lombok Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/lombok/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 12 Mar 2025 09:25:33 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 lombok Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/lombok/ 32 32 135956295 Rinjani via Torean: Menakjubkan sekaligus Mendebarkan https://telusuri.id/rinjani-via-torean-menakjubkan-sekaligus-mendebarkan/ https://telusuri.id/rinjani-via-torean-menakjubkan-sekaligus-mendebarkan/#comments Wed, 12 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45931 Masih gelap subuh saat saya dan Hanif keluar tenda, menuju pinggiran danau Segara Anak. Ada sungai kecil di situ, kami menyeberanginya. Meniti bebatuan agar kaki tak tercebur ke air sedalam lutut. “Tungguin, Pak!” kata Hanif...

The post Rinjani via Torean: Menakjubkan sekaligus Mendebarkan appeared first on TelusuRI.

]]>
Masih gelap subuh saat saya dan Hanif keluar tenda, menuju pinggiran danau Segara Anak. Ada sungai kecil di situ, kami menyeberanginya. Meniti bebatuan agar kaki tak tercebur ke air sedalam lutut.

“Tungguin, Pak!” kata Hanif menahan langkah saya. Penerangan memang terbatas. Kami hanya mengandalkan satu headlamp di kepala saya. Jalan setapak kemudian menanjak, melipir pinggiran sungai, lantas naik ke sisian bukit. Setelah itu mengarah turun ke tanah lapang yang terdapat plang: Aik Kalak Hot Spring. Waktunya berendam di kolam air panas alami Gunung Rinjani. Saya dan Hanif ingin merelaksasi tubuh, sebelum nanti meneruskan perjalanan melintasi lembah Torean.

Rinjani via Torean: Menakjubkan dan Mendebarkan
Tenda pendaki di sekitar Segara Anak/Mochamad Rona Anggie

Para pendaki selesai berkemas pukul 09.30 WITA. Pagi itu kami turun gunung. Meninggalkan Gunung Barujari, berjalan membelakangi Segara Anak, kembali menyusuri jalan setapak yang sebelumnya dilalui untuk sampai ke danau dari Plawangan Sembalun.

Kalau tak ada pemandu dan porter, kami bakal kebingungan. Banyak jalur dan percabangan di seputaran Segara Anak. Mau ke mana, lewat mana, jangan sampai salah. Tujuan kami ke arah Torean. Seratus meter melewati area rerumputan berpinus, terlihat jalur terbelah. Lurus terus balik lagi ke Sembalun, serong ke kiri menuju Torean. Tidak ada penanda arah yang spesifik.

Rencana awal pendakian, kami akan menghabiskan empat hari tiga malam di Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), Nusa Tenggara Barat. Perjalanan turun via Torean merupakan etape ketiga. Sejak langkah pertama menapaki tubuh Rinjani, saya dan rekan lainnya antusias bertualang di kawasan yang semakin dikenal dunia setelah ditetapkan menjadi Unesco Global Geopark pada 2018.

Kami ingin melihat langsung apa yang selama ini ada di layar gawai dan menjadi bunga tidur. Hari-hari terlewati penuh kegembiraan. Bermalam di Plawangan Sembalun, menggapai puncak, berkemah di area danau, dan kini menyongsong jalan setapak yang oleh kreator media sosial dipromosikan sebagai lembah “Jurassic Park”. Sisian tebing Gunung Sangkareang yang menjulang di sebelah kiri jalur, perbukitan Gunung Rinjani di sebelah kanan, dan Sungai Kokok Putih di kedalaman jurang, menjadi bentang alam yang seolah pernah ditinggali T-Rex dan kawan-kawannya dahulu kala. Begitu kiranya imajinasi di kepala para penghuni dunia maya. 

  • Rinjani via Torean: Menakjubkan dan Mendebarkan
  • Rinjani via Torean: Menakjubkan dan Mendebarkan

Melipir Tebing, Turun ke Sungai

Jalur Torean sudah lama digunakan warga lokal untuk ke Segara Anak dan mengakses sumber air panas alami Gunung Rinjani. Mereka meyakini dengan berendam di sana, akan menghilangkan penyakit di tubuh. Laporan majalah Tempo: 100 Surga Indonesia edisi 18-24 November 2013 menyebutkan, lokasi air panas alami itu ada di dekat Gua Taman dan Susu. Reporter Nurdin Kalim bersama fotografer Tony Hartawan menjajal Torean pada pertengahan Oktober 2013, lalu mengisahkannya dalam tulisan berjudul “Pendakian Jalur Suci”.

Baru tahun 2021, TNGR membuka Torean sebagai pintu resmi menuju puncak Rinjani, selain Sembalun dan Senaru. Sementara saya bareng 20 rekan pendaki asal Maluku, Kalimantan, Makassar, Tangerang, Jakarta, dan Cirebon menikmati panorama alam Torean pada 3-4 Juni 2024. 

Menjauh sekitar 45 menit dari danau ke arah timur laut, kami melintasi dua kolam bundar dengan titik aik kalak (bahasa Sasak: air mendidih) yang memancar di tengahnya. Saya sempatkan membasuh tangan, dan memang terasa panas. Kami terus berjalan naik-turun menembus hutan pinus, hingga menemui turunan curam yang di pinggirannya sudah terpasang tali pengaman. Memudahkan pendaki agar tak jatuh merosot, untuk mencapai Sungai Kokok Putih. Matahari tepat di atas kepala, saat saya dan tiga pendaki terdepan menyeberangi sungai, lantas segera mencari tepian teduh di bawah naungan pepohonan pinus.

Air Sungai Kokok Putih bisa untuk wudu (kiri). Jembatan kayu penghubung sisi utara dan selatan lembah Torean/ Mochamad Rona Anggie

Saya melepas sepatu, tak sabar ingin menceburkan kaki ke sungai, kemudian berwudu. Airnya jernih di antara bebatuan yang menguning imbas belerang, memunculkan gradasi warna putih susu-kehijauan, jika dilihat dari ketinggian. Saya sempatkan salat berjemaah dengan Dio, lajang 24 tahun yang berdinas di Pelabuhan Ambon. Tak ada jadwal makan siang. Sambil menunggu semua anggota tim kumpul, kami ngemil kurma dan cokelat.

Perjalanan turun ini tidak langsung ke titik akhir Dusun Torean, yang terletak di Desa Loloan, Kecamatan Bayan, Lombok Utara. Kami akan bermalam dulu di Pos Kebun Jeruk. Durasinya lima jam dari Segara Anak. Kalau mau terus sampai dusun, total sembilan jam jalan kaki. Dari tempat kami beristirahat di pinggir sungai, masih tiga jam lagi ke Kebun Jeruk.

Menyeberang ke selatan, balik ke utara. Ini jalur yang ditempuh ketika melewati Sungai Kokok Putih. Kami melalui jembatan kayu ikonis yang sering nongol di media sosial pendaki Rinjani via Torean. Bukan musim hujan, jadi aliran sungai tidak deras. Sementara jembatan kayu itu belum diperbaiki. Masih teronggok, amblas ke air. Kami melompati bebatuan di sekitarnya.

Rinjani via Torean: Menakjubkan sekaligus Mendebarkan
Tangga besi memudahkan pendaki memanjat tebing/Mochamad Rona Anggie

Naik Tangga Besi Vertikal

Jalur menanjak mengadang di depan sana. Susah payah kami melipir pinggiran tebing, terkadang langkah tersangkut rimbun rerumputan. Sesekali kabut melintas di udara. Langit masih tampak biru. Sampai kemudian di ujung tanjakan, jalur terhenti di depan sebuah tebing. Pengelola TNGR sudah menyiapkan tangga besi vertikal setinggi tujuh meteran untuk dilewati pendaki. Ada satu, dua, hingga lima tangga! Menantang sekali. Usai ketinggian bertambah, sejauh mata memandang adalah perbukitan hijau dan tebing raksasa yang menawan. 

Menjelang sore, kabut makin sering seliweran. Tubuh mulai lelah, tapi semangat masih menyala hingga tiba di sebuah mata air yang keluar dari sela bebatuan, yang tersambung dengan sejengkal pipa. Beberapa teman mengisi ulang botol minum dari sumber air yang diberi nama Kahuripan itu. Bahkan rekan dari Kalimantan bertekad membawanya pulang ke rumah. “Biar terkenang terus pendakian ke Rinjani ini,” katanya.  

Jalan setapak lantas mengantarkan kami ke sisian tebing. Jalur lalu mengarah turun dengan sangat curam. Bersyukur sudah ada tali pengaman. Titik ini salah satu medan paling menguji adrenalin sepanjang jalur Torean. Para pendaki turun bergantian. Memegang erat tali pengaman. “Rapatkan tubuh ke tebing!” perintah pemandu.

Carrier di punggung jelas menambah beban ke belakang. Namun, kami harus bisa membuat badan condong ke depan. Hanya turun lima meteran, namun jantung berdebar kencang. Jurang menganga di bawahnya, sejauh seratus meter dengan dasar Sungai Kokok Putih. Ngeri!

Rinjani via Torean: Menakjubkan sekaligus Mendebarkan
Majalah Tempo edisi 18-24 November 2013 mengisahkan pendakian Rinjani via Torean (kiri) dan jalur yang sama saya lewati tahun 2024/Mochamad Rona Anggie

Lega bisa melewatinya. Namun, beda lagi dengan para porter. Walau memikul keranjang penuh muatan, mereka tampak santai. Beberapa bahkan tak pegangan tali. Cukup menguatkan pijakan sendal jepitnya di sisian tebing, menyeimbangkan pikulan di pundak, lantas hap, hap, hap—hanya tiga gerakan—melompat cepat bak kijang, menjejak kembali jalan setapak. 

Tak lama kemudian kami sampai di Pos Kebun Jeruk jelang pukul empat sore. Sebelum gelap datang, saya sempatkan mandi di sungai. Para porter membangun tenda dan bersiap memasak. Camp area ini bisa memuat sepuluh tenda dome. Tempatnya berupa tanah lapang dinaungi pepohonan hutan hujan tropis. “Dari sini sudah tidak lewat tebing atau perbukitan lagi. Full hutan,” kata pemandu kami Agung Kurniawan. Pemuda asal Malang itu bersama Popo dan Rahman Saleh Tutupoho (asli Pulau Seram), mendampingi perjalanan kami lintas Sembalun–Torean.

Kenapa jalur Torean langsung populer begitu gunting pita? Agung menjelaskan karena menawarkan pemandangan berbeda dengan rute Sembalun atau Senaru. Termasuk medan turunnya cenderung landai, tak bertemu banyak punggungan bukit. “(Torean) View-nya memang keren banget. Jalur turunnya juga, enggak ada menanjak terjal lagi semisal lewat Senaru atau Sembalun,” paparnya. 

Malamnya, api unggun berkobar menghangatkan suasana. Kopi susu terhidang. Kudapan yang belum dibuka selama pendakian, disantap bersama. Lhotse, panggilan Rahman, menghibur kami dengan logat beta-nya yang kental. Dia bercerita saat menemani pendaki wanita mendekati puncak Rinjani, eh, di tengah jalur berpasir mendadak ia kebelet buang air besar. Tidak bisa ditahan. “Akhirnya saya arahkan ke satu tepian, lalu saya menjauh. Jangan sampai melihatnya, kan itu medan terbuka,” katanya disambut gelak tawa. 

