kuliner tradisional Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kuliner-tradisional/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 17 Mar 2023 06:29:09 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kuliner tradisional Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kuliner-tradisional/ 32 32 135956295 Hikayat Aren di Tanah Rejang (2) https://telusuri.id/hikayat-aren-di-tanah-rejang-2/ https://telusuri.id/hikayat-aren-di-tanah-rejang-2/#respond Fri, 17 Mar 2023 04:00:16 +0000 https://telusuri.id/?p=37652 Layaknya Dafne yang berubah menjadi pohon dalam mitologi Yunani, menurut cerita rakyat Rejang, pohon aren juga merupakan perwujudan seorang perempuan. Bedanya, ini bukan kisah kasih tak sampai seperti Dafne dan Apollo.  Alkisah, dahulu kala hiduplah...

The post Hikayat Aren di Tanah Rejang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Layaknya Dafne yang berubah menjadi pohon dalam mitologi Yunani, menurut cerita rakyat Rejang, pohon aren juga merupakan perwujudan seorang perempuan. Bedanya, ini bukan kisah kasih tak sampai seperti Dafne dan Apollo. 

Aren di Tanah Rejang
Kabun aren dilihat dari ketinggian/Asief Abdi

Alkisah, dahulu kala hiduplah tujuh orang bersaudara, enam laki-laki, dan seorang perempuan bernama Putri Sedaro Putih. Mereka yatim piatu dan hidup sebagai petani di sebuah desa terpencil. Sebagai anak bungsu, si gadis sangat disayang oleh saudara-saudaranya. Hari-hari mereka damai hingga malam itu tiba.

Sedaro Putih terjaga dari tidurnya. Tubuhnya gemetar, napasnya terengah, detak jantungnya mengencang. Sebuah mimpi memaksanya membuka mata, memastikan yang dilihatnya tidaklah nyata. Esok dan beberapa hari setelahnya, ia tampak murung dan tak bersemangat. Sinar matanya redup, seakan kehilangan daya hidup. Tubuhnya pun mengurus tak terurus. Perubahan sikap sang adik tak luput dari perhatian kakak sulungnya.

Suatu hari, kakaknya menghampiri Sedaro Putih dan bertanya perihal apa yang terjadi. “Ada apa gerangan, Adikku? Apakah engkau sakit?” tanyanya. “Tempo hari aku bermimpi. Entah mengapa, aku menjadi resah,” jawab sang adik pilu. Tak sanggup menanggungnya sendiri, gadis itu pun menceritakan mimpinya.

Dalam mimpi, Sedaro Putih didatangi seorang lelaki tua yang mengaku sebagai kakeknya. Ia diberi tahu bahwa hidupnya tak akan lama lagi. “Ajalmu akan segera tiba. Kelak, setelah engkau mati, akan tumbuh sebuah pohon dari kuburanmu. Pohon itu akan memberi manfaat dan kehidupan bagi orang-orang,” kata pak tua itu.

Aren di Tanah Rejang
Buah aren alias kolang-kaling/Asief Abdi

Mendengar cerita itu, sang kakak pun mengerti musabab saudaranya bersedih. “Namun, jika memang benar dari tubuhku akan muncul pohon yang berguna bagi manusia, aku rela mati,” kata gadis itu terisak. Si sulung meyakinkannya bahwa itu cuma mimpi. “Bukankah mimpi hanya hiasan tidur?” hiburnya. Perlahan, Sedaro Putih mulai lupa, menganggapnya tanpa makna belaka. Sinar matanya kembali menyala dan hidup seperti sediakala. Akan tetapi, sayang sekali, mereka salah. 

