kuda bendi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kuda-bendi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 12 Jul 2023 00:50:12 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kuda bendi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kuda-bendi/ 32 32 135956295 Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (2) https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-2/ https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-2/#respond Thu, 13 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39288 Kuda bendi yang saya tumpangi melaju menembus jalanan utama kota. Embusan angin yang sedikit menusuk kulit membuat Azzahra sesekali memeluk lengannya. Seperti turis baru saja rasanya. Melalui telepon genggam, saya melihat temperatur udara sore itu...

The post Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kuda bendi yang saya tumpangi melaju menembus jalanan utama kota. Embusan angin yang sedikit menusuk kulit membuat Azzahra sesekali memeluk lengannya. Seperti turis baru saja rasanya. Melalui telepon genggam, saya melihat temperatur udara sore itu sekitar 23°C. Cukup dingin bagi kami yang biasa merasakan suhu sore di atas 30°C. Tak mengapa. Tetap menyenangkan. 

Son memberikan nomor telepon genggamnya pada saya. Sebelum menurunkan kami, ia berujar, “Beko kalo nio naiak bendi baliak, a talepon sajo awak, buliah wak japuik sajo ka rumah, jadi indak payah na beko jalan ka pasa mancari bendi, a bia kaliliang-kaliang adiak baliak (nanti kalo mau naik bendi lagi, bisa telepon saya saja, saya bisa jemput ke rumah, jadi tidak perlu susah jalan ke pasar buat cari bendi, nanti bisa keliling-keliling lagi).”

“A jadih pak, beko kalo nio naiak bendi liak, wak talepon apak yo, jan maha-maha ongkosnyo dak, Pak! (Baik, Pak, nanti kalau saya naik bendi lagi, saya akan telepon Bapak, tetapi ongkosnya jangan mahal-mahal ya, Pak!),” jawab saya sembari turun dan memberikan sejumlah uang. 

Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (2)
Melintasi jalanan dengan menaiki kuda bendi/Atika Amalia

Strategi Kusir Bendi Menarik Penumpang

Semenjak banyaknya transportasi modern yang semakin bertambah, sejalan dengan kepentingan individu yang berbeda, peminat kuda bendi cenderung menurun drastis. Setiap kusir bendi harus memiliki strategi baru untuk memikat penumpang agar memanfaatkan jasa mereka sebagai sarana transportasi. Seperti Son, yang mempunyai trik dengan memberikan nomor telepon pada penumpang bendinya. Ia berharap penumpang tersebut dapat lebih mudah mencari Son ketika ingin kembali berjalan-jalan dengan bendi.

Tarif kuda bendi yang kita bayarkan adalah tarif yang lebih dahulu disepakati di awal. Penentuan penghitungan tarif berdasarkan tujuan dan jarak tempuh. Son harus berpacu dengan penyedia jasa transportasi lainnya, agar kebutuhan rumah tangga dan perawatan kuda dapat terpenuhi.

“Samanjak urang-urang banyak nan mambali onda kredit, lah jarang bana ado nan nio naiak bendi (semenjak orang-orang banyak yang membeli motor secara kredit, jadinya jarang yang mau naik bendi lagi),” tutur Son.

Menurut dia, masyarakat yang tadinya menggunakan jasa bendi, sekarang beralih ke transportasi modern, seperti sepeda motor. Apalagi kendaraan roda dua sangat mudah untuk mendapatkannya. Jika tidak punya uang untuk membeli sepeda motor secara tunai, dealer akan menawarkan kredit kepada calon pembeli. Hal ini semakin memengaruhi minat masyarakat terhadap kuda bendi. 

“Yo kini bendi ko masih ado, tapi indak sabanyak dulu lai, nan banyak naiak bendi ko kini you urang-urang wisata, parantau nan pulang kampuang atau anak-anak ketek (ya, bendi ini sekarang masih ada, tetapi tidak sebanyak dulu, peminat bendi itu sekarang adalah orang-orang wisata, perantau yang pulang kampung, atau anak-anak kecil),” Son berbicara pergeseran segmen penumpang kuda bendi.

Bagi Son, jasa bendi yang ia tawarkan bukan lagi mata pencaharian utama. Pagi hingga siang hari, Son melakukan pekerjaan lain. Baru sorenya mencari penumpang dengan kuda bendi. 

