kulon progo Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kulon-progo/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 17 Mar 2025 10:54:46 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kulon progo Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kulon-progo/ 32 32 135956295 Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo https://telusuri.id/mengulik-kehidupan-warga-di-sekitar-waduk-sermo-kulon-progo/ https://telusuri.id/mengulik-kehidupan-warga-di-sekitar-waduk-sermo-kulon-progo/#respond Sun, 29 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42756 Perlu jarak tempuh 35 km dengan sepeda motor dari Kota Yogyakarta untuk mencapai Waduk Sermo di Kulon Progo. Meski cuaca panas terik, perjalanan panjang melalui Jalan Wates tidak membuatku jenuh karena aku ditemani oleh Afrinola,...

The post Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo appeared first on TelusuRI.

]]>
Perlu jarak tempuh 35 km dengan sepeda motor dari Kota Yogyakarta untuk mencapai Waduk Sermo di Kulon Progo. Meski cuaca panas terik, perjalanan panjang melalui Jalan Wates tidak membuatku jenuh karena aku ditemani oleh Afrinola, teman kuliahku yang selalu asyik diajak ngobrol dan bercanda.

Sekitar 11 km sebelum tiba, kami sempatkan istirahat dulu untuk makan di warung Mie Ayam Pakde Wonogiri dan ibadah di masjid terdekat. Setelah itu, perjalanan kami lanjutkan ke Waduk Sermo.

Setelah hampir sampai, kami mencoba masuk melalui jalur utama. Namun, sayang sekali ternyata jalur itu tutup dan sudah dipindah. Akhirnya kami berputar arah dan mengikuti petunjuk untuk mencapainya. Kami dikenakan Tarif Pemungutan Retribusi (TPR) Rp10.000 per orang. Jalur baru yang kami lewati lumayan berkelok disertai tebing dan pepohonan di kiri dan kanan. Jalan yang membelah bukit sangat mengesankan bagiku, mengingatkanku kala study tour SMP dulu ke Pantai Pandawa, Bali.

Begitu waduk terlihat, aku memutuskan untuk berhenti dahulu di tempat yang cocok untuk istirahat dan memandangi waduk. Kami memilih tempat bernama Gumuk Sriti, ada gardu pandangnya di sana. Akan tetapi, gardu pandang yang terbuat dari kayu itu sudah rapuh dan tidak layak digunakan, sehingga kami memilih duduk di rerumputan dan berteduh di bawah pohon. Aku melihat waduk yang begitu luas, perahu lalu-lalang, area camping, beberapa wisatawan, dan nelayan di sekitarnya.

  • Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo
  • Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo

Waduk sebagai Sumber Pencaharian Warga

Kami mencoba mendekati dan mewawancarai salah satu nelayan untuk menggali lebih dalam kehidupan mereka. Nelayan itu bernama Mas Lovenda.

Mas Lovenda menjelaskan bahwa mencari ikan di Waduk Sermo sudah menjadi mata pencaharian bagi warga sekitar. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak sehabis pulang sekolah atau pada saat liburan kadang juga ikut mencari ikan di waduk. Jenis-jenis ikan yang didapat sendiri banyak, seperti betutu, nila, gurame, bawal, dan gabus.

Cara nelayan menangkap ikan menggunakan dua opsi, yaitu menebar jala atau membentangkan jaring. Tidak ada opsi untuk menggunakan pancing, karena opsi itu menyulitkan nelayan mendapatkan ikan.

“Kalau pake pancing susah kalo kayak kami nelayan. Sulit dapet ikan. Kalau yang mancing ‘kan paling cuma buat hiburan. Bukan buat mata pencaharian,” kata Mas Lovenda.

Saya juga sempat menanyakan perihal waktu yang tepat untuk mendapatkan ikan. Mas Lovenda menjelaskan bahwa waktu untuk mendapatkan ikan tidak pasti. Tidak ada patokan waktu untuk mencari ikan. Akan tetapi, jika kondisi sehabis hujan, ikan sulit didapatkan.

Mas Lovenda juga menentukan waktu untuk membentangkan jaring. “Cuma ‘kan kalo jaring dibatasi dari jam 4 sore, baru bisa pasang jaring.”

“Oh, kenapa alasannya, Mas?” tanyaku.

“Kan ada perahu, dari pariwisata itu.”

Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo
Potret Mas Lovenda sedang menebar jala di salah satu sisi Waduk Sermo/Danang Nugroho

Kalau malam Mas Lovenda pasang jaring, maka jaring diambil pada pagi hari sebelum wisata Waduk Sermo buka karena takut terkena perahu wisata yang berlalu-lalang. Mas Lovenda dan para nelayan lainnya menebar jaring menggunakan rakit. Nantinya jaring dibentangkan sesuai dengan posisi yang sudah mereka tentukan. Setelah itu mereka mencari ikan lagi dengan cara menebar jala.

Ikan yang mereka dapatkan terkadang dikonsumsi pribadi atau dijual. Biasanya ikan itu dijual ke pengepul. Kalau dijual ke pengepul bisa dapat Rp20.000 per kg, sedangkan jika ke luar pengepul mencapai Rp30.000 per kg.

Mas Lovenda sendiri biasanya menjual ikan ke pengepul karena lebih efektif dan hemat tenaga. Rata-rata per hari bisa mendapat 5 kilogram ikan atau jika dirupiahkan bisa Rp100.000 per harinya. Pikirku, “Jika itu konsisten selama sebulan, maka sudah melebihi UMR Jogja.”

Bagi Mas Lovenda, nelayan itu bebas. Tidak terikat waktu untuk berangkat. Siang dan malam bisa untuk mencari ikan. Karena Mas Lovanda hendak menebar jala, aku dan Afrinola mengucapkan terima kasih dan pamit untuk melanjutkan berkeliling Waduk Sermo. 

Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo
Sejumlah tenda pengunjung di salah satu area perkemahan Waduk Sermo/Danang Nugroho

Mengitari Waduk Sermo dalam Sekali Tarikan Gas

Kami memutuskan untuk mengitari waduk menggunakan motor sampai kembali lagi ke tempat awal. Aku menarik gas secara perlahan-lahan. Untuk menikmati perjalanan, kecepatan motor hanya berkisar 15–20 km/jam. 

