luwu Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/luwu/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sat, 10 Aug 2024 02:26:50 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 luwu Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/luwu/ 32 32 135956295 Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar https://telusuri.id/perjalanan-mematahkan-mitos-ke-pulau-selayar/ https://telusuri.id/perjalanan-mematahkan-mitos-ke-pulau-selayar/#respond Sat, 10 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42488 Entah sejak kapan, tetapi yang pasti cerita-cerita perihal Luwu dan Selayar telah lama saya dengar. Mungkin sejak SMP dulu. Anekdot “orang Luwu tidak boleh ke Selayar” membuat Selayar menjadi kabupaten terakhir di Sulawesi Selatan yang...

The post Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar appeared first on TelusuRI.

]]>
Entah sejak kapan, tetapi yang pasti cerita-cerita perihal Luwu dan Selayar telah lama saya dengar. Mungkin sejak SMP dulu. Anekdot “orang Luwu tidak boleh ke Selayar” membuat Selayar menjadi kabupaten terakhir di Sulawesi Selatan yang belum pernah saya kunjungi.

Ada potongan sejarah yang mendasari sampai istilah tersebut tumbuh di antara masyarakat Luwu. Padahal secara geografis, Luwu berupa daratan seluas 3.000 km2 dan berada sangat jauh dari Selayar. Sekitar 333 km jika ditarik garis lurus. Namun, perjalanan yang menghubungkan keduanya bisa ditempuh sekitar 18–19 jam dengan bergonta-ganti moda transportasi: bus, mobil, motor, hingga kapal feri.

Setelah lebaran Idulfitri (11/4/2024), saya mencoba perjalanan panjang perdana ke Selayar. Saya cukup beruntung ditemani beberapa teman mengajar di pelosok Maros saat masih kuliah dulu. Ada Kak Bagus, Kak Wiwi, Kak Yasmin, Kak Jannah, Kak Nono, Kak Fajar, Kak Mifta, seorang teman asli selayar bernama Kak Yudi, dan seorang teman yang kebetulan sedang berada di Selayar saat kami ke sana. 

Perjalanan Darat Palopo–Makassar–Bulukumba

Di titik jemput bus di jalan poros lintas provinsi daerah Binturu, Kak Bagus telah menunggu di sana bersama satu tas besar dan sebuah daypack. Barang bawaannya banyak, karena dia akan langsung kembali ke tempat kerjanya di daerah Papua setelah dari Selayar. Setengah jam menunggu, bus kami akhirnya tiba dan berangkat sekitar pukul 20.30 WITA.

Palopo–Makassar menjadi perjalanan darat terpanjang dengan waktu tempuh  9 jam penuh. Kami tiba di Makassar keesokan harinya pada pukul 06.00 WITA. Setelah menaruh seluruh oleh-oleh dari kampung, saya langsung berangkat ke titik kumpul, yaitu rumah seorang teman di Jalan Paropo. Di sini, kami menunggu minibus yang disewa untuk mengantarkan kami ke Bulukumba sejauh 160-an kilometer atau lebih dari empat jam perjalanan.

Ada enam orang yang berangkat dari Makassar. Satu orang lainnya berangkat dengan motor dari Bone, satu orang berangkat dari Bantaeng, dan satu orang sudah menunggu di rumahnya di Bulukumba. Adapun seorang lagi sudah berada di Selayar selama seminggu. Ia menghabiskan libur panjang lebaran bersama keluarga. 

Sopir rental kami sudah datang, yang ternyata dia adalah teman sekelas Kak Wiwi di Bulukumba. Kami banyak berbincang dan menertawakan hal-hal acak selama perjalanan. Setibanya di rumah Kak Wiwi di kawasan Desa Alla, kami hanya beristirahat kurang dari 15 menit lalu melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Bira dengan diantar adik Kak Wiwi.

Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar
KMP Takabonerate yang melayani rute Bira-Selayar/Nawa Jamil

Nyaris Tertinggal Kapal

Pelabuhan Bira berjarak 30–40 menit dari Desa Alla. Kami berjalan dengan perasaan waswas takut tertinggal kapal terakhir ke Selayar yang berangkat pukul 14.00 tepat. Sementara kami sudah cukup dekat dengan pelabuhan, tetapi belum sampai juga. Beberapa teman terus menelepon, menanyakan plat nomor dan meminta kami untuk melaju lebih cepat.