Dalam kesempatan berbeda, Riko, kusir bendi yang pernah saya temui, menceritakan hal serupa. Terjadi penurunan jumlah peminat dan penumpang kuda bendi, sehingga berpengaruh pada jumlah pemasukan harian para kusir. Perawatan dan pemberian pakan untuk kuda-kuda harus terus berjalan, sementara uang masuk para kusir bendi tidak sebanyak dahulu. 

Riko yang berprofesi sebagai kusir bendi lebih dari 20 tahun ini punya strategi pemasaran yang berbeda dengan Son. Setiap penumpang yang naik bendinya akan ia tawarkan untuk perjalanan pulang dan pergi. Jadi, Riko akan mengantarkan penumpang ke tujuan kemudian menunggu penumpangnya selesai. Selanjutnya ia membawa penumpang itu kembali ke tempat awal sehingga bisa menambah pemasukan. 

“Dari pado baliak kosong, jadi ancak tungguan se penumpang ko, rato-rato kan urang-urang ko balanjo sabanta jadi beko pulang baliak baok balanjonyo (Daripada balik harus kosong, mending penumpangnya ditungguin saja, rata-rata mereka belanja kan sebentar jadi nanti pulang kembali bawa penumpang itu lagi dan barang belanjaannya),” ujar Riko.

Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (2)
Riko memperlihatkan jambul yang terpasang di kepala kuda/Atika Amalia

Tantangan Besar untuk tetap Bertahan

Pada kesempatan lain, saya juga pernah menumpang salah satu bendi─saya lupa nama kusirnya─beliau menuturkan bahwa perawatan kuda juga harus optimal. Sama seperti manusia, ada makanan utamanya, yaitu sagu dan rumput, kemudian camilan macam pisang dan sayur-sayuran, juga vitamin.

Kuda juga memiliki waktu istirahat siang. Untuk memenuhi kebutuhan kuda, beliau memiliki cara sendiri untuk menarik pelanggan. Jadi, siang hari kuda beroperasi seperti biasa sesuai jalur permintaan penumpang. Kemudian malam harinya, beliau akan memasangkan kuda yang berbeda pada bendi yang sama dan menghiasinya dengan lampu kelip-kelip. Sang kusir juga menyalakan musik sehingga penumpang merasakan perbedaan suasana saat menaiki kuda bendi.

“Awak ado duo kuda, jadi kuda iko siang beko kuda yang ciek lai malam. Tapi bendi yang dipakai samo, tingga di bukak tu pasang ka kuda cieklai, iduikan lampunyo (saya punya dua kuda, jadi siang saya pakai kuda yang ini, kalau malam pakai kuda satunya lagi. Tapi, bendi yang dipakai sama, nanti dibuka kudanya terus dipasangkan ke kuda yang satunya lagi, lampu hiasan bendi dinyalakan),” tuturnya. 

“Jadi, kita harus kreatif, ya, Pak?” saya menyahut.

“Iyo harus bapikia wak, kalo indak tu dak ado nan nio naiak bendi lai (iya, kita harus berpikir, jika tidak, gak ada lagi yang mau naik bendi),” jawab beliau sembari menarik tali pengikat kuda.

“Tapi bendi ko terlalu maha tarifnyo Pak daripado wak naiak ojek (tetapi bendi ini tarifnya terlalu mahal, Pak, daripada naik ojek),” kelakar saya.

“iyo batua, baa dak kamaha, makan kuda ko se banyak, pisang tu untuk sneknyo se sasikek tu ha, pisang bara kini, alun lo biaya lain-lainnyo, ditambah yang naiak dak banyak lai (iya, betul, bagaimana tidak mahal, kuda itu makannya banyak, pisang untuk camilan saja sekali makan itu habis satu sisir, sementara harga pisang juga mahal, belum lagi biaya lainnya yang juga semakin tinggi),” jelas beliau sambil tertawa.

Saya menyadari, bendi sebagai alat angkut tradisional yang masih bertahan hingga saat ini, adalah sesuatu yang cukup istimewa di tengah gempuran berbagai jenis transportasi modern. Persaingan kuda bendi pun cukup ketat. Tarif jasanya yang bisa dua kali lipat lebih mahal daripada ojek daring membuat peminatnya semakin menurun.