Di perjalanan awal, aku melihat ada prasasti bertuliskan daftar pengikut transmigrasi terdampak pembangunan Waduk Sermo. Ada beberapa nama warga yang dipindahkan. Ini hal menarik yang perlu digali.

“Kita nanti tanyakan waduk dan prasasti itu ke warung itu ya, Nol,” ajakku.

“Iya, Nang. Nanti coba tanya-tanya seputar waduk dan prasasti itu,” jawab Afrinola.

Setelah melewati prasasti, banyak warung yang berjualan di pinggir jalan. Tidak hanya warung, ada juga bengkel dan beberapa rumah jamur untuk singgah dan istirahat para pengunjung sembari melihat keindahan waduk. Di samping itu, terdapat pula wisma atau vila apabila para pengunjung ingin menginap di sekitar waduk.

Cara lain untuk para pengunjung bisa menginap di dalam area waduk adalah camping atau berkemah. Banyak area camping yang bisa disinggahi. Selain Gumuk Sriti tadi, ada juga Taman Munggur, Mengger Kemuning, Menara Pelangi, Sermo Glamp Camp, Bukit Kelengkeng, dan Panorama Setro. Sepertinya asyik melihat pengunjung yang berkemah, karena bisa berwisata perahu dan memancing ikan untuk konsumsi mereka.

Perjalanan belum usai. Di beberapa sudut waduk airnya surut dan sepi pengunjung. Kami malah melihat beberapa orang sedang mencari rumput. Pikirku, berarti bagian wisata hanya di dekat jalur masuk utama saja, karena kalau sudah jauh dari pintu masuk, tempat ini sepi dan air pun tidak menggenangi sudut-sudut waduk.

Kemudian sampailah kami di tempat TPR kedua. Ternyata ada dua tempat untuk jalur masuk dan keluar. Kami diarahkan penjaga TPR ke pintu utama. Penjaga TPR juga menjelaskan kalau kami sudah berjalan 18 km selama mengitari waduk. Kami langsung bergegas kembali menuju jalur utama dan mampir ke warung dekat prasasti transmigrasi tadi.

Prasasti Transmigrasi dan Dongeng dari Pedagang 

Sampailah kami ke TPR awal dan berjalan sedikit untuk singgah di warung dekat prasasti transmigrasi. Kami memesan minum dan berbincang hangat dengan salah satu pedagang bernama Ibu Mursinah. Nama warungnya Warkop Yu Mur.

Aku menanyakan perihal sejarah dari prasasti transmigrasi yang berjarak sekitar 10 meter dari warkopnya. Bu Mursinah menjelaskan, dulu di daerah waduk adalah permukiman penduduk. Kemudian mereka dipindahkan atau ditransmigrasikan ke Desa Taktoi, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, dan Riau. Transmigrasi massal tersebut melibatkan 102 warga yang disebut dengan istilah bedol desa.

Waduk Sermo dibuat saat zaman Presiden Soeharto. Pembangunan mulai tahun 1994 dan diresmikan pada 1996. “Dulu itu sini masih pegunungan. Kemudian bisa seperti ini lantaran diledakkan,” ungkap Bu Mursinah.

Dengan adanya waduk ini, masyarakat di daerah Wates dan sekitarnya bisa mendapatkan manfaatnya. Waduk dikelola Kementerian PUPR untuk pengairan atau irigasi ke sawah daerah sekitar, serta sebagai sumber air bersih untuk minum yang dikelola PDAM setempat.

Lalu seiring berjalannya waktu, Waduk Sermo juga dikelola oleh dinas pariwisata yang bekerja sama dengan warga sekitar untuk dijadikan tempat wisata. Karena bekerja sama, warkop dan pedagang kaki lima yang ada di sekitar waduk tidak dikenakan tarif sewa tempat.

Bu Mursinah sendiri mengungkapkan kalau puncak keramaian sekarang hanya di hari Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional. Selain hari itu sepi pengunjung. “Kalau tahun 2019 ke bawah itu masih ramai, Mas. Waktu itu, kami para pedagang juga menyediakan sewa skuter dan ATV. Tapi karena makin sepi, semua itu rusak dan dijual,” ungkapnya.

Sepinya waduk sendiri, menurut Bu Mursinah, bisa disebabkan oleh beberapa hal. Mulai dari jalan masuk yang dialihkan, wahana wisata yang hanya viral sesaat, dan tarif masuk naik empat ribu rupiah dari yang dulunya Rp6.000.

“Kalau untuk pedagang-pedagang kayak gini, ya, kalau ramai ya ramai, kalau enggak ya tetap sepi pol. Satu hari itu nggak tentu dapet duit,” pungkas Bu Mursinah.

Setelah mendengar pernyataan itu, aku berharap dinas pariwisata dan warga sekitar mampu membuat Waduk Sermo kembali ramai lagi seperti dulu. Menawarkan spot wisata yang lebih menarik. Dengan pemberdayaan seperti itu, warga sekitar juga akan merasakan dampak baiknya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengulik-kehidupan-warga-di-sekitar-waduk-sermo-kulon-progo/feed/ 0 42756
Cengkih Kulon Progo dan Sebuah Penantian https://telusuri.id/cengkih-kulon-progo-dan-sebuah-penantian/ https://telusuri.id/cengkih-kulon-progo-dan-sebuah-penantian/#respond Tue, 03 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42602 Muhammad Dwi Prasetyo, atau yang akrab saya panggil Pras adalah petani muda yang saat ini aktif menekuni pembibitan cokelat. Baginya, cokelat adalah sebuah masa depan yang menjanjikan. Camilan yang digemari semua kalangan. Namun, meskipun pembibitan...

The post Cengkih Kulon Progo dan Sebuah Penantian appeared first on TelusuRI.

]]>
Muhammad Dwi Prasetyo, atau yang akrab saya panggil Pras adalah petani muda yang saat ini aktif menekuni pembibitan cokelat. Baginya, cokelat adalah sebuah masa depan yang menjanjikan. Camilan yang digemari semua kalangan.

