kuliner jogja Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kuliner-jogja/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 23 Oct 2024 10:24:50 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kuliner jogja Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kuliner-jogja/ 32 32 135956295 “Sego Godog” Khas Bantul di Warung Bakmi Gilang https://telusuri.id/sego-godog-khas-bantul-di-warung-bakmi-gilang/ https://telusuri.id/sego-godog-khas-bantul-di-warung-bakmi-gilang/#respond Wed, 23 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42904 Sedap bawang menguar di udara. Seperti biasanya, ibu memesan nasi goreng, sedangkan saya, lagi-lagi menjatuhkan pilihan pada seporsi sego godog. Salah satu menu khas Bantul yang enak dan kemepyar di lidah saya, meski acap kali...

The post “Sego Godog” Khas Bantul di Warung Bakmi Gilang appeared first on TelusuRI.

]]>
Sedap bawang menguar di udara. Seperti biasanya, ibu memesan nasi goreng, sedangkan saya, lagi-lagi menjatuhkan pilihan pada seporsi sego godog. Salah satu menu khas Bantul yang enak dan kemepyar di lidah saya, meski acap kali konsepnya dipertanyakan oleh beberapa teman dekat saya. 

Seperti seorang kawan yang menikahi orang Bantul. Ia mengomentari status Whatsapp saya, yang baru saja menghabiskan seporsi sego godog di Warung Bakmi Gilang. “Aku sampai sekarang nggak habis pikir dengan konsep sego godog ini. Tapi suamiku doyan.”

Saya hanya tertawa membaca pesannya malam itu. Ia merasa aneh dengan menu sedap khas Bantul yang satu ini. Bukan cuma dia. Ada beberapa kawan yang mempertanyakan hal senada pada asal usul menu yang “mengawinkan” nasi dengan mi tersebut.

“Sego Godog” di Warung Bakmi Gilang
Kaldu ayam kampung, kunci kelezatan sego godog/Retno Septyorini

Perkenalan Pertama dengan Sego Godog

Sego godog merupakan menu yang dibuat dari kombinasi nasi dan mi, yang dibumbui layaknya bakmi rebus (godok atau godog). Porsi nasi yang digunakan lebih dominan. Di sekitaran Jogja, menu sego godog bisa ditemukan di berbagai warung bakmi jawa. 

Bagi sebagian orang, sego godog mungkin terlihat agak aneh. Selain perkara nasi yang umumnya dimasak liwet atau bubur saja, sekilas sego godog terdengar seperti menu yang kurang sehat karena menggabungkan dua jenis karbohidrat dalam satu masakan. 

Padahal konsep menu dengan dobel karbo macam itu banyak kita temukan di pasaran. Mulai dari magelangan, jenang-jenangan yang bercita rasa manis, hingga camilan tradisional macam klepon cenil ataupun gatot tiwul yang sering disajikan bersamaan dalam satu porsi. 

Walaupun dikenal sebagai salah satu kuliner khas Bantul, tapi sego godog pertama yang saya coba bukan berlokasi di Bantul. Melainkan di kedai mi yang berada sisi timur Terminal Jombor, Sleman. Sayang saya lupa nama warungnya. Saking enaknya menu ini, kalau sedang berada di sekitar Jombor, saya rela buat mampir lagi untuk sekadar mencicipi sego godog-nya saja. 

“Sego Godog” di Warung Bakmi Gilang
Tampak depan Warung Bakmi Gilang di Manding, Bantul/Retno Septyorini

Sego Godog ala Bakmi Gilang, Kedai Bakmi Legendaris di Bantul

Setelah jarang main ke kota, akhirnya saya menemukan lagi menu sego godog di Warung Bakmi Gilang. Itu pun tidak sengaja. Jadi, setiap bulannya saya ada jadwal mengantar simbah kontrol ke salah satu rumah sakit di ujung selatan Bantul. Karena jadwal kontrolnya selalu malam hari, otomatis menu yang tersedia di jalan pun cukup terbatas. Kebanyakan, ya, cuma warung mi atau bakso saja.

Awalnya kami sering mampir di Warung Bakmi Gilang yang berada di Jalan Bantul. Menu yang selalu saya pesan bukan sego godog, melainkan capcai rebus. Kebetulan kalau sudah malam saya lebih suka makan yang ringan di pencernaan. Saat Warung Bakmi Gilang langganan cabang Jalan Bantul itu berkali-kali tutup, saya beralih ke Warung Bakmi Gilang yang berada di Jalan Parangtritis. Lokasinya tidak jauh dari perempatan Manding, berhadap-hadapan dengan gudang JNE.

Ternyata, Warung Bakmi Gilang merupakan salah satu warung bakmi legendaris di Bantul. Warung yang sudah ada sejak zaman simbah saya kini membuka beberapa cabang, salah satunya di kawasan Manding yang jadi favorit saya. Setelah beberapa kali mencoba, saya memerhatikan satu perbedaan yang terlihat dalam penyajian menu ini. Kedai mi di Jombor memberi tambahan mi kuning bertekstur besar, sedangkan sego godog versi orisinal di Warung Bakmi Gilang menggunakan mi putih atau bihun. 

Namun, pernah suatu malam saya penasaran. Apakah sego godog di Warung Bakmi Gilang ini bisa ditambahi dengan mi lethek saja? Ternyata, bisa-bisa saja. Bahannya memang ada, karena mi lethek juga termasuk salah satu menu yang tersedia di warung ini. 

Setelah dicicipi berulang kali, ternyata sego godog bihun putih versus sego godog mi lethek itu sebenarnya sama-sama enak. Bedanya hanya terletak di tekstur mi lethek-nya saja. Karena dibuat dari campuran tepung gaplek dan tepung tapioka, sifat mi lethek jadi mudah menyerap air. Seiring berjalannya waktu, tekstur mi lethek jadi lembek dan berukuran besar. Padahal sego godog itu enak dinikmati pelan-pelan saja. 

Maka kalau ditanya, sego godog mana yang cita rasanya lebih cocok di lidah? Saya lebih memilih sego godog versi orisinal, yang dimasak dengan tambahan bihun. Di mana pun kedainya, kemungkinan besar saya akan memilih tambahan mi putih itu saja. Plus tanpa kecap. Bagi lidah saya, tambahan kecap malah merusak cita rasa gurih dari kaldu ayam kampung yang digunakan dalam sego godog.

Perbandingan sego godog bihun putih tanpa kecap (kiri) dan sego godog mi lethek dengan kecap (kanan)/Retno Septyorini

Cara Pas Menikmati Sego Godog

Menurut saya pribadi, sego godog merupakan menu andalan buat mengusir meriang. Konon sego godog dibuat memang untuk mengusir masuk angin. Cocok pula dinikmati di tengah musim bediding yang biasanya berlangsung sampai September. Pertama, tentu karena cita rasanya yang nikmat sehingga dapat meningkatkan nafsu makan. Seperti halnya memasak bakmi jawa, umumnya sego godog juga dimasak menggunakan kaldu ayam kampung. Ibarat kata, baru nyeruput kuahnya saja sudah enak.

Kedua, tambahan bumbu bawang, suwir ayam kampung, dan telur bebek semakin menambah kelezatan dan nilai gizinya. Rasa-rasanya durasi panasnya sego godog juga terasa lebih lama dari berbagai menu lain yang ditawarkan. Rasa kemepyar-nya juga tahan lama.

Dalam penyajiannya, sego godog di Warung Bakmi Gilang diberi tambahan berupa kacang tanah goreng, bawang goreng, seledri, irisan kol dan timun. Terakhir saya mencoba, seporsi sego godog di sini dibanderol dengan harga Rp18.000. Harga yang sama untuk menu lainnya. Beberapa menu yang pernah saya coba, seperti nasi goreng dan mi lethek rebus maupun goreng, rasanya tidak ada yang gagal.

Di warung ini, kalau pesan teh panas sepaket dengan jogjogan-nya. Artinya, pesan minuman teh akan dapat dua gelas sekaligus. Yang saya ingat, minuman jeruk panasnya juga enak. Sungguh-sungguh panas dan rasa asam jeruknya pas. 

Jadi, kalau berkesempatan jalan-jalan ke Bantul, teman-teman wajib mampir ke warung bakmi lawas yang satu ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “Sego Godog” Khas Bantul di Warung Bakmi Gilang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sego-godog-khas-bantul-di-warung-bakmi-gilang/feed/ 0 42904
Mengecap Rasa, Melihat Sisi Lain Yogyakarta https://telusuri.id/mengecap-rasa-melihat-sisi-lain-yogyakarta/ https://telusuri.id/mengecap-rasa-melihat-sisi-lain-yogyakarta/#respond Tue, 25 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42225 Bagi banyak budaya, pergerakan manusia selalu berpindah ke tempat-tempat yang berbeda. Semakin luas gerak yang dibuatnya, semakin luas pula ruang yang dibentuknya. Tempat-tempat yang didatangi menjadi ruang yang lahir karena perpaduan rasa dan gerak yang...