Para kusir bendi harus lebih kreatif dan berinovasi untuk menarik pelanggan kembali menggunakan jasanya. Selain itu, sebagai pengguna, saya berpendapat bahwa tarif yang sedikit lebih mahal sama halnya dengan membeli kenangan dan merawat budaya. Saya tidak merasa rugi terhadap harga yang saya bayarkan.

Melalui tulisan ini, saya mengajak masyarakat agar terus melestarikan kendaraan tradisional, seperti kuda bendi dengan pelbagai cara. Baik itu menumpang maupun mempromosikan kuda bendi melalui media apa pun dalam bentuk tulisan dan gambar. Tujuannya merawat salah satu warisan budaya Indonesia agar tidak punah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-2/feed/ 0 39288
Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1) https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-1/ https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-1/#respond Wed, 12 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39277 Tahun ini adalah kedua kalinya saya pulang ke tanah kelahiran, Payakumbuh. Kota yang menjadi saksi perjalanan hidup hingga remaja. Raut wajah lelah ibunda dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih menyambut kepulangan saya. Betapa tidak, saya...

The post Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Tahun ini adalah kedua kalinya saya pulang ke tanah kelahiran, Payakumbuh. Kota yang menjadi saksi perjalanan hidup hingga remaja. Raut wajah lelah ibunda dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih menyambut kepulangan saya. Betapa tidak, saya pulang untuk melihat ayahanda yang sedang dalam masa pemulihan pasca kecelakaan lalu lintas beberapa bulan sebelumnya.

Langit biru menyapa saya sore itu. Angin segar pepohonan seolah mengusap lembut wajah. Gerombolan burung-burung kecil sesekali melintas melewati atap rumah. Kambing-kambing yang akan pulang ke kandang mengembik kegirangan tanda perut sudah kenyang. Dan penjaja makanan malam sudah mulai mempersiapkan lapak dagangan. 

“Damai dan nyaman sekali,” gumam saya dalam hati.

Saya mengajak putri kecil saya, Azzahra, melihat salah satu sungai yang berada tak jauh dari rumah ibunda. Ia bernyanyi kecil dan sekali-sekali meloncat kegirangan. Itulah yang saya lihat darinya. Senang sekali tampaknya. Hari-hari sore yang biasanya penuh dengan hiruk pikuk suara kendaraan ibu kota, tetapi kali ini berbeda. Sebuah pemandangan baru baginya. 

“Seru, ya?” ucapku.

“Ada sungai di sana,” jawab Azzahra dengan wajah yang masih berbinar. Kadang-kadang ia gosokkan sandal jepit merah yang baru saya beli di warung ke rerumputan. Mencari bunga putri malu untuk ia sentuh.

Gak ada putri malu, Bunda,” ujarnya.

“Belum kelihatan, ya, dari tadi.” Saya sambil menunduk untuk melihat sekitar.

Kami berjalan kaki menyusuri pinggir sungai hingga tiba di Jembatan Batang Agam. Sebuah jembatan yang penuh sejarah. Letaknya berada tepat di antara Monumen Ratapan Ibu dan rumah potong hewan. Masyarakat kota lalu-lalang, beberapa kudo bendi (kuda bendi) tampak memacu kecepatannya menuju pusat kota. Seketika ada ide di kepala saya untuk mengajak Azzahra berkeliling kota dengan kendaraan tradisional tersebut. Sembari menunggu waktu magrib tiba. 

Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1)
Kuda bendi dan penumpangnya di depan pertokoan dekat Pasar Tradisional Ibuh/Atika Amalia

Asal Usul Kuda Bendi

Sekilas kuda bendi tampak seperti kendaraan tradisional lain yang ada di beberapa kota di Indonesia, seperti Yogyakarta, Lombok, Manado, dan Jakarta. Kereta roda dua yang ditarik kuda tersebut memiliki peran vital dalam kehidupan masyarakat Minangkabau di masa lampau. Pada akhir abad ke-19, transportasi di Sumatra Barat adalah yang paling maju di antara daerah-daerah di luar Jawa.

