kuningan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kuningan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:25:48 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kuningan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kuningan/ 32 32 135956295 Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang https://telusuri.id/mendaki-gunung-ciremai-persembahan-untuk-sahabat-yang-berpulang/ https://telusuri.id/mendaki-gunung-ciremai-persembahan-untuk-sahabat-yang-berpulang/#comments Thu, 15 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47035 Selepas Idulfitri 1446 H, agenda naik gunung kembali saya lakukan. Kali ini ditemani satu dari anak kembar saya, Evan Hrazeel Langie (Ali). Dua saudara lelakinya, terakhir membersamai saya ke Ciremai, Oktober 2024.  “Enggak ikut dulu,”...

The post Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang appeared first on TelusuRI.

]]>
Selepas Idulfitri 1446 H, agenda naik gunung kembali saya lakukan. Kali ini ditemani satu dari anak kembar saya, Evan Hrazeel Langie (Ali). Dua saudara lelakinya, terakhir membersamai saya ke Ciremai, Oktober 2024. 

“Enggak ikut dulu,” kata Rean Carstensz Langie, kembaran Ali. “Kalau ke gunung lain mau,” tambah Muhammad, adik mereka.

Rean dan Muhammad sudah empat kali ke Ciremai. Ali ingin menyamai capaian saudaranya. Saya senang bisa terus mendampingi anak-anak ke gunung. Selain menjaga kebugaran tubuh di usia 40 tahun, juga memotivasi buah hati untuk senantiasa mencintai alam ciptaan Tuhan.   

Jalur Palutungan kembali jadi pilihan kami pada pendakian Rabu–Kamis, 9–10 April 2025. Pagi itu, selesai berkemas, kabar duka datang. Ichsan Mulyadi (40), rekan pendakian saat zaman sekolah dulu, wafat. Ia  tinggal satu gang dengan rumah orang tua saya di kompleks Kalijaga Permai. Saya dan Ichsan sahabat masa kecil, dan masih berhubungan baik hingga kami berkeluarga. 

Karena sudah mau berangkat, saya hanya titip salam untuk orang tua Ichsan. Ibu saya menyampaikannya saat takziah ke rumah duka. Saya dan Ali bergegas menunggang motor ke Kabupaten Kuningan. Kami membawa sebuah carrier, daypack, dan tenda. Saya foto perlengkapan, mengunggahnya di status WA: Saya dedikasikan pendakian ini untuk mengenang Ichsan Mulyadi. Semoga Allah merahmatinya.

Di perjalanan, saya tak kuasa menahan sedih. Mata berkaca-kaca. Teringat Ichsan yang meninggal tiba-tiba pagi itu. Terkenang kami dulu berangkat bareng mendaki Ciremai. Saya mendoakan yang terbaik untuk sahabat saya itu. Semoga istri dan kedua anaknya diberi ketabahan.

Berharap Sepi Pendaki di Hari Biasa

Sampai basecamp Cadas Poleng, Palutungan pukul 09.30, kami segera mengurus registrasi. Tak lupa menjalani prosedur cek kesehatan. Cuaca cerah dan beberapa pendaki terlihat pula.

“Ramai yang naik?” tanya saya ke petugas medis. “Tadi ada 14 orang,” jawabnya.

Bila melihat kecenderungan pendaki saat akhir pekan di jalur Palutungan mencapai 200–300 orang, angka di hari biasa ini bisa dikategorikan longgar. Ya, baguslah, batin saya, yang memang lebih senang menikmati pendakian ketika sepi pengunjung.

Pukul 09.45, saya dan Ali mulai melangkah. Target kami dua jam ke depan adalah Pos 1 Cigowong. Di sana kami akan istirahat dan mengisi penuh perbekalan air. Kalau sudah masuk waktu salat, biasanya sekalian santap siang dan menunaikan ibadah di musala Siti Khodijah di ketinggian 1.450 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Trek menanjak perlahan. Tanjakan Beunta menjadi “salam perkenalan” bagi para pendaki yang mulai menjamah tubuh Ciremai. Kurang dari seratus meter, tanjakan dengan dua belokan ini dijamin membuat jantung berdegup kencang. Ujungnya adalah percabangan ke area camping Ipukan. 

Kami terus melangkah, memasuki kawasan hutan pinus. Melewati deretan Pinus merkusii yang menjulang, sementara bagian bawah batangnya “tersakiti”; disadap untuk mengeluarkan getah bernilai ekonomis. Rombongan muda-mudi hendak hiking ke Cigowong, menyemarakkan suasana. Kami berjalan ngebut dan melewatinya.

Selepas hutan pinus, vegetasi berganti. Pepohonan khas belantara hujan tropis mulai menaungi. Ada pakis raja (Angiopteris evecta), rasamala (Altingia excelsa), jamuju (Podocarpus imbricatus), Ki Putri (Podocarpus neriifolius), sarangan (Castanopsis argentea), dan puspa (Schima wallichii). 

Sinar mentari sedari awal tak menyengat. Tutupan hutan semakin rapat, ketika kami menuruni sungai kering. Jalur lalu menanjak kembali, pindah punggungan. Ketinggian bertambah, kami sempatkan rehat di tanah datar. Merebahkan carrier, meluruskan kaki, dan meneguk teh manis hangat bekal dari rumah. 

Keringat bercucuran. Saya berdiri seraya memandangi sekeliling. Berada di tengah kelebatan rimba, sungguh menenangkan jiwa. Paru-paru menghirup oksigen dari alam sepuasnya. Aliran darah terasa lancar. Pikiran lapang. Nikmat sehat patut disyukuri sebaik-baiknya. 

  • Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang
  • Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang

Cigowong yang Lengang

Normalnya waktu tempuh dari basecamp ke Cigowong adalah 2,5 jam untuk jarak 3,4 kilometer. Pendaki yang menyandang carrier, kalau jalan lebih cepat bisa dua jam saja. Jika tidak membawa beban, Cigowong dapat dicapai dalam 60 menit. Nah, kalau naik ojek yang dikelola warga lokal, 20 menit sampai.

Mendekati Cigowong, pinus-pinus nan jangkung kembali menyambut. Padahal dominasinya sempat terhenti mendekati lembahan sungai kering. Rupanya, mengutip akun resmi Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, sekeliling lahan di kaki Gunung Ciremai sejak 1978–2003 memang dijadikan hutan produksi pinus yang dikelola Perhutani.

Memasuki 2004, Gunung Ciremai beralih status menjadi taman nasional. Melahirkan kebijakan penghentian kegiatan produksi hutan, seperti penebangan dan penyadapan getah pinus. Taman nasional fokus kepada konservasi sumber daya alam dan ekosistem, bukan eksploitasi hasil hutan. Nah, yang saya tidak mengerti, mengapa sampai sekarang penyadapan getah pinus masih berlangsung?

Saya coba tidak larut dalam hal yang mengherankan itu. Pendakian berlanjut. Ali setia mendampingi ayahnya. Bila jalur melebar, ia ada di sebelah saya. Namun, jika setapak menyempit, saya biarkan Ali di depan. Kami saling memberi semangat, di tengah napas yang memburu. 

Keringat membasahi tubuh. Otot paha dan betis mengencang. Setelah menggenjot langkah demi langkah, gerbang Cigowong tampak di depan sana. Ayunan kaki kami percepat, jantung memompa darah lebih kencang, demi memasuki Pos 1 Cigowong dengan carrier tegak. Alhamdulillah.

Siang itu saya perkirakan ada 10 orang di Cigowong. Terpencar di beberapa titik. Ada yang di sebelah warung, dekat mata air, dan di selter permanen. Sepertinya mereka sudah lama istirahat dan segera meneruskan perjalanan. Waktu menunjukkan pukul 11.15, sedangkan zuhur masih 45 menit lagi. Saya putuskan rehat sejenak saja. Beres mengisi perbekalan air, kami lanjut mendaki.

“Kita makan siang di Pos 3, ya? Gimana kondisi, oke kan?”

Ali mengangguk mantap.      

Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang
Pos 3 Paguyangan Badak, tempat istirahat santap siang/Mochamad Rona Anggie

Target Buka Tenda di Pos 6

Jalur kemudian menurun, melintasi sungai kecil berair jernih. Pepohonan besar dengan akar-akar yang menyembul ke permukaan tanah, jadi tantangan pendakian menuju Pos 2 Kuta. Hanya perlu 20 menit untuk sampai ke sini. Plangnya ada di tengah jalur. 

Kami terus berjalan menambah ketinggian. Menembus kelebatan hutan Ciremai, hingga Pos 3 terlihat pukul 12.30. Beberapa pendaki sedang santai pula. Kami makan siang lalu menjamak qashar salat Zuhur dan Asar, masing-masing dua rakaat salam. Setelah istirahat dirasa cukup, kami meneruskan perjalanan. Rekan pendaki lainnya menyapa, mendahului kami. 

Siang itu cuaca bersahabat. Tidak berkabut. Saya dan Ali berencana buka tenda di Pos 6 Pasanggrahan. Saya cerita ke Ali, pada pendakian Oktober 2024 bareng Rean dan Muhammad, berkemah di Pos 5 Tanjakan Asoy karena gerimis turun. Semoga perjalanan kali ini bisa terus ke Pos 6 sesuai target.

Kami berjalan dengan ritme konstan. Tidak ngebut, tapi juga tidak lambat. Menapaki medan terjal antara Pos 4 dan Pos 6 memerlukan strategi tersendiri. Tenaga jangan diforsir. Selalu saya sempatkan berhenti sejenak untuk mengatur napas. Sesekali carrier diturunkan, lantas duduk selonjor sekitar satu menit. Setelahnya berjalan lagi. Pantang menyerah, walau lelah mendera.

Pukul 16.00, kami sampai di Pos 6 Pasanggrahan (2.450 mdpl). Ada tiga kelompok yang sudah menggelar tenda. Sementara yang mendaki bersamaan dengan kami sejak Pos 3, ada empat tim. Syukurlah, relatif tidak ramai. Saya pilih buka tenda di belakang rumah kayu yang berfungsi sebagai selter darurat.   

Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang
Tenda kami di belakang selter Pos 6/Mochamad Rona Anggie

Semburat Fajar di Puncak

Pukul 03.00, saya bangunkan Ali untuk persiapan menuju puncak. Kami “sahur” dengan sup bakso dan telur rebus, juga minum sereal hangat sebagai penunjang tenaga. Estimasi waktu menuju puncak sekitar 2,5 jam. Di atas kertas memang sudah dekat, tapi jalur pendakian tak semudah yang dibayangkan. 

Kami keluar tenda pukul 03.30 dengan kondisi sehat. Senter di kepala, jaket tebal, sarung tangan, dan bandana penutup telinga menjadi perlengkapan wajib ketika muncak. Ali memakai kupluk berpelindung wajah. “Semoga tak ada angin,” kata saya dan kami mulai melangkah.

Pos 7 Sanghyang Ropoh lanjut ke Pos 8 Simpang Apuy, cuaca sesuai harapan. Bahkan di persimpangan jalur Apuy (Majalengka) dan Palutungan (Kuningan), cahaya kuning-kemerahan tampak berkilau. Pertanda mentari siap menyinari bumi. Pendaki dari Apuy mengalir deras. Kami sama-sama menuju Pos 9 Goa Walet.

  • Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang
  • Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang

Medan bebatuan dan rapatnya cantigi (Vaccinium varingaefolium), menguji fokus dan daya tahan pendaki. Jangan sampai salah jalur, ikuti marka yang terpasang. Jarak Goa Walet ke puncak “hanya” 200 meter atau sekitar setengah jam. Tapi dijamin, pendaki nonatlet bakal beberapa kali rehat. Termasuk saya dan Ali. Ah, santai asal selamat, batin saya. Toh, cuaca bagus dan capaian waktu tempuh cukup baik

Akhirnya pukul 06.00, kami sampai di pelataran puncak yang biasa dipakai upacara bendera 17 Agustus. Angin berembus, tapi tidak kencang. Beda ketika muncak 6 Oktober 2024, angin menderu dan pemandangan tertutup kabut. Alhamdulillah, kemarin itu sisa fajar menyingsing masih tampak jelas. Gunung Slamet di sebelah timur menghiasi cakrawala.

Tulisan untuk mengenang sahabat saya di puncak Ciremai (kiri) dan pusara Ichsan Mulyadi saat ziarah sepulang dari Ciremai (11/4/2025)/Mochamad Rona Anggie

Tugu penanda atap Jawa Barat (3.078 mdpl) terlihat dikerumuni pendaki. Mereka berlomba mengabadikan momen dengan latar lautan awan. Saya dokumentasikan selembar kertas dengan coretan in memoriam Ichsan Mulyadi, seperti di awal tulisan.

Engkau sudah mendahului kami, sahabat. Kami panjatkan doa untuk kebaikanmu di alam sana. Semoga suatu saat nanti, anak-anak kita bisa mendaki bersama.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-gunung-ciremai-persembahan-untuk-sahabat-yang-berpulang/feed/ 4 47035
BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata https://telusuri.id/bumdes-arya-kamuning-memberdayakan-warga-kaduela-dengan-pariwisata/ https://telusuri.id/bumdes-arya-kamuning-memberdayakan-warga-kaduela-dengan-pariwisata/#respond Wed, 19 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46308 Kisah sukses Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Indonesia belum begitu nyaring terdengar. Padahal, kiprahnya mampu membuat orang kota kagum dan penasaran.  BUMDes Arya Kamuning, salah satu BUMDes di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, bahkan dapat...

The post BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata appeared first on TelusuRI.

]]>
Kisah sukses Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Indonesia belum begitu nyaring terdengar. Padahal, kiprahnya mampu membuat orang kota kagum dan penasaran. 

BUMDes Arya Kamuning, salah satu BUMDes di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, bahkan dapat menahan pemuda lokal untuk tak bergegas ke kota: melupakan sama sekali istilah urbanisasi, memilih menetap di kampung halaman, dan turut serta dalam pengembangan sektor pariwisata di desanya.

BUMDes Arya Kamuning mengelola Telaga Cicerem dan Side Land—area perkemahan plus kolam renang—di Desa Kaduela, Kecamatan Pasawahan. Sebuah wilayah di kaki Gunung Ciremai, bisa ditempuh 45 menit dengan motor dari Kota Cirebon. Atau sekitar satu jam pakai mobil karena di beberapa titik cenderung macet.

  • BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata
  • BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata

Saya mengunjungi Side Land, Kamis (9/1/2025). Saya menyurvei lokasi tersebut untuk rencana kegiatan camping sekolah. Penjaga loketnya Hilda, seorang wanita berkerudung. Dia menyebutkan harga tiket masuk kawasan Rp30.000, untuk durasi kunjungan dua hari satu malam. “Bisa berkemah di tempat yang disediakan, dan renang sepuasnya,” katanya ramah.

Kalau hanya berenang, orang dewasa dikenakan tarif Rp15.000, anak-anak Rp10.000. Ada lima pilihan kolam renang dengan masing-masing kedalaman 50 cm, 50–80 cm, 100 cm, 80–120 cm dan 1–1,5 meter. “Kalau renang datang rombongan minimal 50 peserta, kami diskon 10 persen,” bebernya.

Nah, buat penikmat alam terbuka, area berkemah di kawasan Side Land ada di dua titik: sisi barat yang satu kompleks dengan kolam renang, dan sebelah timur dengan kontur tanah berbukit, yang mampu menampung 200 tenda dome. Pemandangan dari sisi timur lebih lepas ke segala arah. Termasuk saat malam hari, pengunjung dapat menikmati lampu-lampu kota nun jauh di bawah.

Hilda menerangkan, kalau hujan deras pas camping tamu bisa berlindung ke pendopo. Tersedia colokan listrik dan dispenser yang air panasnya bisa untuk menyeduh kopi atau teh. Meja-meja panjang berikut kursinya bebas dipakai. Bisa santai sambil menikmati aneka camilan dan berbincang hangat bareng keluarga atau teman dekat.

  • BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata
  • BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata

Aktif Sejak 2017

Pada kunjungan perdana itu, saya beruntung berjumpa Direktur BUMDes Arya Kamuning Iim Ibrahim. Sosoknya bersahaja dengan penampilan sederhana. Pertama kali melihatnya, saya tak menyangka lelaki 49 tahun itu adalah orang di balik kesuksesan pengelolaan Telaga Cicerem dan Side Land, hingga mampu menyetor untuk Pendapatan Asli Desa (PADes) sebesar lebih dari setengah miliar pada 2022 dan 2023.

Kalau saja Hilda tak memberi tahu, awalnya saya mengira Iim adalah mandor yang sedang mengawasi para pekerja. Jauh dari kesan perlente. “Saya mah, ya, begini,” kata Iim menjelaskan alasan tak berpenampilan formal layaknya petinggi perusahaan. Dia mengaku tak ingin kehilangan jati diri sebagai orang desa, sehingga memilih berpakaian seperti warga desa umumnya. “Buat apa tampil mencolok, tapi tak berbuat apa-apa,” tegasnya.

Terlahir di Dusun Binaloka, Desa Kaduela, Iim awalnya berprofesi sebagai pedagang. Ia tergerak mengembangkan potensi alam desanya, setelah melihat objek wisata Telaga Cicerem punya daya tarik bagi wisatawan. “BUMDes Arya Kamuning mulai aktif 2017. Kami coba memaksimalkan (pengelolaan) Telaga Cicerem. Alhamdulillah, responsnya positif,” ungkap ayah tiga anak itu.

BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata
Bertemu Direktur BUMDes Arya Kamuning Iim Ibrahim/Mochamad Rona Anggie

Sukses menata Telaga Cicerem, naluri kemandirian Iim menangkap peluang lainnya. Ia melihat lahan luas di blok Sidelan yang merupakan tanah bengkok milik perangkat desa. Dua lokasi berseberangan yang dipisahkan jalan desa itu, kemudian dibangun kolam renang dan bumi perkemahan pada 2021–2022. “Kami memanfaatkan lahan kritis, yang view-nya punya nilai jual,” kata Iim mengungkap awal ‘babat alas’ objek wisata Side Land.

Kiranya pilihan Iim dan anggota BUMDes Arya Kamuning jitu. Kini pengunjung Side Land sambil berenang bisa menikmati pemandangan persawahan hijau yang berundak, Gunung Ciremai yang menjulang di sisi utara dan gunung batu kapur di sebelah barat. Tambah lagi, udara sejuk khas perdesaan dijamin bakal membuat pelancong betah berlama-lama.

Iim membeberkan modal pembangunan Side Land memakai laba pengelolaan Telaga Cicerem plus pinjaman dari beberapa pihak. Di salah satu kolam renang, ditempel plakat peresmian Side Land pada 29 Maret 2022, yang ditandatangani oleh Iim. Perlahan tapi pasti, lanjut Iim, begitu dikenalkan ke publik, wisatawan dari Kuningan dan Cirebon langsung menyerbu. Terbukti pada libur panjang seperti Lebaran, pengunjung bisa mencapai 800–1.000 orang per hari. Termasuk libur anak sekolah dan momen akhir tahun. Di hari biasa, Side Land mampu menyedot rata-rata sehari 300 turis domestik.

  • BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata
  • BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata
  • BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata

“Alhamdulillah, sudah bisa bayar pinjaman dan memberdayakan perekonomian warga desa,” ucap Iim semringah.

Terkait pilihan nama Side Land, terang Iim, pengurus BUMDes Arya Kamuning sempat berembuk menghimpun ide dan masukan. Kira-kira nama apa yang mengundang penasaran wisatawan, mudah diingat, dan pastinya punya nilai jual. “Karena ada di blok Sidelan, tercetuslah Side Land,” ungkapnya.

Iim melengkapi pula keseruan rekreasi di Side Land dengan mendatangkan delapan unit motor empat roda alias all-terrain vehicle (ATV). Pengunjung akan melewati medan berlumpur dan trek menantang lainnya selama 25 menit, dengan harga sewa Rp25.000 per unit.

Pihaknya menawarkan pula petualangan off-road, melibatkan komunitas jip dengan harga mulai 400–500 ribu rupiah durasi satu jam, menempuh jarak enam kilometer. Wisatawan dibawa keliling perdesaan menyaksikan aktivitas tanam padi di sawah, naik ke perbukitan, melintasi hutan dan kolam-kolam ikan milik warga. “Bakal menjadi pengalaman yang mengesankan bagi orang kota. Mudah-mudahan mereka mau datang lagi,” harap Iim.

BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata
Unit ATV di Side Land yang bisa disewa/Mochamad Rona Anggie

Pemuda Desa Enggan ke Kota Lagi 

Iim menyebutkan sampai sekarang ada 170 pengurus BUMDes Arya Kamuning. Terdiri dari pemuda dan pemudi anggota karang taruna, ibu rumah tangga, serta orang-orang tua. Ia menegaskan pengerjaan proyek Side Land, termasuk penataan Telaga Cicerem, murni dikerjakan penduduk lokal. “Kami tak pernah memakai konsultan. Berupaya menampung ide-ide warga desa, kemudian direalisasikan secara gotong-royong,” tuturnya bangga. 

Sejauh ini pengembangan wisata alam Desa Kaduela mampu menarik perhatian anak muda setempat. Di antaranya Irman Nurahman, yang sejak 2016 aktif di karang taruna. Kepada penulis, lelaki 35 tahun itu menjelaskan, ketika pemerintah pusat mengharuskan sebuah desa memiliki BUMDes pada 2017, lantas terbentuklah BUMDes Arya Kamuning. “Mulanya karang taruna yang mengelola Telaga Cicerem. Kemudian beralih ke BUMdes, otomatis saya ikut gabung,” katanya.

Irman mengaku kehadiran BUMDes Arya Kamuning sangat berarti dalam perjalanan hidupnya. Sebelumnya usai tamat SMP, ia memilih merantau ke kota. Bekerja membantu perekonomian orang tua dan menambah pengalaman. Namun, begitu ada BUMDes, ia tak tertarik lagi ke kota. “Walau pendapatan di kota itu besar, tapi biaya hidup besar pula. Dihitung-hitung enak tinggal di kampung sendiri, sesuai antara pendapatan dan pengeluaran,” papar lelaki yang baru saja dikaruniai anak pertama itu. “Istilahnya kalau ada (pekerjaan) yang dekat, kenapa cari yang jauh,” imbuhnya. 

Selain itu, sambung Irman, BUMDes Arya Kamuning kini menjadi wadah aktivitas positif generasi muda Desa Kaduela, karena kegiatan di karang taruna sedang tidak aktif. Dalam pengamatannya, pemuda dan pemudi Desa Kaduela tampak antusias ikut mengelola tempat wisata di kampung halaman. “Kami senang turut diberdayakan dan bisa berkiprah memajukan desa,” kata tenaga harian lepas (THL) penjaga wahana ayunan di Telaga Cicerem itu.

BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata
Informasi wisata BUMDes Arya Kamuning di pertigaan Polsek Pasawahan/Mochamad Rona Anggie

Pemuda lainnya, Opik Hidayat, memilih bergabung di BUMdes Arya Kamuning sejak 2021, sebab terkena pemutusan hubungan kerja ketika mengadu nasib di kota. “Waktu itu ada wabah COVID-19, saya kena pengurangan karyawan. Pulang ke desa, lalu tertarik gabung BUMdes,” ucap lajang 25 tahun itu.