  • Rinjani via Torean: Menakjubkan sekaligus Mendebarkan
  • Rinjani via Torean: Menakjubkan sekaligus Mendebarkan

Melintasi Hutan Lebat

Besok paginya, jalur memasuki hutan berkanopi rapat dan lembap. Target kami dua jam ke depan adalah Birisan Nangka; pos pemeriksaan check in/out pendaki yang menempuh rute Torean.

Di tengah perjalanan, kami sampai di satu sudut terbuka dengan panorama Air Terjun Penimbungan. Airnya yang deras jatuh dari ketinggian seratus meter ke dasar lembah. Tebing berbatu diselimuti pepohonan hijau, menambah daya pikat untuk pendaki berswafoto di atas batu datar yang bersisian dengan jurang. “Hati-hati, jangan terlalu mundur!” teriak pemandu.

  • Rinjani via Torean: Menakjubkan sekaligus Mendebarkan
  • Rinjani via Torean: Menakjubkan sekaligus Mendebarkan
  • Rinjani via Torean: Menakjubkan sekaligus Mendebarkan

Sampai Birisan Nangka pukul 10.00. Kami menunggu proses check out daring beres, sambil menikmati suasana hutan dengan kicau burung yang semarak.  Kami melanjutkan perjalanan turun hingga melihat beruga (tempat tiduran santai) khas Lombok. Pertanda perkampungan sudah dekat. Di ujung tanjakan, sebuah warung menyajikan kelapa muda dan potongan semangka segar di atas meja. Beberapa teman mampir, saya yang mandi keringat terus melangkah dan tiba di pos ojek.

Saya sudah janjian dengan Dio, Yoke, dan Teguh untuk jalan kaki sampai dusun. Tinggal setengah jam lagi. Banyak yang meneruskan naik ojek—lebih cepat 20 menit—dengan membayar Rp50.000. Masjid berkubah keemasan dekat gerbang Dusun Torean menjadi titik finis petualangan di Gunung Rinjani. Senang rasanya bisa menapaki langsung rute Torean yang menakjubkan sekaligus mendebarkan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Rinjani via Torean: Menakjubkan sekaligus Mendebarkan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/rinjani-via-torean-menakjubkan-sekaligus-mendebarkan/feed/ 2 45931
Menikmati “Tujuh Bukit Kegembiraan” di Rinjani https://telusuri.id/menikmati-tujuh-bukit-kegembiraan-di-rinjani/ https://telusuri.id/menikmati-tujuh-bukit-kegembiraan-di-rinjani/#respond Mon, 16 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44591 Gunung Rinjani (3.726 mdpl) di Lombok tidak hanya menarik minat banyak pendaki nusantara, tetapi juga Asia hingga Eropa. Maka jangan heran kalau akan menemui banyak warga negara asing. Mereka didampingi pemandu dan porter lokal yang...

The post Menikmati “Tujuh Bukit Kegembiraan” di Rinjani appeared first on TelusuRI.

]]>
Gunung Rinjani (3.726 mdpl) di Lombok tidak hanya menarik minat banyak pendaki nusantara, tetapi juga Asia hingga Eropa. Maka jangan heran kalau akan menemui banyak warga negara asing. Mereka didampingi pemandu dan porter lokal yang mengawal sampai puncak.

Ada tiga pintu masuk utama untuk bisa menggapai puncak Rinjani: Sembalun, Senaru, dan Torean. Jalur Sembalun paling menjadi rebutan. Kuota tiket daringnya mudah habis. Apalagi dibarengi turun via Torean yang sedang populer. Istilah “perang tiket” berlaku untuk pilihan lintas jalur Sembalun–Torean. Sebab, yang pesan mendadak dijamin gigit jari. Kecuali, kalau reservasi tiket sebulan sampai tiga pekan sebelum hari pendakian. Atau naik dari Senaru, turun Sembalun. Ini punya peluang besar, walau baru mengakses layanan tiket digital sepekan sebelum perjalanan ke Lombok. 

Jalur Sembalun laris karena waktu tempuh ke puncak lebih cepat. Bahkan bisa dua hari satu malam saja, dengan titik camp di Plawangan Sembalun. Tanpa perlu mampir ke danau Segara Anak, sehingga langsung turun Sembalun lagi.

Berbeda dengan Senaru atau Torean, yang butuh waktu empat hari tiga malam. Kita mesti susah payah mencapai Plawangan Senaru untuk bermalam. Besok lanjut ke Segara Anak, nginap lagi. Esoknya, masih “bersakit-sakit” menuju Plawangan Sembalun dan buka tenda kembali. Baru dini hari menjajal trek berpasir, mengarungi “sirkuit” Letter E yang kesohor. Jika lulus ujian fisik dan mental di tanjakan pamungkas itu, puncak Rinjani bakal tersenyum menyambut. 

Menikmati “Tujuh Bukit Kegembiraan” di Rinjani
Suasana registrasi di kantor BTNGR Resor Sembalun/Mochamad Rona Anggie

Tak Ingin Menyesal di Tujuh Bukit Penyesalan

Ketika mendaki hari pertama via Sembalun, ada satu trek terkenal: Tujuh Bukit Penyesalan. Jalur menanjak itu terbentang selepas Pos 3 menuju Plawangan Sembalun. Benarkah pendaki bakal menyesal ketika menapakinya? Saya sendiri, yang mendaki 1–4 Juni 2024 lalu, enggan latah menyebutnya “Penyesalan”. Sungguh, saya mengunjungi Rinjani untuk bersenang-senang! 

Perjalanan darat 27 jam dari pesisir utara Jawa Barat via Bali–Lombok saya tempuh dengan riang kepala, gembira mata. Tak ada mabuk laut dan rasa takut. Saya tidak mau datang jauh-jauh untuk kemudian menyesal di Rinjani. Saya ingin menyongsong “Tujuh Bukit Kegembiraan” dengan sukacita. 

Hari Minggu (2/6/2024), selesai cek kesehatan di Puskesmas Sembalun dan mengurus registrasi di kantor Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR), para pendaki naik mobil bak terbuka menuju gerbang Kandang Sapi. Dinamai demikian karena di area padang rumput itu banyak sapi berkeliaran. Kotorannya berserakan, sehingga mesti pandai-pandai melangkah. Jangan sampai terkena “ranjau” hijau-kehitaman.   

Menikmati “Tujuh Bukit Kegembiraan” di Rinjani
Gerbang pendakian Kandang Sapi yang panas dan berdebu/Mochamad Rona Anggie

Petualangan dari Kandang Sapi ke Pos 1 dan Pos 2 melintasi sabana mahaluas. Hijau membentang seakan tak berujung. Pemandangan 360 derajat, ya, hanya padang rumput saja. Sinar matahari panas menyengat kulit. Pakaian banjir keringat. Air mineral, topi rimba, dan kacamata hitam adalah sahabat perjalanan terbaik di sini.

Tak sedikit pendaki naik ojek menuju Pos 2, walau yang berjalan kaki juga banyak. Naik ojek hanya 20 menit dengan ongkos Rp200 ribu per orang. Sementara jalan perlu waktu tiga jam sampai Pos 2. Tak mudah memang, tetapi pesona sabana Sembalun membuat rasa lelah segera sirna. Berganti harapan, meniti pos demi pos. Ah, Rinjani, setiap jengkalmu adalah keindahan.

Di Pos 2, kita bisa isi ulang perbekalan air. Petugas juga siaga menagih bukti check in pendaki dan meminta surat kesehatan resmi dari puskesmas. Pengunjung yang tidak punya tiket online disuruh balik kanan, dilarang melanjutkan pendakian. Ketat banget.

  • Menikmati “Tujuh Bukit Kegembiraan” di Rinjani
  • Menikmati “Tujuh Bukit Kegembiraan” di Rinjani

Pukul 10.30 WITA, kami bergerak menuju Pos 3. Jalan setapak masih membelah area padang rumput. Di depannya terbentang bukit-bukit. Jalur belum begitu terjal. Cerah langit mulai digelayuti mendung. Mudah-mudahan jangan hujan, batin saya. Jurang-jurang besar menganga di sebelah kanan jalur. Mulas melihatnya. Pendaki mesti fokus melangkah.

“Itu jalur sebelum gempa. Sudah tak bisa dilewati,” kata seorang porter menunjuk patahan jalan setapak yang amblas ke jurang. “Sekarang kita melipir turun ke lembah. Naik dari punggungan lain.”

Pada 2018, Lombok diguncang gempa bumi. Jalur pendakian Gunung Rinjani terdampak. Beberapa papan penunjuk arah yang baru terpasang di rute menuju Pos 3. Ini penting, agar pendaki tidak salah jalan dan tersasar ke jalur lama, atau menemui punggungan yang mudah longsor.   

Kami sampai di Pos 3 pukul 11.45 WITA. Saya dan rekan lainnya istirahat sejenak, meluruskan kaki dan menikmati udara sejuk pegunungan. Kami santap siang di sini dengan menu nasi ayam goreng, bekal dari Sembalun. 

Jurang-jurang di sekitar jalur antara Pos 2 ke Pos 3 Sembalun (kiri). Istirahat sekaligus makan siang di Pos 3 Sembalun/Mochamad Rona Anggie

Perjalanan dari Kandang Sapi ke Pos 1 dan 2 bisa disebut etape awal pendakian. Setelahnya, pendaki masuk etape ketiga dan keempat. Dari Pos 3, kita dapat melihat garis tanjakan yang terapit pinus-pinus dan diselingi batu besar. Bikin ciut bulu kaki. Namun, otot paha menolak tunduk. Otot betis enggan takluk. Tak ada kalimat: aku gak bisa, Yura

Itu dia “Tujuh Bukit Kegembiraan”. Saya yang berada dalam rombongan 21 pendaki harap-harap cemas. Kami saling menguatkan tekad, merapal doa-doa. Saya ingat pesan istri di rumah, agar pulang dengan selamat. Sebab, tagihan listrik dan air menanti.

Medan pendakian dari Pos 3 ke Pos 4, sampai Plawangan Sembalun, merupakan arena “Tujuh Bukit Kegembiraan”. Tidak ada tanda spesifik puncak setiap ujung bukit. Juga tidak ada turun bukit, lantas naik lagi, seperti di Gunung Sindoro, Sumbing, atau Semeru. 

Kami malah melipir sungai-sungai kering, melewati lembah berbatu dikelilingi cemara. Terus berjalan menanjak dan menanjak. Sampai kira-kira, setelah rehat kesekian kali, sambil meneguk air dalam veples, sanubari berucap, “Kok, gak kelar-kelar tanjakannya?” Nah, jangan sampai kita terkenang kasur di rumah, lantas menyesal dan menyebutnya sebagai Tujuh Bukit Penyesalan.