Namun, meskipun pembibitan yang ia kembangkan murni bisnis, tapi ia juga tak lupa, lewat bisnisnya itu dia berupaya menyediakan bibit-bibit cokelat terbaik yang bisa dibudidayakan petani. Tak jarang Pras mencari berbagai bibit terbaik di Sumatra. Dalam beberapa tahun belakangan, misalnya, sudah tiga kali ia mengarungi pulau kelahiran saya itu. Pulau yang terkenal dengan harimau sumatra, satwa langka yang saat ini habitatnya terancam punah.

Pukul 06.30 WIB saya menuju ke kediaman Pras di Tompak, Giripurwo, Girimulyo, Kulon Progo. Tak lewat pukul delapan, dari Sewon, Bantul, saya sampai di rumahnya. Setelah menyelesaikan kuliah, kami memang jarang bertemu, terakhir mungkin satu tahun lalu. Jarang bertemu tak membuat saya dan Pras merasa renggang. Bagi saya Pras masihlah Pras yang saya kenal, ramah pada banyak orang dan selalu menawarkan kepada siapa pun yang ia jumpai untuk menyambangi rumahnya. Katanya, hal itu pula yang menyelamatkannya dari perjalanan panjang ke Sumatra. Ia berpindah dari rumah satu teman ke teman yang lain.  

Tidak lama setelah sampai di rumahnya, saya disuguhi sarapan dan kopi. Saya melahap semangkuk mi dan tahu yang ia sodorkan. Selanjutnya kami berbincang layaknya sahabat yang ingin tahu kabar sahabatnya. 

Cengkih Kulon Progo dan Sebuah Penantian
Pras memanen cokelat yang tumbuh di kebun cengkih miliknya/Janika Irawan

Saya Datang Untuk Cengkih, Bukan Cokelat

Tanpa basa-basi, Pras mengajak saya mengambil cokelat batangan yang siap konsumsi di salah satu kedai temannya. Kedatangan saya ini tidak untuk cokelat, tapi untuk cengkeh, Pras! Bukankah hal itu sudah saya sampaikan seminggu sebelum saya ke sini, setelah melihat status WhatsApp-mu?

“Sudah ada yang pesan,” ujar Pras.

Cukup lama saya dan Pras di kedai yang terletak di wilayah Purworejo itu. Di perjalanan saya sudah katakan, “Jauh juga tempatnya, Pras.” Tapi dengan sangat santai lelaki jangkung berambut gondrong ini menjawab, “Nggak jauh, cuma 30 menitan.” 

Deni, pemilik kedai, juga sangat baik hati. Ia membuat cokelat panas dan menyuguhkannya pada kami. Sebelum itu, terlebih dahulu Deni menyodorkan cokelat yang masih berupa gepengan setelah biji cokelat digiling dan dipisahkan dari minyaknya—atau yang dikenal sebagai mentega kakao, yang pada tahapan selanjutnya diperlukan sebagai perekat dalam proses pencetakan cokelat konsumsi—untuk saya cicipi.

Ini pengalaman pertama saya mencicipi cokelat murni. Rasanya kalian tahu? Pahit sekali!

“Kalau tidak pakai gula, nggak kuat minum ini,” sergah saya di tengah obrolan sembari minum cokelat panas. “Saya suka kopi tanpa gula, tapi cokelat ini pahitnya lengket banget di mulut.”

Deni tersenyum mendengar ucapan saya, dan Pras tidak memberikan reaksi apa pun. Dalam hati saya berucap, kapan kita pulang, Pras? Tujuan saya bukan untuk cokelat. Walau saya juga mensyukuri cokelat panas pagi ini, tetapi kedatangan saya tetap untuk cengkih.

Mungkin nyaris satu jam kami di sana. Setelah membayar 35 keping cokelat yang ia pesan dari Deni, cokelat yang katanya sudah dipesan pembeli sebagian, kami pun pulang. Di rumahnya, ada dua mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, satu anggota pers kampus, dan satu lagi fotografer atau lebih tepatnya pembelajar fotografi. Ia datang untuk mengambil foto petani panen cengkih.  

Setelah saya dan Pras sampai di rumahnya kembali, dua mahasiswa UIN tersebut sudah menunggu. Pras kemudian masuk. Beberapa waktu kemudian ia keluar membawa teko kopi. 

“Ini sudah mau pukul 11 siang, Pras, mau kapan lagi ke kebun?” batin saya. Kiranya setelah setengah jam ngopi dan ngobrol barulah kami bergegas. 

Kebun cengkih yang ia punya tak jauh dari rumah, kurang lebih satu kilometer. Dari rumah kami mengendarai sepeda motor ke arah barat. Jalan di tempat ini memang jalan yang rebah di punggung perbukitan. Menanjak, tentu saja. Tak beberapa lama kami menepi dan memarkirkan motor di sebuah pendopo di sisi kanan jalan.  

“Kalau cuma dekat seperti ini mending jalan aja tadi,” kata saya pada Pras setelah berkendara tak lebih dari 300 meter. Namun, Pras tak menjawab berlebihan. Dia hanya bilang, “Malas, capek.”

  • Cengkih Kulon Progo dan Sebuah Penantian
  • Cengkih Kulon Progo dan Sebuah Penantian

Cengkih adalah Harapan yang Dinanti

Saya baru tahu, salah satu tanaman yang dulu pernah jadi buruan bangsa Eropa ini butuh waktu yang amat panjang untuk menuai hasil. Saya kira, tanaman seperti kopi yang saya kenal—karena orang tua saya seorang petani kopi—panen satu tahun sekali itu sudah cukup lama. Belum lagi setiap waktu, gulma-gulma harus rutin dibersihkan untuk menjaga pertumbuhan kopi agar bisa maksimal berbunga dan menghasilkan buah yang berkualitas. Bahkan masalah lain sering pula muncul, dua atau tiga tahun sekali harus berhadapan dengan hama penggerek buah. Kopi yang biasanya menghasilkan satu ton biji kering bisa menyusut lima puluh persen atau lebih jika terserang hama ini. Cengkih, tanaman yang dimuliakan, berbunga (dan menghasilkan) begitu lama.