Mula-mula kereta api menjadi angkutan umum sejak 1893. Hal ini distimulasi oleh penemuan deposit batubara di Ombilin pada tahun 1868. Lalu 19 tahun kemudian Parlemen Belanda memutuskan membangun jalur kereta api untuk sarana transportasi batubara dari Sawahlunto ke Pelabuhan Emmahaven Padang. Menurut Colombijn (dalam Sufwan, 2017), kota-kota di pedalaman semakin terbuka dari isolasi, sebab jalan trem meluas ke daerah-daerah yang terpencil sekalipun.

Tidak lama berselang, angkutan mobil didatangkan dari Singapura sejak 1904. Catatan sejarah mengatakan bahwa pada awal 1920-an terdapat lebih dari 3.000 angkutan mobil di Sumatra Barat. Di akhir dasawarsa yang sama, jumlah mobil telah mencapai angka 7.000. Asnan (dalam Sufwan, 2017) menyebut angkutan mobil terus tumbuh seiring terus tumbuhnya jalan raya.

Sejak akhir abad ke-19, dapat dikatakan bahwa modernisasi transportasi telah berhasil dilakukan pemerintah kolonial Belanda. Angkutan massal modern menggantikan angkutan tradisional, seperti pedati, bendi, atau kuda beban. Bahkan hingga pertengahan abad ke-20, nyaris hanya bendi yang bertahan sebagai alat angkut manusia, meskipun dalam skala terbatas.

Perubahan Jenis dan Fungsi Bendi dari Masa ke Masa

Masa kolonial Belanda, menurut Ishakawi (dalam Vivindra dkk, 2015), menjelaskan bahwa bendi mengalami beberapa perubahan. Pertama adalah kereta kuda yang dibawa oleh petinggi bangsa Belanda dan beroda empat. Selanjutnya berubah lagi menjadi kereta kuda beroda dua dengan sebutan “sado”. Jenis kereta kuda ini yang jadi awal dari bendi tradisional di Sumatra Barat.

Pada masa itu kendaraan atau transportasi belum begitu banyak, sehingga bendi merupakan barang mewah. Hanya golongan tertentu saja yang memiliki bendi itu, seperti orang-orang kaya, penguasa, pejabat pemerintah, dan tokoh masyarakat.  Kemudian fungsi bendi saat itu adalah sebagai kendaraan petinggi dan pejabat dalam melaksanakan tugas. Sehingga bendi lebih memiliki makna sebagai kendaraan pribadi yang dapat melambangkan kekuasaan, kekuatan, penguasa, dan status sosial. Lalu setelahnya bendi menjadi transportasi umum hingga saat ini.

Bendi memiliki beberapa jenis. Pertama, terem atau terent. Kata “terem” berasal dari “trem”, yaitu kereta yang berjalan dengan tenaga listrik atau lokomotif kecil dan merupakan salah satu angkutan kota di Eropa. Kemungkinan berasal dari bahasa Inggris “train” (kereta), yang karena mendapat pengaruh oleh dialek bahasa Minangkabau, masyarakat menyebutnya terem. Namun, maksud terem di sini adalah bendi yang memiliki empat roda dan ditarik oleh dua ekor kuda. Orang Belanda menyebutnya dengan terem atau terent atau bendi Balando.

Kedua adalah sado, sejenis bendi yang ditarik oleh kuda. Bentuknya hampir sama dengan bendi. Sado memiliki dua macam, yaitu sado tetap dan sado bersambung. Ketiga, bogi, berbentuk lebih kecil dari bendi. Ciri-ciri bogi antara lain memiliki bak berukuran kecil dan satu buah tempat duduk, tidak memiliki tenda, dan ditarik oleh seekor kuda.

Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1)
Bogi atau bendi yang pernah Bung Hatta naiki. Koleksi Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta/Atika Amalia

Bogi oleh sebagian orang disebut bugih. Fungsinya selain sebagai kendaraan pribadi orang-orang ternama masa lalu, juga merupakan salah satu bentuk permainan rakyat yang dikenal dengan nama pacu bogi atau pacu darap. Muhammad Hatta atau Bung Hatta pernah diantarkan menggunakan bogi dari kediamannya di Bukittinggi menuju Kota Padang untuk melanjutkan sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Sekolah menengah pertama (SMP) pada zaman pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Bogi yang digunakan untuk mengantar Bung Hatta adalah kendaraan milik keluarga.