Menikmati “Tujuh Bukit Kegembiraan” di Rinjani
Para pendaki berjuang menapaki “Tujuh Bukit Kegembiraan”/Mochamad Rona Anggie

Hiburan dari Porter

Sungguh, saya merasa senang kaki dan suka hati ketika menapaki perbukitan yang bertumpuk-tumpuk itu. Berbagi ceria bersama pendaki lainnya, bertukar tawa bareng turis mancanegara. Sambil menghindarkan pandangan sebisa mungkin, dari udel-udel Eropa yang tak kenal masuk angin.

Kehadiran porter menjadi pemandangan unik tersendiri. Mereka adalah warga lokal Sembalun yang dibayar untuk membawa perbekalan pendaki. Terutama pelancong luar negeri. Tak usah kaget kalau naik Rinjani, jumlah pendaki dan porter sama banyak. Bedanya, pendaki pakai sepatu gunung, porter bersandal jepit saja. Tapi jangan salah, kaki mereka amat lincah melibas tiap belokan menanjak.

Sepatu gunung kami, keren punya. Sandal jepit mereka, sakti gila. Seolah diberi ajian peringan tubuh. Mereka santai memikul beban dua keranjang. Pundak laksana tugu triangulasi. Napas bak banteng dalam arena, menerjang jalur berdebu. Ah, Rinjani. Kami serupa motor bebek dibanding porter-porter itu. Mereka motor trail. 

Satu momen di bukit terakhir yang curam, sebelum naik tangga memasuki hutan Plawangan, seorang porter menyetel lagu di ponsel yang tersambung dengan pelantang portabel. Suaranya keras terdengar.

Mengudaralah Bohemian Rhapsody (Queen). Pas lirik “Mama…”, spontan pendaki bule dan domestik menyanyi bersama. Kemudian semua tergelak-gelak, sambil berusaha mengatur napas. Menguatkan pijakan agar tak jatuh. Kami berusaha menghibur diri di tanjakan terakhir “Tujuh Bukit Kegembiraan”. 

“Sebentar lagi,” ucap seorang porter menyemangati. “Habis tangga, baru Plawangan.”

Nyatanya selepas tangga, napas kami yang tekor. Saya rebahkan tas carrier lalu selonjoran. Muka bule-bule memerah. Sedikit lagi ujung tanjakan dicapai, eh, masih melipir ke kiri 20-an meter. Baru ada papan penanda: Plawangan Sembalun.

Menikmati “Tujuh Bukit Kegembiraan” di Rinjani
Tangga besi menjelang Plawangan Sembalun, yang juga mengakhiri “Tujuh Bukit Kegembiraan”/Mochamad Rona Anggie

Segara Anak yang Menakjubkan

Akhirnya sampai di Plawangan. Rintik hujan datang, lantas deras. Saya pun terkenang sajak Sapardi: 

Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu.

Gairah membuncah, semangat menyala. Tuntas sudah menapaki “Tujuh Bukit Kegembiraan”. Kini bersiap dengan tantangan dan tempaan berikutnya.   

“Kita lanjut ke Plawangan dua,” kata pemandu.

Sudah pukul empat sore. Baru ada tujuh dari 21 pendaki. Kami bergegas demi sampai tenda. Berabe kalau basah kuyup.

Dekat barisan pinus, tenda berjejer. Baru rebahan sesaat, hujan reda. Langit berangsur terang. Kabut menghilang, mendung pulang. Perlahan, bak mandi raksasa terlihat. Itulah Segara Anak. Biru memukau. Ini bukan lukisan, nyata depan mata. Semesta pujian hanya untuk Sang Pencipta, Allah rabbul ’alamin.

Menikmati “Tujuh Bukit Kegembiraan” di Rinjani
Tenda-tenda di Plawangan Sembalun berjejer menghadap pemandangan Segara Anak/Mochamad Rona Anggie

Jelang setengah enam sore, gelap masih terkena macet. Mentari baru ancang-ancang lepas dinas. Plawangan Sembalun jadi kado terindah bagi para lulusan terbaik “sekolah alam” Tujuh Bukit Kegembiraan.

Semua tenda terpancang menghadap Segara Anak. Para pendaki berlomba merekam suasana. Tebing-tebing kaldera di sisi danau begitu gagah ditimpa temaram cahaya senja. 

Di sisi utara, punggungan besar mengadang. Jalur setapak Plawangan berujung di sana. Dini hari nanti, para pendaki akan mencumbunya demi mencapai batas vegetasi. Setelah itu, trek sepenuhnya berpasir. Panjang dan menguras tenaga. Tak ada kata menyesal, apalagi menyerah. Mesti dijalani, hingga bertemu “ujian akhir” yang bakal membuat dengkul pendaki Rinjani bergetar: Letter E.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menikmati “Tujuh Bukit Kegembiraan” di Rinjani appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menikmati-tujuh-bukit-kegembiraan-di-rinjani/feed/ 0 44591
22 Jam Berlayar Menuju Lembar https://telusuri.id/22-jam-berlayar-menuju-lembar/ https://telusuri.id/22-jam-berlayar-menuju-lembar/#comments Mon, 28 Aug 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39674 Kami menghabiskan banyak waktu menunggu kedatangan kapal di Tanjung Perak, Surabaya. Sejak tiba pukul tujuh malam, pihak pelabuhan mengabari bahwa perkiraan kapal akan sandar pukul 22.00. Namun, hingga tepat tengah malam kami masih belum beranjak...

The post 22 Jam Berlayar Menuju Lembar appeared first on TelusuRI.

]]>
Kami menghabiskan banyak waktu menunggu kedatangan kapal di Tanjung Perak, Surabaya. Sejak tiba pukul tujuh malam, pihak pelabuhan mengabari bahwa perkiraan kapal akan sandar pukul 22.00. Namun, hingga tepat tengah malam kami masih belum beranjak dari ruang tunggu.

Sampai akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu tiba. “Yuk, teman-teman, kapalnya sudah datang,” seru Kak Izul seraya mengumpulkan kami menuju lokasi pengecekan tiket dan barang bawaan. 

Untuk pelayaran sekali jalan dari Tanjung Perak menuju Lembar kala itu aku mengeluarkan biaya 160 ribu rupiah. Rinciannya yaitu tiket Kapal DLN Batu Layar seharga Rp130.000 dengan fasilitas tempat tidur (bunk bed), toilet, musala, dan listrik gratis selama di kapal. Sisanya membayar dua kupon makan seharga Rp15.000 per kupon. Meski pembelian kupon juga dilayani setelah kapal berlayar, tetapi penumpang akan dikenai harga lebih mahal, yaitu Rp20.000/kupon. Sebelum hari keberangkatan, Kak Izul telah membantu kami mengurus pemesanan tiket dan kupon makan secara daring melalui website. Informasi jadwal dan pemesanan tiket kapal DLN Batu Layar juga tersedia di kanal resmi Instagram @damai_lautan_nusantara

Pukul dua dini hari, tepat tanggal 6 Oktober 2022 kami akhirnya meninggalkan Surabaya. Aku tidak sendiri, melainkan ditemani keluarga baruku: Lampak Mengabdi. Setelah beberapa kali bercakap via Google Meet, akhirnya kami memulai perjalanan panjang menuju Gumantar, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Banyak hal yang menjadi serba pertama bagiku dalam perjalanan ini.

Setelah bergelut dengan rasa kantuk dan gatal akibat serangga di kursi ruang tunggu pelabuhan, rombongan kami menemukan kasur untuk istirahat selama 22 jam ke depan. Aku segera menelan obat alergi dan berganti kostum yang lebih santai untuk tidur. Tidak banyak yang aku lihat kala itu. Hanya takjub, ternyata toilet di kapal yang kami tumpangi lebih bersih daripada toilet di ruang tunggu tadi malam. 

Beradaptasi dengan Ombak dan Angin

Baru sempat memejamkan mata, aku kembali bangun untuk salat Subuh. Karena tidak tahu letak musala, aku pilih kembali ke kasur dan beribadah sambil duduk. Paginya setelah berjalan keluar dan mengeksplorasi beberapa bagian DLN Batu Layar, akhirnya aku menemukan musala di bagian paling atas kapal. Aku jadi membayangkan jika tadi salat di sana, maka aku harus melintasi tangga kecil dengan angin laut yang berhembus kencang kala matahari masih terlelap. Cukup seram juga untuk badanku yang kerempeng ini.

Pukul sembilan pagi kulihat aplikasi peta di gawai. Kami masih berada di sisi utara pulau Madura. Kapal terus melaju ke arah timur membelah air laut yang tenang. Ombak yang berdebur di sekelilingnya tidak terlalu besar dan angin bertiup hangat. Pagi itu aku masih berkabar dengan keluarga tentang situasi kapal. Bahkan aku sempat membalas pesan dari dosen pembimbing untuk mengurus jadwal seminar proposal. Namun, selang beberapa jam ketika armada telah memasuki Laut Bali, sinyal ponsel sudah tidak lagi muncul. Pun ombak yang tadinya tenang berubah menjadi besar dan angin berembus cukup kencang.

Setelah selesai briefing untuk kegiatan kami di lokasi pengabdian esok hari, seluruh rombongan kembali beristirahat. Saat keluar dari ruang tengah tempat rombonganku berkumpul, aku cukup kaget karena ombak laut menggoyangkan tubuhku begitu hebat. Badanku menjadi tidak stabil dan harus menggenggam dinding kapal untuk tetap berjalan pindah ke ruang istirahat. Tak sengaja ketika itu aku menoleh ke arah lautan lepas dengan ombak naik turun sangat tinggi. Seketika perutku terasa mual dan aku pun menyadari, oh, jadi begini rasanya mabuk laut. Langkahku menjadi cepat, aku kembali ke kasur dan segera meneguk air teh untuk meredam mualku. 

Sore harinya sebelum matahari terbenam aku ingat belum melaksanakan salat. Karena situasi di luar sudah cukup terkendali, aku menuju ke atas kapal untuk sholat di musala. Sekaligus berniat menghabiskan waktu di kantin bersama kawan-kawan yang lain. Sayangnya ketika tiba di musala dan hendak salat, kapal terasa berguncang kembali hingga tubuhku tidak bisa berdiri tegak. Posisi duduk pun bisa menggeser tubuhku dengan sendirinya. Dengan terpaksa akhirnya aku kembali ke bawah dan memutuskan salat di kasur lagi. Walau harus menanggung risiko naik turun tangga, tetapi rasanya lebih khusyuk jika salat di atas kasur. Daripada berguncang di musala dengan lantai dari karpet yang licin.

Selesai salat kawanku mengajak kembali ke kantin yang letaknya satu lantai dengan musala. Ya, memang harus naik lagi. Untung saja anginnya sudah tidak sekencang tadi siang. Memang ombaknya saja yang belum bersahabat.

Di sana kami berbincang cukup intens dengan kawan-kawan volunteer lainnya sambil menyantap mi instan dan bakso. Topik ringan hingga berat menjadi obrolan panjang kami sore itu. Kawan yang sudah berkali-kali melakukan perjalanan panjang mengabdi di luar pulau membagikan pengalaman dan pengetahuannya kepada kami yang masih anak baru.

