madura Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/madura/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:54:52 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 madura Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/madura/ 32 32 135956295 Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep https://telusuri.id/beranda-kopi-etika-bertamu-masyarakat-sumenep/ https://telusuri.id/beranda-kopi-etika-bertamu-masyarakat-sumenep/#respond Fri, 07 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45881 Siang itu, saat libur tahun baru, saya pergi mengantar ibu dengan motor, bersilaturahmi ke teman lamanya di desa sebelah. Teman ibu itu menyilakan kami duduk di beranda rumahnya. Betapa pun ia kaya, tetapi ia tak...

The post Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep appeared first on TelusuRI.

]]>
Siang itu, saat libur tahun baru, saya pergi mengantar ibu dengan motor, bersilaturahmi ke teman lamanya di desa sebelah. Teman ibu itu menyilakan kami duduk di beranda rumahnya.

Betapa pun ia kaya, tetapi ia tak mengubah begitu saja bentuk rumahnya; masih nuansa kuno yang oleh orang Madura disebut Roma Pacenan, rumah dengan fitur beranda yang luas sebagai tempat untuk menjamu tamu. Saya pun bertanya banyak tentang beranda. Teman ibu bercerita perihal beranda.

Percakapan ibu dengan teman lamanya sungguh begitu karib, diselingi tawa dan canda khas masa lalunya yang kadang tidak saya pahami. Keduanya seperti tengah meluapkan rasa rindu yang selama ini tertahan. Semua luap dalam aktivitas bertamu siang itu.

  • Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep
  • Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep

Filosofi Beranda bagi Orang Sumenep

Bagi orang Sumenep, Madura, beranda bukan semata fitur eksterior bangunan untuk orientasi estetik. Juga tidak sekadar transformasi desain fasad dari imaji-imaji artistik. Lebih dari itu, ia adalah manifestasi dari karakter ramah pemiliknya. Lambang rasa empati. Atribut kesolidan yang dicandrakan untuk menunjukkan rasa sosial yang tinggi.

Beranda dibangun sebagai podium kultur guna merepresentasikan spirit kesetiakawanan melalui aktivitas moy-tamoyan (kegiatan bertamu), yang biasanya berlangsung dengan komposisi percakapan seputar aktivitas keseharian. Tentu saja dilengkapi dengan seruputan kopi, hidangan camilan, dan nyala rokok yang mengepulkan asap. Semua larut dalam cakap yang setara, upaya menarik simpul temali ukhuwah, agar kian erat dan kuat.

Di beranda, denah posisi antarkursi tamu ditaja saling berhadap-hadapan, meja berada di tengah-tengah sebagai pola sekat minimalis dengan fungsi pokok sebagai tempat saji aneka suguhan. Sehingga dengan posisi seperti itu, percakapan bisa dimungkinkan untuk lebih energik dan komunikatif karena tamu dan tuan rumah bisa saling tatap atau bermuwajahah.

Bagi orang Sumenep, menatap wajah lawan bicara adalah sebuah etika, agar si lawan bicara merasa betul-betul diresapi, direspons, dan dihormati dengan baik. Kecuali ketika lawan bicara adalah orang-orang yang disegani, seperti kiai, guru, mertua, dan lainnya, maka hendaknya direspon dengan cara menunduk takzim. Demikian beranda bagi orang Sumenep dimaknai sebagai tempat pergulatan beragam bentuk etika guna menghadirkan eksistensi diri sebagai manusia yang berbudaya. Beranda juga sebagai bukti historis untuk menaut temali persaudaraan di tengah konfigurasi wilayah hunian yang terpecah-pecah karena terpisah oleh bentang ladang sebagaimana yang digambarkan Ma’arif (2015: 131).

Dari beranda dan percakapan ringan itulah kemudian muncul gagasan-gagasan brilian, rencana-rencana prospektif, yang bersintesis membentuk muara konsensus dari beragam perspektif. Sebagai masyarakat agraris, topik yang sering diperbincangkan di beranda—terutama oleh masyarakat desa—biasanya lebih pada kupasan perihal pertanian. Obrolan seputar etos dan mekanisme kerja agraris itulah yang menggebukan spirit berdiskusi masyarakat Sumenep kian hidup di beranda. Bahkan di masa penjajahan, beranda jadi sentra komunikasi bagi tumbuhnya embrio perjuangan, yang diimplementasikan jadi perlawanan-perlawanan heroik dalam rangka meredam praktik-praktik kolonial yang mengancam kehidupan bangsa dan negara.

Konon, orang Sumenep yang rumahnya tak memiliki beranda, bisa disimpulkan sebagai orang yang cenderung individualis, kurang membuka pintu untuk aktivitas sosial, dan seperti dengan sengaja membuat garis demarkasi yang berjarak dengan interaksi warga pada umumnya. Maka orang-orang menjadi sungkan untuk bertamu.

