lampung Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/lampung/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 03 Feb 2022 10:56:13 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 lampung Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/lampung/ 32 32 135956295 Menonton Pertunjukan Float2Nature di Teluk Kiluan https://telusuri.id/float2nature-di-teluk-kiluan/ https://telusuri.id/float2nature-di-teluk-kiluan/#respond Mon, 14 Feb 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=32731 Sebagai seorang pribadi yang tiap hari mendengarkan musik dan pecinta traveling, saya pernah bermimpi untuk dapat menyaksikan musisi favorit sekaligus menikmati keindahan alam negeri ini. Akhirnya, mimpi tersebut dapat saya wujudkan di tahun 2014. Pada...

The post Menonton Pertunjukan Float2Nature di Teluk Kiluan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai seorang pribadi yang tiap hari mendengarkan musik dan pecinta traveling, saya pernah bermimpi untuk dapat menyaksikan musisi favorit sekaligus menikmati keindahan alam negeri ini. Akhirnya, mimpi tersebut dapat saya wujudkan di tahun 2014.

Pada tahun tersebut juga, saya dapat menghasilkan pendapatan sendiri alias sudah sah menjadi seorang pekerja yang berupah tiap bulannya. Dimulai dari sahabat saya yang mengajak kala itu untuk dapat bergabung ke salah satu konser anniversary para musisi indie tanah air di kawasan Lampung, tepatnya di Teluk Kiluan. Tanpa pikir panjang, tentu saya setuju dengan apa yang ditawarkannya. Selain itu, saya bisa menikmati hak cuti untuk pertama kalinya.

Teluk Kiluan
Gerbang Teluk Kiluan/Ruth Stepanie

Bermalam di Atas Kapal Feri Menuju Pelabuhan Bakauheni

Entah mengapa setiap akan melakukan perjalanan, saya selalu bersemangat. Terlebih untuk kali ini. Semalaman saya telah menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan untuk menjadi seorang peserta Float2Nature.

Stasiun Gambir adalah titik poin pertama para peserta Float2Nature. Tentu saja saya sudah bersama sahabat saya sore itu, sambil mengisi perut sebelum menaiki bus khusus menuju Pelabuhan Merak di Banten. Walau bus kami cukup nyaman, tapi tetap saja ada rasa bosan di perjalanan dari Gambir menuju Merak yang  cukup menyita waktu karena memang macet di beberapa ruas tol yang kami lalui. Seperti biasa, untuk melepas rasa bosan tentu saya mendengarkan musik dari berbagai playlist musisi favorit.

Langit telah gelap saat kami tiba di Pelabuhan Merak. Beberapa jam lagi, hari akan berganti saat bus ini memasuki salah satu kapal feri yang siap menyebrang ke kawasan Lampung. Kemudian, para penumpang dipersilakan untuk meninggalkan bus dan dapat menuju ke arah geladak kapal.

Setibanya di geladak, tentu saja saya langsung memesan segelas kopi instan dan mie dalam cup. Ah, betapa nikmatnya menikmati dua sejoli camilan ini di atas kapal yang tengah bekerja. Sesekali juga mengobrol dengan sesama penumpang kapal feri ini.

Kira-kira pukul empat pagi, saya dapat memandang cerahnya Menara Siger berdiri megah dari atas kapal ini. Benar, kami telah tiba di tanah Lampung. Untuk melanjutkan perjalanan menuju Teluk Kiluan memang masih butuh beberapa jam lagi. Oleh karena itu, tiap bus peserta berhenti sejenak di warung makan lokal untuk dapat menyantap sarapan pagi dan jika ada yang ingin membersihkan diri dipersilakan.

Setelah itu, perjalanan kembali dimulai.

Dari Lampung Selatan menuju Kota Bandar Lampung juga tidak dapat dibilang dekat. Dengan perut kenyang dan lumayan segar, saya membuka catatan perjalanan dan menulis ‘Lampung’, pertanda provinsi satu ini telah saya kunjungi.

Bus kami berhenti di salah satu perhentian, dan kami diminta panitia untuk berganti transportasi ke roda empat. Di tiap mobil yang digunakan untuk melanjutkan perjalanan menuju Teluk Kiluan ini ditempati oleh tujuh peserta. Seru!

Sepanjang perjalanan, saya dan sahabat saya dapat memiliki kenalan baru yang juga sama-sama menyukai traveling dan musik. Lebih dari tiga jam kami di mobil, dan harus berhenti beberapa kali untuk istirahat. Hingga akhirnya, pada jam dua belas siang mobil kami telah berhenti di gerbang Teluk Kiluan, samar-samar suara ombak telah menyambut kami.

Float2Nature, Pagelaran Musik di Alam Terbuka

Float2Nature yang saya ikuti bersama sahabat saya itu memang bukan edisi pertama. Tetapi entah mengapa event yang digawangi oleh band Float ini sungguh menarik dan dapat memuaskan para pesertanya.

Fasilitas yang didapat sama sekali tidak membuat kami menyesal mengikuti rangkaian acara ini selama dua hari satu malam. Selain Float, ada juga dua band lainnya yang tak kalah memesona, yakni Payung Teduh dan Banda Neira. Tiap lagu yang mereka bawakan seakan menjadi latar musik di alam terbuka nan indah di kawasan Lampung di bawah terangnya bulan saat itu.

Pagelaran seperti ini memang memiliki batasan untuk pesertanya. Manfaat yang didapatkan setelah mengikuti acara ini tentu saja memiliki kenalan dari berbagai kalangan, serta lebih dekat dengan idola.

Para peserta dapat mengobrol bahkan berenang bersama dengan para musisi indie tersebut. Tempat yang dipilih saat itu juga sangat cocok untuk menampung peserta dan para panitia. Salut saya kepada para panitia yang dapat mengorganisir pagelaran Float2Nature di Teluk Kiluan, Lampung.

Melalui perjalanan Float2Nature inilah pertama kalinya saya dapat menginjakkan kaki di Teluk Kiluan, Lampung. Di pagi hari saat hari terakhir, saya dapat menikmati lumba-lumba langsung dari habitatnya. Belasan lumba-lumba yang bermain-main di habitatnya ini tentu saja membuat kami takjub memandanginya dari atas perahu nelayan.

Seruan demi seruan dapat terdengar dari para peserta tiap kali ada lumba-lumba yang melompat keluar. Seakan mereka tahu ada tamu yang datang. Benar, tak lengkap rasanya jika ke Teluk Kiluan tidak bermain-main langsung dengan para lumba-lumba yang menggemaskan itu.

Hari terakhir Float2Nature ditutup dengan membeli oleh-oleh khas Lampung sebelum beranjak kembali menuju Pelabuhan Bakauheni. Bus kami sudah siap kembali mengantarkan menuju Ibu kota Jakarta.

Di perjalanan menuju pulang sambil berkali-kali memandang hasil jepretan foto di ponsel, saya menyadari bahwa momen perjalanan seperti ini akan sulit dilupakan seumur hidup. Bahkan saya dapat mengatakan bahwa perjalanan Float2Nature di Teluk Kiluan ini adalah salah satu self-reward terbaik yang pernah saya lakukan.

Energi saya telah bertambah untuk bekerja esok hari, dan entah perjalanan ke mana lagi akan membawa langkah saya ini selanjutnya.

