kuliner Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kuliner/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 18 Mar 2024 07:44:39 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kuliner Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kuliner/ 32 32 135956295 Wisata Kuliner dan Pantai di Pacitan dalam Sehari https://telusuri.id/wisata-kuliner-dan-pantai-di-pacitan-dalam-sehari/ https://telusuri.id/wisata-kuliner-dan-pantai-di-pacitan-dalam-sehari/#respond Mon, 18 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41410 Tak pernah tebersit oleh saya untuk berlibur ke Pacitan sebelumnya. Namun, ternyata Pacitan memiliki destinasi wisata alam yang mengesankan dan kuliner yang memanjakan lidah. Salah satu dari 38 kabupaten di Provinsi Jawa Timur itu berada...

The post Wisata Kuliner dan Pantai di Pacitan dalam Sehari appeared first on TelusuRI.

]]>
Tak pernah tebersit oleh saya untuk berlibur ke Pacitan sebelumnya. Namun, ternyata Pacitan memiliki destinasi wisata alam yang mengesankan dan kuliner yang memanjakan lidah. Salah satu dari 38 kabupaten di Provinsi Jawa Timur itu berada di pesisir selatan dan dekat sekali dengan laut. 

Jelang liburan akhir tahun lalu teman saya iseng mengajak untuk jalan-jalan ke Pacitan. Sebuah ide yang sangat menarik. Karena penasaran, kami sepakat untuk berkunjung ke daerah berjuluk “Kota 1001 Gua” tersebut.

Akses menuju Pacitan memang terbilang cukup terbatas. Belum ada bandara komersial dan stasiun kereta di sana. 

Jika menggunakan pesawat dari Jakarta, setidaknya kita harus turun di Bandara Adi Soemarmo Solo. Dari bandara, melanjutkan perjalanan melalui Terminal Tirtonadi menggunakan bus Aneka Jaya ke Pacitan. Durasi perjalanannya mencapai kurang lebih 3—4 jam. Sedikit tips dari saya, lebih baik menyewa satu unit mobil dari Solo, agar bisa digunakan juga saat jalan-jalan di Pacitan. Saya bersama enam teman lainnya memutuskan untuk sewa kendaraan jenis minivan (Toyota Hiace) dengan sopir. 

Perjalanan dari Solo menuju Pacitan juga memberikan pengalaman tersendiri. Belum ada jalanan tol nan mulus untuk sampai ke Pacitan, sehingga kita harus melalui jalur naik turun dan berkelok. Bagi yang mabuk perjalanan darat, disarankan membawa perbekalan obat-obatan pribadi. 

Kuliner Bahari ala Bu Gandos

Setibanya di batas kota, kami langsung menuju salah satu tempat makan seafood terbaik di Pacitan. Namanya Warung Makan Bu Gandos, terkenal dengan sajian lobsternya yang berukuran besar. Lokasinya tidak terlalu jauh dari pusat kota Pacitan. Bukan sebuah restoran mewah dengan tempat duduk yang tertata, melainkan hanya tempat makan sederhana di pinggir tambak air payau yang berbatasan dengan laut.

Kami memesan lobster, ikan bakar, udang goreng, kangkung, dan terong balado. Saat disajikan, tampilannya seperti makanan biasa di resto-resto seafood Jakarta. Tidak terlalu memberikan ekspektasi tinggi. Namun, saat dimakan rasanya sangat segar. Ikan bakarnya lembut, udang gorengnya juga sangat garing. Tentu saja yang menjadi primadona dalam sajian adalah lobster. Lobster besar ini memiliki daging yang banyak dan empuk dengan rasa yang manis.

Wisata Kuliner dan Pantai di Pacitan dalam Sehari
Menu makan siang pesanan kami di Warung Makan Bu Gandos Pacitan/Ayu Henidar Mulyara

Terik matahari siang itu cukup menyengat, tetapi udaranya masih sejuk. Sangat menyenangkan bisa menyantap makanan lezat dengan pemandangan yang memanjakan mata ke arah Teluk Pacitan.

Usai dari Bu Gandos kami menuju penginapan untuk menaruh barang-barang. Tidak ada banyak pilihan hotel atau resor mewah di Pacitan. Bahkan hotel empat tingkat yang kami tempati tidak memiliki lift. Untungnya kami dapat di lantai dua dan tiga, sehingga tidak terlalu berat mengangkat tas bawaan. Jarak dari warung Bu Gandos ke penginapan hanya sekitar empat kilometer dengan waktu tempuh kurang dari 10 menit. 

Menikmati Sore di Pantai Watu Karung

Menjelang sore kami memutuskan keluar dari hotel dan pergi ke pantai terdekat. Karena destinasi paling utama di Pacitan adalah pantai, rasanya tidak lengkap jika tidak mengunjunginya. Pantai-pantai di Pacitan juga terkenal dengan ombaknya yang baik untuk surfing. Makanya, tidak jarang kami bertemu dengan bule-bule di sini.

Dari sekian banyak pantai di Pacitan, kami sepakat untuk ke Pantai Watu Karung. Dari hotel ke Pantai Watu Karung berjarak 24 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 40 menit.  Akses masuk ke pantai ini tidak sulit, karena cukup dekat dengan jalan raya.

Kami berjalan masuk ke pantai ini tanpa ekspektasi berlebih. Apalagi kami tidak melakukan riset mendalam sebelumnya. Saat kami datang, waktu telah beranjak sore menjelang matahari terbenam.

Ternyata, kami mendapatkan suguhan pemandangan yang menakjubkan. Kami duduk-duduk sambil melihat matahari mulai tenggelam di balik cakrawala, mendengarkan suara deburan ombak yang menerjang pantai. Tidak banyak orang, sehingga suasana begitu tenang.

Di area wisata Pantai Watu Karung, tersedia juga warung-warung milik warga lokal yang berjualan makanan dan minuman. Kami memilih makan mi instan sambil menikmati panorama gulungan ombak Samudra Hindia. 

Kuliner Malam di Pacitan

Matahari sudah tidak terlihat. Hari mulai gelap. Kami lekas meninggalkan kawasan pantai untuk melanjutkan perjalanan mencari makan malam. Ada dua tempat kuliner yang menurut saya wajib didatangi kalau ke Pacitan.

Pertama, ayam goreng rempah Mekar Jaya. Letaknya di kota, dari Watu Karung berjarak 24 kilometer dengan waktu tempuh kurang dari 45 menit. 

Menu andalan Mekar Jaya itu terlihat seperti ayam goreng pada umumnya. Namun, rasa dari bumbu rempah yang diungkep membuatnya jadi lebih nikmat. Konsep dapurnya yang terbuka membuat pengunjung bisa melihat proses memasaknya. Ayam yang sudah diungkep, dicelupkan dalam penggorengan dengan minyak panas. Hasilnya ayam matang sempurna. Garing di luar, empuk di dalam. 

  • Wisata Kuliner dan Pantai di Pacitan dalam Sehari
  • Wisata Kuliner dan Pantai di Pacitan dalam Sehari

Destinasi kuliner selanjutnya yang tidak kalah menarik di Pacitan adalah Sego Gobyos. Warungnya sederhana, berada di pinggir jalan. Tepatnya di perempatan Tugu Penceng, pertemuan jalur dari arah Ponorogo dan Solo. Tidak jauh dari Alun-alun Pacitan. Warung Sego Gobyos buka sejak pukul empat sore hingga empat pagi. 

Sego Gobyos pada dasarnya adalah nasi plus sayur daun kenikir, serta tambahan lauk yang bisa dipilih, mulai dari tahu, tempe bacem, opor ayam, hingga kerupuk. Makanan ini terkenal dengan rasanya yang super pedas, makanya dinamakan Gobyos. Saat makan memang benar-benar sampai mandi keringat (gobyos) saking pedasnya. 

Usai sudah perjalanan kami berwisata kuliner dan pantai di Pacitan hari itu. Berlibur ke Pacitan ternyata menjadi keputusan terbaik. Meskipun sempat meragukan awalnya, tetapi tak disangka Pacitan menyimpan potensi kuliner lokal dan destinasi alam yang luar biasa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Wisata Kuliner dan Pantai di Pacitan dalam Sehari appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/wisata-kuliner-dan-pantai-di-pacitan-dalam-sehari/feed/ 0 41410
Seharian Berburu Kuliner di Blok M https://telusuri.id/seharian-berburu-kuliner-di-blok-m/ https://telusuri.id/seharian-berburu-kuliner-di-blok-m/#respond Wed, 15 Nov 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40053 Kalau ditanya tempat favorit untuk nongkrong atau jalan-jalan akhir pekan, saya pasti jawab di Blok M. Selain memiliki beragam destinasi untuk dikunjungi, area Blok M sekarang sudah sangat terintegrasi dengan transportasi umum. Sudah ada MRT....

The post Seharian Berburu Kuliner di Blok M appeared first on TelusuRI.

]]>
Kalau ditanya tempat favorit untuk nongkrong atau jalan-jalan akhir pekan, saya pasti jawab di Blok M. Selain memiliki beragam destinasi untuk dikunjungi, area Blok M sekarang sudah sangat terintegrasi dengan transportasi umum. Sudah ada MRT. Dan juga bus TransJakarta dengan haltenya yang sangat bagus dan mudah dijangkau.

Blok M selalu memiliki banyak sudut menarik untuk membuat momen. Apalagi di era yang sangat berkembang ini, setiap minggu ada saja tempat-tempat baru yang memikat perhatian publik. Beberapa tempat tak jarang langsung viral seketika.

Hal seperti itu yang membuat kawasan Blok M setiap akhir pekan sangat ramai oleh kunjungan berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari kelas menengah hingga atas. Ini bukti Blok M memang menawarkan banyak sekali pilihan tempat hangout

Ada beberapa tempat makan yang bagi saya menjadi comfort food. Saya selalu merekomendasikan kepada teman-teman yang ingin berkunjung ke Blok M. 

Claypot Popo

Seharian Berburu Kuliner di Kawasan Blok M
Claypot Siram Sapi/Ayu Henidar Mulyara

Mengawali hari dengan makanan di Claypot Popo menurut saya akan memberikan mood yang bahagia. Saya sengaja berangkat pukul 11.00 dari tempat tinggal saya, yang jaraknya tidak jauh dari kawasan Blok M. Pukul 11.30 Claypot Popo baru saja buka, tetapi sederet antrean sudah mulai tersusun di daftar tunggu.

