lumajang Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/lumajang/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 21 Feb 2025 07:52:25 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 lumajang Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/lumajang/ 32 32 135956295 7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang https://telusuri.id/7-air-terjun-di-perbatasan-malang-lumajang/ https://telusuri.id/7-air-terjun-di-perbatasan-malang-lumajang/#respond Fri, 21 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45722 Di sejumlah daerah pegunungan, biasanya air terjun menjadi tempat favorit rekreasi yang menyasar semua kalangan. Mulai dari remaja, mahasiswa, hingga keluarga; dari wisatawan domestik sampai mancanegara. Seperti dua kabupaten bertetangga yang terletak di selatan Gunung...

The post 7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang appeared first on TelusuRI.

]]>
Di sejumlah daerah pegunungan, biasanya air terjun menjadi tempat favorit rekreasi yang menyasar semua kalangan. Mulai dari remaja, mahasiswa, hingga keluarga; dari wisatawan domestik sampai mancanegara. Seperti dua kabupaten bertetangga yang terletak di selatan Gunung Semeru, yaitu Malang dan Lumajang. Nyaris tak terhitung aliran-aliran air terjun yang mengalir di kedua daerah tersebut, baik yang sudah dibuka untuk wisata maupun yang masih tertutup karena sulit dijangkau akibat medan yang ekstrem.

Dari banyaknya air terjun, TelusuRI merangkum tujuh air terjun yang mengalir sepanjang tahun, yang bisa jadi pilihan buat mengisi waktu liburan atau akhir pekan, karena lokasinya berdekatan. Beberapa air terjun bisa digapai dalam sehari. Namun, jika ingin menjangkau semuanya, setidaknya perlu waktu dua hari dan menginap satu malam di homestay warga sekitar. Sebab, sejumlah titik air terjun memerlukan ketahanan fisik dan waktu ekstra untuk dijangkau.

Umumnya, tarif masuk wisata air terjun dipatok sekitar Rp10.000 per orang, belum termasuk parkir kendaraan. Untuk jasa pemandu maupun permintaan khusus lainnya seputar kegiatan berwisata bisa didiskusikan dengan pengelola wisata setempat.

1. Coban Sewu atau Tumpak Sewu

7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang
Coban Sewu atau Tumpak Sewu saat musim kemarau/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Air terjun ini berada di aliran sungai yang menjadi pembatas alami antara Kecamatan Ampelgading (Kabupaten Malang) dan Kecamatan Pronojiwo (Lumajang). Di Malang disebut coban, sedangkan di Lumajang disebut tumpak. Keunikan formasi arus airnya membuat Coban Sewu populer dan banyak dikunjungi wisatawan. Aliran dari satu sungai besar berwarna kecokelatan jatuh dasar jurang sedalam ratusan meter bersama puluhan aliran mata air yang mengucur dari balik celah tebing. Debit air saat musim hujan lebih deras daripada musim kemarau.

Untuk melihat air terjun ini bisa melalui dua pintu masuk, dari sisi Desa Wonokerto (Malang) maupun Desa Sidomulyo (Lumajang). Wisatawan bisa cukup sekadar melihat panorama dari pinggiran tebing, atau menuruni jalur setapak ekstrem dan sangat curam ke dasar jurang untuk lebih dekat ke guyuran air terjunnya. Lebih aman membawa pemandu lokal untuk memastikan keamanan jalur.

2. Coban Ciblungan

7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang
Kolam pemandian alami Coban Ciblungan/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Mulanya, Coban Ciblungan digunakan warga sekitar untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi atau mencuci baju. Namun, begitu popularitas Coban Sewu meningkat, kelompok sadar wisata setempat berinisiatif membuka Coban Ciblungan untuk umum sebagai tempat wisata. Coban Ciblungan hanya terletak sepelemparan batu dari rumah warga terdekat di Dusun Sumberpitu, Desa Sidorenggo, Kecamatan Ampelgading. Pekarangan rumah warga tersebut biasa digunakan untuk tempat parkir motor dan mobil.