Terima kasih Float2Nature. Terima kasih Lampung. Dan, tentu saja terima kasih untuk diri saya sendiri.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menonton Pertunjukan Float2Nature di Teluk Kiluan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/float2nature-di-teluk-kiluan/feed/ 0 32731
Bersama Motor Supra Menyusuri Depok Menuju Bakauheni https://telusuri.id/motor-supra-menyusuri-depok-menuju-bakauheni/ https://telusuri.id/motor-supra-menyusuri-depok-menuju-bakauheni/#respond Sun, 24 Oct 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29911 Jokes yang cukup lawas, sudah rahasia umum kalau series Honda yang satu ini merupakan salah satu moda yang lumayan irit bahan bakarnya pada kelas roda dua. Saya sendiri memang salah satu penggemar series motor yang...

The post Bersama Motor Supra Menyusuri Depok Menuju Bakauheni appeared first on TelusuRI.

]]>
Jokes yang cukup lawas, sudah rahasia umum kalau series Honda yang satu ini merupakan salah satu moda yang lumayan irit bahan bakarnya pada kelas roda dua. Saya sendiri memang salah satu penggemar series motor yang satu ini, mulai dari Astrea Grand kala SMA, Supra karbu kala kuliah hingga yang injeksi. Ini bukan endorse, diakui atau tidak, memang Supra series ini cocok untuk kantong pejalan.

Banyak “unexpected journey” yang saya lalui bersama si Supra. Salah satunya ketika melakukan perjalanan menuju Lampung dari Depok sepanjang 276 km yang akan saya ceritakan kali ini. 

Bensin sudah terisi penuh, tas daypack saya sangkutkan pada bagian setang, karena kali ini Kevin menemani saya. Cukup punya nyali di umurnya yang masih 19 tahun berani menerima ajakan saya. Tujuan pertama kami ialah Pelabuhan Merak. Kalau dari Depok ambil arah menuju Sawangan, lanjut ke Tangerang, ambil plang menuju Serang dan beri sentuhan akhir berupa penunjuk jalan bernama Cilegon. Sekitar 5 jam nonstop tanpa istirahat karena fisik yang masih prima. Kami tiba di Pelabuhan Merak tepat pukul 5 sore. Waktu yang tepat, pas senja.

Supra saya tepikan di pendopo yang terletak di pinggir jalan menuju pelabuhan. Lalu, kami melihat matahari tenggelam dari balik kapal-kapal cargo yang lalu lalang. Cukup memberikan nuansa baru bagi saya yang terbiasa menatapnya dari Setu. Tiket keberangkatan kapal pukul 10 malam, namun menurut peraturan kapal, saya mesti boarding 2 jam sebelum keberangkatan. 19.30 kami memasuki pelabuhan, melewati pos pengecekan lalu berputar putar di dalam area pelabuhan yang cukup besar.

Fery Malam
Tas dan Ferry di Malam Hari

Apes! Saya baru tahu semisal jika sudah boarding, tidak disarankan untuk turun dari kapal. Sekembali dari Indomaret, jembatan penghubung kapal sudah terlipat, kapal telah bersiap untuk berangkat, dan kami masih di pinggir dermaga. “Sedikit kocak, banyak paniknya,” begitu kalau kata Payung Teduh. Nggak lucu, kalau membayangkan motor saya sampai ke Bakauheni lebih dulu ketimbang supirnya. Paniknya? Ya iyalah panik masa masih dijelasin.

Saya teriak-teriak meminta bantuan kepada penumpang yang ada di pinggir kapal, salah satu dari mereka berkata untuk naik dari lambung kapal. Tanpa pikir panjang kami langsung menuju lambung kapal. Ada banyak lubang mungkin berukuran 3×5 meter, lebih dari cukup untuk masuk menuju kapal. Yang jadi masalah ialah bagaimana kami masuk jika tinggi lubang itu sekitar 3 meter dari tempat kami berdiri. Kami menyusuri pinggiran kapal dan alhamdulillah ada sebuah undakan yang cukup tinggi. Melalui undakan tersebut kami masuk. Nafas tersengal, dan masih tertawa tentunya!

“Baru ya dek?” Ucap petugas kapal ketika sampai di parkiran motor. Iya, memang ini perjalanan Ferry pertama saya, mengingat berangkat jam 10 malam kami pikir masih banyak waktu untuk ngopi cantik di pinggir dermaga, dan ternyata tidak.

Setelah berbincang dengan ABK, kami menghampiri sumber suara orkes dangdut yang cukup meriah. Orkes ini berada di geladak kapal, dengan banyak bangku panjang permanen lengkap dengan sandarannya, ada warung kecil dengan berbagai jajanan di etalasenya, dan tak lupa termos beserta kopinya. Rp12 ribu rupiah untuk segelas kopi gunting, cukup sepadan sambil melihat kerlap kerlip lampu yang ciamik kala kapal meninggalkan pelabuhan. Estetik!

2 jam perjalanan kami habiskan di atas kapal, tak terasa sampai juga di pelabuhan Bakauheni, kerlap kerlip lampu kian mendekat. Setelah aba aba dari pengeras suara kami bergegas menuju Supra untuk bersiap. Memakai helm dan meluncur keluar kapal menginjakkan kaki di Lampung dini hari. Lalu apa?

Sedari awal sebenarnya, tujuan saya hanya ingin ke Lampung. Namun akhirnya saya putuskan untuk terus menuju dermaga 4 Ketapang, gerbang menuju pulau Pahawang. Ekspektasi saya adalah banyak warung berjejer 24 jam, namun nyatanya semua tutup. Motor saya parkirkan di sebuah warung dan langsung terlelap di bangku panjangnya. Jam tangan menunjukkan pukul 03.00 dini hari. 

Aktivitas dermaga, tepat pukul jam 6 pagi membuat saya terbangun. Mandi di toilet umum, sehabis itu memesan kopi sembari mencari informasi bagaimana kami bisa sampai di Pahawang. Singkat obrolan kami ikut salah satu trip yang berangkat pada hari itu dengan merogoh kocek sekitar Rp150 ribu untuk “one day trip”. Periode ini aktivitas wisata mulai menggeliat kembali di tengah pandemi, kembali membuka harapan para pegiat usaha di komoditas ini, kami pun tak banyak menawar, sadar diri.

Selamat Datang di Pahawang
Selamat Datang di Pahawang

Sup

Supra sudah naik kapal, segelas kopi sebagai bekal perjalanan sudah di tangan. Ada banyak peserta trip, namun yang tak disangka ialah supir kapalnya merupakan orang yang lama tinggal di Depok, kembali pulang karena PHK akibat pandemi. Saya tertawa, sempit kali dunia ini, sudah menempuh 200 km masih saja bertemu orang Depok. Namun dalam hati bergumam “alhamdulillah”, setidaknya ada kawan lokal jika kembali bersua ke sini.

Kapal membawa kami menuju salah satu spot snorkeling terkenal di Pahawang, tempat ikan nemo dan juga tulisan “Pahawang Island” di bawah laut berada. Banyak karang maupun biota laut yang menyita perhatian. Jika mendaki gunung kita selalu monoton melihat gumpalan awan serta matahari terbit, tidak dengan dunia bawah laut, meski hanya beberapa meter dari permukaan. Mungkin satu satunya yang mengecewakan ialah, masih ada cukup banyak sampah plastik yang terbawa. Memang memalukan jejak manusia yang satu ini.

Bawah Laut Pahawang
Bawah Laut Pahawang

Sesampainya di pulau selanjutnya, saya dan Kevin memilih tidur diatas kapal sampai trip selesai, panas matahari tampaknya tak mampu mengusik kami berdua kali ini. Sejenak perjalanan ini mampu membuat kami lupa akan berbagai hal. Dalam hati masih tidak menyangka kalo Supra mampu mengantar kami berdua sampai ke sini. Tak terasa matahari sudah mulai menyingsing, pertanda trip akan selesai. Yang tadinya tak memikirkan apa apa, jadi menambah pikiran baru. Pertanyaan selanjutnya pun muncul. Di mana kami akan bermalam? 