Makanan di sini terbilang cukup murah dan rasanya enak. Sangat wajar jika baru buka saja sudah banyak yang menunggu. Menu favorit yang menurut saya wajib pesan adalah Claypot Siram Sapi. Tersaji dengan keadaan yang sedang panas dan kuah kentalnya enak, sehingga membuat menu ini menjadi sangat nyaman di perut. 

Satu porsi Claypot Siram Sapi terdapat nasi, telur, irisan daging sapi, jagung rebus juga wortel. Rasa yang saya dapat dari satu porsi ini adalah asin dan gurih. Tingkat kematangan daging sapinya juga pas. Telurnya lembut. 

Kalau melihat dari segi kesehatan sepertinya kuliner ini terbilang cukup memenuhi nutrisi. Terdapat protein dari daging sapi, karbohidrat dari nasi, serta serat dari wortel dan jagung. 

Kedai Rukun Yakarta

Usai dari Claypot Popo, ada lagi tempat makan siang yang selalu jadi andalan saya setiap kali bingung ingin makan apa. Namanya adalah Kedai Rukun Yakarta. Lokasinya berada di Pujasera Blok M. 

Kedai Rukun Yakarta menyajikan varian makanan khas Jogjakarta. Mulai dari Garang Asem, Bakmoy Ayam, Ikan Manyung Mangut, dan Oseng Mercon. Setiap harinya mereka menyediakan menu yang berbeda, jadi bisa kalian pilih sesuai dengan ketersediaan menu. Hampir semua menu sudah saya coba di kedai ini. Meskipun belum semua, tetapi bagi saya makanan di sini enak-enak semua. Paling ada perbedaan rasa di setiap menunya. Tentu semuanya kembali ke selera masing-masing.

Yang membuat saya senang sekali makan di sini, karena suasana dan makanannya terasa seperti masakan rumahan. Mengingatkan saya pada masakan ibu saya di rumah.

Untuk teman-teman dari Jogjakarta yang merantau dan tinggal di Jakarta, saya rasa cocok dengan masakan di Kedai Rukun Yakarta ini. 

Menu favorit yang selalu saya pesan adalah Endog Kriwil dan Ikan Manyung Mangut. Menurut saya dua menu ini jadi perpaduan yang paling pas. Ikan Manyung Mangut dimasak melalui proses pengasapan, sehingga rasa dari asapnya sangat berasa dan itu yang membuatnya makin enak. Kuahnya cukup pedas, santannya tidak terlalu kental, dan sangat segar ketika menyantapnya. Untuk Endog Kriwil memang terlihat seperti telur dadar pada umumnya. Namun, yang membuat menarik adalah Endog Kriwil ini dibuat lebih mengembang sehingga terlihat lebih “kriwil”. 

Kedai Thai Baby

Masih di Pujasera Blok M, ada satu lagi lokasi kuliner yang juga bisa kalian coba: Kedai Thai Baby. Tempat makan ini menyajikan makanan khas Thailand, mulai dari Tom Yum, Mango Sticky Rice, dan juga Pad Thai

Seharian Berburu Kuliner di Kawasan Blok M
Pad Thai/Ayu Henidar Mulyara

Kedai makanan ini terbilang cukup baru dan belum banyak yang tahu. Kalau ke sini masih bisa menikmati makanannya tanpa menunggu antrean yang cukup panjang. Waktu itu saya mencoba Pad Thai. Salah satu makanan Thailand yang selalu ingin saya coba. Namun, karena belum tercapai untuk pergi ke Thailand, jadi saya mencobanya di Kedai Thai Baby.

Meskipun belum pernah mencoba versi aslinya, saya jadi tahu bagaimana rasa Pad Thai. Rasanya asin dan gurih, tipe mi yang mereka pakai kenyal dan tipis. Terdapat banyak topping yang ada dalam satu piring Pad Thai, yaitu udang, bakso ikan, cumi, dan tahu.

Tersedia pula bubuk cabai dan rempahan kacang mede yang bisa menambah cita rasa. Menurut saya, bubuk cabainya cukup pedas sehingga saya tidak terlalu menggunakannya dalam makanan. Saya juga menambahkan jeruk nipis untuk diperas kemudian saya campurkan pada Pad Thai untuk memberi tambahan rasa lain. Kalau saya simpulkan, rasanya sangat beragam. Mulai dari asin, gurih, pedas, dan asam. 

Dalam waktu seharian ternyata sudah mencicipi tiga tempat makan sekaligus. Wisata kuliner kali ini sangat memanjakan lidah dan perut. Tentunya masih banyak daftar lain yang ingin saya kunjungi di kawasan Blok M ini. Yang pasti setiap sudutnya ini punya banyak tempat terbaik untuk mengukir kenangan manis. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Seharian Berburu Kuliner di Blok M appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/seharian-berburu-kuliner-di-blok-m/feed/ 0 40053
Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta https://telusuri.id/mencicipi-legitnya-bingke-pontianak-permata-di-yogyakarta/ https://telusuri.id/mencicipi-legitnya-bingke-pontianak-permata-di-yogyakarta/#respond Sat, 08 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39254 Saya teringat masa enam tahun silam, ketika harus bolak balik ke Banjarmasin untuk urusan pekerjaan. Saya sempat terheran-heran dengan kawan saya yang bela-belain naik motor buntut pinjaman buat nyari bingka (bingke). Salah satu jenis kue...

The post Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya teringat masa enam tahun silam, ketika harus bolak balik ke Banjarmasin untuk urusan pekerjaan. Saya sempat terheran-heran dengan kawan saya yang bela-belain naik motor buntut pinjaman buat nyari bingka (bingke). Salah satu jenis kue yang ada di kawasan ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan itu. Meski lahir dan tumbuh besar di Yogyakarta, tetapi saya tahu dan pernah mencicipi kudapan ini. 

Di Banjarmasin, kue-kue ini terkenal dengan sebutan wadai. Menurut informasi dari beberapa penjual makanan yang sempat saya temui di Banjarmasin, di sana ada sekitar 41 jenis wadai. Saya sempat mencicipi beberapa wadai di pasar kaget sekitar Siring Tendean. Sayang, cita rasanya cenderung manis.

Termasuk saat saya didatangi acil-acil (bibi) yang berjualan kue keliling sewaktu di sana. Saat itu mereka menawari saya kue goreng berbentuk lonjong, yang rasanya mirip dengan galundeng atau bolang-baling. Sebutan untuk kue goreng sederhana di sekitar Yogya yang terbuat dari tepung terigu, gula, dan soda kue. Maka saya pun menyimpulkan bahwa mau dikukus atau digoreng, kebanyakan wadai di Banjarmasin memang bercita rasa manis.

Kue bingke yang dahulu sempat saya cicip di Yogya juga demikian adanya. Meski lupa dapat dari mana, saya ingat rasanya cenderung manis. Walhasil, ketika ada teman saya yang bolak-balik mencari bingke, saya belum tertarik untuk sekadar titip beli. 

Ada beberapa alasan. Pertama, kuenya agak besar. Seingat saya seukuran kue tar, sehingga saya takut kalau kemasan berisi bingke itu sampai tergencet barang bawaan lain di kabin. Kedua, saya selalu dapat jadwal penerbangan pagi,  yang mengharuskan saya berangkat ke Bandara Internasional Syamsudin Noor, Banjarbaru, sekitar pukul 03.30 waktu setempat. Kira-kira satu jam perjalanan dari penginapan saya di kawasan Kayu Tangi, Banjarmasin.

Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta
Wadai ipau khas Banjar dalam bentuk seperti risoles via Wikipedia/Ezagren

Perbedaan Bingke dan Ipau

Sejauh yang saya ingat hanya rasa bingke itu mirip kue lumpur. Hal yang membedakan adalah ketiadaan lapisan karamel karena proses pembuatannya yang sedikit berbeda. Jadi, walaupun berulang kali pergi ke Banjarmasin, tak pernah sekalipun saya membawa pulang bingke ke Yogya.

Dahulu, kudapan yang saya bawa pulang malah ipau. Salah satu wadai khas Banjar yang hanya dijual saat bulan puasa. 

Beberapa waktu setelah lebaran saya kembali datang ke Banjarmasin. Saat itu saya bisa menikmati ipau karena kebaikan Pak Orie, salah satu pemilik merek sasirangan kenamaan di Banjarmasin. Saya dan tim sempat meliputnya untuk keperluan pekerjaan. 

Jika wadai khas Banjar lainnya lebih manis, ipau berbeda. Cita rasa kudapan yang terbuat dari tepung, santan, wortel, bombai, dan daging cincang ini lebih gurih. Topping daun bawang semakin menambah sedap wadai favorit saya tersebut.

Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta
Proses pemanggangan bingke dengan arang/Retno Septyorini

Memori Bingke yang Kembali lewat Media Sosial

Di hidup saya, cerita tentang bingke baru tersambung kembali setelah enam tahun pulang dari Banjarmasin. Tepatnya awal Juni ini. Itu pun karena faktor ketidaksengajaan.

Suatu siang, ada sebuah video yang mengulas Bingke Pontianak Permata yang mampir ke beranda Instagram saya. Meski sekilas tidak sebesar bingke yang pernah kawan saya bawa dari Banjarmasin, entah kenapa, saya langsung ngiler. Usai berulang kali memutar video, akhirnya saya berhasil membuat tangkapan layar (screenshoot) kontak Whatsapp yang ada pada spanduk gerobak bingke. Setelah menyimpan informasi narahubung, saya langsung memesan satu porsi bingke original. 

Pesan saya baru terbalas malam hari. Rupanya untuk informasi atau pemesanan melalui Whatsapp sebaiknya dilakukan sebelum pukul 12 siang. Di atas itu penjual tidak sempat membuka ponsel sampai selesai berjualan.

Malam itu juga, saya mendapatkan info dari penjual kalau bingke pesanan saya bisa diambil pada kurun waktu pukul 15.00—19.00 WIB. Lokasi jualan bingke ini berada di Jalan Sultan Agung No. 10, Wirogunan, Mergangsan, Kota Yogyakarta. Bingke Pontianak Permata menawarkan enam pilihan rasa, yaitu original (Rp17.000), cokelat (Rp19.000), keju (Rp21.000), cokelat susu (Rp20.000), keju cokelat (Rp21.000) dan keju susu (Rp22.000). 

Mengingat area tersebut rawa macet saat jam pulang kantor, saya bergegas meluncur selesai salat Asar. Walau tetap saja ketika saya sampai di sana lalu lintas sudah terlihat padat merayap.

  • Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta
  • Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta

Pilihan Rasa Bingke Pontianak Permata

Sesuai namanya, gerobak Bingke Pontianak ini memang berada tepat di seberang eks Bioskop Permata Jogja. Jika berkendara dari arah Jembatan Sayidan, maka harus mencari putaran terdekat untuk sampai ke lokasi. Tempat makan tersebut juga dikenal dengan sebutan Bingke Bang Tomy, yang tak lain merupakan salah satu penjualnya.

Menurut Bang Syarif, penjual Bingke Pontianak Permata yang beberapa waktu lalu saya temui, usaha ini sudah dimulai sejak tahun 2006 silam. Penjualnya adalah mahasiswa dari Kalimantan Barat yang sedang studi di Jogja. Awalnya yang jualan adalah Bang Briko, selanjutnya Bang Tomy, lalu dilanjutkan Bang John. “Saya sendiri meneruskan jualan ini sejak tahun 2013 yang lalu,” Bang Syarif menambahkan.

Sore itu, ada sekitar enam bingke yang sudah jadi. Karena dipanggang di atas arang, bingke yang saya bawa pulang masih dalam keadaan panas. Seporsi Bingke Pontianak Permata bisa dibagi menjadi enam potong dengan ukuran sama besar. Cocok untuk menikmatinya bersama teman ataupun keluarga di rumah.

Setibanya di rumah, ternyata bingke pesanan saya masih bertahan dalam kondisi yang hangat. Untuk rentang harga mulai dari Rp17.000, bingke ini termasuk enak. Kombinasi gurih dan manisnya pas. Terasa legit, tetapi tidak kemanisan. Saya yang memiliki tenggorokan sensitif tidak sampai batuk usai mencicipi kue tersebut. Saya tidak ragu untuk memesan kembali kudapan yang cocok bersanding dengan secangkir teh atau kopi tawar itu.

Lantaran sudah merasa cocok dengan rasa original, mungkin lain waktu saya tetap akan memesan varian yang satu ini. Buat Anda yang ingin menikmati kelezatan Bingke Pontianak Permata, bisa pesan melalui Whatsapp di nomor 0896-0800-1716.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mencicipi-legitnya-bingke-pontianak-permata-di-yogyakarta/feed/ 0 39254
Kuliner Laha Bete dan Dialek Orang Bugis Sinjai https://telusuri.id/kuliner-laha-bete-dan-dialek-orang-bugis-sinjai/ https://telusuri.id/kuliner-laha-bete-dan-dialek-orang-bugis-sinjai/#respond Wed, 31 May 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38835 Namanya laha bete, olahan makanan berbahan dasar ikan teri basah yang bagian kepalanya dipisahkan dan dibuang tulangnya. Di daerah saya, Sinjai, bagian timur Sulawesi Selatan yang berjarak sekitar 223 km dari Kota Makassar, kami menyebutnya...

The post Kuliner Laha Bete dan Dialek Orang Bugis Sinjai appeared first on TelusuRI.

]]>
Namanya laha bete, olahan makanan berbahan dasar ikan teri basah yang bagian kepalanya dipisahkan dan dibuang tulangnya. Di daerah saya, Sinjai, bagian timur Sulawesi Selatan yang berjarak sekitar 223 km dari Kota Makassar, kami menyebutnya ikan bete-bete.

Beberapa pekan lalu saya membuatnya, karena merindukan sajian segar tersebut di perantauan. Momen ini sekaligus untuk memenuhi janji pada seorang kawan, yang mengendap tiga tahun lamanya.

Saya pun berbelanja ke pasar dengan modal Rp20.000. Dari uang segitu saya berhasil membawa pulang sekantung hitam kecil ikan bete-bete, cabai rawit, kelapa parut, cuka, dan jeruk purut. Sayangnya, saya lupa membeli mangga dan daun kemangi. Meskipun dua bahan tersebut sebenarnya hanya bersifat opsional.

Berbekal ingatan mengamati para orang tua yang lihai membuat laha bete setiap kali ada hajatan di kampung, saya segera memulai eksperimen di dapur indekos.

Proses Pembuatan Laha Bete

Untuk menghasilkan sepiring laha bete, tidaklah serumit membuat coto Makassar atau konro yang menggunakan bahan rempah cukup banyak. Pun, waktu memasak dua kuliner khas itu lama, karena mesti mengolahnya di atas bara api alias kompor. Lain halnya dengan laha bete, yang tidak melalui proses pemasakan.

Awalnya, saya merasa kelelahan saat memisahkan kepala dan tulang dari badan ikan. Kami menyebut proses ini dengan nama mappangaja’ bete. Kalau sedang ada acara pernikahan, bisa satu baskom besar berisi ikan bete-bete yang mengantre untuk kami lepas kepalanya. Biasanya, sebaskom ikan ini dikumpulkan lebih dari tiga orang ibu, yang saling bekerja sama mappangaja’ bete sambil berbincang.

Jika bagian ini sudah terlewati, tahap pengolahan selanjutnya akan lebih mudah tetapi juga paling krusial. Di sinilah cuka seharga dua ribu rupiah yang sudah saya beli tadi akan berguna.

Setelah mencuci, proses selanjutnya adalah menyirami ikan dengan larutan cuka. Saya harus berhati-hati agar rasa ikan menjadi tidak terlalu asam. Selain untuk mematangkan daging ikan, penggunaan cuka juga bertujuan untuk menghilangkan bau amis. Peran cuka hampir sama saat kita membuat susyi.

Sambil membuat laha bete, saya juga bercerita ke Nu’—yang dari tadi sudah tidak sabar mencicipi kuliner khas Sinjai untuk pertama kali. Saya katakan padanya, “Sebenarnya resep membuat laha bete ini ada lagunya. Hanya saja, memang berbahasa Bugis.”

Adapun potongan lirik resepnya berbunyi: “Riteppang kaluku fura faru, Ripeccorang lemo-lemo, Ricoberang ladang-ladang pesse’, Ritellani laha bete” (diberi parutan kelapa, diberi perasan air jeruk, diberi cabai rawit pedas yang habis diulek, jadilah namanya laha bete).

Lagu itu adalah karya Muhannis, seorang pemerhati sejarah Sinjai yang meninggal beberapa hari lalu. Kemudian Masrah, yang masih berstatus sebagai pelajar SMA kala itu, menyanyikan lagu ini sekitar tahun 2006. Lagu tersebut kembali populer meski sebenarnya sudah tercipta sejak tahun 1995.

Akhirnya selesai juga eksperimen saya. Kami berdua menyambut girang. Nu’ coba mengambil sedikit, lalu mencobanya dengan ragu karena sempat curiga akan ada cita rasa ikan mentah. Namun, rupanya lidah Nu’ menyambut senang sampai laha bete ludes tak tersisa.

Tentunya, sebelum semua laha bete kami lahap habis, saya mengabadikannya dalam bidikan kamera dan mengunggahnya ke media sosial. Tak saya sangka, ada komentar menarik dari seorang kawan. Dia bilang kuliner serupa juga ada di Adonara, mereka menyebutnya belawa. Olahan yang sama persis lalu menambahkannya dengan taburan irisan bawang merah mentah melimpah.

Laha dan Lawa, Apa Bedanya?

Sebenarnya laha memiliki banyak varian, seperti halnya urap—hidangan dengan bahan dasar aneka sayuran yang direbus dan dicampur dengan kelapa muda—di Jawa. Sumatra juga punya hidangan serupa, namanya anyang. Meski ada yang menggunakan ikan maupun sayur sebagai bahan dasar, olahan kuliner ini sama-sama mengandalkan parutan kelapa muda sebagai pengunci rasa.

Nama laha bete hanya dipakai oleh orang-orang Bugis Sinjai. Beberapa penutur bahasa Bugis lainnya, seperti Bone, Sidrap, Wajo, Pinrang, dan Soppeng menyebutnya lawa bale (ikan) atau lawa bete, karena perbedaan dialek. 

Entah bagaimana, hanya dialek Sinjai yang agak berbeda dari dialek Bugis lainnya. Contohnya dalam penggunaan huruf “w” di bahasa Bugis, orang berdialek Sinjai seringkali menukarnya dengan huruf “h”. Maka sebutan lawa bagi penutur bahasa Bugis lain, berubah menjadi laha jika dilafalkan oleh orang Bugis Sinjai.

Masih ada lagi. Huruf “c” dalam dialek bahasa Bugis umumnya, di Sinjai berubah menjadi “sy”. Misal, cemme’ (mandi) menjadi syemme’. Perbedaan dialek ini sudah sering jadi bahan candaan berkat komedian asal Makassar yang pernah membuat viral dialek Sinjai lewat videonya.

Kalau kebetulan saya sedang mengikuti satu kegiatan dan memperkenalkan diri sebagai orang Sinjai, biasanya saya akan mendengar sahutan “Sinjai lo”. Bukan lo atau lu yang berarti ‘kamu’ seperti yang biasa orang-orang Betawi gunakan. Dua huruf pada lafal “lo” menjadi sebuah identitas bagi orang Sinjai. Itu justru membuat saya menjadi peserta yang gampang orang lain ingat, sehingga tentu saja saya tidak pernah keberatan dengan itu. 

Walaupun, ya, kadang-kadang ada saja kesalahan teknis. Beberapa orang mengira Sinjai sama seperti Binjai, kota di Sumatra Utara.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kuliner Laha Bete dan Dialek Orang Bugis Sinjai appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kuliner-laha-bete-dan-dialek-orang-bugis-sinjai/feed/ 0 38835
Turuk Bintul, Penganan Jadul Khas Jawa Tengah https://telusuri.id/turuk-bintul-penganan-jadul-khas-jawa-tengah/ https://telusuri.id/turuk-bintul-penganan-jadul-khas-jawa-tengah/#respond Tue, 04 Apr 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38155 Dalam khazanah kuliner Nusantara, terutama Jawa, banyak diwarnai nama kuliner yang jorok, “ngeres”, dan “saru” (bernuansa seksualitas). Di antaranya yang bisa disebut adalah tolpit atau kontol kejepit yang merupakan nama kue khas Bantul, Yogjakarta. Kuliner...

The post Turuk Bintul, Penganan Jadul Khas Jawa Tengah appeared first on TelusuRI.