Rupanya, takdir tidak main-main. Suatu malam, Sedaro Putih meninggal secara mendadak, tanpa sakit atau penyebab lazim lainnya—barangkali jika saat itu ada dokter, ia sudah divonis terkena serangan jantung. Saudara-saudaranya menangis, menyesal telah mengabaikan firasat yang dirasakan adiknya. Jasad si bungsu pun dikubur. Benar saja, tumbuh pohon tak dikenal dari pusaranya. Karena tumbuhan itu tak bernama, mereka menyebutnya pohon sedaro putih, seperti sang adik. Dan mereka merawatnya seakan pohon itu adalah reinkarnasi si gadis. Pohon itu pun tumbuh besar. Di sampingnya, hidup pula pohon kapung—diduga adalah Leucaena leucocephala—yang dianggap sebagai pelindung.

Suatu hari, seorang saudara Sedaro Putih berziarah dan beristirahat di bawah pohon jelmaan adiknya. Angin bertiup, diikuti desau dedaunan. Reranting pohon kapung memukul-mukul tangkai perbungaan pohon sedaro putih. Seekor tupai menggigit tangkai itu hingga putus lalu meminum cairan yang menetes. Ia mengamati binatang yang kehausan itu. Setelah hewan itu pergi, ia mendekat dan menadahi air yang menetes, lalu mencicipinya. Dia terkejut karena rasanya manis. Dengan muka berseri, ia pulang dan memberi tahu saudara-saudaranya. 

Mereka meniru apa yang dilakukan angin, ranting, dan tupai. Tangkai perbungaan digoyang-goyangkan, dipukul-pukul, lalu dipotong untuk disadap. Sebuah tabung bambu (tikoa) diletakkan guna menampung air manis itu. Makin hari, hasil sadapan bertambah. Mereka kewalahan menyimpannya sehingga rasanya pun menjadi asam karena fermentasi. Mereka mencari cara mengawetkan hasil sadapan. Cairan itu direbus hingga menggumpal dan mengeras, menghasilkan bongkahan-bongkahan yang kelak dikenal sebagai gulo aren.

Sang penggubah mengakhiri kisah itu dengan indah. Sebuah legenda dengan pesan mendalam tentang kegunaan pohon aren. Sayang sekali, cerita itu tampaknya kini tak banyak diketahui pemuda Rejang. Setelah mendengarnya sekilas, saya bertanya ke beberapa teman tentang detail kisah itu dan mereka tidak tahu—akhirnya saya harus mencarinya di buku cerita rakyat Bengkulu. Boleh jadi, suatu saat cerita itu benar-benar akan hilang dari ingatan orang. 

Kini, kita mengetahui bahwa aren adalah pohon yang baik. Tak hanya nira, bagian lain tumbuhan ini juga dapat dimanfaatkan manusia. Batang dan daun enau menghasilkan ijuk, yaitu serat ramah lingkungan. Buahnya, kolang-kaling,—yang sebenarnya adalah bagian biji—sangat laku dijual, lebih-lebih saat bulan puasa. Tulang daunnya digunakan untuk sapu lidi. Batang mudanya menghasilkan tepung. Daun enau juga bisa digunakan sebagai bahan atap rumah. Bahkan, dulu orang merokok menggunakan daun enau sebagai pembungkus tembakau. Nira yang difermentasi akan menjadi tuak, minuman keras tradisional. 

Aren di Tanah Rejang
Pak Asmawi memukul-mukul tangkai perbungaan aren/Asief Abdi

Begitu berguna pohon aren hingga wajar rasanya jika cerita rakyat tentangnya muncul di beberapa daerah Sumatra—Dewi Areni dan Beru Sibou di Sumatra Utara. Menariknya, kisah-kisah itu mengusung tema serupa, yaitu perwujudan seorang perempuan. Di sini, kita bisa melihat korelasi antara perempuan dan kesuburan. Perempuan, sang pemberi kehidupan, sang Dewi Agung.

Dewi Agung dikenal dengan berbagai nama—Isis, Ishtar, Inanna, Nut, Auset, Hathor—dan merupakan arketipe—gambaran lampau yang muncul dari ketidaksadaran kolektif—yang umum. Dialah simbol daya hidup feminin yang sangat terkait dengan alam dan kesuburan, sebagai pencipta kehidupan sekaligus sebaliknya. 