Kini, Opik bertugas di loket tiket pintu masuk Side Land. Bergantian jaga selang sehari dengan Hilda. Baginya, menyibukkan diri di BUMDes Arya Kamuning lebih menyenangkan, ketimbang berjibaku dengan kerasnya kehidupan kota. “Lebih tenang di sini, banyak teman dan keluarga,” ujarnya seraya menyebut kawan lainnya dipercaya menjaga parkir kendaraan, mengurus pemeliharaan taman, dan mengawasi pengunjung yang berenang. “Apalagi kami diberi bayaran, ya, senang dong,” tambah bungsu dari empat bersaudara itu.

Senada dengan Hilda, yang memutuskan aktif di BUMDes sejak 2022. Ia menjadi petugas ticketing Side Land bergantian dengan Opik. Menurutnya, pemberdayaan masyarakat oleh BUMDes Arya Kamuning terasa nyata, bukan lagi sekadar omong-omong. “Selain dekat rumah, juga dekat dengan keluarga. Kalau kerja di kota kan jauh (dari keluarga),” tuturnya memberi alasan tertarik bekerja di Side Land.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bumdes-arya-kamuning-memberdayakan-warga-kaduela-dengan-pariwisata/feed/ 0 46308
Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok https://telusuri.id/mendaki-ciremai-di-akhir-pekan-banyak-pendaki-wangi-dan-tektok/ https://telusuri.id/mendaki-ciremai-di-akhir-pekan-banyak-pendaki-wangi-dan-tektok/#comments Mon, 27 Jan 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45454 Sejak pertama kali kenal pendakian gunung tahun 2001, saya lebih suka mendaki di hari biasa, bukan akhir pekan. Menghindari keramaian. Sebab, bagi saya berada di alam terbuka lebih nyaman dinikmati ketika sepi pengunjung. Tapi kemarin...

The post Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok appeared first on TelusuRI.

]]>
Sejak pertama kali kenal pendakian gunung tahun 2001, saya lebih suka mendaki di hari biasa, bukan akhir pekan. Menghindari keramaian. Sebab, bagi saya berada di alam terbuka lebih nyaman dinikmati ketika sepi pengunjung.

Tapi kemarin itu, saya bersama dua anak lelaki: Rean Carstensz Langie (14) dan Muhammad (10), mencoba mendaki Gunung Ciremai, Sabtu (5/10/2024). Saya ingin tahu seramai apa jalur pendakian via Palutungan, Kuningan, saat akhir pekan.

Buat Rean dan Muhammad, ini perjalanan keempat menuju atap Jawa Barat setinggi 3.078 mdpl (meter di atas permukaan laut) tersebut. Sebelumnya pernah menjajal rute Palutungan (2022), Trisakti Sadarehe (2022), dan Linggarjati (2023). Sebenarnya tim keluarga ini berjumlah empat orang. Namun, Evan Hrazeel Langie—kembaran Rean— absen karena beda waktu liburan sekolah. Ia mondok di Solo. 

Kami berangkat dari Kota Cirebon pukul 07.00 WIB, dan tiba di basecamp Cadas Poleng 1,5 jam kemudian. Baru awal tahun 2024 lalu, titik awal pendakian Ciremai via Palutungan pindah ke sentra penghasil daun bawang dan kol di ketinggian 1.180 mdpl tersebut. Jalur masuknya searah Bumi Perkemahan Ipukan. Jalan yang menanjak, angin dingin khas dataran tinggi, serta hutan pinus menjulang, menjadi “gerbang” selamat datang bagi setiap pengunjung.

Pagi itu, parkiran motor nyaris penuh. Saya gendong carrier di punggung, daypack di dada. Rean membawa ransel dan menjinjing tenda. Muhammad menyandang tas yang biasa dipakai sekolah. Di loket registrasi, para pendaki mengurus perizinan. Tiket resminya Rp50.000 per orang. Pendaki juga mengisi formulir kelengkapan perbekalan yang dibawa. Bentuk kesiapan pendakian sekaligus catatan daftar potensi sampah yang wajib dibawa turun kembali.

Kiri: Pos registrasi pendakian Gunung Ciremai via Palutungan. Kanan: Pos 1 Cigowong dan penampakan carrier “kulkas” serta daypack yang memuat perlengkapan pendakian standar. Kami rehat untuk salat dan makan siang di pos ini/Mochamad Rona Anggie

Bergerak Menuju Cigowong dan Tanjakan Asoy

Setelah berdoa, saya dan anak-anak mulai mendaki dan sampai di Pos 1 Cigowong pukul 10.36 WIB. Kami melihat ada warung baru di sana. Saat mendampingi anak lanang perdana mendaki Ciremai pada 2022, hanya ada satu warung.

“Buka Mei kemarin (2024),” kata bapak pemilik warung.

Sementara sang istri dan anak perempuannya, sibuk melayani pembeli. Ada semangka segar, gorengan bala-bala dan gehu, nasi campur serta aneka minuman. Konsumennya, ya, pengunjung yang hiking atau camping di Cigowong. 

Saya dan anak-anak selonjoran kaki sambil ngemil biskuit dan meneguk teh manis hangat. Kami menanti waktu zuhur, lantas makan siang. Suasana hutan dengan gemericik air dari sumber mata air yang dialirkan lewat pipa-pipa, menambah ritmis suasana di Cigowong. Batin terasa tenang. Pikiran lapang. Membuang segala keruwetan kota.

Perbekalan air dimaksimalkan di Cigowong. Tak ada lagi sumber air menuju delapan pos berikutnya. Pendaki mesti cermat mengatur kebutuhan minum dan memasak.

Siang itu cuaca cerah. Trek menanjak perlahan. Kami melewati Pos 2 Kuta, Pos 3 Paguyangan Badak, Pos 4 Arban, hingga memutuskan buka tenda di Pos 5 Tanjakan Asoy jelang asar, karena gerimis turun. Sebagian besar pendaki hanya rehat sejenak di Pos 5. Mereka meneruskan perjalanan dan bermalam di transit camp Pos 6 Pasanggrahan, sebelum dini hari atau paginya meneruskan pendakian ke puncak.

Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok
Tempat bermalam di Tanjakan Asoy. Berharap tak ada gangguan babi hutan/Mochamad Rona Anggie

Angin Kencang dan Kabut Tebal di Puncak

Pukul 02.00 WIB kami bersiap meninggalkan Tanjakan Asoy. Kami sempatkan makan sedikit nasi liwet dan mi telur berkuah plus sereal. Penunjang tenaga selama summit attack. Setengah jam melangkah, kami sampai Pos 6 Pasanggrahan. Banyak tenda di sini. Jarak ke puncak sekitar 3-4 jam lagi.

Trek berbatu mendominasi sampai Pos 8 Simpang Apuy, persimpangan jalur Palutungan (Kuningan) dan Apuy (Majalengka). Barisan pendaki dari Apuy memanjang dengan sorot lampu di kepala. Kami ada di punggungan yang berbeda, terpisah jurang dalam. 

Tanda-tanda sunrise belum muncul. Padahal pemandangan lepas ke segala arah. Area Pos 7 Sanghyang Rangkah ke Simpang Apuy adalah batas vegetasi. Tubuh pendaki leluasa dihantam angin. Tak ada lagi barisan pepohonan sebagai benteng alam.

Cuaca kurang bersahabat. Mendekati Pos 9 Goa Walet pukul 05.00 WIB, mestinya sinar terang keemasan sudah tampak di ufuk. Namun, kabut tebal mengurung. Jarak pandang terbatas. Dingin, jangan tanya. Angin menampar bagian tubuh yang tak tertutupi pelindung.

Kami salat Subuh di area datar dekat papan penunjuk Pos 9 Goa Walet. Muhammad mengeluh kedinginan. Tangannya mati rasa (kebas). Saya lepas sarung tangan dan memakaikan dobel ke Muhammad. Kami terus berjalan, hingga akhirnya sampai di titik tertinggi Jawa Barat pukul 05.30 WIB. Angin kencang dan kabut tebal merubung. Kawah Ciremai yang luas dan dalam tidak terlihat.

Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok
Berfoto di tugu triangulasi puncak Ciremai/Mochamad Rona Anggie

Alhamdulillah, tugu triangulasi puncak masih tampak dan jadi sasaran pendaki untuk dokumentasi. Angin bergemuruh. Bukan pilihan bijak membawa anak kecil untuk berlama-lama dengan kondisi demikian.

