kupang Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kupang/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 12 Dec 2024 12:31:25 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kupang Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kupang/ 32 32 135956295 Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau https://telusuri.id/kisah-mahasiswa-sonde-jalan-sonde-asyik-di-pulau-semau/ https://telusuri.id/kisah-mahasiswa-sonde-jalan-sonde-asyik-di-pulau-semau/#respond Thu, 12 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44552 Jika ada penghargaan “Orang Paling Paranoid” sebelum melakukan perjalanan, mungkin aku akan memenangkan medali emas. Perahu kayu yang akan membawa kami ke Pulau Semau tampak begitu sederhana. Terlalu sederhana malah. Sampai-sampai aku curiga ini adalah...

The post Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau appeared first on TelusuRI.

]]>
Jika ada penghargaan “Orang Paling Paranoid” sebelum melakukan perjalanan, mungkin aku akan memenangkan medali emas. Perahu kayu yang akan membawa kami ke Pulau Semau tampak begitu sederhana. Terlalu sederhana malah. Sampai-sampai aku curiga ini adalah properti syuting film tentang nelayan tradisional yang kesasar di pelabuhan. Mesinnya mendengkur seperti kucing tua yang sedang flu. Tidak meyakinkan sama sekali.

“Bagaimana kalau perahu ini mogok di tengah laut? Bengkel mana yang harus disinggahi?” gumamku sambil berdiri kaku di Pelabuhan Bolok, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Pertanyaan itu muncul bersamaan dengan skenario lain yang berkelebat dalam kepala. Bagaimana jika ternyata ada portal dimensi di dasar Selat Semau; yang akan menyedot kami ke dunia paralel di mana manusia hidup di laut dan ikan-ikan hidup di darat?

Oke, mungkin itu agak berlebihan. Tapi, siapa yang tahu? Segitiga Bermuda saja masih misteri, apalagi Selat Semau yang jarang diliput National Geographic!

Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau
Aktivitas di Pelabuhan Bolok/Intan Idaman Halawa

Gejolak saat Menaiki Perahu

Aku adalah peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) Batch 2. Program dari Kemendikbud ini memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar di luar provinsi asal. Perjalananku ke Pulau Semau menjadi simpul tak terduga dalam peta pendidikanku. Awalnya, aku membidik dua perguruan tinggi, yaitu Universitas Udayana Bali dan Universitas Nusa Cendana (UNDANA) Kupang. Namun, keterbatasan kuota di Udayana mengalihkanku sepenuhnya ke UNDANA—yang kemudian membuka pintu menuju petualangan yang menakjubkan.

Sebagai pendatang yang baru pertama kali menyeberang dengan perahu, otakku bekerja lebih keras dari mesin perahu. Aku membayangkan segala kemungkinan terburuk. Bahkan sempat terpikir untuk mengikat diriku ke tiang perahu dengan tali ransel—ide yang langsung kutepis karena sadar hal itu hanya ada di film-film.

Di tengah guncangan perahu yang membuatku hampir menjatuhkan ponsel ke laut, mataku menangkap pemandangan yang membuat ketakutanku sejenak terlupakan. Air di bawah sana begitu jernih, seperti kaca yang bergerak. Ikan-ikan berwarna-warni berenang dalam kelompok kecil, sesekali berpencar lalu berkumpul lagi, seolah sedang bermain kejar-kejaran.

Rintik hujan mulai turun, lembut dan dingin. Setiap tetes menciptakan lingkaran kecil di permukaan air, seperti ribuan koin perak yang dijatuhkan secara bersamaan. Kuulurkan tangan, membiarkan air laut menyentuh ujung jari. Sensasi dingin air laut membuatku tersadar; ini nyata, bukan simulasi. Sebuah perahu kayu sederhana benar-benar bisa mengapung dan membawa kami melintasi selat. Fisika Newton, kau sungguh ajaib!

Setelah tiga puluh menit yang terasa seperti perjalanan menembus dimensi lain, perahu kami akhirnya merapat ke dermaga kayu Pulau Semau. Pak Sopir, pemilik pikap hitam yang sudah menunggu di pelabuhan, melambai ke arah kami. Mobilnya tampak seperti veteran perang yang masih gagah. Cat hitamnya sudah termakan usia di beberapa bagian, tetapi mesinnya menderu penuh semangat.

Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau
Menikmati perjalanan di atas perahu/Intan Idaman Halawa

Menjelajahi Pantai Otan

Di bak belakang pikap, dua bangku kayu panjang dipasang berhadapan. Aku memilih duduk menghadap depan, bukan karena lebih berani, melainkan setidaknya bisa melihat bahaya yang akan datang. Jemariku mencengkeram tepian bak mobil yang terasa panas karena sinar matahari.

“Siap semua?” tanya Pak Sopir dari kursi kemudi, matanya berkilat jahil dari kaca spion.

Belum sempat kami menjawab, pikap sudah melaju. Deru mesin bercampur dengan suara “krek-krek” dari bangku kayu, yang bergesekan dengan bak mobil setiap kali roda menghantam bebatuan. Ada retakan kecil di kaca belakang, hasil dari entah berapa ribu perjalanan sebelum kami.

Pikap melaju menuju pantai Otan, sesekali terguncang diiringi teriakan saat melewati bebatuan. “Mamaaa! Bapaaak!” jerit kami diiringi ketakutan.

Pikap terus melaju, mengambil belokan tajam yang membuat kami semua bergeser ke satu sisi. “Ya Tuhan, Ya Tuhan, Ya Tuhan,” Becca komat-kamit sambil memeluk ranselnya seperti pelampung darurat. Seruan itu berulang setiap kali mobil menuruni jalan berkelok.

Setelah lima belas menit yang terasa seperti lima belas tahun, pikap akhirnya berhenti di tanah lapang dekat Pantai Otan. Kami turun dengan kaki gemetar, beberapa masih mengucap syukur berkali-kali.

Di hadapanku terbentang hamparan pasir putih yang bertemu dengan air laut jernih berwarna hijau toska. Angin pantai bertiup kencang, membawa aroma asin yang membuatku merasa seperti keripik kentang berjalan. Kulihat Yazid sudah melepas sandalnya, berlari ke arah pantai sambil berteriak, “Pantai, i’m coming!”

Sementara teman-temanku berenang dan bermain air layaknya putri duyung yang baru menemukan kolam renang, aku memilih untuk menjadi arsitek pasir. Kubangun istana-istana megah, yang pada akhirnya diinjak oleh teman-temanku yang berlarian di tepi pantai.

Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau
Seorang teman berperan sebagai putri duyung di Pantai Otan/Intan Idaman Halawa

Menerjang Hujan menuju Perteduhan

Namun, alam punya selera humor tersendiri. Langit yang tadinya secerah presenter ramalan cuaca mendadak berubah jadi backdrop film horor. Hujan deras dan petir mengguyur pantai, menghancurkan kompleks istana pasirku dalam sekejap. Kami berdesakan di bawah pondok kecil yang jelas tak cukup untuk menampung semua orang. Sebagian pasrah bermain hujan. Slogan kelompok kami, “Sonde jalan sonde asyik” ternyata benar-benar terwujud hari ini. Tak ada momen yang terlewatkan, tak ada cerita yang terlupakan.

Teman-temanku yang masih basah seusai berenang menggigil kedinginan, bibir mereka membiru seperti habis makan permen blueberry beku. Sementara aku berusaha menghubungi Pak Thom, dosen pembimbing kami yang lebih dulu pergi ke rumah kenalannya. Telepon genggamku mulai bertingkah seperti remaja labil. Kadang ada sinyal, kadang tidak, kadang hanya bergetar tanpa alasan jelas, seolah sedang merajuk di saat yang paling tidak tepat.

Tapi seperti kata orang tua, segala sesuatu ada waktunya. Akhirnya Pak Thom mengangkat teleponku. Kujelaskan situasi kami yang sudah mirip es lilin dalam freezer. Beliau langsung sigap menghubungi sopir pikap yang tadi untuk menjemput kami ke rumah kenalannya, tidak jauh dari Pantai Otan.

Perjalanan menuju tempat berteduh ternyata menyimpan kejutan tak terduga. Dua puluh mahasiswa Asekae Nusantara—nama kelompok kami dengan slogan tadi yang terdengar seperti moto komunitas pendaki yang hobi karaoke—berdesakan di bak pikap hitam. Kami persis sarden kalengan versi manusia, lengkap dengan “kuah” air hujan yang tak henti mengguyur.

Kak Oswald, liaison officer kami yang baik hati, memutuskan untuk mengikuti dengan sepeda motor dari belakang. Mungkin sebagai bentuk solidaritas untuk mengurangi beban pikap yang sudah mengeluh lewat suara mesinnya. Atau, mungkin juga karena tak tega melihat kami yang sudah seperti bubur dalam blender. Hujan yang masih setia menemani membuat jalanan becek dan—oh, astaga—dipenuhi kotoran kerbau yang mencair bagai cokelat leleh yang salah resep.

Ban pikap kami melindas genangan demi genangan, mencipratkan “air” ke segala arah. Tawa kami meledak ketika mendengar seruan kaget Kak Oswald yang wajahnya tak sengaja terkena cipratan kotoran kerbau dari ban mobil kami. 

“Astaga!” teriaknya dalam logat Flores yang kental, seperti aktor sinetron yang baru tahu naskahnya diubah mendadak. Bahkan dalam kondisi menggigil kedinginan, kami tak bisa menahan tawa. Dalam situasi ini tidak ada yang kepikiran untuk mengabadikan momen tersebut dalam lensa kamera. 

Setibanya di tempat perteduhan itu, sepasang suami istri yang menjadi tuan rumah menyambut kami dengan hangat. Pak Thom dan pemilik rumah sudah membeli ikan basah sebelumnya untuk kami bakar. Aroma ikan bakar dan mangga Semau legendaris yang manis membuat perutku bernyanyi lebih keras daripada suara hujan di luar.

Halaman belakang rumah mereka yang luas dihiasi dengan deretan kayu bakar yang tidak tersusun rapi dan dihiasi rumput-rumput liar. Di antara tumpukan kayu itu, beberapa ekor ayam berjalan dengan gaya yang mengingatkanku pada fashion show— lengkap dengan kepala yang mengangguk-angguk seolah sedang menilai penampilan satu sama lain.

Sore harinya, setelah hujan mereda dan perut kami kenyang, kami menuju Kolam Penyu Uisimi. Uisimu merupakan sebuah kolam alami berisi air payau yang bening, tempat penyu-penyu berenang dengan bebas. Meski ukurannya tidak begitu besar, kolam ini dihiasi dengan pepohonan rimbun dan bebatuan karang di sekelilingnya.

“Hati-hati licin,” Kak Oswald mengingatkan. Wajahnya sudah bersih dari insiden “air cokelat” sebelumnya.

Aku memilih bermain ayunan yang tergantung di pohon tua di pinggir kolam. Dari sini, aku bisa mengamati teman-temanku yang berusaha berenang bersama penyu. Tiba-tiba, sesuatu menyentuh kakiku yang terendam air. Seekor ikan kecil, dengan tampang sepolos tukang parkir yang tidak sengaja menggores mobil, sepertinya menganggap jari kakiku adalah makanan.

“Maaf kaki saya bukan menu hari ini,” bisikku gemas melihat ikan itu.