Melihat Coban Ciblungan sedikit mengingatkan pada formasi aliran Coban Sewu, hanya dalam versi yang jauh lebih mini. Terdapat satu sungai yang mengalir dari belakang Pasar Jagalan (jaraknya sekitar 1,5 km), lalu bercampur dengan deretan aliran mata air berdebit deras yang keluar dari celah tebing, mengguyur satu area kolam yang sama. Jika terjadi hujan di daerah hulu, air sungai dan kolam akan berwarna cokelat keruh sehingga tidak bisa digunakan untuk mandi atau berenang untuk sementara waktu.

3. Coban Gintung

7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang
Aliran kembar Coban Gintung sebelum salah satunya disudet/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Masih berada di satu desa yang sama, Coban Gintung berjarak sekitar 2,5 kilometer ke arah tenggara dari Coban Ciblungan. Aliran Coban Gintung bersumber dari mata air Sumber Gintung yang menghidupi kebutuhan air rumah tangga dan pertanian masyarakat setempat. Akses menuju tempat wisata Coban Gintung hanya bisa menggunakan sepeda motor. Jika membawa mobil, bisa dititipkan di pekarangan rumah warga terdekat.

Dari tempat parkir motor, hanya perlu trekking ringan membelah ladang warga tak sampai 10 menit untuk menuju air terjun. Dahulu, Coban Gintung memiliki dua aliran air yang mengalir bersisian sehingga membuatnya tampak seperti air terjun kembar. Namun, beberapa waktu kemudian salah satu aliran disudet oleh pihak PDAM setempat untuk memenuhi pasokan air masyarakat. 

4. Coban Naga Gintung

7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang
Seberkas pelangi di dasar Coban Naga Gintung/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Aliran Coban Naga Gintung berada di atas Coban Gintung dan masih satu payung pengelolaan. Di rute jalan setapak yang sama, terdapat percabangan jalur. Jika berbelok ke kanan, jalur akan menurun menuju Coban Gintung, sedangkan jika lurus, akan mengarah ke Coban Naga Gintung yang jaraknya tidak terlalu jauh.

Ada dua cara untuk menikmati kesegaran Coban Naga Gintung. Dari atas jembatan bambu yang dipasang warga, atau sedikit turun ke tepian jika ingin sedikit basah-basahan. Debit Coban Naga Gintung cukup deras, sehingga menimbulkan suara gemuruh. 

5. Coban Gua Kelelawar

Lokasi Coban Gua Kelelawar—dalam bahasa Jawa disebut Goa Lowo—cukup jauh dari tempat parkir Coban Gintung. Air terjun ini merupakan ujung dari aliran Coban Gintung dan nantinya akan bertemu dengan aliran Sungai Glidik yang merupakan jalur lahar dingin Semeru. Untuk menuju ke coban ini, perlu trekking sekitar 30 menit lewat jalan cor hingga meniti pematang sawah. Bisa juga diakses langsung dari Coban Gintung dengan menyusuri tepian sungai dan ladang warga.

Formasi aliran air Coban Gua Kelelawar cukup unik. Air keluar dari celah sempit di bagian atas, lalu jatuh menyebar dan membasahi dinding tebing. Terdapat satu lubang kecil yang muat dimasuki manusia, yang oleh warga setempat disebut sebagai sarang kelelawar. Dari situlah nama Coban Gua Kelelawar berasal. Aliran coban ini membentuk sungai kecil penuh batuan dan diapit persawahan yang banyak ditumbuhi pohon kelapa.

6. Air Terjun Kapas Biru

7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang
Seorang wisatawan di air terjun Kapas Biru/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Bergeser ke Lumajang, Kapas Biru bisa menjadi opsi wisata air terjun dengan sentuhan petualangan. Sebab, jaraknya cukup jauh dari Dusun Mulyoarjo, Desa Pronojiwo—kampung warga terdekat yang membuka akses masuk wisata—dan beberapa titik jalur trekking cukup ekstrem sehingga memerlukan kehati-hatian. Salah satunya tangga besi vertikal setinggi kurang lebih tiga meter yang mau tidak mau tetap harus dilewati. Namun, gemuruh dan kesegaran air Kapas Biru bisa mengobati lelah setelah 45 menit berjalan dengan kontur naik-turun.