Rombongan kami sampai kembali Dermaga 4 Ketapang, semua peserta kembali ke homestay. Saya dan Kevin? masih terdiam sejenak di pinggir dermaga sambil berpikir mau ke mana lagi setelah ini. Saya memutuskan untuk mandi dan makan dahulu agar lebih jernih berpikir, atau mungkin keajaiban akan menghampiri kami di perjalanan kali ini.

Setelah beberes, tak disangka pemandu trip yang sedari tadi menemani kami menawarkan mesnya untuk bermalam. Saat berbincang tadi beliau juga bercerita tentang masa-masa dia menjadi musafir sebelum memiliki organisasi travel yang cukup besar seperti sekarang. Bang Ari namanya. Melalui tulisan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya atas tumpangannya. Jika dari kalian ada yg ingin berkunjung ke Pulau Pahawang jangan ragu menggunakan jasa beliau. Lengkapnya ada di Instagram.Kami menghabiskan malam bersama para pemandu wisata, meski berada di Lampung, nyatanya banyak yang berasal dari Jawa Barat, entah itu dengan plat B bisa sampai di daerah ini. Rata-rata mengatakan bahwa perjalanan kami cukup membahayakan. Kami sendiri pun mengakui hal tersebut. Malam itu dilalui dengan bergitar ria di pinggir pantai, sungguh, ketimbang pahawang yang tadi, menurut saya best momen-nya adalah di Dermaga 4 ketapang ini, ketika bersama mereka.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Bersama Motor Supra Menyusuri Depok Menuju Bakauheni appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/motor-supra-menyusuri-depok-menuju-bakauheni/feed/ 0 29911
Asal Mula dan Potensi Padi di Bumi Pertiwi https://telusuri.id/asal-mula-dan-potensi-padi-di-bumi-pertiwi/ https://telusuri.id/asal-mula-dan-potensi-padi-di-bumi-pertiwi/#respond Sun, 09 May 2021 09:00:09 +0000 https://telusuri.id/?p=27836 Terik dan panasnya sinar matahari siang itu tidak menyurutkan semangat para petani di Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba) untuk berkumpul; mendiskusikan tentang masa lalu, kini, dan nanti lahan pertaniannya. Mereka adalah generasi kedua dari program...

The post Asal Mula dan Potensi Padi di Bumi Pertiwi appeared first on TelusuRI.

]]>
Terik dan panasnya sinar matahari siang itu tidak menyurutkan semangat para petani di Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba) untuk berkumpul; mendiskusikan tentang masa lalu, kini, dan nanti lahan pertaniannya. Mereka adalah generasi kedua dari program transmigrasi masa Orde Baru, mayoritas berasal dari Jawa Tengah. Orang tua mereka sudah menanam padi sejak awal tiba di Tubaba, sudah melewati banyak negosiasi dan kompromi tentang budidaya padi yang politis dan kultural ini. Namun, saya gelisah, karena tidak satupun dari kami yang berkumpul di bawah rumah panggung itu mengetahui asal mula padi di Indonesia. Kecuali Pak Hery, seorang petani Demak yang sengaja diundang ke Tubaba untuk menginspirasi rekan-rekan sejawatnya tentang budidaya padi dan proses pengolahannya.

Sumber: Dokumentasi Pribadi, Demak January 2021

Aroma kopi dan pisang goreng menyeruak dari meja di hadapan saya ketika Pak Hery, memulai silsilah singkat padi di Indonesia. Berdasarkan narasinya, padi yang ada di Indonesia saat ini merupakan percampuran antara kelompok Japonica dari Cina Selatan dan kelompok Indica dari India, sehingga menghasilkan varietas padi Javanica. Perkawinan ini menghasilkan ciri khas beras yang tidak terlalu pulen dan lengket seperti jenis Japonica (beras untuk sushi) dan berukuran tidak telalu panjang dan besar seperti beras jenis Indica (beras basmati atau arborio untuk risotto).

Pada perkembangannya, jenis ini kemudian “dikawinkan” dengan banyak keunggulan lainnya sehingga menghasilkan sejumlah varietas padi yang banyak ditanam di Indonesia saat ini. Seperti yang saat ini dibudidayakan Pak Hary di Demak, varietas padi spesial yang menghasilkan beras premium berkualitas tinggi dengan aroma khasnya sendiri. Menurutnya, sejarah budidaya tanaman tidak hanya terbatas pada sisi biologisnya saja, namun juga mencakup jejak peradaban, termasuk akulturasi budaya hasil interaksi bangsa dan ras yang mengkonsumsi dan menyebarkan tanaman tersebut. 

Sore harinya di tepi kolam buatan, ditemani gemericik air dan puluhan Ikan Koi, saya tenggelam dalam mini riset tentang sejarah padi di Indonesia dengan berselancar di dunia maya. Ternyata sejarah padi memang kompleks, terlebih jika kita sandingkan dengan kajian genetik, geografi, historis dan arkeologi. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh para peneliti di New York University, Washinton University, Standford University, dan Purdue University menyebutkan bahwa Padi Asia (Oryza sativa) merupakan salah satu tanaman tertua di dunia.

Berdasarkan bukti arkelogi, padi Japonica pertama kali ditanam di Lembah Sungai Yangtze Cina Selatan sekitar 9000 tahun lalu. Sedangkan padi Indica ditanam pertama kali di Lembah Sungai Gangga India, sekitar 5000 tahun lalu. Selain itu, teori evolusi menjelaskan dua kubu yang berbeda. Teori satu-asal (single-origin) menyatakan bahwa Japonica dan Indica merupakan hasil domestikasi dari padi liar yang lebih tua yaitu Oryza rufipogon. Sedangkan teori multi-asal (multi-origin) menjabarkan bahwa terdapat perbedaan genetik yang signifikan antara Japonica dan Indica.

Dalam perjalanannya, terjadi pendinginan global sekitar 4200 tahun lalu, yang menyebabkan penurunan temperatur dan kelembaban global, sehingga mengharuskan petani-petani di Cina (dan Asia Timur) ini bermigrasi ke banyak lokasi, termasuk ke Asia Tenggara, dan Indonesia. Berdasarkan laporan studi NYU ini, padi Japonica pertama kali didomestikasi di Indonesia sekitar 2500 tahun lalu. Pada periode yang sama, melalui jalur perdagangan padi Indica juga mulai ditanam di nusantara.

Sumber: Dokumentasi Pribadi, Tubaba Maret 2021

Kegelisahan saya tidak kunjung sirna, alhasil pada hari yang sama, saya mengajak Pak Hery berdiskusi lebih mendalam. Di sebuah rumah panggung milik Kepala Desa. Sambil menyantap gorengan, Pak Hery melanjutkan kisah perjalanan padi di Nusantara. “Sejarah padi juga bisa kita lihat di beberapa peninggalan sejarah, misal di bangunan candi atau kitab-kitab kerajaan tua,” ujarnya. Hal ini menambah keyakinan saya atas kebenaran studi yang dipublikasikan NYU. Mungkin, jika pandemi sudah cukup reda, saya bisa membuktikan sendiri dengan melihat relief candi-candi yang dimaksud Pak Hery. Padi Javanica atau yang kini masuk kelompok Japonica tropis, memiliki citra kuliner tersendiri; “Puak Melayu / Ras Melayu bisa dibilang yang paling mampu meramu, ibarat koki, ras ini paling jago meramu (berakulturasi),” tutur Pak Hery.