Kembali ke Kupang

Menjelang senja, kami terpaksa mengucapkan selamat tinggal pada kolam penyu dan kembali ke pelabuhan. Dari jauh lampu-lampu Kupang mulai berkedip di kejauhan, seperti sekumpulan kunang-kunang yang sedang mengadakan festival musik elektronik. 

Di atas perahu motor, suara mesin berdentum seperti drumben dadakan, berpadu dengan nyanyian serak kami. Lagu Project Pop Ingatlah Hari Ini mengiringi perjalanan pulang. Percikan air laut dan embusan angin malam seolah ikut bernyanyi bersama kami. Butiran-butiran air asin mendarat di wajah, menciptakan sensasi dingin yang menyegarkan.

Kami bernyanyi lebih keras, mencoba mengalahkan deru ombak dan angin. Lagu demi lagu mengalir, dari Laskar Pelangi sampai Sepatu, dari Bento sampai Yogyakarta. Setiap lagu membawa kenangan tersendiri, setiap nada mengukir momentum yang tak terlupakan.

Ketika perahu akhirnya merapat ke dermaga, kami masih bisa merasakan getaran lagu terakhir di dada. Lampu-lampu Pelabuhan Bolok menyambut hangat, menandai akhir dari sebuah hari yang penuh cerita.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-mahasiswa-sonde-jalan-sonde-asyik-di-pulau-semau/feed/ 0 44552
Meniti Langkah di Gunung Timau https://telusuri.id/meniti-langkah-di-gunung-timau/ https://telusuri.id/meniti-langkah-di-gunung-timau/#respond Mon, 26 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41234 Obrolan perlahan berganti sunyi yang kini lebih sering merambat di antara kami berempat.  Semangat menggebu, yang memberi energi selama perjalanan jauh dari Kota Kupang, kini kian meredup. Apa mau dikata, malam ini pendakian Gunung Timau...

The post Meniti Langkah di Gunung Timau appeared first on TelusuRI.

]]>
Obrolan perlahan berganti sunyi yang kini lebih sering merambat di antara kami berempat.  Semangat menggebu, yang memberi energi selama perjalanan jauh dari Kota Kupang, kini kian meredup. Apa mau dikata, malam ini pendakian Gunung Timau benar-benar berakhir tidak sesuai rencana.

Kekecewaan menyelinap seperti kabut malam menyelimuti puncak yang tidak jauh lagi. Sudah hampir dua jam lamanya, kami berempat—saya, Hersa, Bryan, dan Ari—terduduk di pos penjagaan Gunung Timau, Amfoang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Portal tertutup tanpa ada satu pun penjaga yang berada di sana. Hanya ada sedikit cahaya lampu cas yang menerangi ruangan pos. Sepintas ruangan ini tampak baru saja ditinggalkan, mungkin beberapa puluh menit sebelum ketibaan kami. Ke mana perginya para penjaga? Pikiran kami menebak kemungkinan demi kemungkinan.

Kami sama-sama tahu, beberapa rombongan sebelumnya tidak diizinkan mendaki musabab kendala perizinan di sini. Bagi kami, jika tidak diizinkan mendaki, paling tidak kami mendapat kepastian dari petugas yang berjaga.

Menit demi menit terus berlalu, harapan kami semakin tipis. Dua tas carrier besar berisi peralatan kemah dan logistik tergeletak begitu saja, sementara dua sepeda motor terparkir lepas di depan portal masuk Gunung Timau.

Malam menjadi semakin sunyi. Hanya desiran angin dan suara binatang malam yang mengisi keheningan. Jaringan internet pun menghilang sejak kami tiba, meninggalkan notifikasi layanan roaming dengan promo internet Timor Leste. Padahal kami masih berada di Amfoang Tengah.

Harapan kami untuk mendaki akhirnya sirna. Tidak jauh dari tempat duduk kami, Ari menemukan sebuah papan kecil bertuliskan: “MOHON MAAF!!! KAMI TIDAK MENERIMA TAMU YANG INGIN BERKEMPING/PIKNIK, FOTO2 DI LOKASI INI. HARAP MAKLUM. TRIMS.”

Tak ada diskusi lebih lanjut. Dengan hati berat kami meninggalkan tempat itu.

Bermalam di Lelogama

Lelogama menjadi keuntungan tersendiri bagi kami berempat. Keberadaan bukitnya, yang belakangan menjadi salah satu lokasi camping favorit, menjadi tempat kami bermalam. Kembali ke Kupang jelas bukanlah pilihan. Menempuh perjalanan jauh di malam hari, dengan rasa lelah selama perjalanan datang, membuat kami memilih berkemah di Bukit Lelogama.

Saya menyusul Ari memarkir kendaraan, dengan sedikit keraguan yang seketika menguasai saya. Melepas kendaraan terparkir di pinggir jalan yang sepi, jauh dari pemukiman dan tempat kami mendirikan tenda, bagi saya sangatlah riskan.

“Aman, Os. Parkir di sini sonde apa-apa,” kata Hersa meyakinkan saya. Itu tidak segera membuat saya tenang, meski setang motor pun telah dikunci. Semoga saja aman, pikir saya sembari mengikuti langkah mereka menapaki Bukit Lelogama. 

Tak menunggu lama, kami mulai mendirikan tenda dengan cahaya senter menjadi penerang. Beres makan malam, saya dan Ari berbincang di dekat perapian, sementara Hersa dan Bryan berada sedikit jauh dari kami. Keduanya tampak serius membahas rasi bintang dan beberapa hal lain, sambil memotret langit Lelogama dengan pemandangan langit bertabur bintang yang menakjubkan. 

Malam kami di Lelogama berjalan panjang. Obrolan beragam topik, dengan tawa yang bersahutan sama lain, mengisi waktu menjelang tidur malam.

“Besok pagi buka mata, pas-pas Timau pung puncak ada di depan sana,” ujar Hersa. Saya menimpali dengan kata-kata penguatan, meski kesempatan pendakian gunung pertama saya pun harus tertunda.

Meniti Langkah di Gunung Timau
Bryan bersama Andre (kiri), anak lokal di Lelogama/Oswald Kosfraedi

Tengah malam, Lelogama kian sunyi. Menit-menit berikutnya, satu per satu dari kami akhirnya terlelap.

Keesokan paginya, saya terbangun lebih awal. Ringkik kuda yang melintas tak jauh dari tenda membuat saya seketika tersadar. Beres menenggak air mineral, saya beranjak keluar tenda. Menikmati udara pagi yang terasa begitu segar.

Pandangan saya beralih. Gunung Timau kini tampak di kejauhan, tepat seperti yang Hersa katakan semalam. Belasan menit kemudian, Ari akhirnya bangun. Diikuti Bryan yang mungkin tersadar setelah saya menggoyang-goyangkan tenda pagi itu. Hanya Hersa yang kembali tidur meski sempat tersadar sebentar. “Ada stres gagal muncak tuh,” ujar Bryan mencandai Hersa yang kembali terlelap.

Matahari yang kian meninggi membuat panas mulai terasa. Saya, Ari, dan Bryan sempat mengitari Lelogama yang tampak kering di tengah kemarau panjang. Beberapa jam kemudian, anak-anak setempat—Ofni, Andi, dan Andre—kemudian bergabung bersama kami. 

Sembari mengemas barang, kami menanyai mereka banyak hal selalu dijawab ala kadarnya. Belum lagi Ofni, yang lebih sering menanggapi kami dengan bahasa Dawan yang tentu tidak kami pahami. Sesekali tawa kami pecah mendengar jawaban kocak mereka, juga pertanyaan nyeleneh yang dilemparkan Bryan.

Tepat sebelum beranjak, Ofni menyarankan kami untuk mengunjungi Bukit Salib. “Di sana bagus kalau foto,” katanya bersemangat.

Kami berempat pun sepakat. Tak lupa berpamitan dengan mereka bertiga, kami lantas melaju kembali menyusuri jalur jalan ke arah Gunung Timau, sebab bukit Salib berada tepat sebelum kawasan hutan di kaki Gunung Timau.

Kembali Mencoba Keberuntungan di Gunung Timau

Beberapa ratus meter sebelum tiba di bukit Salib, ide berani kembali terbersit: mencoba keberuntungan di Gunung Timau. Bila menimbang waktu, rasanya ini akan sangat melelahkan bila kami harus melakukan pendakian tengah hari seperti ini. Belum lagi semalam kami hanya tertidur beberapa jam. Namun, itu sama sekali tak menjadi halangan, yang terpenting adalah kami bisa bertemu penjaga pos dan selanjutnya semoga saja diperkenankan mendaki.

Sepeda motor kami kembali melaju hingga tiba di pos penjagaan. Seorang petugas menghampiri kami. Hersa dan Bryan berbincang sebentar dengan petugas, sementara saya dan Ari sibuk membersihkan sepatbor motor yang dipenuhi tanah. 

Siang hari itu, keberuntungan berpihak pada kami. Petugas mengizinkan kami mendaki.

Penjagaan di Gunung Timau memang terbilang cukup ketat. Ini tentu bisa dimengerti, sebab tak jauh dari pos penjagaan berdiri Observatorium Nasional Timau, yang merupakan salah satu pusat pengamatan antariksa nasional. Siang hari itu kami melintasi observatorium tersebut, yang desainnya berbentuk bangunan bulat hijau dan beratap seperti kubah berwarna perak.

Bangunan kokoh di tengah kawasan hutan asri menjadikannya tampak begitu unik. Menurut beberapa sumber, pemilihan lokasi pengamatan antariksa ini tidak terlepas dari keberadaan lokasi tersebut, yang memiliki waktu langit paling cerah terbanyak dalam setahun dibanding tempat lain.

Tak jauh dari lokasi observatorium, tepat di batas aspal, kami memarkir kendaraan sesuai arahan petugas penjaga. Berdasarkan informasi Hersa dan Ari, yang sebelumnya pernah mendaki di sini, kami terlebih dahulu harus berjalan menuju titik start pendakian yang berada di dekat bumi perkemahan.

Meniti Langkah di Gunung Timau
Hersa meniti jalur pendakian ke puncak/Oswald Kosfraedi

Jauh sebelum pendakian ini benar-benar terlaksana, Hersa membohongi saya dengan mengatakan bahwa pendakian memakan waktu setengah hari. Ari sempat mengiyakan penjelasan Hersa, meski dengan sedikit ragu-ragu. Baru semalam mereka menjelaskan durasi pendakian Timau yang sebenarnya hanya memakan waktu satu sampai dua jam. Timau memang tidak terlalu tinggi, tetapi karena saya ikut mendaki, menurut mereka waktu tempuh bisa jadi lebih lama.

Langkah kami mulai menapaki jalan tanah dan berbatu. Beberapa ratus meter berikutnya, kami melintasi sebuah pasar tradisional yang terletak di tengah hutan Gunung Timau. Sebagai pendakian pertama, dengan persiapan minim dan kondisi fisik yang sebenarnya belum siap untuk melakukan pendakian, saya lebih banyak berhenti dan memaksa mereka bertiga untuk menyesuaikan. 

Jalan yang kami lintasi cukup lebar, dengan sedikit aspal yang masih tampak di beberapa titik. Sependek yang saya tahu, menurut penuturan beberapa orang, jalur tersebut adalah jalan menuju desa-desa di Kecamatan Amfoang Utara. Meski kondisinya sudah rusak parah, siang hari itu kami berpapasan dengan beberapa warga lokal yang mengendarai sepeda motor.