Cengkih adalah harapan yang ditunggu bertahun-tahun. Tanaman yang sangat khas dengan racikan rokok kretek dan bumbu masakan tersebut tidak menghasilkan kuncup bunga setiap tahun. Lebih tepatnya, meskipun berbunga, bunganya tak selebat sekarang. Seperti halnya cengkih di Kulon Progo yang terakhir kali panen raya kurang lebih empat tahun lalu. Tahun ini adalah tahun emas yang dinanti-nanti. Panen raya segera tiba. 

“Cengkih ini butuh waktu kemarau panjang. Jadi, setelah musim hujan dia harus menumbuhkan dulu daunnya lalu kemudian bisa menghasilkan,” ujar Pras menjelaskan sembari kami menyusuri lahan terasering yang tertata rapi. “Orang dulu bisa menata kebunnya dengan rapi,” ia memperlihatkan susunan batu tersering yang sudah disusun mungkin puluhan tahun lalu, atau bahkan lebih dari itu.

Betapa canggihnya petani dulu, pikir saya. Teknologi pertanian tersebut mampu menjaga erosi tanah di lahan pertanian tebing yang biasanya banyak ditemui di daerah perbukitan, seperti Kulon Progo. Teknologi pertanian yang sudah lama kita kenal dan jadi bahasan di ruang kuliah, sebagaimana halnya yang pernah saya rasakan.

Cengkih Kulon Progo dan Sebuah Penantian
Terlihat terasering yang tersusun rapi/Janika Irawan

Cengkih sebagai Tabungan

Saya kira cengkih seperti kopi atau lada yang dijual dalam kondisi kering setelah melewati beberapa hari penjemuran. Sama seperti padi, di tempat saya di Sumatra, saya tidak mengenal istilah jual gabah. Di sini, di tanah Jawa, jual gabah adalah hal yang lumrah. Bahkan, melalui televisi bapak saya pernah sangat kagum dan terpukau bahwa di Bantul, Yogyakarta, satu hektare sawah bisa menghasilkan 8,8 ton.

Berpuluh-puluh tahun bapak menyaksikan petani kampung kami begitu gigihnya mencangkul dan merawat padi, hasil sebanyak itu hanya angan-angan. Jumlah itu pada realitasnya tidak lain hanyalah gabah, sedangkan hasil bagi kami di kampung ialah hasil akhir: beras. Luluh lantak sudah keterpukauan itu jika bapak mengetahuinya. Saya tidak mengerti apakah bapak sudah mengetahui hal ini. Semoga saja iya.

Sepengetahuan saya cengkih hanya dijual dalam keadaan kering. Namun, sepenuhnya anggapan itu terbantahkan. Pras mengatakan, petani bisa menjual cengkih dalam keadaan basah setelah dipanen.

“Harga cengkih basah sekarang 33 ribuan, itu sudah lumayan. Dulu pas aku SMP pernah tembus 45–50 ribu,” ujar Pras.  

Harga cengkih kering di pasar sekarang ini murah, kata Pras, sekitar 100 ribu rupiah. Untuk itu, petani cengkih di sini terkadang lebih memilih menyimpan hasil panennya dan dijual saat harga tinggi.

Cengkih Kulon Progo dan Sebuah Penantian
Pras menunjuk tanaman rempah kemukus di area kebun cengkih/Janika Irawan

Saya membatin. Dari mana petani ini hidup, Pras, kalau hasil panen itu mereka simpan hingga harga tinggi? Daun cengkih tidak bisa mengenyangkan, bukan? Kalau harga tak beranjak hingga tahun depan lalu bagaimana, oh, Pras? 

“Jadi, kita bisa memetakan petani dari situ. Petani yang punya cengkih, hasil panennya hanya mereka keringkan lalu disimpan. Karena nanti ketika harganya 200 ribu itu mereka jual. Jadi, orang sini sehari-hari hidup dari rempah,” katanya Pras menjelaskan dan saya tidak bertanya lanjut. Di sela-sela pohon cengkih yang mungkin berjarak tujuh meteran itu dipenuhi tanaman rempah. Di antaranya lada, kemukus, dan kapulaga. Jadi, secara sederhana, petani punya siasat jitu memenuhi kebutuhan hidup mereka. 

Hanya dua orang petani yang kami temukan di sepanjang perjalanan mengitari kebun cengkih. Kami pun mengamati petani memanen cengkih di atas pohon setinggi kurang lebih 20 meter. Tangga dari bambu menjulang tinggi bersandar di batang cengkih, pangkalnya berpijak di tanah, ujungnya berlomba-lomba dengan tinggi pucuk pohon. Jika pohon lebih tinggi dan tangga sepanjang 10 meter tak lagi mampu menjangkau, mereka menyambungnya dengan tangga lain. Dengan tangga itulah mereka mengambil cengkih satu demi satu. 

Terlihat petani diatas pohon sedang memanen cengkih/Janika Irawan

Satu petani yang kami datangi sedang panen. Ia memetik satu demi satu tangkai putik bunga yang sudah berubah warna dari hijau menjadi putih, atau sebelum putik mekar. Kadang petani harus menarik dahannya terlebih dahulu dengan galah untuk meraih cengkih sudah layak dipanen. Namun, kami pun tak bisa lebih lama dan mengganggunya memanen.

Satu petani lagi yang kami lihat terlampau jauh. Pras menyapanya, tapi kami juga tidak bisa menjangkaunya karena teramat jauh di bawah tebing. Di akhir Juni ini masih sepi petani yang panen. Putik bunga masih hijau, belum putih dan layak dipanen.  

“Masih sepi. Dua mingguan lagi sudah banyak yang panen,” ujar Pras.  