Formasi geologi air terjun Kapas Biru berbeda dengan kebanyakan coban di wilayah Malang. Dinding tebingnya cadas berwarna cokelat terang dengan vegetasi hijau di sekitarnya. Saking derasnya aliran air, terkadang muncul buih-buih selembut kapas dan jika terkena sinar matahari seperti berwarna kebiruan. Aliran sungai kecil yang dibentuk dari air terjun ini juga dimanfaatkan pengelola untuk atraksi wisata tubing dengan ban karet.

7. Air Terjun Kabut Pelangi

7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang
Panorama air terjun Kabut Pelangi/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Air terjun ini berada di Dusun Besukcukit, Desa Sidomulyo. Satu desa dengan Tumpak Sewu, bertetangga dengan Kapas Biru. Akses wisata air terjun ini dibuka beberapa lama setelah Tumpak Sewu dan Kapas Biru. Letaknya yang tersembunyi dan cukup jauh dari perkampungan membutuhkan usaha lebih untuk bisa melihat air terjun ini dalam jarak dekat. Setidaknya perlu waktu 30–45 menit trekking, melewati jalan setapak di tengah ladang warga, sesekali menyeberangi sungai dengan arus cukup deras, yang terbentuk dari aliran Kabut Pelangi.

Mendekati air terjun, wisatawan seperti dikepung ngarai menjulang. Perlu kehati-hatian saat melangkah dan mewaspadai perubahan cuaca maupun arus bah mendadak. Air terjun Kabut Pelangi lebih tinggi dan lebih deras daripada Kapas Biru. Jika beruntung dan berada dalam momen yang pas, akan terlihat segaris pelangi sesuai namanya. 

Menjadi pejalan bijak: hal-hal yang harus diperhatikan

Semua air terjun tersebut berada di wilayah perdesaan dan aksesnya melewati kawasan ladang dan permukiman warga. Oleh karena itu pengunjung harus menghormati peraturan setempat yang mungkin diberlakukan. 

Selain itu, TelusuRI juga menyarankan setiap pengunjung agar menjadi pejalan bijak, serta memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk menjaga lingkungan di sekitar tempat wisata. Berikut sejumlah tips yang bisa kamu lakukan selama berwisata di coban-coban tersebut.

  1. Menghormati adat istiadat di dusun sekitar tempat wisata.
  2. Mematuhi peraturan yang diberlakukan pengelola wisata.
  3. Mewaspadai perubahan cuaca, karena hujan deras di aliran hulu bisa menyebabkan bah kencang dan membahayakan keselamatan.
  4. Melengkapi diri dengan peralatan dan logistik yang memadai agar perjalanan berwisata aman dan nyaman.
  5. Meminimalisasi penggunaan botol minum kemasan dan plastik sekali pakai.
  6. Gunakan kotak makan untuk menyimpan bahan-bahan makanan kamu selama perjalanan.
  7. Memilih menu-menu makanan organik, seperti sayur, buah, dan bahan lainnya untuk meminimalisasi makanan kemasan sekali pakai.
  8. Membawa pulang sampah anorganik yang kamu hasilkan.
  9. Membawa kantung sampah secukupnya.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/7-air-terjun-di-perbatasan-malang-lumajang/feed/ 0 45722
Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri https://telusuri.id/membangun-masyarakat-desa-hutan-di-lumajang-pengabdian-untuk-negeri/ https://telusuri.id/membangun-masyarakat-desa-hutan-di-lumajang-pengabdian-untuk-negeri/#respond Wed, 31 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41059 Namanya Deddy Hermansjah. Laki-laki yang berusia hampir setengah abad ini merupakan seorang tim pendamping Integrated Area Development (IAD) Lumajang dan juga Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Raja Giri Lumajang. Ia sudah mendampingi masyarakat desa hutan...

The post Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri appeared first on TelusuRI.

]]>
Namanya Deddy Hermansjah. Laki-laki yang berusia hampir setengah abad ini merupakan seorang tim pendamping Integrated Area Development (IAD) Lumajang dan juga Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Raja Giri Lumajang. Ia sudah mendampingi masyarakat desa hutan di beberapa desa di Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur sejak 2002.