Tertatih Menuju Puncak

Tiba di titik start pendakian, kami berhenti sekitar belasan menit sebelum memulai pendakian. Setelahnya kami mulai berjalan melintasi jalur yang didominasi batuan, dengan beberapa titik yang cukup curam. Jalur pendakian Gunung Timau sebenarnya tidak terlalu panjang, tetapi cukup menantang dengan kontur tanah berbatu yang membuat kami harus sedikit memanjat.

Sudah tentu kondisi jalur seperti itu membuat saya menjadi lebih sering berhenti. Bahkan beberapa kali saya sempat meminta untuk tinggal dan menunggu mereka bertiga kembali dari puncak. Tentu saja ketiganya menolak, walau di saat bersamaan juga sama sekali tidak memaksa. Ketiganya dengan sabar menunggu setiap kali saya berhenti lama. 

Seiring langkah kami, udara segar di ketinggian dan pemandangan alam sekitar perlahan mulai memberikan energi positif. Pada setiap istirahat, kami saling berbagi cerita dan tawa, menciptakan suasana penuh keakraban sekaligus memori untuk dikenang. Meski awalnya ragu, saya kian yakin bahwa puncak adalah tujuan yang seiring waktu akan memberikan kepuasan tak tertandingi.

Kabut perlahan melingkupi saat puncak sudah tampak di depan mata. Namun, pendakian belum berakhir. Dengan segala energi yang tersisa, kami kembali melangkah menyusuri trek menanjak dengan batu-batu kecil berserakan. 

Di puncak, gerimis menyambut kami bersamaan dengan kabut yang kian tebal. Senyum puas terpancar dari wajah kami berempat, meski pemandangan dari puncak Timau sepenuhnya tertutup kabut. Hersa, yang sejak semalam begitu kecewa karena gagal mendaki, kini tersenyum sumringah. Bryan pun sama, kerinduannya untuk kembali mendaki setelah rehat beberapa tahun terbayar di Timau. Ari masih tetap dengan lelucon-lelucon atau plesetan katanya yang ia bawa hingga ke puncak.  

Tawa menghias kebersamaan kami selama beberapa puluh menit berada di puncak. Tawa yang mengisyaratkan kebahagiaan atas keberhasilan menginjakkan kaki di titik tertinggi. Untuk kebersamaan yang hangat, serta  akhir yang manis dari sebuah kebulatan tekad dan keberanian untuk mencoba. Ada pengalaman baik, cerita kebersamaan, juga kenangan berharga yang kini kami bawa pulang dari Timau. 

Langkah kami turun kini terasa lebih santai. Tak peduli seberapa lelah, kami hanya bersiap untuk kembali ke Kupang. Sepeda motor melaju, melibas jalanan seiring gelap yang menjelang.

“Mulut asam e,” Bryan tiba-tiba bergumam. Saya baru menyadari stok rokok yang sudah habis di puncak. Itu pun batang terakhir yang terpaksa harus digilir berempat. Saya memacu kendaraan lebih cepat. Takari masih jauh dari sini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Meniti Langkah di Gunung Timau appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/meniti-langkah-di-gunung-timau/feed/ 0 41234
Memaknai Toleransi Antarumat Beragama di Kota Kupang https://telusuri.id/memaknai-toleransi-antarumat-beragama-di-kota-kupang/ https://telusuri.id/memaknai-toleransi-antarumat-beragama-di-kota-kupang/#respond Fri, 20 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36914 Bicara tentang toleransi, Kota Kupang menyimpan beragam cerita baik yang terwujud dalam berbagai hal di dalamnya. Salah satu wujud toleransi itu sendiri tercermin melalui kerukunan antarumat beragama. Dalam skala nasional, Kota Kupang memang telah beberapa...

The post Memaknai Toleransi Antarumat Beragama di Kota Kupang appeared first on TelusuRI.

]]>
Bicara tentang toleransi, Kota Kupang menyimpan beragam cerita baik yang terwujud dalam berbagai hal di dalamnya. Salah satu wujud toleransi itu sendiri tercermin melalui kerukunan antarumat beragama.

Dalam skala nasional, Kota Kupang memang telah beberapa kali menerima penghargaan terkait toleransi antarumat beragama. Belum lama ini, mendapatkan Harmony Award dan julukan Kota Toleran. Beberapa tahun sebelumnya, juga pernah meraih penghargaan yang sama. 

Selain Harmony Award, Kota Kupang juga berhasil menorehkan catatan baik melalui Indeks Toleran Award (ITW) sebagai Kota Toleran Indonesia 2020 bersama 9 kota lainnya, Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) tertinggi tingkat nasional tahun 2021, dan beberapa torehan lainnya. 

Terlepas dari pencapaian-pencapaian ini, toleransi antarumat beragama di sini memang telah menjadi potret indah yang mewarnai kehidupan orang-orang di dalamnya. Karena itu jugalah saya merasa sangat bersyukur bahwa Kota Kupang pernah menjadi bagian dari sejarah hidup saya, dan sekaligus menjadi tempat saya menimba banyak pelajaran berharga. 

Mengawali Oktober, kami melakukan kunjungan ke dua tempat ibadah yang berdampingan dan sekaligus menjadi salah satu ikon toleransi di Kota Kupang, yakni Masjid Al-Muttaqin dan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). 

foto bersama
Bersama Bapak Muhamad Marhaban/Oswald Kosfraedi

Kedua rumah ibadah yang berdiri berdampingan ini cukup terkenal, banyak juga cerita baik yang dapat dengan mudah kita temukan lewat berbagai literatur. Keduanya telah menjadi potret toleransi yang patut dijaga dan diceritakan pula sebagai salah satu representasi kerukunan antarumat  beragama di Kota Kupang. 

Kami tiba di sana sekitar pukul 08.00 WITA sesuai kesepakatan waktu bersama pengurus masjid dan gereja yang kami temui sehari sebelumnya. Menariknya, sehari sebelumnya kami menemui pengurus masjid tepat setelah pelaksanaan salat Jumat. 

Siang hari itu, halaman masjid masih cukup ramai. Kami disambut ramah oleh beberapa pengurus dan remaja masjid. Setelah saya dan Rikar memperkenalkan diri, kami disuguhi kopi dan makanan ringan, lalu larut dalam obrolan yang cukup lama. 

Agenda kegiatan kami di sana bertajuk “Indahnya Toleransi Beragama”, yang dilaksanakan sebagai salah satu bagian dari kegiatan kebinekaan program Modul Nusantara.  Pagi hari itu, kami duduk bersama di teras Masjid Al-Muttaqin bersama Ketua Yayasan Al-Muttaqin, Muhammad Marhaban. Beliau juga merupakan anggota FKUB Provinsi NTT utusan Majelis Ulama Indonesia Provinsi NTT.

Bapak Muhammad Marhaban mengawali cerita dengan berbagi pengalaman saat menjabat sebagai Kepala Kantor Agama di Kabupaten Alor. “Begini-begini sudah pernah jadi kepala kantor,” katanya sambil tertawa. Kemudian beliau berbagi cerita tentang rentetan pencapaian Kota Kupang dalam hal penghargaan kota toleransi. 

Beliau bercerita tentang kerukunan antarumat beragama di NTT, termasuk bagaimana kisah kerukunan antara gereja dan masjid yang berdampingan ini. Di hadapan kami semua, beliau juga dengan yakin mengatakan NTT bisa dijadikan contoh membangun toleransi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. 

sesi sharing
Sharing di Masjid Al-Muttaqin/Oswald Kosfraedi

Masih dalam diskusi di Masjid Al-Muttaqin, saya bertanya kepada Bapak Muhammad Marhaban perihal bagaimana kearifan lokal dan kehidupan budaya NTT berpengaruh terhadap kerukunan antarumat beragama. Menurutnya, kearifan lokal dan budaya di NTT memiliki andil besar terhadap terciptanya kerukunan antarumat beragama. Dengan mengambil contoh di Alor, beliau menjelaskan hal demikian dengan acuan buku yang pernah beliau tulis berjudul “Kearifan Lokal Umat Beragama di Kabupaten Alor Dalam Spirit Kerukunan”.

Beliau lalu menjelaskan bagaimana masyarakat Alor tumbuh dalam kerukunan antarumat beragama, yang juga tidak terlepas dari pengaruh budaya masyarakat di sana. Masyarakat Alor senantiasa bekerja sama dalam berbagai hal, seperti pembangunan rumah ibadah. 

“Orang Alor itu kalau mau bangun masjid, bukan orang Islam saja yang membangunnya, tapi yang bantu bangun itu [juga ada] orang Kristen,” jelasnya. Lebih lanjut, beliau juga menjelaskan bagaimana aspek-aspek kultural dan kehidupan kolektif masyarakat setempat menjadi fondasi kuat guna menciptakan kerukunan antarumat beragama. 

“Agama itu urusan pribadi, tapi dalam kehidupan sosial tidak pernah dibeda-bedakan agama,” tegasnya. Beliau pun mengutarakan faktor kekerabatan juga memainkan peran besar dalam mendukung kerukunan antarumat beragama di sini. Hubungan kekerabatan yang dibangun dengan kesadaran akan pentingnya menerima dan menghargai perbedaan agama turut menjembatani terciptanya kerukunan antarumat beragama. 

Dalam konteks survei indeks kerukunan umat beragama, tiga indikator umum mendasar yang dipakai Kementerian Agama mengacu pada aspek toleransi, kesetaraan, dan kerja sama. Beliau lantas menjelaskan ketiga hal ini dalam konteks kehidupan masyarakat NTT. Selain itu, beliau juga mengetengahkan peran dan dukungan pemerintah dalam menopang kerukunan antarumat beragama. Menariknya, hal ini dipraktikkan secara baik dalam kehidupan masyarakat NTT. 

Kembali dengan mengambil contoh di Alor, pemerintah memberikan dukungan secara maksimal melalui kebijakan yang adil terhadap semua agama, misalnya melalui pemberian anggaran yang sesuai dengan kebutuhan setiap agama maupun dengan langkah baik berupa kesempatan studi bagi setiap tokoh agama. 

Seusai diskusi dengan Bapak Muhammad Marhaban, teman-teman PMM juga diberikan kesempatan untuk sejenak berbagi pengalaman tentang potret kerukunan di daerah asalnya masing-masing. Seiring sesi yang kian akrab, hujan turun di pagi hari itu meski tak terlalu lama. Pagi  itu, Bapak Muhammad Marhaban juga rupanya memiliki agenda kegiatan lain yang membuat beliau pamit lebih awal.

Kami lalu mengunjungi Gereja HKBP yang terletak tepat di samping Masjid Al-Muttaqin. Di sana Pendeta Maradona Sibagariang yang telah kami hubungi sehari sebelumnya menyambut kehadiran.

Kami lantas kembali mendengarkan cerita kerukunan antarumat beragama dari perspektif beliau. Kali ini, Pendeta Maradona menekankan kepada kami semua bagaimana generasi muda perlu menjadi garda depan dalam menciptakan kerukunan antarumat beragama.

Dengan gaya bicaranya yang tenang, beliau menyinggung beberapa isu kontemporer yang perlu dihadapi secara bijak dalam konteks kerukunan antarumat beragama. Persoalan-persoalan intoleran yang saat ini sering bermunculan di media sosial perlu dihadapi secara baik dalam upaya menjaga kerukunan, terutama kerukunan antarumat beragama. 

