krisis iklim Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/krisis-iklim/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 23 Apr 2024 00:37:58 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 krisis iklim Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/krisis-iklim/ 32 32 135956295 Memitigasi Dampak Pendakian Gunung di Tengah Krisis Iklim https://telusuri.id/memitigasi-dampak-pendakian-gunung-di-tengah-krisis-iklim/ https://telusuri.id/memitigasi-dampak-pendakian-gunung-di-tengah-krisis-iklim/#respond Tue, 23 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41741 Di tengah perubahan iklim yang merundung bumi, para pendaki gunung dituntut untuk ikut mempraktikkan pendakian yang lebih ramah lingkungan. Meski memiliki seabrek manfaat, aktivitas mendaki gunung tak bisa dimungkiri bisa membawa implikasi buruk bagi lingkungan....

The post Memitigasi Dampak Pendakian Gunung di Tengah Krisis Iklim appeared first on TelusuRI.

]]>
Di tengah perubahan iklim yang merundung bumi, para pendaki gunung dituntut untuk ikut mempraktikkan pendakian yang lebih ramah lingkungan. Meski memiliki seabrek manfaat, aktivitas mendaki gunung tak bisa dimungkiri bisa membawa implikasi buruk bagi lingkungan. Lebih-lebih di tengah terus berlangsungnya perubahan iklim seperti sekarang ini.

Seperti kita sama-sama ketahui, perubahan iklim—yang dipicu oleh beragam aktivitas manusia—merupakan faktor utama penyebab suhu bumi kian meningkat. Perubahan iklim sendiri merujuk pada perubahan suhu, pola curah hujan, permukaan laut, dan kondisi atmosfer lainnya dalam jangka panjang. Salah satu penyebab utama perubahan iklim adalah peningkatan gas rumah kaca di atmosfer, terutama karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O), yang memerangkap panas dan berkontribusi terhadap panasnya bumi. 

Memitigasi Dampak Pendakian Gunung di Tengah Krisis Iklim (Djoko Subinarto)
Pemandangan Gunung Gede, yang satu kawasan dengan Gunung Pangrango. Gunung favorit pendakian di Jawa Barat/Djoko Subinarto

Adapun aktivitas-aktivitas manusia, di antaranya penggunaan bahan bakar fosil, pertanian, pembabatan hutan, aktivitas industri dan rumah tangga, merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca. Tatkala gas-gas rumah kaca ini terakumulasi di atmosfer, gas-gas tersebut meningkatkan efek rumah kaca, yang menyebabkan peningkatan temperatur global secara keseluruhan. Sebuah fenomena yang lantas disebut sebagai pemanasan global (global warming). Sebagian kalangan menyebut pula sebagai pendidihan global (global boiling). 

Tatkala temperatur bumi terus merambat naik, seiring dengan peningkatan gas rumah kaca yang menumpuk di atmosfer, membawa banyak konsekuensi. Sebut saja, misalnya, kenaikan permukaan air laut, perubahan pola cuaca, kejadian cuaca ekstrem yang lebih sering dan parah, serta gangguan terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati. 

Dalam hal cuaca ekstrem, salah satu buntutnya adalah peningkatan risiko bencana, seperti longsor, serta banjir bandang maupun kebakaran hutan di kawasan pegunungan. Di sisi lain, cuaca ekstrem juga dapat mendorong terjadinya pergeseran zona vegetasi dan perubahan keanekaragaman hayati ekosistem pegunungan. Anomali tersebut pada gilirannya akan mengganggu keseimbangan ekologi.

Memitigasi Dampak Pendakian Gunung di Tengah Krisis Iklim (Djoko Subinarto)
Ilustrasi kegiatan panjat tebing di lereng gunung/Djoko Subinarto

Potensi Penambahan Beban dan Risiko Lingkungan

Di tengah perubahan iklim dewasa ini, aktivitas pendakian gunung sedikit banyak bakal menambah beban dan risiko lingkungan yang dihadapi kawasan pegunungan. Suka atau tidak, harus jujur kita akui, aktivitas mendaki gunung membawa implikasi negatif bagi lingkungan. Baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Misalnya, yang kerap mencuat dan jadi perhatian serta keprihatinan publik, yakni persoalan sampah yang dihasilkan dan ditinggalkan oleh para pendaki gunung. 