Kami memasuki gerbang pelabuhan pukul 14.10. Terlihat di kejauhan kapal seperti siap lepas landas, tetapi belum. Ini membuat semua yang berada di mobil merasa lega. 

“Mobil antar penumpang, Pak!” seru kami begitu dicegat oleh salah seorang petugas di pos jaga. 

“Oh, iya. Cepat mi dek! Aduh!” Timpalnya dengan sedikit mengeluh atas keterlambatan kami. 

Mobil mengantar kami tepat di depan pintu rampa yang akan segera tertutup. Begitu turun dari mobil dan pamit sepenuh hati pada adik Kak Wiwi, kami langsung berlari menuju pintu. Di sana seorang teman yang sedari tadi kukuh menahan agar kapal bisa menunggu lima temannya, kini bisa bernapas lega. Beberapa orang menyoraki kami.

Setelah memastikan semuanya aman, kami masuk ke bagian atas kapal karena semua dek penumpang sudah penuh. Baru saja menaruh tas dan duduk sebentar, kapal langsung melaju. Menandakan kami orang terakhir yang ditunggu. Bukan sebuah kebanggaan, tetapi pengalaman mengejar kapal pertama saya ini cukup seru juga.

Cerita di Atas Kapal

Kru kapal memberi kami satu set makanan berat, terdiri dari nasi, potongan kecil ayam, dan sedikit sayur. Meskipun porsinya cukup sedikit, tapi Kak Jannah, teman kami dengan cekatan membawa bekal lauk-pauk melimpah yang tersisa dari momen lebaran keluarganya. Ia langsung mengubah nasi kotak biasa kami menjadi makanan mewah yang kaya protein dan lemak.

Sambil makan, saya berusaha membuka percakapan dengan Kak Yudi. Dulu kami hanya bertemu sekali di Pulau Lanjukang saat melakukan salah satu kegiatan relawan hasil kolaborasi antarkomunitas. Berawal dari banyak percakapan liar, lalu berakhir dengan satu ajakan, “Nanti kalau ke Selayar kabari saja, nah!”

Akhirnya hari saya berkunjung ke Selayar tiba. Cukup beruntung Kak Yudi, orang asli Selayar dan pemandu wisata, bisa menemani kami dalam perjalanan ini selama beberapa hari ke depan. Jadwal yang begitu mepet membuat saya tidak sempat berbincang banyak dengan Kak Yudi.

Kapal sudah berlayar setengah jalan. Usai memakan jatah nasi dan lauk yang dibawa Kak Jannah dari rumah, saya lalu mengambil tempat di samping Kak Yudi yang saat itu tengah tenggelam dalam isapan rokoknya.

“Maaf, ya, Kak. Tadi Kak Yudi lama menunggu di daerah Bantaeng,” terang saya memulai percakapan. 

“Oh, tidak apa-apa, kok, Kak,” balasnya. 

Selama mengarungi Laut Flores, kami bercerita banyak tentang Selayar dan perjalanan pertamaku ke kepulauan tersebut. Tentu, perihal mitos orang Luwu tidak boleh ke Selayar menjadi topik pertama yang kulontarkan kala itu.

”Kak Yudi, aku kan orang Luwu nih, Kak. Kakak pernah dengar tidak tentang mitos kalau orang Luwu enggak boleh ke Selayar?”

Kak Yudi terlihat sedikit terkejut. Alisnya sedikit naik mengetahui aku dari tanah Luwu. “Oh, ya? Kamu orang Luwu, toh?”

Dari perspektif orang Selayar, Luwu merupakan satu daerah yang berkaitan erat dengan Selayar. Ada banyak sejarah yang melatarbelakangi lahirnya mitos tersebut. Namun, sebagai orang asli Selayar, Kak Yudi pun tidak mengetahui perihal larangan itu.

“Kalau yang kutahu, sih, orang Selayar tidak pernah berjodoh (dalam hal ini menikah) dengan orang Luwu, tetapi mitos yang kamu bilang tadi saya kurang tahu.”

Ia lalu melanjutkan, “Tapi memang Pulau Selayar ini punya sejarah yang kental dengan kepercayaan orang Luwu, juga kisah dalam Kitab La Galigo.”

  • Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar
  • Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar

Hikayat We Tenri Dio 

Ada banyak sumber dan versi tentang Pulau Selayar, serta kedekatannya dengan Sawerigading. Pelayaran menjadi kata kunci atau benang merahnya. I Malaniki, raja pertama Selayar, dalam beberapa versi disebut We Tenri Dio, anak dari Sawerigading. Dikisahkan Sawerigading dan sang istri, We Cuddai beserta ketiga anaknya, La Galigo, We Tenri Dio, dan We Tenri Balobo melakukan perjalanan bersama dari Cina ke Luwu lalu singgah di Selayar.

Terdapat perbedaan pendapat dari sebab persinggahan mereka. Ada sumber yang mengatakan perahu mereka mengalami kecelakaan di laut hingga terdampar di Selayar. Versi lain menyebut perahu Sawerigading hendak mengganti layar di pulau ini. Ada pula yang bilang perahu tersebut memang dijadwalkan untuk berlabuh sementara di Selayar. 

Singkat cerita, atas restu dari kedua orang tuanya, We Tenri Dio memutuskan menetap di Kepulauan Selayar. Di Selayar, We Tenri Dio yang orang Luwu kemudian dikenal sebagai I Muri I La Judiu Nikana La Tenri Dio menjadi raja pertama di Putabangun, kerajaan tertua di Pulau Selayar. Ia menikah dan menetap hingga akhir hayatnya di Selayar. Makamnya berada di sebuah kuburan tua dengan nisan di utara, menandakan kuburan ini telah ada sebelum ajaran Islam masuk ke Selayar. Ia dimakamkan bersama tiga kuburan lainnya, salah satunya Lalaki Sigayya, sang suami.

Di pulau ini juga ditemui salah satu jejak kapal Sawerigading, Gong Nekara. Konon, gong ini merupakan salah satu bagian dari kapal Sawerigading yang berfungsi sebagai pertanda saat kapal hendak singgah di pelabuhan-pelabuhan. Gong ini dipercaya hanya ada sepasang di seluruh dunia, yaitu di Vietnam dan Pulau Selayar serta merupakan sepasang “suami-istri”.

Setelah menyelidiki sejarah Selayar dan Luwu, saya sampai pada satu kesimpulan. Tidak pernah ada larangan yang membatasi kedua masyarakat dari tanah berbeda itu saling mengunjungi satu sama lain.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-mematahkan-mitos-ke-pulau-selayar/feed/ 0 42488
Ekspedisi Katakerja, Penjelajahan Pangan Olahan di Tanah Luwu https://telusuri.id/ekspedisi-katakerja-penjelajahan-pangan-olahan-di-tanah-luwu/ https://telusuri.id/ekspedisi-katakerja-penjelajahan-pangan-olahan-di-tanah-luwu/#comments Mon, 12 Jun 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38940 Saya cukup beruntung mendapatkan kesempatan menjelajahi pangan olahan di tanah kelahiran, Luwu, Sulawesi Selatan. Rangkaian ini bermula dari workshop selama dua hari penuh di Kampung Buku, daerah Bantimurung, Kabupaten Maros. Dalam kegiatan tersebut, para relawan...

The post Ekspedisi Katakerja, Penjelajahan Pangan Olahan di Tanah Luwu appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya cukup beruntung mendapatkan kesempatan menjelajahi pangan olahan di tanah kelahiran, Luwu, Sulawesi Selatan. Rangkaian ini bermula dari workshop selama dua hari penuh di Kampung Buku, daerah Bantimurung, Kabupaten Maros.

Dalam kegiatan tersebut, para relawan penyusunan Ensiklopedia Pangan Olahan berkumpul bersama, menerima sejumlah pelatihan dasar. Di antaranya terkait teknik pengumpulan dan penyusunan data lapangan yang diperoleh, teknik dasar fotografi, serta penyamaan persepsi terkait alat pengumpulan data yang akan kami gunakan di lapangan. Semuanya berlangsung lancar hingga waktu pembagian tim.

Tim Luwu terdiri atas Nuning dari Katakerja, Aspar, Zul, Naufal, Lute, Dewe, Bahar, dan saya. Kami berangkat dalam rentang waktu yang sama dengan tim lainnya. Yang kami siapkan tidak banyak, selain lembar informasi yang harus dikumpulan, riset awal terkait dengan pangan olahan per peneliti, dan barang pribadi seadanya.