  • Foto Bersama Pendeta
  • foto bersama

Setelah berbincang selama satu jam lebih, kami lantas mengakhirinya dengan mengambil foto bersama tepat di depan Gereja Huria Batak Protestan (HKBP) siang hari itu. Setelahnya, kami berpamitan pulang. 

Kembali dari sana, saya begitu bersyukur untuk kesempatan berbagi cerita sejak pagi hingga siang hari itu. Saya bersyukur bahwa saya hadir dan terlibat dalam semua kegiatan yang mungkin hanya berlangsung dalam skala kecil, tetapi punya pelajaran dan nilai yang sangat besar guna mendukung tumbuh dan lestarinya kerukunan antarumat beragama dalam kehidupan sehari-hari.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memaknai Toleransi Antarumat Beragama di Kota Kupang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memaknai-toleransi-antarumat-beragama-di-kota-kupang/feed/ 0 36914
Tanah Air Sabu https://telusuri.id/tanah-air-sabu/ https://telusuri.id/tanah-air-sabu/#comments Sat, 01 Oct 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35457 Mobil yang dikemudikan Rio melesat membawa kami menyusuri jalanan kecil Kota Kupang. Kupang adalah kota yang hidup, meski sarana dan prasarana yang tidak bisa dibandingkan dengan ibu kota provinsi di Jawa. Bemo yang menggarong di...

The post Tanah Air Sabu appeared first on TelusuRI.

]]>
Mobil yang dikemudikan Rio melesat membawa kami menyusuri jalanan kecil Kota Kupang. Kupang adalah kota yang hidup, meski sarana dan prasarana yang tidak bisa dibandingkan dengan ibu kota provinsi di Jawa. Bemo yang menggarong di jalanan sedikit mengingatkan saya akan jalanan Kota Bogor, meski jumlahnya kalah jauh. “Bemo di sini, kalau belok bahkan tidak pakai lampu sein,” ucap Oswald menambahkan. Angkutan umum yang sejenis memang sama seramnya, melibas siapapun yang menghalangi jalannya. Kami berkeliling hingga ke bagian kota lama. Mural-mural dan gedung tua serta pinggir laut mengisahkan gejala kota yang mengalami perubahan zaman.

Sepanjang jalan, saya bertanya pada Rio, kenapa pohon pisang tidak terlihat? Padahal di pinggir jalan di Jawa dan Bali, pohon-pohon pisang bisa tumbuh sembarangan.

“Mungkin karena tanah karang, jadi pohon pisang sulit tumbuh,” ucapnya menjawab pertanyaan polos saya. Tumbuhan yang termasuk dalam famili Musaceae hanya dapat tumbuh subur dalam curah hujan yang sedang-tinggi, dan di tanah Kupang adalah tanah yang musim kemaraunya lebih panjang dibanding musim hujan.

Tujuannya kami sebenarnya adalah Pulau Sabu. Kupang hanya perhentian selama beberapa jam saja, sebelum kami naik ke kapal. Oswald dan Rio mengajak kami melihat bagaimana matahari terbenam di Kupang. Matahari tenggelam di Kupang yang kami lihat, selalu ditemani laut dan satu-dua kapal yang sedang mengangkut kontainer dari dan ke Kupang. Cantiknya, langit tidak hanya berhenti sampai warna oren tua, melainkan hingga warna agak keunguan. Malam harinya, kami diantar menuju Pelabuhan Helong untuk masuk ke kapal Cantika 9E yang berangkat menuju Sabu pukul 9 malam dan tiba di Pulau Sabu pukul 8 pagi.

Kapal Cantika
Kapal Cantika/Arah Singgah

“Sabu apa-apa serba mahal,” terang Kaleb Piga saat mengisi bahan bakar oto yang menjemput kami di pelabuhan. Harga bensin di sini bukan lumayan mahal, tapi sangat mahal! Harga standarnya–untuk pertalite—saja sudah menyentuh angka 25 ribu dan beberapa waktu lalu pernah naik hingga 75 ribu per liternya.

“Masyarakat di sini sudah biasa, tidak pernah demo,” ucapnya dengan nada setengah tertawa. Bayangkan, jika harga tersebut menyentuh orang-orang yang hidup di perkotaan di pulau-pulau besar Indonesia. Paling tidak, demo tidak akan selesai hanya dalam dua jilid. Orang-orang Sabu, sudah dibiasakan sejak dulu bahwa untuk hidup, apa-apa harus membayar mahal.

Bersama Kaleb Piga naik oto
Bersama Kaleb Piga naik oto/Arah Singgah

Oto yang kami tumpangi merambat pelan di jalanan aspal, kemudian harus tergopoh-gopoh menaiki bukit yang berbatu ketika batas aspal sudah mulai pudar. Peradaban berjalan lambat di timur, pembangunan mesti menunggu puluhan tahun untuk sekedar mendapatkan jalan beraspal. Apalagi listrik, di Desa Lobohede—desa tempat kami akan menginap—baru ada listrik semenjak 2012.

Internet cepat? Desa ini baru dapat merasakan sinyal 4G pada tahun 2021, sebelumnya, orang-orang Desa Lobohede harus menempuh 2 kilometer ke atas bukit untuk bisa menikmati internet dengan kecepatan tinggi. “Dulu itu tiap sore sampai malam, orang-orang nongkrong di sana,” seraya menunjuk ke arah bukit yang telah kami lewati.

Kami berhenti tepat di depan rumah Kaleb Piga. Sebuah rumah sederhana yang terbuat dari batako menyambut kami, yang berjalan ke dalamnya sambil menggotong tas yang lumayan berat. “Taruh di kamar saja,” Kaleb Piga memberi arahan pada kami. Seorang wanita tua menyambut kami dengan sepatah kata yang tidak kami mengerti, tapi dari bahasa  tubuhnya, wanita itu mengisyaratkan kegembiraan.

Kaleb Piga dan keluarga
Kaleb Piga dan keluarga/Arah Singgah

Pekerjaan sehari-hari Kaleb Piga bekerja sebagai buruh bangunan–kalau tidak ada panggilan kerja, dia menikmatinya dengan menghabiskan hari-harinya bersama temannya. Selama seminggu kedepan, dia akan menemani kami menjelajahi sudut-sudut Lobohede. Panas sudah menjelang suhu tertingginya di Sabu, saatnya kami beristirahat barang sejenak sebelum kembali beraktivitas.

Hari-hari di Sabu diisi oleh kambing, anjing, sapi, dan kuda. Beberapa dengan santai menyeberang jalan, karena jalanan yang tidak sering dilalui kendaraan. Tahi kambing adalah warna lain di tanah selain warna coklat rumput yang mengering. Gurat senja tidak pernah terkekang mendung dan angin muson timur berhembus di sela-sela tembok rumah Kaleb Piga yang belum diplester. Rumah modern yang mulai menggantikan rumah ammu iki, rumah khas Sabu yang beratapkan daun lontar kering.

Rumah ammu iki yang menghiasi pinggir jalanan Pulau Sabu
Rumah ammu iki yang menghiasi pinggir jalanan Pulau Sabu/Arah Singgah

Rumah-rumah di Lobohede lumayan berjarak satu sama lain, sehingga ada ruang yang luas untuk anak-anak bermain. Anak-anak belajar menari tarian lendo untuk pementasan acara 17 Agustus mendatang. Dengan masih memakai seragam sekolah, mereka dengan lincah menari diikuti irama gendang dan gong.

Anak-anak yang berlatih tari ledo khas Sabu (2)
Anak-anak yang berlatih tari ledo khas Sabu/Arah Singgah

Irama gendangnya mengingatkan saya dengan tabuhan genderang para pendukung sepak bola ketika menyaksikan tim kesayangan mereka bertanding. Derap langkah mereka menerbangkan kumpulan tanah gersang. Gerakan yang apik itu terus menyatu dengan tabuhan gendang yang semakin intens. Hanya tersisa lima hari sebelum pementasan berlangsung. 

Di Sabu, hari-hari berlalu dengan terik yang memanggang di siang hari. Sama seperti di kota, smartphone memegang peranan penting untuk menghubungkan Sabu dengan dunia luar. Orang Sabu tidak ketinggalan untuk tetap mengikuti tren yang terjadi di luar jangkauan mereka—termasuk kasus Sambo. Untuk berita lokal, mereka mengikuti satu grup Facebook yang cukup aktif memberikan informasi terbaru bagi warga Sabu. Dari sekedar info antrian bensin hingga jadwal kapal. Berita menyebar secepat kilat di pulau yang tidak lebih luas dari Jakarta.

Lobohede tidak pernah kekurangan air. Meski terik membakar peluh dan mengusir hujan, air-air di Lobohede selalu tersedia. Intensitas hujan yang sedikit hanya mempengaruhi rasa dari air yang berubah menjadi sedikit asin. Sumur-sumur bertebaran di sekitar pekarangan warga. Yang jelas, Lobohede hanya kekurangan hujan, bukan kekurangan air.

Patung Yesus/Arah Singgah

Patung Yesus yang baru dibangun itu merentangkan tangan, terlihat jelas dari jalanan yang menghadap bandara. Bandara kecil Pulau Sabu melayani berbagai rute dari dan ke Sabu. Pesawat yang digunakan pun pesawat rintisan yang masih memakai baling-baling. Tapi bandara itu tidak seramai aktivitas Pelabuhan Seba yang selalu ramai oleh orang-orang yang berjubel keluar masuk kapal.

***

Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.

Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tanah Air Sabu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tanah-air-sabu/feed/ 1 35457
“Kristal Cinta di Limbah Merah” dalam Pameran Temporer Pekinangan https://telusuri.id/kristal-cinta-di-limbah-merah-dalam-pameran-temporer-pekinangan/ https://telusuri.id/kristal-cinta-di-limbah-merah-dalam-pameran-temporer-pekinangan/#respond Sun, 14 Aug 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34865 Beberapa waktu lalu, UPTD Museum Daerah NTT menyelenggarakan pameran temporer tentang tradisi menginang/makan sirih pinang di Nusa Tenggara Timur. Pameran ini bertajuk “Kristal Cinta di Limbah Merah”, dengan tema umum “Restorasi Kebudayaan Menuju NTT Bangkit...

The post “Kristal Cinta di Limbah Merah” dalam Pameran Temporer Pekinangan appeared first on TelusuRI.

]]>
Beberapa waktu lalu, UPTD Museum Daerah NTT menyelenggarakan pameran temporer tentang tradisi menginang/makan sirih pinang di Nusa Tenggara Timur. Pameran ini bertajuk “Kristal Cinta di Limbah Merah”, dengan tema umum “Restorasi Kebudayaan Menuju NTT Bangkit NTT Sejahtera”.

Pameran berlangsung selama empat hari, sejak pembukaan pada 24 Juni 2022 hingga penutupan pada 27 Juni 2022 lalu. Sayangnya, karena sedikit terlambat mendapatkan informasi mengenai pelaksanaan pameran, saya hanya bisa mengikuti pembukaan pameran via streaming YouTube. Barulah di hari kedua, ketiga, dan keempat saya berkesempatan menyaksikan pameran secara langsung.

Foto Poster Pameran
Poster pameran/Oswald Kosfraedi

Tradisi menginang bukanlah sesuatu yang asing bagi saya secara pribadi. Saya tumbuh besar dalam masyarakat yang lekat dengan tradisi menginang. Dalam masyarakat kami, tradisi ini dikenal dengan istilah hang cepa atau mama cepa, di mana cepa merujuk pada perpaduan kala (sirih), raci (pinang), dan tahang (kapur).  