Setengah jam menanti cuaca terang, berharap kehangatan mentari pagi, tapi tak jua datang. Saya putuskan turun ketika kondisi masih fit, kaki kuat melangkah. Jangan menyepelekan ketersediaan tenaga ketika turun gunung. Keselamatan anggota tim adalah nomor satu.

Mendaki gunung bukan hanya soal bagaimana sampai di puncak, melainkan juga bisa turun dengan selamat. Kita tidak cari mati di gunung! Pendaki gunung adalah orang-orang yang menghargai hidup, dan berjuang sebaik-baiknya.

Setibanya di Pos 9 Goa Walet, cuaca belum berubah. Masih berkabut. Deras rombongan pendaki naik, bertanya, “Gimana di puncak?” Kami jawab, kabut tebal. Di Simpang Apuy, udara tidak terlalu dingin lagi. Pemandangan cerah, tetapi pancaran sinar matahari belum merata.

Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok
Pos 9 Goa Walet setelah dari puncak. Kondisi kami sehat/Mochamad Rona Anggie

Berjumpa Pendaki Wangi dan Tektok

Sambil melangkah turun, saya mengamati jumlah pendaki wanita imbang dengan lelaki. Tampilan muda-mudi itu stylish. Pendaki cewek tak lupa memoles wajah, memakai pemerah bibir dan parfum. Ini gunung atau mal, batin saya. Bawaan mereka juga lebih simpel. Tidak banyak yang membawa carrier “kulkas” (istilah ransel berukuran besar yang isinya menyimpan banyak logistik seperti kulkas). Hanya berbekal hydrobag—tas air minum minimalis—atau sekadar daypack

Tentu zaman sudah berubah. Saya ingat ketika mendaki tahun 2001 dulu, pendaki wanita dan lelaki sama kusamnya. Tak kenal dandan di gunung. Tak ada sepatu warna-warni model sekarang. Pilihannya sepatu lars tentara atau sepatu gunung yang menutupi mata kaki dan tulang kering. Pakai kupluk seadanya. 

Pas mendaki kemarin itu, kiranya hanya saya yang pakai bandana. Sepatu bergerigi Jack Wolfskin, carrier “kulkas” di punggung plus daypack di dada. Kelihatan berat, padahal ini standar perlengkapan pendakian.

Ketika sampai kembali di Pos 5 Tanjakan Asoy, jumlah pendaki tektok terlihat semakin banyak. Mereka menyandang tas sekolah. Terkaan saya hanya berbekal snack dan air mineral. Usianya masih remaja, setingkat pelajar SMP.  

Gila, pikir saya. Modal naik gunung begitu doang. Mirip rekreasi ke halaman belakang sekolah di serial Doraemon. Tak bawa tenda, jaket tebal, dan perlengkapan masak. Ada satu momen saya dapati pendaki yang tak beralas kaki alias nyeker.

Lho, ke mana sepatunya?” 

“Jebol, Pak.”

Saya merasa miris. Prihatin. Betul mereka izin di pos registrasi sekadar hiking. Atau tektok; mendaki sekali jalan, tanpa bermalam. Ada yang memang sudah biasa tektok mencapai puncak. Ada yang sekadar sampai Pos 3–Pos 5, lantas balik lagi. Tapi, ya, perlengkapan jangan disepelekan, dong. Gunung selevel Ciremai, tentu semua sepakat bukan untuk rekreasi santai ala kadarnya.

Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok
Tampilan pendaki zaman now, lebih simpel dan stylish. Tampak dari model sepatu “ringan” warna-warni/Mochamad Rona Anggie

Bahaya Mendaki Tektok Tanpa Persiapan

Kita ketahui, olahraga mendaki gunung penuh risiko. Perlu pengetahuan dan keterampilan khusus, bukan semata kaki bisa jalan menanjak, dan mendakilah seenaknya. Atau sesimpel itu mungkin, ya, generasi kekinian melihat olahraga mendaki gunung. Alhamdulillah, kalau tak ada masalah. Tapi, benarkah?

“Tiap akhir pekan kami ketat mengawasi, pendaki yang sampai Pos 6 lebih dari jam sembilan pagi, kami suruh turun kembali. Tak boleh terus ke puncak,” kata Asep (25), ranger yang berjaga di shelter darurat Pos 6 Pasanggrahan.

“Pendaki tektok yang belum expert, semacam remaja-remaja itu, membuat repot. Tantangan evakuasi makin besar,” ucapnya.

Penjelasan lebih dalam saya dapat dari pengelola basecamp Palutungan yang terbilang senior, Sandi Baron (52). Menurutnya, pendaki pemula coba mendaki tektok karena pengaruh media sosial.

“Belakangan ini viral pendakian tektok. Tambah lagi komunitas trail run (lari di gunung) bermunculan. Remaja-remaja itu penasaran, mau coba. Akhirnya booming. Bisa sampai seratus orang kalau akhir pekan,” tuturnya.

Sayangnya, lanjut Mang Baron, antusiasme yang tinggi tak dibarengi persiapan serta pengetahuan yang cukup. “Beberapa pendaki (tektok) kami evakuasi karena kelelahan dan kedinginan. Bekal makanan kurang, energi diforsir,” ujarnya.

Pihak basecamp akhirnya tegas: pendaki yang mau tektok, mesti start dini hari. Batas maksimal sampai puncak pukul 12.00 WIB. “Pendaki sudah biasa tektok berangkat jam dua atau tiga pagi. Sampai basecamp lagi magrib,” kata Baron. 

Dia menyebut pendaki remaja yang coba tektok banyak berasal dari Kuningan dan Cirebon. Mereka belum punya bekal komprehensif terkait ilmu pendakian gunung. Masih sebatas terbawa apa kata teman. “Tidak memikirkan risiko sama sekali, kan bahaya. Apalagi Ciremai, tak bisa didaki setengah hari sampai puncak. Kecuali memang atlet trail run profesional,” tuturnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-ciremai-di-akhir-pekan-banyak-pendaki-wangi-dan-tektok/feed/ 1 45454
Jalan Pagi ke Cigowong https://telusuri.id/jalan-pagi-ke-cigowong/ https://telusuri.id/jalan-pagi-ke-cigowong/#respond Fri, 17 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45395 Mendung menggelayut saat saya tiba di belokan Terminal Cirendang, Kuningan, Minggu (8/12/24). Waktu menunjukkan pukul 09.30 WIB. Saya lanjut tancap gas supaya tidak kehujanan di jalan. Rute menanjak jadi tantangan setiap pemotor di jalur arah...

The post Jalan Pagi ke Cigowong appeared first on TelusuRI.

]]>
Mendung menggelayut saat saya tiba di belokan Terminal Cirendang, Kuningan, Minggu (8/12/24). Waktu menunjukkan pukul 09.30 WIB. Saya lanjut tancap gas supaya tidak kehujanan di jalan.

Rute menanjak jadi tantangan setiap pemotor di jalur arah Dusun Palutungan, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur. Mesti lihai main gas dan rem karena banyak belokan tajam. 

Kecepatan saya cukup untuk menyalip beberapa city car. Melaju kencang hingga masuk pertigaan jalan baru. Terus menanjak melewati Rageman Resto. Sampai tiba-tiba, crak crak crak… Terdengar sesuatu dari bagian mesin. Saya gas, motor diam saja. Saya pun minggir. Sedan hitam yang baru saja disalip, balik mendahului.

Saya dorong motor ke warung bakso yang berjarak sepuluh meter di depan. Dugaan saya rantai karetnya putus. “Bengkel terdekat di mana, Teh?” tanya saya pada pemilik warung.

“Di depan SMK. Balik turun, pertigaan ke kiri lurus terus.” Karena jauh, si teteh mempersilakan saya menitip motor di warungnya, yang langsung saya iyakan. 

