labuan bajo Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/labuan-bajo/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:32:49 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 labuan bajo Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/labuan-bajo/ 32 32 135956295 Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial https://telusuri.id/simpang-belajar-2025-melestarikan-pangan-lokal-melalui-konten-media-sosial/ https://telusuri.id/simpang-belajar-2025-melestarikan-pangan-lokal-melalui-konten-media-sosial/#respond Tue, 13 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46902 Sebanyak 15 orang muda Manggarai Barat, baik yang sebelumnya menjadi peserta Simpang Belajar: Co-creation for City Vision tahun 2024 maupun komunitas Lino Tana Dite, berpartisipasi aktif pada Workshop Content Creation and Gastronomy Movements (WCGM) atau...

The post Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebanyak 15 orang muda Manggarai Barat, baik yang sebelumnya menjadi peserta Simpang Belajar: Co-creation for City Vision tahun 2024 maupun komunitas Lino Tana Dite, berpartisipasi aktif pada Workshop Content Creation and Gastronomy Movements (WCGM) atau Lokakarya Pembuatan Konten dan Gerakan Gastronomi pada 21–23 April 2025 di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Kegiatan ini dipimpin oleh Pamflet Generasi (Pamflet) dan bekerja sama dengan Rombak Media, sebagai Konsorsium Simpul Pangan yang merupakan bagian dari program Urban Futures—program global lima tahunan yang diinisiasi oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis).

Lokakarya kali ini berfokus pada peningkatan pemahaman orang muda terkait produksi konten-konten seputar pangan, pemanfaatan media sosial, dan kegunaannya dalam gerakan gastronomi lokal. Media sosial masih dianggap sebagai wadah kampanye untuk menggugah kesadaran warganet atas isu-isu gastronomi, yang beberapa waktu belakangan hampir selalu mendapat tempat perbincangan di lini masa maya.

Kegiatan Simpang Belajar tahun ini merupakan momentum untuk mengakselerasi produksi konten-konten media sosial oleh orang muda yang membicarakan sistem pangan lokal. Masifnya audiens media sosial di kalangan Gen Z dan Milenial merupakan peluang besar bagi orang muda mendorong perubahan dengan media digital.

Melalui WCGM, peserta diharapkan mampu menyusun narasi kampanye tentang isu pangan lokal secara kreatif dan bernuansa positif di media sosial, khususnya Instagram. Selain itu, kegiatan pembuatan konten bertujuan untuk menguatkan kesinambungan antara visi kota berkelanjutan yang telah dirumuskan dalam lokakarya sebelumnya, dengan kemampuan produksi konten media sosial yang berdampak. 

Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial
Elisabeth Ester Umbu Tara (Ete) memberi materi di sesi pertama lokakarya/Dokumentasi Simpang Belajar

Cerita dan media sosial sebagai ruh dari sistem pangan

Sesi pembuka di hari pertama kegiatan diawali dengan pemaparan materi oleh Ester Elisabeth Umbu Tara selaku fasilitator. Perempuan kelahiran Kupang yang akrab disapa Ete itu merupakan pendiri komunitas Bapalok (Bacarita Pangan Lokal), sebuah wadah yang bertujuan mengarsipkan dan mendokumentasikan tanaman pangan khas berbagai daerah melalui tulisan, fotografi, hingga bentuk audiovisual lainnya, dengan salah satu fokus pada pemberdayaan perempuan.

Terbagi dalam dua segmen, alumnus Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang membahas lima materi seputar pembuatan konten dan pemanfaatannya untuk mengampanyekan sistem pangan lokal. Pada segmen pertama, Ete berbagi materi tentang cara mencari ide konten, melakukan riset yang terarah, dan menyusun naskah yang efektif pun menarik. Di segmen ini pula Ete memberikan pemahaman mengenai aspek-aspek yang menjadi kesatuan dalam gastronomi, yaitu budaya, sejarah, teknik memasak, pemilihan bahan, penyajian, dan interaksi sosial. Ia menegaskan dalam satu jenis pangan bisa melahirkan banyak ide konten dari berbagai sisi, sehingga seorang kreator konten tidak akan kehabisan bahan.

Lalu di segmen kedua, Ete membantu peserta memahami teknik-teknik dasar fotografi dan videografi untuk kebutuhan visual konten, serta pengenalan platform CapCut dan Canva sebagai alat pendukung populer dan praktis untuk produksi dan editing konten—terutama berbasis perangkat mobile yang lebih mudah dijangkau peserta.

Dalam kacamata Ete, teknik pembuatan konten dan medium yang digunakan memang penting. Namun, ia juga menekankan narasi dan pesan yang ingin disampaikan dalam visual yang dibuat juga tak kalah krusial. Sebab, itu akan menentukan proses pengumpulan ide, riset, konsep, dan cara mengemas konten yang ingin dibuat. 

Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial
Mardhatillah Ramadhan (Han) menyampaikan materi seputar pengelolaan akun media sosial/Dokumentasi Simpang Belajar

Pada sesi selanjutnya, Mardhatillah Ramadhan sebagai narasumber memaparkan materi tentang pengelolaan akun media sosial dan strategi pengelolaan konten. Pria yang biasa disapa Han itu berpengalaman menjadiSocial Media Specialist di TelusuRI, media perjalanan dan pariwisata Indonesia di bawah naungan Rombak Media. Sebagai pemantik, Han menggali preferensi peserta lokakarya soal ragam media sosial yang sering digunakan dan jenis konten-konten yang disukai. Di antara jenama media sosial yang ada, Instagram dan fitur-fitur di dalamnya menjadi fokus utama pembahasan, karena akan menjadi medium kerja pembuatan konten sebagai keluaran yang diharapkan dari peserta selama lokakarya.

Han membeberkan keunggulan Instagram, terutama fitur reels (video). Untuk saat ini reels Instagram jadi favorit karena memiliki jangkauan luas ke audiens, sehingga memudahkan untuk meningkatkan engagement dan tidak harus membutuhkan pengikut (followers) banyak supaya viral. Dampaknya akan lebih hemat biaya promosi produk-produk konten yang dihasilkan.

Kemudian Han berbagi tips strategi mengelola akun media sosial, agar narasi maupun pesan dalam konten-konten kampanye pangan lokal bisa tersampaikan secara optimal ke audiens. Mulai dari perlunya memerhatikan struktur publikasi konten (menyiapkan visual, caption, profil akun lengkap, dan konten-konten awal yang menarik), rutin mengunggah konten secara berkala, interaksi dengan akun Instagram yang relevan dan sedang ramai dibicarakan, memahami statistik konten (insight), hingga pemasangan iklan berbayar.

Di luar aspek teknis, Han menekankan pentingnya melihat kembali tujuan awal pembuatan akun agar topik dan produksi konten fokus sehingga memikat audiens. Ia menyampaikan, berdasarkan data penggunaan media sosial tahun 2024 oleh Databoks Katadata.co.id, seperti dikutip Radio Republik Indonesia,  tercatat 191 juta pengguna media sosial di Indonesia pada tahun tersebut, yang menjadi potensi audiens besar untuk diraih. Hal lain yang tidak kalah utama untuk diperhatikan adalah mau memulai dengan konten-konten sederhana, selalu terbuka peluang kolaborasi, dan konsisten.

Dari materi ruang yang disampaikan oleh Ete dan Han, peserta kemudian dibagi menjadi empat kelompok kecil. Di akhir setiap sesi Ete dan Han, tersedia ruang untuk latihan dan presentasi dari masing-masing kelompok, serta menyiapkan tema konten untuk kunjungan liputan di lapangan pada hari kedua kegiatan. 

Berburu konten bersama The Kitchen Garden dan Lompong Cama

Setiap kelompok memiliki fokus liputan dan target konten masing-masing. Keempat kelompok tersebut terbagi ke dua lokasi sasaran, yaitu The Kitchen Garden dan Lompong Cama, yang terletak di Labuan Bajo, Manggarai Barat.

The Kitchen Garden (TKG) yang didirikan dan dikelola Chef Michael merupakan restoran sekaligus inisiator gerakan yang menumbuhkan kesadaran akan pentingnya identitas budaya dan gastronomi lokal di Labuan Bajo. Adapun Lompong Cama yang didirikan oleh Citra Kader, seorang chef dan pegiat pangan lokal, merupakan tempat makan terbatas (melalui reservasi) yang mengajak pengunjung mempelajari metode bercocok tanam, mengolah hasil kebun berisi komoditas lokal menjadi makanan siap santap, hingga mengelola sisa bahan pangan menjadi kompos. Keduanya sama-sama berupaya mengusung masakan khas Manggarai sebagai hidangan utama.

Bersama pendampingan Chef Michael, Kelompok 1 berfokus pada dojang sebagai bagian dari preservasi pangan lokal, sedangkan Kelompok 4 mengambil angle sejarah dan pengolahan dojang dengan konsep dari kebun ke meja makan atau from farm to table. Di TKG, acara diawali dengan pemaparan profil dan filosofi restoran oleh Chef Michael. Ia menekankan bahwa pelestarian wilayah Labuan Bajo atau Manggarai Barat tidak hanya tentang alam atau Komodo, tetapi juga manusia dan pangan lokal sebagai bagian dari ekosistem itu sendiri. 

Chef Michael juga mengajak dua kelompok melakukan aktivitas tur kebun, demo masak, dan pengambilan dokumentasi tambahan (footages) untuk mencukupi kebutuhan produksi konten masing-masing kelompok. Dalam penjelasannya, ia berusaha menghidupkan kembali kuliner tradisional setempat yang sempat hilang, seperti tibu, manuk cuing, nasi kolo, tapa kolo, dan dojang dengan pendekatan yang berbeda. Pengunjung TKG tidak hanya sekadar makan, tetapi juga mendapat cerita dan pengalaman edukasi maupun pertukaran budaya.

Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial
Sebagian peserta menyaksikan dan merekam proses memasak saat kunjungan ke The Kitchen Garden/Dokumentasi Simpang Belajar

Di lain tempat, Citra Kader mendampingi Kelompok 2 yang mengulik kempalo, serta Kelompok 3 yang fokus pada ikan kombong kuah asam dan manfaatnya bagi gizi tubuh. Kempalo merupakan bahan makanan berbahan dasar beras ketan yang diimpor dari Sulawesi, sedangkan kombong merupakan sejenis ikan laut lokal yang memiliki nilai gizi tinggi.

Sebelumnya Citra mengajak kedua kelompok mengunjungi Pasar Rakyat Batu Cermin untuk mewawancarai sejumlah pedagang dan belanja sejumlah bahan baku masakan untuk dibawa ke Lompong Cama. Saat kunjungan di pasar, Citra menjelaskan bahwa langkah pertama untuk memahami pangan lokal adalah terlebih dahulu mengenal pasar tradisional. Kemudian di Lompong Cama, peserta diajak berdiskusi, melihat pengelolaan sampah organik dan anorganik, pemeliharaan kambing untuk produksi pupuk kandang, pemanfaatan daun kering, berkeliling kebun yang ditanami berbagai macam bunga dan buah, demo masak, serta mengumpulkan bahan konten.

Usai mengumpulkan bahan konten di lapangan, selanjutnya setiap kelompok mulai melakukan finalisasi produksi konten berdasarkan tema dan angle yang dipilih. Kecuali Kelompok 1 yang hanya membuat satu video reels (karena jumlah anggota lebih sedikit), tiga kelompok lainnya akan membuat satu video reels dan satu feed (seri foto atau carousel). Ketentuan khusus untuk reels, durasi video yang dikerjakan minimal 30 detik dan maksimal satu menit. Seluruh karya peserta akan diunggah pada Instagram @gandengpangan dengan menggunakan fitur tag dan collaboration post dengan akun masing-masing peserta.

Pada hari ketiga, setiap karya yang dibuat oleh masing-masing kelompok dibedah oleh Ete dan Han. Kedua fasilitator tersebut membuka ruang diskusi, memberi masukan, melakukan kurasi naskah, audio, dan visual, serta meninggalkan catatan untuk setiap progres kerja yang dicapai oleh keempat kelompok. Selanjutnya peserta masing-masing kelompok menyelesaikan produksi konten dan mempresentasikan materi konten yang sudah dibuat, lalu mendapatkan penilaian.

Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial
Sejumlah peserta melakukan pembuatan konten saat kunjungan lapangan ke Lompong Cama/Dokumentasi Simpang Belajar

Kesan dan harapan

Sejumlah peserta menyampaikan kesannya terhadap lokakarya pembuatan konten dan gerakan gastronomi lokal selama tiga hari kegiatan. Erin, nama panggilan ​​Berta Ertin dari Kelompok 3 mengungkap banyaknya pengetahuan baru yang didapatkan, terutama soal pembuatan konten. 

“Yang saya dapatkan dari kegiatan Simpang Belajar ini adalah bagaimana cara kita membuat konten yang lebih baik,” kata peserta yang pernah menjadi administrator akun Neo Historia Indonesia (2019) itu. “Ini juga akan membantu proses pengarsipan atau dokumentasi pangan lokal di Manggarai Barat.”

Senada dengan Erin, Petrus Budi Handoyo yang akrab disapa Petu pun sejatinya memiliki banyak kesan mendalam terhadap lokakarya yang diikuti. “Tapi [ada] satu kesan yang paling menempel di pikiran saya, yaitu ilmu baru yang saya dapatkan, seperti pengeditan video. Sebelumnya pengeditan video yang saya lakukan tidak semenarik yang orang (audiens) inginkan.”

Anggota dari Kelompok 4 itu menambahkan, ada manfaat tambahan yang ia peroleh, terutama berkaitan dengan usaha pribadinya—Kedai Wae Nanggom—yang baru berjalan empat bulan. “Manfaat dari kegiatan Simpang Belajar sangat berdampak bagi saya. Ke depannya saya bisa mengubah pola pikir [pembuatan video], mulai dari penulisan naskah dan pengeditan video agar sesuai harapan orang (audiens).”

Maria Oktaviani Simonita Budjen, anggota Kelompok 1, menyampaikan kesannya soal dinamika yang terjadi selama kelas (materi ruang). “Saya disatukan dalam kelompok dengan teman-teman yang punya pengalaman dan skill yang berbeda, [sehingga] saya dapat banyak sekali hal baru dari mereka,” kata Ani.

Selama tiga hari kegiatan, Ani dan kelompoknya melatih diri untuk mengasah soft skill dan rasa percaya diri saat berdiskusi dan presentasi bersama. “Dan juga tentu saja field trip-nya. Kita diarahkan ke tempat-tempat yang punya ide cerita luar biasa, yang bisa mengangkat kembali cerita tentang pangan lokal yang ada di Manggarai Barat.”

“Harapannya, lokakarya ini dapat mendukung partisipasi bermakna dari kawan-kawan muda untuk pangan yang berkelanjutan. ‘Bermakna’ di sini berarti bahwa dengan bekal peningkatan kapasitas membuat konten, ke depannya kawan-kawan di Manggarai Barat sendirilah yang menentukan narasi dan gencar mengampanyekan pangan lokal kepada khalayak luas,” ujar Wilsa Naomi, Manajer Proyek Konsorsium Simpul Pangan dari Pamflet Generasi.

Lokakarya di Manggarai Barat bukanlah akhir, melainkan baru sebagai awal untuk harapan pelestarian pangan lokal di masa depan. Upaya tersebut tidak berhenti di The Kitchen Garden maupun Lompong Cama, tetapi terus bergulir di tangan orang-orang mudanya.

Foto sampul: modul kegiatan Simpang Belajar 2025/Dokumentasi Simpang Belajar


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/simpang-belajar-2025-melestarikan-pangan-lokal-melalui-konten-media-sosial/feed/ 0 46902
Siaran Pers Simpang Belajar 2025: Workshop Content Creation and Gastronomy Movements https://telusuri.id/siaran-pers-simpang-belajar-2025/ https://telusuri.id/siaran-pers-simpang-belajar-2025/#respond Fri, 18 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46696 Setelah sukses menyelenggarakan Simpang Belajar: Co-creation for City Vision pada November 2024, Konsorsium Simpul Pangan kembali menghadirkan Simpang Belajar dalam bentuk lokakarya lanjutan bertajuk Workshop Content Creation and Gastronomy Movements atau Lokakarya Pembuatan Konten dan...

The post Siaran Pers Simpang Belajar 2025: Workshop Content Creation and Gastronomy Movements appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah sukses menyelenggarakan Simpang Belajar: Co-creation for City Vision pada November 2024, Konsorsium Simpul Pangan kembali menghadirkan Simpang Belajar dalam bentuk lokakarya lanjutan bertajuk Workshop Content Creation and Gastronomy Movements atau Lokakarya Pembuatan Konten dan Gerakan Gastronomi. Kegiatan ini dipimpin oleh Pamflet Generasi (Pamflet) dan bekerja sama dengan Rombak Media, sebagai bagian dari program Urban Futures–program global lima tahunan yang diinisiasi oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis).

Lokakarya ini digelar secara luring pada Senin hingga Rabu, 21–23 April 2025 di Labuan Bajo, Manggarai Barat. WCGM akan melibatkan partisipasi aktif orang muda Manggarai Barat yang sebelumnya telah mengikuti lokakarya Simpang Belajar: Co-creation for City Vision, serta orang muda dari komunitas Lino Tana Dite.

Siaran Pers Simpang Belajar 2025:
Workshop Content Creation and Gastronomy Movements

Kampanye narasi sistem pangan lokal berkelanjutan

Seiring berkembangnya teknologi digital dan internet, media sosial menjadi alat yang sangat efektif dalam mempromosikan, mengampanyekan, dan mengadvokasikan berbagai isu sosial, termasuk sistem pangan lokal berkelanjutan. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 20241 menunjukkan, pengguna internet terbanyak berasal dari kalangan usia muda dengan rincian 87,02% Gen Z (12–27 tahun) dan 93,17% Milenial (28–43 tahun). Empat platform media sosial yang paling banyak digunakan antara lain Facebook, Instagram, Youtube, dan Tiktok. Hal ini menunjukkan potensi besar anak muda dalam mendorong perubahan melalui media digital.

Melalui lokakarya ini, peserta dilatih untuk mengembangkan narasi kampanye yang positif terkait isu pangan lokal, serta mengemasnya dalam bentuk konten kreatif di media sosial, khususnya Instagram. Kegiatan ini juga bertujuan untuk menguatkan kesinambungan antara visi kota berkelanjutan yang telah dirumuskan dalam lokakarya sebelumnya, dengan kemampuan produksi konten media sosial yang berdampak.

Pada Simpang Belajar sebelumnya, 15 orang muda yang menamai kelompoknya “Uma Lestari,” berkolaborasi melakukan pemetaan potensi dan masalah seputar pangan di sekitar tempat tinggal mereka, membayangkan sistem pangan perkotaan yang mereka impikan, dan merencanakan inisiatif aksi lebih konkret untuk mewujudkan visi kota Manggarai Barat: “Selaras Alam, Budaya, Manusia”. Visi tersebut menggambarkan fokus aspirasi untuk memadukan tiga elemen utama—alam, budaya, dan manusia—melalui pangan. Dampak yang diharapkan bisa menjadikan Manggarai Barat memiliki sumber pangan yang berkelanjutan, melindungi identitas lokal melalui pelestarian tradisi pangan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui ekosistem pangan yang inklusif dan inovatif.

Pada lokakarya kali ini, menghadirkan fasilitator utama, Ester Elisabeth Umbu Tara, pendiri komunitas Bapalok (Bacarita Pangan Lokal), yang aktif dalam pengarsipan pangan lokal dan pemberdayaan perempuan, di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Agenda kegiatan

Selama tiga hari pelaksanaan, peserta akan mengikuti rangkaian sesi produktif dengan pendampingan fasilitator lokal. Pada hari pertama (21/4), peserta akan diajak untuk mengenal kembali proses dan tahapan pembuatan konten media sosial sebagai bagian dari gerakan pangan dan gastronomi. Dalam praktiknya, peserta dilatih untuk mengeksplorasi ide dan riset, menulis naskah, pembuatan konten audiovisual, penyuntingan, hingga publikasi dan pengelolaan akun media sosial. 

Pada hari kedua (22/4), peserta diajak mengunjungi dua inisiatif kuliner lokal yakni, Lompong Cama dan The Kitchen Garden, yang dikenal karena upayanya memperkenalkan kembali masakan tradisional Manggarai Barat dengan memanfaatkan bahan-bahan lokal, di tengah arus modernisasi dan perubahan iklim. Di lokasi ini, peserta akan praktik langsung untuk membuat konten media sosial, baik berupa video pendek maupun fotografi, sesuai minat dan rencana kelompok masing-masing.

Bahan-bahan hasil perekaman lapangan tersebut kemudian disusun untuk menjadi konten yang utuh. Di hari ketiga (23/4), para peserta kemudian melakukan presentasi hasil konten kepada fasilitator dan narasumber untuk mendapatkan masukan sebelum dipublikasikan melalui media sosial. Setiap hasil karya peserta nantinya akan diunggah dan berkolaborasi dengan akun Instagram @gandengpangan.

Foto sampul: Demonstrasi memasak bahan pangan lokal di Lompong Cama/Dokumentasi Simpang Belajar


  1. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, “Survei Penetrasi Internet Indonesia 2024”, https://survei.apjii.or.id/survei/group/9. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Siaran Pers Simpang Belajar 2025: Workshop Content Creation and Gastronomy Movements appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/siaran-pers-simpang-belajar-2025/feed/ 0 46696
Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Mengulas Kota, Mengingat Sejarah https://telusuri.id/riwayat-gunung-dan-silsilah-laut-mengulas-kota-mengingat-sejarah/ https://telusuri.id/riwayat-gunung-dan-silsilah-laut-mengulas-kota-mengingat-sejarah/#respond Tue, 24 Oct 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39928 Apa yang diingat dari sebuah kota? Banyak yang akan menjawab dengan bangunan trademark-nya; seperti Jakarta dengan Monasnya, Yogyakarta dengan Keratonnya, atau Bandung dengan Gedung Satenya. Namun, apakah trademark cukup sebagai pengingat bahwa sebuah kota tersebut...

The post Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Mengulas Kota, Mengingat Sejarah appeared first on TelusuRI.

]]>
Apa yang diingat dari sebuah kota?

Banyak yang akan menjawab dengan bangunan trademark-nya; seperti Jakarta dengan Monasnya, Yogyakarta dengan Keratonnya, atau Bandung dengan Gedung Satenya. Namun, apakah trademark cukup sebagai pengingat bahwa sebuah kota tersebut mengalami pasang surut sejarah dan perkembangan? Tentu tidak. Ada cerita-cerita keseharian yang luput dari perhatian, yang juga menyusun rangkaian sejarah kota nan perlahan-lahan mulai buram dari ingatan penduduknya.

Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Mengulas Kota, Mengingat Sejarah
Sampul depan buku Riwayat Gunung dan Silsilah Laut/M. Irsyad Saputra

Penelitian-penelitian mulai dilakukan, membentuk narasi tentang sebuah kota yang tumbuh dan berganti rupa. Buku yang berjudul Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Sejarah Baru tentang Air, Perkampungan, dan Migrasi di Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Parepare, dan Pangkep mencoba mengawetkan data-data yang tersebar di ingatan penduduk kota dan mengalami pasang surut perkembangan kota mereka.

Penulis buku ini adalah anak-anak muda yang terkumpul dalam berbagai komunitas di berbagai kota, seperti Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Parepare, dan Pangkep dengan dukungan dari Yayasan Makassar Biennale, yang rutin menggelar Makassar Biennale sebagai ajang kerja-kerja kebudayaan berskala internasional. Yayasan Makassar Biennale menjadi penyokong anak-anak muda untuk menuliskan sejarah perubahan kota mereka dan cerita yang terekam di dalamnya. Dengan demikian akan menjadi sebuah kumpulan data yang berharga untuk penelitian-penelitian yang akan datang.

Anwar Jimpe Rachman sebagai penyunting, juga memberikan kata pengantar dan mengomentari penulisan buku ini sebagai “antara bermain dan serius”. Disebut bermain, karena dalam merekam data dan menulis para peneliti memiliki keleluasaan serta tanpa kekangan dari konsep dunia akademik. Disebut serius, karena prosesnya yang menuntut kedisiplinan dan komitmen setiap individu yang terlibat. Dan ia berharap buku ini dapat meretas kesenjangan penelitian-penelitian sejenis yang biasanya hanya menjadi ranah dari para perguruan tinggi. 