]]>
Dalam khazanah kuliner Nusantara, terutama Jawa, banyak diwarnai nama kuliner yang jorok, “ngeres”, dan “saru” (bernuansa seksualitas). Di antaranya yang bisa disebut adalah tolpit atau kontol kejepit yang merupakan nama kue khas Bantul, Yogjakarta. Kuliner ini sebenarnya bernama kue adrem, terbuat dari bahan baku utama tepung beras dan gula merah. Tetapi gegara bentuknya, kuliner ini populer dengan nama kue tolpit.

Di Semarang, juga ada kuliner yang namanya tak kalah jorok,“ngeres”, dan “saru”, yaitu kupat jembut. Kuliner ini hadir di setiap perayaan kupatan (lebaran ketupat) atau tradisi Syawalan di daerah Jaten, Genuksari, dan beberapa daerah di wilayah Pedurungan Tengah, Semarang. 

Dalam bahasa Jawa, jembut sering dipakai untuk menyebut rambut pada kemaluan wanita. Disebut kupat jembut, karena ketupat yang ada dalam tradisi di daerah ini, tampil dengan cara dibelah tapi tidak putus, lalu di dalamnya disisipkan olahan taoge. Sehingga sekilas nampak seperti alat kelamin perempuan lengkap dengan rambut-rambutnya. Dari sinilah nama kupat jembut berasal.

Selain itu, di beberapa daerah lainnya juga dijumpai nama-nama kuliner yang juga jorok, di antaranya es dawet jembut kecabut—yang sesungguhnya merupakan kuliner es dawet ireng khas Purworejo. Nama “jembut kecabut” sendiri sebenarnya merupakan akronim dari lokus atau tempat mangkal kuliner ini, yakni “Jembatan Butuh, Kecamatan Butuh”. Butuh merupakan nama kecamatan di Kabupaten Purworejo.

Apabila disisir, masih banyak lagi sebenarnya nama-nama kuliner di Jawa yang jorok, “ngeres”, dan “saru”. Seperti peli kipu, rondo royal, dan lain sebagainya.

Menurut sejarawan asal Solo, Heri Priyatmoko, sebagaimana dikutip Detik.com, orang Jawa (zaman dulu) tidak memperumit dalam perkara penamaan sesuatu. Acap terinspirasi dengan apa yang dijumpai di sekitarnya. Penamaan makanan itu disepakati secara kolektif, hingga akhirnya nama itu (melekat) turun-temurun dan kemudian populer sebagai penamaan umum hingga sekarang.

Teruk bintul
Turuk tintul siap disantap. Sangat nikmat sebagai teman minum kopi atau teh hangat/Badiatul Muchlisin Asti

Turuk Bintul, Kudapan Jadul dari Grobogan

Di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, ternyata juga ada kuliner berupa kudapan tradisional bercita rasa tempo dulu yang memiliki nama jorok, “ngeres”, dan “saru”, yaitu turuk bintul. Jorok dan “saru” karena kata “turuk” dalam bahasa Jawa (pasaran) merupakan kata vulgar untuk menyebut “organ kemaluan perempuan”. Sedang “bintul” berarti bentol atau bengkak kecil, merujuk pada kulit yang bentol akibat digigit semut atau nyamuk. 

Kudapan tradisional turuk bintul ini eksistensinya sudah sulit dijumpai, (nyaris) dilupakan, bahkan banyak generasi muda yang tidak tahu soal kuliner ini. Terinspirasi untuk mengangkat kembali kuliner jadul itu, dengan tujuan agar eksistensinya tidak punah dan dilupakan, sebuah rumah makan di Kabupaten Grobogan bernama Rumah Makan Mbak Nik, sejak tahun 2005 lalu menyediakan kudapan berbahan baku utama beras ketan dan kacang tolo itu. 

  • Teruk bintul
  • Teruk bintul
  • Teruk bintul

Rumah Makan Mbak Nik sendiri merupakan destinasi kuliner yang berada di Jalan Raya Purwodadi–Semarang, tepatnya di Desa Klampok, Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan. Rumah makan yang telah berdiri sejak 2 Februari 2002 itu menyediakan pelbagai menu khas Jawa seperti mangut ndas manyung, garang asem ayam kampung, semur kuthuk, opor ayam, sayur lodeh, dan sebagainya. Dan tentu saja menu andalannya, yaitu ayam goreng dan bakar. 

Di antara menu-menu itu, Rumah Makan Mbak Nik juga menyediakan aneka kudapan, di antaranya yang spesial adalah turuk bintul. Pemilik Rumah Makan Mbak Nik, HM. Umar Syahid, menyatakan bahwa turuk bintul merupakan penganan tradisional warisan leluhur Grobogan tempo dulu. Dulu, kudapan ini sangat mudah dijumpai dan sering dibuat, terutama untuk keperluan suguhan acara-acara pesta hajatan warga, seperti saat mantenan dan sunatan. Saat ini, dia menyediakan kudapan itu di rumah makan miliknya dengan tujuan untuk nguri-nguri atau melestarikan kuliner warisan leluhur yang saat ini sudah jarang dijumpai, bahkan nyaris dilupakan.

Di rumah makan miliknya, HM. Umar Syahid melabeli kudapan turuk bintul dengan “teruk bintul”. Kata “teruk” disematkan untuk memperhalus kata “turuk” yang dalam linguistik Jawa masa kini terkategori vulgar. Apalagi tambahan kata “bintul” yang semakin memperkuat kesan jorok dan “saru”.

Bercita Rasa Gurih, Pulen, dan Lembut

Turuk Bintul sendiri adalah penganan yang terbuat dari bahan baku utama beras ketan dan kacang tolo, serta parutan kelapa dan garam. Cara membuatnya yakni dengan masak beras ketan. Lalu, setelah air menyusut, angkat. Campurkan kelapa parut dengan nasi ketan, kukus sampai matang.

Teruk bintul
Bahan-bahan untuk membuat turuk bintul/Badiatul Muchlisin Asti

Selanjutnya, tumbuk ketan selagi panas sampai lengket dan kalis, baru kemudian ditaburi kacang tolo kukus. Kacang tolo inilah yang mencuatkan kesan seolah-olah terdapat bekas bintul atau bengkak-bengkak kecil, sehingga dari sinilah kemudian kudapan ini dinamakan turuk bintul.

Dalam penyajiannya, ketan yang sudah ditumbuk dan ditaburi kacang tolo, dibungkus daun pisang menyerupai lontong namun bentuknya lebih kecil. Bentuknya mirip lemper atau arem-arem. Saat menyantapnya, bungkus daun pisang dibuka, lalu turuk bintul dipotong-potong seperti memotong lontong. Turuk bintul bercita rasa gurih, pulen, dan lembut. Sangat nikmat disantap sembari menyeruput kopi atau teh hangat.

Sebagai kuliner pusaka (heritage culinary), turuk bintul bukanlah spesifik khas Grobogan. Kudapan jadul ini juga bisa dijumpai di daerah lain, utamanya di lingkup Jawa Tengah. Bahkan turuk bintul sangat terkenal di Jepara. Di Bumi Kartini itu, masih banyak dijumpai penjual turuk bintul. Bahkan turuk bintul populer juga sebagai kudapan khas Jepara.

Bahkan lagi, turuk bintul juga hadir dalam versi yang berbeda. Di Desa Wates, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali, turuk bintul hadir dengan versi terbuat dari bahan utama tepung singkong. Dalam perspektif sejarahnya di masa lalu, masyarakat Desa Wates kesulitan mendapatkan bahan pangan beras karena mahal, sehingga menjadikan singkong sebagai bahan konsumsi pengganti.

Dari situlah lahir kreativitas membuat kudapan bernama turuk bintul yang terbuat dari tepung singkong. Kudapan turuk bintul khas Desa Wates biasa disantap dengan parutan kelapa atau gula pasir dan eksistensinya masih bisa dijumpai hingga saat ini.

Terlepas dari soal nama yang jorok, “ngeres”, dan “saru”, turuk bintul adalah kuliner warisan leluhur yang memperkaya khazanah gastronomi tradisional Nusantara, yang layak diuri-uri atau dilestarikan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Turuk Bintul, Penganan Jadul Khas Jawa Tengah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/turuk-bintul-penganan-jadul-khas-jawa-tengah/feed/ 0 38155
Dari Dapur Rawon Rampal https://telusuri.id/dari-dapur-rawon-rampal/ https://telusuri.id/dari-dapur-rawon-rampal/#respond Tue, 21 Feb 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36274 Siang itu, belum ada satu butir nasi yang masuk ke perut sejak pagi. Saya lalu teringat beberapa hari sebelumnya, Rifqy merekomendasikan cukup banyak tempat makan yang bisa jajal satu per satu selama di Malang. Namun,...

The post Dari Dapur Rawon Rampal appeared first on TelusuRI.

]]>
Siang itu, belum ada satu butir nasi yang masuk ke perut sejak pagi. Saya lalu teringat beberapa hari sebelumnya, Rifqy merekomendasikan cukup banyak tempat makan yang bisa jajal satu per satu selama di Malang. Namun, hingga hari terakhir saya di sini, tak satupun yang sempat saya singgahi. Dengan impulsif, saya memutuskan untuk mencicipi salah satu dari daftar tersebut. Adalah rawon rampal—kuliner legendaris khas Kota Malang yang sudah ada sejak 1957—sebagai penutup perjalanan.

Ketika tiba, saya dihadapkan pada sebuah bangunan klasik layaknya rumah hunian berwarna cokelat–merah. Bentuknya memanjang ke belakang. Halamannya tak luas, hanya cukup untuk memarkir beberapa mobil saja. Di bagian depan, terpampang plang “RAWON RAMPAL” dengan warna senada. Posisinya begitu tinggi, sehingga saya harus melongok ke atas untuk membacanya dengan jelas.

raowan rempal
Papan plang warung yang menjulang tinggi/Mauren Fitri

Bagian dalam warung mengingatkan saya pada warung-warung serupa di kawasan Kota Lama Semarang. Lawas, terkesan. Kursi “kondangan” saya menyebutnya, tertata rapi di samping meja persegi panjang yang jumlahnya hanya empat buah. Di temboknya, selain tergantung menu warung ini, juga ada jam klasik dan beberapa foto tua. Saya tidak terlalu memperhatikan, tapi tampaknya foto tersebut merupakan foto “orang-orang penting” yang pernah berkunjung ke sini.

Segera saya mendatangi si empunya. Kaca lebar memisahkan kami saat berinteraksi. Mungkin untuk menaati protokol kesehatan. Seorang bapak paruh baya berkaus hijau yang menanggalkan maskernya di dagu, tampak sibuk di depan saya, ia mengambil piring dan menanyai lauk kepada pengunjung laki-laki yang berdiri di sebelah kanan saya.