The post Mengecap Rasa, Melihat Sisi Lain Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagi banyak budaya, pergerakan manusia selalu berpindah ke tempat-tempat yang berbeda. Semakin luas gerak yang dibuatnya, semakin luas pula ruang yang dibentuknya. Tempat-tempat yang didatangi menjadi ruang yang lahir karena perpaduan rasa dan gerak yang direkam oleh tubuhnya.

Beberapa bulan datang dan pergi di Yogyakarta, mengakrabkan saya tentang kota yang banyak dibangun oleh cerita wisata, daerah istimewa, dan berbagai penyematan lainnya. Pariwisata dan media telah membangun citra Yogyakarta, bahkan itu (mungkin) telah sampai kepada mereka yang belum sempat menjejakkan kaki di sini. Saya akhirnya menyadari betapa pentingnya narasi yang harus dibangun.

Akhir Februari 2024, dengan rasa ingin tahu lebih tentang keistimewaan Yogyakarta, bersama seorang kawan, Budi, kami mencoba melihat Jogja satu jam sebelum pergantian tanggal. Mengendarai sepeda motor Budi, kami membuka pembacaan terhadap Jogja dengan menyusuri jalan dari Tugu Golong Gilig, Malioboro, Titik Nol, Alun-alun Utara, Alun-alun Selatan, Panggung Krapyak, dan berbagai tempat di sekitarnya.

Perjalanan singkat malam itu mengantar bertemu beragam hal tentang “yang diabai dari yang Istimewa”. Perjalanan memantik rasa ingin tahu tentang ruang halaman depan dan halaman belakang (space), motor Budi mengantar tubuh sebagai medium untuk merekam emosi maupun gerak (mobilitas).

Mengecap Rasa, Melihat Sisi Lain Yogyakarta
Kondisi lalu lintas malam di Jl. Diponegoro, Yogyakarta/Abdul Masli

Memanggil Ingatan lewat Wedang Ronde

Sudah lama saat pertama kali mengenal dan mengecap wedang ronde. Kurang lebih enam tahun yang lalu ketika pertama kali pula datang ke Yogyakarta. Sejak itu, jajanan ini menjadi salah satu yang menetap cukup lama di ingatan. Pada suatu malam di dekat Pasar Kranggan, saya kembali mencoba wedang ronde yang dijajakan oleh pedagang kaki lima dengan gerobak dorongnya.

William Wongso, ahli kuliner Nusantara dalam pidato kebudayaannya di Jakarta (10/11/2023), menyampaikan bahwa lidah secara otoritatif dan linguistik menjadi anatomi pada manusia yang memiliki kemampuan mengingat jangka panjang, yang bisa jadi melebihi otak. William Wongso merujuk pendapat Prof. Dr. Jenny Sunariani, drg., M.S., Guru Besar Ilmu Biologi Oral Universitas Airlangga Surabaya, yang menyatakan otak manusia memengaruhi emosi karena desakan memori masa lalu. Mengutip pendapat Prof. Jenny yang dimuat di Kumparan (19/10/20148), William Wongso menyampaikan, saat lidah mengecap sebuah makanan yang pernah dikenalnya, secara tidak sadar otak manusia akan mengingat kembali kapan saat makanan itu (pernah) dirasakan.

Dalam suasana malam yang dingin, suapan kuah jahe hangat dan taburan kacang sangrai mendarat di lidah, seperti membenarkan pandangan William Wongso. Ingatanku terbawa pada tahun 2017 saat pertama mengecap wedang ronde bersama beberapa teman di depan sebuah hotel di Yogyakarta. Sejak saat itu, saya berpikir, suatu waktu saat kembali ke kota ini, wedang ronde mesti saya coba kembali. Senangnya, kini hal itu telah saya tunaikan.

Aroma wedang ronde yang saya hirup malam itu memberi suasana menenangkan. Kuah jahenya wangi. Ada potongan roti yang lembut di dalamnya. Ada pula ronde, yang berbentuk bulat putih dan terbuat dari tepung beras isi kacang. Ketika dikunyah, ronde pecah seperti bom di mulut. Kacang bercampur gula yang dimasukkan di tengahnya memenuhi seisi mulut. Malam itu, usai beberapa suapan, dingin pada tubuh oleh angin malam mulai terasa hangat.

Di bawah remang lampu jalan, di antara riuh knalpot kendaraan, wedang ronde mengundang ingatan untuk bernostalgia. Makanan, rasa, dan ingatan; tiga kata untuk mewakili jelajah kuliner jalanan malam itu.

Mengecap Rasa, Melihat Sisi Lain Yogyakarta
Semangkuk wedang ronde untuk menghangatkan malam/Abdul Masli

Perjalanan dan Kuliner sebagai Bagian Tak Terpisahkan

Makanan dan perjalanan adalah satu bagian tersendiri untuk merasakan pengalaman di suatu tempat. Relasi keduanya ini bahkan disambut beberapa orang dalam bentuk kelembagaan untuk melayani para pejalan, seperti yang dilakukan oleh World Food Travel Association (WFTA).  Salah satu otoritas terkemuka dunia dalam pariwisata makanan (juga dikenal sebagai “wisata kuliner” dan “wisata makanan”) yang berdiri sejak tahun 2003 dan berkantor pusat di Portland, Amerika Serikat. Studi mereka menunjukkan bahwa 93% wisatawan menciptakan kenangan yang abadi dan menyenangkan berdasarkan pengalaman mereka dengan keahlian memasak suatu daerah.

Setiap tahunnya, WFTA mendedikasikan satu hari, tanggal 18 April, untuk menyoroti bagaimana dan mengapa mereka melakukan perjalanan untuk merasakan budaya kuliner unik dunia. Hari itu diperingati sebagai World Food Travel Day (WFTD). Mereka mengundang wisatawan pencinta makanan dan minuman, industri perjalanan dan perhotelan dunia, serta siapa pun yang menyukai makanan dan minuman lokal untuk bergabung merayakan WFTD bersama-sama. 

WFTA melihat produk makanan lokal, sejarah kuliner dan keramahan adalah fondasi dari karakter suatu daerah. Itulah yang menarik pengunjung dan membuat penduduk lokal menjadi duta untuk daerah mereka. WFTD pertama kali diluncurkan pada tahun 2018 dengan tujuan menyadarkan konsumen dan pelaku perdagangan akan alasan nomor satu untuk bepergian, yaitu mencoba produk dan pengalaman pada makanan dan minuman baru. Perayaan ini mendukung misi WFTA untuk melestarikan dan mempromosikan budaya kuliner, salah satunya melalui pariwisata.

“Ini adalah hari yang didedikasikan untuk membangun kesadaran global mengenai pentingnya melindungi dan melestarikan budaya kuliner unik dunia,” ungkap Erik Wolf, pendiri dan Direktur Eksekutif WFTA. Senada dengan Amanda Katili Niode, Direktur Climate Reality Indonesia, melalui tulisan Rasa-Rasa dan Tradisi Kuliner Pulau yang dimuat di GBN.top (20/04/2024). Amanda menyebut di Indonesia, makanan adalah jendela ke dalam jiwa masyarakatnya. Tidak hanya menawarkan sekadar rasa, tetapi juga lebih dari itu; pengalaman imersif ke dalam keragaman dan kekayaan budaya yang membuat Indonesia unik.

Mengecap Rasa, Melihat Sisi Lain Yogyakarta
Kedai Es Buah PK yang sederhana di pinggiran Jalan Pakuningratan, Yogyakarta/Abdul Masli

Merayakan World Food Travel Day dengan Es Buah

Sehari sebelum peringatan keenam WFTD yang jatuh pada tanggal 17 April 2024, saya sempat mengayuh sepeda mengitari sekitar jantung kota Yogyakarta. Menyusuri Jl. Magelang menuju Jl. Pakuningratan, Jl. P. Mangkubumi, Tugu Golong Gilig, Jl. Jenderal Sudirman, Jl. Diponegoro, kemudian melewati wilayah sekitar Pasar Kranggan.

Di pertigaan antara Jl. Magelang dan Jl. Pakuningratan, tepat di samping bangunan Indomaret berdiri, saya singgah menikmati semangkuk es buah yang kabarnya melegenda bagi lidah warga setempat maupun pendatang. Namanya Es Buah PK, yang disematkan oleh para pelanggannya dengan mengambil dari singkatan nama Jl. Pakuningratan, tempatnya berada. 

Kedai Es Buah PK mulai berjualan sejak tahun 1976 oleh Haji Hadi Suprapto di ujung barat Jl. Pakuningratan. Kini, kedai ini tak hanya menjual es buah, tapi juga bakso. Pelayanan yang diberikan juga cepat dan ramah saat pesanan disampaikan. Saya hanya menunggu sekitar lima menit sebelum semangkuk es buah berisi buah avokad, kelapa muda, sawo, cincau gelap, serta sirup dengan serutan es dan susu cokelat di atasnya tersaji di depan saya. Dari beberapa sumber menyebut jika sirup yang digunakan adalah racikan langsung dari pemiliknya dan diwariskan secara turun-temurun.