Tentang Perubahan Drastis dari Kota ke Kota

Tulisan “Tanah yang Bergerak Menuju Selat Makassar” oleh Aziziah Diah Aprilia dan kawan-kawan menjadi cerita pembuka. Mereka menyoroti perkembangan bentang alam pesisir Makassar dalam lima puluh tahun terakhir. Dalam kurun waktu tersebut lanskap berubah drastis, yang juga berarti mengubah nasib penghuninya. Aziziah dkk mengamati kehidupan sebelum dan sesudah reklamasi yang marak terjadi di daerah pesisir, mewawancarai orang-orang yang melihat perubahan lingkungan hidup secara langsung, juga mengambil sudut pandang personal dengan dampaknya terhadap kehidupan mereka masing-masing, serta melengkapinya dengan sejarah singkat masing-masing kampung yang terdampak.

Tulisan kedua, “Perigi-Perigi yang Kering di Bentangan Karst Pangkep-Maros”, menyoroti ironi di kala kemarau. Harusnya tangkapan air di sekitar Karst Pangkep-Maros yang begitu melimpah justru mengalami kekeringan. Tulisan ini adalah hasil kerja keras Firdaus AR dan teman-teman dalam mewawancarai warga setempat perihal distribusi air, mata air desa, air dan perempuan, juga teologi air sumur. 

Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Mengulas Kota, Mengingat Sejarah
Foto yang memuat gambar peta Kecamatan Mariso, di pesisir Kota Makassar/M Irsyad Saputra

Buku ini membawa kita ke kota selanjutnya dengan cerita yang berbeda dalam “Kedai, Jalan, dan Cerita Lainnya dari Pinggir Selengkung Teluk”. Parepare sebagai salah satu daerah tingkat II (kota) di Provinsi Sulawesi Selatan dan memiliki jumlah populasi penduduk kurang lebih 140.000 jiwa, ternyata punya cerita di sudut-sudut kotanya. Kita akan menikmati suguhan kisah bagaimana jalan-jalan di kota ini saling memberi cerita tentang kejayaan dan kemunduran Parepare sebagai kota yang disatroni oleh banyak etnis untuk mengadu nasib. Tentang sebuah jalan yang menjadi saksi bisu perekonomian warga Parepare, Pelabuhan Cappa Ujung yang tertua dan bersejarah, juga masjid yang menjadi marwah Parepare.

Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Mengulas Kota, Mengingat Sejarah
Contoh foto udara yang menggambarkan lanskap Pantai Kampung Ujung di Labuan Bajo/M. Irsyad Saputra

Cerita berlanjut ke daerah paling timur, Nabire. Sebuah kota di Papua Tengah yang berdiri di atas rawa-rawa. Kita akan larut dalam tulisan Fauzan Al-Ayyuby dan kawan-kawan, tentang bagaimana Nabire membentuk identitasnya di tengah arus transmigrasi pada masa Orde Baru. Orang-orang transmigran—yang kebanyakan berasal dari Jawa—bersinergi dengan penduduk asli menciptakan Nabire, yang dulunya adalah rawa-rawa penuh nyamuk dan sepi lalu bertransformasi menjadi kota yang ramai. Hubungan masyarakat transmigran dengan para penduduk asli tergambar dalam cuplikan kisah Mbah Alo.

Terakhir, “Riwayat Gunung dan Silsilah Laut Labuan Bajo” karya Ade Awaluddin Firman dan kawan-kawan, yang menceritakan dua keluarga berbeda suku tentang pemukiman di Labuan Bajo dan sekitar pantai utara Flores bagian barat. Mereka mengulik kisah Rofina Tiwu yang mendatangi Labuan Bajo, kala kota ini hanya sebatas perkampungan nelayan yang masih sarat akan hutan.

Impresi Pribadi

Saya mendapati tiap narasi di buku ini ibarat kue kering; tiap gigitannya terasa renyah dan ingin mencicipinya kembali. Tulisan-tulisan di dalamnya mampu menjalin kisah-kisah personal para narasumbernya terasa lebih intim—mungkin karena berasal dari orang pertama.

Saya berhasil merasakan suasana tatkala banjir menghantam pesisir Makassar, pencarian sumber air bersih di Pangkep-Maros, atau merasakan rawa-rawa yang berubah menjadi pemukiman di Nabire. Pun, narasi yang tersusun juga menyertakan foto-foto serta gambar penunjang yang memberikan gambaran lebih lengkap tentang permasalahan kota-kota tersebut.

Buku setebal 167 halaman ini punya sampul atraktif yang berjudul The Three World of Galigo karya Maharani Budi dan Louie Buana, yang memvisualkan kosmologi masyarakat Bugis dan tergambar dalam epos La Galigo. Pameran visualisasi ini sebelumnya sudah terpajang dalam Festival Kertas Sejagat dan Proyek Indonesia, dan selanjutnya terpilih menjadi sampul buku karya 25 peneliti muda tersebut.

Bagi saya, buku ini tidak hanya memaparkan narasi-narasi yang terserak di antara kehidupan bermasyarakat. Ia sekaligus menjadi bukti bahwa anak-anak muda dapat berkontribusi dalam bidang penelitian tanpa harus terikat lembaga pendidikan formal.


Judul Buku: Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Sejarah Baru tentang Air, Perkampungan, dan Migrasi di Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Parepare, dan Pangkep
Penulis: Aziziah Diah Aprilya, Feby A. Pasangka, Ikhlasy M., Regina Meicieza S., Wahyuni Hasdar [dan 14 lainnya]
Penyunting: Anwar Jimpe Rachman
Penerbit: Yayasan Makassar Biennale, Makassar
Cetakan: Pertama, 2023
Tebal Buku: 167 Halaman
ISBN: 978-623-90129-4-6


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Mengulas Kota, Mengingat Sejarah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/riwayat-gunung-dan-silsilah-laut-mengulas-kota-mengingat-sejarah/feed/ 0 39928
Resep Tetangga dan Dapur Tara https://telusuri.id/resep-tetangga-dan-dapur-tara/ https://telusuri.id/resep-tetangga-dan-dapur-tara/#respond Fri, 18 Nov 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36249 Di suatu persinggahan wisata, tentunya segenap kita pasti bertanya-tanya, “Apa kuliner khas di sini?”. Kuliner tradisional memang selalu menarik banyak lidah untuk mencicipinya, tapi di antara kuliner-kuliner khas, ada beberapa yang sudah tidak ada di...

The post Resep Tetangga dan Dapur Tara appeared first on TelusuRI.

]]>
Di suatu persinggahan wisata, tentunya segenap kita pasti bertanya-tanya, “Apa kuliner khas di sini?”. Kuliner tradisional memang selalu menarik banyak lidah untuk mencicipinya, tapi di antara kuliner-kuliner khas, ada beberapa yang sudah tidak ada di daftar. Resep Tetangga dan Dapur Tara adalah hasil usaha dari mereka yang peduli dengan preservasi budaya rasa dan aroma.

Di suatu sore yang dirundung oleh kepulan awan, saya mencari tempat yang agak teduh untuk duduk menunggu Citra, seorang penulis buku kuliner yang juga merupakan anggota Kolektif Videoge, sebuah komunitas pemuda kreatif yang ada di Labuan Bajo. Tidak berapa lama menunggu, batang hidung Citra mulai kelihatan dan tangannya melambai ke arah saya yang sedang duduk santai.

“Mbak Citra, kan?” tanya saya memastikan, takut-takut salah orang.

“Iya.”

“Kita cari tempat buat ngobrol lebih enak yuk, ada kafe terdekat?” ajak saya kepadanya. Dia agak sedikit bingung dengan rekomendasi kafe yang saya minta, namun dia punya usul lain, yang terdengar lebih seru.

“Bagaimana kalau kita di Bawakolong aja?” Saya mengangguk, dan mulai mengikuti langkah kakinya yang menembus gedung-gedung yang berhimpitan menuju ke jalan raya. Tidak lama kemudian, saya sudah sampai di Bawakolong. Sesuai namanya, Bawakolong merujuk letaknya di bawah kolong dan di sinilah Kolektif Videoge bermarkas.

Saya berkenalan dengan Aden, salah satu anggota komunitas yang kebetulan juga sedang berada di Bawakolong. Kami terlibat pembicaraan renyah mengenai pariwisata, kegiatan komunitas, dan kuliner Labuan Bajo. 

Pertanyaan selanjutnya dari saya agak menelisik soal makanan khas, kenapa makanan lokal Labuan Bajo tidak pernah terlihat mengambil tempat dalam pariwisata? Saya mulai mengeluhkan susahnya mencari makanan tradisional di sini. 

Citra mengakui ketika berkuliah di Yogyakarta, pertanyaan sama kerap kali menghantui dirinya ketika bertemu teman-temannya yang selalu menanyakan oleh-oleh makanan khas. Citra mengakui dirinya kesulitan ketika ada yang memintanya untuk mengidentifikasi makanan lokal khas pesisir Labuan Bajo. Hal itu juga menjadi motivasi dirinya untuk menuliskan resep-resep makanan lokal di kampung halamannya.

“Jadi, apa saja makanan khas Labuan Bajo?” tanya saya.

“Sebenarnya keragaman kuliner Labuan Bajo itu terletak di bumbu, bukan di jenis,” terangnya.

Makanan-makanan yang ditemukan di Labuan Bajo juga umum ditemukan di tempat lain seperti di daerah Flores lainnya atau bahkan di Bima dan Sulawesi. Faktor utamanya adalah karena Labuan Bajo terbentuk oleh ragam identitas, utamanya adalah Manggarai, Bajo, Bima, dan Bugis. Faktor pembeda paling mencolok dalam pengolahan makanan tradisional tersebut adalah bumbu. Nyawa dalam masakan ini tentunya menyesuaikan dengan bahan mentah yang tersedia di sekitar, lalu indra pengecap masyarakat yang mengonsumsi.

Citra menemukan fakta bahwa tiap dapur rumah mempunyai cara masak yang berbeda, dari menyajikan ikan yang digoreng hingga memasak dengan menggunakan kuah. Bumbu di pesisir cenderung lebih sederhana dan tidak berat. Contohnya pada saat memasak ikan kuah asam—atau ikan kuah kuning, Citra meriset resep-resep ikan kuah asam di sekitar rumahnya, masing-masing rumah mempunyai resep yang berbeda. “Semakin ke timur, semakin asamnya itu tidak ada,” jelas Citra, “ada yang mengganti asam dengan tomat atau jeruk nipis, tergantung letak geografisnya.”

“Jadi kalau ada yang mengatakan ‘asam di gunung, garam di laut’ tapi kenyataannya asam itu [lebih banyak] adanya di pesisir.”

Ternyata hal ini sempat menjadi pertanyaan Citra, apa tidak salah tidak ada asam di gunung? Tak diayal, setelah melakukan survei sampai ke Golo Mori—sebuah desa di utara Labuan Bajo—dia pun juga bertanya kepada temannya perihal tersebut. Temannya mengiyakan bahwa memang asam itu tumbuhnya banyak di pesisir. Orang-orang pegunungan justru menggunakan daun untuk menghasilkan cita rasa asam di ikan kuah asam. Ada yang menggunakan daun kesambi (Schleichera oleosa) atau saung daleng (Piliostigma malabacarium).

Selain soal asam, Citra juga mendapati bahwa kelapa pesisir lebih banyak mengandung air daripada kelapa pegunungan. Soal ini, ibunya yang memberitahu. Saya mengalami ketika menyicipi kelapa yang ada di Lobohede—desa di sebelah barat Pulau Sabu yang juga termasuk daerah pesisir. Saking melimpah airnya, satu buah kelapa, airnya dapat dinikmati hingga dua orang hingga kenyang.

Pertanyaan lain kembali muncul. Kali ini, kenapa masakan tradisional ini kemudian tidak bisa mengambil tempat dalam perayaan pariwisata yang gegap gempita?