Pohon adalah salah satu lambang sakral sang dewi. Carl Gustav Jung dalam bukunya yang berjudul Empat Arketipe mengasosiasikan aspek kesuburan dan pohon sebagai manifestasi arketipe ibu. Mite dan dongeng merupakan ekspresi arketipe, sehingga pola-pola arketipal umum yang ada pada semua manusia menghasilkan kemiripan mitologi kebudayaan yang berbeda-beda. 

Dalam Goddesses in Everywoman, Jean Shinoda Bolen menulis bahwa Dewi Agung masih eksis sebagai arketipe dalam ketidaksadaran bersama manusia. Tampaknya, sang dewi juga hadir di alam pikiran masyarakat Rejang dan daerah-daerah lain di Sumatra, tentunya dalam aspeknya yang positif—yakni pemberi kehidupan—sehingga lahirlah legenda-legenda tentang pohon aren yang subur sebagai perwujudan dari seorang perempuan. Lagipula, bukankah kita semua mengenal Hawa, perempuan pertama dalam kitab suci agama abrahamik? Dalam bahasa Ibrani, “hawwāh” artinya “kehidupan”. Aren, dengan segala kegunaannya, barangkali memang layak dijuluki pohon kehidupan. Tumbuhan ini tak hanya penting bagi manusia, tapi juga untuk lingkungan.

Beberapa hewan menjadikan aren sebagai habitat dan sumber makanan, seperti monyet jambul (Macaca tonkeana), babi rusa (Babyrousa babyrussa), lebah (Apis cerana), musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus), dan orangutan Sumatra (Pongo abelii). Hubungan ini tidak berlaku searah, melainkan resiprokal. Artinya, aren juga membutuhkan hewan-hewan itu untuk menyebarkan bijinya secara alami. Bahkan, di banyak tempat, para petani percaya bahwa penanam aren terbaik adalah musang luwak. Meskipun demikian, propagasi oleh manusia berperan paling besar dalam distribusinya.

Selain menjadi habitat bagi penghuni hutan, akar-akar aren yang menancap ke dalam bumi memberikan kekuatan bagi tanah, melindunginya dari erosi. Tumbuhan ini juga bukan “anak manja” yang butuh banyak air, pupuk, dan pestisida. Aren adalah tumbuhan yang tangguh. Keberadaannya di hutan justru menyokong kondisi tanah. Kebaikan aren membuat seorang ilmuwan yakin bahwa tumbuhan ini bisa menyelamatkan hutan tropis Indonesia yang luasnya kian susut oleh sistem pertanian monokultur gila-gilaan.

Aren di Tanah Rejang
Mengobrol di warung/Asief Abdi

Willie Smits, seorang ilmuwan sekaligus konservasionis asal Belanda meyakini bahwa aren memang pohon kehidupan. Dia melihat aren sebagai komoditas yang tak hanya bernilai ekonomis, tapi juga ekologis. Saat ia dimintai mas kawin berupa enam pohon aren ketika menikahi seorang perempuan Sulawesi, tempatnya melakukan penelitian, ia pun makin yakin pada potensi aren. “Hal itu membuat saya tertarik mempelajari aren lebih dalam,” tulis dia.

Menurutnya, kita bisa menyadap energi dari tubuh tumbuhan itu dan mengolahnya menjadi etanol sebagai bahan bakar. “Nira tersusun utamanya dari air dan gula—terbuat dari hujan, cahaya matahari, karbon dioksida, dan itu saja. Pada dasarnya, kamu hanya memanen cahaya matahari,” jelasnya dalam sebuah artikel di situs National Geographic. Sekilas, memang terkesan tidak ada bedanya dengan kelapa sawit, tapi lelaki itu yakin aren lebih ramah lingkungan

Budi daya aren tidak bisa dilakukan secara monokultur. Tumbuhan ini justru tumbuh baik di lahan hutan yang masih sehat dan heterogen. Aren tak hanya memberikan dukungan ekonomis bagi masyarakat, tapi juga sokongan ekologis bagi lingkungan. Sangat antitesis dengan kelapa sawit yang destruktif. Dengan konsep energi terbarukan yang ia gagas, Smits percaya bahwa aren adalah spesies kunci bagi upayanya menyembuhkan rimba Indonesia yang sudah compang-camping.