 

Sumber: Dokumentasi Pribadi, Demak Januari 2021

Menurutnya, di Indonesia, perbedaan rasa, aroma, dan tekstur beras juga tergantung suku dan lokasi, contoh Suku Jawa di Surabaya menyukai beras yang berbeda dengan beras yang dikonsumsi oleh mayoritas Suku Minang di Sumatera Barat. Di Jawa, orang lebih suka beras yang pulen, lembut dan agak lengket menggumpal. Sedangkan di Sumatera Barat, Suku Minang suka beras solok, yang pulen namun tidak lengket, atau lebih terpisah alias terburai. Beras Cianjur yang disukai di Pulau Jawa lebih mirip dengan beras dari padi Japonica, sedangkan Beras Solok, berukuran panjang lebih mirip beras dari padi Indica, mirip basmati. 

Pak Hery menambahkan, tiap daerah sebenarnya memiliki padi khas sendiri disesuaikan dengan kesukaan orang-orang yang menetap di lokasi itu. Hal ini yang kemudian menjadi passion-nya untuk membudidayakan padi premium dengan ciri khas daerah-daerah di Indonesia. Menurutnya, penyeragaman bibit padi hibrida di Indonesia itu melanggar kodrat, selain menyebabkan ketergantungan petani kepada “pencipta” bibit, kebijakan ini juga membunuh khasanah cita rasa beras Indonesia, yang sejatinya beragam. Seharusnya, tiap daerah dapat memiliki padi dan beras khasnya masing-masing, dan ini bisa menjadi potensi bisnis tersendiri untuk para petani. Mereka dapat menciptakan pasar dan menentukan harga sendiri, tanpa harus terikat pada lingkaran setan panen raya atau tergantung pada ketersediaan dan subsidi bibit dari Pemerintah. 

Sumber: Pak Hery di Sawah, Dokumentasi Pribadi, Demak Januari 2021

Diskusi kami ditutup dengan makanan khas Lampung, Seruit, campuran ikan bakar dengan beragam sambal terasi lengkap dengan tempoyaknya (fermentasi durian). “Ini padi hibrida Mapan05, nasinya pulen dan lengket, kapan-kapan coba beras aromaterapi punya saya, selain wangi punya nilai gizi yang lebih baik untuk kesehatan, dan anti diabetes,” celetuk Pak Hery, yang disambut tawa para petani Tubaba. 

The post Asal Mula dan Potensi Padi di Bumi Pertiwi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/asal-mula-dan-potensi-padi-di-bumi-pertiwi/feed/ 0 27836
Ruang Keramik: Tribut Seorang Seniman pada Tanah Kelahiran https://telusuri.id/ruang-keramik-tribut-seorang-seniman-pada-tanah-kelahiran/ https://telusuri.id/ruang-keramik-tribut-seorang-seniman-pada-tanah-kelahiran/#respond Fri, 19 Jun 2020 16:07:27 +0000 https://telusuri.id/?p=22455 Bagi sebagian besar manusia, tak terkecuali diriku, mewabahnya virus corona membuat aktivitas sehari-hari menjadi terhambat. Namun, ada elemen-elemen dalam masyarakat yang tidak mempermasalahkan situasi sekarang, salah satunya adalah para pelaku seni. Mereka tetap bisa berkarya,...

The post Ruang Keramik: Tribut Seorang Seniman pada Tanah Kelahiran appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagi sebagian besar manusia, tak terkecuali diriku, mewabahnya virus corona membuat aktivitas sehari-hari menjadi terhambat.

Namun, ada elemen-elemen dalam masyarakat yang tidak mempermasalahkan situasi sekarang, salah satunya adalah para pelaku seni. Mereka tetap bisa berkarya, sebab inspirasi bisa datang dari berbagai hal, termasuk peristiwa-peristiwa tak lazim seperti pandemi ini.

Perjumpaan pertama dengan pemuda penuh mimpi

Tulisan ini kumulai dengan sebuah cerita dari pengujung tahun 2019, berbarengan dengan selesainya fase hidupku sebagai mahasiswa. Lazimnya sarjana baru, aku pun mencoba peruntungan dengan memasukkan lamaran ke banyak lowongan. Namun, sepertinya rezeki belum berpihak padaku. Sampai tahun berganti, belum satu pun usahaku yang membuahkan hasil. Beberapa kali aku sudah sampai tahap wawancara, namun kabar lanjutan tak kunjung datang.

Lalu virus corona datang dan meniup harapanku untuk bisa bekerja di awal tahun. Semuanya seperti harus ditunda. Aku memilih pulang ke kampung halaman. Ada pekerjaan di rumah, yaitu membantu orangtuaku bertani.

Sempat aku merasa kesepian dan kosong ketika harus kembali beradaptasi dengan lingkungan “baru”: rumah sendiri. Tidak baru juga sebenarnya, hanya lama kutinggalkan. Aku meninggalkan rumah delapan tahun lalu selepas sekolah menengah pertama (SMP). Sama sepertiku, ada beberapa orang teman yang juga demikian, yang setelah sekian lama merantau kemudian pulang.

Pada sebuah kesempatan, kami kopi darat (kopdar) di sebuah kedai kopi di kota tercinta, sekadar menyambung jaring-jaring cerita yang terputus. Semasa studi tingkat sekolah menengah atas (SMA) dan universitas, kami memang jarang bertukar cerita karena sibuk dalam dunia masing-masing. Saat kopdar itu, salah seorang temanku membawa temannya dan memperkenalkannya kepada kami. Kemudian kutahu bahwa namanya adalah Baskoro Wicaksono.

Kesan pertama yang diperlihatkannya adalah pendiam. Temanku yang membawanyalah yang lalu bercerita bahwa Baskoro, seperti dirinya, baru lulus studi Pendidikan Seni Rupa. “Bapak guru,” celetuk salah seorang teman, disambut tawa oleh teman-teman lain.

Dari situ, mau tak mau Baskoro buka mulut dan bercerita tentang dirinya. Semasa kuliah, dia menemukan ketertarikan pada seni rupa tiga dimensi, yakni mengolah tanah liat menjadi vas bunga. Dia pun menunjukkan foto-foto beberapa karyanya di unggahan Instagram. Perlahan kami jadi tahu niat mulia Baskoro. Cita-citanya dulu, setelah lulus kuliah ia akan kembali ke kota ini, membuat sebuah studio, dan mewujudkan mimpinya untuk berkontribusi pada kota kelahirannya melalu seni. Bagiku pribadi, pilihan yang dia ambil sangatlah menarik.

Lampung dikenal publik sebagai daerah transmigrasi. Sebagaimana diwartakan portal Teraslampung.com, program transmigrasi sudah dimulai sejak tahun 1905. Kala itu, sejumlah penduduk dari Purworejo dikirim ke Lampung untuk memperluas wilayah pertanian kolonial. Semakin ke sini, berita-berita soal premanisme, curanmor, dan begal membuat citra Lampung justru jadi kurang sedap. Berkontribusi lewat seni pada Metro, kota kelahirannya ini—yang namanya barangkali terdengar asing di telinga sidang pembaca—tentu akan berimbas bagus pada citra Sang Bumi Ruwa Jurai.

Aku jadi ingin lebih dalam berbincang dengannya seputar kegiatannya sekarang. Tapi waktu berjalan begitu cepat. Puluhan puntung rokok sudah memenuhi asbak di depanku. Kami mesti menutup pertemuan. Namun, sebuah kekuatan tak terduga seperti bekerja sebelum kami beranjak ke rumah masing-masing: Baskoro mengundang kami untuk datang ke studio miliknya.