Keberagaman kuliner di Labuan Bajo tidak terarsipkan dengan baik, cenderung hilang diapit makanan yang lebih familiar di Nusantara semisal mi ayam, gado-gado, ikan bakar, bakso, dan semacamnya. Kuliner lokal kebanyakan hanya tersedia sebagai masakan rumahan. Peredarannya di warung-warung cenderung tertutup, tidak ditampilkan sebagai citra utama. Di sinilah akhirnya terjawab kenapa Citra dan teman-teman menerbitkan buku Resep Tetangga sebagai suatu upaya mengarsipkan makanan-makanan lokal khas warga pesisir. 

Resep Tetangga
Upaya pelestarian makanan pesisir Labuan Bajo dalam buku Resep Tetangga oleh Citra/ M. Irsyad Saputra

Tapi, di beberapa tempat di Labuan Bajo dan sekitarnya, mulai bermunculan rumah-rumah makan yang mengangkat menu lokal sebagai sajian utama. Salah satunya adalah Dapur Tara yang menyediakan makanan lokal Flores dari cara memasak, penyajian, hingga cara penyantapan, hasil gagasan Elisabet Yani Tara Rubi demi melestarikan panganan lokal tradisional.

Ricardo, salah satu staf di Dapur Tara, turut memberikan pendapatnya mengenai hilangnya makanan lokal dalam peredaran.

“Bisnis.” Begitulah kesimpulan yang didapat Ricardo dalam pengamatannya selama ini.

Siapa yang meminati ikan kuah asam? Siapa yang ingin makan nasi bambu? Di zaman yang semuanya mengandalkan kepraktisan ini, makanan cepat saji ala barat lebih cepat dihidangkan dan hampir semua wisatawan mancanegara pasti familiar dengan rasanya. Makanan lokal hanya beredar pada wisatawan yang mempunyai minat khusus terhadap kuliner.

“Nasi bambu itu kan bukan sekedar masak-masak, itu ada artinya. Kalau orang tua dulu kan makan nasi bambu pas menjelang panen,” ucapnya menerangkan nilai-nilai yang terdapat pada makanan tradisional. 

Kebetulan bersamaan dengan kedatangan saya, ada tamu yang juga datang untuk makan di Dapur Tara. Saya mengikuti Ricardo yang menyiapkan makanan bersama staf lainnya. “Di sini penginapannya,” ia menunjuk pondok-pondok yang dibangun dari kayu. Beberapa bulan sebelumnya, Dapur Tara mendapat musibah kebakaran, beberapa bangunan terbakar hangus. Ricardo menjelaskan secara gamblang bagaimana konsep Dapur Tara yang mengharuskan reservasi pada setiap pemesanan makanan. Makanan tradisional yang dibuat harus berdasarkan tata cara yang tradisional juga, sehingga memerlukan waktu untuk masak. “Makanya kalau mau ke Dapur Tara buat makan, bisa reservasi dulu biar kami bikinkan makanannya,” tuturnya.

Saya menyukai bagaimana Dapur Tara dirancang; hening, sunyi, dan damai di kelilingi hutan. Elisabet Yani Tara Rubi mungkin ingin mengkonsepkan rumah makan yang kembali “melambatkan makanan”, di tengah serbuan makanan cepat saji dan instan. Proses memasak dan memakan, dewasa ini dilihat sebagai hanya proses memanjakan indra perasa dan memenuhkan lambung, bukan lagi proses berfilsafat seperti orang-orang tua kita dahulu.  Resep Tetangga dan Dapur Tara adalah salah satu contoh inventarisasi kuliner lokal dengan cara yang berbeda; satu dengan tulisan dan satu lagi  dengan sajian.

  • Staf Dapur Tara
  • Kopi Flores
  • Nasi Bambu

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Resep Tetangga dan Dapur Tara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/resep-tetangga-dan-dapur-tara/feed/ 0 36249
Pusaran Premium Labuan Bajo (3) https://telusuri.id/wisata-premium-labuan-bajo-3/ https://telusuri.id/wisata-premium-labuan-bajo-3/#respond Thu, 17 Nov 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36262 Sore lagi beranjak sendu-sendunya kala matahari jingga mengawali pergantian siang ke malam di Waterfront Labuan Bajo. Waterfront memang menjadi tempat berkumpulnya seluruh lapisan masyarakat; ada gerombolan anak kecil yang sedang bermain sepak bola, ada kumpulan...

The post Pusaran Premium Labuan Bajo (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
Sore lagi beranjak sendu-sendunya kala matahari jingga mengawali pergantian siang ke malam di Waterfront Labuan Bajo. Waterfront memang menjadi tempat berkumpulnya seluruh lapisan masyarakat; ada gerombolan anak kecil yang sedang bermain sepak bola, ada kumpulan ibu-ibu yang sedang senam, dan ada juga pemuda yang sedang memancing. Saya kembali bertemu Irna, kali ini kami bersua di sebuah kedai kopi yang menghadap Jalan Soekarno-Hatta  dari depan  juga Waterfront di belakangnya. Irna yang memang menggiati pariwisata banyak bercerita mengenai pengalamannya selama di Labuan Bajo. 

Saya menanyakan Irna bagaimana pendapatnya mengenai lompatan besar pembangunan Labuan Bajo. Pembangunan besar-besaran di Labuan Bajo tentu menimbulkan efek yang bermacam-macam bagi setiap penduduknya. Salah satu efek positif dari pembangunan ini, menurut Irna, adalah ketersediaan ruang publik. Anak-anak bisa bermain dengan bebas tanpa khawatir dengan jalan raya dan orang-orang tua bisa menikmati sore hari sembari berjalan dan berolahraga ringan. 

“Fasilitas dan penyedia pariwisata lengkap, cuma sumber daya manusianya untuk menggunakan semua fasilitas yang diberikan pemerintah yang kurang.”

Masih menurut Irna, konsep wisata premium tentu juga harus mengusung sumber daya manusia yang premium. Pemerintah harus bisa mengkonsepkan sebuah program yang dibutuhkan masyarakat untuk membangun sumber daya manusia dengan konsistensi yang tinggi, agar kedepannya masyarakat lokal bisa mengikuti dinamika pariwisata yang terus berjalan maju.

“Presentasi penggunaan orang lokal dengan orang luar tuh harus lebih ditekankan orang lokalnya, supaya tidak terjadi konflik sosial kedepannya.”

Pemberdayaan masyarakat lokal adalah hal yang mutlak. Jangan sampai suatu saat orang-orang lokal malah tersingkir karena pengaruh orang luar yang begitu kuat dan kentara. Hal ini bisa saja menyebabkan kecemburuan sosial, yang bakal merembet ke segala hal.

“Kita sendiri kan pembangunannya sudah baik, tapi sumber daya manusianya tidak memenuhi standar yang ditentukan, pasti orang akan mencari sumber daya manusia yang lain, di luar Labuan Bajo.”

Terkait soal pengembangan sumber daya manusia, di Labuan Bajo sendiri baru ada satu kampus, dan itu pun statusnya masih politeknik. Belum lagi fasilitas-fasilitas pendukung untuk pendidikan yang masih jauh dari kata lengkap, seperti perpustakaan daerah yang mumpuni dan bimbingan belajar di luar sekolah. Mirisnya, tidak ada toko buku di sini. Bagaimana membangun literasi yang dalam kalau masyarakat hanya mendapat literasi yang disuguhkan oleh media sosial yang begitu dangkal?

“Sektor pendidikan masih terasa kurang, jadi hanya difokuskan pada pariwisata. Padahal pariwisata itu harus didukung dengan pendidikan. Karena kalau pendidikannya sudah oke, pariwisatanya pasti maju,” Irna menjelaskan dengan semangat apa yang menjadi perhatiannya selama tinggal di Labuan Bajo. Saya setuju dengan pendapatnya. Bukankah Undang-Undang Dasar mengamanatkan bahwa pendidikan adalah hak seluruh masyarakat tanpa terkecuali? Kalau pemenuhan amanat ini hanya sekedar pemenuhan hak dasar tanpa adanya pertimbangan kualitas, buat apa?

Di luar hingar bingar pembangunan Labuan Bajo sebagai wisata premium, Irna juga mengeluhkan ketimpangan Labuan Bajo dengan daerah sekitarnya. Banyak daerah yang masih belum dapat listrik dan sinyal yang memadai, padahal daerah sekitar itu juga menyokong Labuan Bajo sebagai kota wisata dengan pasokan hasil pertanian, hasil laut, sumber daya manusia, atraksi wisata, dan lain sebagainya.

“Bagaimana kita mau mendukung Labuan Bajo kalau daerah-daerah lain juga tidak didukung!”

“Coba kamu keluar lintas Flores, keluar tiga puluh menit [dari Labuan Bajo] sinyalnya nggak ada. Beberapa desa dan dusun juga tidak ada listrik,” keluhnya.

Dalam perubahan yang singkat, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan secara serius: Kemampuan adaptif masyarakat dan kemampuan pendidikan masyarakat. Apakah masyarakat lokal akan mendapat panggung utama ketika Labuan Bajo sudah stabil menjadi wisata “premium”? Atau justru ini adalah awal dari ketersisihan orang-orang lokal dari pusaran pariwisata Labuan Bajo? Entahlah, saya tidak berani berspekulasi lebih jauh. 

Labuan Bajo
Labuan Bajo, labuan bangsa-bangsa yang mulai berubah seiring berlabel “premium”/M. Irsyad Saputra

Motor yang saya sewa menyusuri jalanan utama yang menghubungkan Labuan Bajo-Ruteng. Panas menyeruak dari celah-celah aspal yang terbakar, membawa saya untuk menarik gas lebih kencang meniti jalan. Di sela-sela perbukitan, papan plang Dapur Tara terlihat mencolok jika dibandingkan dengan sekelilingnya yang hijau. Sesuai yang ditunjukkan oleh peta Google, saya menggasak motor untuk terus jalan hingga sempat tersesat beberapa saat sebelum akhirnya menemukan apa yang dicari.

“Selamat datang Kakak, apa yang bisa saya bantu,” sapa seorang lelaki bernama Ricardo—staf Dapur Tara—bak layanan pelanggan daring yang menyambut apa saja keluhan pelanggan. Setelah memaparkan tujuan saya, Ricardo menyuguhkan kopi sebagai sambut obrolan. “Silahkan diminum Kakak, kopi rempah.”

Saya menegak kopi, di bawah pohon yang memayungkan daunnya menutupi lahan di sekitarnya. Kami mulai terlibat pembicaraan, diselingi Ricardo yang sedang menyiapkan sajian untuk tamu yang akan datang.

“Mungkin pemerintah lebih mengutamakan Labuan Bajo hanya karena Pulau Komodonya,” ujarnya.

“Tapi ada cemburu nggak sih [terkait pembangunan]?”

“Tidak ada cemburu sih. Saya bersyukur sekali karena di daerah Ruteng ke sana tidak ada perubahan sama sekali. Soal budaya, soal adat masih mempertahankan. Hanya Labuan Bajo yang [budayanya] sudah mulai punah.”

Pernyataan Ricardo seakan meminta pembangunan besar-besaran seperti di Labuan Bajo tidak menghampiri kawasan lainnya. Mungkin saja ia melihat perubahan ini sebagai salah satu penyebab yang menguras orang Flores dari budaya asalnya. Pembangunan mewah ala Labuan Bajo juga tidak dibutuhkan oleh kawasan lainnya. Kebanyakan hanya minta sarana dan prasarana yang memadai seperti listrik, air, jalan, sinyal, sekolah, transportasi.

Setelah puas mengobrol dan melihat bagaimana Dapur Tara masih menyajikan makanan dengan cara yang tradisional dari memasak hingga menyantap, saya beranjak menuju Rumah Baku Peduli, salah satu komunitas yang berkecimpung dalam bidang pelestarian kain tenun Flores.

Senada dengan Ricardo, Thomas Bosko, salah satu pendiri Rumah Baku Peduli, setuju bahwa pengaruh budaya global yang kuat di Labuan Bajo karena masyarakat melupakan budaya sebagai unsur pariwisata selain pulau-pulau dengan hewan purba.

“Kita mau jadi diri sendiri gitu, tanpa harus ikut kemauan turis. Kita harus tunjukkan bahwa inilah Flores! Tidak harus kayak di Bali lah.”