Di belakangnya, aroma sedap menguar dari dua buah panci alumunium besar. Satu panci berisi kuah soto, satu lagi panci berisi kuah rawon. Gelembung-gelembung disertai suara air mendidih terdengar tipis. Mumpal-mumpal, kalau orang Jawa bilang. Dari baunya, terbayang rasa gurih di setiap tetesnya.

Usai menyiapkan pesanan laki-laki tadi, ia kemudian menanyai apa yang ingin saya makan. “Tiga porsi rawon rampal campur, yang satu porsi nasinya setengah saja,” jawab saya cepat. Masih dari bilik kaca, ia tampak cepat menyiapkan pesanan. Mengambil piring, menuangkan nasi putih, lalu menambahkan irisan daging sapi di atasnya. Terakhir, ia tuangkan kuah rawon dengan warna cokelatnya yang khas ke dalam piring, lengkap dengan topping kecambah mentah dan sambal.

“Ada tambahan lain?” tanyanya lagi sambil menyodorkan satu nampan berisi tiga piring nasi rawon rampal.

Karena tak ingin menambah menu lain, saya bergegas membawa nampan tersebut ke meja di depan. Menaruhnya satu per satu di hadapan masing-masing kawan jalan saya seraya berkata “Nih, makan enak kita hari ini.”

Saya punya cara tersendiri untuk mencicipinya, yakni dengan menyeruput kuah rawon untuk merasakan kelezatannya, lalu melanjutkannya dengan menyantap irisan daging sapi yang punya potongan cukup besar, tebal, tetapi empuk. Baru setelah menyantap kesemuanya bersama nasi. Sempurna untuk saya.

Memang tidak salah jika orang banyak rekomendasikan kuliner satu ini, kelezatannya yang tersohor sangat terbukti. Aroma gurih hingga rasa rempah-rempah yang kuat, membuat saya tak berhenti mengunyah. Selain menggunakan resep turun-temurun, cara memasak yang masih tradisional menggunakan kayu bakar menjadi satu rahasia umum yang menjadikan Rawon Rampal punya rasa dan aroma khas.

Seporsi Rawon Rampal pun ludes kurang dari 10 menit. Sisa-sisa kuah rawon yang pekat tanpa lemak saya seruput habis. Sungguh tak rela menyisakannya.

Usai si empunya memperbolehkan saya melihat-lihat dapur, saya menuju para ibu yang sedang asik berbincang sembari mengiris daging sapi. 

“Niki daging kagem rawon kaleh soto, Bu?” “Nggeh, Mbak,” jawabnya serentak.

Di depan mereka, agak ke sebelah kanan, deretan tungku-tungku besi yang nampak sudah berkarat namun nampak kokoh berjajar. Apinya sudah padam, hanya abu yang tersisa. Ada sekitar lima tungku seingat saya, kesemuanya digunakan untuk memasak daging, hingga kuah. Dua buah panci besar dan satu wajan besar “nangkring” di atasnya. Ketika saya tanya isinya apa, salah seorang ibu menjawab isinya adalah stok kuah rawon untuk hari ini.

Untuk sajian esok hari, dapur Rawon Rampal sudah bersiap meraciknya hari ini. Tentu, mereka harus memasak berpanci-panci besar kuah rawon dan pelengkap lainnya. Para ibu tampak asyik mengiris daging, kemampuan mengiris dagingnya tampak tak jauh beda dengan pedagang tempe mendoan. Iris tipis-tipis untuk paru sebagai menu pelengkap, sedangkan iris tebal untuk daging rawon. 

“Senjata” mereka juga lengkap. Selain pisau besar, asahan dari pisau yang terbuat dari batu selalu ada di sampingnya. Sesekali kami bercanda sembari berbincang. Supaya tak dikerumuni lalat, sebuah kipas angin menyala di sisi para ibu. Menghempas serangga dari ordo Diptera ini. Di belakang mereka, seorang ibu lain sedang “memberesi” cabai dan beberapa rempah lain untuk bumbu.

Saya kembali ke dalam warung. “Satu panci rawon itu bumbunya satu kilogram,” ujar si Bapak sembari mengaduk-aduh kuah rawon untuk memisahkan endapan bumbunya. Sesaat kemudian, saya melunasi hidangan yang sudah masuk ke dalam perut dan berpamitan. “Wah, lumayan juga ya Rp50.000 untuk satu porsi rawon rampal. Tapi sebanding sama rasanya sih,” celetuk saya kepada dua rekan perjalanan sembari berjalan ke tempat parkir.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Dapur Rawon Rampal appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-dapur-rawon-rampal/feed/ 0 36274
Lalab, Budaya Kuliner Sunda: Mengeksplorasi Kekayaan Vegetasi https://telusuri.id/lalab-budaya-kuliner-sunda-mengeksplorasi-kekayaan-vegetasi/ https://telusuri.id/lalab-budaya-kuliner-sunda-mengeksplorasi-kekayaan-vegetasi/#respond Wed, 15 Feb 2023 04:00:13 +0000 https://telusuri.id/?p=37231 Dalam khazanah kuliner Indonesia, budaya kuliner masyarakat Sunda telah lama identik dengan kebiasaan melalab. Jejak-jejak historis-arkeologis itu dapat dibaca di buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték Jilid 1 anggitan Dr. Riadi Darwis. Tradisi makan...

The post Lalab, Budaya Kuliner Sunda: Mengeksplorasi Kekayaan Vegetasi appeared first on TelusuRI.

]]>
Dalam khazanah kuliner Indonesia, budaya kuliner masyarakat Sunda telah lama identik dengan kebiasaan melalab. Jejak-jejak historis-arkeologis itu dapat dibaca di buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték Jilid 1 anggitan Dr. Riadi Darwis.

Tradisi makan lalab sebagaimana yang tertuang pada sejumlah prasasti dan naskah Sunda kuno, menurut Riadi Darwis, menegaskan bahwa budaya mengonsumsi lalab sudah cukup tua. Bisa jadi, umurnya sejak manusia hadir ke muka bumi.

Riadi Darwis lalu mengingatkan cerita dalam Alquran tentang kisah manusia pertama, Nabi Adam dan Siti Hawa, ketika tergoda ingin memetik dan memakan buah pohon khuldi karena terkena bujuk rayu iblis, hingga akhirnya mereka diturunkan dari surga ke bumi. 

Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték
Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték Jilid 2 diterbitkan oleh UPI Press, Bandung/Badiatul Muchlisin Asti

Lalab dan Citra Budaya Makan Sunda

Sejarawan kuliner Indonesia, Fadly Rahman, dalam artikel berjudul Sunda dan Budaya Lalaban: Melacak Masa Lalu Budaya Makan Sunda (Metahumaniora, nomor 3, Desember 2018) meneguhkan tradisi kuliner lalab pada masyarakat Sunda yang telah berlangsung sejak masa kuno berdasarkan telaah terhadap bukti tinggalan tertulis  dalam prasasti dan naskah.  

Menurut Fadly Rahman, tradisi lalab selaras dengan lingkungan alam Sunda berupa citra tanah suburnya yang mendukung pertumbuhan banyak jenis tanaman bermanfaat untuk bahan lalab. Tradisi itu kemudian membentuk keunikan budaya makan Sunda jika dibandingkan dengan budaya makan di wilayah lainnya di Indonesia.

Kedatangan orang-orang Eropa mempengaruhi kebiasaan makan orang Indonesia. Di antaranya dengan meningkatnya tingkat konsumsi daging. Hal itu seiring dengan pembudidayaan hewan ternak pada abad ke-19 di Jawa dan berbagai wilayah lainnya. 

Namun, kecenderungan itu tidak menampak di kawasan Jawa Barat. Populasi ternak di Jawa Barat ternyata tercatat rendah. Kondisi ini turut berpengaruh pada rendahnya konsumsi protein hewani di kalangan masyarakat Sunda. 

Hingga awal abad ke-20, menurut Fadly Rahman, kebiasaan makan orang Sunda ternyata tetap diidentikkan lekat dengan konsumsi nabati daripada hewani. Setidaknya dalam beberapa riset botani yang dilakukan sarjana kolonial, istilah groentengerechten (makanan sayuran) acap menyebut kata lălăb (sic.) sebagai makanan Soendaneezen (orang Sunda).

Sampai saat ini, lalab boleh dibilang merupakan budaya kuliner yang mencirikan orang Sunda. Sehingga ada yang berkelakar bahwa orang Sunda ‘suka daun muda’—yang dimaksud tentu adalah lalab yang sebagian besar merupakan dedaunan muda.

Kekayaan Vegetasi

Murdijati Gardjito, dkk dalam buku Kuliner Sunda, Nikmat Sedapnya Melegenda (2019) menyatakan, orang Sunda dapat memilah dan memilih daun yang akan dijadikan lalab. Mereka mendapatkan pengetahuan tentang tanaman secara turun-temurun dari orang tuanya. Sejak kecil mereka melihat orang tua dan masyarakat sekitar memakan jenis tumbuhan tertentu sebagai lalab. Kebiasaan ini mendorong masyarakat di sana memanfaatkan pekarangan dan halaman rumah mereka untuk menanam sayuran yang akan dijadikan lalab.

Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, jenis sayuran yang digunakan sebagai lalab antara lain: selada, kacang panjang, mentimun, tomat, daun pepaya, daun singkong, dan daun kemangi. Sedangkan bagi masyarakat Sunda, selain jenis yang sudah umum dikonsumsi tersebut, mereka juga mengonsumsi jenis tanaman lain seperti leunca, kenikir, buah nangka, serta honje atau bunga kecombrang.

Bahkan, beberapa jenis tanaman yang oleh sebagian orang dianggap sebagai hama yang tidak bermanfaat, oleh orang Sunda dapat dinikmati menjadi sajian yang lezat. Selain itu, berbagai jenis umbi-umbian seperti kunyit dan kencur, juga dapat dinikmati sebagai lalab.

  • Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték
  • Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték
  • Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték

Jenis lalaban dalam tradisi makan orang Sunda memang ada banyak jumlahnya. Mengutip penelitian Prof. Unus Suriawiria, sampai tahun 2000 ditemukan tidak kurang dari 200 jenis tanaman yang bisa dijadikan lalab. Namun riset terbaru Dr. Riadi Darwis yang dituangkan dalam buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték Jilid 2 cukup mencengangkan, karena ia telah berhasil mendata tidak kurang 718 jenis tanaman lalab yang masih hidup dan tumbuh subur di kawasan budaya Sunda.