Sekitar satu setengah jam berkeliling di ladang cengkih, kami pun melihat terik matahari yang siap mencekik. Rasanya, terik seperti apa pun, di bawah kanopi pohon cengkih yang nyaris menyatu, tiada terik matahari yang menakutkan. Dan terik matahari itu segera melumat kami di luar “gerbang” ladang cengkih.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cengkih Kulon Progo dan Sebuah Penantian appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cengkih-kulon-progo-dan-sebuah-penantian/feed/ 0 42602
Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi https://telusuri.id/tak-ada-nasi-growol-pun-jadi/ https://telusuri.id/tak-ada-nasi-growol-pun-jadi/#respond Thu, 18 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41717 Sejujurnya saya tidak begitu khawatir saat pembelian beras di minimarket mulai dibatasi, seperti yang terjadi belakangan ini. Saya malah jauh lebih khawatir kalau sumber karbohidrat lainnya yang menghilang di pasaran. Maklum, keluarga saya terbilang cukup...

The post Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi appeared first on TelusuRI.

]]>
Sejujurnya saya tidak begitu khawatir saat pembelian beras di minimarket mulai dibatasi, seperti yang terjadi belakangan ini. Saya malah jauh lebih khawatir kalau sumber karbohidrat lainnya yang menghilang di pasaran. Maklum, keluarga saya terbilang cukup dekat dengan golongan umbi-umbian, mulai dari singkong, ubi jalar, uwi hingga tanaman garut atau nggarut. Selain itu di sekitar tempat tinggal saya, sumber karbohidrat nonberas masih cukup mudah ditemui.

Bagi saya pribadi, karbohidrat tidak melulu harus bersumber dari satu atau dua centong nasi. Soalnya diversifikasi karbo yang bersumber dari umbi tidak kalah enaknya, kok. Apalagi kalau dinikmati lengkap dengan kombinasi lauk selayaknya makan nasi. Kalau disantap dengan nilai gizi yang seimbang sesuai anjuran kesehatan, rasa-rasanya tidak perlu khawatir yang berlebihan saat menemui kelangkaan beras di pasar atau supermarket. Sebab selain nasi, masih banyak opsi karbo lain yang bisa dinikmati. 

Singkong, misalnya. Dilansir dari Kompas.com, dokter dan ahli gizi masyarakat DR. dr. Tan Shot Yen, M.Hum. menjelaskan bahwa dalam 100 gram nasi mengandung 129 kkal kalori dengan 27,9 gram karbohidrat, sedangkan 100 gram singkong mengandung sekitar 160 kkal dengan 38,06 gram karbohidrat. Dengan harga yang jauh lebih rendah dari beras, seperti halnya nasi, singkong juga dapat diolah menjadi beragam sumber karbohidrat yang enak dan mengenyangkan. Macam tak ada nasi, olahan singkong pun jadi. 

Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi
Saya biasa memakan growol sebagai pengganti nasi, lengkap dengan sayur dan lauk/Retno Septyorini

Menikmati Growol, Pengganti Nasi yang Tak Kalah Enak

Di sekitar tempat tinggal saya di Yogyakarta, singkong berhasil diolah menjadi beragam makanan yang cukup eksis di kancah lokal. Selain ada yang diolah menjadi camilan bercita rasa manis, seperti getuk, gatot, dan tiwul. Ada pula yang diolah khusus menjadi pengganti karbo, di antaranya telo kukus, telo liwet (singkong yang dimasak dengan santan gurih), tiwul gurih (biasa dijual paketan bersama dengan urap dan ikan asin), mie lethek, dan growol. Kudapan yang disebut terakhir adalah olahan singkong khas Kulon Progo.

Lini penjualan growol bahkan sudah sampai Pasar Bantul. Salah satu pasar tradisional yang kerap menjadi rujukan saya untuk berbelanja sayur. Jadinya, selain ngliwet telo, sampai sekarang growol masih menjadi alternatif karbohidrat yang acap kali tersedia di rumah. Sayangnya, saya sendiri belum pernah melihat pembuatan growol secara langsung. Sedari dulu tahunya hanya lokasi jualan growol di pasar tersebut.

Growol sendiri dibuat dengan mengolah singkong kupas yang direndam selama beberapa hari. Saat proses perendaman, air akan diganti setiap hari. Selanjutnya untuk menghilangkan aroma kecing (asam), singkong dicuci berulang kali sampai bersih, Setelah itu singkong masuk ke tahap penggilingan, pengukusan, dan pencetakan. Di Pasar Bantul, growol utuh dicetak dalam bentuk menyerupai tabung dengan diameter sekitar 20 cm. Harga jual growol tergantung besar kecilnya ukuran cetakan.

Tak hanya utuhan, growol juga dijual dalam bentuk potongan dengan harga mulai Rp2.500. Selain dimanfaatkan sebagai pengganti nasi, growol di rumah saya sering diolah dengan cara digoreng dalam balutan tepung asin yang tipis. Bisa dinikmati bersama dengan lauk yang ada tersedia di rumah. Sekilas bentuk dan tekstur growol mirip getuk. Keduanya sama-sama empuk dan tanpa serat, tetapi hanya beda di cita rasa saja. Kalau getuk condong ke manis, sedangkan growol cenderung tawar dengan sekelebat aroma asam. 

Di Bantul, growol biasa dijual bersama dengan pasangannya yang bernama kethak. Kethak merupakan kudapan yang dibuat dari ampas atau sisa pembuatan minyak kelapa (blondo), dengan ditambah bumbu manis maupun asin. Oleh karena itu di Pasar Bantul juga terdapat dua jenis kethak, yakni kethak manis dan kethak asin. Karena bukan penggemar kudapan manis, saya cenderung membeli kethak asin sebagai pelengkap growol. Seporsi kethak gurih biasa dijual dengan harga Rp5.000. 

  • Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi
  • Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi
  • Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi

Manfaat Growol

Meski terlihat sederhana, ditengarai growol baik dikonsumsi bagi penderita diabetes karena menawarkan indeks glikemik (IG) yang rendah. Indeks glikemik merupakan penanda yang digunakan untuk mengetahui seberapa cepat makanan yang dikonsumsi akan berpengaruh pada kenaikan gula dalam darah. 