Sampah tentu saja bukan satu-satunya persoalan. Aktivitas para pendaki menyusuri jalur setapak dapat menyebabkan erosi tanah, terutama di ekosistem pegunungan yang rapuh buntut dari pergeseran vegetasi akibat perubahan iklim. Terjadinya erosi tentu saja bakal berkontribusi terhadap degradasi jalur pendakian dan habitat di sekitarnya, yang ujungnya memengaruhi stabilitas tanah dan kualitas air.

Aktivitas pendakian juga dapat memecah belah habitat dan mengganggu koridor satwa liar. Akibatnya populasi spesies tertentu terisolasi dan terjadi penurunan keanekaragaman genetik. Hal ini dapat berdampak jangka panjang terhadap kesehatan ekologi ekosistem pegunungan.

Belum lagi implikasi yang ditimbulkan dari aktivitas pemasangan atau penyediaan infrastruktur pendakian, antara lain tali pendakian, baut, dan tempat berlindung, yang juga dapat menimbulkan dampak jangka panjang terhadap lanskap alam. Lebih-lebih ketika pemasangan dan pemeliharaan infrastruktur pendakian itu kurang tepat, sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada formasi batuan dan vegetasi sekitarnya.

Memitigasi Dampak Pendakian Gunung di Tengah Krisis Iklim (Djoko Subinarto)
Ilustrasi kelompok pendaki gunung/Roaming Spices

Beberapa Upaya Mitigasi

Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan oleh para pendaki gunung?

Ikut berperan aktif melakukan mitigasi dampak lingkungan adalah langkah yang seyogianya dilakukan para pendaki gunung. Siapa pun, di mana pun. Langkah-langkah mitigasi dapat mencakup hal-hal berikut ini.

  1. Meminimalisasi sampah. Tak ada alasan sedikit pun bagi para pendaki untuk meninggalkan sampah, sekecil apa pun, saat pendakian. Termasuk tidak membuang hajat sembarangan di lingkungan gunung;
  2. Meminimalisasi jejak karbon. Selalu gunakan perlengkapan rendah karbon yang terbuat dari bahan ramah lingkungan. Tak kalah pentingnya, yaitu menggunakan transportasi umum maupun carpooling untuk menuju kawasan pendakian. Syukur-syukur mau mengayuh sepeda;
  3. Mendukung akses berkelanjutan. Salah satu caranya, yakni bahu-membahu dengan pengelola pendakian dan masyarakat lokal dalam membangun akses berkelanjutan ke area pendakian. Selain itu juga membatasi pengembangan infrastruktur pendakian yang berpotensi membahayakan ekosistem;
  4. Mendorong praktik ramah iklim. Misalnya, mengurangi konsumsi energi, menghemat air, dan mendukung inisiatif konservasi lokal untuk melindungi ekosistem pegunungan;
  5. Turut aktif terlibat dalam memantau dan menilai dampak pendakian gunung secara berkala. Jika memungkinkan, ikut pula memberikan solusi terbaik terkait langkah-langkah yang perlu ditempuh selanjutnya;
  6. Terlibat dalam program-program yang berkaitan dengan peningkatan kesadaran, khususnya tentang dampak lingkungan dari aktivitas pendakian gunung maupun perubahan iklim;
  7. Berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan. Selain antarpendaki, juga membangun kolaborasi dengan pengelola kawasan pendakian, organisasi konservasi, maupun komunitas lokal untuk menyelaraskan tujuan yang sama; dan
  8. Terlibat langsung dalam upaya restorasi. Restorasi untuk merehabilitasi ekosistem pegunungan yang terdegradasi, baik karena dampak perubahan iklim maupun dampak pendakian, perlu dilakukan. Para pendaki dapat terjun langsung dalam upaya ini, mulai dari restorasi jalur pendakian, restorasi habitat, serta proyek reboisasi dan reforestasi.

Dengan ikut serta menerapkan langkah-langkah mitigasi tersebut, diharapkan dapat membantu mengurangi beban dan risiko lingkungan dari pendakian gunung maupun perubahan iklim. Harapan dan tujuan akhirnya, tak lain memastikan lanskap kawasan pegunungan tetap sehat sehingga mampu diwariskan dan dinikmati oleh generasi-generasi mendatang.