Riset dilakukan oleh Riadi Darwis untuk membuktikan kelangsungan keberadaan lalaban pada masa-masa klasik yang telah dirisetnya. Untuk pembuktian itu, Riadi Darwis melakukan sejumlah observasi ke sejumlah daerah yang ada di kawasan budaya Sunda. Di antaranya yang paling banyak ditemukan varian lalab-nya serta diperjualbelikan di lingkungan masyarakat adalah di daerah Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sukabumi, Kota Sukabumi, Kabupaten Bogor, dan Kota Bogor.

Menurut Riadi Darwis, sangat bisa jadi seluruh kabupaten dan kota tersebut adalah representasi daerah pegunungan, penghasil pertanian dan perkebunan. Tidak mengherankan apabila jumlah varian tanaman lalab akan dengan sangat mudah ditemukan.

Dari 718 jenis tanaman lalab yang didata Riadi Darwis, ada beberapa yang masih menggunakan istilah Latin ataupun bahasa daerah lain karena belum diketahui persamaan bahasa asli daerahnya. Misalnya tanaman bernama Latin Albelmoschus Manihot (L.) Medic (forma anisodactylus, Bakh) yang dikonsumsi sebagai lalab pada bagian daunnya. Ada juga tanaman Acacia rugata (L.) Merr yang dikonsumsi sebagai lalab bagian batangnya. Lalu ada Alocasia culculata Schott di mana yang dikonsumsi sebagai lalab adalah bagian umbinya. Dan banyak lagi, bisa dibaca di buku ini.Kekayaan vegetasi tanaman lalab di kawasan Sunda yang telah didata secara baik oleh Riadi Darwis bisa menjadi referensi dan dokumentasi penting serta bahan kajian lebih lanjut bagi upaya pengembangan gastronomi Sunda di masa-masa mendatang. Buku ini adalah sumbangan penting bagi dunia gastronomi Sunda khususnya, juga bagi dunia gastronomi Indonesia pada umumnya.  


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Lalab, Budaya Kuliner Sunda: Mengeksplorasi Kekayaan Vegetasi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lalab-budaya-kuliner-sunda-mengeksplorasi-kekayaan-vegetasi/feed/ 0 37231
Menelusuri Tradisi Kuliner Bali https://telusuri.id/menelusuri-tradisi-kuliner-bali/ https://telusuri.id/menelusuri-tradisi-kuliner-bali/#respond Fri, 10 Feb 2023 04:00:57 +0000 https://telusuri.id/?p=37152 Bali dikenal dengan keindahan alam dan budaya, termasuk juga di beragam kuliner khasnya. Di kancah kuliner Indonesia dan dunia, Bali menyumbangkan sejumlah kuliner eksotis, di antaranya ayam/bebek betutu dan sate lilit.  Baru-baru ini, CNN merilis...

The post Menelusuri Tradisi Kuliner Bali appeared first on TelusuRI.

]]>
Bali dikenal dengan keindahan alam dan budaya, termasuk juga di beragam kuliner khasnya. Di kancah kuliner Indonesia dan dunia, Bali menyumbangkan sejumlah kuliner eksotis, di antaranya ayam/bebek betutu dan sate lilit. 

Baru-baru ini, CNN merilis daftar 20 kuliner pedas terbaik dunia. Ayam betutu khas Bali masuk di dalamnya bersama dengan kuliner khas Indonesia lainnya, yaitu rendang khas Minang. Hal ini membuktikan bahwa di kancah internasional, kuliner khas Bali mendapatkan tempat. 

Kuliner Khas Bali
Buku Pawon Bali, 60 Resep Masakan Khas Bali Pilihan karya mendiang Nanik Mirna Agung/Badiatul Muchlisin Asti

Sebuah buku berjudul Pawon Bali, 60 Resep Masakan Khas Bali Pilihan karya Nanik Mirna Agung (diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, 2010) merupakan satu dari sejumlah buku yang di dalamnya berupaya mengekplorasi tradisi kuliner Bali. Buku ini bisa menjadi pintu masuk bagi siapapun yang ingin mengenal dan menyigi lebih dalam khazanah kuliner Bali.

Nanik Mirna Agung, penulis buku ini, merupakan istri dari Gde Agung Bharata, Bupati Gianyar periode 2003-2008, yang sebelumnya pernah menekuni dunia jurnalistik sebagai redaktur rubrik feature di sebuah majalah wanita mingguan di Jakarta. Ia juga tercatat pernah menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah remaja di Jakarta.

Saat menjadi istri Bupati Gianyar itulah, Nanik Mirna Agung berkesempatan terjun langsung dari desa ke desa dan membina berbagai kegiatan masyarakat, termasuk dalam bidang kuliner. Perempuan kelahiran Malang, 10 Juni 1951 ini, tak segan bereksperimentasi, belajar dan mencoba, pelbagai resep masakan khas Gianyar.

Rupanya kapasitas sebagai seorang istri bupati yang banyak terjun di masyarakat, dan tekun mencoba berbagai resep masakan khas, serta dipadu dengan latar kemampuan jurnalistik, mengantarkan Nanik Mirna Agung berhasil menuliskan dan menerbitkan buku yang menguak pelbagai resep pilihan masakan khas Bali ini. 

Makna Sebuah Masakan

Di buku setebal 164 halaman ini, Nanik Mirna Agung tidak hanya berbagi  resep saja, namun juga mengulas sejarah dan filosofi masakan tradisional Bali, yang sebagian di antaranya merupakan kelengkapan dari upacara agama Hindu—agama yang dianut sebagian besar masyarakat Bali.

Dalam tradisi kuliner Bali, masakan mengandung dua kategori, yaitu olahan untuk sesaji atau upacara dan olahan untuk jamuan.  Olahan yang diperuntukkan bagi sesaji diistilahkan dengan Dharma CarubanDharma Caruban sendiri terdiri dari dua kata, yaitu Dharma dan Caruban. Dharma berarti “ilmu” dan Caruban berarti “olahan yang dipakai sebagai sarana upacara”.

Bahan olahan untuk Dharma Caruban ini dibagi dalam beberapa kategori, di antaranya: bahan dari hewan berkaki dua seperti angsa, entok, bebek, ayam, dan burung; bahan dari  hewan berkaki empat seperti babi, kambing, sapi, dan kerbau; bahan dari hewan berkaki enam seperti belalang, capung, dan jangkrik;  bahan dari hewan melata seperti penyu dan lindung, serta kategori lainnya dari bahan dedaunan.

Bagi masyarakat Hindu, setiap hewan-hewan yang dikorbankan untuk Dharma Caruban mengandung makna tersendiri. Korban berupa hewan berkaki dua, misalnya, rohnya dikembalikan kepada Bhatara Icwara. Hewan berkaki empat dikembalikan rohnya kepada Bhatara Brahma (Dewa Pencipta). Hewan berkaki delapan seperti ketam dan udang, dikembalikan rohnya kepada Bhatara Wisnu (Dewa Pemelihara, Pelindung, dan Dewa Air). Bagi hewan yang berjalan dengan dada, rohnya dikembalikan kepada Bhatara Mahadewa. 

Bila jenis hewan dibagi dalam beberapa kategori, maka dalam tradisi kuliner Bali, maka jenis hidangan untuk upacara dibagi dalam tiga kategori, yaitu: olahan kering, olahan lembab, dan olahan cair. 

Kuliner Khas Bali
Lawar don belimbing, sajian sayuran khas Bali yang terbuat dari daun belimbing buah/Badiatul Muchlisin Asti

Olahan kering adalah sate—terdiri dari 13 jenis sate, gorengan, brengkes, urutan, limpet, dan gubah. Olahan lembab di antaranya adalah lawar be genyol, be nyatnyat, tum, balung, timbungan, gerang asem, oret, dan semuuk. Adapun olahan cair, penulis tidak menyebutkan contohnya. Namun dalam contoh olahan lembab, gerang asem boleh jadi lebih cocok masuk ke dalam jenis olahan cair karena berkuah. 

Rahasia di Balik Kelezatan

Salah satu keistimewaan dan kekuatan cita rasa kuliner Bali adalah terletak pada bumbu-bumbunya yang ‘kuat’ dan kompleks.  Dalam tradisi kuliner Bali, bumbu-bumbu Bali disebut Basa. Basa adalah bumbu yang membuat masakan menjadi lezat. Bahan-bahannya terdiri dari bumbu pokok dan bumbu pelengkap. Bumbu pokok meliputi: bawang merah, bawang putih, lengkuas, kunyit, jahe, dan kencur. Adapun bumbu pelengkap meliputi: cabai, terasi, gamongan, bangle (temu), tabia bun, jangau, dan kemiri.

Bumbu-bumbu dalam tradisi kuliner Bali juga mengenal beberapa jenis, yaitu Bumbu Genap Besar, Bumbu Genap Kecil, Wewangen, dan Bumbu Kele I. Bumbu genap kecil meliputi: bawang merah, kencur, kemiri, bawang putih, kunyit, laos, cabai rawit, serai, gula merah, terasi, daun limau, daun salam, dan minyak kelapa.

Bumbu Genap Besar terdiri atas campuran Bumbu Genap Kecil ditambah dengan Bumbu Wewangen. Bumbu Genap Besar meliputi: kunyit, laos, jahe, kencur, cabai merah besar, cabai rawit, bawang merah, bawang putih, kemiri, terassi, merica hitam, tabia bun, garam, daun salam, dan mintak kelapa. 

Adapun Bumbu Wewangen terdiri dari merica hitam, merica putih, cengkeh, pala, tabia bun, ketumbar, kemiri, menyan, jangu, bangle, dan kulit jeruk purut. 

Bumbu-bumbu itulah yang menjadi rahasia di balik kelezatan masakan-masakan khas Bali. Hampir semua masakan Bali menggunakan racikan bumbu-bumbu itu. Misalnya dalam masakan bernama gerang asem. Gerang asem adalah sopnya orang Bali. Bahannya terbuat dari ayam kampung. Rasanya hampir mirip dengan garang asem khas Jawa Tengah. Tapi gerang asem Bali lebih lezat karena bumbunya yang lebih kaya dan kompleks, yaitu menggunakan Bumbu Genap Besar.