Semakin tinggi indeks glikemik dalam suatu makanan, semakin cepat pula makanan tersebut menaikkan kadar gula dalam darah. Sebaliknya, semakin rendah indeks glikemik suatu makanan, maka semakin lama pula reaksi makanan tersebut menaikkan gula darah. Tidak heran jika kini beragam makanan dengan indeks glikemik rendah mulai banyak diminati. Tujuan pokoknya sebagai bentuk pencegahan terhadap penyakit yang disebabkan oleh lonjakan gula darah. Termasuk si growol khas Kulon Progo ini. 

Karena sudah lumayan lama mengenal growol, saya sangat mengapresiasi kinerja para pembuat growol yang senantiasa berinovasi dari waktu ke waktu. Pasalnya dulu growol dikenal luas dengan sebutan growol kecing. Sesuai namanya, growol di masa lampau memang berbau asam yang cukup menyengat di hidung. Jadi, jangan heran kalau dahulu penggemar growol kebanyakan adalah orang tua atau lansia. Terutama mereka yang harus menjalani pola makan sehat agar kadar gula dalam darah tetap terjaga.

Seiring berjalannya waktu pula, belakangan bau kecing dari growol sudah banyak berkurang. Kalaupun ada, baunya hanya sepintas lalu saja. Di indra penciuman saya, saat ini bau asam dari growol tidak begitu mengganggu sehingga sama sekali tidak mengurangi selera makan saya untuk menikmatinya.

Sekiranya penasaran ingin mencicipi sensasi makan growol saat berkunjung ke Bantul, teman-teman bisa langsung menuju jalan di belakang Pasar Bantul. Kios growol tepat berada di selatan pintu belakang pasar, tepatnya pasar yang berada di sisi timur.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tak-ada-nasi-growol-pun-jadi/feed/ 0 41717
Teh Gumilir dari Desa Wisata Purwosari https://telusuri.id/teh-gumilir-dari-desa-wisata-purwosari/ https://telusuri.id/teh-gumilir-dari-desa-wisata-purwosari/#respond Mon, 25 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41470 Sebenarnya teh gumilir bukanlah teh Kulon Progo pertama yang sempat saya cicipi. Beberapa tahun sebelumnya, saya lebih dulu berjumpa dengan dua brand teh lainnya. Teh pertama saya dapatkan saat mengikuti familiarization trip (fam trip) di...

The post Teh Gumilir dari Desa Wisata Purwosari appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebenarnya teh gumilir bukanlah teh Kulon Progo pertama yang sempat saya cicipi. Beberapa tahun sebelumnya, saya lebih dulu berjumpa dengan dua brand teh lainnya. Teh pertama saya dapatkan saat mengikuti familiarization trip (fam trip) di DeLoano Glamping, Purworejo. Sayangnya saya lupa nama mereknya. Sedang satu lainnya saya temui saat ada pameran produk UMKM yang dihelat di Dinas Koperasi dan UMKM Yogyakarta. Namanya Samigiri Artisan Tea milik Ibu Surati. Meski berbeda merek, keduanya merupakan jenis teh premium dari Kulon Progo.

Kenapa saya menduga keduanya masuk kelas teh premium? Karena salah satu ciri termudah mengidentifikasi teh premium dapat dilihat dari daun teh yang mengembang sempurna saat diseduh. Selain itu, tehnya juga tidak menyisakan potongan batang. Aroma wanginya menyeruak di hidung. Pendek kata isinya murni daun teh saja.

Kalaupun ada jenis teh premium yang dicampur dengan aneka bunga atau buah kering, keduanya akan dipilih dan diproses dengan cara yang baik. Jadi, ketika diseduh dengan air hangat tanpa gula saja rasanya sudah enak. Tidak terlalu sepet seperti teh wangi atau teh tubruk pada umumnya.

Akan tetapi, sebelum berdebat lebih jauh, tentu kita harus menyadari kalau berbicara tentang teh itu berbicara pula perihal selera. Karena pada dasarnya setiap orang memiliki preferensi rasa dan kesenangan masing-masing. Dalam hal ini tentu tidak ada yang benar dan salah. Tidak ada pula yang lebih baik atau sebaliknya. Namun, pada perut yang sudah tidak kuat dengan kombinasi asam pahitnya teh tubruk yang “leginastel” alias legi (manis), panas, dan kentel (kental) seperti perut saya, teh premium menjadi opsi yang lebih baik saat kangen ngeteh di pagi atau malam hari. 

Teh Gumilir dari Desa Wisata Purwosari
Contoh tanaman teh di perkebunan Nglinggo, Kulon Progo/Retno Septyorini

Mengenal Teh Gumilir Purwosari

Perkenalan saya dengan teh dari Kulon Progo ini bisa dikatakan karena ketidaksengajaan. Ceritanya Oktober tahun lalu saya dapat slot untuk mengikuti salah satu acara Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY), yaitu Searah Rasa.

Dalam acara yang diampu oleh Komunitas Dje Djak Rasa tersebut, saya dapat sesi ke-5 dengan tema “Kilas Balik Kuliner Era Pangeran Diponegoro”. Acara yang dihelat di Desa Wisata Purwosari, Girimulyo, Kulon Progo tersebut menjadikan teh gumilir sebagai welcome drink. Sesi ngeteh pagi itu disajikan bersama satu olahan singkong khas Kulon Progo bernama geblek goreng. 

Saat itu fokus acara bukan bercerita tentang teh, melainkan membahas tentang Nok Santri. Sebuah menu khas Purwosari yang konon menjadi menu perbekalan pasukan Pangeran Diponegoro saat terdesak di kawasan Bukit Menoreh. Nok Santri sendiri merupakan set menu berisi nasi dengan lauk seadanya yang ditemukan di Purwosari, seperti tumis pepaya muda, urap sayur, tempe dan peyek gereh petek. Kalau banyak yang penasaran, kapan-kapan saya ceritakan lebih lanjut tentang menu yang kini menjadi daya tarik unggulan dari paket wisata di Desa Wisata Purwosari ini. 