Kalaupun misalnya di dalam rumah itu ada ruang tamu khusus, tetapi bagi orang Sumenep, ruangan interior lebih dipahami sebagai wilayah privasi, macam semesta mini bagi aktivitas intern keluarga yang bersifat rahasia, atau sebagai tempat barang-barang yang tak boleh dijangkau publik. Itulah alasan deduktif yang lahir atas pertimbangan konstruksi kultur azali yang dianggap—mendekati—suci.

Kiri: Tuan rumah menyajikan kopi dengan posisi gagang cangkir searah tangan kanan tamu. Kanan: Di Sumenep, rokok yang disuguhkan dengan posisi korek ada di atas bungkusnya, itu pertanda rokok tak boleh diambil, tamu yang paham etika akan mengabaikan rokok tersebut. Berbeda jika korek ditaruh di samping bungkus rokok/A. Warits Rovi

Konstruksi Etika di balik Secangkir Kopi

Tradisi bertamu, kopi, dan beranda merupakan media silaturahmi integratif dari budaya luhur yang memiliki rasa sosial yang tinggi. Aktivitas bertemu dan bertamu dimafhumi sebagai ruang berbagi rasa antarjiwa yang didapuk sebagai pondasi primer dalam membangun hubungan yang harmonis, mempererat tali solidaritas, hingga menciptakan ruang komunikasi yang mutualistis.

Spirit bertemu dan bertamu ini oleh tetua Sumenep—dan Madura secara umum—sampai diabadikan dalam pantun lawas yang biasa diucapkan ketika seseorang dengan orang lain lama tidak bertemu: abit ta’ ajamu, orongnga lencak daja; abit ta’ atemmu, kerrongnga tada’ pada. Isi pantun tersebut jika diayak ke dalam redaksi bahasa yang sederhana akan bermakna seperti ini: kita lama tidak bertemu, betapa beratnya rasa rindu.

Rindu adalah emosi personal yang tumbuh kuat karena adanya faktor keterikatan yang intim antara batin ke batin. Kondisi psikologis ini tumbuh dari embrio cinta yang dahsyat—berbiak sebagai taja substantif dalam menakar dan menakir spirit kebersamaan bahkan hingga pada sendi-sendi yang menjurus ke medan kemanusiaan yang terdalam.

Di sela obrolan hangat yang terus berlangsung, kemudian teman ibu itu menyuguhi kami kopi dan camilan. Betapa hati-hatinya ia menurunkan cangkir kopi dari talam ke atas meja, lantas tak lupa memutar cangkir itu perlahan hingga gagangnya tepat sejalur dengan posisi tangan kanan tamu.

Di beranda, konstruksi etika didemonstrasikan sebagai nilai-nilai luhur yang konkret dan elegan. Hal itu bisa dilihat dari cara tuan rumah menyajikan suguhan. Dimulai dengan menyuguhkan secangkir kopi dengan posisi gagang cangkir tepat sejajar dengan tangan kanan si tamu, dengan maksud agar mudah diminum; menjulur rokok yang bungkusnya sudah dibuka, lengkap dengan korek apinya lalu diletakkan secara berjajar. Sebab, jika korek api ditaruh di atas bungkus rokok, hal itu bagi orang Sumenep dimaknai sebagai larangan agar tamu tidak mengambil rokok itu.

Tuan rumah juga disarankan untuk tidak melihat mulut tamu yang mengunyah makanan agar tamu tak merasa sungkan. Si tamu juga punya senarai etika tersendiri; ia tidak boleh mencicipi suguhan tuan rumah sebelum si tuan rumah menyilakan untuk dinikmati. Si tamu tidak etis memakan suguhan tuan rumah dalam porsi yang banyak seperti di rumahnya sendiri.

Selain itu, si tamu tidak etis berbincang tema-tema jorok saat bercakap-cakap, juga tak boleh bercakap dengan suara dan tawa yang nyaring. Si tamu tidak sopan bila menyantap makanan dengan acuh tak acuh, semisal hanya mengulek-ulek hingga berantakan tapi cuma dimakan sedikit, dan masih banyak etika lain dalam aktivitas bertamu. Intinya, beranda adalah ruang demonstrasi etika sekaligus atribut sensitivitas sosial yang merepresentasikan kecenderungan jiwa luhur pemiliknya.

Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep
Tata letak beranda rumah masyarakat Sumenep di masa sekarang untuk menerima tamu/A. Warits Rovi

Menjaga Ruang Temu di tengah Modernisasi

Namun, pada dinamika roda evolusi yang berputar—etika yang maujud sebagai produk kultur—tak melulu berdiri di umpak yang konstan. Ia secara perlahan bermetamorfosa pada  replika baru, tetapi tetap hadir dalam substansi sebagai rumusan nilai-nilai standar umum antara wajar dan tidak atau benar dan salah. Seiring masuknya desain rumah dengan arsitektur kontemporer, maka dengan perlahan, dalam waktu yang agak lama, warga Madura juga mulai adaptif dengan ruang tamu indoor. Walau di luar itu, hati orang Sumenep sebenarnya juga masih tak bisa menampik suara nostalgia beranda—yang keberadaannya tetap lekat dalam hati—dengan ragam kenikmatan esoterisnya yang tak terduakan.