Saya berupaya mencari tumpangan dengan mencegat pengendara baik hati. Setelah sempat pesimis menanti motor tanpa penumpang, kemudian lewat pengendara Beat hitam, melaju pelan sendirian. Cepat saya cegat dengan gerakan tangan penuh semangat. Alhamdulillah, ia berhenti. Saya dekati, “Ikut ke atas.” Dia merespons dengan membuka pijakan kaki pembonceng. “Ya, mangga.”

Syukurlah, saya tetap bisa ke Palutungan. Saya diantar hingga gerbang lawas Bumi Perkemahan Ipukan. Saya lanjut jalan kaki ke basecamp Cadas Poleng, tempat registrasi pendakian Gunung Ciremai. Saya mengurus perizinan hiking ke Pos 1 Cigowong.

Jalan Pagi ke Cigowong
Tempat parkir motor basecamp Cadas Poleng/Mochamad Rona Anggie

Berlaku Tarif Baru

Kabut menyambut saya di Cadas Poleng. Petugas ramah melayani. “Sekarang ada penyesuaian tarif, Kang. Berlaku aturan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang baru,” terangnya. Saya sampaikan mau olahraga ke Cigowong. Dia menyobek tiga lembar tiket. “Jadi 30 ribu,” kata lelaki bernama Akoy itu.

“Mahal juga, ya?” saya sedikit protes.

“Iya, Kang. PNBP-nya naik. Sebelumnya 25 ribu,” ucapnya sambil tersenyum khas urang Sunda. Saya terima tiga lembar tiket yang diklip, terdiri dari Mitra Pengelola Pariwisata Gunung Ciremai (MPPGC) Rp19.500, asuransi Eka Warsa Bumiputera Rp500, dan karcis masuk wisatawan nusantara Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) Rp10.000.

Setoran ke pemerintah ada di tiket TNGC sebagai PNBP. Kenaikan ini berlaku serentak di sejumlah taman nasional. Bagi saya pribadi, lonjakan tarif cukup memberatkan. Apalagi harga tiket untuk semua jalur pendakian Gunung Ciremai kini 120 ribu per orang. Padahal sebelumnya “hanya” 75–80 ribu, termasuk biaya cek kesehatan. 

“Betul, tidak semua bisa menerima penetapan tarif baru ini,” ujar Akoy memahami kegundahan saya dan pendaki lainnya yang ‘sehati’. “Kami paham, daya beli semua orang berbeda,” lanjutnya coba menghibur.

Jalan Pagi ke Cigowong setelah PNBP Naik
Loket registrasi pendakian/Mochamad Rona Anggie

Tingkat Kunjungan Menurun

Menurut Akoy, tarif baru berimbas pada jumlah pengunjung TNGC via Palutungan. “Jelas, Kang. Turun drastis,” ucapnya. 

Ia membandingkan sebelum pemberlakuan PNBP baru per 30 Oktober 2024. Biasanya akhir pekan terdata seratusan pendaki. Belum lagi yang tektok—mendaki tanpa bermalam. Tambah pengunjung yang hiking ke Cigowong. 

“Bisa 200–300 orang kalau weekend. Sekarang di bawah seratus. Turun lima puluh persen,” timpal petugas lainnya, Sandi Baron.

Per 22 Oktober 2024, pengelola basecamp Cadas Poleng membatasi pula pendaki tektok. Semakin menyaring jumlah pengunjung. Belakangan ini pendakian tektok booming. Tak sedikit yang hanya coba-coba. Kebanyakan remaja baru kenal aktivitas alam terbuka tanpa pengetahuan memadai, sekadar ingin eksis di media sosialnya. 

“Kalau tidak kami perketat, bahaya. Tapi yang profesional, sudah biasa [tektok] tetap dibolehkan,” tambah Baron.  

Jalan Pagi ke Cigowong setelah PNBP Naik
Hutan pinus mendominasi/Mochamad Rona Anggie

Membelah Hutan Pinus, Menikmati Kesendirian          

Pukul 10.05 WIB, saya mulai melangkah. Target sebelum zuhur sudah sampai Cigowong. Jaraknya 3,4 kilometer. Pengalaman mendaki Oktober lalu, butuh 1,5 jam dengan carrier “kulkas”. Sekarang saya kejar 60 menit saja. Hanya bawa daypack berisi sebotol air, pakaian ganti, dan jas hujan.  

Tanjakan Beunta mengadang begitu masuk pintu rimba. Panjangnya kurang dari seratus meter, tetapi dijamin membuat kita langsung terjaga dan waspada. Beunta (Sunda) sama dengan melek (Jawa), alias buka mata.

Beberapa pengunjung berpenampilan ala pendaki tektok turun. Mungkin mereka start hiking pagi sekali. Gayanya celana legging, kaus baselayer, menyandang hydrobag, menggenggam trekking pole, dan memakai sepatu trail run warna-warni. Sebuah fenomena kekinian, yang tak saya jumpai di era pendakian dekade awal tahun 2000-an.       

Jalan Pagi ke Cigowong
Petunjuk arah ke puncak Ciremai/Mochamad Rona Anggie

Tegur sapa menjadi momen menyenangkan bila berpapasan sesama penggiat alam terbuka. Saya fokus melangkah sambil mengatur ritme napas. Jantung berdegup kencang. Keringat keluar. Itu tadi, jaraknya sedang saja hingga di ujung tanjakan, tetapi membuat kita beunta.

Trek selanjutnya datar lalu menanjak perlahan, memasuki kawasan hutan pinus (Pinus merkusii) yang lebat. Tanpa teman perjalanan, saya sudah menyiapkan diri menikmati suasana hening ini. Paru-paru menyerap dengan baik oksigen segar di alam. Betapa hutan sangat berharga bagi manusia. Kelestariannya jangan sampai dirusak.

Tak perlu khawatir salah jalur. Papan penunjuk arah banyak tersebar. Di sebuah percabangan, tanjakan berbatu siap dilewati. Seorang anak muda turun. “Masih banyak orang, kan, di atas?” tanya saya. Dia mengangguk. Saya memastikan di kedalaman rimba, masih bisa jumpa pengunjung lain.

Setelah tanjakan, langkah kaki kembali menembus setapak hutan pinus. Kali ini banyak batang pinus yang disadap getahnya. Sejak lampau getah pinus bernilai ekonomis sebagai bahan pembuat terpentin, cat, dan kosmetik.  

Jalan Pagi ke Cigowong setelah PNBP Naik
Batang pinus yang disadap getahnya/Mochamad Rona Anggie

Bertemu Pengunjung Lain

Sinar mentari belum mau menyentuh tanah. Langit tertutup mendung. Ketinggian bertambah. Jalan terus menanjak, tapi tak curam. Asyik dinikmati sambil sesekali berhenti, foto sana-sini. Memandangi rimbunnya hutan di seberang lembah. Oh, Ciremai, betapa hijau dan luasnya engkau… 

Sampai kemudian terlihat pengunjung lain yang mengarah naik pula. Semakin dekat, ternyata seorang ibu membawa tiga anak perempuan, ditemani dua keponakan lelaki. Mereka rehat sejenak. Kami saling menyapa. “Ini, Pak, biar enggak main hape aja,” cerocos si ibu, mengungkap alasan membawa buah hatinya hiking. “Sampai ketemu di Cigowong,” balas saya seraya meneruskan langkah.    

Vegetasi mulai bervariasi. Pinus masih mendominasi, bercampur dengan pepohonan khas hutan hujan tropis, seperti pakis raja (Angiopteris evecta), rasamala (Altingia excelsa), jamuju (Podocarpus imbricatus), Ki Putri (Podocarpus neriifolius), sarangan (Castanopsis argentea), dan puspa (Schima wallichii).

Saya tiba di puncak punggungan yang terbuka. Lokasi ini ideal untuk orientasi medan—mengenal tanda sekitar yang mencolok seperti puncak bukit, punggungan atau lembahan—untuk selanjutnya melakukan resection (menentukan titik di mana kita berada di kontur peta). Demikian ilmu navigasi darat yang pernah saya pelajari di Mapala UMY, dua dekade silam. 