Premium dalam kamus Thomas, bukan karena pembangunan dan infrastruktur yang jor-joran, tetapi pelepasan jati diri yang lebih natural. Orang ingin ke Flores berarti mereka harus melihat bagaimana orang Flores, bukan malah menyuguhkan gambaran-gambaran yang umum ditemui di tempat wisata lainnya. Minimal, modern dan tradisional bisa beriringan, jangan malah modern yang mengambil alih seluruhnya. Lagi pula tema wisata yang cocok dengan Flores itu adalah adventure, bukan ala-ala wisata post-modern.

“Kalau berwisata, besok berkunjung [ke tempat-tempat wisata], ya sudah wisatanya kayak gini [saja]. Tapi kita kalau gali budaya nggak ada habis-habisnya.”

Melihat komodo sekali, mungkin orang akan bosan tetapi jika sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang budaya: bagaimana masyarakat Pulau Komodo malah bisa hidup berdampingan dengan komodo—yang notabenenya adalah hewan buas—akan lebih banyak yang bisa digali.

Kabar yang berseliweran selama ini, sebagian penduduk Pulau Komodo akan direlokasi ke pulau lainnya dengan alasan konyol: pertumbuhan penduduk yang cepat akan menggeser populasi komodo yang sudah sedikit. Apakah ini hanya alasan untuk mempermudah oligarki menggarap pulau itu sebagai ladang bisnis? Kenapa mereka tidak dilibatkan kalau ini semua atas nama konservasi?

  • Kopi Flores
  • Rumah Tenun Baku Peduli
  • Rumah Tenun Baku Peduli

Pendokumentasian Labuan Bajo juga dilakukan oleh Muhammad Burhanuddin dan teman-temannya. Boe—panggilan akrabnya—yang juga berprofesi sebagai pemandu wisata, menginginkan kearsipan tentang Labuan Bajo terbangun diantara warga, sebagai kesadaran dan kebanggaan. Dirinya menginisiasi pembentukan grup Facebook Labuan Bajo Historical Society dan Warisan Flores sebagai pusat nostalgia dan juga pusat informasi bagi warga Labuan Bajo. Labuan Bajo Historical Society terinspirasi dari Minnesota Historical Society, lembaga pengarsipan diaspora di Minnesota, setelah kunjungannya ke Amerika Serikat pada 2017. Menurutnya, pendokumentasian di sana terbilang bagus untuk negara yang masih berkutat pada rasisme.

Hal inilah yang kemudian ia coba untuk tiru, meski masih dokumentasi ala kadarnya melalui media sosial. Melalui foto kuno dan narasi, ia menelisik kembali ingatan-ingatan warga tentang tumbuh kembang Labuan Bajo.

Yang terpenting, orang-orang Labuan Bajo terhubung satu sama lain dalam sebuah wadah. Koneksi inilah yang nantinya akan membawa lebih jauh ke mana arsip-arsip ini berlabuh. Menarik menyaksikan warga saling bernostalgia di laman itu sembari mengomentari tiap postingan yang muncul. Ada yang serius, ada yang bercanda, ada yang mencari kenangan, ada yang menebarkan ingatan. Semua saling melengkapi.

“Labuan Bajo itu tempat perjumpaan banyak etnis, sehingga pantas disuarakan sebagai rumah bersama dengan narasi keharmonisan. Keberagaman adalah sebagai kekuatan!” serunya berapi-api. Boe sendiri melihat bagaimana perkembangan Labuan Bajo dari kampung nelayan yang dikunjungi wisatawan berubah menjadi kota tujuan wisata utama di Indonesia. Meskipun ia lebih banyak menghabiskan waktu di tanah rantau, ingatan tentang romantisme Labuan Bajo masih melekat kuat di benaknya, hingga ia memutuskan untuk kembali bercokol di Labuan Bajo pada 2015.

Saat saya sedang mencari santap siang di sebuah warung, segerombolan bapak-bapak yang lagi bersantai tampak asik membicarakan kasus nasional. “Bagaimana ini, polisi bunuh polisi,” seorang bapak yang agak jauh dari gerombolan mengomentari, sambil melahap nasi di piring. Seorang laki-laki muda yang menyeduh kopi di sampingnya tampak tak menghiraukan obrolan tersebut, dia lebih memilih menikmati aroma kopi yang sudah diaduk dengan rata. Isu nasional, bagi orang-orang yang terpisah ribuan kilometer dari ibukota negara ini adalah salah satu cara menghangatkan mulut selain minum kopi. Orang-orang Labuan Bajo memang gemar berkumpul dan bercerita. Meskipun smartphone juga mengambil peran dalam tongkrongan, berita dari mulut kemudian dikomentari jauh lebih menarik untuk disimak.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pusaran Premium Labuan Bajo (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/wisata-premium-labuan-bajo-3/feed/ 0 36262
Pusaran Premium Labuan Bajo (2) https://telusuri.id/wisata-premium-labuan-bajo-2/ https://telusuri.id/wisata-premium-labuan-bajo-2/#respond Wed, 16 Nov 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36263 “Bang, kenal Pak Zainuddin nggak? Rumahnya di sekitar sini,” tanya saya pada seorang pemuda paruh baya yang sedang berdiri di depan rumahnya. “Wah, saya kurang tahu,” jawabnya pelan sambil menggelengkan kepala. Saya memutar kepala, mencari...

The post Pusaran Premium Labuan Bajo (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
“Bang, kenal Pak Zainuddin nggak? Rumahnya di sekitar sini,” tanya saya pada seorang pemuda paruh baya yang sedang berdiri di depan rumahnya.

“Wah, saya kurang tahu,” jawabnya pelan sambil menggelengkan kepala. Saya memutar kepala, mencari cara biar dia tahu orang yang saya maksudkan.

“Dulu saya pernah ke sini, tiga tahun lalu. Sekarang berubah banget Pak, jadinya saya bingung.” Saya kemudian menunjukkan satu foto dari blog saya, yang mungkin bisa menerangkan kata-kata saya lebih gamblang.

“O, kalau ini saya tau. Biasanya kami memanggilnya Bapak Ayu, rumahnya di sebelah sana. Dekat motor itu,” dia menunjuk sebuah motor yang terparkir di pinggir jalan, berjarak empat rumah dari tempatnya.

Deg, jantung saya berdegup tak karuan. Memori saya mengulang masa tiga tahun silam ketika saya ingin menumpang berkemah di halamannya, yang kemudian dia mempersilahkan untuk tidur di rumahnya. “Nanti kalau ada waktu, kamu balik ke sini ya!” ucapnya kala itu sebelum kami berpisah. Hari ini, janji itu ditepati. Saya kembali ke Labuan Bajo..

Saya mengucapkan salam dari luar rumah. Hening. Tidak ada jawaban. Sejurus kemudian, seorang gadis cilik datang dari samping rumah, menatap saya penuh kehati-hatian dan keraguan.

“Pak Zainuddin ada?”

“Bapaknya lagi sakit,” ucapnya ketus.

“Kalau Ibunya ada?”

Dia menggeleng bingung, kemudian berlari ke arah belakang rumah sambil memanggil nama seseorang. Saya bingung menjelaskannya. Seorang perempuan muda kemudian muncul dan menanyakan maksud saya datang kemari.

“Baiklah, silahkan masuk.” Dia memanggil nama Pak Zainuddin dan saya mengekor di belakangnya menaiki tangga kayu. Mata saya kemudian bertatapan dengan mata Bapak Zainuddin, yang kebetulan sedang menerima dua orang tamu lain.

“Assalamualaikum Pak, saya Irsyad. Bapak masih ingat saya?”

Matanya yang tadi kebingungan dalam sekejap berubah teduh. Senyum mulai merekah dari bibirnya yang tampak seperti daun jatuh. Tanpa aba-aba, saya langsung menyalami dan memeluk erat Pak Zainuddin.

“Janji tiga tahun lalu lunas, ya.” Bapaknya hanya tersenyum, tampaknya masih tidak percaya kesempatan ini bisa datang kembali.

Saya dipersilahkan duduk dan minum. Mata saya masih menahan haru, seakan tidak percaya bisa menginjakkan kaki kembali di rumah panggung yang terbuat dari kayu, khas orang Bajo.

“Saya baru saja keluar dari rumah sakit, kemarin sore,” terangnya. Pantas saja, ketika tiba di bandara, saya sempat menelpon nomor ponsel beliau, tapi kala itu tidak ada jawaban dari seberang sana. Dan rupanya kedatangan saya ke Labuan Bajo bersamaan dengan beliau yang baru keluar dari rumah sakit.

“Sakit apa, Bapak?”

“Kalau kata dokter, itu darah tinggi.”

Pak Zainuddin, istrinya, dan Pak Wamusil
Pak Zainuddin, istrinya, dan Pak Wamusil/M. Irsyad Saputra

Beliau bercerita kepada saya bagaimana darah mengucur deras dari hidungnya ketika sedang bersujud saat salat Subuh. Dengan kedatangan saya, semangat beliau nampak pulih. Pak Zainuddin menjelaskan kepada dua orang tamu yang tampak bingung melihat saya, bahwa saya adalah salah satu orang yang pernah datang dan menginap di rumah beliau. Dua tamu itu merasa senang dengan kehadiran saya dan kami bersalaman. Pak Sanusi dan Pak Wamusil, satu berasal dari Pulau Seraya Besar dan satunya berasal dari Sumbawa Besar. 

Tidak perlu waktu lama, kami terlibat percakapan yang intens mengenai Labuan Bajo, orang Bajo yang tersebar di banyak pesisir, kisah Pak Wamusil yang melanglang buana ke berbagai pulau, kisah Pak Sanusi yang menjadi guru di Seraya Besar, hingga masalah ketuhanan dan takdir. Awan hitam yang semenjak sore sudah menggantung di langit Labuan Bajo, akhirnya tidak kuat menahan beban air yang dikandungnya. Hujan kedua selama saya berada di NTT turun dengan derasnya, mengenai atap seng yang mengeluarkan bunyi bak genderang perang. Malam itu kenangan berbaur dengan pengalaman serta suara hujan.

“Di sini kan tiket mau naik dari 300 ribu jadi 3,7 juta,” kata Pak Zainuddin. Gonjang ganjing tiket masuk kawasan TN Komodo yang naik memang menjadi perhatian semua pihak, tak terkecuali Pak Zainuddin. “Gimana itu, mahal sekali,” keluhnya sambil membenarkan sarung yang membalut kakinya.

“Kan di sini sudah dibangun segala macam fasilitas, apakah air di sini masih sulit seperti dulu?” tanya saya penasaran.

“Untungnya tidak, sekarang air keran sudah ada. Tapi saya tidak mau membayar karena nyalanya sangat kecil sekali.” Debit air yang ia keluhkan ini membuat Pak Zainuddin pernah berurusan dengan petugas karena tidak mau membayar iuran, tapi oleh beliau, petugas langsung diarahkan untuk melihat langsung kondisi air. Petugas akhirnya paham alasan beliau tidak mau membayar.

“Saya tidak masalah dengan uangnya, tapi kalau nyala air sekecil itu, bagaimana saya mau membayar!”

Tak lama kemudian, istri Pak Zainuddin membawa nampan yang berisi nasi, ayam, dan sayur sop kepada kami. Nasi yang kami makan bercampur haru biru serta canda tawa, membuat santapan kali ini begitu lezat.

Suatu sore yang temaram di lain waktu, saya bercengkrama dengan Pak Zainuddin, menyoal keadaan sekarang dan membandingkan Labuan Bajo ketika ia muda.

“Bapak suka keadaan sekarang apa yang dulu?” celetuk saya di tepi laut yang sudah dibuat trotoar yang lebar. Pak Zainuddin mulai bergumam, dan beberapa patah kata mulai menyeruak dari mulutnya.

“Dulu di depan sini (menunjuk ke arah laut) padang lamun, sekarang sudah tidak ada. Saya heran kenapa padang lamun hilang, mungkin karena tetehe bulang [sejenis bulu babi yang tidak dimakan].”