Bertandang ke Ruang Keramik

Setelah berkenalan dengan Baskoro Wicaksono tempo hari, akhirnya aku bertandang ke studio sederhana miliknya yang berada di pinggir Kota Metro. Studio itu bernama Ruang Keramik.

Jejeran keramik menyambutku begitu turun dari sepeda motor. Tak lama, seseorang datang dan mempersilakanku masuk. Di sebuah meja panjang warna putih, duduk seorang laki-laki yang sedang asyik bergelut dengan tanah liat. Perabotan dan peralatan kerja ada di sekitarnya. Itu Baskoro. Dia ternyata sedang menyelesaikan sebuah vas bunga permintaan dari seorang konsumen asal Muntilan, Jawa Tengah.

Studio Ruang Keramik/Haviz Maulana

Setelah menyapa dan menjabat tangannya, sembari menunggunya aku berkeliling melihat keramik-keramik yang terpajang di rak-rak yang menempel di dinding. Kulihat-lihat karya-karya itu dan kuambil beberapa foto. Lalu aku menghampiri Baskoro yang sudah hampir menyelesaikan pekerjaannya.

Sungkan, kubuka saja obrolan. Setelah berbasa-basi sedikit, Babas, panggilan akrab Baskoro, bercerita tentang perjalanannya sampai akhirnya membuka Ruang Keramik.

Kecintaan Babas pada seni sudah muncul sejak dia kecil. Semasa sekolah, dia sangat menyukai seni rupa. Dia menggambar di ruang-ruang kosong yang tersedia, mulai dari kertas putih sampai dinding—mural. Selepas SMA, dia melanjutkan studi ke Pendidikan Seni Rupa salah satu perguruan tinggi di Kota Kembang.

ruang keramik
Sketsa desain keramik karya Baskoro Wicaksono/Haviz Maulana

Di masa-masa awalnya sebagai mahasiswa, Baskoro eksis dengan melukis. “Menggambar dengan rasa,” ujarnya. Ketertarikannya pada seni kriya keramik baru tumbuh pada pertengahan masa kuliah. Seni tanah liat memang bukan hal baru, tapi justru di sanalah keasyikannya; babas mesti menemukan identitas pada karyanya.

Babas mencintai bunga. Tak jarang dia memproyeksikan kecintaannya pada bunga dengan menggoreskan cat pada sebidang kertas dan menggambar bunga. Akhirnya, sang seniman muda memilih mereka-cipta vas bunga. Mulanya, dia hendak sekadar menggunakan vas buatannya untuk mewadahi bunga yang dia punya. Tapi, waktu yang menjadi saksi bahwa karyanya takkan sekadar jadi konsumsi pribadi.

Petualangan Baskoro pun memasuki babak baru. Dia pun mulai mengasyiki tanah liat. Didedahnya ilmu reka-cipta tanah liat dari dasar. Karakteristik tanah liat dipelajarinya, juga ragam-ragam teknik mengolahnya.

Beberapa vas bunga karya Baskoro Wicaksono/Baskoro Wicaksono

Setelah itu barulah dia mulai membuat vas bunga model umum yang beredar di pasaran. Itu jadi jalan baginya untuk mulai bereksperimen dalam hal bentuk dan tekstur. Inspirasi diambil Baskoro dari alam, dari batang-batang pohon yang sering dilihatnya. Dia biasanya mulai berkreasi dengan cara menggambar bentuk batang yang dilihatnya pada selembar kertas. Imajinasi Baskoro pun mendistorsi bentuk-bentuk batang itu, yang kemudian menjadi nyata sebagai benda tiga dimensi berupa vas bunga.

Organis. Demikianlah Baskoro menamai konsep yang menjadi identitas karyanya. Ciri khas vas bunga Babas adalah bentuknya yang abstrak dengan tekstur tak rata. Tentu saja tanpa mengurangi fungsi vas itu sebagai tempat bunga yang memperindah ruangan. Untuk menghasilkan vas bunga terbaik, Baskoro memilih teknik pijatan tangan (pitching). Baginya, teknik tersebut paling sesuai untuk menghasilkan karya yang dia inginkan. Hasil pijitan alami yang dipertahankan melalui teknik pijatan dia maknai sebagai sebuah pesan kejujuran.

Vas karya Baskoro yang sudah diisi dua tangkai bunga/Baskoro Wicaksono

Begitulah. Babas pun makin mendalami seni kriya tanah liat. Di ujung masa kuliahnya, ketika mesti menyusun karya tulis, dia memilih vas bunga sebagai objek. Tapi tantangan muncul ketika dosen pembimbingnya meminta Baskoro untuk membuat karya dengan konsep yang beda, bukan organis. Itu tak mudah. Karyanya sempat berkali-kali mengalami revisi sebab kurang sesuai dengan konsep-konsep umum soal keindahan. Sedih namun tidak bisa berontak, mungkin itu yang dia rasakan.

Namun perjuangan panjang itu akhirnya mulai mendapatkan titik terang ketika—dari relasi yang dia bangun saat berpartisipasi dalam pameran-pameran—dia “bertemu” dengan konsep geometris. Konsep geometris ala Baskoro lahir terinspirasi oleh karya Natas Setiabudhi, seorang seniman keramik bergaya geometric and architectural yang juga seorang dosen seni di Institut Teknologi Bandung (ITB). Mengusung konsep itu, singkat cerita, dia pun akhirnya berhasil mencapai garis finis studinya.

Bulan Oktober, selepas menyelesaikan studi, dia memutuskan pulang ke sini, Metro, kota kelahirannya. Dia pun kembali membuat vas bunga bergaya organis. Diakuinya bahwa pilihan ini tak mudah—penolakan yang pernah dialaminya juga membuatnya bertanya-tanya apakah karyanya akan dapat diterima. Namun, dia lalu teringat sosok seniman idolanya, Vincent van Gogh, pelukis aliran pasca-impresionisme dari Belanda yang sampai akhir hayatnya menempuh jalan sunyi. Kisah-kisah tentang van Gogh menjadi penguatnya kala itu.

Dua bulan pertama, Babas terus membuat vas bunga. Karya-karyanya kemudian diunggah ke dua akun Instagram: akun pribadi (@baskoro_wicaksono) dan akun lain bernama @ruangkeramikstudio. Dia juga mulai sering menggelar kelas membuat keramik seminggu sekali di studio yang kemudian dikenal sebagai Ruang Keramik. Sasaran kelas itu adalah siapa pun yang tertarik untuk belajar membuat keramik, meskipun kebanyakan pesertanya adalah teman dekat dan anak-anak sekitar. Mereka belajar di sana kemudian mengunggah karya mereka di akun sosial media masing-masing sehingga Ruang Keramik pelan-pelan muncul ke permukaan.

Deretan vas bunga bergaya abstrak di Ruang Keramik/Haviz Maulana

Akhirnya, momen yang ditunggu pun tiba: permintaan pertama datang bulan Desember kemarin. Nasibnya ternyata lebih baik ketimbang van Gogh yang hanya menjual satu lukisan, The Red Vineyard, sepanjang hayatnya. Seseorang dari Surabaya menghubunginya melalui Instagram, meminta dibuatkan beberapa model vas bunga kepadanya. Babak baru dalam hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sebagai seniman pun dimulai, meskipun dia tahu di zaman serba-cepat ini—dan di kota di mana pekerjaan seniman hampir tidak ada—jalan yang ditempuhnya tidaklah mudah.