Keempat, bendi yang masih terpakai hingga saat ini, memiliki bentuk yang lebih sempurna dari pendahulunya. Satu kuda menarik kereta yang beroda dua, mempunyai atap penutup dan berhias pelbagai aksesoris dan hiasan menarik.

Berkeliling Kota Payakumbuh Naik Kuda Bendi 

Saya dan Azzahra berjalan kaki sekitar 150 meter dari Monumen Ratapan Ibu menuju gapura bertuliskan “Pasar Tradisional Ibuh”, Payakumbuh. Tampak ada dua kuda bendi yang masih menunggu penumpang. Hari-hari biasa kuda bendi lebih banyak jumlahnya. Mungkin karena waktu itu sudah sore dan juga masa Ramadhan, sehingga sebagian telah kembali ke kandang. 

Seorang kusir bendi menyapa ketika saya mendekat. Saya memintanya untuk mengantar kami berkeliling melewati beberapa ruas jalan. Di kesempatan ini saya juga tidak ingin kena pakuak, istilah yang sering masyarakat Sumatra Barat gunakan jika harga barang atau jasa melebihi harga normal. Salah satu caranya adalah dengan membuat kesepakatan harga di awal sebelum berangkat. Tidak ada harga yang pasti jika menggunakan kuda bendi, jadi pengguna harus menawarnya terlebih dahulu. 

Son, kusir bendi pertama yang Azzahra temui, adalah orang yang ramah pada anak-anak. Saat menaiki bendi kami melihat berbagai aksesoris dan hiasan yang sangat menarik perhatian orang, terutama anak-anak. Pada kepala kuda terpasang sebuah aksesoris berupa jambul merah. Son menganalogikannya seperti manusia memakai bando (bendo). Melalui penjelasan Son, Azzahra semakin antusias.

Hal menarik lainnya dari kuda bendi adalah terdapat bantal kecil berwarna merah untuk sandaran penumpang. Ada juga dekorasi seng dan ukiran motif bunga-bunga di beberapa bagian luar dinding bendi. Selain itu, masyarakat juga berkelakar bahwa bendi adalah kendaraan mahal dengan menyebut inisial BMW, yaitu Bendi Merah Warnanya.  

“Azza seru gak naik bendi?” saya menggodanya 

“Naik bendi itu seru, bendinya lucu,” sahutnya sembari tertawa girang.

Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1)
Dekorasi menarik di bagian penumpang kuda bendi/Atika Amalia

Kami mengelilingi beberapa jalanan, yang akhirnya kembali menghidupkan memori masa kecil saya. Orang tua saya dulu pernah mempunyai tiga kuda bendi yang menjadi alat jasa transportasi. Seorang kusir membawa kuda bendi dengan sistem bagi hasil, lalu kusir tersebut akan merawat kuda. Selang beberapa tahun kemudian, orang tua menjual bendinya setelah seekor kudanya mati karena kecelakaan di salah satu kandang tempat penitipan kuda. 

Sore itu, saya dan Azzahra mendapat kesenangan berbeda. Saya mengingat kembali memori-memori manis masa kanak-kanak setelah melintasi berbagai tempat, di antaranya Jalan Arisun, tugu Adipura, melihat Masjid Muhammadiyah, dan menatap Gunung Sago dari kejauhan. Azzahra sedang membangun memori dengan pengalaman barunya menumpangi kudo bendi. 

Referensi

Asnan, Gusti. 2003. Kamus Sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian Islam Minangkabau.
Colombijn, Freek. 2006. Paco-paco Kota Padang. Yogyakarta: Ombak.
Ishakawi. 2010. Ranah Seni. Jurnal Seni dan Desain, Vol 03(02), 1-13.
Sufwan, F. H. (2017). Kuda Bendi di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat Hingga Akhir Abad Ke-20. Mozaik Humaniora, 17 (1), 53.
Vivindra, R. D., Syamsir, S., & Nurman, N. (2015). Eksistensi Bendi dalam Perspektif Budaya di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat. Humanus. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Humaniora, 14(1), 71-79.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-1/feed/ 0 39277