Beberapa waktu lalu, TelusuRI berbincang dengan beliau tentang aktivitasnya mendampingi IAD Lumajang. Berikut hasil wawancaranya. Simak, ya!

Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri
Deddy Hermansjah, Ketua LSM Raja Giri Lumajang

Apa saja program agroforestri atau silvopasture dan industri yang ada di IAD Lumajang?

Program agroforestri yang berkembang baik di Kabupaten Lumajang adalah Kelompok Tani Hutan (KTH) Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wono Lestari yang terletak di Desa Burno, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang.

KTH LMDH Wono Lestari didirikan pada tanggal 29 Juli 2006 dengan Akta Notaris No. 5/2006 dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU 0006625 AH 01.07.2017. Selanjutnya juga mendapatkan Surat Keputusan Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan dengan Nomor: SK.5633/MENLHK/PSKL/PKPS/PSL.0/10/2017 dengan kawasan Hutan Pangkuan seluas 940 hektare (ha).

Dalam proses perkembangannya terkait dengan tata kelola kawasan hutan, kelembagaan dan usaha masyarakat (agroforestri/silvopasture) KTH LMDH mendirikan beberapa Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), di antaranya:

  1. KUPS Peternakan Sapi Perah dengan kapasitas produksi 1.900.000 liter/tahun;
  2. KUPS Peternakan Kambing Etawa Senduro, kapasitas produksi susu 336.000/tahun;
  3. KUPS Pisang Mas Kirana dan Pisang Agung Semeru, kapasitas produksi 130 ton/tahun;
  4. KUPS Produksi Olahan Pertanian (keripik, sale), kapasitas produksi 7,2 ton/tahun;
  5. KUPS Kopi dengan kapasitas produksi 27 ton/tahun;
  6. KUPS Ternak Lebah, produksi 600 liter/tahun;
  7. KUPS Kerajinan (batik tulis bahan alam dan kerajinan lainnya), produksi sesuai permintaan;
  8. KUPS Talas dengan kapasitas produksi 84 ton/tahun; dan
  9. KUPS Wanawisata Siti Sundari, dengan rata-rata kunjungan 15.000 pengunjung/tahun
  • Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri
  • Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri
  • Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri

Bagaimana kondisi awal kawasan dan masyarakat sebelum ada program ini?

Pada awalnya, kondisi umum masyarakat Desa Burno dan beberapa desa lainnya di Kecamatan Senduro memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif rendah, pendapatan per kapita rendah, berpendidikan rendah, sehingga menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang rendah, dan mayoritas hanya bergantung kepada pertanian subsisten.

Pada awal pendampingan pada tahun 2001, kondisi infrastruktur sangat tidak memadai sehingga menyebabkan akses sangat terbatas. Kondisi tersebut membuat masyarakat terisolasi dari dunia luar. Kondisi geografis memaksa mereka menerima beban hidup yang lebih besar dibanding masyarakat desa lainnya. Pendapatan dan pengeluaran penduduk dalam satu keluarga dalam setahun menunjukkan nilai minus.

Sampai pada awal tahun 2000-an masih terasa ketidakadilan dalam distribusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terhadap masyarakat desa hutan. Distribusi dana Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang diterima pemerintah daerah memiliki presentasi yang tidak proporsional bagi desa sekitar hutan. Padahal masyarakat desa hutanlah yang menjadi benteng terakhir dalam membendung dampak negatif perusakan hutan.

Sejak diluncurkan pada akhir 2001, Program Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) oleh Perum Perhutani berupaya menjembatani interaksi antara masyarakat desa hutan dan Perhutani. Banyak yang meragukan PHBM akan bernasib sama seperti program-program sebelumnya yang pernah diluncurkan sejak 1970—2001.

Dalam perjalanan saya mendampingi masyarakat desa hutan di Burno dan beberapa desa hutan lainnya di Kecamatan Senduro. Saya melihat implementasi PHBM memiliki tingkat keberhasilan yang beragam. Di daerah lain begitu pesat pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa hutan dengan nilai konversi puluhan juta rupiah per tahun. Sementara di desa lainnya berkembang sangat lambat bahkan pada tingkat yang mengkhawatirkan. 