Baskoro sempat mengutarakan mimpinya. Suatu saat nanti dia akan mengenalkan Metro melalui seni keramik hasil buah tangannya dan menyisipkan pesan pada anak muda agar tidak perlu merasa berkecil hati untuk tetap eksis dan mandiri melalui bidang seni. Bekerja tak melulu harus di kantor—rapi, wangi, dan berdasi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ruang Keramik: Tribut Seorang Seniman pada Tanah Kelahiran appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ruang-keramik-tribut-seorang-seniman-pada-tanah-kelahiran/feed/ 0 22455
Jalan-jalan Sore bersama Haryono di Taman Nasional Way Kambas https://telusuri.id/taman-nasional-way-kambas/ https://telusuri.id/taman-nasional-way-kambas/#comments Tue, 10 Jul 2018 09:30:55 +0000 https://telusuri.id/?p=9572 Akhir-akhir ini kita sering mendengar berita tentang gajah sumatra di media sosial, entah Instagram, Facebook, Twitter, dll. Ironisnya, kebanyakan berita negatiflah yang beredar. Paling kerap didengar adalah kisah pilu tentang hilangnya habitat gajah akibat perluasan...

The post Jalan-jalan Sore bersama Haryono di Taman Nasional Way Kambas appeared first on TelusuRI.

]]>
Akhir-akhir ini kita sering mendengar berita tentang gajah sumatra di media sosial, entah Instagram, Facebook, Twitter, dll.

Ironisnya, kebanyakan berita negatiflah yang beredar. Paling kerap didengar adalah kisah pilu tentang hilangnya habitat gajah akibat perluasan lahan sawit yang berujung pada konflik dengan manusia. Kalau tidak, mungkin soal maraknya perburuan gading yang mengakibatkan banyak gajah sumatra mati dibunuh secara sadis.

(Kamu pasti juga sudah dengar berita tentang seekor anak gajah bernama Erin yang belalainya putus terkena jerat pemburu? Tak masuk akal ada orang yang tega ingin membunuh anak gajah yang masih lucu!)

Ini adalah pukulan telak bagi kita semua, termasuk saya. Bagaimana tidak, gajah sumatra adalah salah satu satwa/fauna yang dilindungi oleh negara, yang berada di bawah ancaman kepunahan sebab populasinya terus menurun setiap tahun.

taman nasional way kambas

Seekor bayi gajah yang lucu/Oky Hertanto

Data lengkapnya barangkali bisa kamu lihat di arsip Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, atau organisasi seperti WWF Indonesia yang menangani masalah-masalah konservasi lingkungan dan satwa di Indonesia.

Maka, beberapa bulan lalu saya memberanikan diri bersama sahabat untuk mengunjungi Taman Nasional Way Kambas (TNWK) di Lampung. Selain penasaran bagaimana aktivitas sehari-hari gajah-gajah sumatra yang hidup di sana, saya juga ingin melihat secara langsung kondisi Erin saat ini.

(Sayang sekali saat tiba di Taman Nasional Way Kambas kami tidak menjumpai Erin di Rumah Sakit Gajah—sepertinya ia sudah dipindahkan ke kandang khusus. Tapi saya juga dapat info bahwa Erin sudah membaik, sudah bisa makan meskipun masih dibantu petugas karena belalainya putus.)

Perjalanan menuju Lampung

Tepat pukul delapan pagi, bus plat merah yang kami tumpangi bergerak meninggalkan Stasiun Gambir menuju Bandar Lampung via Pelabuhan Merak. Kondektur langsung melakukan pengecekan tiket dan memberikan makanan ringan untuk disantap di perjalanan. Sayangnya kami sedang berpuasa saat itu.

Dua jam bis melaju di jalan tol yang kala itu cukup lengang. Setiba di Pelabuhan Merak, Banten, juga tak tampak antrean kendaraan yang akan masuk ke lambung-lambung kapal. Dalam hitungan menit saja bis itu sudah berada dalam ferry. Kami pun ikut turun dari bis, kemudian bergerak menaiki tangga menuju ke dek kapal.

Perjalanan dari Pelabuhan Merak menuju Pelabuhan Bakauheni berlangsung sekitar 1,5-2 jam saja, sebab cuaca saat itu cerah sekali dan ombak di laut tidak tinggi.

taman nasional way kambas

Kandang gajah/Oky Hertanto

Sesaat sebelum kapal sandar di Pelabuhan Bakauheni, saya bergerak turun ke lambung kapal untuk kembali ke dalam bis. Begitu ferry sandar, satu per satu kendaraan bergerak ke luar lewat pintu kapal.

Saat ini di Pelabuhan Bakauheni sedang dibangun jalan tol sampai ke Kota Palembang. Sayangnya saat saya ke sana tol itu baru dibuka beberapa ruas saja, belum terlalu panjang. Jika tol itu sudah rampung dan dibuka, tentu akses transportasi darat Bandar Lampung-Palembang akan semakin cepat dan mudah.

Perjalanan darat dari Bakauheni menuju Bandar Lampung sendiri memakan waktu kurang lebih tiga jam. Namun saat itu saya memilih untuk turun di Kalianda untuk menengok keponakan baru. (Sepupu mengabari bahwa istrinya baru saja melahirkan.) Setelah dari Kalianda, keesokan harinya saya melanjutkan kembali perjalanan menuju Bandar Lampung.

Naik Damri dari Rajabasa ke Way Kambas

Untuk ke Way Kambas dengan moda transportasi umum, kamu mesti naik Bis Damri dari Terminal Rajabasa atau Pool Damri yang ada di Bandar Lampung. Bis berangkat pagi hari, yakni sekitar jam 6 pagi. Jadwal pastinya bisa kamu ketahui dengan menelepon pool atau menanyakan langsung pada petugas Damri yang sedang berjaga.

Bis akan mengantarkanmu ke Way Jepara, sekitar tiga jam perjalanan dari Kota Bandar Lampung. Harga tiketnya juga tidak terlalu mahal. Dengan membayar Rp 30 ribu/orang kamu sudah tiba di Pertigaan Tridatu. Tapi jangan lupa bilang ke kondekturnya bahwa kamu mau ke Taman Nasional Way Kambas.

taman nasional way kambas

Haryono/Oky Hertanto

Dari pertigaan itu, Taman Nasional Way Kambas sudah dekat dan bisa dicapai dengan menumpang ojek (Rp 30-50 ribu/orang tergantung kemampuan menawar).

(Sedikit tips: kalau kamu menginap di Way Kambas, jangan lupa minta nomor ponsel supir Damri agar kamu bisa menanyakan waktu keberangkatan bis keesokan hari. Tenang saja, pelayanan mereka ramah. Saya sendiri kaget mendapati bahwa petugas Damri baik-baik semua dan sangat informatif. Lewat WhatsApp kami diinfokan jadwal dan posisi bis sehingga kami tidak ketinggalan bis untuk pulang. Selain nomor Damri, kamu juga sebaiknya meminta nomor ojek.)

Pusat Latihan Gajah (PLG) Taman Nasional Way Kambas

Naik ojek sekitar 20 menit dari Pertigaan Tridatu, kami pun tiba di Pusat Latihan Gajah (PLG) Taman Nasional Way Kambas.