Berdasarkan ingatan Pak Zainuddin, padang lamun mulai hilang dari Kampung Ujung pada tahun 2000 ke atas. Sewaktu padang lamun masih eksis, orang-orang bisa menombak ikan dan memancing hanya dari pinggir laut, mencari ikan-ikan yang bersembunyi di lamun. Seiring hilangnya lamun, habitat ikan mulai semakin menjauh dari pinggir laut. Lautnya pun sekarang tidak luput dari invasi sampah plastik. Di beberapa titik, air limbah rumah tangga langsung menjalar ke laut. Bau yang tidak sedap pun menyeruak, menusuk hidung.

Pak Zainuddin menyayangkan kesadaran akan kebersihan yang kurang. “Seandainya ikan cara itu ada buat [jadi] obat, sampai orang yang sakit itu pun mati ikan itu tidak dapat,” ia mengandaikan kelangkaan ikan masa sekarang, yang mengharuskan nelayan pergi lebih jauh. Dahulunya, menurut dia, tempat ini “ladang” ikan. Cari ikan apa saja ada. Tersedia dalam berbagai ukuran.

“Kalau nyari ikan juga dulu tidak perlu jauh-jauh. Semenjak tidak ada lagi [padang lamun] ikan-ikan makin jauh dicari.”

Setelah matahari turun dari peraduannya, kami kembali bercengkrama di dalam rumah. Sekarang lagi ramai soal BBM yang naik, Pak Zainuddin tak ketinggalan mengomentari demo-demo yang terjadi di Jawa. 

“Kenaikan BBM itu berdampak bagus, justru membantu masyarakat,” koar Pak Zainuddin kepada saya. Saya agak terkejut dengan pernyataannya, mengapa dia berpikiran bahwa dampak kenaikan BBM ini bagus? Bukannya justru akan menyeret harga kebutuhan pokok pada tingkat atas dan mencekik masyarakat bawah?

“Kamu tahu, kapal-kapal wisata itu memakai BBM sampai berapa? Sampai ton-tonan!” ujarnya dengan intonasi kemarahan yang tersirat di keningnya.

Menurut hematnya, harusnya BBM bersubsidi tidak boleh dipakai oleh mereka yang kaya, jatah-jatah masyarakat menengah ke bawah banyak dihabiskan oleh kapal wisata yang harusnya bisa menggunakan BBM non-subsidi.

“Bayangkan, bahan bakar satu kapal dalam satu hari itu bisa digunakan sampai dengan 50 kepala keluarga! Jadi apa-apa yang dilakukan pemerintah itu [menaikkan harga BBM] harus dikaji dulu, jangan langsung protes!”

Dia kemudian menyuruh saya berandai-andai: jika pemakaian BBM bersubsidi digunakan tepat sasaran, ada berapa banyak kebutuhan rakyat yang bisa terpenuhi? Tapi kita sering sekali terbentur fakta bahwa orang-orang kaya banyak bermental aji mumpung; mumpung tidak ada yang mengawasi, mumpung dapat bantuan, dan mumpung-mumpung lainnya. Memanfaatkan subsidi negara untuk menekan pengeluaran mereka.

Obrolan lainnya yang kami simpulkan kala itu adalah tentang duyung, yang dulu sering ditangkap nelayan untuk diperas air matanya dan dimakan dagingnya. “Air matanya konon mujarab buat pelet. Kalau dimakan itu, sisa tulangnya mirip manusia.” Keterangan ini sama persis dengan yang saya dapat saat di Mekko, yang membuat Pak Said enggan untuk memakan daging duyung lagi.  Dugong dugon memang status konservasinya termasuk rentan menurut IUCN Redlist, namun populasinya terus tergerus seiring ramainya penangkapan dan hilangnya sebagian padang lamun. Di tengah obrolan hangat tentang apapun itu, istri Pak Zainuddin datang dengan seperiuk nasi dan sebuah cocolan mirip cacapan dari banjar untuk menikmati hidangan ikan yang baru saja ditangkap oleh anaknya, Hakim—yang baru saja pulang dari memancing di laut, tempat matahari terbenam di beranda rumah mereka.

  • Pemandangan sore hari di depan rumah Pak Zainuddin,

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pusaran Premium Labuan Bajo (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/wisata-premium-labuan-bajo-2/feed/ 0 36263
Pusaran Premium Labuan Bajo (1) https://telusuri.id/wisata-premium-labuan-bajo-1/ https://telusuri.id/wisata-premium-labuan-bajo-1/#respond Tue, 15 Nov 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36044 Setelah status Taman Nasional Komodo yang berubah menjadi destinasi wisata premium, Labuan Bajo, sebagai gerbang pertama untuk menuju taman nasional tersebut disulap bak Bandung Bondowoso yang membangun 1000 candi dalam sehari; perubahan drastis pada kota...

The post Pusaran Premium Labuan Bajo (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah status Taman Nasional Komodo yang berubah menjadi destinasi wisata premium, Labuan Bajo, sebagai gerbang pertama untuk menuju taman nasional tersebut disulap bak Bandung Bondowoso yang membangun 1000 candi dalam sehari; perubahan drastis pada kota tersebut–meskipun hanya sebagian kecil yang letaknya di pesisir yang berubah. Apakah membawa banyak perubahan juga di dalamnya?

“Banyak yang berubah, kan?”

Saya terperangah melihat bagaimana kota ini menjelma. Pada kunjungan saya tiga tahun yang lalu, hanya beberapa gedung yang terlihat dicanangkan untuk dibangun. Sisanya, masih tidak ada. Hari ini, saya melihat bagaimana jika satu kawasan langsung diprioritaskan secara nasional. Semuanya berubah secara drastis.

Saya ingat persis bagaimana pelabuhan ini sebelumnya; gedung bercat putih untuk para penumpang membeli dan menunggu kapal datang sembari melakukan apa saja; rebahan, duduk manis di kursi, atau melemparkan asap rokok sembarangan.

Sekarang, gedung itu dan daerah sekitarnya itu telah musnah, berganti dengan mercusuar, siring dengan akses pejalan kaki yang luas, hotel-hotel, dan dermaga yang jadi lebih apik. Labuan Bajo disulap menjadi lebih cantik dalam tiga tahun terakhir. Selain karena alam di sekitarnya, ternyata Labuan Bajo bisa berbangga dengan salah satu bagian kotanya sekarang—terutama di kawasan Jalan Soekarno–Hatta. Welcome to Labuan Bajo, sapa spanduk yang menyisipkan logo G20 di dalamnya.

“Selama pandemi berlangsung, hingga sekarang pembangunan besar-besaran sudah dilakukan,” celoteh Irna, yang menemani saya sore itu, mengitari kawasan yang dinamakan Waterfront Labuan Bajo. Irna mengomentari pembangunan cepat ini sebagai sebuah lompatan besar untuk sebuah daerah di luar Jawa. “Tapi apakah masyarakat sekitar siap untuk menerima perubahan drastis ini?” ujarnya melanjutkan pembicaraan.

Sebagai bagian dari wilayah kerja wisata premium nasional, Labuan Bajo dibangun sedemikian cepat. Kota ini menjadi gerbang masuk Taman Nasional Komodo, yang statusnya sebagai the one and only rumah komodo. Saking premiumnya, wacana kenaikan tiket kunjungan sudah berhembus semenjak bertahun-tahun yang lalu—yang akhirnya “memaksa” saya untuk mengunjunginya beberapa tahun silam.

Ketika palu diketuk untuk kenaikan harga tiket masuk pada Agustus 2022, banyak elemen masyarakat yang memprotes keputusan yang dirasa memberatkan banyak orang, baik dari pelaku maupun wisatawan itu sendiri. Kisruh ini kemudian berakhir setelah pemerintah menunda rencana kenaikan tiket hingga 2023. Kegiatan wisata sendiri sudah mulai beriak pasca pagebluk COVID-19, walau belum sepenuhnya maksimal.

“Ini ada buku-buku, saya pinjamkan buat dibaca-baca,” Irna menyerahkan seabrek buku yang ia tulis bersama teman-temannya, bertemakan sejarah, budaya, kuliner, hingga dinamika sosial di Labuan Bajo dan sekitarnya.

Saya menerima dengan senang hati, setidaknya saya bisa melihat perubahan apa saja yang dialami oleh Labuan Bajo, dari kota yang hanya menjadi labuhan orang Bajo dan Manggarai menjadi kota wisata dengan label premium yang mengundang semua pihak untuk masuk dan berkecimpung serta memeriahkannya.

waterfront labuan bajo
Waterfront Labuan Bajo/M. Irsyad Saputra

Gejolak Dalam Perubahan Singkat

Suatu senja pada Agustus 2019, saya yang baru saja tiba di Labuan Bajo, pergi ke para penjual makanan di trotoar Kampung Ujung, untuk mencoba ikan-ikan segar hasil tangkapan nelayan.

Saya senang sekali mendapati ikan kakap, tuna, kerapu, udang, cumi, hingga lobster yang terhampar dalam tenda-tenda setiap warung. Setidaknya, bagi saya yang notabene lebih banyak menghabiskan hidup dengan memakan ikan air tawar, melihat kumpulan ikan laut dengan berbagai warna adalah sebuah pemandangan langka.

Saya memesan satu ikan kerapu sunuk, yang disajikan dengan dibakar bersama sepiring nasi dan lalapan. Itu adalah pertama kalinya saya menyantap ikan kerapu dan sampai sekarang menjadi salah satu ikan laut kegemaran saya.

Kenangan itu tiba-tiba saja pudar ketika saya sampai di tempat yang sama. Trotoar yang dulu berdiri seadanya, kini telah berganti menjadi trotoar selebar tiga meter dengan tiang-tiang besi yang memagari batas laut, diterangi lampu-lampu jalanan yang berbentuk lidah komodo. Lokasi berjualan makanan pun sekarang telah dipindahkan.

Ipul, seorang pedagang nasi bungkus, yang saya temui kala mencari santap pagi di Kampung Ujung, mengeluhkan tentang pembangunan trotoar yang memberatkan pedagang, yang sebelumnya sudah berjualan di trotoar Kampung Ujung. Warga yang berjualan di sana harus mendaftar kembali untuk mendapatkan verifikasi dan harus lolos seleksi, tapi yang paling memberatkan tentu saja soal biaya sewa yang naik.

“Terus, pedagang harus ngasih harga berapa untuk jualannya? Apa nggak kabur tuh pembeli?” gerutunya. Saya teringat momen membeli ikan bakar tadi, harga per ikannya sekitar 100 ribu rupiah, belum ditambah nasi dan sayur. Kalau sewanya segitu mahal, mungkin harga ikannya bisa mencapai 250-350 ribu rupiah.

Sambil menikmati santap pagi nasi putih dan ikan layang, Ipul kemudian bercerita tentang asalnya dan bagaimana pengalaman hidupnya, termasuk ketika dia berkecimpung dalam dunia pariwisata.

“Saya aslinya Dompu. Sudah banyak pengalaman merantau. Jakarta, Lombok, dan di sini,” telunjuknya menunjuk tanah tempat warungnya berdiri. Bagi dia Labuan Bajo sekarang adalah rumah untuk bersandar, tanah bagi dia untuk mencari sesuap nasi.

“Saya dulu pernah kerja di Gili, Mas. 9 tahun,” ucapnya sambil menerangkan hal lainnya dari pariwisata di Gili. Dirinya kemudian dengan bangganya bercerita tentang pengalamannya belajar bahasa Inggris. Dia senang mempelajari bahasa, karena bahasa, menurutnya, bisa banyak membuka kesempatan kerja. Banyak kenalan akan membuka banyak kesempatan, termasuk diantaranya kesempatan untuk mencari uang. Setelah ngalor ngidul soal pengalamannya di Gili, Ipul kembali mengungkit soal pembangunan di Kampung Ujung ini.

“Pembangunan kayak gini kan kita nggak minta, mereka yang inisiatif bangun. Setelah jadi, harga tiket malah mau naik,” keluh Ipul yang masih bersikeras bahwa pembangunan ini untuk memuaskan para oligarki yang ingin menguasai pariwisata Labuan Bajo. 

Ipul kemudian merapikan perkakas warungnya dan juga payung yang meneduhi bangku yang saya duduki, bersiap untuk pulang karena hari sudah menjelang siang. Jualannya hari ini sudah tandas dibabat orang-orang yang lalu.