PHBM bukan hanya mengandalkan LMDH sebagai institusi yang berperan dalam keberhasilan ekonomi masyarakat desa hutan, tetapi dibutuhkan kerja sama antara Perhutani, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan komunitas bisnis. LMDH sebagai salah satu implementator haruslah dapat mengikuti alur perubahan yang terjadi di sekelilingnya. LMDH dituntut untuk terus berada dalam proses pembelajaran, memperbarui diri, serta mengembangkan kreativitas sosial ekonomi. 

Keberhasilan implementasi PHBM di Desa Burno yang dilaksanakan sejak tahun 2006 berhasil memberikan sumbangsih yang sangat berharga bagi percepatan dan pembangunan masyarakat desa hutan. Sumbangsih tersebut berupa munculnya tiga sumber energi, yaitu dana bagi hasil produksi, optimalisasi ruang kelola, dan sinergi kelembagaan lintas sektoral.

Pada tahun 2016, Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan program baru untuk membangun Indonesia dari pinggiran. Salah satunya adalah program perhutanan sosial. Pengaturan skema pengelolaan hutan disederhanakan dalam satu peraturan mengenai Perhutanan Sosial yang diatur oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. Sebuah program yang bertujuan melakukan pemerataan ekonomi melalui tiga pilar: lahan, kesempatan usaha, dan sumber daya manusia.

Akses legal mengelola kawasan hutan ini kami jadikan sarana untuk meneruskan keberhasilan program PHBM dan pada tahun 2017 KTH LMDH Wono Lestari Kecamatan Senduro menerima Surat Keputusan (SK) dari KLHK Nomor: SK.5633/MENLHK/PSKL/PKPS/PSL.0/10/2017.

Bagaimana awalnya meyakinkan masyarakat agar mau ikut serta dalam program?

Kemiskinan yang awalnya menghantui masyarakat desa hutan nyaris menjadi ketakutan turun temurun yang diturunkan ke generasi selanjutnya. Masyarakat desa hutan sangat bergantung pada aksesibilitas terhadap kawasan hutan, dan oleh sebagian orang dianggap sebagai “ancaman” kelestarian hutan di sekitarnya.

Beberapa hal yang mendorong saya untuk mengajak masyarakat desa hutan bersama-sama mengubah kondisi dan stigma yang dilekatkan kepada mereka. Kami harus berproses dengan berbagai daya upaya yang bisa dilakukan bersama. LMDH diperlakukan sebagai sebuah entitas sosio-ekonomi desa hutan sebagai poin permulaan dalam keberhasilan implementasi PHBM dan dilanjutkan dengan program perhutanan sosial dengan skema pengakuan dan perlindungan kemitraan kehutanan.

Sosio-ekonomi yang dimaksudkan adalah membangun ekonomi desa hutan berdasarkan atas nilai-nilai kearifan sosial yang ada di sana. Dalam upaya mewujudkan hal tersebut saya mendorong komunitas masyarakat desa hutan berperan aktif dalam tiga bentuk aktivitas:

  1. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan;
  2. Pengembangan inovasi ekonomi kreatif melalui penguatan modal dan jejaring pasar; dan
  3. Terus-menerus melakukan propaganda penyadaran upaya pelestarian hutan 
Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri
Peta klaster agroforestri dan silvopasture terpadu/KTH LMDH Wono Lestari

Apa saja tantangan yang dihadapi dalam menjalankan program-program ini?

Kecilnya persentase keberhasilan LMDH dalam implementasi PHBM menjadi kritik umum oleh banyak pihak. Kritik yang sering dilontarkan adalah LMDH adalah bentukan dan “Anak Perhutani” untuk menunjukkan kepedulian semua terhadap corporate social responsibility (CSR). Sebagian kasus benar terjadi demikian. Sebagian LMDH dibentuk secara tidak alamiah dan dipaksakan untuk ada.