Saya menikmati es buah sambil berbagi ruang dengan sepasang pengunjung lainnya di atas tikar. Mereka duduk lebih awal, memesan bakso dan es buah. Namun, karena saya lihat hanya tikar tersebut yang luang, saya pun izin bergabung. Ruang sempit dan lalu lintas kendaraan yang kadang sibuk sedikit mengganggu saat menikmati es buahnya. Meski soal rasa, justru sebaliknya. Ketika pengunjung sedang ramai, kita juga mesti siap berbagi ruang dengan sepeda motor pengunjung yang parkir. 

Mengecap Rasa, Melihat Sisi Lain Yogyakarta
Semangkuk es buah komplet khas Kedai Es Buah PK/Abdul Masli

Kekuatan dari es buah ini adalah rasa manis sirupnya tidak menutupi ragam buah yang ada di dalamnya. Setiap buah terasa pas disertai aromanya masing-masing. Susu cokelatnya juga memberi rasa dan aroma berbeda, terlebih saya yang terbiasa dengan es buah bercampur susu kental manis putih. Bagi saya ini menjadi pengalaman pertama yang berkesan dan tidak mengecewakan. Tentunya suatu waktu akan kembali menyantapnya.

Selesai menikmati semangkuk es buah PK, perjalanan saya lanjutkan untuk melihat riuhnya jalanan Yogyakarta. Merekam kota yang terus disibukkan riuhnya kendaraan dan manusia. Manusia yang mencari penghidupan, berwisata, bersantai, atau bahkan diri saya yang bersepeda dengan tujuan berbeda. Menjadi seorang petualang untuk mengecap rasa dan merasakan pengalaman di tempatnya berada.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengecap Rasa, Melihat Sisi Lain Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengecap-rasa-melihat-sisi-lain-yogyakarta/feed/ 0 42225
Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan https://telusuri.id/pasar-kangen-yogyakarta-miniatur-zaman-berbasis-kebudayaan/ https://telusuri.id/pasar-kangen-yogyakarta-miniatur-zaman-berbasis-kebudayaan/#respond Tue, 28 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42039 Pasar Kangen Yogyakarta kembali hadir untuk mengajak masyarakat menilik miniatur zaman, merasakan nilai-nilai kearifan lokal, dan menjalin relasi intim kemanusiaan. Saya tuliskan “relasi intim kemanusiaan” karena ketika berkunjung kita bisa saling bertegur sapa dan transaksi...

The post Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan appeared first on TelusuRI.

]]>
Pasar Kangen Yogyakarta kembali hadir untuk mengajak masyarakat menilik miniatur zaman, merasakan nilai-nilai kearifan lokal, dan menjalin relasi intim kemanusiaan. Saya tuliskan “relasi intim kemanusiaan” karena ketika berkunjung kita bisa saling bertegur sapa dan transaksi jual beli layaknya pasar tradisional.

Sebagai pengantar, Pasar Kangen Yogyakarta adalah sebuah acara tahunan yang telah dimulai sejak 2007 di Kota Yogyakarta. Di festival tahunan tersebut, pengunjung dapat menikmati beraneka ragam jajanan khas, unik, dan barang antik yang langka. Acara ini biasanya diselenggarakan di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Namun, pada tahun 2024, Pasar Kangen hadir di salah satu perguruan tinggi negeri di daerah istimewa ini, yaitu Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). 

Pasar Kangen yang diselenggarakan di UNY mengambil tema “Transformasi Budaya Kerja, Menguatkan UNY PTN-BH”. Kegiatan ini diadakan di area Taman Pancasila Kampus UNY, Jl. Colombo No. 1, Karangmalang, Yogyakarta. Pasar Kangen UNY berlangsung selama 17–19 Mei 2024 dengan jadwal operasional berbeda. Pada hari Jumat (17/5), pasar mulai buka pukul 15.00–22.00 WIB, sedangkan Sabtu dan Minggu pukul 07.00—22.00 WIB. 

Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan
Keramaian menyemut di pintu masuk Pasar Kangen UNY sisi utara Taman Pancasila/Danang Nugroho

Semangat dan Kreativitas Para Pedagang

Minggu malam (19/05), tepatnya pukul 19.00, saya berkunjung ke pasar tersebut karena saat itu merupakan hari terakhir pasar digelar. Lewat pintu masuk pasar bagian utara Taman Pancasila, saya dan para pengunjung lainnya berjumpa dengan stan tiap fakultas di UNY. Mengapa demikian? Sebab Pasar Kangen bekerja sama dengan kampus karena bertepatan dengan acara Dies Natalis ke-60 UNY.

Ketika saya berjalan lagi dan menilik tiap stan, semangat pedagang patut diacungi jempol. Mereka melayani dengan sepenuh hati siapa pun pembeli yang datang. Hal ini sesuai dengan pepatah yang dicantumkan di situs web pasarkangen.com: “Ora Cucul Ora Ngebul”, yang berarti manusia bergerak maka rezeki selalu hadir. Maksudnya, menjadi manusia yang rajin bekerja dan tak sekadar pasrah, sehingga keringat yang bercucuran akan berganti dengan rezeki dalam wujud apa pun.

Di sisi lain, terkait kreativitas, para pedagang memberdayakan stan masing-masing dengan dekorasi dan nama-nama yang unik. Tentunya hal tersebut untuk menarik para pengunjung agar mampir ke stan mereka. Contohnya, ada salah satu stan yang menjual dawet dengan jenama dawet ireng Jembut (Jembatan Butuh). Tidak hanya itu, di stan-stan lain juga menampilkan nama-nama unik pada produknya, seperti bir jawa, jeniper lupis, rempah suwuk, dan banyak lagi.

  • Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan
  • Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan
  • Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan

Aneka Jualan untuk Raga dan Jiwa

Para pedagang Pasar Kangen menawarkan berbagai jajanan khas yang unik dan langka yang pernah ada di Yogyakarta ataupun daerah lain, seperti rujak cingur, jadah tempe, es limon, gudek, sate kere, dan lento. Di stan lain, para pedagang ada yang menawarkan berbagai pernak-pernik macam aksesoris, lukisan, make up, dan barang-barang antik. Tak hanya itu, tersedia pula stan yang membuka jasa pijat di tempat tersebut. Kesemuanya itu yang dimaksud dengan jualan untuk raga.

Di sisi lain, tidak hanya raga, tetapi para pedagang juga menawarkan makanan untuk jiwa, yaitu buku. Beberapa stan menjual buku-buku lama yang masih layak jual dan baca. 

Dengan makanan yang higienis dan bergizi, raga manusia akan sehat. Dengan membeli dan membaca buku, cakrawala pengetahuan manusia akan bertambah dan tahu akan arah yang dituju. Pasar Kangen telah memberi penawar raga dan jiwa yang baik bagi para pengunjung.

Miniatur Zaman bagi Manusia Postmodernisme

Dapat dikatakan Pasar Kangen UNY merupakan miniatur zaman bagi masyarakat postmodern. Pasalnya postmodern ini mencerminkan masyarakat yang memiliki rasa keterasingan, rasa tidak aman, dan ketidakpastian mengenai identitas dirinya.

Karena hal tersebut, Pasar Kangen hadir untuk meredakan perasaan-perasaan itu agar para individu kembali pada fitrahnya. Dengan berkunjung dan menikmati suasana pasar, para pengunjung akan terbawa suasana tempo dulu dan menjalin interaksi dengan pedagang ataupun dengan pengunjung lainnya. 

Berkaitan dengan postmodernisme, ternyata ada satu hal unik di Pasar Kangen UNY. Terdapat salah satu stan yang menawarkan jasa peramalan melalui kartu tarot. Tentunya para individu postmodern yang memiliki perasaan akan “ketidakpastian” banyak yang memakai jasa tersebut. Para pengunjung itu tentunya ingin memiliki kepastian di kehidupannya, sehingga hari-harinya tidak gundah dan bingung. Unik bukan?

Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan
Stan yang membuka jasa pembacaan kartu tarot/Danang Nugroho

Berjalan, Membeli, dan Menikmati

Tiga kata yang diterapkan para pengunjung Pasar Kangen UNY, yaitu berjalan, membeli, dan menikmati. “Berjalan”, maksudnya mengitari semua stan dan melihat-lihat apa yang kira-kira menarik dan diinginkan. “Membeli”, berarti setelah mengitari stan yang ada di sana, para pengunjung mulai menjalin interaksi dengan pedagang, kemudian ada tawar-menawar dan transaksi jual beli. Terakhir adalah “menikmati”, usai para pengunjung membeli barang yang diinginkan, mereka tinggal duduk di pelataran Taman Pancasila UNY dan menikmati hiburan yang dipentaskan di panggung.