Awan mengepung langit jingga Labuan Bajo, sebentar lagi mungkin akan turun hujan. Entah kapan. Saya berkeliling Kampung Ujung, untuk mencari rumah seseorang yang menolong saya tiga tahun yang lalu. Kampung Ujung yang saya kenal juga sudah berubah 180 derajat. Pembangunan trotoar meluas hingga ke TPI Kampung Ujung. Rumah-rumah kayu tradisional khas Bajo juga banyak yang beralih bentuk menjadi rumah batako modern.

Waterfront Labuan Bajo dari atas Puncak Waringin/M. Irsyad Saputra

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pusaran Premium Labuan Bajo (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/wisata-premium-labuan-bajo-1/feed/ 0 36044
Melabuhkan Hati di Danau Kelimutu https://telusuri.id/melabuhkan-hati-di-danau-kelimutu/ https://telusuri.id/melabuhkan-hati-di-danau-kelimutu/#respond Tue, 26 Jul 2022 02:56:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34623 Pada 2019 silam di bulan Agustus, tekad bulat saya mengantarkan diri melancong dari Jogja ke Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Dalam masa perjalanan, saya semacam mendapat pencerahan dari seorang tuan rumah di Lombok Barat perihal...

The post Melabuhkan Hati di Danau Kelimutu appeared first on TelusuRI.

]]>
Pada 2019 silam di bulan Agustus, tekad bulat saya mengantarkan diri melancong dari Jogja ke Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Dalam masa perjalanan, saya semacam mendapat pencerahan dari seorang tuan rumah di Lombok Barat perihal Danau Kelimutu. 

“Terletak di Kabupaten Ende. Dari Labuan Bajo kamu perlu meneruskan perjalanan menuju Ruteng, Bajawa lalu tiba Ende—tempat di mana Kelimutu berada,” tutur Bang Dodik saat saya tengah berada di rumahnya, Narmada.

Tangkapan Tiwu Nuwa Muri Koo Fai
Tangkapan Tiwu Nuwa Muri Koo Fai/Raja Syeh Anugrah

Tanpa berlama kata kunci “Kelimutu” saya ketik di Google dan terhamparlah sejumlah informasi. Saya terkesiap ketika melihat sepotong potret nan indah pancaran tiga warna kawah Kelimutu. Meski visual belaka, saya justru terkesima dengan deretan nama kawah danau, seperti Tiwu Ata Mbupu, Tiwu Ata Polo, dan Tiwu Nuwa Muri Koo Fai yang bernuansa kearifan lokal sekaligus berbau sakral.

Sepercik informasi tersebut telah saya kantongi. Sesampai di Labuan Bajo, dan ketika berada di rumah salah seorang kawan lokal di Flores, saya menanyakan, “Jauh tidak letak Danau Kelimutu dari sini, Bang?” ucap saya dengan penasaran kepada Bang Abs, bikers CB Labuan Bajo.

“Oh, jauh tentu,” singkatnya. “Adakah angkutan umum untuk membawa saya ke sana atau mobil bak yang bisa menumpangkan saya?” Dengan ragu-ragu Bang Abs menjawab “Tentu,” sekaligus mengusahakan dengan mencari informasi lewat relasi teman-temannya. 

Singkatnya, sebab belum menemukan titik terang, Bang Abs berbaik hati meminjamkan motor CB-nya kepada saya. Oleh karena akan melangsungkan petualangan berikutnya, saya kembali membaca literatur ‘Kelimutu’ agar menguatkan tekad dan semangat. Sekaligus mempelajari kebudayaan lokal dan hal apa saja yang mesti dipersiapkan setiba di sana.

Sementara itu dalam beberapa artikel menyebutkan, bahwa Kelimutu berasal dari dua kata menurut bahasa setempat, yakni “keli” yang artinya gunung dan “mutu” yang artinya mendidih. Atau secara definisi, Kelimutu adalah gunung yang mendidih.

Empat Orang Kawan Saya di Ende
Empat orang kawan saya di Ende/Raja Syeh Anugrah

Menyaksikan Langsung

Sebelum Kota Ende disirami cahaya mentari pagi—bersama empat orang kawan—saya berangkat menuju Taman Nasional Kelimutu di Desa Pemo, Kec. Kelimutu, Kab. Ende menaiki sepeda motor dengan waktu tempuh kira-kira 1 jam 45 menit, dan melintasi ‘seribu kelok Flores’ di jalan Trans Ende-Maumere.

Sedikit memacu motor, tibalah kami di lapangan parkir Kelimutu yang ramai dengan warung berjejer, lapak aksesoris, dan pengunjung lintas daerah bahkan negara tengah bersiap-siap menuju puncak. Dari lapangan parkir ini kami masih perlu meneruskan perjalanan hiking selama 40 menit waktu normal. 

Akses jalan menuju objek Danau Kelimutu sudah difasilitasi undakan tangga dan jalan setapak yang cukup rapi. Selain danau menjadi tujuan utama, sepanjang jalur pendakian tumbuhan endemik pun tumbuh subur dan kicauan burung penghuni taman nasional seperti burung Garugiwa berbunyi nyaring menambah kesan bagi para pelancong.

Meski matahari terbit yang menjadi primadona tidak saya dapatkan, setidaknya saya masih bisa menyaksikan langsung wujud asli pancaran tiga warna kawah Kelimutu. Oh iya, kedatangan saya bertepatan hari kemerdekaan Indonesia, yakni 17 Agustus. Jadi sepanjang jalur saya banyak bersua dengan peserta dari pelbagai lembaga yang hendak memeriahkan perayaan tahunan di puncak Kelimutu.

Dipandu empat orang kawan, saya dibawa menuju puncak agar dapat menyaksikan rupa asli danau yang disakralkan masyarakat setempat itu. Puncak Kelimutu tidak begitu istimewa, namun dari sinilah kami leluasa memandang tiga kawah yang menjorok sedalam ratusan meter. Tertanda konstruksi monumen setinggi tiga meteran bercorak ukiran hasil buah tangan seniman. Monumen yang terletak di puncak tersebut memiliki fungsi sebagai tempat rehat wisatawan. 

Dari atas saya menyaksikan dengan lepas tiga kawah yang terpisah dan saling bersisian. Dua kawah yang bersanding, yakni Tiwu Nuwa Muri Koo Fai dan Tiwu Ata Mbupu. Sementara kawah kecil yang letaknya cukup tersembunyi bernama Tiwu Ata Polo. 

Pertanyaan saya akhirnya terjawab ketika menyaksikan langsung gradasi warna yang berbeda pada setiap kawah, dan kita dapat membaca papan narasi yang dicantumkan pada beberapa titik. Narasi tersebut berisikan hasil riset penelitian dan investigasi yang dilakukan oleh Dr. Greyjoy Pasternack dari University of California.

Berdasarkan sejarah, Kelimutu bisa dinikmati dan dapat diakses oleh umum berawal dari sebuah penemuan berharga yang dilakukan oleh Van Such Telen, seorang berkewarganegaraan Belanda pada tahun 1915. Serta dikenal luas, tak luput dari buah tangan Y. Bouman yang memvisualisasikan keindahan lewat karya tulis pada tahun 1929.

Sejak saat itu Kelimutu mulai kedatangan wisatawan asing yang mendamba keindahan, meski bagi masyarakat setempat keindahan Kelimutu menjadi keangkeran. Keangkeran karena tiga kawahnya, memiliki dimensi lain—roh-roh yang bersemayam dan muara bagi arwah yang telah meninggal. 

Mengenai warna kawah, secara ilmiah terjadi akibat perubahan oksidasi air danau yang dipengaruhi oleh asam garam. Selain itu juga terdapat kandungan mineral, asam rendah, sulfur dan tembaga, serta memiliki gas yang dipengaruhi asam sulfat. 

Setelah menghabiskan waktu cukup lama di puncak Kelimutu, kami pun turun hendak menyaksikan lebih dekat dua kawah yang berwarna kebiru-biruan dan kehijau-hijauan, kadang kemerah-merahan. Melintasi tangga kembali ke bawah, di tepi jalan, kera tak diundang menghampiri kami dengan malu malu.

Plang Kawasan Arboretum
Plang kawasan Arboretum/Raja Syeh Anugrah

Lewat Arboretum

Taman Nasional Kelimutu memiliki beragam satwa, dan yang paling umum ditemui adalah kera. Selain dari keindahan yang tiada tara. Ada hal lain yang lebih penting namun terkadang luput dari perhatian wisatawan. 

Adalah kawasan berupa “taman pohon” yang berisikan flora khas dari Kelimutu. Kawasan tersebut bernama Arboretum, yakni wilayah terpusat yang menjadi tempat budidaya 78 jenis pohon dari 36 kelompok suku di areal seluas 4,5 Ha yang difungsikan sebagai pusat penelitian, pendidikan dan kerja-kerja ilmiah.

Saya terbilang minim pengetahuan terkait tumbuh-tumbuhan. Namun terbantu ketika mendapati papan informasi yang menarasikan setiap jengkal hal penting dari luasnya Taman Nasional Kelimutu yang ditetapkan sebagai kawasan alam sejak 26 Februari 1992 meliputi lima kecamatan sekitarnya, seperti Ndona, Wolojita, Ndona Timur, Detusoko, dan Kelimutu.

Gapura Kelimutu National Park
Gapura Kelimutu National Park/Raja Syeh Anugrah

Tanpa terasa keelokan alam membawa kami kembali ke lapangan parkir yang dipenuhi sesak wisatawan. Ada yang naik dan ada yang turun. Sementara tak jauh dari tempat kami berdiri, penjaja oleh-oleh  berdiri tegak menawarkan tenunan Flores sambil menenteng kain-kain tersebut yang berupa ikat kepala, tas dan blanket.Di gapura bertuliskan “Kelimutu National Park”, saya menyempatkan berswafoto untuk mengabadikan arsip perjalanan. Matahari yang mulai terik sebelum benar-benar menyengat, ditepis dahulu lalu kami benar-benar beranjak meninggalkan kawasan Kelimutu kembali ke ‘Kota Pancasila’, Ende.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melabuhkan Hati di Danau Kelimutu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melabuhkan-hati-di-danau-kelimutu/feed/ 0 34623
Proyek “Jurassic Park” Taman Nasional Komodo https://telusuri.id/proyek-jurassic-park-taman-nasional-komodo/ https://telusuri.id/proyek-jurassic-park-taman-nasional-komodo/#respond Sun, 05 Dec 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30724 Proyek pembangunan kawasan pariwisata di Taman Nasional Komodo menyita perhatian publik. Anggapan bahwa pembangunan itu dapat mengancam keberlangsungan hidup komodo menyeruak di masyarakat. Tersebarnya foto komodo menghadap truk proyek membuat pembangunan Taman Nasional Komodo dijuluki...

The post Proyek “Jurassic Park” Taman Nasional Komodo appeared first on TelusuRI.

]]>
Proyek pembangunan kawasan pariwisata di Taman Nasional Komodo menyita perhatian publik. Anggapan bahwa pembangunan itu dapat mengancam keberlangsungan hidup komodo menyeruak di masyarakat. Tersebarnya foto komodo menghadap truk proyek membuat pembangunan Taman Nasional Komodo dijuluki “Jurassic Park”. Nama itu muncul karena komodo sebagai satwa langka yang mengingatkan publik terhadap dinosaurus di film dengan judul yang sama.

Taman Nasional Komodo sebenarnya adalah gugusan pulau di Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Pulau Komodo merupakan bagian dari taman nasional tersebut bersama Pulau Rinca, Pulau Padar, serta sejumlah pulau kecil lainnya. Dikenal sebagai habitat asli komodo, pulau-pulau ini dinobatkan menjadi situs warisan dunia UNESCO.

Komodo merupakan spesies kadal terbesar di dunia dengan panjang 2-3 meter dan berat tubuh rata-rata 90 kilogram. Kini komodo sendiri termasuk satwa langka yang dilindungi. Berdasarkan data 2019, ada sekitar 3.022 komodo di pulau-pulau bagian dari Taman Nasional Komodo. Selain komodo, laut di sekitar taman nasional adalah rumah bagi ratusan jenis biota laut. Sehingga, keindahan bawah lautnya juga tak perlu diragukan lagi.