Tak terasa sudah separuh perjalanan terlewati. Jalur lantas menurun, menuju sungai berbatu yang sedang kering. Kalau hujan deras, dipastikan air mengalir di sini. Terdapat cerukan cukup dalam. Awas, jangan sampai terpeleset.

Jalan Pagi ke Cigowong
Selamat datang di Cigowong/Mochamad Rona Anggie

Menanjak sedikit ke atas sungai kering, jalur pindah punggungan. Saya menyusuri setapak tanah yang gembur bekas tersiram hujan, berpapasan dengan banyak pengunjung yang turun. Terdengar suara-suara orang tertawa. Sepertinya Cigowong sudah dekat. Sebuah tanjakan panjang terbentang. Jalurnya lebar, tapi di tengahnya menganga. Bekas roda motor ojek gunung yang dikelola warga lokal.

Pertarungan otot betis versus tanjakan pamungkas tak terelakkan. Saya menggenjot langkah tanpa henti, sampai akhirnya Pos 1 Cigowong terlihat. Gembira rasanya menempuh titik 1.450 mdpl satu jam saja.

Sekelompok gadis ayu foto bareng di pos ojek dekat gerbang masuk. Mereka serius mengabadikan momen. Memasang timer otomatis di ponsel yang dicengkeram tripod, ingin semua kawan tampil lengkap dalam satu bingkai.

Keringat saya bercucuran. Riuh tawa dan obrolan seru menyambut di area perkemahan. Pengunjung memenuhi pinggiran warung. Saya menuju sebuah bangku di bawah pohon besar yang batangnya berlumut. Menikmati suasana hutan, menenangkan pikiran, menarik dan mengembuskan napas. Berulang kali. Merelaksasi tubuh sebisanya. Menghirup oksigen alami sebanyak mungkin. 

  • Jalan Pagi ke Cigowong
  • Jalan Pagi ke Cigowong
  • Jalan Pagi ke Cigowong

Saya sempatkan mengitari sekeliling, lalu mengisi ulang botol minum dengan air yang mengalir lewat pipa dari sumber mata air. Begitu menenggaknya dahaga sirna. Air dingin membasahi tenggorokan. Nikmat sekali. 

Niat makan siang di warung Cigowong saya urungkan. Sudah 20 menitan, saya segera turun gunung. Saya tidak melihat ibu yang membawa anaknya tadi. Mungkin mereka kembali ke bawah sebelum mencapai tujuan. 

Senang bisa jalan pagi ke Cigowong. Aliran darah terasa lancar, otot kaki menguat, dan terbayang makan siang di warung Cadas Poleng. Di tengah kegembiraan itu, petualangan lainnya menanti: saya mesti cari tumpangan turun, mengambil motor di penitipan, lalu mencari bengkel terdekat untuk memperbaiki motor supaya bisa pulang  ke rumah. Ah, hari yang penuh tantangan sekaligus tak terduga.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jalan Pagi ke Cigowong appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jalan-pagi-ke-cigowong/feed/ 0 45395
Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan https://telusuri.id/memandang-atap-jawa-tengah-dan-jawa-barat-dari-ipukan/ https://telusuri.id/memandang-atap-jawa-tengah-dan-jawa-barat-dari-ipukan/#respond Wed, 25 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44700 Saat momen liburan sekolah, saya dan keluarga berangkat camping ke Bumi Perkemahan (Buper) Ipukan, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Letaknya di barat daya Cirebon, kota tempat kami tinggal. Kami berangkat hari Kamis (17/10/2024), selepas asar, dengan...

The post Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat momen liburan sekolah, saya dan keluarga berangkat camping ke Bumi Perkemahan (Buper) Ipukan, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Letaknya di barat daya Cirebon, kota tempat kami tinggal. Kami berangkat hari Kamis (17/10/2024), selepas asar, dengan mobil. Kami akan menempuh perjalanan 1,5 jam. Personel kali ini lengkap: saya dan istri, tiga jagoan anak lanang serta dua bocah wadon.

Saya dan keluarga sengaja tidak jalan saat akhir pekan, menghindari kepadatan pelancong. Bayangan kami, malam Jumat bakal sedikit yang berkemah di buper yang terletak di Dusun Palutungan, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur itu.

Namun, harapan kami meleset setibanya di Ipukan pukul 17.30 WIB. Kok, ramai?

Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan
Acara berkemah siswa-siswi SMAN 2 Indramayu di Ipukan/Mochamad Rona Anggie

Ipukan, Pilihan Rekreasi Luar Ruang untuk Keluarga

Melihat kedatangan kami, petugas tiket datang. “Mau nengok, main saja, atau camping?” 

Camping,” jawab saya.

“Berapa orang?”

“Lima.” Sengaja saya tidak menghitung anak nomor empat dan lima, karena masih berusia empat dan tiga tahun. Biasanya bebas tiket masuk.       

 Petugas perempuan itu pun menyobek lima lembar tiket. “Jadi seratus ribu,” ucapnya.

Rame, lagi ada acara apa, teh?

“Kemah pramuka dari SMAN 2 Indramayu.”

“Wah, nggak kebeneran,” kata saya dalam hati, “niat nyari suasana sepi dan hening, malah sebaliknya.”

Memang, bagi warga Cirebon dan Indramayu, pilihan aktivitas luar ruang paling dekat adalah ke Kuningan atau Majalengka. Wisatawan lokal mendominasi kunjungan ke tempat-tempat rekreasi alam terbuka. Terutama wilayah pegunungan di Kuningan. Pada masa kolonial, keempat daerah itu ada dalam satu karesidenan. Publik mengenalnya dengan akronim Ciayumajakuning. 

Bagaimanapun, saya dan keluarga bersyukur, sudah bisa kumpul dan selamat sampai Ipukan. Ini hal yang membahagiakan. Terlebih si sulung kembar, yang sekolah di dua pesantren beda provinsi. Mesti cari waktu tepat biar bisa jalan bareng.

Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan
Suasana hutan pinus di sekitar tenda kami di Ipukan/Mochamad Rona Anggie

Membuka Tenda

Sebelum gelap datang, kami mencari tempat untuk membuka tenda. Untungnya buper Ipukan sangat luas. Pilihan bermalam dengan tenda ada di tiga titik: sekeliling hutan pinus (bagian tengah), tanah lapang menghadap belantara Gunung Ciremai (sebelah barat), atau di sisi timur dengan pemandangan kota Kuningan.

Tadinya kami pilih di area hutan pinus agar lebih dekat musala dan toilet. Tenda hendak digelar, tapi saya coba naik ke titik lebih tinggi sebelah timur. Siapa tahu masih ada tempat kosong. Sementara acara pramuka mengaveling area puncak Ipukan sisi selatan. Saya perkirakan ada seratus tenda dome mereka pasang, berdasarkan jumlah peserta yang melibatkan keseluruhan kelas dan guru pendamping.

Alhamdulillah, ada tempat bagus, dekat sebuah gazebo. Pemandangannya lampu kota, cantik sekali. Segera saya kabari anak-anak. Kami lantas boyongan memindahkan tenda dan tas perbekalan, melewati jalan setapak yang menanjak. Gelap mulai mengurung. Senter di kepala (headlamp) dinyalakan untuk membantu penerangan. 

Kami berpapasan dengan pelajar berseragam pramuka. Mereka hendak ke musala untuk salat Magrib. Panggilan dari kakak pembina membuat siswa dan siswi bergegas. Terdengar perintah dari pengeras suara yang tegas dan lantang, “Ayo, segera! Keluar dari tenda!”

“Kampung” kemah pramuka ada di bagian atas hutan pinus. Kami lewat di bawahnya, searah tempat parkir kendaraan. Banyak warung di dekatnya. Para pedagang kompak buka karena ramai pengunjung. Biasanya kalau sedang sepi, hanya satu-dua warung saja yang buka.