Beragam hiburan dihadirkan pada acara tersebut, beberapa penampilan seperti Yuliono Singsot, Damar Patung Pantonim, hiburan kesenian mahasiswa Fakultas Bahasa, Seni, dan Budaya (FBSB), penampilan dari beragam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan dari Himpunan Mahasiswa (HIMA) yang ada di lingkungan UNY. 


Daftar Pustaka

Adikara, G. (2024). Pasar Kangen UNY Hadirkan 200 Tenant Jajanan Nostalgia. Diakses dari https://www.uny.ac.id/id/berita/pasar-kangen-uny-hadirkan-200-tenant-jajanan-nostalgia pada 20 Mei 2024.
Situs Web Pasar Kangen (2023). Diakses dari https://www.pasarkangen.com/ pada 20 Mei 2024.
Wikipedia. (2023). Pasar Kangen Yogyakarta. Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pasar_Kangen_Yogyakarta pada 20 Mei 2024.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pasar-kangen-yogyakarta-miniatur-zaman-berbasis-kebudayaan/feed/ 0 42039
Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota https://telusuri.id/buka-puasa-penuh-makna-di-tepikota/ https://telusuri.id/buka-puasa-penuh-makna-di-tepikota/#respond Thu, 21 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41434 TelusuRI mengisi hari pertama Ramadan tahun ini dengan cara tak biasa. Di pinggiran Yogyakarta, kami melihat langsung antusiasme dua sejoli yang hidup di jalan pangan lokal dan seni dengan semangat literasi. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto:...

The post Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota appeared first on TelusuRI.

]]>
TelusuRI mengisi hari pertama Ramadan tahun ini dengan cara tak biasa. Di pinggiran Yogyakarta, kami melihat langsung antusiasme dua sejoli yang hidup di jalan pangan lokal dan seni dengan semangat literasi.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Mauren Fitri, dan Amai Hendrawan


  • Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota
  • Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota

Selepas salat Asar berjamaah, Febri Indra Laksmana (31) dan Rofida Noor Amalia (34) bergegas menuju dapur sembari memakai celemek berwarna gelap. Sesaat lagi pasangan suami istri itu akan memulai salah satu prosesi sakral di Tepikota, yaitu memasak. Satu per satu bahan mentah dan pelbagai bumbu disiapkan. 

Sedari siang (12/03/2024), TelusuRI berkunjung ke bangunan bertipe joglo nan sejuk tersebut untuk melihat proses memasak, lalu dipungkasi berbuka puasa menu-menu andalan Tepikota. Menu Ramadan berbeda dengan menu di hari-hari biasa.

Dari katalog menu Ramadan yang dibagikan oleh Tepikota melalui percakapan WhatsApp, kami memesan sejumlah menu berikut: sup tomat daging sapi, sup ikan banyar, kintuk ayam dan pencok ayam (Banten), sayur usik (Rembang), sate udang (Manado), tahu goreng gurih pedas, barongko (Makassar), sumping waluh (Bali), pokak saripu hangat (Madura), teh lemon hangat, es kombucha, es timun, sambal bawang, dan dilengkapi nasi putih.

Sebagian menu tersebut, terutama makanan berat dan camilan, diambil khusus dari buku Mustika Rasa. Sebuah “kitab suci” yang mengumpulkan resep-resep masakan dari berbagai daerah di Indonesia. Edisi pertamanya diluncurkan pada 1967 oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia, atas ide dan instruksi Presiden Sukarno. Komunitas Bambu kemudian merilis cetakan kedua pada 2020 dengan penyusun dan pengantar oleh JJ Rizal, sejarawan Indonesia.

Di tengah harum dan kepulan asap yang menyeruak, sesekali Febri dan Rofida membuka buku yang diletakkan di bawah meja dekat kompor itu. Memastikan takaran bumbunya tepat. Karena sedang berpuasa, tentu mereka tidak bisa mencicipinya. Semuanya mengandalkan feeling

Kepala saya berkecamuk. Bertanya-tanya, bagaimana bisa dua orang ini melanjutkan hidup dan meyakini renjana masing-masing dalam jenama Tepikota, serta berpedoman pada sebuah buku setebal 1.200-an halaman itu? 

  • Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota
  • Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota
  • Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota

Sekilas tentang Tepikota

Tampaknya, kemunculan idealisme dan implementasinya nyaris selalu berawal dari keprihatinan atau keresahan. Begitu pun yang dirasakan Febri dan Rosida. 

“Kalau teman-teman jalan jalan saja ke Pasar Sekaten, [coba] makanannya lihat. Pasti takoyaki, terus makanan-makanan Korea itu, semua stan makanannya sama,” ungkap Febri. “Itu sangat mengkhawatirkan bagi kami. Ketika lahir dia sudah terpapar makanan Korea. Itu kan bisa terputus tuh dia akar-akar palet rasanya [dari pangan lokal].”

Tepikota hadir untuk menjawab problem itu. Seolah lahir dari upaya menjaga tujuan hidup tetap lurus dan waras, sekalipun berliku. “Bekerja bersama hati…”, begitu kata Fourtwnty dalam lagu Zona Nyaman. Perjalanannya terbilang tidak instan, tetapi juga tidak terlalu lama untuk bertumbuh. Toh, faktanya hasil yang mereka dapat lebih dari cukup untuk menabung dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Febri dan Rofida berasal dari latar belakang pendidikan maupun profesi yang berbeda. Febri mengenyam studi sarjana ilmu pendidikan seni rupa di Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali. Sementara Rofida, lulus sebagai arsitek dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS).

Garis takdir Tuhan mempertemukan Febri dan Rofida di Rumah Intaran, sebuah studio arsitektur yang didirikan Gede Krisna di Desa Bengkala, Kubutambahan, Buleleng. Rofida merupakan pegawai tetap di sana selama tiga tahun, sementara posisi Febri lebih sebagai freelancer. Keduanya kerap terlibat dalam proyek-proyek buku yang diinisiasi Gede Krisna. Rofida ikut menulis, sementara Febri sebagai ilustrator. Beberapa karya yang pernah diterbitkan Rumah Intaran (non-komersial) antara lain: Pengalaman Rasa di Rumah Intaran (2015), Revolusi dari Dapur (2017), Sirap Bambu (2017), Pengalaman Rasa di Pulau Buton (2018), dan Pengalaman Rasa di Tubaba (2020).

  • Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota
  • Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota

Pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia menjadi titik balik kehidupan penduduk negeri ini, termasuk Febri dan Rofida. Pada 2020 mereka menikah dan memutuskan untuk tinggal di Jogja, tanah kelahiran Rofida. Lahirlah Tepikota, lalu tak disangka-sangka berkembang dan mulai dikenal banyak orang. Bekas dapur keluarga di sebelah barat rumah orang tua Rofida pun disulap menjadi rumah joglo yang meneduhkan.

Sesuai namanya, tempatnya memang benar-benar di pinggiran kota. Dari titik nol Yogyakarta perlu 17,5 kilometer atau sekitar 40—45 menit perjalanan dengan mobil. Jika naik motor, mungkin bisa 5—10 menit lebih cepat. Letaknya di Dukuh Bejen, Kalurahan Caturharjo, Kapanewon (kecamatan) Sleman. Diapit persawahan hijau, diiringi kecipak aliran kali kecil di dekatnya.

Konsep inti Tepikota adalah tamu melakukan reservasi kuota dan menu sebelum datang, lalu keduanya memasak sesuai pesanan. Mereka membatasi hanya 10 orang per hari. Selain ruang dan meja yang terbatas, tujuannya tak lebih agar tercipta interaksi yang hangat tanpa sekat antara tuan rumah dengan pengunjung.

Sebagai orang yang memang suka ngobrol dan ketemu orang baru, tentu Febri dan Rofida tak canggung dengan konsep seperti ini. Bertukar cerita dan pikiran. Bahkan tak tertutup kemungkinan terjadi kerja sama atau kolaborasi karena yang datang berasal dari latar belakang bermacam-macam. Mulai dari turis, komunitas, hingga akademisi.

“Sampai detik ini pun kami belum tahu definisi Tepikota. Meskipun kami memberikan tagline ‘pangan, seni, dan literasi’ itu pun sebenarnya kami belum bisa menjelaskan secara singkat apa itu Tepikota,” jelas Febri.

“Tapi, setiap orang yang bertanya apa itu Tepikota, ya, silakan datang saja dan rasakan apa yang [bisa] kamu definisikan tentang Tepikota,” Febri berpromosi.