Saat memasak Nok Santri inilah peserta acara Searah Rasa juga dikenalkan pada dua komoditas khas Kulon Progo yang lain, yakni kopi dan teh gumilir. Kami pun dipersilahkan untuk mencoba proses pengeringan teh dan kopi. Caranya dengan memanggangnya secara manual sampai tekstur keduanya menjadi agak kering. Di akhir sesi, teh dan kopi yang kami panggang ternyata sengaja dibagikan untuk para peserta. Senang rasanya membawa buah tangan yang sebagian proses produksinya sempat kami rasakan bersama-sama.

  • Teh Gumilir dari Desa Wisata Purwosari
  • Teh Gumilir dari Desa Wisata Purwosari

Siang itu, peserta tur juga diberi tips terkait cara menyeduh teh hijau yang benar. Kata pemandu yang mendampingi, “Untuk memaksimalkan manfaat antioksidan yang ada pada teh, seduh teh dengan air bersuhu sekitar 80 derajat. Bukan dengan air mendidih. Dengan cara demikian, selain tidak merusak manfaatnya, seduhan tehnya pun tetap enak dan tidak over pahit.”

Perkara seberapa lama proses menyeduhnya, itu balik lagi ke selera masing-masing. Kalau saya pribadi cukup dua sampai tiga menit saja.

Karena saya tidak punya termometer khusus, tetapi tetap menginginkan hasil seduhan teh yang enak, saya mengakalinya dengan mendiamkan sebentar didihan air rebusan yang akan saya gunakan untuk menyeduh teh. Selain untuk diseruput selagi hangat-hangatnya, saya kerap memanfaatkan teh untuk dibuat kombucha, sebutan untuk teh yang telah mengalami proses fermentasi oleh scoby (symbiotic culture of bacteria and yeast). Senang rasanya mendapati teh premium yang dipanen langsung dari kebunnya. 

Di akhir acara, saya baru ngeh kalau di sebelah pendopo yang kami kunjungi juga menyediakan berbagai opsi buah tangan khas Purwosari. Ada geblek siap goreng, wedang sari salak, aneka kletikan, legen (tidak selalu tersedia), serta kopi dan teh gumilir.

Kabar baiknya, teh gumilir khas Purwosari ini sudah dikemas dengan sangat baik. Jadi, wangun (pantas) banget kalau dijadikan opsi oleh-oleh usai mengeksplorasi salah satu desa wisata unggulan Kulon Progo tersebut. Harganya terbilang ramah di kantung pula. Belakangan produk lokal memang sudah sebagus itu.

Cara Memesan dan Menikmati Teh Gumilir

Bagi yang penasaran dengan cita rasa teh gumilir, bisa langsung memesannya via Instagram @gumilirtea. Di akun tersebut tersemat tautan yang dapat digunakan untuk memesan teh enak ini.

Karena ingin mengulang momen menikmati welcome drink seperti di awal acara Searah Rasa, akhirnya saya memutuskan untuk membawa serta dua pak teh gumilir. Lengkap dengan geblek siap goreng yang sudah dikemas dengan sangat baik oleh warga setempat. Saat itu teh kemasan 100 gram dibanderol dengan harga Rp20.000 saja, sedangkan geblek Rp10.000/pak. 

Oh, ya. Bagi para penikmat teh di mana pun teman-teman sedang berlabuh, jangan lupa minum tehnya ketika snacking time saja. Misalnya, dinikmati bersama dengan geblek goreng seperti yang disuguhkan pengurus Desa Wisata Purwosari. Bukan saat atau sehabis makan besar. Sebab kandungan tanin dan polifenol pada teh dapat mengikat protein dan zat besi yang terkandung dalam makanan. Sayang kalau niatnya makan sehat, eh malah kandungan gizinya jadi kurang terserap.

Jadi, gimana? Ada yang tertarik mencicipi wisata teh di Kulon Progo? Atau sekalian saja berkunjung ke Desa Wisata Purwosari supaya bisa sekalian menikmati Nok Santri?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Teh Gumilir dari Desa Wisata Purwosari appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/teh-gumilir-dari-desa-wisata-purwosari/feed/ 0 41470
Cara ke Yogyakarta International Airport dari Kota Jogja dan Magelang https://telusuri.id/cara-ke-yogyakarta-international-airport-dari-kota-jogja-dan-magelang/ https://telusuri.id/cara-ke-yogyakarta-international-airport-dari-kota-jogja-dan-magelang/#respond Fri, 14 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39308 Bandar Udara Internasional Yogyakarta atau Yogyakarta International Airport (YIA) telah beroperasi penuh sejak 29 Maret 2020. Nyaris semua penerbangan berjadwal telah berpindah dari Bandara Internasional Adisutjipto (JOG), yang kini hanya melayani pesawat baling-baling jarak pendek,...

The post Cara ke Yogyakarta International Airport dari Kota Jogja dan Magelang appeared first on TelusuRI.

]]>
Bandar Udara Internasional Yogyakarta atau Yogyakarta International Airport (YIA) telah beroperasi penuh sejak 29 Maret 2020. Nyaris semua penerbangan berjadwal telah berpindah dari Bandara Internasional Adisutjipto (JOG), yang kini hanya melayani pesawat baling-baling jarak pendek, kargo dan nonkomersial.

Sebagai destinasi wisata populer untuk turis domestik maupun mancanegara, tentu besar harapan agar keberadaan YIA dapat meningkatkan kunjungan ke Yogyakarta dan daerah-daerah penyangganya. Tak hanya berwisata, tetapi juga untuk urusan pekerjaan, bisnis, pendidikan, dan lain sebagainya.

Meskipun lokasinya terbilang jauh dari pusat kota Jogja, yaitu hampir sekitar 45 km, calon penumpang tidak perlu khawatir dengan transportasi menuju bandara. YIA termasuk satu dari sedikit bandara di Indonesia yang memiliki banyak pilihan integrasi moda transportasi dari atau ke pusat kota, Bandara Internasional Soekarno Hatta, Cengkareng, dan juga Kuala Namu, Deli Serdang.

TelusuRI merangkum beberapa rekomendasi pilihan moda transportasi dari Kota Jogja serta daerah sekitarnya ke YIA dan sebaliknya. Baik yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta.