Setelah lama diam dalam bucket list saya, mimpi untuk ke Taman Nasional Way Kambas akhirnya terwujud tahun ini. Senang sekali rasanya berkesempatan melihat langsung sekolah dan pusat pelatihan gajah terbesar dan tertua di Indonesia. (Saya punya keinginan untuk mengunjungi taman nasional-taman nasional di Indonesia yang ada gajah sumatranya, sebab saya sangat suka dengan salah satu hewan mamalia terbesar di dunia ini.)

taman nasional way kambas

Dua ekor gajah yang baru saja dimandikan oleh mahout/Oky Hertanto

Sesaat setelah selesai berurusan dengan ojek, seekor gajah dewasa—yang belakangan saya tahu diberi nama Haryono—lewat di samping saya. Terang saja saya kaget, tapi senang sekali bisa melihat gajah dari jarak yang lumayan dekat.

Sama seperti di kebun binatang, para raksasa penghuni Way Kambas itu juga punya kandang. Bedanya, kandang mereka bukanlah petak kecil melainkan tanah seluas puluhan hektare tempat mereka bisa leluasa beraktivitas. Gajah-gajah itu jauh dari kesan “terkurung.” Makanan untuk mereka tiap hari disuplai. Kebutuhan air mereka dipenuhi oleh baik air minum khusus gajah bantuan dari pihak luar.

PLG sendiri bisa dikatakan sebagai sekolah para gajah. Sebagian dari “muridnya” adalah gajah-gajah yang diselamatkan dari alam liar, dari mulai yang terkena jerat pemburu, yang tertinggal dari kawanannya, yang pernah terlibat konflik dengan manusia, dll.

Mereka dilatih oleh para pawang profesional (mahout) untuk menjadi gajah atraksi, patroli, latih, dll. Harapannya, keberadaan PLG dapat membantu mengurangi konflik antara gajah dan manusia sekaligus membantu menyelamatkan makhluk berbelalai itu dari kepunahan.

Sekitar 70 gajah jinak dan ratusan gajah liar

Selain 70 ekor gajah jinak, Taman Nasional Way Kambas juga menjadi rumah bagi ratusan gajah liar. Seru sekali melihat aktivitas harian gajah-gajah di PLG Taman Nasional Way Kambas. Pagi hari mereka dimandikan oleh mahout, diberi makan, kemudian diajak keliling/patroli sekitar areal PLG. Tak lupa, gajah-gajah itu juga rutin dilatih.

(Jika ingin bermalam, tersedia penginapan yang letaknya di samping kandang gajah. Dari sana kamu bisa melihat dari dekat aktivitas gajah-gajah jinak mulai dari pagi, siang, sore, hingga malam hari.)

taman nasional way kambas

Ketika diajak oleh mahout untuk ke kandang gajah/Oky Hertanto

Kamu pasti bertanya-tanya begitu menyadari bahwa gajah-gajah di sana kebanyakan dirantai. “Kenapa harus dirantai?” Bukan bermaksud memasung mereka, rantai itu justru untuk menjaga agar gajah-gajah itu tidak keluar dari areal PLG sehingga menjadi target mudah para pemburu. Agar gajah-gajah sumatra itu tak tersiksa karena merasa ruang gerak mereka dibatasi, sengaja yang digunakan adalah rantai panjang.

Untuk mendukung upaya konservasi gajah, di Taman Nasional Way Kambas juga dibangun fasilitas kesehatan, yakni rumah sakit gajah terbesar di Asia Tenggara melalui dana suntikan pemerintah dan swasta, antara lain dari Australian Zoo dan Taman Safari Indonesia.

Tidak hanya itu, demi melindungi gajah Taman Nasional Way Kambas juga membentuk Tim Patroli Gajah. Tim yang diberi nama Elephant Response Unit (ERU) ini terdiri dari para mahout dan gajah-gajah jinak terlatih. Tugas mereka adalah berpatroli menjaga wilayah taman nasional dan meminimalisir terjadinya konflik antara gajah dan manusia (misalnya menggiring gajah-gajah liar yang masuk ke kebun atau permukiman warga).

Jalan-jalan sore bersama Haryono

Sore itu, saya dan teman sedang asyik duduk di pinggir kolam—melihat para gajah dimandikan oleh mahoutnya—ketika tiba-tiba Haryono bersama mahoutnya datang dari arah belakang. Sang mahout kemudian memanggil saya dan menawarkan untuk ikut bersama mereka ke areal belakang PLG untuk mengambil rantai Haryono.

Saya kaget, tapi langsung mengiyakan untuk pergi bersama mereka. Kami berdua pun bergegas naik ke punggung Haryono. Itu pengalaman berharga yang takkan pernah saya lupakan. Kami menyusuri hutan, lalu turun ke rawa-rawa serta padang sabana yang ditumbuhi rumput-rumput gajah.

taman nasional way kambas

Jalan-jalan sore bersama Haryono/Oky Hertanto

Sang mahout yang ramah tanpa diminta bercerita tentang kehidupan gajah-gajah sumatra di Taman Nasional Way Kambas—juga ancaman-ancaman terhadap kelestariannya.

Ia juga becerita bahwa suatu kali ia pernah diberi cek kosong oleh salah seorang konglomerat di Indonesia. Dalam cek kosong itu ia bebas menuliskan nominal rupiah yang diinginkan, asal bersedia memberikan gading gajah utuh kepada sang hartawan.

Mendengar langsung kisah itu dari seorang mahout, saya kaget. Ternyata gading gajah memang begitu diminati sampai-sampai harganya bisa abstrak seperti itu. Katanya, ada anggapan bahwa belum sah menjadi kaya kalau belum punya gading gajah. Keliru—sungguh edan! Gajah diburu dagingnya hanya untuk pajangan di rumah atau hal-hal tak masuk akal lainnya….

Ayo kampanyekan #SaveElephant

Di ujung tulisan ini saya hanya ingin mengingatkan kita semua bahwa gajah layak mendapatkan kehidupan bebas seperti kita, manusia. Jangan rusak dan ambil habitat mereka. Gajah takkan menyerang manusia jika habitatnya tidak dirusak dan diambil.

taman nasional way kambas

Dua anak gajah sumatra sedang bermain/Oky Hertanto

Dan, saya rasa, revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya—yang masih mengganjar pelaku perusakan dengan hukuman yang tak seberapa—juga dapat berperan untuk mengeliminasi cerita-cerita sedih seperti derita yang dialami oleh Erin dan Bunta.

Terima kasih Taman Nasional Way Kambas karena telah memberikan pengalaman luar biasa. Saya jadi makin semangat untuk ikut mengampanyekan #SaveElephant di media sosial. Minimal agar masyarakat makin sadar betapa pentingnya menjaga habitat gajah sehingga mereka terhindar dari kepunahan.

Lagian, kalau bukan kita yang menjaga mereka, siapa lagi?


Baca tulisan Oky Hertanto yang lain di sini.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jalan-jalan Sore bersama Haryono di Taman Nasional Way Kambas appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/taman-nasional-way-kambas/feed/ 5 9572
8 Destinasi Wisata di Lampung Ini Bakal Menyegarkan Kembali Pikiran Kamu https://telusuri.id/destinasi-wisata-di-lampung/ https://telusuri.id/destinasi-wisata-di-lampung/#comments Sun, 18 Feb 2018 02:30:18 +0000 https://telusuri.id/?p=6668 Tulisan ini kolaborasi antara SkyGrapher dan TelusuRI Lampung bisa jadi pelarian kalau kamu lagi butek banget sama kerjaan. Letaknya yang nggak jauh-jauh amat dari Jakarta—apalagi lewat udara—nggak bakal bikin kamu repot. Setiba di tujuan, kamu...

The post 8 Destinasi Wisata di Lampung Ini Bakal Menyegarkan Kembali Pikiran Kamu appeared first on TelusuRI.