Hujan turun mendadak. Rintik-rintik air memukuli atap. Beberapa pemotor berhenti untuk berteduh. Sesekali kami mengobrol sambil menunggu hujan reda, mencoba membuat suasana tetap hangat di tengah udara dingin. Tak lama, guyuran air dari langit berhenti. Kami berpamitan kepada pasangan pemilik warung. Sebelum beranjak, saya meminta Pak Asmawi untuk memotret saya di depan warungnya. Saya serahkan ponsel. “Bisa, kan, Pak?” tanya saya. Ia mengiyakan lalu berdiri beberapa meter di hadapan saya sambil menghitung. “Satu, dua, tiga,” serunya.  Kami berpisah. Di dalam mobil saya membuka ponsel dan melihat foto tadi. Ah, sayang sekali. Fotonya nge-blur.


Daftar Bacaan

Azhari, Muhammad Qosyim. 2017. Etnobotani dan Potensi Aren (Arenga pinnata merr.) pada Masyarakat Suku Rejang Desa Air Merah, Rejang Lebong Bengkulu. Repositoryipb.ac.id

Bolen, Jean Shinoda. 2021. Goddesses in Everywoman. Yogyakarta: IRCiSoD

Jung, Carl Gustav. 2020. Empat Arketipe. Yogyakarta: IRCiSoD

Lavelle, Marianne. 2011. A Rain Forest Advocate Taps the Energy of the Sugar Palm. National Geographic.com

Martini, Endri, dkk. 2011. Sugar palm (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.) for livelihoods and biodiversity conservation in the orangutan habitat of Batang Toru, North Sumatra, Indonesia: mixed prospects for domestication. Agroforestry Systems November 2011.

Orwa, dkk. 2009. Arenga pinnata. Agroforestry Database 4.0

Syamsuddin, Z. A. (1993). Cerita Rakyat dari Bengkulu, Volume 1. Jakarta: Grasindo


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Hikayat Aren di Tanah Rejang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hikayat-aren-di-tanah-rejang-2/feed/ 0 37652
Hikayat Aren di Tanah Rejang (1) https://telusuri.id/hikayat-aren-di-tanah-rejang-1/ https://telusuri.id/hikayat-aren-di-tanah-rejang-1/#respond Thu, 16 Mar 2023 04:00:18 +0000 https://telusuri.id/?p=37649 Bulan-bulan terakhir dalam setahun merupakan agenda rutin musim hujan. Angin muson barat bertiup dan menumpahkan titik-titik air yang dibawanya, membasahi tanah di bawahnya yang dahaga sepanjang kemarau. Berharap sehari tanpa hujan pada Desember rasanya sulit,...

The post Hikayat Aren di Tanah Rejang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Bulan-bulan terakhir dalam setahun merupakan agenda rutin musim hujan. Angin muson barat bertiup dan menumpahkan titik-titik air yang dibawanya, membasahi tanah di bawahnya yang dahaga sepanjang kemarau. Berharap sehari tanpa hujan pada Desember rasanya sulit, apalagi di dataran tinggi seperti Curup—sebuah kota kecil di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.

Udara dingin berembus, menembus jaket yang saya kenakan. Pagi itu langit mendung. Kabut pun merendah. Matahari tak menampakkan sosoknya, bersembunyi di balik gulungan awan. Angin membuat udara Curup semakin dingin. Meski hari murung, saya beruntung hujan tidak turun. Mobil kami melaju menjauhi keramaian kota. Jalanan mengecil. Hiruk pikuk kendaraan menghilang, permukiman pun kian jarang. Sisi kanan dan kiri jalan dipenuhi pohon aren yang berderet-deret. Kami berada di Desa Air Meles Atas.