Dalam kehidupan bermasyarakat pun, posisi tradisi ini begitu sentral, baik dalam konteks keseharian maupun secara khusus dalam berbagai ritus dan upacara budaya. Dalam keseharian masyarakat kami, menginang adalah aktivitas yang umum dilakukan ketika lejong (bertamu), duat (berkebun), maupun di waktu-waktu senggang. Sementara, dalam konteks upacara adat dan ritus budaya, sirih-pinang menjadi sesuatu yang memiliki nilai budaya, baik dalam upacara adat perkawinan, dalam ritus teing hang (memberi makan leluhur), dan berbagai ritus budaya lainnya. 

Kenyataan-kenyataan itu jugalah yang akhirnya membuat saya begitu tertarik mengunjungi pameran tradisi pekinangan ini. Paling tidak, saya bisa menjadi lebih memahami bagaimana posisi tradisi ini dalam masyarakat NTT secara umum, menemukan keragaman tradisi ini di berbagai daerah di NTT, serta berbagai hal baru yang bisa saya pelajari melalui penyelenggaraan pameran ini. 

Kristal Cinta di Limbah Merah

Foto di Ruang Pameran
Foto di ruang pameran/Oswald Kosfraedi

Tiba di Museum Daerah Provinsi NTT, suasana tampak ramai dengan sajian tarian daerah yang sedang dipentaskan. Tak menunggu lama, saya bersama seorang kawan segera menuju ruang pameran. 

Salah seorang pegawai museum menyambut kedatangan kami, ia segera mempersilahkan kami masuk ke ruang pameran. Di dalamnya, beragam koleksi wadah pekinangan sudah ditempatkan begitu rapi, lengkap dengan informasi-informasi terkait tradisi pekinangan di Nusa Tenggara Timur. 

Di dekat pintu masuk ruang pameran, saya menemukan latar belakang sejarah tradisi pekinangan di NTT. Menurut catatan sejarah tersebut, tradisi menginang sudah berkembang sangat lama di kalangan masyarakat NTT. Meskipun asal usul mulanya tidak diketahui secara pasti, namun di NTT tradisi ini telah menjadi salah satu tradisi yang diwariskan dari para leluhur hingga saat ini.

Sejarah tradisi menginang di Nusantara sejak awal penemuannya dijelaskan melalui beberapa catatan sejarah yang juga saya dapatkan di ruang pameran hari itu. Namun, secara khusus dalam konteks NTT, saya menemukan catatan mengenai hasil penelitian makroskopis melalui pengamatan gigi-geligi sisa rangka manusia prasejarah di Lewoleba, Kabupaten Lembata (1961) dan Gua Liang Bua, Kabupaten Manggarai (1965), melalui penggalian arkeologis oleh Pastor Verhoeven, yang menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup di kedua gua tersebut telah mengonsumsi sirih pinang yang menyebabkan pewarnaan pada gigi (dental staining), terutama pada geraham belakang. Hal ini dikarenakan terdapat variasi gradasi/tingkat warna gigi yang diduga sebagai dampak dari intensitas mengunyah sirih pinang dan ramuan pelengkapnya. 

Selain itu, dijelaskan pula bahwa pada suatu masa ratusan tahun yang lalu, Pulau Alor dan Pulau Pantar dijuluki Malio Galiao yang berarti Pulau Sirih Pinang, karena pada masa itu kedua pulau ini kaya akan sirih pinang yang merupakan bahan utama dalam tradisi menginang, yang dikenal luas di wilayah Asia. 

Terkait judul pameran, sejak awal saya sebenarnya belum bisa menginterpretasikan judul pameran “Kristal Cinta di Limbah Merah” dan mengaitkannya dengan tradisi menginang dalam masyarakat NTT. Setelah beberapa saat mengitari ruang pameran dan melihat koleksi-koleksi yang ada di sana, saya menemukan penjelasan terkait judul tersebut yang ternyata begitu sarat makna dengan filosofinya yang begitu luar biasa. 

“Makan sirih pinang yang diramu dengan kapur akan menghasilkan limbah merah. Namun, siapa sangka, kalau di balik limbah merah yang berlepotan terdapat kristal-kristal cinta yang telah membangun rasa persaudaraan, kekeluargaan, dan gotong royong yang mendasari kehidupan sosial budaya orang Nusa Tenggara Timur”.

Dari penjelasan itulah, saya akhirnya memahami “Kristal Cinta di Limbah Merah” sebagai sebuah terminologi yang merepresentasikan betapa luhur dan bernilainya tradisi menginang dalam kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur. 

Foto Ragam Koleksi Wadah Pekinangan di NTT 1
Foto ragam koleksi wadah pengkinangan di NTT/Oswald Kosfraedi

Menginang bagi masyarakat NTT tidak lain adalah sebuah warisan leluhur yang bernilai budaya tinggi, baik melalui kebiasaan menginang yang dilakukan maupun melalui keberadaan wadah pekinangan yang mengandung nilai-nilai luhur serta memiliki peranan yang penting, tidak saja memenuhi unsur seni, tetapi lebih dari itu memiliki simbol bermakna yang merangkai pesan para leluhur kepada generasi penerusnya. 

Ketersediaan ragam koleksi wadah pekinangan ini pun dilengkapi dengan berbagai informasi, baik mengenai nama dan fungsi wadah pekinangan (seperti Lopa Perada, Tanga Wahil, dan Oko Mama), maupun nilai-nilai luhur dari tradisi menginang di NTT. Semua itu kemudian membantu saya untuk semakin mengenal bagaimana keberadaan tradisi pekinangan yang memiliki nilai dan bahkan peran penting dalam kehidupan masyarakat NTT.

Sebagaimana judul pameran tradisi menginang ini, termanifestasi secara jelas melalui keberadaan tradisi menginang dalam masyarakat NTT yang kaya akan nilai sosial dan budaya. Menginang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat NTT sebagai simbol keakraban, kebersamaan, kekeluargaan, dan keramah-tamahan universal yang melahirkan perasaan saling menerima, saling menghargai, saling mengerti, serta menumbuhkembangkan sikap toleransi dan gotong royong dalam kehidupan kolektif masyarakat NTT. 

Sirih dan pinang juga memiliki peran penting dalam berbagai upacara dan ritus budaya, baik itu dalam upacara perkawinan, kematian, persembahan bagi leluhur, dan upacara-upacara adat lainnya. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, sirih dan pinang menjadi sajian penerimaan dan penghormatan tamu, sebagai tanda cinta, sarana mempersatukan perbedaan, sebagai pengobatan tradisional, memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat, dan berbagai nilai lainnya. 

Nilai-nilai ini tumbuh dalam kebersamaan makan sirih pinang yang dilakukan dalam keseharian masyarakat NTT maupun dalam konteks upacara adat dan budaya. Menginang telah menjadi satu tradisi yang memiliki nilai budaya serta berperan besar dalam mempersatukan perbedaan, mengakrabkan persahabatan, mempererat kekeluargaan, serta menumbuhkan solidaritas dan kebersamaan bagi masyarakat NTT. 

Pementasan Tarian Daerah

Foto Pementasan Tarian Daerah
Pementasan tari daerah/Oswald Kosfraedi

Selama pelaksanaan pameran, saya juga berkesempatan menyaksikan pementasan tarian daerah dari beberapa sanggar dan paguyuban etnis di NTT. Adapun beberapa tarian daerah yang dipentaskan selama empat hari pelaksanaan pameran adalah pementasan tarian caci dari sanggar etnis Kabupaten Manggarai, tarian daerah dari etnis Malaka, tarian etnis Sabu, tarian etnis TTU, tarian etnis Atoin Meto (TTS), tarian etnis Sumba, tarian etnis Helong, tarian etnis Alor, dan tarian etnis Lembata. Selain itu, pihak UPTD Museum Daerah NTT juga menyelenggarakan perlombaan tari tradisional rokatenda dan kebalai tingkat SMA dan SMK se-Kota Kupang dan Kabupaten Kupang.

Kesempatan menyaksikan tarian daerah selalu membawa efek kagum sekaligus rasa bangga bagi saya sebagai putra daerah NTT. Berbagai tarian daerah yang dibawakan dalam balutan pakaian adat, dengan gerakan nan indah yang berpadu alunan musik tradisional, selalu mampu menciptakan nuansa berbeda dan kesan yang luar biasa. Dan bagi saya, itu tidak bisa tergantikan oleh apa pun. 

Lebih lagi, kali ini saya menyaksikannya bersamaan dengan pameran tradisi pekinangan yang diselenggarakan pihak Museum Daerah NTT, yang akhirnya membuat saya menjadi bisa mengenal lebih dekat tentang tradisi menginang di NTT dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. 

Museum Daerah NTT sendiri bagi saya bukanlah tempat yang asing. Saya sudah cukup sering mengunjungi museum, baik dalam bentuk kunjungan pribadi, keperluan tugas kuliah, pengenalan museum kepada rekan-rekan mahasiswa dari luar NTT, dan juga mengikuti beragam kegiatan yang diselenggarakan pihak Museum Daerah NTT, seperti lomba, workshop, dan juga pameran. Semuanya itu berdampak positif dalam memperluas wawasan dan pengetahuan saya tentang budaya dan sejarah di NTT. Dengan itu, kesan saya tentang museum pun tidak pernah berubah sejak pertama kali saya menulis tentang keberadaan museum: mengunjungi museum adalah menjumpai sejarah masa lalu, menemui peradaban umat manusia dari waktu ke waktu, dan serentak memberi diri untuk diperkaya dengan berbagai pengetahuan tentang sejarah dan budaya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “Kristal Cinta di Limbah Merah” dalam Pameran Temporer Pekinangan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kristal-cinta-di-limbah-merah-dalam-pameran-temporer-pekinangan/feed/ 0 34865
Bermain Galasin dan Melihat Aktivitas Penduduk di Pantai Oesina https://telusuri.id/bermain-galasin-di-pantai-oesina-dan-melihat-aktivitas-penduduk/ https://telusuri.id/bermain-galasin-di-pantai-oesina-dan-melihat-aktivitas-penduduk/#respond Thu, 30 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29351 04 Juli 2021 lalu, saya bersama 30 orang teman pemuda dan pemudi gereja memiliki agenda akhir pekan yakni melakukan rekreasi bersama di Pantai Oesina atau yang dikenal dengan sebutan Pantai Air Cina. Dinamakan Air Cina...

The post Bermain Galasin dan Melihat Aktivitas Penduduk di Pantai Oesina appeared first on TelusuRI.

]]>
04 Juli 2021 lalu, saya bersama 30 orang teman pemuda dan pemudi gereja memiliki agenda akhir pekan yakni melakukan rekreasi bersama di Pantai Oesina atau yang dikenal dengan sebutan Pantai Air Cina. Dinamakan Air Cina bukan berarti penduduk di sini keturunan Cina, tetapi karena dulunya pantai ini menjadi tempat bersandar kapal-kapal dagang dari Cina. Sedangkan, Oesina sendiri memiliki arti Oe “air” dan Sina “Cina”. Jadi, Oesina berarti Air Cina.

Pantai Oesina terletak di Desa Lifuleo, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pantai ini terletak sekitar 30 km dari pusat Kota Kupang dan memerlukan waktu kurang lebih 1 jam untuk sampai. Akses jalan sudah cukup baik, walaupun masih terdapat banyak lubang dan juga jalan bebatuan. Namun, masih sangat bisa ditempuh oleh motor, mobil, maupun truk.