Referensi:

Doytchev, B. (2021). The Impact of Mountaineering and Climbing on The Environment. Trakia Journal of Sciences. Vol. 19, Suppl. 1, pp 540-545. DOI: 10.15547/tjs.2021.s.01.083.
McHaffie, J. (2018). Climb-it Change: 10 tips to mitigate it. The British Mountaineering Council. Diakses dari https://www.thebmc.co.uk/climb-it-climate-change.
Muller, L. M. (2020). How does climbing affect the climate?. Lacrux.com. Diakses dari https://www.lacrux.com/en/klettern/climbing-and-climate-protection-are-a-contradiction-in-terms/.
Wheeler, F. (2023). A climber’s guide to climate action. Mapotapo.com. Diakses dari https://www.mapotapo.com/blog/a-climber-s-guide-to-climate-action.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memitigasi Dampak Pendakian Gunung di Tengah Krisis Iklim appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memitigasi-dampak-pendakian-gunung-di-tengah-krisis-iklim/feed/ 0 41741
Q&A: Extinction Rebellion Indonesia tentang Ancaman Krisis Iklim https://telusuri.id/extinction-rebellion-indonesia-dan-ancaman-krisis-iklim/ https://telusuri.id/extinction-rebellion-indonesia-dan-ancaman-krisis-iklim/#respond Wed, 07 Dec 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36250 Gerakan Extinction Rebellion (XR) cukup sering berkampanye damai mengenai krisis iklim. Melalui akun sosial medianya di Instagram @extinctionrebellion.id mereka mengabarkan berbagai kejadian di Indonesia yang berkaitan dengan kerusakan alam, mengkritik para pemangku kebijakan, hingga poster-poster...

The post Q&A: Extinction Rebellion Indonesia tentang Ancaman Krisis Iklim appeared first on TelusuRI.

]]>
Gerakan Extinction Rebellion (XR) cukup sering berkampanye damai mengenai krisis iklim. Melalui akun sosial medianya di Instagram @extinctionrebellion.id mereka mengabarkan berbagai kejadian di Indonesia yang berkaitan dengan kerusakan alam, mengkritik para pemangku kebijakan, hingga poster-poster satir tentang keadaan alam kita yang sudah tidak bisa ditoleransi.

Baru-baru ini TelusuRI berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan XR mengenai bagaimana krisis iklim dalam pandangan masyarakat Indonesia dan lebih jauh mengenal XR sebagai gerakan global penentang krisis iklim.

XR Indonesia
Contoh poster kegiatan oleh XR Indonesia/XR Indonesia

Apakah kesadaran masyarakat Indonesia akan krisis iklim sudah mencukupi untuk membuka mata mereka bahwa lingkungan di Indonesia diambang ancaman besar?

Memang ada banyak orang di Indonesia yang tidak percaya bahwa krisis iklim disebabkan oleh aktivitas manusia (faktor antropogenik), bahkan hasil survei YouGov menempatkan kita di peringkat pertama sebagai negara dengan climate deniers terbanyak. Namun kesadaran anak muda (khususnya Gen Z dan Millennials) justru tinggi. Hasil survei dari Yayasan Indonesia Cerah dan Indikator Politik menemukan bahwa anak muda akan lebih memilih partai politik yang memiliki standing position yang kuat terhadap isu lingkungan.

Namun memang orang yang sudah tahu akan krisis iklim belum semuanya mengetahui akan bahaya dan dampaknya yang parah. Apalagi mengenai solusi yang perlu diterapkan.

Sebagai salah satu gerakan, bagaimana cara Extinction Rebellion mengambil langkah untuk protes dan kemudian menarik animo masyarakat Indonesia?

Kami percaya hal ini bisa dilakukan dalam aksi langsung nirkekerasan (non violent direct action). Dengan demikian, kita bisa menarik perhatian lebih banyak orang tanpa menyakiti siapapun. Kami selalu mengupayakan agar aksi yang dilakukan bisa dipublikasikan, baik melalui media sosial kami maupun media lain seperti koran.

Secara paralel, kami pun turut melakukan edukasi kepada masyarakat melalui beragam wadah dan cara. Dari konten media sosial, menyelenggarakan webinar dan menjadi narasumber, hingga menyelenggarakan pameran seni.

Apakah kalian kerap menemui kendala saat berkampanye, atau saat menyosialisasikan mengenai ancaman krisis iklim kepada masyarakat? 

Hal ini merupakan tantangan yang seringkali dihadapi para aktivis, peneliti, hingga komunikator yang bergerak untuk isu krisis iklim. Banyaknya terminologi sains dalam menyuarakan isu krisis iklim cukup menjadi sekat. Hal ini turut disebabkan oleh belum optimalnya edukasi lingkungan di Indonesia, khususnya mengenai krisis iklim. Lebih sedihnya, informasi yang beredar dari lembaga pemantau cuaca dan media pun masih ada yang  belum mengakui krisis iklim sebagai faktor penyebab terjadinya cuaca ekstrim.