“Tapi di sini cuma rumahku yang masih setia pada bentuk kuno dengan beranda seperti ini. Rumah yang lain sudah modern. Tanpa beranda. Sekadar teras mini untuk dua kursi ala-ala kota yang cukup menghidupkan suasana mengobrol suami-istri, tak representatif jika untuk tamu. Karena saat ini, anak-anak muda tak lagi suka ngobrol di beranda, mereka lebih memilih kafe-kafe,” ucapnya pada ibu, memantul respons yang semipahit bagi diri saya mengingat saya juga termasuk anak muda. Namun, setelah saya pikir dengan cermat, apa yang ia ucapkan itu memang betul.

Seiring dengan evolusi ruang tamu, di luar telah berkelindan laju perubahan cara bertamu yang bermutasi dari rumah ke kafe-kafe. Titik magnetis spirit bertamu di kafe-kafe sebenarnya tetap sama dengan yang di beranda, yaitu adanya faktor kebiasaan ngopi. Ya, lagi-lagi perihal kopi. 

Mutasi hasrat bertamu dari beranda ke kafe-kafe sebenarnya masih tergolong perubahan evolusi yang wajar. Meski dalam satu sisi sedikit merenggangkan kekariban esensial yang kulturnya diwariskan melalui aktivitas moy-tamoyan di beranda, tetapi bertamu di kafe masih melangsungkan sua jasad yang saling berinteraksi secara tatap muka dan melibatkan komunikasi langsung, sehingga interaksi psikologis masih lebih kuat terbangun. 

Lantas bagaimana dengan evolusi hasrat bertamu generasi Alpha di masa depan? Bisa dimungkinkan layar gawai bakal jadi ruang tamu virtual, kopi sudah malih wujud ke bentuk yang artifisial, dan keakraban akan mewujud dalam takar yang semi, semu, bahkan mungkin maya. Dan saat itulah beranda bakal jadi artefak masa lalu yang abadi dalam folder historis—yang mungkin dirindukan atau malah mungkin ditertawakan. Sebab, pada galibnya, masing-masing zaman memiliki eksistensi dan konstruksi etika tertentu yang tidak statis.

Setelah obrolan dirasa cukup, saya sengaja mengajak ibu untuk pulang dengan alasan tertentu. Sebab, obrolan ibu bagai kapal yang tak kunjung menemukan dermaga, terus berlanjut dan berlanjut. Etika tamu adalah tahu diri; siapa tahu tuan rumah masih ada acara, tamu tak boleh terlalu lama agar rencana tuan rumah tak terganggu.


Referensi:

Ma’arif. (2015). The History of Madura. Yogyakarta: Araska.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/beranda-kopi-etika-bertamu-masyarakat-sumenep/feed/ 0 45881
Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu https://telusuri.id/sejarah-garam-madura-tak-semanis-madu/ https://telusuri.id/sejarah-garam-madura-tak-semanis-madu/#respond Thu, 20 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45702 Antropolog Sidney W. Mintz menuliskan karya monumentalnya yang berjudul Sweetness and Power: The Place of Sugar in Modern History (1985). Karya tersebut mengisahkan bahwa sejarah gula tidaklah semanis yang dibayangkan, tetapi penuh dengan eksploitasi buruh,...

The post Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu appeared first on TelusuRI.

]]>
Antropolog Sidney W. Mintz menuliskan karya monumentalnya yang berjudul Sweetness and Power: The Place of Sugar in Modern History (1985). Karya tersebut mengisahkan bahwa sejarah gula tidaklah semanis yang dibayangkan, tetapi penuh dengan eksploitasi buruh, penjajahan, perbudakan, dan pamer kekayaan. Indonesia tentu paham betul dengan kondisi ini. Di sekolah-sekolah, sejarah Indonesia diajarkan sebagai penjajahan yang mengejar komoditas yang kini sepele, tetapi dulu jadi rebutan, seperti pala dan cengkih.

Tentu, pelajaran sekolah tidak bisa mencakup semua sejarah di Indonesia. Apalagi, sejarah komoditas yang menyimpan banyak cerita ini bisa berbeda-beda dari satu wilayah ke wilayah lain. Kisah tersebut jadi makin seru karena komoditas bukan hanya berpengaruh di tempatnya berasal, melainkan “bertualang” melalui proses pengangkutan ke tempat-tempat lainnya. Untuk itu, sejarah “petualangan” komoditas tersebut perlu dilengkapi dengan catatan-catatan dari masing-masing komoditas dan daerah. 