Akibatnya, LMDH lebih mengejar kuantitas daripada kualitas organisasi. Dampaknya adalah ketidakberdayaan organisasi serta kurangnya pemahaman yang mendalam tentang tugas pokok, peran, serta fungsi.

Dengan proses yang tidak mudah kami berhasil meyakinkan beberapa tokoh masyarakat akan pentingnya menjaga dan melestarikan hutan. “Pendekatan dengan hati”, itulah yang kami lakukan ketika itu di tengah hiruk piruk penjarahan kayu hutan serta upaya penguasaan lahan kawasan hutan di beberapa desa di Kecamatan Senduro dan beberapa [desa lainnya] di Kabupaten Lumajang.

Pada 2006, beberapa tokoh masyarakat bersepakat mendirikan LMDH dengan biaya sendiri, mulai dari musyawarah, sosialisasi, sampai pembiayaan akta notaris. Terpeliharanya semangat mandiri dari para tokoh Desa Burno inilah yang membedakan dengan beberapa LMDH desa lainnya.

Apakah ada hambatan dalam menjalankan program ini dan bagaimana cara penyelesaiannya?

Hambatan dalam melaksanakan IAD tentu ada dalam proses implementasinya. Pertama, tentu saja tidak mudah dapat menyelaraskan pemahaman terkait konsepsi IAD antarlembaga.

Kedua, memadukan kepentingan banyak pihak merupakan hal yang sulit karena masing-masing lembaga memiliki tata cara birokrasi dan pakem yang berbeda. Ketiga, mensosialisasikan pengembangan IAD kepada masyarakat di tingkat bawah memerlukan waktu dan energi yang besar serta sinergi yang baik dari semua pihak.

Dampak perubahan yang dirasakan masyarakat akan program ini seperti apa?

Ada tiga perubahan yang tampak dalam pelaksanaan IAD program perhutanan sosial di Kabupaten Lumajang: 

  1. Dampak ekonomi yang paling terasa adalah hak pengelolaan lahan yang memberikan nilai tambah bagi aset tanah dan aset tumbuhan (yang memiliki nilai ekonomis) dan kemudian mendorong masyarakat untuk terus memanfaatkan lahan hutan untuk pariwisata dan kemudian akan mampu menyerap tenaga kerja yang banyak;
  2. Fungsi hutan secara sosial adalah sebagai penyedia kebutuhan dasar bagi masyarakat sekitar hutan sebagai sumber pencaharian, obat-obatan, penelitian, dan sebagainya. Sebelumnya sering terjadi konflik antara petugas negara dan masyarakat desa. Setelah penggarap lahan mendapatkan surat keputusan perhutanan sosial, mereka tidak perlu cemas lagi tiap kali memasuki rimba;
  3. Secara ekologi, hutan sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia, hewan, dan tumbuhan, antara lain sebagai penyerap karbondioksida, penghasil oksigen, sumber air, pencegah erosi dan banjir, habitat hewan, dan lainnya. Dalam konteks program ini, masyarakat diarahkan untuk meningkatkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif pengelolaan hutan.
Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri
Pemandangan Gunung Semeru di kejauhan saat pagi hari di destinasi wisata B-29, Desa Argosari, Senduro, Lumajang. Sisi kanan adalah kaldera purba Bromo berselimut kabut/Rifqy Faiza Rahman

Apakah ke depannya ada rencana pengembangan program atau pengembangan program pendukung yang baru?

Tentu. Ada beberapa rencana pengembangan IAD di Kabupaten Lumajang yang meliputi pengembangan desa adat dan desa tujuan pendakian Gunung Semeru di Ranupane, pengembangan objek wisata “Negeri di Atas Awan Puncak B-29” di Desa Argosari, pengembangan Bumi Perkemahan Glagaharum di Desa Kandangtepus, dan rencana pengembangan pembangunan kampus Universitas Islam Negeri di Desa Kandangtepus.

Harapan membangun bangsa yang berdikari dimulai dari wilayah yang terkecil. Sebuah desa yang terletak di pinggir hutan seyogianya bisa menjadi agen perubahan, meningkatkan ekonomi masyarakat tanpa merusak habitat yang telah ada sebelumnya.  Sayangnya belum semua desa mampu membangun perekonomian mereka secara mandiri. LSM sebagai penggerak diharapkan mampu memicu masyarakat untuk membuat ekonomi kreatif agar mampu mengurangi jumlah pengangguran dengan membuat usaha mandiri yang berbasis lingkungan.