Sebagai contoh, hanya disebutkan tingginya curah hujan, tanpa menyebutkan bahwa hal ini merupakan implikasi dari krisis iklim. Bukan hanya dalam menyuarakan isu dan dampaknya, namun juga ketika membahas solusi: rendahnya literasi masyarakat akan transisi energi maupun energi terbarukan. Selain komunikasi, kita juga berhadapan status quo yang telah lama lekat pada masyarakat serta “keanekaragaman opini” dan misinformasi iklim.

Tidak hanya aksi, kami juga berperan dalam memecahkan mitos-mitos dalam konteks krisis iklim dan menyampaikan fakta [berdasarkan prinsip dan tuntutan XR, yakni Tell the Truth]. Sebagai contoh [narasi-narasi seperti] “krisis iklim merupakan fenomena alami, bukan disebabkan manusia,” “harusnya negara barat dan global north yang bertanggung jawab [terhadap krisis iklim],” hingga “kalau [kita] meninggalkan batubara, para pekerja di sektor tersebut akan terancam.” 

Tentunya, jika kita tidak melakukan aksi iklim serentak secara global, [hal ini] akan menaruh kita (terutama Indonesia) di posisi yang rentan. Padahal, transisi energi [batubara] ke energi terbarukan akan membuka lapangan pekerjaan hijau baru, mewujudkan perekonomian hijau yang lebih resilient, dan tentunya mengurangi risiko perubahan iklim.

tambang batu bara
Kerusakan lingkungan akibat mafia tambang batubara di Kalimantan Selatan(TEMPO/Arif Zulkifli)

Bagaimana koordinasi antargerakan Extinction Rebellion dari negara lain, apakah kerap kali melakukan kerja sama untuk mengusung suatu program?

Karena kita menyuarakan sebuah isu yang bersifat global, tentu ada komunikasi dengan tim internasional, baik sesama Extinction Rebellion maupun gerakan lainnya.

Ada banyak isu yang turut bersinggungan pula dengan negara lain, contohnya pinjaman untuk mendanai PLTU Indramayu dari pemerintah Jepang. Tentunya ketika dilakukan aksi bersamaan dari negara penerima donor sekaligus negara sponsor akan meningkatkan sense of urgency, sehingga lebih efektif dalam mendorong perubahan.

Bagaimana penerapan teori 3,5 persen? Apakah di Indonesia berjalan seperti yang diharapkan?

We’re getting there! Awalnya diinisiasi oleh segelintir orang di Jakarta, namun kini Extinction Rebellion sebagai gerakan sudah semakin berkembang. Bahkan kini sudah ada di berbagai daerah dan kota di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Makassar, Bali, Papua. Sehingga gerakan ini semakin besar, suara kita pun semakin keras. 

Pernahkah Extinction Rebellion “dimusuhi” karena dianggap sebagai pengganggu jalannya bisnis yang merusak alam?

Tidak perlu jauh-jauh, gerakan Extinction Rebellion di UK pernah dijuluki sebagai sekte di tahun 2019. Namun memang kami melakukan aksi atas fakta dan sains mengenai krisis iklim. Memang tidak semua orang menyukai kebenaran yang pahit, ya kan?

Dalam melaksanakan aksi langsung (turut ke jalan) tentu ada pihak yang bersinggungan dengan kami, seperti penegak hukum/keamanan (kepolisian, satpam, dst). Namun [dari situ] justru kita turut mengedukasi mereka akan apa yang menjadi keresahan dan alasan kami melakukan aksi.

Musuh sesungguhnya adalah mereka yang merusak dan mencemari lingkungan.

Juli lalu, bersama Jeda Untuk Iklim (koalisi keadilan iklim), kami menyertai pengaduan kepada Komnas HAM akan dampak krisis iklim. Dalam pengaduan tersebut, Komnas HAM turut mengakui bahwa pembiaran krisis iklim (inaction, hingga tindakan memperparah) merupakan tindakan pelanggaran HAM, karena akan mengancam pemenuhan hak hidup, hak atas pangan, hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan tempat tinggal yang layak, dan hak asasi lainnya.

XR Indonesia
Salah satu contoh kampanye nirkekerasan oleh XR Indonesia/XR Indonesia

Kerja sama apa yang sudah dilakukan Extinction Rebellion dengan organisasi lainnya yang mengusung tema sejenis?