Gula Aren Rejang Lebong
Pak dan Bu Asmawi di Kampung Aren miliknya/Aisef Abdi

Mobil berhenti di sebuah warung bertuliskan Kampung Aren. Asap mengepul dari atap, tampaknya sang penghuni sedang memasak sesuatu. Di belakang bangunan sederhana itu, terbentang kebun tempat pemiliknya menggantungkan hidup. 

Cuaca tak juga membaik—barangkali beginilah kondisi normal di sini. Mendung tak juga habis, bahkan sesekali gerimis. Kebun itu kian redup oleh dedaunan yang silang sengkarut, menghalangi cahaya dari atas. Saya berjalan memasuki kebun. Semoga tak terlalu buruk untuk menengok pembuatan gula aren.

Pohon itu menjulang di hadapan saya. Batangnya yang gelap ditumbuhi paku-pakuan. Sekilas, wujudnya menyerupai kelapa sawit, tapi lebih jangkung. Aren (Arenga pinnata) merupakan kerabat kelapa, siwalan, dan pinang, yang tergolong dalam suku palem-paleman, Arecaceae. Pohon ini bisa tumbuh hingga 20 meter dengan diameter batang sekitar 30-40 sentimeter. Diyakini, tumbuhan ini berasal dari hutan-hutan tropis Asia Tenggara dengan tingkat keragaman tertinggi di Sumatra, semenanjung Malaysia, dan Kalimantan. Masyarakat sekitar juga menyebutnya enau—ada sekitar 150 nama lokal aren di Indonesia. 

Lama saya mengamati pohon aren di depan saya dari atas sampai bawah. Batangnya kokoh, tajuknya rimbun, sesekali aroma harum tercium. Itu pasti nira! Saya menebak. Saya tahu bahwa gula aren dibuat dari nira tumbuhan ini. Akan tetapi saya penasaran dari mana dan bagaimana sari pati bisa mengucur keluar dari tubuhnya. Batang pohon itu mulus belaka, tidak ada luka bekas torehan pisau layaknya pohon karet yang disadap. Bagaimana para petani mengumpulkan cairan itu?

“Tok, tok, tok…” Terdengar suara pukulan berulang-ulang. Seperti ada yang sedang menggebuki sesuatu. Saya ikuti bunyi yang bertalu itu. Rupanya seseorang sedang berada di atas pohon aren. Di tengah rimbunnya tajuk, lelaki itu memukuli tangkai perbungaan dengan sebuah pemukul—belakangan saya mengetahui bahwa proses ini bertujuan memperlancar keluarnya cairan sadapan. Kawan saya menyapanya dengan bahasa Rejang yang tidak saya mengerti. Ia menjawab, lalu mengambil ancang-ancang turun.

Namanya Pak Asmawi. Dialah pemilik tempat ini. Kepadanya saya bertanya tentang proses penyadapan. Setelah menjelaskan sedikit, ia mengajak kami mendekati pohon lain yang sedang dideresnya. Dengan cekatan, kakinya memijak tangga bambu yang cuma sebatang, tangannya merengkuh erat setiap pegangan. Perlahan, tubuh lelaki itu menjauh dari permukaan tanah dan sudah berada di kanopi. Diambilnya wadah yang terikat pada tangkai perbungaan jantan—aren merupakan tumbuhan berumah satu dengan bunga jantan dan betina terpisah dalam satu pohon. Tangkai perbungaan yang disadap adalah yang jantan. Diturunkannya tabung penampung nira menggunakan tali. Kami menangkapnya dengan hati-hati, tak mau setetes pun nira terbuang sia-sia. “Coba cicipi saja,” seru Pak Asmawi. Kami menyesapnya. Rasanya encer dan manis. Lebih manis daripada legen—nira siwalan—di kampung saya. Ia pun turun dan mengajak kami ke warung. 