Kami pergi dengan menggunakan kendaraan yang telah kami siapkan sebelumnya, dikarenakan tidak ada angkutan umum yang memiliki jalur rute menuju pantai tersebut. Kami sampai pukul 13.00 WITA dengan disambut oleh dua ibu-ibu yang duduk menjaga gerbang masuk pantai. Kami membayar uang masuk dengan kisaran Rp6.000 untuk masing-masing dua orang dan motor yang ditumpangi.

Jejeran Gazebo Pantai Oesina
Jejeran gazebo di Pantai Oesina/Resti Seli

Pantai ini tertata rapi dengan jejeran gazebo sebagai alternatif tempat berteduh dan berkumpul sambil melakukan kegiatan-kegiatan santai. Jangan khawatir apabila tidak membawa persediaan makanan yang cukup, karena pantai ini memiliki warung atau kios-kios untuk menjajalkan makanan dan minumannya.

Setelah sampai, kami langsung menuju gazebo yang sudah dipesan sebelumnya dengan membayar uang sewa Rp50.000. Namun, karena kami berjumlah 30 orang sehingga gazebo kecil itu tidak akan cukup menampung kami maka, gazebo itu hanya kami pakai untuk menaruh makanan dan minuman yang telah kami bawa masing-masing. Sedangkan untuk duduk dan bersantai, kami membuka terpal yang dibawa sebagai alas duduk kami. Sederhana, tetapi sangat menyenangkan. Kami memilih tempat yang sangat strategis, tepat dibawah sebuah pohon rindang sehingga kami tidak memerlukan “atap” lagi. Setelah mendapatkan tempat yang nyaman, kami memulai rekreasi dengan bermain games mulai dari flip bottle, mencari dan mengumpulkan teman, hingga permainan tradisional galasin atau gobak sodor. 

Suasana di Pantai Oesina
Suasana di Pantai Oesina/Resti Seli

Pasir pantai yang putih dan bersih membuat siapa saja dengan rela merebahkan diri diatas pasir ini. Namun, pasir ini merupakan jenis yang biasa kami sebut “pasir tanam” sehingga cukup melelahkan apabila berlari dan melompat di pasir ini. Jenis pasir ini menjadi tantangan tersendiri bagi kami untuk bermain galasin. Kami membuat dua tim dengan masing-masing berjumlah 6 orang. Satu tim bermain dan satu tim berusaha menghadang.

Permainan ini mudah dimengerti dan mudah dilakukan karena tidak memerlukan peralatan-peralatan pendukung lainnya. Cukup membutuhkan ketangkasan dan kecepatan dalam berlari. Namun, apabila berlari diatas “pasir tanam” itu sangat membutuhkan energi dan tenaga yang banyak. Itulah kenapa tim yang mendapat giliran bermain sangat sering tertangkap. Kami menikmati permainan itu, bahkan cuaca panas terik tak kami hiraukan.

Setelah cukup puas bermain, kami mulai berpencar untuk mencari spot foto masing-masing. Saya berjalan menuju arah tebing yang sepertinya akan dibangun dermaga disana. Tebing itu besar dan panjang, menjadi ikon khas Pantai Air Cina. 

Aktifitas Penduduk Mencari Batu Karang Kecil
Aktifitas penduduk mencari batu karang kecil/Resti Seli

Sembari melihat-lihat aktivitas pengunjung, saya juga melihat aktivitas penduduk di sekitaran pantai ini. Ada yang sedang memeriksa juluran temali memanjang dan mengapung di permukaan air dengan bantuan botol plastik, menandakan penduduk disini aktif membudidayakan rumput laut. Saya juga melihat ada seorang ibu bersama dua anaknya yang sedang memilih batu-batu karang kecil, sepertinya akan dijual bagi pengunjung yang mampir atau untuk keperluan mereka sendiri. Saya teringat pada kalimat pendek yang pernah saya dengar “alam telah menyediakan semuanya, tinggal bagaimana kamu mengusahakannya” dan memang benar. Buktinya mayoritas masyarakat pesisir sangat bergantung pada laut dan segala isinya. Begitu juga bagi masyarakat di daerah dataran tinggi misalnya, penduduknya pasti sangat bergantung pada kondisi pertanian mereka.

Jalan-jalan singkat sembari mengamati sekeliling membuat saya tidak menyadari bahwa hari sedikit lagi akan selesai, dan matahari mulai menampakkan senjanya seolah-olah sebagai ucapan pamit kepada saya dan orang-orang di pantai ini. Senja disini indah bukan main, sangat pas bagi yang ingin berfoto ala-ala siluet.

Senja di Pantai Oesina
Senja di Pantai Oesina

Hari semakin gelap, kami kembali berkumpul kemudian bersiap-siap membereskan barang bawaan kami dan tidak lupa memungut sampah kami dan membuangnya ke tempat yang telah disediakan. Tentu saja, agar pantai ini tetap bersih dan memiliki keindahan yang asri.

Kami pulang dengan rasa lelah bercampur senang, bahagia, dan bersyukur (setidaknya bagi saya). Iya, bersyukur! karena masih diberi kesempatan untuk menghabiskan waktu, bermain, tertawa, dan bergembira bersama hari itu. Sekaligus, bisa melihat dan mengamati aktivitas penduduk di sana lebih dekat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bermain Galasin dan Melihat Aktivitas Penduduk di Pantai Oesina appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bermain-galasin-di-pantai-oesina-dan-melihat-aktivitas-penduduk/feed/ 0 29351
Merekam Kebersamaan di Pantai Air Cina https://telusuri.id/merekam-kebersamaan-di-pantai-air-cina/ https://telusuri.id/merekam-kebersamaan-di-pantai-air-cina/#respond Sun, 05 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29012 Akhir pekan tanggal 19 Juni 2021 lalu, saya dan beberapa teman memilih Pantai Oesina atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan Pantai Air Cina sebagai tempat untuk menghilangkan kepenatan sekaligus mengukir satu lagi kisah kebersamaan...

The post Merekam Kebersamaan di Pantai Air Cina appeared first on TelusuRI.

]]>
Akhir pekan tanggal 19 Juni 2021 lalu, saya dan beberapa teman memilih Pantai Oesina atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan Pantai Air Cina sebagai tempat untuk menghilangkan kepenatan sekaligus mengukir satu lagi kisah kebersamaan kami. Tentunya agenda ini kami lakukan sebelum kembali kesibukan menjalani peran sebagai mahasiswa tingkat akhir yang akan membuat kami kehilangan kesempatan untuk berkumpul dan menghabiskan waktu bersama. Untuk alasan kuat inilah, kami menyusun rencana jauh-jauh hari.

Pemilihan Pantai Air Cina bukan tanpa alasan. Sejak kepulangan kami dari sana beberapa tahun lalu, tempat itu seperti menarik kami untuk kembali lagi. Karena itu, kami memutuskannya tanpa banyak pertimbangan.

Menurut beberapa sumber, penamaan Air Cina sendiri berasal dari kata “oe” yang berarti air dan “sina” yang dipercayai merupakan nama nenek moyang Desa Nefo yang dulunya pernah tinggal di pinggir pantai ini. Namun, pengunjung yang datang sering melafalkan Sina dengan Cina, sehingga lambat laun pantai ini dikenal dengan sebutan Air Cina.

Terletak di antara Desa Nefo dan Desa Panaf, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, kami harus menempuh perjalanan sekitar 1 jam dari Kota Kupang menggunakan sepeda motor. Sebagian jalan yang tidak cukup ramah terutama saat mendekati tempat tujuan, membuat kami harus ekstra hati-hati serta bersabar agar dapat menjumpai keindahan Pantai Air Cina dengan aman dan selamat. Begitu sampai di pintu masuk, kami diberi karcis yang dikenakan biaya Rp2.000 untuk setiap orang dan Rp2.000 untuk kendaraan beroda dua. 

Langit cerah, laut biru kehijauan dan pasir putih halus yang membentang sepanjang pesisir pantai Air Cina menyambut kedatangan kami sekitar pukul 15.30 WITA. Awalnya, kami sedikit kebingungan mencari tempat istirahat, sebab hampir semua pondok telah ramai oleh pengunjung. Tidak dapat dipungkiri Pantai Air Cina punya pesona yang tidak bisa diabaikan meski lokasinya yang sedikit tidak mudah dijangkau.

Selang beberapa menit pencarian, akhirnya kami menemukan satu pondok yang tepat berada di depan laut, baru saja ditinggalkan penghuninya. Saya dan teman-teman bergegas menempatinya sebelum ada yang mendahului. Panas matahari memenuhi sebagian besar pondoknya, sehingga kami harus duduk di salah satu sudutnya. 

Berjalan di tepi pantai/Yosefa Rosa Bruno Saru

Setelah sedikit melepas lelah, saya dan teman-teman memutuskan untuk terlebih dahulu mengembalikkan energi kami yang cukup terkuras selama perjalanan. Mula-mula, kami menyantap pisang dan roti goreng, buatan salah seorang teman kami bernama Anggie. Lalu dengan kompor lapangan dan gas kaleng serta peralatan masak seadanya, kami membuat kudapan selanjutnya yang terdiri dari sosis, bakso ikan, dan bakso telur. Rasanya berkali-kali lipat lebih nikmat. Mungkin karena dimakan secara bersama-sama dengan suguhan pemandangan yang begitu memanjakan mata. Diiringi musik yang membuat kami mengadakan konser kecil-kecilan serta diselingi cerita-cerita lucu, tidak terasa kami telah menghabiskan waktu sekitar 1 jam lebih beberapa menit, makanan kami pun habis tak tersisa.

Hari semakin sore, tapi nyatanya suasana sekeliling masih begitu ramai. Tidak sedikit yang berjalan menyusuri pantai, mencari angle foto yang menarik. Namun ada yang tetap setia berada di dalam pondok, menikmati suasana Pantai Air Cina sambil bercengkrama dengan teman-teman mereka, tapi tentunya kami tidak termasuk dalam kategori ini. Saya dan teman-teman, seperti kebanyakan pengunjung, tidak ingin meninggalkan Pantai Air Cina tanpa membawa pulang kenang-kenangan dalam bentuk foto dan video. 

Berfoto bersama/Yosefa Rosa Bruno Saru

Matahari hampir tenggelam, semburat jingga mendandani cakrawala dengan sangat indah, Pantai Air Cina semakin mempesona di bawahnya. Beberapa pengunjung mulai berkemas untuk pulang, begitu juga dengan kami. Ungkapan yang mengatakan bahwa ketika kita sedang bahagia, waktu terasa berjalan lebih cepat, sepertinya benar. Waktu 2.5 jam yang kami habiskan di sini, rasanya masih kurang. Meski sangat betah, kami tetap harus kembali. Setidaknya, kami tidak pulang dengan tangan kosong. Kami telah mengantongi harapan untuk kembali melangkah ke depan dengan penuh semangat dan lebih dari itu, kami berhasil mengukir satu lagi kenangan indah bersama. 