Memadukan cita dan karsa dengan Mustikarasa

Mulanya Tepikota mengulik dan menawarkan masakan khas Jawa Timur-an, terutama Situbondo—kampung halaman Febri—serta Madura, khususnya Sumenep. Masakannya antara lain berupa sayur sambal kacang dan olahan ikan laut santan pedas nan gurih. Sampai akhirnya di kemudian hari Febri dan Rofida terkagum-kagum melihat buku Mustika Rasa berbobot 1,5 kilogram itu.

Pada masanya, inisiatif Sukarno untuk mengabadikan resep masakan dari Aceh sampai Papua memang patut diacungi jempol. Banyak menu yang masih relevan dan bahan-bahannya relatif mudah didapatkan di masa sekarang. Belum lagi jika bicara soal akulturasi budaya yang berbaur dalam satu masakan, mulai dari pengaruh Belanda, Cina, dan Nusantara sendiri.

“Menurut saya [buku] ini harus diapresiasi dan harus dikenalkan ulang,” kata Febri. Bersama sang istri, keduanya pun mencoba mempraktikkan resep-resep tempo dulu agar generasi saat ini bisa mengerti rasa-rasanya. 

Bahkan tidak berhenti hanya dengan memasak, keduanya juga memvisualkannya. Febri berusaha “melestarikan” warisan resep itu dengan cara melukis masakan-masakan yang sudah tersaji di atas piring atau mangkuk. Goresan-goresannya begitu detail, seakan-akan nyata seperti dipotret kamera pada umumnya. Hasil karyanya dibantu sang istri dengan bercerita di akun Instagram resmi Tepikota. Sebagai bahan literasi sekaligus promosi.

Dari total sekitar 1.300 resep di Mustika Rasa, Febri dan Rofida baru memasak sekitar 100 di antaranya. Sejauh ini, pasar lokal dan area kebun pribadi menjadi sumber terbesar penyuplai bahan-bahan masakan Tepikota. Meskipun demikian, mereka tidak mau memaksakan diri jika memang mengalami kendala dalam mendapatkan bahan-bahan tersebut.

“Kalau misal bahan-bahannya itu susah, kami skip dulu. Karena memang bahan-bahan yang ada di sekitar kami pun, masih banyak yang belum tereksplorasi,” ujar Rofida.

Bagi Rofida, susah bukan berarti karena daerah penghasilnya yang terbatas. Di era masifnya lokapasar, ia pun bisa membeli bahan-bahan itu secara daring. Namun, itu tidak berarti ia bisa mengolah bahan-bahan tersebut sekenanya karena keterbatasan tutur atau informasi.

Rofida mencontohkan saat memetik jantung pisang mas di kebunnya sendiri. Ibunya berkomentar, “Itu tidak bisa dimasak.” Di saat inilah ia dan Febri menyadari bahwa tidak semua jenis pisang bisa diolah menjadi makanan. 

“Yang bisa dimasak itu hanya pisang kepok dan pisang batu,” jelas Rofida. “Dari situ saja kami sudah kayak [merasa] terputus pengetahuannya. Itu baru tipikal [bahan] mana yang bisa dimasak, belum lagi memasaknya.”

Sejumlah suka duka yang dialami kian menambah semangat Febri dan Rofida untuk terus belajar dan mengasah kemampuan diri. Sebagai pelecut itu semua, mengutip pernyataan Febri, betapa jiwa sangat penting untuk dihadirkan dalam masakan. Di Tepikota, kami melihat cita, karsa, dan bahkan selera bisa menyatu bak harmoni alam. Mustika Rasa menjadi jalan keduanya untuk “mendakwahkan” literasi lewat kekayaan pangan lokal dan berbalut seni.

  • Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota
  • Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota

Makan bersama sembari bercengkerama

Tim TelusuRI cukup beruntung datang pada hari pertama puasa. Tidak ada pengunjung selain kami. Rasanya seperti mendapat paket makan malam privat. Kami bisa berinteraksi lebih dekat dengan Febri dan Rofida; mendengar cerita, idealisme, dan gagasan-gagasan yang mereka sampaikan sedari kami dipersilakan duduk dan memulai sesi wawancara.

Beberapa menit sebelum azan Magrib berkumandang, satu per satu hidangan pesanan kami tersaji. Diawali dengan minuman dan kurma untuk membatalkan puasa, lalu disusul menu-menu berat dan camilan lainnya. Hanya ada sebuah meja kayu besar sekitar tiga meter persegi untuk makan dan pengunjung duduk lesehan melingkarinya.

Jenis makanan yang kami pesan, baik itu sayur maupun sup berkuah, cenderung bersantan. Namun, ajaibnya tidak seperti santan yang biasa. Racikan Febri dan Rofida justru membuat cita rasa santan yang kami santap lebih lembut, aman di tenggorokan dan lambung, dan tentu mengenyangkan. Ini adalah hasil terbaik berdasarkan feeling, insting, dan konsep “secukupnya” dalam bahan dan bumbu-bumbu yang dimasukkan.

Sesi buka puasa menjadi gong penutup malam yang cerah. Barangkali salah satu pengalaman berbuka terbaik sejauh ini. Kami tidak hanya kenyang secara fisik, tetapi juga batin yang sarat pengalaman, pelajaran, dan makna hidup dari perjalanan Tepikota; lewat tutur kata maupun visi sepasang suami istri yang bersahaja.


Tepikota
Informasi dan Reservasi: Febri/Rofida (082216335206)


Tim liputan TelusuRI:
Mauren Fitri (Editor in Chief)
Amai Hendrawan (Program Officer)
Rifqy Faiza Rahman (Content Strategist)
Deta Widyananda (Videografer)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/buka-puasa-penuh-makna-di-tepikota/feed/ 0 41434
Kuliner Mi Pentil Khas Bantul di Pasar Imogiri https://telusuri.id/kuliner-mi-pentil-khas-bantul-di-pasar-imogiri/ https://telusuri.id/kuliner-mi-pentil-khas-bantul-di-pasar-imogiri/#respond Thu, 29 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41262 Saat berkesempatan untuk liburan ke Jogja, sebagian kawan saya biasanya tidak akan melewatkan kesempatan untuk mbakmi. Istilah yang merujuk pada aktivitas menikmati bakmi jawa di kedai mi favorit masing-masing. Sayangnya, warung bakmi jawa di Jogja...

The post Kuliner Mi Pentil Khas Bantul di Pasar Imogiri appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat berkesempatan untuk liburan ke Jogja, sebagian kawan saya biasanya tidak akan melewatkan kesempatan untuk mbakmi. Istilah yang merujuk pada aktivitas menikmati bakmi jawa di kedai mi favorit masing-masing. Sayangnya, warung bakmi jawa di Jogja itu biasanya baru mulai buka di sore hari. Walau demikian, ada juga sebenarnya jenis mi lokal lain yang siap santap di selatan Jogja, yang pagi-pagi sudah bisa dinikmati. Namanya mi pentil. 

Mi pentil merupakan mi tradisional khas Bantul yang biasa dijual di pasar-pasar tradisional. Dua di antaranya ada di Pasar Niten dan Pasar Imogiri. Tidak seperti mi pada umumnya yang terbuat dari tepung terigu, mi pentil dibuat dari tepung singkong alias tepung tapioka. Karena itulah meski bertekstur kenyal, tetapi mi pentil termasuk jenis mi yang bebas gluten. Gluten adalah sejenis protein yang ditemukan dalam gandum, gandum hitam (rye), dan jelai (barley).

Sebenarnya bagi orang normal tidak ada pantangan untuk mengonsumsi gluten. Namun, pada orang dengan kondisi kesehatan tertentu, konsumsi gluten dapat menyebabkan reaksi yang berbeda dengan orang normal pada umumnya. Saya salah satunya. Jika dibandingkan dengan mengonsumsi mi dari gandum, perut saya cenderung lebih cocok dengan jenis mi bebas gluten, seperti mi pentil ini. 

Kalaupun sedang ingin mengonsumsi roti berbahan gandum, saya lebih cocok dengan roti yang proses pembuatannya difermentasi dalam waktu yang lebih lama, yang dikenal luas dengan sebutan sourdough. Karena itulah senang rasanya mendapati kuliner lokal yang seiring jalan dengan selera perut sendiri. Apalagi sentra pembuatannya memang ada di Kabupaten Bantul, yang tidak lain merupakan domisili saya.

Kuliner Mi Pentil Khas Bantul di Pasar Imogiri
Salah satu penjual mi pentil di Pasar Imogiri Bantul/Retno Septyorini

Bentuk Olahan Mi Pentil Khas Bantul

Sesuai namanya, salah satu mi khas Bantul ini bentuknya gilik layaknya pentil sepeda. Penyebutannya juga sama persis dengan pentil sepeda. Bukan yang lain. Di sekitar tempat tinggal saya, mi pentil biasa dijual di pagi hari. Mi jenis ini bisa ditemui di berbagai pasar tradisional di kawasan Bantul. Kalau sedang kangen dengan mi yang satu ini, biasanya saya melipir sebentar di Pasar Niten atau Pasar Imogiri. Dua pasar yang acap kali saya sambangi saat kangen mencicipi mi tradisional khas Bantul yang satu ini. 

