya, alhamdulillah, tidak bisa masuk juga tidak apa-apa.  Mengingat untuk bisa masuk ke tempat tersebut pengunjung harus meminta izin tiga hari sebelum kunjungan dilakukan.

Sebelum melangkah lebih lanjut, saya baru sadar bahwa tepat di bagian pintu masuk Museum Polrestabes Surabaya inilah pada warsa 2018 lalu terjadi peristiwa bom bunuh diri yang dilakukan satu keluarga. Setidaknya, itulah yang dikatakan Toufan. Seketika ingatan saya melayang ke beberapa tahun lalu sewaktu kejadian ini menjadi headline pemberitaan di televisi maupun media daring.

Ia kemudian kembali dengan wajah semringah karena izin berhasil ia kantongi. Kami pun membuntutinya dari belakang. Seorang petugas polisi yang semula berjaga di pos mengiringi langkah kami memasuki gedung museum. Makin mendekati bangunan, rasa-rasanya hati saya makin berdecak kagum dengan kemegahannya.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 1)
Berbagai jenis seragam polisi/Dewi Sartika

Koleksi Museum Beragam

Gedung ini sendiri dibangun sekitar tahun 1808 sebagai bagian dari rencana Daendels menjadikan Surabaya sebagai pangkalan militer. Mulanya, bangunan ini dipakai untuk barak militer. Selepas Daendels tak berkuasa, fungsinya masih sama, hingga pada 1925 gedung ini dialihfungsikan sebagai kantor kepala komisaris kepolisian Surabaya. Sampai sekarang, bangunan ini juga masih aktif sebagai kantor Polrestabes Surabaya.

Begitu memasuki gedung, berbagai benda pajangan, seperti senjata, seragam polisi, dan sepeda zaman dulu memenuhi bagian dalam bangunan. Semuanya tertata rapi di display. Tak ketinggalan pula terdapat patung M. Jasin yang dikenal sebagai Bapak Brimob Polri.  Tepat di tengah-tengah terdapat sebuah lonceng berwarna keemasan dengan tulisan terukir di bagian badan lonceng.

Dari keterangan yang saya baca, lonceng yang didesain Paul van Vlissingen dan Dudok van Heel ini digunakan sebagai tanda peringatan oleh pemerintah Belanda. Tahun pembuatannya sendiri sekitar 1843 dan terbuat dari bahan besi kuningan. Untuk membawa lonceng ini dari Belanda ke Hindia Belanda—sekarang Indonesia—dibutuhkan waktu sekitar tujuh tahun. Uniknya, lonceng dengan bentuk dan tulisan sama ini tak hanya terdapat di Surabaya saja, tetapi juga ditemukan di Benteng Willem, Ambarawa.

Sempat tebersit di pikiran saya, mengapa museum ini dinamakan museum hidup. Rasa penasaran saya akhirnya terjawab. Alasannya, tak seperti museum pada umumnya yang bisa dikunjungi kapan saja, untuk bisa ke sini harus izin terlebih dahulu mengingat gedung ini masih aktif digunakan untuk pertemuan polisi. Hal ini ditandai dengan sebuah ruang pertemuan yang berisi kursi-kursi.

Selanjutnya, kami juga menyempatkan untuk melihat-lihat bagian samping bangunan yang juga dikenal sebagai gedung Hoofdbureau ini. Di masa kolonial tempat ini memang menjadi kantor pusat polisi di Surabaya.

“Itu meriam asli, ya. Ditemukan tahun 2009 di Kota Lama, tepatnya di gedung Telkom. Dulunya, gedung itu pabrik senjata, awalnya Pindad. Jadi, sebelum pindah ke Bandung, dulu berada di daerah Jembatan Merah. Pabrik tersebut memproduksi meriam, [tetapi] karena panas akhirnya pindah ke Bandung dan Malang karena hawanya lebih dingin. Ada sembilan meriam yang ditemukan,” jelas Toufan sewaktu kami berdiri di dekat meriam yang berada di pojok gedung museum.

Sembari diselimuti kekhawatiran, kamu lalu masuk ke bagian lain kompleks gedung museum. Alasan mengapa kami nekat, tak lain dan tak bukan karena penasaran dengan bungker yang ada di samping gedung. Sayangnya, bungker tersebut terkunci. Kami hanya sebentar saja karena memang izin memasuki kompleks ini sebenarnya hanya untuk ke gedung museum saja, tidak ke bagian yang lain.

Sepertinya, ada banyak sebutan untuk bangunan yang baru saja kami kunjungi. Selain disebut Museum Polrestabes Surabaya dan Museum Hoofdbureau, bangunan ini juga menyandang nama lain, yaitu Museum Hidup Polri.

Beranjak keluar untuk meneruskan perjalanan, di bagian depan kompleks bangunan berdiri dengan gagah patung dengan seragam polisi. Sosok tersebut adalah Said Soekanto Tjokrodiatmodjo yang menjadi Kapolri pertama Republik Indonesia sekaligus Grand Master Freemason di Indonesia.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-1/feed/ 0 46783