Saya dan teman-teman menyimpan semua barang bawaan kami dan memastikan tidak ada yang tertinggal. Setelah beres, kami pun meninggalkan pondok. Namun sebelum pulang, kami mengumpulkan sampah-sampah kami dalam satu plastik, lalu membuangnya pada tempat yang telah tersedia. Setidaknya itu merupakan cara kami berterima kasih kepada alam sekaligus merawat keindahan Pantai Air Cina yang telah membantu kami untuk beristirahat sejenak.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Merekam Kebersamaan di Pantai Air Cina appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/merekam-kebersamaan-di-pantai-air-cina/feed/ 0 29012
Menuju Nusa Tenggara Timur Semasa Corona (2) https://telusuri.id/menuju-nusa-tenggara-timur-saat-semasa-corona-2/ https://telusuri.id/menuju-nusa-tenggara-timur-saat-semasa-corona-2/#respond Fri, 03 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30073 Rabu pagi, 16 Juni 2021. Agenda perjalanan pertama kami yaitu dari Kota Kupang ke Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), lalu ke Kabupaten Malaka—dan rencana awal hendak pula menuju Atambua di Kabupaten Belu, yang berbatasan dengan...

The post Menuju Nusa Tenggara Timur Semasa Corona (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Rabu pagi, 16 Juni 2021. Agenda perjalanan pertama kami yaitu dari Kota Kupang ke Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), lalu ke Kabupaten Malaka—dan rencana awal hendak pula menuju Atambua di Kabupaten Belu, yang berbatasan dengan Timor Leste. Ya, siapa sangka andaikan bisa sekalian ke Timor Leste. Sayang sedikit sayang, saat itu waktu dan badan tampaknya belum mengizinkan.

Waktu tempuh dari Kupang ke Kabupaten TTS, dengan mobil, sekitar 3 jam setengah. Berangkat sekitar jam 8 pagi dari Kota Kupang, kami tiba di Desa Oebelo RT 20 RW 09 Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan menjelang waktu Dzuhur.

Di sana, kedatangan kami disambut baik dan hangat oleh warga Kampung Mualaf yang hanya dihuni oleh 16 KK di rumah-rumah adat Lopo. Gerbang kampung warga yang terbuat dari kayu dibuka salah seorang pria. Mobil kami masuk dan barang bantuan diturun-pindahkan dari mobil ke gerobak untuk dibawa ke tempat pertemuan.

Saat disambut oleh warga Desa Oebelo, dengan tradisi Adat Natoni
Saat disambut oleh warga Desa Oebelo dengan tradisi adat natoni/Wahyu Noerhadi

Di tempat pertemuan, kedatangan kami disambut dengan tradisi natoni; dengan mengalungkan syal tenun khas NTT dan penuturan bahasa Dawan, bahasa suku Atoni di Pulau Timor.

Usai penyerahan bantuan kebutuhan pokok seperti sembako dan juga bantuan pembangunan MCK umum, kami berbincang-bincang dengan warga dengan ditemani kudapan yang disajikan yaitu air teh hangat, kopi panas, dan singkong rebus yang dicocol sambal. Di bawah pohon besar nan rimbun, kami berbincang dan duduk bersama di kursi dengan kudapan di atas meja plastik.

Dari perbincangan itu, kudapati kabar bahwa warga setempat hendak membangun mushola pertamanya—yang sejak 1981 atau sudah 40 tahun ini—warga Kampung Mualaf belum memiliki tempat ibadah bersama.

Samsudin Tobeh yang merupakan Penanggung Jawab Pembangunan Mushola mengatakan bahwa masjid terdekat adalah Masjid Al Ikhlas Oehani yang berada di Desa Kiufatu, Kecamatan Kualin. Jaraknya sekitar 11 kilometer dari Kampung Mualaf.

Pernyataan Samsudin Tobeh dibenarkan oleh Milyakim Ton selaku Ketua RT, bahwa yang menjadi kendala bagi jamaah muslim di Kampung Mualaf adalah tempat ibadah. “Tiap hari Jumat warga mesti pergi ibadah ke lain desa. Yang ada uang yang bisa ke masjid [dengan mengendarai ojek]. Yang tidak punya uang, hari Jumat di rumah saja,” jelasnya.

Jamuan Warga Kampung Mualaf Desa Oebelo
Jamuan Warga Kampung Mualaf Desa Oebelo/Wahyu Noerhadi

Milyakim Ton sangat mendukung pembangunan tempat ibadah bagi warganya yang muslim. “Dibukakan oleh jalan Tuhan. Dari tahun 1981 sampai 2021, 40 tahun baru terjawab pembangunan musala. Kita berharap, kita sama-sama menghadap ke Allah, sesuai kehendak Allah,” tuturnya.

Bayangkan, selama 40 tahun warga di sana tidak memiliki tempat ibadah bersama! Sementara masjid terdekat pun jaraknya 11 km, di lain desa dan lain kecamatan. Usai berpamitan dan hendak menuju ke tempat selanjutnya, aku dan kawanku berpikir. Kami berdiskusi di mobil soal bagaimana caranya agar dapat membantu mereka.

Persinggahan di Pantai Kolbano

Pantai Kolbano di Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT
Pantai Kolbano di Kabupaten Timor Tengah Selatan/Wahyu Noerhadi

Di tengah perjalanan dari Kabupaten TTS ke tempat selanjutnya yaitu Kabupaten Malaka, kami singgah untuk rehat dan makan siang. Kami tiba di tempat makan sederhana, persis di depan pantai indah Kolbano; pantai dengan langit dan awan yang bersih. Dan tentu, jernih airnya biru sejati dengan gradasi hijau menuju bibir pantai—mungkin sulit jika dibandingkan dengan kebanyakan lanskap di Jawa misalnya, yang langitnya berpolusi dan airnya yang coklat bahkan hitam dan bercampur sampah manusia.

Uniknya, pantai di Pulau Timor ini tidak berpasir. Di bibir pantai, yang ada hanya hamparan bebatuan atau kerikil warna-warni; warna abu, putih, krem, hitam, hijau, cokelat, jingga, ungu, dan merah jambu. Kira-kira begitu.

Di pantai itu, tampak dua pemuda tengah menambang kerikil; memilih batu sesuai ukuran, bentuk, dan warnanya, untuk memenuhi permintaan orang-orang yang hendak menghias taman atau pinggiran kolam renang atau akuarium wadah ikan cupang.

Dari cerita pemuda Desa Kolbano, batu-batu indah itu nantinya dikirim ke Jawa lewat Surabaya, dengan harga sekarung Rp10 ribu. Sementara di Jawa, satu ember kecil saja, harga batu hias itu bisa dijual Rp30 ribu, katanya. Anehnya, meski terus-menerus ditambang, kerikil-kerikil itu katanya tidak pernah habis. Ribuan kerikil itu tetap saja tampak utuh. Ada terus. Ajaib.

Satu lagi. Selain menambang kerikil, warga Desa Kolbano pun terus menjaga pantainya agar tetap indah dan tidak tercemar sebab ulah manusia. Supaya keindahannya tetap terjaga.

Ambruknya Jembatan Benenain di Malaka dan Kisah Evakuasi Warga

Setelah selesai melewatkan waktu siang di Pantai Kolbano, mobil kembali melaju dan kami tiba Kabupaten Malaka setelah menempuh sekitar empat jam perjalanan. Kami tiba di Desa Wehali, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka, kira-kira jam 5 sore.

Kabupaten Malaka merupakan daerah terdampak banjir bandang yang parah, hingga mengakibatkan salah satu jembatan kokoh di sana ambruk. Saat perjalanan ke Desa Wehali, mobil kami pun melewati jembatan alternatif yang dibuat di samping jembatan panjang itu.

“Jembatan kokoh dari beton yang panjangnya sekitar 300 meter, itu ambruk dan sekarang sedang proses perbaikan. Jembatan Benenain itu jembatan terpanjang di Pulau Timor,” ucap Pak Syukur yang mendampingi perjalananku dan kawan selama di sana. Yulianto, salah seorang warga, menceritakan waktu musibah banjir bandang melanda, dirinya berjibaku membantu proses evakuasi warga.

“Waktu banjir bandang, kami berjibaku, menggendong bayi usia sekitar dua minggu, dan juga lansia. Kami sudah tidak bisa sedih lagi saat di lokasi, karena melihat kesedihan yang dalam dari warga yang terkena musibah. Setelah pulang, salat, dan setelah shalat, barulah kami menangis, sedih, dan betapa bersyukurnya kami dalam keadaan yang selamat,” kisah Yulianto, pria asal Jawa itu.

Kembali ke Kupang

Dari Malaka, kami sampai kembali di Kota Kupang sekira pukul 02.00 WITA. Aku dan kawanku tidur untuk esok harinya melanjutkan penyaluran bantuan sembako kepada para nelayan, yang selama hampir dua bulan tidak bisa melaut karena perahunya hancur dihantam badai.

Menurut Pak Syukur, yang memang berdomisili di Kupang, mayoritas masyarakat di situ adalah nelayan yang terdampak bencana dan perahunya hancur. “Mayoritas masyarakat di sini (Kota Kupang) nelayan, dan kapal mereka hancur saat diterjang badai Seroja,” kata Pak Syukur, pada pagi hari saat penyaluran bantuan.

Senja di Pelabuhan Tenau, Kupang
Senja di Pelabuhan Tenau, Kupang/Wahyu Noerhadi

Setelah selesai tugasku dan kawan menyalurkan bantuan, sore harinya Pak Syukur mengajak kami jalan-jalan ke Pelabuhan Tenau di Kota Kupang. Sembari menikmati kopi dan senja ala anak indie, aku berkata dalam hati: “Aku ingin kembali lagi ke sini!”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menuju Nusa Tenggara Timur Semasa Corona (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menuju-nusa-tenggara-timur-saat-semasa-corona-2/feed/ 0 30073
Melawat ke Panmuti, Merawat Persahabatan https://telusuri.id/melawat-ke-panmuti-merawat-persahabatan/ https://telusuri.id/melawat-ke-panmuti-merawat-persahabatan/#respond Mon, 09 Aug 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28794 Seiring perjalanan waktu, saya percaya bahwa setiap perjalanan, sesederhana apa pun itu, selalu punya alasan tersendiri untuk diabadikan. Inilah yang kemudian mendorong saya untuk menulis sedikit tentang perjalanan bersama beberapa sahabat saya ke Pantai Panmuti,...

The post Melawat ke Panmuti, Merawat Persahabatan appeared first on TelusuRI.

]]>
Seiring perjalanan waktu, saya percaya bahwa setiap perjalanan, sesederhana apa pun itu, selalu punya alasan tersendiri untuk diabadikan. Inilah yang kemudian mendorong saya untuk menulis sedikit tentang perjalanan bersama beberapa sahabat saya ke Pantai Panmuti, sebuah tempat wisata yang terletak di Desa Noelbaki, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. 

Tidak ada agenda khusus untuk perjalanan kali ini. Barangkali melepas penat setelah berbagai kesibukan beberapa hari belakangan, menjadi alasan yang menyatukan niat kami untuk berangkat ke sana. Beberapa orang dari antara kami memang sedang sibuk bergelut dengan tugas akhir, wajar saja jika mereka yang menginisiasi perjalanan hari ini. 

Rencana perjalanan ini baru kami bahas semalam. Saya sendiri sempat ragu bahwa perjalanan ini akan terlaksana, pasalnya selama ini kami sudah terlampau sering membuat satu dua perencanaan yang selalu saja gagal. Beruntungnya hari ini semua menepati janji, kendati waktu keberangkatan kami molor satu jam dari rencana semalam.

Saya sendiri yang merekomendasikan Panmuti sebagai tujuan kami hari ini. Selain karena akses ke sana yang cukup mudah, beberapa orang dari antara kami  memang belum pernah berkunjung ke sana sebelumnya. 