Memaknai Perjalanan Panjang

“Lampak sendiri berasal dari bahasa Sasak yang artinya jalan, dan sederhananya Lampak Mengabdi punya makna jalan mengabdi,” kata Kak Toni, sang pendiri Lampak Mengabdi. Kegiatan Lampak Mengabdi batch keempat atau disingkat LMB4 adalah program yang berada di bawah naungan Yayasan Aksi Sahabat Nusantara. Fokus utamanya ingin mengembangkan potensi sumber daya alam dan UMKM lokal di lokasi pengabdian berlangsung.

LMB kali ini akan dilaksanakan di Desa Gumantar, Kabupaten Lombok Utara selama kurang lebih 10 hari. Menurut Kak Toni, daya tarik program LMB adalah kegiatan pengabdiannya selalu tersaji bersamaan dengan kegiatan adat desa setempat, seperti meriahnya rangkaian maulid adat yang bertepatan dengan LMB 1, 2, dan 4. Serta event spesial seperti MotoGP di Mandalika yang bertepatan dengan pelaksanaan LMB 3.

22 Jam Berlayar Menuju Lembar
Kantin di dek atas kapal/Anggardha Paramita

Berbagai dorongan dan motivasi datang untuk melakukan perjalanan ini. Kalau kata Kak Dhimas, si anak sastra yang memimpin divisi ekonomi kreatif, perjalanan ini bermakna ibadah baginya. Seluruh ilmu dan pengalaman hidupnya ingin ia implementasikan dalam pembangunan pariwisata di daerah pengabdian yang dituju. Seingatku perjalanan ini adalah kali ketiganya ambil peran di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar).

Beda lagi dengan Sherita, anak bisnis yang nyangkut ke divisi kesehatan. Pengabdian ini jadi tugas besar baginya karena pihak kampus tempat ia menuntut ilmu mewajibkan mahasiswanya ambil peran dalam pengabdian masyarakat. Meski demikian aku ingat betul ia menjalankan program divisi dengan maksimal, mengimbangi kami yang punya latar belakang pendidikan kesehatan.

Lalu bagaimana denganku? Aku jadi menanyakan makna perjalanan ini kepada diri sendiri. Sejak pertama pengumuman lolos volunteer ini kuterima, tujuanku masih sebatas ingin berbagi ilmu dan traveling ke daerah yang jauh atau mustahil untuk kudatangi sendiri tanpa pendampingan orang dewasa.

Namun, setelah beberapa waktu kegiatan berjalan perspektif baru mulai muncul. Ternyata dibanding memberi, di sana aku justru lebih banyak menerima. Bagiku perjalanan ini memang tempatku melihat makna hidup yang lain. Jawaban atas pertanyaan yang muncul di malam hari sewaktu mau tidur atau ketika adu nasib dengan teman di tongkrongan.

22 Jam Berlayar Menuju Lembar
Pemandangan sore di tengah lautan/Anggardha Paramita

Lembar, Pemungkas Perjalanan

Pemandangan sewaktu Magrib dari atas kapal membuat mulutku menganga seraya berucap, wow! Di sisi selatan kami bisa melihat Pulau Bali dan Gunung Agung yang indah. Langit mulai membiru dan matahari perlahan berganti posisi dengan bulan. Saat itu ombak mulai tenang seperti awal kapal mulai berlayar dari Surabaya.

Lagi-lagi ini adalah pengalamanku pertama kali. Menyaksikan matahari terbenam di laut lepas dengan suasana sunyi dan tenteram jauh dari keramaian kota.

Selepas salat seluruh rombongan berpisah. Kami para wanita turun ke ruang istirahat. Menghabiskan waktu dengan bermain Uno, ngemil, dan diselingi pembahasan program kerja untuk keesokan harinya. Adapun para pria juga menyibukkan diri, mulai dari sibuk menyeduh kopi hingga ngobrol entah berapa lama di dek atas.

Kapal DLN Batu Layar yang kami tumpangi tiba di Lembar sekitar pukul 01.30 WITA. Perjalanan laut kami pun berakhir hari itu. Sepasang kaki sibuk menuruni tangga berjalan keluar kapal. Tangan dan pundak kembali menopang tas carrier dan membawa muatan untuk serangkaian program kerja esok hari.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 22 Jam Berlayar Menuju Lembar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/22-jam-berlayar-menuju-lembar/feed/ 4 39674
Ambon Jawa dan Rumah Hobbit di Tengah Pulau https://telusuri.id/ambon-jawa-dan-rumah-hobbit-di-tengah-pulau/ https://telusuri.id/ambon-jawa-dan-rumah-hobbit-di-tengah-pulau/#respond Wed, 25 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36939 Beberapa bulan lalu secara impulsif saya melakukan perjalanan ke Lombok. Tak tahu pasti mau ke destinasi apa dan melakukan apa. Saya hanya kontak kawan di sana dan membebaskan dia, baiknya saya pergi ke mana. Pada...

The post Ambon Jawa dan Rumah Hobbit di Tengah Pulau appeared first on TelusuRI.

]]>
Beberapa bulan lalu secara impulsif saya melakukan perjalanan ke Lombok. Tak tahu pasti mau ke destinasi apa dan melakukan apa. Saya hanya kontak kawan di sana dan membebaskan dia, baiknya saya pergi ke mana. Pada akhirnya kami memilih untuk menjelajah ke berbagai gili di Lombok Timur. Pertimbangannya agar dekat dengan lokasi menginap saya di sebuah kos teman yang sedang mondok.

Maka, perjalanan menyusuri berbagai gili dengan perahu jadi juga. Saat itu saya ditemani 3 kawan lama dan seorang kawan baru yang sekaligus sembari memandu perjalanan. Kawan baru inilah yang berkoordinasi dengan si empunya perahu dan warga setempat. Sisanya kami hanya tinggal menikmati perjalanan sambil bercerita ngalor ngidul tentang kehidupan yang semakin tak karuan

Perjalanan kali ini, kami akan menyusuri tiga gili. Satu di antaranya ialah Gili Bidara. Kami melabuhkan kapal di tepian dan segera beranjak ke sebuah saung di pinggir pantai. Membuka camilan sekaligus kembali melanjutkan cerita yang dipenuhi pengalaman spiritual sekaligus romansa. Tak lupa, di antara celetukan ini dan itu, kami mengabadikan diri sambil main air dan pasir putih meski matahari benar-benar terasa sejengkal di atas kepala.

Setelah puas menertawakan berbagai cerita aneh di saung pinggir pantai, seorang kawan asli Lombok mengajak saya dan teman-teman lain—yang memiliki benang nasib sama yakni tidak jadi menikah—untuk melanjutkan perjalanan. Pilihannya ada dua: mengelilingi Pulau Bidara melalui susur tepi pantai atau melalui tengah pulau membelah perkebunan warga. Kami pada akhirnya memilih opsi dua dengan alasan tak jauh-jauh dari pengalaman menyantap ambon jawa dengan didahului melihat perkebunan—di tengah pulau kecil daerah Lombok—mungkin lebih langka dan menarik ketimbang “sekadar” melihat ombak yang berdesakan ke daratan.

Berjalanlah kami ke tengah pulau yang lautnya jamak dijadikan tempat snorkeling. Membelah perkebunan ini itu, termasuk ambon jawa atau ubi jalar itu sendiri. Sepanjang menapaki tengah pulau, kami tak ubahnya bercanda memparodikan acara penjelajahan televisi. Menertawakan berbagai hal dan menikmati perjalanan yang absurd dan “sangat khas wisatawan” ini.

pondok nelayan
Pondok di pinggir laut kepunyaan nelayan setempat/Dewi Rachmanita Syam

Hingga tibalah kami di area persinggahan para nelayan lengkap dengan rumah-rumah bak untuk hobbit dalam film Lord of The Ring versi pinggir laut. Dari kejauhan, bangunannya pendek dengan perkiraan tingginya tidak sampai 1.5 meter dan samar; apakah itu tempat tinggal, singgah sementara, tempat menyimpan peralatan melaut, atau hal lain. Bangunannya sederhana dengan atap dan dinding dari dedaunan khas pantai. Bentuknya pun bisa menyerupai gambaran rumah kebanyakan anak sewaktu kecil, bedanya tidak ada sawah maupun jalan menuju pegunungan. Pintunya pun sederhana, jendela pun bisa dihitung jari, bahkan beberapa tak memilikinya. Beberapa rumah berdekatan dengan ukuran yang berbeda.

Rumah-rumah sederhana itu biasa nelayan pakai untuk singgah atau menetap sementara demi efisiensi dan efektifitas waktu. Terlebih bila angin sedang kurang bersahabat. Mereka pun mengusahakan pemukiman layak dengan segala keterbatasan, termasuk untuk masak maupun berkumpul.

Di antara rumah-rumah sederhana tanpa panggung, terdapat semacam bale yang di dalamnya telah tersaji sepiring ambon jawa rebus hasil masakan mamak setempat. Tentu, ini saatnya kami menyantap si ambon jawa yang perawakan aslinya berkulit ungu dan berdaging kuning.

ambon jawa
Ambon Jawa yang rasanya seperti ubi/Dewi Rachmanita Syiam

Rasanya, ya seperti ubi pada umumnya, walau beberapa referensi menyebut padanan arti yang tepat untuk ambon jawa ialah singkong. Namun, dari segi bentuk maupun daging, panganan yang tersaji di hadapan saya saat itu lebih cocok dikategorikan sebagai ubi, walau tak manis-manis amat.

Kepulan uap panas muncul dari ambon jawa yang baru matang tersaji di piring. Potongan demi potongan kami santap dengan lahap. Menikmati perjalanan dengan tempo lebih rendah memang begitu nikmat, terlebih panganan ini kami dapat “fresh from the oven.”

“Panen setiap tiga bulan sekali tanam saja di sana,” kata salah seorang nelayan yang tengah membersihkan ambon jawa setelah dipanen.

Di sudut lain, seorang bapak dengan buff di kepala sibuk membersihkan ambon jawa. Sosok lain pun datang menambah pasokannya. Satu persatu ambon jawa dibersihkan dari daun dan akar, mereka mengkondisikannya untuk siap dijual ke masyarakat maupun konsumsi sendiri.

ambon jawa
Nelayan yang memanen ambon jawa/Dewi Rachmanita Syam

Umumnya di sini, ambon jawa memang untuk konsumsi pribadi, tapi tak menutup kemungkinan banyak yang menjualnya untuk warga setempat atau wisatawan. Saya pun kebagian dapat satu plastik berisi ambon jawa sebagai buah tangan yang siap diolah di Jakarta. Sayangnya, sesampainya di Jakarta tidak semua ambon jawa bisa saya nikmati. Karena perjalanan yang masih mampir ke beberapa tempat, beberapa ambon jawa terpaksa busuk di tengah perjalanan pulang dan saya harus membuangnya, meski sebenarnya merasa terpaksa.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ambon Jawa dan Rumah Hobbit di Tengah Pulau appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ambon-jawa-dan-rumah-hobbit-di-tengah-pulau/feed/ 0 36939
Bernasib Malang di Bukit Malang https://telusuri.id/bernasib-malang-di-bukit-malang/ https://telusuri.id/bernasib-malang-di-bukit-malang/#respond Wed, 28 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36753 Setelah merencanakan kurang lebih dua minggu, saya dan seorang sahabat karib saya memutuskan untuk melakukan pendakian ke salah satu bukit yang ada di Lombok Timur, Bukit Malang namanya. Pendakian kali ini sedikit berbeda dari pendakian-pendakian...