Warung itu sederhana saja. Sebuah bangunan berbahan kayu dan bambu yang bersahaja. Sambil minum nira, Pak Asmawi mengajak kami mengobrol, menceritakan tentang kebunnya. Sesekali saya bertanya tentang teknik penyadapan dan pembuatan gula. Selagi kami bercengkerama, Bu Asmawi—sebut saja demikian—sibuk di dapur. Bisa saya rasakan hawa panas menguar dari dapur, diikuti aroma wangi yang menguap di tengah pengap asap. Rupanya, ia sedang menggodok nira. Pak Asmawi mempersilakan kami masuk ke dapur, menengok proses final dari produksi komoditas unggulan Rejang Lebong itu.

  • Gula Aren Rejang Lebong
  • Gula Aren Rejang Lebong

Sebuah tungku besar memuntahkan api. Dengan rakus, lidah-lidah api menjilati kuali besar di atasnya. Di dalam wadah itu, mendidih nira yang sudah mengental dan berubah warna—kini warnanya coklat gelap. Rupanya, sejak tadi istri Pak Asmawi sibuk mengaduk nira, memastikannya tidak meluap atau gagal mengental. Bunyi gemeretak kayu yang dimakan api terdengar dari dalam tungku. Proses seperti ini bisa memakan waktu enam sampai tujuh jam. 

“Sehari bisa produksi berapa, Pak?” tanya saya usai mengambil beberapa foto.

“Maksimal bisa 25 kilogram, tapi ya bergantung cuaca dan musim. Kondisi angin juga sangat memengaruhi hasil sadapan,” jawab pria itu sambil mengamati cairan gula yang mendidih. Ia juga kesulitan saat persediaan kayu bakar habis. Biasanya, ia menderes dua kali sehari, yakni pagi dan sore. Selebihnya, proses dilakukan di dapur seperti ini. Gula aren buatannya dijual ke Bengkulu, Jambi, dan Palembang. Kini ia tergabung dalam kelompok tani Sari Aren yang menjadi salah satu produsen utama gula aren di Rejang Lebong.

Pak Asmawi mengaku sudah mengelola kebunnya sejak berusia 35 tahun dan sudah lebih dua puluh tahun dirinya berkutat dengan aren. Kebun itu milik keluarganya, luasnya lebih kurang satu hektar. “Dulu ado kopi, tapi karena kurang menghasilkan, akhirnya ganti aren semua,” kenangnya. Lahan yang dulu sekadar kebun itu kini ia kembangkan. Selain produksi, tempat itu sekarang juga memiliki fungsi edukasi.

Konsepnya sederhana, tidak norak seperti kampung-kampung kekinian yang malah menjadi destinasi wisata populer dan kehilangan orisinalitasnya. Kampung Aren milik pasangan ini unik karena autentik. Pengunjung yang datang bisa melihat dan belajar proses produksi gula aren mulai dari kebun hingga menjadi bongkahan-bongkahan.

Pak Asmawi dan istrinya juga tak memungut biaya kepada pengunjung. Misi mesianis keduanya, tampaknya, yaitu melestarikan pembuatan gula aren secara tradisional agar tak hilang dimakan zaman. Tujuan luhur itu saya pikir sudah tercapai dengan seringnya pasangan ini menerima pengunjung—baru saya sadari bahwa kita bisa melihat Pak Asmawi di beberapa video tentang gula aren di YouTube. 

Dengan cekatan, pasangan itu mengangkat kuali dari atas tungku. Rupanya, nira sudah cukup matang. Cairan yang tadinya encer itu kini kental seperti karamel—saya baru tahu prosesnya disebut karamelisasi. Tinggal didinginkan sambil terus diaduk. Setelah itu, sang suami menuangkan gula kental itu ke cetakan-cetakan dari batok kelapa, sementara istrinya menatanya di atas petak-petak bambu untuk didiamkan sampai mengeras dan siap dijual.