Foto sampul:
Pemandangan Gunung Semeru dari Desa Ranupane. Desa ini merupakan jalur pendakian utama dan satu-satunya menuju puncak tertinggi Pulau Jawa tersebut/RifqyFaiza Rahman


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/membangun-masyarakat-desa-hutan-di-lumajang-pengabdian-untuk-negeri/feed/ 0 41059
Nuansa Bali di Argosari https://telusuri.id/nuansa-bali-di-argosari/ https://telusuri.id/nuansa-bali-di-argosari/#respond Fri, 20 Jan 2017 06:00:59 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=1244 Konon pada awal masehi Hindu sudah merambah kawasan nusantara. Ada yang mengatakan bahwa kepercayaan itu dibawa oleh pedagang, tentara yang yang kalah perang, hingga misionaris. Apapun itu, yang jelas Hindu telah memberi warna pada kerajaan-kerajaan...

The post Nuansa Bali di Argosari appeared first on TelusuRI.

]]>
Konon pada awal masehi Hindu sudah merambah kawasan nusantara. Ada yang mengatakan bahwa kepercayaan itu dibawa oleh pedagang, tentara yang yang kalah perang, hingga misionaris. Apapun itu, yang jelas Hindu telah memberi warna pada kerajaan-kerajaan besar seperti Kutai dan Majapahit. Pengaruh terbesar Hindu terasa sekali sekitar abad ke-14 manakala Majapahit berjaya. Runtuhnya Majapahit karena serangan dari kerajaan utara membubarkan kerajaan besar tersebut beserta pengaruh Hindunya. Ada versi sejarah yang mengatakan bahwa sebagian rakyat Majapahit melarikan diri ke Bali, namun ada pula yang akhirnya berdiam di sekitar Bromo. Namun ada pula kisah lain yang mengatakan bahwa ketika Majapahit bergolak wilayah Lumajang nyaris tidak terkena dampak.

Siang itu saya mengobrol dengan Pak Marto, seorang pemangku Pura Mandara Giri Semeru Agung di Senduro, Argosari, Lumajang. Dia menceritakan sepenggal kisah tentang Hindu di Pulau Jawa bagian timur. Menurut cerita, memang banyak pelarian Majapahit yang ke Bali dan menetap di sana. Sementara sisanya masih bertahan di seputaran kerajaan Majapahit di Trowulan. Saat itu, Pak Marto baru saja menerima tamu-tamu dari Bali yang datang untuk beribadah ke Pura Mandara Giri Semeru Agung. Pura ini adalah impian yang mewujud bagi warga Hindu Lumajang yang sejak tahun 1969 sudah ingin mendirikan tempat ibadah. Setelah melewati jalan yang panjang dan banyak rintangan, akhirnya berdirilah tempat ini.

Suasana Argosari/Dhave Dhanang

Makna filosofis pendirian pura ini berhubungan dengan mitos bahwa ketika Pulau Jawa terombang-ambing di lautan, Betara Guru memerintahkan memotong bagian puncak Mahameru di India dan menancapkannya di Tanah Jawa agar pulau ini menjadi tenang. Maka Gunung Semeru menjadi paku bumi Tanah Jawa.

Tahun 1992 di sisi timur Gunung Semeru berdirilah Pura Mandara Giri Semeru Agung. Kemegahan bangunan ini sudah terasa saat memasuki pintu gerbangnya. Rasanya seperti memasuki sebuah istana kerajaan. Nuansa Majapahit begitu terasa saat melihat ornamen bangunan. Barangkali benar yang dikatakan Pak Marto tadi: “Hindu di nusantara dipengaruhi oleh kebudayaan setempat, salah satunya adalah model-model bangunan pura.”