The post Bernasib Malang di Bukit Malang appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah merencanakan kurang lebih dua minggu, saya dan seorang sahabat karib saya memutuskan untuk melakukan pendakian ke salah satu bukit yang ada di Lombok Timur, Bukit Malang namanya. Pendakian kali ini sedikit berbeda dari pendakian-pendakian sebelumnya, sebab kali ini kami hanya berangkat berdua (duo hiking) saja.

Ini bukan kali pertama saya dan sahabat saya—Ridho—mendaki. Kami masing-masing pernah ke Gunung Rinjani, meskipun pendakian ke sana tidak kami lakukan bersama. Nah, tujuan pendakian kali ini tentunya sebuah tempat baru. Perjalanan “konyol” ini pun kami mulai.

Sebelum berangkat, kami mencoba mencari informasi terkait estimasi perjalanan dalam pendakian. Setelah merancang itinerary, kami berangkat tepat pukul 15.00 WITA menuju pintu pendakian. Kurang lebih 30 menit perjalanan, kami tiba di area parkir pendakian Bukit Malang.

Bukit Malang memiliki dua jalur pendakian yakni Sapit dan Tombong Rebu. Namun kali ini, kami memilih pendakian melalui jalur Sapit.

Setelah istirahat beberapa saat, kami kemudian melakukan registrasi dan menerima arahan dari para pengelola terkait apa saja yang tidak boleh dilakukan, dan tentu peringatan untuk membawa kembali turun sampah dari atas.

Perjalan kami mulai.

“Selamat Datang di Bukit Malang” menyambut mula perjalanan ini.

Jalan yang cukup landai sempat menipu kami. Memang benar, di dalam pendakian itu kita tidak bisa menebak apapun, baik jalan maupun hal-hal lainnya. Kami terus menyusuri sabana yang ditumbuhi ilalang, sesekali nampak warga yang sedang bertani karena memang jalan setapak yang kami lalui ini sepertinya jalan untuk warga berangkat ke sawah dan kebun.

Melewati sabana yang cukup luas dan panjang akhirnya kami sampai di pintu rimba, artinya perjalanan kami akan segera memasuki hutan. Menurut informasi yang kami dapatkan, estimasi perjalanan yang akan kami tempuh kurang lebih tiga jam. 

“Jangan-jangan bukitnya ada di balik bukit yang itu?” ucap Ridho secara tiba-tiba setelah melihat susunan bukit di depannya. Saya hanya diam saja sambil memikirkan ucapannya, jangan-jangan ini benar?

Saya tidak mau sibuk memikirkan kalimat tersebut, kami terus melanjutkan perjalanan menuju hutan dengan vegetasi yang lebat. Hawa dingin mulai menyelimuti, sesekali kami bertemu beberapa pendaki lain. Setelah berjalan cukup lama, kami memutuskan untuk berhenti minum. 

Kami terus menerobos lebatnya hutan. Jalan yang kami lalui mulai sedikit menanjak terkadang landai, terus seperti itu. Akhirnya, kami sampai di persimpangan jalan yang mempertemukan jalur yang kami lalui dan jalur satunya.

Menurut penjelasan dari pengelola, terdapat dua mata air dan letaknya berada di Pos 1 dan Pos 2, namun masih belum ada tanda tanda terlihat Pos 1 sebagai tempat mata air pertama. Setelah berjalan hampir dua jam akhirnya kami sampai di mata air pertama. Rupanya, mata air pertama ini adalah sungai, namun karena kami datang disaat musim kemarau sungai tersebut kering, hanya ada beberapa genangan saja. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan mengambil air di Pos 2.

Satu jam menjelajahi rimba, melewati jalan yang menanjak, lalu landai dan menanjak lagi, akhirnya sampai di Pos 2. Tidak ada penanda khusus di Pos 2, hanya tulisan yang terpasang di atas pohon sebagai penanda.

Di sini ramai pendaki lain sedang menunggu kawan-kawannya yang mengambil air, kami memutuskan langsung mengambil air dan memilih istirahat di sana.

Awal Mula Bernasib Malang

Setelah menunggu antrian cukup lama, kami mendapat giliran untuk mengambil air. Beberapa botol kami isi sebagai perbekalan selama di atas nanti, sebab inilah mata air terakhir. Setelah mengisi semua botol, kami packing ulang.

Begitu beres semua, barulah kami melanjutkan perjalanan. Kawan saya, Ridho sempat salah dalam mengambil langkah yang membuat kakinya sedikit terkilir, yang akhirnya mengganggu cara dia berjalan dan melambatkan tempo perjalanan.

Jam di tangan menunjukan pukul 18.00 WITA sementara kami belum sampai di Pos 3. Petang perlahan menyapa, hawa dingin menyelimuti tubuh kami, dan kabut mulai menemani setiap langkah. Perlahan, kami terus menyusuri jalur pendakian sementara kawan saya, terus menahan rasa sakitnya. Hingga puncaknya saat kami hampir sampai di Pos 3, dia sudah tidak mampu melanjutkan perjalanan dan kami memutuskan beristirahat di dekat Pos 3.

Saya kemudian menawarkan, apakah kita akan bangun tenda di sini saja, sambil menunjuk tahan yang lapang cukup untuk membangun tenda, namun Ridho menolak. Sambil menunggu  ia  mengembalikan tenaganya, beberapa rombongan pendaki yang lain tiba dan beristirahat tepat di samping kami, ada pendaki perempuan yang nampak kesal kepada kawannya karena terus dibohongi.

“Kalau masih jauh, jangan bilang lima menit lagi sampai,” ucapnya dengan nada kesal sambil menangis. 

Sudah menjadi rahasia umum dalam pendakian, kalimat-kalimat tadi lazim berkumandang, meskipun puncak masih jauh.

Tenaga sudah kembali pulih, meskipun kaki yang terkilir tak kunjung membaik. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan langkah yang terselimuti rasa nyeri. Perlahan saja, kami berjalan. Sesekali bahkan berhenti karena tidak mampu menahan rasa sakit yang terus menyerang. Air mata Ridho sesekali juga menetes karena rasa sakit pada kakinya tak terbendung.

Area Camp Bukit Malam
Area Camp Bukit Malam/Robby Firmansyah

Satu jam berlalu, kami tiba di campsite. Pendaki lain yang sudah membangun tenda. Aroma masakan mereka mulai tercium, suara musik dari speaker saling bersambut. Kami menyusuri setiap sela tenda sembari mencari lokasi untuk mendirikan tenda.

Setelah menemukan lokasi yang pas, tenda dan seluruh perlengkapannya kami keluarkan dari dalam tas. Agak multitasking, kami nyambi masak nasi, agar nanti setelah tenda berdiri, kami bisa langsung menyiapkan bahan masakan untuk dijadikan lauk.

Tempe, wortel, dan kentang kemudian menjadi sasaran untuk kami olah. Dan, setelah semua matang, kami memasukkannya ke dalam mulut, mengisi perut yang sudah kosong sambil bercerita.

Perlahan kami terlelap. Namun, sekitar pukul 23.00 WITA, terjadi gempa. Di luar terdengar riuh suara pendaki yang berhamburan keluar tenda. Kami tetap memilih berdiam di dalam tenda dan melanjutkan istirahat.

Sunrise di Bukit Malang

Sekitar pukul 05.00 WITA kami bangun tidur, kemudian bersih-bersih dan salat Subuh. Rencananya, kami mau melanjutkan pendakian ke puncak Bukit Malang. Namun, rencana tersebut akhirnya berubah menjadi wacana. Melihat kondisi yang tidak memungkinkan, kami memilih menghabiskan waktu matahari terbit di campsite saja. Dan rupanya banyak pendaki yang tidak naik puncak, dan memilih sunrise-an di sini.

Usai mengabadikan beberapa jepret foto, kami kembali ke dalam tenda untuk memasak. “Cacing-cacing” dalam perut sudah memberontak meminta makan.

Puncak Bukit Malang
Puncak Bukit Malang/Robby Firmansyah

Dari Bukit Malang, kami bisa melihat puncak Rinjani, Sabana Propok, dan beberapa bukit lainnya. Matahari semakin meninggi, kami memutuskan untuk turun. Dalam perjalanan turun, sakit di kaki Ridho kembali mengganggu. Tentunya dengan tetap berjalan dengan pelan dan hati-hati, kami berhasil turun dengan selamat.

Perjalanan ini menjadi pengalaman mengesankan untuk saya dan Ridho. Pendakian berdua, dengan kurangnya riset, informasi, dan persiapan yang mengakibatkan perjalanan “agak” mulus.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bernasib Malang di Bukit Malang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bernasib-malang-di-bukit-malang/feed/ 0 36753
Bukit Seger dan Senja Temaram di Mandalika https://telusuri.id/bukit-seger-dan-senja-temaram-mandalika/ https://telusuri.id/bukit-seger-dan-senja-temaram-mandalika/#respond Sat, 06 Aug 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34622 Keindahan Mandalika tak pernah habis untuk diceritakan, pesonanya mampu memikat setiap pasang mata yang datang. Meskipun sudah cukup sering mengunjungi Mandalika, tetap saja, setiap sudut yang saya datangi selalu menyisakan kisah menarik. Bahan untuk bercerita....

The post Bukit Seger dan Senja Temaram di Mandalika appeared first on TelusuRI.

]]>
Keindahan Mandalika tak pernah habis untuk diceritakan, pesonanya mampu memikat setiap pasang mata yang datang. Meskipun sudah cukup sering mengunjungi Mandalika, tetap saja, setiap sudut yang saya datangi selalu menyisakan kisah menarik. Bahan untuk bercerita. Sama halnya dengan perjalanan kali ini, pengalaman mengesankan di Bukit Seger. Cukup terlambat untuk berbagi kisahnya,  namun saya akan menyayangkan jika perjalanan ini hanya mengendap dalam ingatan.

Ditemani terik matahari, roda sepeda motor kami melaju kencang di Jalan Bypass BIL-Mandalika pada Rabu 6 Maret lalu, sesekali kecepatannya diturunkan agar kami bisa menikmati keindahan alam. Bukit-bukit besar di kanan dan kiri jalan semakin terlihat memesona, padahal hanya ladang jagung yang mengisinya.

By pass Bill Mandalika
Bypass BIL-Mandalika/Nirma Sulpiani

Sesaat kemudian, kami melintas pada sebuah bukit dengan plang Bypass BIL-Mandalika, lalu bertemu dengan sebuah monumen bertanda tangan Presiden Joko Widodo. Beberapa masyarakat sekitar terlihat sibuk menjual souvenir khas Lombok kepada pengunjung. Titik ini memang kerap menjadi salah satu tempat untuk berswafoto oleh pejalan yang hendak berkunjung ke Mandalika.