Pasar Niten merupakan pasar tradisional terdekat dari rumah, sedangkan Pasar Imogiri adalah pasar yang thiwul gurihnya merupakan jajanan favorit simbah. Jadinya kalau beli biasanya di antara dua pasar ini. Sebenarnya selain mi pentil, di Bantul sendiri ada jenis mi lokal lain yang rasanya mirip mi pentil. Namanya mides. Mides bisa dibilang “kakaknya” mi pentil. Bedanya hanya di ukuran mi yang lebih besar saja. 

“Kalau mi pentil dibuatnya dengan cara digiling, sedangkan mides dengan cara diiris,” ujar Bu Ngatirah, salah satu pedagang mi pentil yang saya temui pada Senin (15/01/2023) lalu. Meski dibuat dari bahan yang sama, tetapi mi pentil dan mides biasa diolah dengan cara yang berbeda. 

Kuliner Mi Pentil Khas Bantul di Pasar Imogiri
Memasak mides sendiri di rumah/Retno Septyorini

Mi pentil biasa dimasak dengan cara ditumis saja. Itu pun hanya diberi bumbu sederhana layaknya membuat mi pada umumnya. Bedanya, memasak mi pentil tidak diberi tambahan topping, seperti telur maupun potongan sayur, baik sawi hijau maupun kol. Paling mentok ditambahi dengan seuprit bawang merah goreng dan sambal. Kalau dilihat-lihat, wujud mi pentil itu persis mi goreng polosan. Meski terdengar sederhana, tetapi rasa mi yang tidak neko neko ini kadang ngangenin  juga.

Mi pentil matang biasanya ditempatkan di atas tampah yang dialasi daun pisang. Sampai saat ini belum pernah saya dapati mi pentil yang dimasak dengan cara direbus. Pun tidak pernah menemukan kedai khusus yang menjual mi pentil. Saya hanya menemukannya dijual matengan di berbagai pasar tradisional di sekitar Bantul. Berbeda dengan mides yang biasa diolah dengan cara digoreng maupun direbus dadakan sesuai pesanan. 

Selain bisa ditemui di berbagai pasar tradisional di Bantul, mi pentil juga kadang bisa ditemukan di warung sayur rumahan. Orang sini biasa menyebutnya dengan istilah warung tetangga. Pembeda keduanya hanya porsi mi pentil yang bisa dibeli saja. Kalau beli langsung di pasar sistemnya bisa minta berdasarkan porsi atau timbangan. Namun, jika beli di warung tetangga biasanya dijual per porsi kecil dengan harga mulai dua ribuan rupiah.

Saya sendiri lebih suka beli mi pentil langsung di pasar karena bisa pakai sistem timbangan atau atur harga sesuai kebutuhan, seperti beli lima atau sepuluh ribu rupiah. Kemarin seperempat mi pentil dibanderol dengan harga Rp7.000 saja. Selain porsi belinya bisa lebih banyak, jajan di pasar tradisional itu bisa sekalian bawa pulang aneka jajanan enak lainnya. Beda jauh kalau beli di warung tetangga yang satu atau dua kali lahap saja mi-nya sudah “lenyap”. 

Kuliner Mi Pentil Khas Bantul di Pasar Imogiri
Bentuk mi pentil seharga dua ribuan/Retno Septyorini

Tertambat Thiwul Bu Rustanganah di Pasar Imogiri

Di antara dua pasar tradisional yang pernah saya sambangi, yakni Pasar Niten dan Pasar Imogiri, pada Pasar Imogiri-lah hati ini kerap tertambat lagi dan lagi. Soalnya tepat di samping ruko tempat jualan mi pentil, saya juga menemukan ibu-ibu yang jualan aneka olahan singkong mulai dari kicak, thiwul, gatot, hingga sego jagung yang enak. Bu Rustanganah namanya. Thiwul di sini memang sesuai selera saya. Gurih manisnya enak jadi nggak bikin enek di mulut.

Spesialnya lagi, Bu Rustanganah juga menyediakan thiwul gurih tanpa gula. Biasanya dijual dengan pendamping berupa sambal terong dan daun pepaya rebus yang nggak pahit-pahit amat. Kebetulan thiwul gurih di sini merupakan salah satu jajanan favoritnya simbah saya. Jadi, kalau menyempatkan ke sana, biasanya saya langsung njujug di dua ruko tersebut. Kalau ada yang penasaran ingin mencicip mi di Pasar Imogiri, teman-teman bisa masuk lewat pintu depan pasar lalu belok kiri sampai menjumpai gapura bercat cokelat muda. Nanti kios keduanya berada di sisi kiri jalan.

Tidak seperti mi pada umumnya yang dijual dengan warna senada, mi pentil menawarkan dua pilihan warna yang perbedaannya terbilang mencolok. Ada yang berwarna kuning dan ada pula yang yang putih. Soal rasa tidak ada bedanya, kok. Sebab cara pengolahannya sama-sama ditumis dengan bumbu minimalis. Biasanya dalam setampah mi yang dijual di pasar, setengahnya berwarna putih, setengah lainnya berwarna kuning. Tinggal pilih sesuai selera saja. 

Kuliner Mi Pentil Khas Bantul di Pasar Imogiri
Pasar Rakyat Imogiri di Bantul/Retno Septyorini

Yang bikin mi pentil di Pasar Imogiri itu tambah spesial adalah karena mi di sini biasa dibungkus dengan daun jati, bukan mika atau plastik bening yang kini jamak dipakai oleh sebagian pedagang makanan. Sayangnya, sampai saat ini saya belum pernah menemukan mie pentil dalam kondisi mentah. Dari dulu nemu-nya, ya, mi pentil matang bercita rasa gurih yang hanya diberi topping seuprit sambal dan bawang merah goreng. Beda dengan mides yang dijual pula dalam kondisi mentah. Meski demikian, saya tidak pernah bosan dengan mi lokal dari Bantul ini. Soalnya selain enak dan murah, makan mi pentil tidak membuat perut saya terasa begah.

Bagi yang penasaran dengan rasanya, jangan lupa mencoba juga saat berkesempatan liburan di Jogja, ya! Apalagi kalau ada agenda jalan-jalan ke Imogiri. Bisalah mampir sebentar di Pasar Imogiri buat mencicipi salah satu ikon kuliner khas Bantul yang satu ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kuliner Mi Pentil Khas Bantul di Pasar Imogiri appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kuliner-mi-pentil-khas-bantul-di-pasar-imogiri/feed/ 0 41262
Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta https://telusuri.id/mencicipi-legitnya-bingke-pontianak-permata-di-yogyakarta/ https://telusuri.id/mencicipi-legitnya-bingke-pontianak-permata-di-yogyakarta/#respond Sat, 08 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39254 Saya teringat masa enam tahun silam, ketika harus bolak balik ke Banjarmasin untuk urusan pekerjaan. Saya sempat terheran-heran dengan kawan saya yang bela-belain naik motor buntut pinjaman buat nyari bingka (bingke). Salah satu jenis kue...

The post Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya teringat masa enam tahun silam, ketika harus bolak balik ke Banjarmasin untuk urusan pekerjaan. Saya sempat terheran-heran dengan kawan saya yang bela-belain naik motor buntut pinjaman buat nyari bingka (bingke). Salah satu jenis kue yang ada di kawasan ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan itu. Meski lahir dan tumbuh besar di Yogyakarta, tetapi saya tahu dan pernah mencicipi kudapan ini. 

Di Banjarmasin, kue-kue ini terkenal dengan sebutan wadai. Menurut informasi dari beberapa penjual makanan yang sempat saya temui di Banjarmasin, di sana ada sekitar 41 jenis wadai. Saya sempat mencicipi beberapa wadai di pasar kaget sekitar Siring Tendean. Sayang, cita rasanya cenderung manis.

Termasuk saat saya didatangi acil-acil (bibi) yang berjualan kue keliling sewaktu di sana. Saat itu mereka menawari saya kue goreng berbentuk lonjong, yang rasanya mirip dengan galundeng atau bolang-baling. Sebutan untuk kue goreng sederhana di sekitar Yogya yang terbuat dari tepung terigu, gula, dan soda kue. Maka saya pun menyimpulkan bahwa mau dikukus atau digoreng, kebanyakan wadai di Banjarmasin memang bercita rasa manis.

Kue bingke yang dahulu sempat saya cicip di Yogya juga demikian adanya. Meski lupa dapat dari mana, saya ingat rasanya cenderung manis. Walhasil, ketika ada teman saya yang bolak-balik mencari bingke, saya belum tertarik untuk sekadar titip beli. 