Keindahan alam dan bawah laut yang memukau berhasil menarik perhatian wisatawan untuk melancong ke Taman Nasional Komodo. Di pulau yang berbatasan dengan Nusa Tenggara Barat itu, para wisatawan dapat melihat kehidupan komodo di alam liar. Pesona yang dimiliki rumah bagi ribuan komodo itu telah menjadikannya salah satu destinasi wisata unggulan Indonesia, bersanding dengan Bali dan Raja Ampat.

Komodo Menghadang Truk-Instagram @gregoriusafioma
Komodo menghadang truk/Instagram @gregoriusafioma

Proyek Pengembangan Pariwisata

Pulau Rinca-Unsplash-Azis Pradana
Pulau Rinca via Unsplash/Azis Pradana

Pemerintah pun berusaha melakukan pembangunan, sehingga taman nasional ini tampak semakin apik. Salah satunya proyek pembangunan yang menghebohkan publik akhir-akhir ini. Pemerintah berujar bahwa kali ini merupakan pembangunan tempat wisata premium di kawasan Taman Nasional Komodo, NTT. Khususnya di Pulau Rinca yang difokuskan sebagai tujuan pariwisata massal.

Proyek pembangunan Taman Nasional Komodo sejak tahun lalu memang sangat gencar dilakukan. Bertujuan untuk pengembangan pariwisata, salah satu daerah yang dibangun secara signifikan adalah Loh Buaya, Pulau Rinca. Bahkan, wilayah ini sempat ditutup guna percepatan pembangunan dan penataan sarana serta prasarana di Resor Loh Buaya. Pembangunan kawasan wisata di Loh Buaya, meliputi dermaga, penginapan ranger dan pemandu alam, serta bermacam sarana pendukung pariwisata, dilakukan selama pandemi.

Pemerintah mengklaim sudah menugaskan beberapa polisi hutan guna mengawasi agar tidak ada komodo yang menjadi korban proyek tersebut. Nantinya, Pulau Rinca akan jadi tempat wisata (mass tourism) di Taman Nasional Komodo. Sehingga, turis-turis akan diarahkan ke Pulau Rinca. Lalu, Pulau Komodo dijadikan wilayah pusat konservasi para komodo yang membuat kunjungan ke sana akan dibatasi.

Peringatan UNESCO

Pembangunan yang dianggap mengganggu kesejahteraan komodo ini disoroti oleh berbagai lembaga dan organisasi nasional dan internasional. Bahkan, proyek ini pun mendapat peringatan agar dihentikan oleh UNESCO. Permintaan penghentian seluruh proyek di kawasan Taman Nasional Komodo tertuang data dokumen yang terbit usai konvensi tanggal 16-31 Juli 2021.

Menurut UNESCO, pembangunan itu dapat mempengaruhi Outstanding Universal Value (OUV) sebelum adanya peninjauan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) oleh Uni Internasional Konservasi Alam (IUCN). Komite Warisan Dunia UNESCO juga dibuat cemas dengan adanya undang-undang yang mengizinkan pembangunan infrastruktur tanpa AMDAL (UU Cipta Kerja).

Meskipun sudah diminta untuk dihentikan, ternyata pemerintah masih keukeuh melanjutkan pembangunan di kawasan Taman Nasional Komodo. Pemerintah berdalih bahwa proyek ini tidak akan memberi dampak lingkungan. Selain itu, pembangunan ini sudah sesuai konsep berkelanjutan yang sejak awal diusung.

Pemerintah juga mengatakan bahwa pembangunan di Taman Nasional Komodo bertujuan renovasi sarana dan prasarana yang sudah ada, tetapi tidak layak. Sarana dan prasarana tersebut akan diganti dengan yang berstandar internasional. Oleh karena itu, pembangunan daerah pariwisata tersebut dianggap tidak akan membahayakan satwa, terutama komodo sebagai aset berharganya.

Ramainya TN Komodo-Unsplash-Rizknas @rizknas
Ramainya TN Komodo-Unsplash-Rizknas @rizknas

Janji Pemerintah

Dengan adanya pengembangan itu, pemerintah secara berani menargetkan target kunjungan sebanyak 500.000 orang per tahun. Tentu hal ini menjadi perhatian khusus, sebagaimana diketahui jumlah kunjungan tahunan Taman Nasional Komodo berkisar 250.000 orang sebelum pandemi. Namun, lagi dan lagi pemerintah meyakinkan bahwa mereka tetap berfokus pada pariwisata berkualitas di kawasan Taman Nasional Komodo. Pariwisata berkualitas itu juga akan tetap menjunjung asas keberlanjutan.

Bagi masyarakat sekitar, pemerintah menambahkan bahwa mereka akan memaksimalkan potensi budaya maupun konten lokal sebagai kekuatan utama wisata di taman nasional tersebut. Masyarakat setempat akan dilibatkan hingga kesejahteraan mereka akan meningkat seiring pembangunan kawasan Taman Nasional Komodo. Pernyataan itu seolah-olah jadi jawaban atas desakan masyarakat untuk melaksanakan pengembangan pariwisata berbasis kerakyatan.

Namun, berbagai respons pemerintah dianggap belum mampu meyakinkan masyarakat. Bahkan, masyarakat sempat membuat petisi ditujukan kepada Pak Jokowi dan kementerian terkait. Isi petisi itu agar pembangunan di Pulau Rinca dihentikan. Hal tersebut karena proyek pembangunan kawasan pariwisata premium di Pulau Rinca merupakan ancaman serius. Masyarakat lokal, aktivis lingkungan hidup, hingga pemerhati alam tetap berharap pembangunan ini tidak dilanjutkan. Karena dampaknya tidak hanya lingkungan, tetapi juga satwa dan masyarakat sekitar.

Banyak masyarakat berpegang teguh pada perspektif bahwa Taman Nasional Komodo sebagai kawasan konservasi, bukan ladang bisnis. Meskipun adanya perdebatan tentang proyek “Jurassic Park” di Taman Nasional Komodo, semua lapisan masyarakat tetap berharap yang terbaik dan pemerintah tak ingkar dengan janji-janji yang telah dibuat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
.

The post Proyek “Jurassic Park” Taman Nasional Komodo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/proyek-jurassic-park-taman-nasional-komodo/feed/ 0 30724
6 Fakta Menarik tentang Pulau Padar yang Lagi Ngehits https://telusuri.id/6-fakta-menarik-tentang-pulau-padar/ https://telusuri.id/6-fakta-menarik-tentang-pulau-padar/#respond Sat, 24 Feb 2018 02:30:25 +0000 https://telusuri.id/?p=6835 Akhir-akhir ini foto Pulau Padar banyak beredar di media sosial. Foto-fotonya menggoda banget sampai-sampai banyak yang jadi tertarik buat ke sana. Nah, 6 fakta menarik tentang Pulau Padar ini bakal bikin kamu lebih ngebet buat...

The post 6 Fakta Menarik tentang Pulau Padar yang Lagi Ngehits appeared first on TelusuRI.

]]>
Akhir-akhir ini foto Pulau Padar banyak beredar di media sosial. Foto-fotonya menggoda banget sampai-sampai banyak yang jadi tertarik buat ke sana. Nah, 6 fakta menarik tentang Pulau Padar ini bakal bikin kamu lebih ngebet buat ke sana.

1. Berada dalam areal Taman Nasional Komodo

pulau padar

Perahu-perahu berlabuh di pesisir Padar via SkyGrapher.id/Sigit Hasnaro

Pulau ini berada dalam kawasan Taman Nasional Komodo, perairan barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Karena berada di kawasan taman nasional, kamu nggak bisa sembarangan di sana. Kalau belum ngerti aturan, coba deh browsing dulu soal apa yang boleh dan nggak boleh kamu lakukan di kawasan taman nasional.

Buat ke sini, kamu mesti cari cara buat ke Labuan Bajo dulu. Banyak cara buat ke Labuan Bajo. Kamu bisa naik pesawat, naik kapal, atau ngeteng naik bis nyambung menumpang kapal ferry. Dari Jakarta, naik pesawat cuma beberapa jam, tapi kalau ngeteng bisa sekitar tiga hari!

2. Pulau ketiga terbesar di Taman Nasional Komodo

pulau padar

“Seascape” sekitar Padar via SkyGrapher.id/praditya adhi kurniawan

Dari tiga pulau utama di Taman Nasional Komodo, Pulau Padar menduduki posisi terakhir soal luas wilayah, setelah Pulau Komodo dan Pulau Rinca. Kalau dilihat dari atas, sebagaimana Pulau Komodo dan Rinca, pulau ini bentuknya abstrak nggak beraturan.

Letaknya dekat Selat Lintah yang memisahkan Komodo dan Rinca. Selat Lintah ini dikenal punya arus yang kekuatannya lumayan. Jadi, pas naik perahu ke sana kamu mesti siap-siap kalau sewaktu-waktu gelombang jadi besar.

3. Lebih dekat dari Pulau Rinca ketimbang dari Pulau Komodo

Lokasi Pulau Padar ini di antara Pulau Komodo dan Pulau Rinca. Jadi, kalau dari Labuan Bajo, kamu bakal lewat Pulau Rinca dulu sebelum tiba di Pulau Padar. Lanjut ke timur, baru kamu tiba di Pulau Komodo.

Tapi Pulau Padar lebih dekat ke Pulau Rinca dibandingkan ke Pulau Komodo. Jika dari Komodo perlu waktu maksimal 2 jam, dari Rinca paling hanya sekitar 1,5 jam. Nah, kalau sudah tahu waktu tempuhnya, ‘kan kamu bisa memperkirakan bagaimana rute yang paling sesuai buat kamu.

4. Pernah jadi lokasi pembuangan komodo-komodo “nakal”

pulau padar

Lanskap Padar via SkyGrapher.id/Wisnu Sulistio

Kamu pasti pernah dengar berita tentang komodo yang menggigit pengunjung Taman Nasional Komodo atau penduduk setempat. Tapi, kamu pernah bertanya-tanya nggak treatment apa yang dilakukan pada komodo-komodo bermasalah itu?

Liputan6 melansir bahwa ada masanya ketika komodo-komodo bermasalah itu “dibuang” ke Pulau Padar. Nggak main-main, katanya ada sekitar tujuh komodo yang ada di pulau ini. Jadi, kalau mau trekking mending sama pemandu lokal, ya!

5. Situs Warisan Dunia UNESCO

Nuansa Pulau Padar ini agak beda dari pulau-pulau lain. Saking uniknya, kalau kamu kebetulan ketiduran di Pulau Padar terus tiba-tiba kebangun, mungkin kamu bakal ngerasa sedang di planet lain. Nah, bentang alamnya yang unik ini bikin Pulau Padar dimasukkan UNESCO sebagai salah satu dari situs Warisan Dunia.

Bersama dengan Pulau Komodo dan Pulau Rinca, Pulau Padar ternyata sudah dikukuhkan sebagai Warisan Dunia sejak lebih dari 25 tahun yang lalu, yakni tahun 1991.

6. Trekking ke puncak bukit sekitar 45 menit sampai 1 jam

pulau padar

“Golden sunrise” di Pulau Padar via SkyGrapher.id/Anton Chandra

Spot paling instagrammable di Pulau Padar adalah puncaknya. Dari sana kamu bakal melihat “pelana” yang menghubungkan dua bagian Pulau Padar, yang diapit sama pesisir-pesisir berpasir putih. Kalau mau dapat foto yang keren maksimal, kamu mesti udah di puncak pas sore hari waktu matahari hampir jatuh di cakrawala barat.

Trekkingnya juga sebenarnya nggak lama-lama amat, cuma sekitar 45 menit sampai satu jam. Nggak apa-apa lah ngeluarin keringat dikit buat menyaksikan pemandangan yang cakep abis. Tipsnya, kalau jalan siang-siang mending kamu pakai topi. Jangan lupa juga buat bawa sepatu trekking—jangan nekat pakai high heels!

Jadi kapan ke Pulau Padar?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 6 Fakta Menarik tentang Pulau Padar yang Lagi Ngehits appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/6-fakta-menarik-tentang-pulau-padar/feed/ 0 6835