Cara ke Yogyakarta International Airport dari Kota Jogja dan Magelang
KA Bandara (Railink)

1. KA Bandara rute Stasiun Yogyakarta—YIA

Naik Kereta Api (KA) Bandara merupakan cara tercepat dan tepat waktu untuk menuju YIA dari Stasiun Yogyakarta dan sebaliknya. Terdapat dua kelas kereta, yaitu reguler dan ekspress. Perbedaannya terletak pada harga, jarak tempuh, dan fasilitas kursi. Tarif KA reguler Rp20.000 per orang tanpa nomor tempat duduk, dengan jarak tempuh sekitar 39 menit dan berhenti satu kali di Stasiun Wates, Kulon Progo. Sedangkan tarif KA ekspress Rp50.000 per orang dan bisa memilih nomor kursi, dengan jarak tempuh 35 menit tanpa berhenti di Stasiun Wates.

Tiket KA Bandara tersedia secara luring di loket khusus Stasiun Yogyakarta, Stasiun Wates, maupun Stasiun Bandara YIA. Namun jika ingin lebih nyaman, kamu bisa melakukan pemesanan secara daring dengan mengunduh aplikasi KA Bandara di App Store dan Play Store. Berikut jadwal KA Bandara dari Stasiun Yogyakarta dan sebaliknya berdasarkan aplikasi (Waktu Indonesia Barat).

Dari Stasiun YogyakartaDari Stasiun Bandara YIA
04.2005.08
04.5005.42
05.35 (ekspress)06.50
06.0007.20 (ekspress)
06.3007.54
07.4508.38
08.30 (ekspress)09.15 (ekspress)
09.3010.25
10.00 (ekspress)11.25 (ekspress)
10.5512.30
12.2513.28
13.40 (ekspress)14.35 (ekspress)
14.1615.15
14.5416.05
15.33 (ekspress)16,45 (ekspress)
16.0517.38
16.5218.10
17.43 (ekspress)18.45 (ekspress)
18.3019.35
19.1720.06
20.3521.25

2. Shuttle DAMRI

Selain KA Bandara, tersedia shuttle berupa mikrobus dari DAMRI. Setidaknya terdapat empat rute utama yang dilayani dari beberapa terminal maupun pool DAMRI ke Yogyakarta International Airport dan sebaliknya di wilayah Jogja, Magelang, dan Borobudur. Berikut jadwal shuttle DAMRI berdasarkan informasi terbaru dari akun Instagram DAMRI, berlaku sejak 1 Maret 2023.

RuteTarifMenuju YIADari YIA
Terminal Condong Catur—YIA
via Ring Road Utara – Ring Road Barat – Rest Area Ambarketawang
Rp80.000Setiap Hari
04.00—15.00 WIB
(1 jam sekali)
Setiap Hari
08.00—20.00 WIB
Sleman City Hall—YIA
via Terminal Jombor – Ring Road Barat – Rest Area Ambarketawang
Rp80.000Setiap Hari
04.00—15.00 WIB
(1 jam sekali)
Setiap Hari
08.00—20.00 WIB
Pool DAMRI Yogyakarta—YIA
via Ring Road Selatan (Terminal Giwangan) – Rest Area Ambarketawang
Rp80.000Setiap Hari
04.00—15.00 WIB
(1 jam sekali)
Setiap Hari
08.00—20.00 WIB
Terminal Imogiri—YIA
via Terminal Palbapang Bantul
Rp20.00004.00 WIB
06.00 WIB
11.00 WIB
13.00 WIB
08.00 WIB
10.00 WIB
15.00 WIB
16.00 WIB
Hotel Wisata Kota Magelang—YIA
via Nanggulan – Sentolo
Rp100.00004.00 WIB
06.00 WIB
08.00 WIB
10.00 WIB
12.00 WIB
14.00 WIB
Setiap Hari
08.00—20.00 WIB
Terminal Borobudur—YIA
via Borobudur – Salaman – Purworejo
Rp20.00009.00 WIB
11.00 WIB
15.00 WIB
16.00 WIB
06.00 WIB
07.00 WIB
12.00 WIB
14.00 WIB
Untuk informasi lebih lanjut dan pemesanan hubungi DAMRI Cabang Yogyakarta via WhatsApp 0812-9460-464

3. SatelQu Jogja

Sama seperti DAMRI, SatelQu juga menyediakan shuttle berupa mikrobus untuk rute dari Kota Jogja menuju YIA dan sebaliknya. Berikut kami lampirkan jadwal resmi berdasarkan informasi terbaru dari akun Instagram SatelQu Jogja (Waktu Indonesia Barat). Silakan hubungi narahubung tertera dalam kiriman ini untuk informasi lebih lanjut dan cara pemesanan tiket.

4. Taksi Daring Berbasis Aplikasi

Jika kamu lebih suka dengan fleksibilitas dan kepraktisan, serta tidak ingin terikat dengan moda transportasi berjadwal yang tersedia, kamu bisa menggunakan taksi daring yang banyak tersebar di Kota Jogja, seperti Grab, Gojek, dan Maxim. Tarif bervariasi dan tergantung pada jarak tempuh dari titik penjemputanmu menuju YIA. Secara umum, rata-rata waktu tempuh dari pusat Kota Jogja ke YIA berkisar antara 1,5—2 jam perjalanan saat lalu lintas normal. Jadi, tetap pertimbangkan durasi perjalanan dan jadwal keberangkatan pesawatmu supaya tidak mepet, ya!

Untuk arah sebaliknya, Bandara Internasional Yogyakarta bekerja sama dengan Aplikator Angkutan Sewa Khusus (ASK) tersebut. Kamu bisa menjumpainya di loket dekat kawasan kedatangan penumpang, persisnya di luar pintu kedatangan “Lawang Papat” (batas area pengambilan bagasi dan penjemputan penumpang). Armada dari masing-masing aplikator biasanya menunggu di jalur pick-up point sesuai pemesanan yang kamu lakukan. Hubungi petugas berseragam dari masing-masing aplikator bila kamu memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cara ke Yogyakarta International Airport dari Kota Jogja dan Magelang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cara-ke-yogyakarta-international-airport-dari-kota-jogja-dan-magelang/feed/ 0 39308