Ada beberapa alasan. Pertama, kuenya agak besar. Seingat saya seukuran kue tar, sehingga saya takut kalau kemasan berisi bingke itu sampai tergencet barang bawaan lain di kabin. Kedua, saya selalu dapat jadwal penerbangan pagi,  yang mengharuskan saya berangkat ke Bandara Internasional Syamsudin Noor, Banjarbaru, sekitar pukul 03.30 waktu setempat. Kira-kira satu jam perjalanan dari penginapan saya di kawasan Kayu Tangi, Banjarmasin.

Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta
Wadai ipau khas Banjar dalam bentuk seperti risoles via Wikipedia/Ezagren

Perbedaan Bingke dan Ipau

Sejauh yang saya ingat hanya rasa bingke itu mirip kue lumpur. Hal yang membedakan adalah ketiadaan lapisan karamel karena proses pembuatannya yang sedikit berbeda. Jadi, walaupun berulang kali pergi ke Banjarmasin, tak pernah sekalipun saya membawa pulang bingke ke Yogya.

Dahulu, kudapan yang saya bawa pulang malah ipau. Salah satu wadai khas Banjar yang hanya dijual saat bulan puasa. 

Beberapa waktu setelah lebaran saya kembali datang ke Banjarmasin. Saat itu saya bisa menikmati ipau karena kebaikan Pak Orie, salah satu pemilik merek sasirangan kenamaan di Banjarmasin. Saya dan tim sempat meliputnya untuk keperluan pekerjaan. 

Jika wadai khas Banjar lainnya lebih manis, ipau berbeda. Cita rasa kudapan yang terbuat dari tepung, santan, wortel, bombai, dan daging cincang ini lebih gurih. Topping daun bawang semakin menambah sedap wadai favorit saya tersebut.

Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta
Proses pemanggangan bingke dengan arang/Retno Septyorini

Memori Bingke yang Kembali lewat Media Sosial

Di hidup saya, cerita tentang bingke baru tersambung kembali setelah enam tahun pulang dari Banjarmasin. Tepatnya awal Juni ini. Itu pun karena faktor ketidaksengajaan.

Suatu siang, ada sebuah video yang mengulas Bingke Pontianak Permata yang mampir ke beranda Instagram saya. Meski sekilas tidak sebesar bingke yang pernah kawan saya bawa dari Banjarmasin, entah kenapa, saya langsung ngiler. Usai berulang kali memutar video, akhirnya saya berhasil membuat tangkapan layar (screenshoot) kontak Whatsapp yang ada pada spanduk gerobak bingke. Setelah menyimpan informasi narahubung, saya langsung memesan satu porsi bingke original. 

Pesan saya baru terbalas malam hari. Rupanya untuk informasi atau pemesanan melalui Whatsapp sebaiknya dilakukan sebelum pukul 12 siang. Di atas itu penjual tidak sempat membuka ponsel sampai selesai berjualan.

Malam itu juga, saya mendapatkan info dari penjual kalau bingke pesanan saya bisa diambil pada kurun waktu pukul 15.00—19.00 WIB. Lokasi jualan bingke ini berada di Jalan Sultan Agung No. 10, Wirogunan, Mergangsan, Kota Yogyakarta. Bingke Pontianak Permata menawarkan enam pilihan rasa, yaitu original (Rp17.000), cokelat (Rp19.000), keju (Rp21.000), cokelat susu (Rp20.000), keju cokelat (Rp21.000) dan keju susu (Rp22.000). 

Mengingat area tersebut rawa macet saat jam pulang kantor, saya bergegas meluncur selesai salat Asar. Walau tetap saja ketika saya sampai di sana lalu lintas sudah terlihat padat merayap.

  • Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta
  • Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta

Pilihan Rasa Bingke Pontianak Permata

Sesuai namanya, gerobak Bingke Pontianak ini memang berada tepat di seberang eks Bioskop Permata Jogja. Jika berkendara dari arah Jembatan Sayidan, maka harus mencari putaran terdekat untuk sampai ke lokasi. Tempat makan tersebut juga dikenal dengan sebutan Bingke Bang Tomy, yang tak lain merupakan salah satu penjualnya.

Menurut Bang Syarif, penjual Bingke Pontianak Permata yang beberapa waktu lalu saya temui, usaha ini sudah dimulai sejak tahun 2006 silam. Penjualnya adalah mahasiswa dari Kalimantan Barat yang sedang studi di Jogja. Awalnya yang jualan adalah Bang Briko, selanjutnya Bang Tomy, lalu dilanjutkan Bang John. “Saya sendiri meneruskan jualan ini sejak tahun 2013 yang lalu,” Bang Syarif menambahkan.

Sore itu, ada sekitar enam bingke yang sudah jadi. Karena dipanggang di atas arang, bingke yang saya bawa pulang masih dalam keadaan panas. Seporsi Bingke Pontianak Permata bisa dibagi menjadi enam potong dengan ukuran sama besar. Cocok untuk menikmatinya bersama teman ataupun keluarga di rumah.

Setibanya di rumah, ternyata bingke pesanan saya masih bertahan dalam kondisi yang hangat. Untuk rentang harga mulai dari Rp17.000, bingke ini termasuk enak. Kombinasi gurih dan manisnya pas. Terasa legit, tetapi tidak kemanisan. Saya yang memiliki tenggorokan sensitif tidak sampai batuk usai mencicipi kue tersebut. Saya tidak ragu untuk memesan kembali kudapan yang cocok bersanding dengan secangkir teh atau kopi tawar itu.

Lantaran sudah merasa cocok dengan rasa original, mungkin lain waktu saya tetap akan memesan varian yang satu ini. Buat Anda yang ingin menikmati kelezatan Bingke Pontianak Permata, bisa pesan melalui Whatsapp di nomor 0896-0800-1716.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mencicipi-legitnya-bingke-pontianak-permata-di-yogyakarta/feed/ 0 39254
Mengenang Warung Bakmi tanpa Plang Nama https://telusuri.id/mengenang-warung-bakmi-tanpa-plang-nama/ https://telusuri.id/mengenang-warung-bakmi-tanpa-plang-nama/#respond Thu, 06 Feb 2020 12:56:44 +0000 https://telusuri.id/?p=19709 Seingat saya, waktu itu awal tahun 2016. Sore itu mendung tebal menggantung di langit Yogyakarta. Saya yang baru rampung kuliah langsung melompat ke motor Ajo yang sudah siaga menjemput di depan kampus. “Aku belum makan,...

The post Mengenang Warung Bakmi tanpa Plang Nama appeared first on TelusuRI.

]]>
Seingat saya, waktu itu awal tahun 2016. Sore itu mendung tebal menggantung di langit Yogyakarta. Saya yang baru rampung kuliah langsung melompat ke motor Ajo yang sudah siaga menjemput di depan kampus.

“Aku belum makan, nih. Cari makan, yuk?” ujar saya sambil memasang helm.

“Eh, mau coba tempat makan baru, nggak? Di Bantul. Aku dulu pernah lewat, tapi tempat itu mencurigakan.”

Saya iyakan saja ajakannya. Kalau Ajo sudah bilang “mencurigakan,” hanya ada dua kemungkinan: makanannya enak atau tempatnya apik. Motor hitam digeber Ajo membelah jalanan kota menuju Jalan Parangtritis. Kami sempat berhenti untuk memakai mantol plastik seharga sepuluh ribu. Hujan sudah turun dengan deras. Saya pikir tempat makan itu ada di sekitar Sewon atau Bantul kota. Ternyata tidak. Motor terus melaju hingga mendekati Desa Jetis.

Mau ke mana, sih, ini? Perut sudah meronta, kaki hingga paha sudah basah karena tidak tertutup mantol. Ah… celana panjang ini bahkan sudah bisa diperas saking basahnya.

Ajo bilang tujuan kami sudah dekat. Lima puluh meter dari selatan jembatan menuju Gereja Ganjuran, motor kami menyeberang ke arah timur, masuk ke areal parkir sebuah warung bakmi Jawa tanpa plang nama.

Di bagian depan warung, seperti warung bakmi Jawa lazimnya, wilayah kekuasaan sang koki dipamerkan. Mi kuning, bihun, dan aneka sayuran ditempatkan di etalase kaca samping kompor. Nasi di bakul bambu dan ditutup dengan serbet kotak-kotak berada bersisian dengan bihun. Ayam-ayam utuh tergantung di bagian atas.

Kami disambut oleh seorang ibu setengah baya yang mempersilakan kami masuk ke dalam, di mana meja dan kursi pengunjung ditempatkan. Tiang pintunya agak rendah. Saya dan Ajo sampai menunduk saat melewatinya. Bagian dalam warung berlantai kayu. Bangunan semi permanen itu diisi beberapa meja kursi kayu dan diberi lilin minyak sebagai penerangan. Tiang bangunan ditempeli lampu minyak sebagai penerangan tambahan. Belum ada tanda-tanda listrik akan menyentuh warung ini.