Saat memasuki pelataran pura, ternyata sedang ada sesi pengambilan gambar. Ada sosok-sosok mirip raja dan permaisuri, di belakangnya beberapa dayang mendampingi. Mereka sedang terlibat dalam pembuatan sebuah film. Meskipun tidak tahu persis kisah apa yang sedang difilmkan, saya kira tidak akan jauh-jauh dari tema Kerajaan Hindu di Tanah Jawa. Saya lanjut melihat-lihat sisi dalam pura. Namun sayang saya harus berhenti di gerbang sebab hanya mereka yang beribadah saja yang boleh masuk kawasan dalam pura. Untuk menghormati mereka yang beribadah, cukuplah saya sampai batas luar pagar saja.

Desa Argosari

Pura yang sudah didamba sejak 1969/Dhave Dhanang

Sebelum pergi ke sini, selama dua hari saya menyambangi desa Argosari yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Hampir di setiap rumah terdapat candi kecil sebagai tempat sembahyang dan meletakkan sesaji [seperti pelinggih di Bali]. Saya seolah-olah sedang berada di Bali. Namun akhirnya saya sadar bahwa justru dari sinilah umat Hindu Bali berasal. Aroma dupa tercium begitu kental, aneka buah-buahan disajikan, kain diselimutkan pada arca, dan hiasan janur melambai-lambai terkena terpaan angin. Meskipun ini Tanah Jawa, saya sedang berada dalam nuansa Pulau Dewata.

Sayup-sayup terdengar obrolan pemuda-pemuda desa yang bergerombol di depan rumah sambil berteduh dari sengatan matahari. Mereka mengenakan sarung. Di Desa Argosari, meskipun terletak di ketinggian 2000 mdpl sehingga udara terasa dingin, terik matahari tetap saja bisa dirasakan. Para pemuda tersebut mengobrol menggunakan bahasa daerah, bahasa Tengger, sehingga saya tidah paham apa yang mereka perbincangkan. Namun ketika saya bertanya, mereka menjawab dengan bahasa Indonesia.

Di sembir desa tampak sebuah danyangan. Di sebuah lembah yang curam ada sebuah bangunan yang dikeramatkan oleh penduduk desa Argosarid sebab di sinilah roh-roh leluhur mereka ditempatkan. Tepat di belakangnya sebuah pura kecil sedang direnovasi. Salah seorang pekerja mengatakan bahwa tempat ini digunakan untuk ngaben. Ngaben di sini bukan membakar jenazah seperti di Bali, tetapi sebagai tradisi simbolis saja sebab umat Hindu di sini dimakamkan dengan cara dikubur. Ngaben dilaksanakan secara simbolis dalam sebuah prosesi ibadah.

Masjid Jabal Nur Hidayatullah yang berdekatan dengan pura/Dhave Dhanang

Saya memperhatikan saat seorang pekerja sedang membuat wajah raksasa di dinding pura. Sekarang sangat susah mendapatkan batu utuh sehingga ornamen candi dibuat dari campuran semen dan pasir. Mereka tak lagi memahat, melainkan mencetak. Salah seorang pembuat ornamen candi ternyata beragama Islam. Ia begitu lihai membuat benda-benda yang beraroma Hindu. “Saya tukang, sehingga harus bisa dan tidak ada hubungannya dengan agama.” Seseorang bisa melahirkan mahakarya bernuansa kepercayaan apapun, terlepas dari kepercayaan yang dianutnya. Lantas saya ingat bahwa yang mendesain Masjid Istiqlal adalah F. Silaban yang beragama Katolik.

Langkah kaki ini membawa saya pada sebuah bangunan di dekat pura yang tak lain tak bukan adalah masjid tertinggi di Pulau Jawa. Masjid Jabal Nur Hidayatullah ini terletak pada 2.264 mdpl, dekat sebuah pura. Dari sini kamu bisa melihat awan-awan yang berarak di bawah sana. Konon kampung ini begitu kondang sampai-sampai banyak yang menyebutnya sebagai Kampung Nirwana. Manakala sebuah pura dan masjid berjajar dan pemeluknya hidup berdampingan, saya tak habis pikir kenapa Majapahit bisa runtuh.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Nuansa Bali di Argosari appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/nuansa-bali-di-argosari/feed/ 0 2211