Roda kendaraan kami terus berputar lurus di atas aspal. Beranjak dari Jalan Bypass BIL-Mandalika, saya kemudian menyaksikan Mandalika begitu sibuk. Hal ini terasa sangat wajar, sebab perhelatan dunia MotoGP tinggal menghitung hari.

Kami melewati jalan tak beraspal yang berada berada persis di samping pagar pembatas sirkuit untuk sampai di Bukit Seger. Dari sini sepeda motor kami mulai bergerak lambat sebab di beberapa titik jalannya berlubang dan tergenang air. 

Perjalanan ini, sebenarnya bukanlah kali pertama saya mengunjungi Bukit Seger. Dari dulu Bukit Seger memang kerap menjadi lokasi andalan untuk liburan bersama keluarga. Kini, Bukit Seger tengah menjadi perhatian karena pernah menjadi spot foto pembalap MotoGP Repsol Honda, Marc Marquez saat datang ke Lombok untuk mengikuti tes Pramusim MotoGp Februari lalu. Bukit Seger juga kian memikat lantaran dari sini kita bisa melihat tikungan 10 Sirkuit Mandalika.

Jalan menuju bukit samping sirkuit
Jalan menuju bukit samping sirkuit/Nirma Sulpiani

Saat tiba di sana, meski saya sudah berkali-kali berkunjung, tapi tetap saja saya selalu takjub dengan pemandangan yang menghampar. Dari kejauhan, tampak pantai pasir putih dan ombak yang tenang. Di sisi lain, terlihat tikungan 10 Sirkuit Mandalika yang bisa dibilang lebih unik jika dibandingkan tikungan lainnya. Mengutip dari Kompas.com, tikungan tersebut memiliki desain menarik di bagian kerb atau pembatas lintasan dan area run-off.  Di area tersebut, berisi kerikil-kerikil yang dicat warna-warni membentuk pola tenun sasambo. 

Saat  sedang menanti senja, sambil memperhatikan lalu lalang pengunjung yang kian ramai, seorang anak laki-laki menghampiri kami. Ia menawarkan dagangannya yakni gelang. Anak tersebut bernama Andri, siswa kelas tiga SD yang selalu datang berjualan sepulang sekolah. Ia bercerita,  belakangan jumlah wisatawan yang berkunjung ke sini jauh lebih banyak dari biasanya. Tentu, hal ini membuat Andri senang.

“Sekarang ramai, jadi banyak (gelang) yang laku,” katanya sambil tersenyum. 

Tak hanya pedagang souvenir khas Lombok, kami juga mudah menjumpai para pedagang kelapa muda. Namun sayangnya, di beberapa titik kami juga mudah menjumpai sampah yang berserakan. Hal ini mungkin terjadi karena di sini tak tersedia fasilitas tempat sampah, meski begitu pengunjung bisa membawa kembali pulang sampah-sampahnya alih-alih meninggalkannya di area bukit.

Langit tampak sendu. Sore itu tak ada matahari tenggelam yang kami saksikan. Jadi, kami langsung melanjutkan perjalanan selanjutnya dengan bertemu seseorang yang masih tinggal di areal sirkuit.

Pemandangan dari bukit Seger
Pemandangan dari Bukit Seger/Nirma Sulpiani

Bertolak dari Bukit Seger, kami hanya memerlukan waktu sekitar lima menit untuk sampai ke tujuan. Tiba di sana kami disambut oleh laki-laki paruh baya, “Tunggu di sini, mereka sudah dalam perjalanan pulang,” sapanya dengan senyum hangat. 

Sambil menunggu, mata seperti tak pernah lepas untuk memperhatikan sekitar. Rasanya seperti berada di tengah lingkaran yang dikelilingi pepohonan hijau yang rindang. Tenang, itulah kata yang mewakili perasaan petang itu. 

Meskipun lokasinya dekat dengan Sirkuit Mandalika yang saat itu masih dalam proses pembangunan, namun di sana kami tak mendengar suara pekerja atau suara mesin.  Justru rasanya seperti berada di rumah.

“Assalamualaikum…”  Salam itu terdengar diucapkan serempak.

Anak-anak sudah berangkat mengaji. Mereka adalah keenam murid mengaji tuan rumah. Seperti sudah mengetahui gurunya pulang bepergian, mereka langsung duduk melingkar sembari melatih bacaan Alquran. Akan tetapi kami belum sempat menyaksikan mereka mengaji karena sang guru merasa cukup lelah setelah menempuh perjalanan jauh. 

Petang itu kami mendengar banyak cerita menarik seputar Mandalika, namun sayang hari sudah gelap, sebelum pulang kami  memutuskan menjalankan salat Magrib dulu karena perjalanan yang akan ditempuh kembali cukup jauh.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bukit Seger dan Senja Temaram di Mandalika appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bukit-seger-dan-senja-temaram-mandalika/feed/ 0 34622
Plastik Kembali: Mengolah Sampah Menjadi Seni https://telusuri.id/plastik-kembali-mengolah-sampah-menjadi-seni/ https://telusuri.id/plastik-kembali-mengolah-sampah-menjadi-seni/#respond Fri, 24 Dec 2021 10:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31789 Masalah sampah plastik adalah masalah serius yang paling susah ditangani oleh masyarakat modern. Kebutuhan akan plastik sangat tinggi, berbagai inovasi pun diciptakan untuk menggantikan plastik sekali pakai, namun tampaknya jauh dari kata selesai. Sampah plastik...

The post Plastik Kembali: Mengolah Sampah Menjadi Seni appeared first on TelusuRI.

]]>
Masalah sampah plastik adalah masalah serius yang paling susah ditangani oleh masyarakat modern. Kebutuhan akan plastik sangat tinggi, berbagai inovasi pun diciptakan untuk menggantikan plastik sekali pakai, namun tampaknya jauh dari kata selesai. Sampah plastik mulai menghantui berbagai wilayah di bumi, salah satunya Indonesia yang terkenal sebagai penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Cina. 

Adalah Plastik Kembali, sebuah art and product studio yang memproduksi sampah plastik menjadi sebuah benda yang bernilai kembali. Dilansir dari situs web mereka, Plastik Kembali dirintis oleh pasangan suami istri Elissa Gjertson dan Daniel Schwizer yang setelah pindah ke Lombok melihat kekhawatiran tersendiri dengan banyaknya sampah plastik yang bertebaran di pantai, mengotori air laut, hingga membuat daratan terlihat jorok karena sampah plastik.  Pasangan suami istri ini begitu jatuh cinta dengan Lombok sekaligus merasa risau karena masalah plastik ini belum bisa diatasi.

Untuk membuat perubahan, mereka berinisiatif untuk mengelola sampah-sampah yang ada menjadi sesuatu yang bernilai dan artistik, maka lahirlah Plastik Kembali pada 2019. Plastik Kembali mengusung filosofi membuat barang baru dari sampah yang tak terpakai untuk berkontribusi mengurangi sampah plastik di Indonesia. Kedengarannya seperti klise, nyatanya kehadiran Plastik Kembali justru sangat menggairahkan, tidak hanya mengurangi sampah plastik, tetapi juga memutar roda ekonomi lokal. 

Saya tercengang bagaimana plastik-plastik tersebut disulap menjadi karya seni yang sangat menarik. Contohnya artisan bowls dengan berbagai diameter dari 17 cm – 45 cm dari biru, merah, kuning, hingga pelangi. Bahan utamanya adalah plastik polypropylene yang 100% daur ulang. Polypropylene merupakan jenis plastik populer kedua di dunia setelah polyethylene yang umum digunakan sebagai bungkus makanan, minuman dan sebagainya.

Ada juga egg-shell bowls yang juga terbuat dari plastik polypropylene daur ulang dengan bentuk menyerupai cangkak telur. Selain mangkok, Plastik Kembali memproduksi beberapa jenis barang seperti tekstil, tali, dan rotan yang masing-masing dengan keunikan dan campuran lainnya, yang tentu saja juga mengandung plastik daur ulang. 

Plastik Kembali
Hasil kerajinan dari limbah bekas via Facebook/Plastik Kembali

Plastik Kembali semuanya memanfaatkan tenaga manusia untuk membentuk sebuah karya seni yang cantik. Plastik Kembali mempekerjakan orang-orang lokal, terutama dari Selong Belanak untuk turut serta memberdayakan sampah plastik menjadi seni. Ada beberapa tim yang dibagi untuk beberapa jenis produk barang semisal tim tali, tim  rotan, tim tekstil, dan tim silver. Mereka juga dibantu oleh Pak Azrin sebagai Project Manager dan Ibu Ida sebagai Creative Manager untuk membimbing para pengrajin.

“Pada dasarnya, tidak susah bagi Plastik Kembali untuk memulainya. Bahan bakunya mudah ditemukan di mana-mana: plastik kresek bekas. Tas kresek bekas tersebut dijadikan berbagai kerajinan tangan sederhana yang mengandung unsur seni. Plastik Kembali juga menggunakan butiran (palet) plastik bekas: tutup botol, sedotan, tutup galon air untuk dijadikan mangkuk, gantungan kunci. Sehingga biayanya tidak besar,” papar Pak Azrin.

“Hal ini bertujuan untuk menginspirasi dan memudahkan banyak orang untuk peduli pada lingkungan melakukan hal yang serupa dengan memanfaatkan plastik bekas,” tambahnya.

“Tas kresek bekas ini dikumpulkan dari berbagai tempat. Lalu, dicuci bersih dan dijemur. Setelah kering, dipotong tipis dan panjang, dipintal menjadi tali plastik atau dikombinasikan dengan tali goni bekas atau daun pandan, untuk dijadikan produk, seperti tas, karpet, keset, dan lain lain,” kata Pak Azrin.

Saya menanyakan apakah ada kemungkinan Plastik Kembali mendaur ulang sampah-sampah potensial lainnya, seperti karet atau kaca yang juga sama banyaknya dengan sampah plastik. Namun menurut Pak Azrin, belum ada rencana pengembangan limbah lainnya. Begitu pula barang-barang di luar produk seni seperti barang kebutuhan sehari-hari juga belum ada rencana dari Plastik Kembali untuk membuatnya.

Apakah Plastik Kembali akan merambah pulau-pulau lainnya seperti Lombok? Tidak tahu, tetapi Pak Azlin berharap Plastik Kembali memberi inspirasi bagi masyarakat Pulau Lombok dan Indonesia pada umumnya untuk peduli akan bahaya sampah plastik dan bergerak aktif untuk menangani dan memanfaatkannya. Sampah plastik sangat sulit hancur dan telah menjadi ancaman terhadap lingkungan dan kehidupan. 

Seni berharga dari sebuah sampah; kiranya begitulah yang bisa saya sematkan kepada Plastik Kembali. Pada 2020, mereka telah mendaur ulang sekitar 75.000 tas kresek dan 1.100 kilogram plastik HDPE dan PP dan juga melaksanakan pembersihan pantai dengan Selong Belanak Community Association (SBCA). Elissa Gjertson ingin sekali kehadiran Plastik Kembali tidak hanya sebatas euforia bisnis, namun menginspirasi masyarakat lainnya untuk berkontribusi aktif dalam meminimalisir sampah plastik. 