]]>
Tulisan ini kolaborasi antara SkyGrapher dan TelusuRI


Lampung bisa jadi pelarian kalau kamu lagi butek banget sama kerjaan. Letaknya yang nggak jauh-jauh amat dari Jakarta—apalagi lewat udara—nggak bakal bikin kamu repot. Setiba di tujuan, kamu bisa rileks dan melupakan segala permasalahan.

“Masa iya bisa rileks di Lampung? Bukannya isinya cuma kebun sawit doang?” Eh, jangan salah, Lampung punya banyak destinasi wisata yang keren-keren. Kalau nggak percaya, nih TelusuRI kompilasi destinasi wisata di Lampung buat kamu:

1. Kepulauan Pahawang

destinasi wisata di lampung

Snorkeling di Pahawang via SkyGrapher.id/ikhsan dwi

“Kok kepulauan? Bukannya Pahawang ini pulau?” Ada beberapa pulau di areal Pahawang, guys. Yang namanya Pahawang aja ada dua: Pahawang Besar dan Pahawang Kecil. Destinasi wisata di Lampung yang satu ini baru beberapa tahun yang lalu mulai masuk radar pejalan. Atraksi utamanya adalah keindahan dunia bawah laut. Kamu nggak perlu scuba diving buat melihat terumbu karang dan kawanan ikan, cukup snorkeling saja.

Untuk ke sana, dari Pelabuhan Bakauheni atau Bandara Radin Inten kamu mesti ke Dermaga Ketapang. Dari sana kamu tinggal naik kapal kayu berkapasitas 20-25 orang selama sekitar 2 jam. Kalau mau nginap, ada homestay di sana.

2. Pulau Sebesi

destinasi wisata di lampung

Awan sedang menyelimuti puncak Pulau Sebesi via SkyGrapher.id/Rivaldi Hananto

Ini pulau jadi saksi bisu kedahsyatan letusan Krakatau akhir abad ke-19 lalu. Konon, hampir semua satwa yang ada di Pulau Sebesi musnah akibat letusan itu, begitu juga permukiman-permukiman di sana. Makanya sampai sekarang kadang-kadang penduduk yang nggak sengaja nemu harta karun, yakni sisa-sisa peradaban yang tertimbun material letusan.

Meskipun Pulau Sebesi keren, soal pariwisata namanya masih dibayang-bayangi Gunung Anak Krakatau. Alih-alih destinasi wisata, pulau yang terletak di Kabupaten Lampung Selatan ini lebih dikenal sebagai gerbang menuju “keturunan” Gunung Krakatau.

3. Gunung Anak Krakatau

destinasi wisata di lampung

Anak Krakatau via SkyGrapher.id/Rivaldi Hananto

Gunung Krakatau emang sudah lama meletus dan hancur lebur. Tapi dia meninggalkan junior, yakni Gunung Anak Krakatau. Sebagaimana pendahulunya, gunung ini juga kecil-kecil cabe rawit. Meskipun nggak terlalu tinggi, ia selalu ngebul mengeluarkan solfatara—itulah yang bikin Gunung Anak Krakatau mempesona.

Kamu bisa mulai perjalanan ke Anak Krakatau dari Bakauheni. Kemudian, kamu mesti menempuh jalur darat ke Pelabuhan Canti, Kalianda. Dari sana ada kapal penumpang yang berangkat ke Pulau Sebesi (jam 1 siang). Dari Sebesi, kamu tinggal nyewa kapal motor buat ke Anak Krakatau.

4. Pulau Kubur

destinasi wisata di lampung

Kamu bisa kemping di Pulau Kubur via SkyGrapher.id/Rivaldi Hananto

Pulau di Teluk Lampung ini kecil banget. Kalau dihitung paling cuma sekitar 5 hektare. Makanya pulau ini nggak dihuni oleh manusia. (Rempong banget pasti tinggal di sana.) Tapi, kalau buat kemping-kemping lucu sambil mancing ikan, pulau ini OK banget.

Untuk ke sana, kamu mesti nyeberang sekitar 10 menit dari Pantai Puri Gading. Supaya seru, mending kamu nyeberangnya sore-sore menjelang matahari terbenam. Selain pemandangannya jadi tambah oke, saat itu air laut juga surut dan gelombangnya tenang.

5. Pantai Sari Ringgung

destinasi wisata di lampung

Masjid terapung di lepas pantai kawasan Sari Ringgung via SkyGrapher.id/Ainul Fikri

Pasir halus dan air laut yang tenang adalah daya tarik utama Pantai Sari Ringgung. Bersantai di sana, kamu bakal merasa bahwa waktu sedang berhenti. Kalau bawa buku, kamu bisa santai-santai di salah satu gazebo yang disediakan di pantai. Pergi ke sana sama pasangan, kamu bisa romantis-romantisan sambil main ayunan.

Pantai Sari Ringgung ini letaknya di Kabupaten Pesawaran. Dari Bandar Lampung, perlu waktu sekitar 1 jam buat ke sana naik kendaraan pribadi. Kalau kamu dari Bakauheni, butuh waktu sekitar 2,5 jam buat ke Pantai Sari Ringgung.

6. Lembah Batu Brak

destinasi wisata di lampung

Pemandangan di Lembah Batu Brak via SkyGrapher.id/Rivaldi Hananto

Dilihat sekilas, destinasi wisata di Lampung yang satu ini mirip Ngarai Sianok di Sumatera Barat. Di sana kamu bakal melihat tebing yang jadi latar belakang dari persawahan yang hijau. Kamu bisa nyoba sensasi jalan-jalan meniti pematang sawah yang licin. Tapi hati-hati, jangan sampai kecebur!

Lembah ini berada di Kabupaten Lampung Barat, di Kecamatan Batu Brak (karena itulah namanya Lembah Batu Brak). Dari Liwa, Ibukota Kabupaten Lampung Barat, Lembah Batu Brak terpaut sekitar 10 kilometer saja.

7. Danau Ranau

destinasi wisata di lampung

Sawah yang menguning di tepi Danau Ranau via SkyGrapher.id/Rivaldi Hananto

Karena terletak di dataran tinggi, hawa di sekitar danau ini sejuk sekali. Nelayan lalu-lalang di Danau Ranau buat nyari ikan-ikan seperti mujair, kepor, kepiat, harongan, dan lain-lain.

Uniknya, seperti Danau Toba dan Pulau Samosir, Sumatera Utara, di tengah-tengah Danau Ranau juga ada pulau, yakni Pulau Marisa. Posisi danau terbesar kedua di Sumatera ini di perbatasan antara Provinsi Lampung (Kabupaten Lampung Barat) dan Sumatera Selatan (Ogan Komering Ulu).

8. Teluk Kiluan

destinasi wisata di lampung

Pulau Kelapa di Teluk Kiluan via SkyGrapher.id/Ricky Lauwando

Melihat lumba-lumba langsung di habitatnya, kamu pasti tersenyum-senyum sendiri. Mereka lincah banget dan suka ngajak manusia bermain. Mereka paling senang meloncat-loncat melawan ombak yang diciptakan perahu yang sedang melaju kencang.

Di Teluk Kiluan, Kabupaten Tanggamus, Lampung, kamu bisa lihat lumba-lumba. Buat ke sana, kamu mesti menempuh jalur darat sekitar 70-80 kilometer, sekitar 2-3 jam. Kalau ke Kiluan, jangan lupa juga main ke Pantai Gigi Hiu.

Gimana? Destinasi wisata di Lampung ternyata keren-keren, ‘kan?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 8 Destinasi Wisata di Lampung Ini Bakal Menyegarkan Kembali Pikiran Kamu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/destinasi-wisata-di-lampung/feed/ 1 6668