Kendala Teknis di Perjalanan

Perjalanan kami mulai dari lokasi persewaan mobil—yang akan kami gunakan seminggu ke depan—di daerah BTP Tamalanrea. Lalu bergeser ke area kampus untuk menjemput Nuning dan Lute. Aspar bergabung esok malam dengan mengendarai bus ke Palopo, sementara Bahar sudah menunggu kami di Masamba.

Malam itu mobil kami bergerak sejauh 365 km dari Makassar menuju Palopo. Saya dan Lute duduk di bangku tengah. Nuning di kursi depan kiri, sementara Dewe memegang kendali setir. Perjalanan lancar hingga kami tiba di daerah Pekkae. Terjadi kendala teknis di kawasan ini.

Jalanan yang kami lewati cukup bergelombang. Dewe menyadari keadaan mobil yang bermasalah dan segera menepi. Saya pun ikut turun dan merasakan suhu dingin langsung menusuk ke tulang. Kami mendapati ban mobil kanan belakang yang robek hingga menghabiskan sisa udaranya.

Tak hanya ban mobil yang bermasalah. Sepertinya kami yang malam itu berada di jalan tersebut sendirian juga menjadi masalah. Belum ada kendaraan lain yang melintas. Jarak dengan kampung cukup jauh. Kami memutuskan menunggu pagi yang akan datang sekitar satu jam lagi sembari beristirahat di dalam mobil.

Kami beruntung, seorang laki-laki datang membantu dan mengganti dengan ban cadangan yang tersimpan di bagasi mobil pagi. Setelah itu kami kembali melaju untuk menjemput seorang teman di Kota Palopo. Dari sini perjalanan tinggal sekitar satu setengah jam menuju daerah pusat Masamba, tepatnya di belakang kantor polsek setempat.

Kak Mamat, sang pemilik rumah sepertinya tahu kami akan tiba. Begitu mobil masuk ke pekarangan rumahnya, ia siaga menyambut di depan. Rumah yang kami tinggali selama di Masamba ini merupakan lokasi posko bencana sewaktu respon bencana banjir bandang di Masamba awal periode COVID-19 lalu. 

“Kenapa baru tiba siang? Aman perjalanan ke sini?” tanya Kak Mamat. 

Saya menyahut, “Tadi ban mobil sempat bocor di Pekkae, Kak, tapi alhamdulillah aman.” Usai bercerita sebentar, kami membongkar barang bawaan dan mulai membereskan beberapa urusan.

Ekspedisi Katakerja, Penjelajahan Pangan Olahan di Tanah Luwu
Monumen di kawasan Istana Kedatuan Luwu/Nawa Jamil

Pengabadian Kekayaan Pangan Tanah Luwu

Agenda Ensiklopedia Pangan Olahan ini terbagi dua. Pertama, kegiatan penelitian, penulisan, dan pendokumentasian. Kedua, mengunjungi Luwu dalam rangka seminar hasil penelitian pangan olahan sebelumnya. Waktu penelitian, penulisan, dan pendokumentasian kami habiskan sebagian besar di Kota Palopo, yang menelurkan sekitar 15 pangan olahan khas Luwu. 

Luwu sendiri merupakan sebuah daerah yang terpecah menjadi beberapa kabupaten. Pada dasarnya, Tana Luwu merujuk pada daerah kekuasaan Kedatuan Luwu pada masa lalu, dengan ibu kota di Belopa. Tidak seperti Pulau Jawa dengan banyak pendokumentasian, penarasian, maupun penulisan asset-aset budayanya, sampai ensiklopedia yang kami kerjakan tempo hari, nihil ditemukan tulisan-tulisan terkait pangan olahan di daerah Sulawesi Selatan–Barat. Hal inilah yang mendasari ensiklopedia ini kami garap.

Bisa jadi ketika para penutur asli pergi mendahului kita, tidak akan tersisa jejak-jejak sejarah tentang makanan yang tersaji di meja makan. Atau lebih parahnya, makanan yang menjadi identitas sejarah ini justru berganti dengan makanan-makanan modern dan kita tidak perlu mengetahui cara memasaknya: cukup datang ke gerai cepat saji, memesan, membayar, dan makanan akan tersedia dalam sepuluh menitan. 