“Kami tergerak untuk membawa antusiasme ke masyarakat, mencari solusi, berkreasi, bekerja sama dan berkolaborasi,” pungkas Elissa. Harapannya jelas, membawa Plastik Kembali berdampak positif kepada sekitar membantu mengurangi beban bumi akibat sampah plastik.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Plastik Kembali: Mengolah Sampah Menjadi Seni appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/plastik-kembali-mengolah-sampah-menjadi-seni/feed/ 0 31789
Menyaksikan Idemitsu Asia Talent Cup dari Atas Bukit https://telusuri.id/menyaksikan-idemitsu-asia-talent-cup-dari-atas-bukit/ https://telusuri.id/menyaksikan-idemitsu-asia-talent-cup-dari-atas-bukit/#respond Mon, 13 Dec 2021 00:58:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31691 Mendung menemani perjalanan saya pulang bekerja siang itu, Sabtu 13 November. Sesampainya di kos saya membuka pesan dari salah seorang teman yang mengajak saya menyaksikan uji coba para pembalap Idemitsu Asia Talent Cup (IATC) secara...

The post Menyaksikan Idemitsu Asia Talent Cup dari Atas Bukit appeared first on TelusuRI.

]]>
Mendung menemani perjalanan saya pulang bekerja siang itu, Sabtu 13 November. Sesampainya di kos saya membuka pesan dari salah seorang teman yang mengajak saya menyaksikan uji coba para pembalap Idemitsu Asia Talent Cup (IATC) secara gratis di Kuta Mandalika.

Tanpa berfikir panjang saya langsung menerima ajakan itu. Anggap saja perjalan kali ini sebagai refreshing karena jemu memikirkan pekerjaan yang tak kunjung usai. 

Berangkat dari Mataram kira-kira menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam hingga tiba di lokasi. Rute yang kami lalui kali ini berbeda dengan jalan yang sering  ditempuh jika berkunjung ke Kuta.  Kali ini saya melalui jalan bypass Bandara Internasional Lombok (BIL)— Mandalika. 

Dari beberapa sumber yang saya baca, pembangunan jalan bypass BIL—Mandalika memang khusus menunjang pelaksanan sejumlah event internasional yang akan berlangsung. Selain itu, tujuan saya melewati jalan bypass BIL—Mandalika, ialah agar bisa melihat Bukit menangis yang belakangan ramai dijadikan tempat berswafoto oleh masyarakat. 

Setibanya di Mandalika, lalu lalang kendaraan  sudah  ramai. Jika kita ingin menyaksikan IATC dari Tribun secara gratis, terlebih dahulu kita mendaftar di stand pendaftaran yang berada di Masjid Nurul Bilad dan memenuhi persyaratan lain diantaranya yakni sudah vaksin dosis ke 2;  menggunakan aplikasi peduli lindungi untuk masuk ke sirkuit; dan menjalani swab antigen—swab antigennya juga dapat dilakukan secara gratis di sana.

Antrian nonton gratis
Antrian nonton gratis/Nirma Sulpiani

Namun, keinginan untuk menyaksikan langsung dari tribun kami urungkan, sebab saat kami sampai di sana ajang balapan yang diperuntukan untuk pemuda di kawasan Asia dan Oseania ini telah dimulai. Dengan pertimbangan waktu, panjangnya antrian, serta melihat antusiasme warga yang menyaksikan dari luar, rasanya akan lebih seru jika menyaksikannya dari luar area sirkuit. 

Benar saja, beberapa saat setelah memarkir kendaraan di lahan yang berdekatan dengan tembok besar mengitari sirkuit, kami sudah dipanggil oleh rombongan pemuda-pemuda yang datang menggunakan truk, dengan senyuman dan suara yang sedikit berteriak mereka mengajak kami untuk menonton dari atas truk, “Sini naik ke atas, biar lebih jelas!” Teriak mereka. 

Mendengar ajakan mereka kami hanya menjawab dengan tersenyum. Beberapa saat kemudian dari arah sebelah kiri kami datang mobil pickup yang berisi rombongan ibu-ibu. Setelah kendaraan yang mereka tumpangi terparkir, mereka kemudian mengeluarkan ponsel masing-masing untuk mengabadikan momen tersebut. Rombongan lain terus berdatangan dan memarkir kendaraan secara berjejer. 

Tidak hanya kendaraan roda empat, kendaraan roda dua juga banyak yang berhenti untuk melihat uji coba pertandingan, ada yang ikut naik truk dan ada juga yg menggunakan bangku, hanya sekedar untuk melihat beberapa saat. 

Belum sempat menyaksikannya dari sana, waktu pertandingan telah usai dan akan berlanjut sekitar pukul 16.00 WITA. Kami kemudian beranjak mencari tempat yang nyaman untuk menyaksikan pertandingan. 

Nonton uji coba dari atas bukit
Nonton uji coba dari atas bukit/Nirma Sulpiani

Sebuah bukit yang hanya berjarak beberapa meter dari sirkuit menjadi pilihan kami untuk menyaksikan uji coba pertandingan, menonton dari sini rasanya seperti sedang berada di stadion,  selain lintasan sirkuit dan para pembalap IATC terlihat jelas, berkumpul bersama puluhan orang dan dari berbagai macam kalangan, mulai dari anak-anak, remaja, bapak-bapak, hingga ibu-ibu pun tak mau kalah, dari yang berseragam hingga yang mengenakan sarung semua berkumpul di sini. 

Menyaksikan dari ketinggian terasa semakin seru saat mendengar banyak cerita menarik, salah satu cerita yang saya ingat yakni seorang perempuan paruh baya yang rela menutup warung dagangannya hanya untuk menyaksikan pertandingan. Belum sempat menanyakan lebih detail, perhatian saya sudah teralihkan oleh perempuan berbaju biru yang baru datang kemudian langsung menaiki mobil polisi yang berada persis di depan kami sembari berkata, “Ternyata nonton dari sini jelas ya!” Katanya sambil tersenyum. 

Sepanjang jalannya pertandingan masyarakat yg ingin menonton terus berdatangan. Meskipun layar kaca menayangkan lebih detail jalannya pertandingan, tetap saja mendengar sorak sorai  jalannya turnamen secara langsung rasanya akan  selalu  lebih seru. Meskipun saya pribadi tidak mengerti dunia otomotif, setidaknya pengalaman menyenangkan ini bisa menjadi sebuah kisah yang bisa diceritakan, kami sebagai tuan rumah pernah menyaksikan balapan yang dibicarakan dunia internasional dengan cara tersendiri. 

Gagal menyaksikan pertandingan Final IATC 

Pemandangan nonton final/Nirma Sulpiani

Belum lengkap rasanya, jika hanya menyaksikan uji coba pertandingan. Minggu 14 November, kami kembali mendatangi Mandalika untuk menyaksikan laga final IATC. Kali ini kami sengaja berangkat lebih lebih pagi, tujuannya agar mendapat atrran lebih awal untuk menyaksikan dari tribun secara gratis. 

Namun sayang, tak jauh berbeda dari kemarin tetap saja kali ini kami kalah cepat dengan yang lain, sesampainya di Masjid Nurul bilad antrian panjang telah menunggu, halaman masjid yang begitu luas sudah dipadati oleh kendaraan roda dua dan roda empat, melihat kondisi ini kami kemudian mengurungkan niat menyaksikan dari tribun, sebab pertandingan akan dimulai beberapa jam lagi.

Berbeda dari sebelumnya, pengamanan lalu lintas kali ini lebih diperketat, tidak ada lagi masyarakat yang menonton menggunakan truk seperti sebelumnya dan masyarakat yang datang lebih ramai, saat melihat bukit tempat kami menyaksikan uji coba pertandingan kemarin, bukit tersebut sudah dipadati oleh pengunjung yang ingin menyaksikan final IATC. 

Meskipun demikian perjalanan kami mencari lokasi untuk menyaksikan pertandingan terus berlanjut, sampai akhirnya kami memilih sebuah dataran yang cukup tinggi, dari sini lintasan sirkuit juga terlihat jelas dan yang membedakan dari bukit kemarin ialah, jika di bukit kemarin kami hanya dapat melihat satu tikungan, di tempat kami kali ini kami dapat melihat tiga tikungan sekaligus. 

Bersama puluhan penonton lain kami menunggu jalannya pertandingan, informasi yang kami dapat pertandingan tadinya akan dilangsungkan di mulai pukul 14.00 WITA namun ditunda sampai pukul 16.00 WITA. Hal ini tentu bukan masalah bagi kami, kami tetap semangat untuk menyaksikan pertandingan.

Sampai akhirnya sekitar pukul 16.30 WITA kami mendapat informasi bahwa pertandingan final IATC diundur karena Marshal dinilai belum siap dan kembali dijadwalkan pada tanggal 19-21 November bersamaan dengan diselenggarakannya  World Superbike. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Menyaksikan Idemitsu Asia Talent Cup dari Atas Bukit appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyaksikan-idemitsu-asia-talent-cup-dari-atas-bukit/feed/ 0 31691
Sepenggal Kisah di Balik Pembangunan Sirkuit Mandalika https://telusuri.id/melihat-pembangunan-sirkuit-mandalika-lebih-dekat/ https://telusuri.id/melihat-pembangunan-sirkuit-mandalika-lebih-dekat/#respond Wed, 01 Dec 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31015 Debu mengikuti roda belakang motor kami saat memasuki Dusun Ujung, Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Para pekerja terlihat sedang mengoperasikan alat berat. Kendaraan kami terus bergerak lambat, beberapa kali kami harus berhenti sejenak saat...

The post Sepenggal Kisah di Balik Pembangunan Sirkuit Mandalika appeared first on TelusuRI.

]]>
Debu mengikuti roda belakang motor kami saat memasuki Dusun Ujung, Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Para pekerja terlihat sedang mengoperasikan alat berat. Kendaraan kami terus bergerak lambat, beberapa kali kami harus berhenti sejenak saat berpapasan dengan truk dan kendaraan besar lain karena sempitnya jalan yang kami lalui ini. Di beberapa titik aspalnya sudah tidak terlihat karena tertutupi oleh tanah yang jatuh dari truk-truk pembawa material.

Tujuan perjalanan kami pada Minggu, 5 September lalu adalah untuk melihat pembangunan Sirkuit  Mandalika lebih dekat. Tapi sebelum ke sana saya dan teman perjalanan saya akan mengunjungi seseorang yang tinggal di Dusun Ebunut terlebih dulu. Dusun Ebunut merupakan satu-satunya dusun yang berada di sekitar areal sirkuit, dusun ini masih dihuni oleh warga. Sepanjang perjalanan ia bercerita tentang pengalamannya selama mengikuti proses pembangunan sirkuit dan cerita-cerita menarik yang ia temui selama liputan.