Kuliner Khas Bali
Betutu, salah satu masakan khas Bali yang masuk daftar 20 kuliner pedas terbaik dunia versi CNN tahun 2022/Badiatul Muchlisin Asti

Resep-resep Pilihan

Resep-resep masakan yang ditampilkan di buku ini adalah resep-resep pilihan dari tradisi kuliner Bali yang tidak hanya digemari oleh masyarakat Bali, namun juga masyarakat Indonesia secara umum, bahkan populer di mancanegara. Mulai dari resep aneka macam sambal seperti sambal ulek dan sambal matah sari segara, resep serba ikan seperti sop kepala ikan lebih dan gerang asem be pasih, serta resep macam-macam sate seperti sate lilit dan sate bentul daging babi.

Buku ini juga memuat resep-resep masakan pada hari-hari khusus saat acara agama dan adat, resep-resep masakan pesta, hingga resep-resep masakan sehari-hari. Masakan sehari-hari masyarakat Bali umumnya rumit tata olahannya. Namun ‘kerumitan’ itulah rahasia di balik kelezatan hidangan masyarakat Bali.    

Makanan utama masyarakat Bali umumnya berupa olahan dari daging babi. Daging sapi hampir tak masuk dalam tradisi kuliner Bali, karena masyarakat Bali menghormati sapi sebagai satwa sakral. Tingkat konsumsi daging babi pada masyarakat Bali, misalnya, bisa dipotret dari data konsumsi daging babi di Kota Gianyar. Di Kota Gianyar  yang berpenduduk kurang lebih 35.000 jiwa, daging babi dikonsumsi sebanyak 1 kg setiap harinya.

Namun tradisi kuliner Bali tak memulu didominasi masakan berbahan daging (terkhusus babi), namun juga sayur mayur dan buah-buahan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, sayur mayur merupakan hidangan kedua setelah masakan babi. Di buku ini juga memuat resep-resep sayur ala Bali, seperti urap, lawar don belimbing, timun mesanten, jukut pusuh biu, dan lainnya.

Kiranya buku ini merupakan referensi penting untuk mengenal dan mengeksplorasi kekayaan khazanah kuliner khas Bali. Namun, ada duka di balik kehadiran buku ini ke hadapan pembacanya. Buku ini terbit, namun Nanik Mirna Agung sebagai penulisnya, tak sempat menyaksikan kehadiran buku karyanya ini.   

Ya, Nanik Mirna Agung keburu meninggal sebelum melihat buku karyanya ini terbit. Ia meninggal dunia pada Minggu, 5 September 2010, karena tergulung ombak laut Pantai Sedayu, Kabupaten Klungkung, Bali—saat berjalan-jalan dengan suaminya di pantai tersebut. Namun, ia telah mewariskan karya penting yang menghimpun resep-resep pusaka pilihan mahakarya leluhur Bali. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Tradisi Kuliner Bali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-tradisi-kuliner-bali/feed/ 0 37152
Lontong Sambel Mbah Jami, Kelezatan Kuliner Khas Desa Kalirejo Sejak 1970-an https://telusuri.id/lontong-sambel-mbah-jami-kuliner-khas-desa-kalirejo/ https://telusuri.id/lontong-sambel-mbah-jami-kuliner-khas-desa-kalirejo/#respond Wed, 08 Feb 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37154 Indonesia sangat kaya akan khazanah kuliner. Hampir setiap daerah, dari Sabang sampai Merauke, memiliki kuliner khas masing-masing. Sebagian kuliner-kuliner khas itu ada yang sangat populer dan dikenal khalayak luas hingga lintas daerah, lintas provinsi, masyhur...

The post Lontong Sambel Mbah Jami, Kelezatan Kuliner Khas Desa Kalirejo Sejak 1970-an appeared first on TelusuRI.

]]>
Indonesia sangat kaya akan khazanah kuliner. Hampir setiap daerah, dari Sabang sampai Merauke, memiliki kuliner khas masing-masing. Sebagian kuliner-kuliner khas itu ada yang sangat populer dan dikenal khalayak luas hingga lintas daerah, lintas provinsi, masyhur hingga pentas nasional, bahkan internasional. Sebagian lain masih “tersembunyi” karena sifatnya yang memang sangat lokal (terroir). Kuliner-kuliner itu eksis di kampung alias “ndeso”, telah melintasi zaman, namun tak terteroka oleh media. Bahkan warganet atau para influencer yang umumnya kalangan muda, tak tergiur untuk mengeksposnya. Mungkin dianggap kuliner kuno yang sama sekali tidak kekinian. 

Salah satunya, boleh jadi, adalah lontong sambel, sajian khas Desa Kalirejo, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah—kampung halaman saya. Bagi saya, lontong sambel adalah sajian khas Desa Kalirejo, yang saya tidak atau belum menjumpainya ada di kampung atau daerah lain.

Sejak kecil, sebut saja era tahun 1980-an, saya sudah biasa menyantap kuliner ini. Kebetulan almarhum budhe (kakak perempuan ibu) saya, populer dengan panggilan Mbah Jar, termasuk pemilik warung lontong sambel yang populer dan legendaris di kampung.

Selain lontong sambel, Warung Mbah Jar—begitu warga biasa menyebut—yang terletak di Dusun Beru, juga menyediakan kopi yang terkenal sangat enak. Sehingga warungnya biasa menjadi tempat nongkrong bapak-bapak setiap pagi, sore, dan malam hari—hingga sekarang.

Sepeninggal Mbah Jar—atau saya biasa menyapanya Mbok Dhe Jar, warung diteruskan oleh anak perempuannya yang saya biasa menyapanya Mbak Tin. Hingga kini, sajian lontong sambel tetap ada di Warung Mbah Jar yang sangat legendaris itu. Lontong sambel di Warung Mbah Jar tersedia setiap sore. Bila pagi, warung menyediakan sajian sega kulub atau nasi urap sayur sebagai menu sarapan.

Lontong sambel Mbah Jami
Mbah Jami tengah mengulek sambal kacang untuk pembeli lontong sambelnya/Badiatul Muchlisin Asti

Lontong Sambel Mbah Jami

Ternyata, selain Warung Mbah Jar, di Desa Kalirejo juga terdapat warung legendaris lain yang menyediakan sajian lontong sambel. Warung itu berada di Dusun Pojok. Penjualnya bernama Mbah Jami yang sudah berjualan lontong sambel sejak tahun 1970-an.

Suatu sore, pada pertengahan bulan Desember 2022, saat pulang kampung, saya menyempatkan menyambangi warung ini ditemani Supangat—atau saya biasa menyapanya Kang Pangat, teman masa kecil saya sekaligus teman satu kelas di SD Negeri Kalirejo 2. Saya pun bertemu dengan Mbah Jami—sang pemilik warung. Kepada saya, Mbah Jami bercerita bahwa dirinya sudah berjualan sejak masih lajang atau belum menikah.

Awalnya berjualan jajanan tradisional di pasar, namun setelah menikah tahun 1974, Mbah Jami memilih membuka warung sederhana di rumahnya di Dusun Pojok. Sejak saat itulah Mbah Jami berjualan lontong sambel dan masih eksis hingga sekarang.

Perjalanan yang panjang. Bila dihitung nyaris bermasa tempuh setengah abad. Boleh dibilang warung lontong sambel Mbah Jami ini tergolong legendaris. Namun boleh jadi, lokasi warung yang berada di desa, menjadikan warung ini tetap tampil “apa adanya”.

Menurut saya, Warung Mbah Jami adalah potret warung sederhana di sebuah kampung, yang setia menjaga cita rasa sajian kuliner khas desa, dengan target market warga kampung sendiri, yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani—yang boleh dibilang “hanya berduit ketika panen”. Kondisi ekonomi warga yang fluktuatif itu juga memengaruhi ramai tidaknya Warung Mbah Jami.    

  • Lontong sambel Mbah Jami
  • Lontong sambel Mbah Jami
  • Lontong sambel Mbah Jami

Lontong Sambel, Lontong Campur Versi Minimalis

Apa itu lontong sambel? Secara penampilan, lontong sambel boleh dibilang identik dengan lontong campur—yang juga sajian kuliner khas Grobogan. Namun lontong sambel adalah lontong campur dengan sajian bumbu (sambal kacang) yang lebih minimalis.

Lontong sambel Mbah Jami
Lontong sambel, sepiring mendoan, dan segelas kopi panas/Badiatul Muchlisin Asti

Bumbu sambal kacang dalam lontong sambel hanyalah cabai rawit dan bawang putih mentah yang diulek dengan kacang tanah goreng. Ini berbeda dengan bumbu sambal kacang dalam lontong campur yang lebih kompleks. Bumbu sambal kacang dalam lontong campur ada bubuhan gula merah, air larutan asam jawa, juga daun jeruk. Sehingga tentu memengaruhi taste-nya. 

Dalam seporsi lontong sambel, potongan lontong diberi potongan tahu goreng, taoge mentah, dan rajangan kubis mentah (sesuai selera), lalu diguyur dengan sambal kacang yang baru dibuat. Kemudian dibubuhi kecap manis dan ditaburi irisan tipis bawang merah goreng yang gurih dan renyah.

Meski minimalis, namun jangan tanya soal kelezatannya. Lontong sambel bercita rasa gurih dan manis yang sangat nikmat di lidah. Lontong yang lembut sangat lezat dipadu dengan potongan tahu goreng dan sambal kacang dadakan.

Di Warung Mbah Jami, lontong sambel biasa disantap dengan lauk berupa kerupuk dan aneka gorengan seperti mendoan dan bakwan.  Minumnya teh manis hangat. Atau bila sedang gerah karena cuaca panas, es teh manis menjadi pilihan yang menggiurkan.

Sebagaimana di Warung Mbah Jar, di Warung Mbah Jami juga menyediakan kopi. Jadi tak ada salahnya menyantap lontong sambel dengan minumnya kopi panas yang sangat nikmat diserutup di sore hari.

Selain lontong sambel, Warung Mbah Jami juga menyediakan variasi menu lainnya yang masih berbasis lontong, yaitu lontong pecel dan lontong lodeh. Keduanya juga sajian kuliner khas desa yang menyemburatkan kelezatan yang ngangeni (bikin rindu) dan nglangeni (bikin nagih). Layak dicoba. Monggo.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Lontong Sambel Mbah Jami, Kelezatan Kuliner Khas Desa Kalirejo Sejak 1970-an appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lontong-sambel-mbah-jami-kuliner-khas-desa-kalirejo/feed/ 0 37154
Mencicipi Sega Pager, Menu Sarapan Khas Godong https://telusuri.id/sega-pager-menu-sarapan-khas-godong/ https://telusuri.id/sega-pager-menu-sarapan-khas-godong/#respond Wed, 18 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36898 Sarapan bagi masyarakat Indonesia seperti sebuah keharusan. Meski menu sarapan masing-masing daerah, bahkan masing-masing orang, boleh jadi berbeda. Ada orang yang cukup sarapan dengan ngeteh atau ngopi dengan teman cemilan. Ada yang hanya mengonsumsi buah-buahan...