Kami bukan NGO, melainkan gerakan. Sehingga hal ini memperluas kemungkinan untuk berkolaborasi dengan organisasi, pergerakan, bahkan individu apa saja, selama memiliki keresahan yang sama. 

Selain itu, isu ini merupakan isu yang besar dan akan memberi dampak pada semua orang. Sehingga, bukan hanya dengan mereka yang perlu bergerak dalam isu krisis iklim dan lingkungan saja. Beberapa aktivis, seniman, gerakan seni, hingga organisasi transpuan pernah berkolaborasi bersama kami seperti Wanggi Hoed, Oscar Lolang, dan Sanggar Seroja.

Harapan Extinction Rebellion untuk lingkungan Indonesia kedepannya seperti apa?

Kebijakan iklim Indonesia masih jauh dari serius. Hal ini bisa dilihat dari kesenjangan antara rekomendasi sains (IPCC) dengan kebijakan yang diadopsi dan diterapkan di Indonesia. Target penurunan emisi Indonesia saja belum sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Bahkan target jangka panjang atau Long Term Solution (LTS) Indonesia (yang merupakan bagian dari Paris Agreement) adalah mencapai Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060, padahal IPCC merekomendasikan untuk mencapai NZE di tahun 2050.

Dalam mengatasi krisis iklim, kami harap pemerintah menerapkan kebijakan yang serius; sektor industri bisa serius peduli pada lingkungan dan menghentikan tindakan yang merusak lingkungan; sektor finansial seperti bank dan asuransi bisa meninggalkan proyek kotor dan investasi ke proyek yang mendorong kelestarian lingkungan; dan [tentunya] bukan sekedar iming-iming hijau alias greenwashing semata karena untuk menghadapi krisis iklim dan melestarikan lingkungan, dibutuhkan keselarasan banyak pihak, dari yang lingkup individu hingga lingkup nasional.

meme
Selain kegiatan serius, kadang juga XR Indonesia menyindir dengan meme/XR Indonesia

Saat ini kami sedang mendorong deklarasi darurat iklim melalui petisi di Change.org. Dengan deklarasi ini, harapannya semua kebijakan yang mengancam dan merusak lingkungan dan kehidupan bisa dicabut. Petisi ini telah diserahkan melalui Kantor Staf Presiden kepada Presiden Joko Widodo pada Rabu, 10 Agustus 2022. Namun hingga kini belum ada tanggapan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Q&A: Extinction Rebellion Indonesia tentang Ancaman Krisis Iklim appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/extinction-rebellion-indonesia-dan-ancaman-krisis-iklim/feed/ 0 36250
Di Tengah Gegap-Gempita Media Sosial, Isu Hutan Timbul-Tenggelam https://telusuri.id/di-tengah-gegap-gempita-media-sosial-isu-hutan-timbul-tenggelam/ https://telusuri.id/di-tengah-gegap-gempita-media-sosial-isu-hutan-timbul-tenggelam/#comments Thu, 07 Jan 2021 08:32:34 +0000 https://telusuri.id/?p=26207 Forest Digest didirikan oleh para alumni Institut Pertanian Bogor dengan tujuan mengkampanyekan pengelolaan hutan yang lestari. Sejak didirikan, Forest Digest mengeluarkan media cetak yang menyasar para alumni Fakultas Kehutanan IPB dan pemerintahan karena sarat akan...

The post Di Tengah Gegap-Gempita Media Sosial, Isu Hutan Timbul-Tenggelam appeared first on TelusuRI.

]]>
Forest Digest didirikan oleh para alumni Institut Pertanian Bogor dengan tujuan mengkampanyekan pengelolaan hutan yang lestari. Sejak didirikan, Forest Digest mengeluarkan media cetak yang menyasar para alumni Fakultas Kehutanan IPB dan pemerintahan karena sarat akan penelitian ilmiah yang sekiranya bisa membantu dalam penentuan kebijakan.

Dengan terbatasnya capaian distribusi untuk produk media cetak, mendorong Forest Digest memutuskan untuk membuat website di 2018 agar dapat diakses dari seluruh penjuru Indonesia. Khawatir akan tenggelamnya website mereka di tengah banjir informasi di masa sekarang, dibuat lah media sosial, agar konten mengenai lingkungan di website mereka bisa merambah generasi muda. 