Bagi saya, ini adalah perjalanan ke sekian kalinya. Perjalanan bersama rekan sejurusan pada akhir 2018 lalu menjadi yang pertama. Setelahnya saya berulang kali berkunjung ke sana, entah untuk sekedar refreshing atau menyelesaikan beberapa tugas kuliah yang berkaitan dengan destinasi wisata ini. 

Sekitar pukul 16.00 WITA kami berangkat ke lokasi, tentu saja dengan tetap memakai masker dan membawa hand sanitizer.

Langit cerah Kota Kupang yang berpadu semilir angin sejuk seakan menemani perjalanan kami ke sana. Pemandangan pinggir jalanan Tarus yang dihias hamparan persawahan seperti kembali menyapa kami setelah beberapa bulan tidak melintasi jalur ini. 

Jarak Panmuti yang tidak terlalu jauh dari lokasi kami membuat perjalanan tidak memakan waktu yang terlalu lama. Kami tiba di Panmuti sekitar pukul 16.30 WITA. Saya sedikit terkejut mendapati Panmuti yang banyak berubah, tentu ini bisa dimengerti sebagai dampak badai siklon Seroja yang terjadi beberapa waktu lalu. 

Namun, itu tidak serta merta menghilangkan semua keindahan Panmuti. Alam Panmuti masih tampak cantik. Keistimewaan Panmuti memang terletak pada pemandangan alamnya yang dihias hamparan pasir yang sangat luas, dengan latar bukit batu putihnya yang menjulang indah. Bebatuan di pinggir pantai menyatu dengan air lautnya yang tenang. Sebuah panorama alam nan indah yang selalu memanjakan mata setiap pengunjung.

Pemandangan pantai dari bukit/Oswald Kosfrandi

Panmuti menjadi salah satu pantai dengan kondisi alam yang bagus dan berbeda. Tempat ini cocok untuk dijadikan lokasi piknik, tempat hunting foto atau sekadar melepas penat dengan menyaksikan matahari terbenam. Letaknya yang tidak terlalu jauh dari Kota Kupang juga memudahkan pengunjung datang ke tempat ini.

Segera setelah memarkir kendaraan, kami berkeliling sebentar. Bukit batu putih yang menjadi ikon Panmuti menjadi tujuan pertama kami. Kami duduk bercerita cukup lama sambil menikmati keindahan alam yang dapat kami saksikan dengan jelas di depan sana. Lelucon khas beberapa sahabat saya yang memang pandai mengarang cerita lucu membuat tawa kami menyatu hembusan angin yang bertiup cukup kencang. 

Menyaksikan matahari terbenam di Panmuti adalah hal yang sangat kami nantikan sore ini. Keindahan sunset di Panmuti memang sudah menjadi rahasia umum bagi siapa saja yang pernah berkunjung ke sana. Panmuti selalu punya keindahan yang luar biasa lewat polesan semburat jingga pada cakrawalanya yang terbentang luas setiap matahari turun. 

Benar saja, bersamaan matahari yang perlahan turun, semburat jingga terlukis indah pada hamparan cakrawala di kejauhan. Cahaya jingganya yang cantik pun disambut air lautnya yang tenang. Sungguh sebuah paduan yang sangat indah. Kami lantas mengabadikannya dengan mengambil foto dengan gaya masing-masing.  

Foto sahabat saya, Rio Reme/Oswald Kosfrandi

Hari yang mulai gelap enggan kami pedulikan, kami malah semakin bercanda ria dan terlibat dalam obrolan penuh tawa. Semilir angin yang bertiup kala malam kian menjelang, mencipta kehangatan dalam nuansa keakraban kami. 

Sejujurnya ini adalah kali pertama kami semua menghabiskan waktu bersama di tempat seperti ini. Kendati hampir sepuluh tahun tumbuh bersama sejak SMP hingga kuliah, kami belum pernah melakukan perjalanan bersama selama di Kupang. 

Kami lalu bergegas pulang saat hari sudah benar-benar gelap. Setelah memastikan semua barang yang kami bawa tidak ada yang tertinggal, kami segera melesat kembali ke tempat kami masing-masing.  

Perjalanan hari ini ke Pantai Panmuti bagi saya lebih dari sebuah perjalanan mengunjungi destinasi wisata yang punya keindahan alam nan indah. Lebih jauh, perjalanan kali ini memberi saya pelajaran agar senantiasa mensyukuri hangat kebersamaan bersama sahabat.

Di Panmuti, semesta mengikat kami dalam persaudaraan, mengakrabkan kami dengan alam, dan memberi ruang untuk kami sejenak merenungi hidup sembari mensyukuri banyak hal. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melawat ke Panmuti, Merawat Persahabatan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melawat-ke-panmuti-merawat-persahabatan/feed/ 0 28794
Mengunjungi Pantai Baliana https://telusuri.id/keindahan-wisata-baru-pantai-baliana-dan-minimnya-fasilitas-penunjang/ https://telusuri.id/keindahan-wisata-baru-pantai-baliana-dan-minimnya-fasilitas-penunjang/#respond Mon, 02 Aug 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29253 Perjalanan kali ini berawal dari sebuah postingan video singkat WhatsApp story milik seorang teman, yang sedang berada di Pantai Baliana. “Ini pante (pantai) yang ada (sedang) viral.” Begitu kira-kira caption story (dalam bahasa Kupang) tersebut. ...

The post Mengunjungi Pantai Baliana appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan kali ini berawal dari sebuah postingan video singkat WhatsApp story milik seorang teman, yang sedang berada di Pantai Baliana. “Ini pante (pantai) yang ada (sedang) viral.” Begitu kira-kira caption story (dalam bahasa Kupang) tersebut. 

Tanpa berpikir lama esoknya pada Minggu, 21 Juni 2021 lalu, saya bersama beberapa teman langsung bertandang ke pantai tersebut. Pantai yang terletak di wilayah Desa Kuanheum, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur ini berjarak sekitar 20 km dari pusat Kota Kupang. Selain tidak terlalu jauh, kondisi jalan menuju ke sana juga sudah bagus. Perjalanan pun terasa nyaman dan lancar.

Meski begitu, saat mendekati pantai, jalan yang tadinya aspal mulus, mulai berlubang-lubang. Jalan berlupang ini berujung pada jalan berbatu dengan tanah putih dan sempit. Tak muat untuk lewat dua buah mobil.

Lama-kelamaan jalan semakin sempit. Hanya bisa dilewati satu mobil saja. Dari kejauhan pun mulai terlihat batu-batu karang, jalannya mulai berkelok-kelok, menurun, menukik tajam. Saya dan teman-teman memilih untuk memarkir motor 200 meter dari pantai.

Jalan tanah putih menuju Pantai Baliana/Resti Seli

Perjalanan menuju Pantai Baliana

Mulailah kami berjalan kaki, melewati semak-semak seperti ingin memasuki hutan. Saya berjalan sambil memegang botol minum yang saya bawa karena sebelumnya, seorang teman mengatakan bahwa di pantai tersebut belum ada kios yang menjajakan makanan dan minuman. Jalan tanah putih tadi membuat kaki saya kotor, putih, seperti orang yang sudah lama tidak tersentuh air.

Akhirnya, perjalanan yang cukup melelahkan di tengah terik matahari selesai. Pepohonan rindang menyambut kedatangan kami. Tidak jauh dari situ, di depan kami terlihat ombak-ombak kecil yang datang silih berganti. Menandakan bahwa kami telah sampai di Pantai Baliana, pantai yang sedang viral katanya. 

Motor-motor pengunjung yang berhasil masuk, terparkir dengan rapi. Setiap sudut pantai penuh dengan pengunjung. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa ada di sini. Mereka umumnya datang bersama keluarga, teman, dan juga kekasih.

Saya mulai melanjutkan langkah lalu bertemu dengan sebuah menara yang berdiri kokoh entah untuk apa. Ada pula orang-orang di atas menara tersebut. Lalu, ada pula gubuk reot yang dipenuhi orang di dalamnya. Ada juga yang berjualan jagung, kacang goreng, dan air minum di sana.

Menara dan keramaian/Resti Seli

Suasana Pantai Baliana

Terang saja pantai ini ramai. Banyak hal yang menarik perhatian pengunjung. Sebut saja gugusan batu karang besar yang memanjang dari ujung ke ujung yang menjadi pembatas antara hutan dan pantai. Jadi, pengunjung dapat berdiri di atas jejeran batu karang tersebut untuk memandangi keindahan pantai. Namun, tentu harus berhati-hati karena tidak ada tangga turun dari sana. Jika pengunjung turun ke bibir pantai maka harus melalui cela-cela batu karang. Begitu juga jika ingin naik, harus memanjat batu karang tersebut.

Berbahaya memang, tetapi sepertinya pengunjung yang datang terlalu bersemangat untuk turun merasakan serunya bermain ombak di Pantai Baliana ini. Mereka seperti tidak peduli resiko apabila sampai terjatuh. Tetapi sepertinya, pengunjung sangat berhati-hati naik-turun tebing batu karang itu.

Kami datang berkunjung pada waktu yang tepat, saat air laut sedang surut. Oleh karenanya, kami dan para pengunjung lain bisa berenang, menikmati ombak-ombak kecil pantai ini. Ada juga pengunjung yang menaiki perahu kecil untuk sekadar melompat ke air, menunjukkan atraksi-atraksi sederhana mereka kepada pengunjung lain.

Lain cerita jika kami datang saat air laut sedang pasang. Sudah pasti kami hanya berfoto saja karena tidak bisa turun ke pantai.Untuk pasir pantainya, berwarna putih dengan campuran sedikit warna pink, bersih dan halus.

Sampah di Pantai Baliana/Resti Seli

Sampah yang berserakan

Namun sayangnya, budaya buang sampah sembarangan masih merajalela. Semakin ramai pengunjung, semakin banyak pula sampah bertebaran di segala tempat. Begitulah yang saya jumpai di pantai ini. Mulai dari bungkusan rokok, plastik, kemasan botol air, kertas pembungkus nasi, bungkusan permen, dan banyak lagi.

Saya mulai menengok ke kanan dan ke kiri untuk mencari tempat sampah, namun saya tidak menemukannya. Atau mungkin, saya yang kurang teliti sehingga tidak melihatnya.

Sungguh sedih rasanya. Keindahan pantai ternoda oleh sampah-sampah yang berserakan.

Saya pun sempat bertanya-tanya dalam hati, “Apakah lebih baik jika pantai ini tetap tersembunyi? Jika tidak dikenal banyak orang seperti sekarang, akankah tetap bersih dan asri?”

Semoga kedepannya, ada perhatian lebih dari pemerintah setempat untuk membangun fasilitas-fasilitas penunjang wisata di pantai ini seperti: pengadaan tempat sampah, akses berupa tangga menuju pantai—sehingga pengunjung tidak perlu memanjat tebing tanpa pengaman yang memadahi—, dan satu lagi yang penting menurut saya adalah ketersediaan toilet mengingat pantai ini terletak di dalam hutan dan cukup jauh dari rumah penduduk.

Hari semakin sore, matahari mulai menampakkan senjanya. Setelah puas mengambil foto dan menikmati keindahan pantai, kami memutuskan untuk bergegas pulang sebelum hari benar-benar gelap.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengunjungi Pantai Baliana appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/keindahan-wisata-baru-pantai-baliana-dan-minimnya-fasilitas-penunjang/feed/ 0 29253