Ekspedisi Katakerja, Penjelajahan Pangan Olahan di Tanah Luwu
Sesi dokumentasi pembuatan pangan olahan/Nawa Jamil

Kapurung, Hidangan Khas Luwu dari Ibu

Perjalanan mengabadikan pangan olahan khas Luwu memberikan saya perspektif baru tentang tanah kelahiran. Bahkan tentang jalan-jalan yang biasa saya lalui sejak kecil.

Pertama adalah kapurung, makanan berbahan dasar sagu yang sangat mudah kami jumpai. Warung kapurung khas Palopo pun ada di beberapa penjuru Kota Makassar. Kapurung, pada dasarnya bukan sekadar makanan, melainkan jejak orang-orang Luwu di masa lampau. Mereka bertahan hidup dengan memanfaatkan segala tumbuhan yang hidup di sekitar daerah ini.

  • Ekspedisi Katakerja, Penjelajahan Pangan Olahan di Tanah Luwu
  • Ekspedisi Katakerja, Penjelajahan Pangan Olahan di Tanah Luwu

Kami mendokumentasikan kapurung di dua tempat, yaitu rumah saya yang berada di dekat daerah pantai dan rumah Lute. Pagi itu, kami yang masih menginap di rumah Zul, bergegas menuju kantor Dinas Pariwisata sebelum melabuhkan perjalanan ke rumah saya. Saya juga mendapat kabar bahwa ibu saya sedang memasak dengan penuh semangat sembari menunggu rombongan kami tiba di rumah.

Di rumah, ibu saya menyiapkan hidangan makan siang. Kami bersiap mengambil beberapa footage mengenai proses pembuatan kapurung. Selain kapurung, ibu menyediakan hidangan lain seperti udang rebus, ikan bakar dengan kondimen jeruk, garam, cabai, dan asam, termasuk lawa paku dan pacco—makanan khas luwu yang kerap dinikmati bersama kapurung.

Usai mengisi perut hingga penuh, kami bergeser menuju Masamba untuk kali pertama. Kami janji berjumpa Bahar dan salah seorang pejabat pemerintahan di sana. Begitu tiba, kami berbincang banyak dengan mereka. Berdiskusi dan tentu saja menyusun rencana liputan selama berada di sini.

Ekspedisi Katakerja, Penjelajahan Pangan Olahan di Tanah Luwu
Proses pembuatan pacco, makanan khas Luwu yang biasa dinikmati bersama kapurung/Nawa Jamil

Aneka Pangan Khas Luwu Lainnya di Masamba

Esok harinya kami berkunjung ke Sassa, salah satu desa di pegunungan Masamba yang menyimpan sejarah pangan dan budaya. Suku Limola, salah satu suku yang diyakini berasal dari To’manurung mendiami desa ini.

Fajar, seorang teman di Makassar, menyambut kedatangan kami. Di rumahnya kami mendapat kesempatan mendokumentasikan beberapa pangan olahan khas Luwu, seperti jus sulikan, rapa-rapa, kapurung, dan lappa-lappa.

Ekspedisi Katakerja, Penjelajahan Pangan Olahan di Tanah Luwu
Jus sulikan, hidangan olahan khas dari tumbuhan endemik Luwu/Nawa Jamil

Menurut saya, jus sulikan menjadi pangan olahan yang paling unik. Rasanya asam seperti jambu biji, tetapi sedikit pekat dan pahit. Sekilas, sulikan mirip dengan patikala/batikala, atau buah kecombrang. Hanya saja tumbuhan ini lebih lonjong dan merupakan endemik daerah Sassa.

Pada akhirnya, kami makin menikmati banyak hal. Mulai dari lahan pangan hingga beragam kisah penuh sejarah yang orang-orang tua ceritakan di sekitar kami.

Setelah menyelesaikan agenda di Desa Sassa, kami kembali ke Kota Palopo. Di sana, kami beristirahat sebelum kembali beraktivitas esok hari. Agenda utamanya adalah penyusunan seluruh bahan-bahan wawancara menjadi satu narasi.

Ya, setidaknya setelah buku ini rampung, Sulawesi Selatan dan Barat akan memiliki sebuah pendokumentasian sejarah pangan olahan. Serta narasi yang akan selalu bertahan melewati perkembangan zaman.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ekspedisi Katakerja, Penjelajahan Pangan Olahan di Tanah Luwu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ekspedisi-katakerja-penjelajahan-pangan-olahan-di-tanah-luwu/feed/ 1 38940