Kang Bagja, pemimpin redaksi Forest Digest. Foto: Kang Bagja

Pemimpin redaksi Forest Digest, Kang Bagja bercerita banyak sekali selama kiprahnya mengelola media yang berfokus pada lingkungan. Sebagai alumni dan pemimpin redaksi Forest Digest, beliau menceritakan ragam permasalahan lingkungan saat ini hingga gaya hidup yang perlu digubah untuk menanggulangi krisis iklim dan pencemaran lingkungan di Indonesia.

Mengangkat isu dan masalah lingkungan

Kondisi lingkungan global berada di titik yang mengkhawatirkan. Isu di media sosial saat ini sedang marak krisis iklim, termasuk soal pemanasan suhu bumi yang diakibatkan oleh produksi emisi karbon yang berlebihan pada setiap aktivitas manusia.

Pada kenyataannya manusia tidak bisa menanggung kenaikan suhu bumi jika lebih dari 2 derajat celcius. Bahkan di tengah pandemi seperti saat ini, walaupun kegiatan ekonomi melambat, tingkat kenaikan suhu bumi ternyata tidak menurun. Hal ini diakibatkan energi yang dibutuhkan untuk aktivitas daring lebih besar dibandingkan aktivitas offline, sehingga emisi yang dikeluarkan pun lebih banyak. 

Kemudian bagaimana dengan Indonesia? Kang Bagja menjelaskan “akibat pengelolaan hutan tak lestari, sekitar 34 juta hektar hutan tidak lagi menjadi hutan akibat degradasi dan banyaknya pembakaran liar.”

Sayangnya kebijakan ekonomi di Indonesia masih menjadi fokus utama dan paling besar jika dibandingkan dengan kebijakan yang menunjang kelestarian lingkungan. Forest Digest berharap ke depannya hutan-hutan di Indonesia bisa dilindungi oleh masyarakat adat. Hal ini dikarenakan warga lokal lah yang tahu betul keadaan hutan-hutan mereka, sehingga jika terjadi kerusakan pada hutan-hutan mereka, maka imbasnya pun akan dirasakan oleh mereka sendiri.

Namun di tengah banjir informasi di media sosial dan media digital, isu lingkungan dan HAM menjadi isu-isu yang mudah timbul-tenggelam. Hal ini diakui betul oleh Forest Digest, maka dari itu, selain ingin menyasar para pemangku kebijakan, Forest Digest juga menyasar masyarakat luas, terutama para anak muda yang kreatif. Kunci utama Forest Digest agar tetap relevan bagi masyarakat, khususnya di kalangan muda adalah dengan mengaitkan pengaruh isu lingkungan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.

Walaupun masih banyak kegiatan umat manusia yang mencemari lingkungan, Forest Digest selalu ingin menyorot secercah harapan dari masyarakat lokal yang peduli dan berhasil merubah lingkungannya menjadi lebih lestari dan ramah lingkungan. Kang Bagja mengambil contoh masyarakat di Desa Bendungan, Kabupaten Bogor yang menyulap selokan kotor yang penuh sampah menjadi kolam budidaya ikan. Beliau menunjukkan bahwa ini adalah salah satu contoh dimana kebijakan yang fokus kepada kelestarian lingkungan akan menghasilkan perekonomian yang baik pula.

Lalu, anak muda bisa apa?

Tentunya tidak cukup hanya menyasar anak muda sebagai audiens, ketika sudah mendapatkan atensi dari anak muda Indonesia, lantas apa yang bisa mereka lakukan sebagai masyarakat yang berwawasan? Anak muda di desa lebih banyak mempraktekkan menanam pohon dan bertani, berbeda dengan anak muda di kota yang mungkin hanya tahu dari bacaan di media sosial dan berita. Kang Bagja menyayangkan kondisi pandemi ini tidak memungkinkan bagi mereka untuk melakukan beberapa program-program bagi anak-anak muda. 

Di tengah pandemi ini anak muda dan bahkan orang dewasa lebih sering menghabiskan waktu di dalam rumah dan berkegiatan di dunia maya. Forest Digest menyarankan agar teman-teman di rumah tidak terlalu banyak menghabiskan waktu di dunia maya, selain karena menambah produksi karbon emisi, akan lebih sehat jika kita menyisihkan waktu 2-3 jam beraktivitas di luar rumah; seperti berjalan kaki atau bersepeda, tentunya dengan mematuhi protokol kesehatan dan tidak beramai-ramai.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Di Tengah Gegap-Gempita Media Sosial, Isu Hutan Timbul-Tenggelam appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/di-tengah-gegap-gempita-media-sosial-isu-hutan-timbul-tenggelam/feed/ 1 26207