Mereka menawarkan ragam makanan. Ada panganan tradisional, seperti cilok dan cilor, bala-bala, gehu, serta siomay. Tidak ketinggalan bakso, mi rebus, dan nasi goreng. Minumnya wedang jahe, susu, kopi atau teh panas. Harganya masih ramah di kantong. Kalau mau, bisa jajan sepuasnya, andai tak bawa bekal.        

“Nah, oke, kan?” tanya saya begitu sampai. Semua mengangguk tersenyum. Lalu mengerjakan tugas masing-masing.

Si kembar, Rean Carstensz Langie (14) dan Evan Hrazeel Langie (14), membangun tenda dome kapasitas lima orang. Tenda hadiah waktu mereka sunat di usia enam tahun. Muhammad (10) merentangkan matras di atas lantai gazebo, sedangkan anak kecil perempuan langsung gogoleran (rebahan).

Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan
Ada beberapa gazebo di sini, bisa dimanfaatkan untuk menaruh perbekalan, memasak, dan makan bersama/Mochamad Rona Anggie

Cuaca Bersahabat di Ipukan

Perbekalan dibongkar oleh ibunya anak-anak. Ia merebus air, membuat teh dan kopi. Camilan awal disiapkan: roti bakar dan kentang goreng. Makan malamnya ayam kecap plus sop bakso.

Udara terasa sejuk. Belum terlalu dingin. Angin juga sepoi saja. “Asap” dari mulut tak keluar. Perkiraan suhu 15 derajat Celsius. Ini kali pertama dua bocah wadon diajak bermalam di alam terbuka. Sempat khawatir mereka tak betah, rewel, lalu minta pulang—wah, bisa gagal kemahnya. Tapi syukurlah, semua baik-baik saja. Situasi kondusif.

“Puncak musim dinginnya sudah lewat. Agustus–September,” kata pengelola Ipukan, Muhammad Jawil (45), ketika memasang lampu di gazebo. 

Saya yang mengadu lampu mati saat mampir ke warungnya untuk membeli kayu bakar Rp20.000 per ikat. Sudah mencakup serpihan kulit pinus sebagai bahan bakar.

“Oh, siap! Nanti saya pasang,” ucap lelaki perintis buper Ipukan pada 2014. Selain makanan dan minuman, warung Pak Jawil juga menyediakan sewa perlengkapan camping, seperti tenda, sleeping bag, kasur tiup, kompor portabel, dan peralatan masak.

Ditanya kapan hujan terakhir, Jawil menyebut sudah lama tidak turun. Menurutnya, sekarang cuaca sedang bersahabat. Siang tak terlalu panas, malam tidak hujan. “Cerah, insyaallah. Bebas babakaran,” ujar warga asli Palutungan itu dengan logat Sunda. 

Ada harapan bisa bikin api unggun tanpa khawatir air langit tumpah. Mau memanggang (barbeque) juga aman.

Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan
Warung Jawil yang cukup lengkap/Mochamad Rona Anggie

Semarak Kembang Api 

Pukul 19.30 WIB, ada upacara di “kampung” kemah pramuka. Kami mampir melihat. Ratusan siswa membentuk lingkaran, mengelilingi kayu yang menumpuk tinggi. Persiapan api unggun besar. Tiap perwakilan ekstrakurikuler membacakan “janji”, semacam komitmen anggota pada ekstrakurikuler yang diikuti. Anak pramuka menyuarakan Dasa Darma.   

Upacara ditutup simbolis dengan menembakkan kembang api ke udara. Ledakannya keras. Kilat api berbagai warna melesat. Percikannya menyebar ke sela-sela dahan pinus. Terang. Semarak. Riuh suara para murid. 

Sementara bocil wadon mendekap saya erat. Takut pada ledakan yang berentetan, ia minta menjauh. Saya gendong kembali ke gazebo, baru dia tenang. 

Kami segera membuat perapian dan duduk mengitarinya. Kudapan dikeluarkan. Tangan memegang kuping gelas berisi teh panas. Kami memandang lampu-lampu permukiman penduduk desa dan sebagian rumah warga kota Kuningan. Memang benar, berkemah itu mencari udara dingin plus pemandangan lepas nun jauh. Sulit didapatkan kalau tidak di ketinggian. 

Mendekati pukul 22.00 WIB, anak-anak perempuan dan ibunya masuk tenda. Walau puncak musim dingin sudah lewat, tetap saja makin larut udara pegunungan membuat ingin segera berselimut kantung tidur. Anak lanang tak beranjak dari api unggun. Saya memilih istirahat di gazebo.

“Kalau api sudah padam, biarkan baranya. Nanti bisa dinyalakan lagi,” pesan saya sebelum masuk sleeping bag dan memejamkan mata.

Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan
Tampak Gunung Slamet dengan latar momen jelang matahari terbit/Mochamad Rona Anggie

Puncak Slamet dan Ciremai di depan Mata

Azan subuh membangunkan. Di samping saya ada Evan dan Muhammad tidur pulas. Posisi tubuhnya mirip udang. Dini hari memang tambah dingin. Rean masuk tenda. Tak terdengar suara anak perempuan menangis. Berarti aman, mereka bisa tidur nyenyak. 

Perlu tekad kuat keluar dari kantung tidur. Terbayang dinginnya air ketika wudu. Tapi, kewajiban mesti ditunaikan. Saya bangunkan anak-anak untuk salat Subuh, lalu bergegas menuruni jalan setapak. Benar saja, saat menginjak lantai kamar mandi, terasa menyentuh balok es. Beratnya mengguyurkan air ke anggota tubuh.    

Selesai menunaikan salat, kami mendekati perapian. Menumpuk sisa kayu, meniup bara yang redup. Api muncul setelah tiupan kesekian kali. Menjilati potongan kayu yang bersilang lalu terbakar. Api membesar. Saya membolak-balikkan telapak tangan untuk menghalau dingin.  

Cahaya kuning keemasan perlahan muncul di ufuk, menyibak langit yang gelap. Bertambah menit, semakin menawan. Tumpukan awan berjejal laksana spring bed empuk yang superluas. Andai bisa menjatuhkan tubuh di atasnya, lalu berguling-guling tanpa beban.

Di kejauhan, tampak sesuatu menyembul dari balik cakrawala. Biru langit menaunginya. Sinar matahari menyibak tirai kabut dan segala penghalang. Masyaallah, Gunung Slamet (3.428 mdpl) menyambut pagi dengan senyum merekah. Kami tak kuasa berucap apa pun, selain memuji kebesaran-Nya. Sapuan kuas Sang Pencipta begitu sempurna melukisnya.      

Perkampungan terlihat mungil di bawah sana, seolah hanya seukuran rumah permainan monopoli. Menara pemancar dan masjid bagaikan batang korek yang ditancapkan. Hamparan kebun terlihat seluas keset kaki. Berpetak-petak. Terbayang hamster-hamster di atasnya, seperti yang kami pelihara di rumah. 

Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan
Belantara Ciremai. Ipukan bersebelahan dengan jalur pendakian Gunung Ciremai via Palutungan/Mochamad Rona Anggie

Berada di ketinggian membuat pandangan leluasa, hingga kemudian lamunan merajalela ke mana-mana, mengingat kenangan ini dan itu. Fragmen kehidupan melintas di kepala. Serupa salindia Microsoft PowerPoint.

Anak-anak memanggil, mengajak jalan pagi. Gunung Slamet masih tampil di layar alam saat kami bergerak ke barat. Sebuah tanah lapang jadi tujuan. Di sana, setelah melewati dua jalur setapak menanjak, kelebatan rimba Gunung Ciremai (3.078 mdpl) membentang. Hutan hijau memanjakan penglihatan.

Atap Jawa Barat ada depan mata. Begitu dekat, seolah bisa disentuh. Terbayang pendakian saya dan anak-anak lanang menuju pucuknya. Jejak waktu merekam perjalanan kami, memberi banyak pelajaran hidup. Dan Ipukan, menambah cerita lanjutan tentang cinta dalam diary kami.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memandang-atap-jawa-tengah-dan-jawa-barat-dari-ipukan/feed/ 0 44700