Terowongan
Terowongan/Nirma Sulpiani

Obrolan kami berhenti sejenak saat melihat kepulan debu dari roda belakang truk ketika akan memasuki terowongan (tunnel) sirkuit. Kami menghentikan perjalanan, merapatkan masker, menutup kaca helm guna menghindari debu tersebut, barulah kemudian melanjutkan perjalanan. Setelah melewati dua terowongan, kami kemudian mengikuti jalan hitam beraspal, dan dari titik ini lintasan sirkuit terlihat dengan jelas sebab posisi kami saat ini hanya berjarak sekitar satu meter dengan pagar besi berwarna hijau yang mengelilingi sirkuit. 

Proses pembangunan tidak hanya berlangsung di dalam area lintasan sirkuit, di luar lintasan sirkuit pembangunan juga tetap berjalan, beberapa mesin besar berwarna oranye terlihat sedang  beroperasi, ada pula yang terparkir, tak jauh dari tempat mesin besar itu terparkir terlihat warung beratapkan terpal dengan beberapa makanan ringan tergantung di depannya.

Pembangunan di luar sirkuit
Pembangunan di luar sirkuit/Nirma Sulpiani

Kami terus bergerak pelan hingga jalan hitam beraspal pun tak terlihat, kami sudah memasuki Dusun Ebunut. Perjalanan  yang cukup jauh ditemani dengan panasnya terik matahari siang itu membuat kami merasakan dahaga, sebelum melanjutkan perjalanan kami singgah sejenak di sebuah warung untuk membeli air.

Senyum ramah pemilik warung menyambut kami. Ia pun bertanya, “Mau ke pantai ya? Sekarang sudah banyak yang berubah, jadi wajar kalau salah jalan,” katanya. Mendengar pertanyaan tersebut, kami tersenyum dan memberitahunya bahwa kami hendak menemui seseorang di Dusun Ebunut.

Perjalanan kami terus berlanjut, hingga motor kami berhenti di tengah lahan yang ditumbuhi rumput liar dengan tinggi hampir selutut. 

Berjalan dari tempat parkir, kami menghampiri dua perempuan yang sedang beristirahat di bawah pohon asam yang duduk beralaskan tikar yang terbuat dari anyaman daun pandan. Teman saya tentu cukup akrab dengan mereka, sebab ia sudah beberapa kali bertemu dan mengobrol bersama jika ia berkunjung ke dusun Ebunut. 

Yamin dan anaknya Desi, belum sempat bertanya kami sudah diberitahu, bahwa sang suami amaq (bapak) Kangkung atau akrab disapa amaq Bengkok masih pergi melaut. Ia kemudian mengajak kami duduk dan mengobrol bersama,

“Di dalam (rumah) panas, kita duduk di sini saja lebih enak,” kata Yamin. 

Ajakan Yamin terasa sangat tepat karena pemandangan yang kami jumpai saat duduk di sana terasa mengesankan, sebab posisi kami hanya berjarak beberapa meter saja dari lintasan sirkuit, tak hanya itu dari sini terlihat bukit yang berada di tengah lintasan dan bertuliskan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC). ITDC merupakan pengembang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. Jika nanti perhelatan MotoGP telah digelar, rasanya tempat kami duduk saat ini merupakan salah satu lokasi yang strategis untuk menyaksikan kejuaran dunia ini.

Yamin dan Desi banyak bercerita tentang pengalamannya yang tinggal di dekat lintasan sirkuit siang itu, salah satu yang paling saya ingat, yaitu cerita Yamin memberanikan dirinya mengendarai motor untuk mengantar anaknya pergi ke sekolah. 

“Sampai sekarang sebenarnya masih takut, kalau berpapasan dengan truk saya harus berhenti dulu,” kata Yamin sambil tersenyum. Cukup lama mengobrol tak terasa hari sudah sore, meskipun belum sempat bertemu dengan amaq Bengkok, berbagi cerita dengan Yamin dan Desi rasanya sudah lebih dari cukup, kami pun pamit berharap di lain kesempatan bisa bertemu kembali.

Service Road
Service road/Nirma Sulpiani

Tujuan utama dari perjalanan kami hari hari itu pun dimulai. Jalan yang kami lalui saat pulang berbeda dengan yang kami lewati ketika datang ke Dusun Ebunut. Ketika pulang kami melewati  service road. Service road merupakan sebuah jalan pendukung yang ada di lingkaran dan lingkaran luar Main Track Lane. Service road digunakan untuk jalur evakuasi ketika ada insiden kecelakaan. 

Ketika berpapasan dengan pekerja yang ada di service road, salah satu dari mereka ada yang mengangkat tangan sambil tersenyum dan berteriak, “Halo guys!” Rasanya wajar saja, sebab saat mulai melintasi service road saya selalu mendokumentasikan perjalanan menggunakan ponsel.

Sebelum meninggalkan sirkuit mandalika, kami berhenti sejenak untuk melihat dengan dekat Main Track Lane, mengambil beberapa gambar dan video untuk dokumentasi kami sebelum pembangunan sirkuit selesai.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Sepenggal Kisah di Balik Pembangunan Sirkuit Mandalika appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-pembangunan-sirkuit-mandalika-lebih-dekat/feed/ 0 31015
Mengunjungi Pantai Kuta Mandalika Semasa Pandemi https://telusuri.id/mengunjungi-pantai-kuta-mandalika-semasa-pandemi/ https://telusuri.id/mengunjungi-pantai-kuta-mandalika-semasa-pandemi/#respond Sat, 13 Nov 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30231 Rabu, 22 Juli lalu saya mengunjungi Pantai Kuta Mandalika. Pantai dengan pasir berwarna putih seperti butiran merica ini terletak di kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Desa Kuta kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Melakukan perjalanan di masa...

The post Mengunjungi Pantai Kuta Mandalika Semasa Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
Rabu, 22 Juli lalu saya mengunjungi Pantai Kuta Mandalika. Pantai dengan pasir berwarna putih seperti butiran merica ini terletak di kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Desa Kuta kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Melakukan perjalanan di masa pandemi rasanya boleh-boleh saja asalkan kita tetap menerapkan protokol kesehatan dengan ketat.

Berangkat dari rumah saya menempuh perjalanan sekitar satu jam. Akses menuju lokasi pastinya sudah memadai sebab, Pantai Kuta menjadi salah satu pantai yang dekat dengan lokasi perhelatan MotoGP 2021. Saat sampai di jalan by pass Bandara International Lombok (BIL) menuju Pantai Kuta perjalanan saya sedikit tersendat. Adanya truk-truk besar yang membawa material untuk pembangunan sirkuit menjadikan perjalanan terasa lebih lama sebab sulit mendahului kendaraan tersebut.  

Jalan Menuju Kuta Mandalika
Jalan menuju Kuta Mandalika/Nirma Sulpiani

Tiba di sana sekitar pukul 14.00 WITA, lalu lalang pengunjung tak begitu ramai padahal masih dalam suasana libur lebaran Iduladha, rasanya ini kali pertama saya melihat pantai dengan laut berwarna hijau toska ini cukup lengang.

Dari jauh saya memperhatikan pedagang perempuan paruh baya, menggunakan jilbab berwarna ungu panjang menutupi dada sedang menjajakan dagangannya di bawah kaki bukit Kuta mandalika.  Wajahnya terlihat tak asing, benar saja ketika langkah kaki saya semakin dekat, saya ingat perempuan itu ialah Riam atau akrab dipanggil inaq Unggul (ibu Unggul), beberapa bulan lalu videonya sempat viral karena berdebat menggunakan bahasa inggris dengan petugas keamanan pantai yang memintanya agar tidak berjualan guna memutus rantai COVID-19. 

Pantai Kuta Mandalika
Pantai Kuta Mandalika/Nirma Sulpiani

Semenjak menyaksikan videonya viral, dari sana pula keinginan saya untuk bertemu dengan inaq Unggul secara langsung, dan hari itu tanpa direncanakan, tanpa sengaja saya bertemu langsung dengannya. Senyum ramah nya menyambut saat saya sampai di lapak dagangannya.  Di sana saya memesan kelapa muda, sembari membuka kulit kelapa inaq Unggul  bercerita beberapa hari terakhir pengunjung memang sepi sehingga pendapatannya pun menurun. Kelapa yang  telah ia buka pun merupakan kelapa pertama yang laku setelah dua hari sepi pembeli. 

“Ini kelapa pertama yang laku setelah dua hari sepi,” kata Unggul. 

Ketika saya menanyakan tentang videonya viral, inaq Unggul pun mengiyakan hal tersebut, ia mengetahui bahwa dirinya viral di Facebook, akan tetapi ia sendiri tidak memiliki akun Facebook, ia menambahkan bahwa teman-temannya memiliki akun Facebook. Unggul bercerita Ia belajar bahasa Inggris dari turis asing yang berbelanja di lapaknya. 

Kelapa dari inaq Unggul kemudian menemani saya menikmati keindahan pantai. Angin pantai membawa ingatan saya kembali saat masih berusia kanak-kanak. Pantai Kuta memang selalu menjadi andalan keluarga untuk berlibur. Ombak yang tenang, bukit-bukit besar yang ada di sekitar pantai dan batu besar yang ada di bibir pantai, dulu batu itu menjadi tempat kesukaan kamu untuk foto bersama, sampai saat ini pun demikian, keindahannya masih tetap sama.

Lamunan saya terhenti ketika saya ditawarkan untuk membeli gelang dan mainan kunci khas Lombok. Memang, jika berkunjung ke Pantai Kuta, kita akan mudah menemui anak-anak yang menawarkan kerajinan tangan. 

Menikmati pesona pantai Kuta rasanya tidak cukup jika hanya duduk saja. Saya lalu menyusuri  keindahannya sambil berjalan kaki. Sesekali, saya memotret beberapa sudut Pantai Kuta. Salah satu yang saya foto yakni suasana Bukit Kuta Mandalika.

Masjid Nurul Bilad  Mandalika

Masjid Nurul Bilad
Masjid Nurul Bilad/Nirma Sulpiani

Hari itu, sebelum bertolak pulang saya singgah di Masjid Nurul Bilad untuk menunaikan salat Ashar. Lokasi Masjid Nurul Bilad berjarak sekitar 400 meter dari Pantai Kuta. Nuansa tradisional serta modern adalah kesan yang tersirat saat mengunjungi masjid yang diresmikan pada tahun 2017 oleh Presiden Joko Widodo ini. Dari beberapa artikel yang saya baca, bangunan Masjid Nurul Bilad terinspirasi dari Masjid Kuno Bayan, masjid pertama di Lombok yang terletak di Lombok Utara. 

Saat memasuki masjid kita akan menemukan miniatur masjid yang menggambarkan secara detail seluruh area masjid. Penerapan protokol kesehatan dalam beribadah juga telah diberlakukan di masjid ini,  pengaturan jarak satu meter posisi atar jamaah dengan memberikan tanda silang menggunakan isolasi. Melakukan perjalanan di masa pandemi ada baiknya jika membawa peralatan salat sendiri, khususnya untuk perempuan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Mengunjungi Pantai Kuta Mandalika Semasa Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengunjungi-pantai-kuta-mandalika-semasa-pandemi/feed/ 0 30231