Saya memesan bakmi godog, sementara Ajo memesan magelangan. Sambil menunggu pesanan tiba, saya bertanya.

“Kenapa bisa nemu tempat ini?” Saya heran, sebab, selain jauh, tempat ini menyempil di antara persawahan.

Ajo, dengan wajah usilnya, menjawab: “Waktu itu aku lewat jalan ini terus lihat warung ini rame banget. Aku penasaran, tapi belum sempat coba. Baru sekarang ini kesampaian.”

Ah… ternyata sederhana sekali alasannya.

Hujan semakin deras. Angin meniup-niup seng yang menjadi atap warung. Di tengah kekhawatiran itu, dua gelas teh panas disusul bakmi godog dan magelangan datang. Aroma kaldu ayam menguar di udara, menghangatkan perut yang sejak pagi belum diisi.

Cerita kami berlanjut. Ajo memesan lagi satu piring bakmi godog untuk memuaskan… entah lapar atau rasa penasarannya.

Saat hujan berhenti, saya dan Ajo memutuskan kembali pulang. Saat membayar, saya bertanya, “Nama warungnya apa, Pak?”

Seorang bapak yang menguasai tungku sebelah depan menjawab, “Bakmi Pak Geno. Baru sekali ini, ya, ke sini?”

Saya mengangguk.

Ia lalu seperti mencari sesuatu. Rupanya mencari kertas dan bolpoin, lalu menulis sederet angka.

“Ini nomer HP saya. Nanti kalau mau ke sini, bisa pesan dulu biar nggak nunggu lama.”

Saya terima kertas itu lalu saya masukkan ke dompet.

Kehilangan Pak Geno

Saya dan Ajo sempat beberapa kali makan di Warung Pak Geno. Bahkan, kami sempat memamerkan warung itu ke beberapa teman, salah satunya Hanum, teman kuliah saya. Kami berjanji akan mengajaknya mengunjungi Gereja Ganjuran dan mampir ke Warung Pak Geno.

Di hari yang sudah dijanjikan, saya, Ajo, Hanum, dan seorang kawan lagi, Sarca, melaju menuju Ganjuran. Tapi sayang Warung Pak Geno tidak buka. Warungnya sukses menyaru dengan gelapnya malam. Tidak ada ayam bergantungan atau pendar lilin samar-samar dari dalam.

Bukan. Bukan tidak buka.

Di depan warung ada semacam pengumuman yang ditulis di papan putih: “DIJUAL.” Air muka Ajo berubah, begitu juga saya. Kami telah menobatkan warung itu sebagai salah satu tempat makan favorit.

Tapi saya dan Ajo masih bisa bercanda. Kami bilang ke Hanum kalau dia belum beruntung. Akhirnya kami melipir ke Gereja Ganjuran lalu berhenti makan di salah satu warung nasi goreng dekat gereja.

Sepulang dari Ganjuran, saya mencari-cari kertas nomor telepon yang dulu pernah diberikan kepada saya. Tidak ada. Entah hilang di mana.

Sekitar empat tahun berlalu, saya masih sering bertanya-tanya Pak Geno pindah ke mana. Hingga di akhir tahun 2019, saat sudah tinggal dekat Gereja Ganjuran, saya pun masih menyimpan pertanyaan tentang misteri hilangnya Warung Pak Geno, sampai suatu hari, saat berangkat kerja, saya melihat plang besi berwarna biru tua dengan nama warung yang mirip. Mungkinkah itu Pak Geno yang itu?

Tapi sampai saat ini saya belum pernah mampir.

Bentuk warungnya berubah. Bangunannya tidak lagi dari bambu, tapi dari beton, lebih besar dan luas. Tidak hanya itu saja, tidak ada lilin sebagai penerangan, diganti dengan lampu listrik yang membuat warung terang benderang. Kalau pun itu benar warungnya Pak Geno yang dulu berada di pinggir sawah, sepertinya banyak hal yang sudah berubah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengenang Warung Bakmi tanpa Plang Nama appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengenang-warung-bakmi-tanpa-plang-nama/feed/ 0 19709
Berani Mencoba “Sate Petir Pak Nano” yang Pedasnya Menyambar Lidah? https://telusuri.id/sate-petir-pak-nano-ringroad-selatan/ https://telusuri.id/sate-petir-pak-nano-ringroad-selatan/#respond Fri, 02 Mar 2018 02:30:42 +0000 https://telusuri.id/?p=6973 Meskipun namanya mengandung kata “petir,” Sate Petir Pak Nano nggak ada hubungannya sama Gundala Putra Petir, Flash Gordon—atau Thor asal Asgard. “Petir” di sini berkaitan sama spektrum rasa pedas yang disediakan di warung ini, seperti...

The post Berani Mencoba “Sate Petir Pak Nano” yang Pedasnya Menyambar Lidah? appeared first on TelusuRI.

]]>
Meskipun namanya mengandung kata “petir,” Sate Petir Pak Nano nggak ada hubungannya sama Gundala Putra Petir, Flash Gordon—atau Thor asal Asgard.

“Petir” di sini berkaitan sama spektrum rasa pedas yang disediakan di warung ini, seperti halnya istilah “mercon” dan “gledek” yang sering dipakai untuk menggambarkan sensasi pedas yang kamu dapat saat menyantap kuliner-kuliner lain.

sate petir pak nano

Terletak strategis di pinggir Ring Road Selatan Yogyakarta/masclink_kulineran

Pak Nano yang nama lengkapnya Sutiarno ini adalah pemain veteran dalam industri kuliner sate Yogyakarta. Tak main-main, ia sudah berjualan sate sejak tahun 1984. Pengalaman lebih dari tiga puluh tahun ini tentu saja bikin cita rasa makanan racikan Pak Nano nggak bisa dipandang sebelah mata.

Penggemar makanan yang mampir di Sate Petir Pak Nano nggak cuma orang-orang lokal Yogyakarta, tapi juga interlokal—maksudnya dari luar kota. Bahkan nggak jarang ada turis dari luar negeri yang “disesatkan” kawannya ke warung ini.

sate petir pak nano

Pak Nano sedang memasak tongseng/masclink_kulineran

Nggak cuma sate kambing

Menariknya, warung yang dimiliki oleh laki-laki berusia 71 tahun ini nggak cuma menjual sate kambing. Masih banyak lagi kuliner lain yang disajikan di sini, seperti tongseng daging, tongseng lidah, dan tengkleng. Dalam sehari, untuk memenuhi kebutuhan pelanggan Pak Nano bisa menghabiskan sekitar lima kilogram daging kambing!

Selain menyediakan banyak daging, Sate Petir Pak Nano juga punya stok lombok alias cabe yang nggak sedikit. Makanya kamu bisa pilih level kepedasan sesuai selera—dan toleransi mulut terhadap rasa pedas—dari mulai level PAUD yang nggak pedas hingga level profesor yang pedasnya menyambar-nyambar!

sate petir pak nano

Cabe sedang diiris/masclink_kulineran

Level kepedasan yang ditawarkan Sate Petir Pak Narno justru bikin orang-orang tertantang buat mengetahui batas toleransi mereka terhadap rasa pedas. Suatu kali, bahkan ada pembeli yang minta makanannya dimasak dengan seperempat kilogram lombok. Berani coba?

Lokasi strategis dan nggak pernah libur

sate petir pak nano

Menanti sate selesai dibakar/masclink_kulineran

Sate Petir Pak Nano mudah sekali buat ditemukan. Letaknya di Jalan Ring Road Selatan 90, Dusun Menayu, Kecamatan Tirtonirmolo, Bantul.

Meskipun terletak di luar Kota Yogyakarta, dari mulai buka sekitar jam 2 siang sampai tutup jam 7 malam, Sate Petir Pak Nano selalu saja ramai oleh pelanggan. Jam makan siang, warung ini biasanya penuh para pekerja berseragam. Semakin sore, pelanggannya pun jadi semakin beragam.

Barangkali, selain rasa sate dan tongsengnya yang lumayan (dan nggak bau), hal lain yang bikin pelanggan selalu berdatangan adalah harga makanannya yang cukup terjangkau, yakni mulai dari Rp 23.000 per porsi.

sate petir pak nano

Seporsi sate kambing di Sate Pak Nano/masclink_kulineran

Ketika ditanya kapan warung ini prei alias libur, Pak Nano menjawab sambil bercanda, “Kita mah nggak pernah libur, Mas. Nanti kalau libur (dapat) duit dari mana coba? Sudah 30 tahun lebih saya nggak pernah libur. Libur paling kalau ada layat atau urusan keluarga. Udah, sih, itu aja. Nggak ada kata libur bagi saya. Nanti pada kecewa kalau saya libur.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Ikuti petualangan kuliner Masclink di sini.

The post Berani Mencoba “Sate Petir Pak Nano” yang Pedasnya Menyambar Lidah? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sate-petir-pak-nano-ringroad-selatan/feed/ 0 6973