The post Mencicipi Sega Pager, Menu Sarapan Khas Godong appeared first on TelusuRI.

]]>
Sarapan bagi masyarakat Indonesia seperti sebuah keharusan. Meski menu sarapan masing-masing daerah, bahkan masing-masing orang, boleh jadi berbeda. Ada orang yang cukup sarapan dengan ngeteh atau ngopi dengan teman cemilan. Ada yang hanya mengonsumsi buah-buahan dan air putih—biasanya untuk tujuan diet dan kesehatan. Atau ada pula—boleh jadi mayoritas—yang masih mengandalkan menu sarapan berbasis beras, baik dalam wujud nasi, lontong, ketupat, maupun bubur.  Di sejumlah daerah, terdapat menu sarapan khas yang bersifat terroir (karakteristik lokal). Di antaranya ada lentog tanjung (Tanjungkarang, Kudus), nasi tumpang koyor (Salatiga),  ketupat sayur dan nasi uduk (Betawi), dan banyak lagi. Di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, juga ada menu sarapan khas yang memiliki lokalisme kuat. Namanya unik: sega pager. 

sega pager
Sega pager biasa disantap dengan aneka gorengan seperti bakwan/Badiatul Muchlisin Asti

Sega pager merupakan menu sarapan khas Godong—nama salah satu kecamatan di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Minggu (19/1/2020), sebelum pandemi COVID-19 melanda negeri ini, sempat dihelat Festival Sega Pager yang dihadiiri Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.

Sejak dihelat dalam balutan festival, sega pager menjadi trending topic. Banyak orang yang makin mengenal kuliner ini. Bahkan setelahnya, “menjamur” lapak-lapak sega pager di lintas kecamatan, hingga lintas kabupaten seperti Kudus dan Demak. 

Padahal sebelumnya, sega pager hanya terkenal di lingkup Kecamatan Godong—sebagai  lokus di mana kuliner ini berasal mula. Itupun hanya bisa dijumpai di tiga desa yang berdampingan—yaitu Desa Ketitang, Desa Bugel, dan Desa Godong. Sedang jumlah desa di Kecamatan Godong sendiri mencapai 28 desa.

Dari ketiga desa itu, tak diketahui jejak historisnya, dari warga desa mana dari ketiga desa itu yang warganya mengkreasi atau menjadi kreator pertama kali sega pager. Jejak yang terlacak hanya menyebutkan bahwa di masing-masing tiga desa itu, terdapat generasi pertama pelopor kuliner ini, yaitu Mbah Turmudi (Ketitang), Mbah Sin (Bugel), dan Mbah Nyampen (Godong). Dari hasil wawancara sejumlah narasumber menyebutkan, sega pager diperkirakan sudah eksis sejak tahun 1960-an.

Apa Itu Sega Pager?

Nama aslinya sebenarnya bukan sega pager, melainkan sega janganan. Di era media sosial, nama sega pager lebih banyak disebut, sehingga nama sega pager kemudian menggeser dan menjadi lebih populer dibanding nama sega janganan. Boleh jadi, nama sega pager lebih branded dan lebih memantik tanya dan penasaran dibanding sega janganan.

Sega, dalam bahasa Jawa artinya nasi. Pager artinya pagar. Sega pager berarti “nasi pagar”. Saat memberi sambutan pada Festival Sega Pager, Gubernur Jawa Tengah,Ganjar Pranowo, sempat berseloroh, “Wong Godong orangnya sakti-sakti, pager saja dimakan.” Seloroh orang nomor satu di Jawa Tengah itu, yang disambut respons tawa gemuruh dari ribuan orang yang hadir di festival.  

Sega pager sendiri adalah hidangan berupa nasi yang disajikan dalam pincuk yang terbuat dari daun pisang, lalu diberi urap sayur dan diguyur saus kacang tanah, lantas diberi toping uyah goreng dan pethet rebus. Uyah goreng adalah serundeng versi asin dalam hidangan Jawa—terbuat dari parutan kelapa, dibumbui, lalu disangrai. 

Adapun pethet adalah biji mlanding (petai cina). Komposisi inilah yang menjadikan kuliner ini mencuatkan cita rasa khas dan istimewa. Kata “pager” dalam sega pager berasal dari sayuran yang biasa digunakan dalam sajiannya. Sayurannya berasal dari tanaman yang tempo dulu sering dimanfaatkan sebagai “pagar hidup”—juga  banyak ditanam di pekarangan rumah—sehingga sajian ini pun kemudian dinamai sega pager.

Dulu, sayuran yang biasa dibuat sebagai urap untuk sega pager adalah daun mlanding muda, kèplèk—kulit mlanding muda yang belum berbiji, daun kenikir, daun beluntas, daun ketela pohung, daun lembayung, dan daun pepaya. Aneka sayuran itu masing-masing direbus, kemudian diperas untuk menghilangkan airnya, dan diiris agak lembut.

Sekarang, sayurannya menyesuaikan yang ready saja. Seporsi sega pager biasa dinikmati dengan aneka gorengan seperti bakwan, mendoan, tahu isi, rempeyek, dan kerupuk. Juga ada penjual yang melengkapinya dengan pilihan lauk lainnya seperti telur bacem dan telur dadar. Minumnya es teh atau teh hangat.

Penyanjian yang Otentik

Melihat awal kemuculan sega janganan atau sega pager, yaitu sekitar tahun 1960-an, mengingatkan kita pada saat pekarangan rumah biasa ditanami berbagai macam tanaman yang bisa digunakan untuk kebutuhan pangan keluarga—sekaligus sumber ekonomi.  

Seperti yang dinyatakan Andreas Maryoto, pada masa lalu pekarangan lebih berfungsi sebagai basis pangan rumah tangga dibandingkan sebagai sumber ekonomi. Hasil pekarangan baru dijual ke pasar bila sebuah keluarga membutuhkan pangan lain atau alat-alat rumah tangga yang tidak bisa dibuat sendiri. (Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan, 2009).

Selain pekarangan, pada masa-masa itu jamak dijumpai “pagar hidup”—yaitu konsep pagar rumah yang terbuat dari tanaman tertentu seperti beluntas dan katuk. Kedua tanaman itu bisa dijadikan sumber pangan, yaitu daun mudanya bisa dijadikan urap dan lalapan.

Konsep ketahanan pangan melalui pekarangan rumah itulah yang sepertinya dikreasi secara genial oleh warga Godong menjadi menu sarapan berupa sega pager. Boleh dibilang, sega pager merupakan ekspresi otentik kearifan lokal (local genius) masyarakat Godong dalam memanfaatkan potensi alam di sekitarnya.

Kearifan itu berlanjut hingga kini. Tidak hanya berupa masih terus dilestarikan, bahkan dikembangkannya, sega pager sebagai menu sarapan khas Godong, namun juga pelestarian pada penyajian yang otentik—yang berbasis pada kearifan ekologis, yaitu menggunakan pincuk dari daun pisang. 

Boleh dibilang, 95% penjual sega pager di Kecamatan Godong—bahkan yang di luar, masih mempertahankan penyajian sega pager yang otentik dengan menggunakan pincuk. Lalu sendoknya pakai suru, yang juga terbuat dari daun pisang—namun untuk yang satu ini, saat ini sifatnya opsional, karena banyak yang lebih nyaman memakai sendok logam.

Para Pelestari Sega Pager

Semua generasi pertama pelopor sega pager sudah meninggal dunia dan penjual yang ada sekarang adalah generasi penerus dengan kisaran masa tempuh berjualan antara 10 hingga 30-an tahun. Ada juga pendatang baru yang menjajal peruntungan dengan berjualan sega pager. Apalagi setelah dihelat Festival Sega Pager, lebih banyak lagi dijumpai penjual baru di banyak tempat, baik di dalam maupun di luar Godong.
Salah satu generasi penerus atau pelestari sega yang banyak penggemarnya adalah Mbak Ngatminah. Perempuan kelahiran 1965 yang berjualan sega pager di teras rumahnya di Kampung Bugel Kauman, Desa Bugel itu, telah berjualan kuliner ini sejak sekira 30-an tahun yang lalu (1990). Ia berjualan sega pager meneruskan almarhum budhe-nya, bernama Aminah—yang dulu berjualan di Pasar Godong.

Selain Mbak Ngatminah, di Desa Bugel juga ada Mbah Siu yang juga telah berjualan makanan ini sejak sekira 20-an tahun. Ia meneruskan usaha bulik-nya, bernama Mbah Bonah, yang kini telah tiada.

Pelestari lainnya, Mbak Ika, yang setiap hari membuka lapak di Jalan Pemuda, Desa Godong. Ia adalah generasi ketiga. Ia meneruskan almarhum neneknya, Mbah Nyampen—yang disebut-sebut salah satu generasi pertama pelopor makanan ini.

  • Mendoan
  • Penjual sega pager
  • Sega Pager Mbak Ngatminah

Adapun di Ketitang, sepeninggal Mbah Turmudi, tidak ada keturunannya yang meneruskan usaha berjualan sega pager. Tapi beruntung, ada beberapa warga Ketitang yang berinisiatif berjualan sega pager. Antara lain Ibu Miyati, warga Ketitang, yang telah berjualan sega pager sejak sekira 10-an tahun lalu. Dan masih banyak lagi.

Bila sedang melintas Jalan Raya Purwodadi–Semarang di pagi hari, dan melewati pasar Godong, silahkan berburu sega pager. Jangan khawatir akan “tersesat” alias sulit menemukan pelapak sega pager. Karena pelapak sega pager di sekitar pasar Godong sangat banyak. Bahkan di Jalan Pemuda, Desa Godong—atau pertigaan timur pasar Godong arah ke selatan, arah ke Juwangi-Boyolali, di sepanjang jalan banyak dijumpai pelapak sega pager di pinggir jalan. Tinggal pilih saja. 

Selamat berburu!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mencicipi Sega Pager, Menu Sarapan Khas Godong appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sega-pager-menu-sarapan-khas-godong/feed/ 0 36898