Ada juga yang akan diolah menjadi gula semut yang berbentuk serbuk. Dengan produksi rumahan seperti ini, mereka kerap tak bisa memenuhi setiap pesanan konsumen. Memang, gula aren merupakan komoditas andalan Rejang Lebong. Reputasinya soal kualitas dan rasa tak diragukan lagi. Di tengah tren gula aren, hal itu tentunya baik bagi petani lokal.

Sebenarnya, masyarakat Indonesia telah lebih dulu akrab dengan gula aren sebagai pemanis hingga Belanda menyingkirkannya, menggantinya dengan gula tebu. Dalam bukunya, The Malay Archipelago, Alfred Russel Wallace mencatat perjumpaannya dengan pohon aren saat mengunjungi Makassar pada 1857.  

”Hutan yang mengelilingiku terbuka dan bebas dari semak-semak berkayu, terdiri dari pokok-pokok besar, pohon-pohon aren tersebar dalam jumlah banyak, dari mana wine aren—tuak—dan gula dibuat… dan gula yang dibuat darinya merupakan pemanis yang bagus.”

Belakangan gula aren menjadi pemanis alternatif yang populer karena cita rasanya yang khas. Jika kita nongkrong di kedai kopi, hampir dapat dipastikan ada menu kopi gula aren. Saking terkenalnya, seringkali orang kebingungan membedakan gula aren, gula kelapa, gula siwalan, dan brown sugar yang kerap dikira sama, padahal berbeda—teman saya meyakini gula siwalan di desanya sebagai gula aren, padahal aren dan siwalan adalah spesies yang berbeda.

Perlu diingat juga bahwa gula aren merupakan bahan baku utama cuko pempek yang lumrah dijumpai di Sumatra—teman saya yang berjualan pempek enggan mengganti gula aren dengan gula kelapa yang lebih mudah didapat. Karena diproduksi secara konvensional dengan proses minimal, gula aren dianggap lebih baik daripada gula pasir pabrikan. Meskipun kalorinya tidak jauh berbeda, gula aren dinilai lebih bernutrisi daripada gula pasir.

Dengan demikian, peran aren sangat vital dalam menopang perekonomian lokal. Bukan hanya nira, hampir semua bagian pohon ini dapat digunakan manusia. Demikian status aren amat penting secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat Rejang. Tak berlebihan rasanya jika rasa hormat kepadanya mewujud dalam sebuah cerita rakyat tentang muasal tumbuhan ini. Kisah tentang seorang gadis yang beralih rupa menjadi sebuah pohon.


Daftar Bacaan

Haryoso, Anggit, dkk. 2020. Ethnobotany of Sugar Palm (Arenga pinnata) in the Sasak Community, Kekait Village, West Nusa Tenggara, Indonesia. Biodiversitas Volume 21, number 1, January 2020, pages: 117-128

Heryani, Hesty. 2016. Keutamaan Gula Aren dan Strategi Pengembangan Produk. Banjarmasin: Lambung Mangkurat University Press

Lingawan, Angelita, dkk. 2019. Gula Aren: Si Hitam Pembawa Keuntungan dengan Sugudang Potensi. Jurnal Pemberdayaan Masyarakat (JPM) Vol.1.No.1

Wallace, Alfred Russel. 1890. The Malay Archipelago. London, MacMillan and Co.Yulihartika, Rika Dwi. 2019. Analisis Usaha Pengolahan Gula Merah Aren dengan Metode Profitability Rasio di Desa Air Meles Atas Kecamatan Selupu Rejang Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA), Volume 3, Nomor 1 (2019): 162-169


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Hikayat Aren di Tanah Rejang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hikayat-aren-di-tanah-rejang-1/feed/ 0 37649