Buku Sejarah Garam Madura: Rivalitas Pengangkutan Garam Madura 1912–1981 adalah salah satunya. Buku yang ditulis Imam Syafi’i ini diangkat dari tesisnya di Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro. Pembahasannya berfokus pada aspek penting dalam pengelolaan komoditas, yakni pengangkutan, khususnya garam Madura. Jadi, bagaimanakah rasa petualangan garam?

Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu
Sampul buku Sejarah Garam Madura karya Imam Syafi’i terbitan LIPI/Meita Safitri via LIPI

Sejarah Madura: Di Antara Tegalan dan Pantai

Sebelum bertualang, hendaknya kita mengenali wilayah keberangkatan. Syafi’i memulai dengan membedah ekologi Madura terlebih dahulu melalui pendekatan ekologi budaya, yakni adaptasi konsep dan asas ekologi pada aspek-aspek spesifik partikular dari kehidupan sosial dan kebudayaan manusia (hal. 13). Hasilnya, Syafi’i melihat industri garam di Madura dibentuk oleh ekologi pesisir.

Garam Madura memang sudah terkenal. Banyak kajian yang membahasnya. Namun, Madura juga dikenal karena pertaniannya, seperti yang dituliskan sejarawan Kuntowijoyo dalam Perubahan Sosial Pada Masyarakat Agraris: Madura 1850‒1940 (2002). Sayangnya, Kuntowijoyo meletakkan garam Madura dalam sudut pandang ekologi pertanian atau disebutnya “ekologi tegalan” (hal. 14). 

Itu sebabnya, Syafi’i merasa perlu menjelaskan ekologi pesisir sebagai latar garam Madura, dari curah hujan, angin, sampai salinitas (keasinan) air laut (hal. 27) yang seolah-olah menakdirkan garam untuk Madura. Tidak hanya geografi Madura, tetapi juga kependudukan serta pergantian kekuasaan di Madura turut berpengaruh, terutama karena kepemilikan tanah yang bergantung pada pihak yang berkuasa (hal. 43). Aspek penting lainnya adalah komunitas masyarakat yang terlibat dalam industri garam tersebut, atau “masyarakat pegaraman” tersebut, mulai dari interaksi dengan VOC sampai pedagang Arab dan Tionghoa.

Suasana tambak garam di Madura (kemungkinan Sumenep), 1920/KITLV

Garam dan Kekuasaan

Kekuasaan memang memiliki pengaruh utama. Madura bukanlah tempat pertama penghasil garam di Nusantara. Garam merupakan komoditas yang dihasilkan di banyak daerah di pantai utara Jawa. Namun, sejak 1870 industri garam dibatasi oleh pemerintah kolonial hanya dilakukan di Madura (hal. 57). Pegaraman, atau disebut paderen, juga dibagi dua: menjadi milik rakyat dan pemerintah kolonial. Industri garam diatur dalam sistem monopoli pemerintah kolonial yang disebut zoutregie. Rakyat yang ingin memproduksi garam perlu memperoleh izin terlebih dahulu dari pemerintah kolonial berupa pepel.

Produksi garam dilakukan secara sederhana dengan membuat plot-kolam pembuatan garam. Produksinya amat bergantung kondisi alam, sehingga terkadang produksinya bisa berlebih atau bahkan berkurang. Monopoli pemerintah kolonial mengatur jumlah produksi ini serta menyimpan stok di gudang. Contohnya pada 1928, produksi garam dibatasi karena jumlahnya sudah berlimpah akibat kemarau panjang pada 1925–1926 (hal. 62). Monopoli ini bahkan bertahan sampai setelah kemerdekaan dan secara resmi tidak diberlakukan lagi pada 1957 (hal. 86).

Kelompok penghasil garam disebut mantong. Oleh Kuntowijoyo, kelompok ini terbagi menjadi pemilik lahan sekaligus petani garam dan pegawai yang mengurus hal lainnya, seperti administrasi (hal. 66–67). Syafi’i menambahkan bahwa ada kelompok lain, yakni pekerja pengangkutan garam (hal. 70). Pengangkutan ini tidak lepas dari sektor pelabuhan dan pergudangan garam. 

Tiga pelabuhan utama industri garam di Madura adalah Pelabuhan Kalianget, Pelabuhan Kertasada, dan Pelabuhan Pantai di Muara Sungai Raja (hal. 71). Urusan pengangkutan kadang menggunakan perahu tradisional yang disebut janggolan. Gudang disiapkan untuk menyimpan garam baik di area pegaraman dan gudang di beberapa wilayah distribusi yang dimiliki oleh beberapa cabang niaga Perusahaan Garam (hal. 77). Menelusuri pergudangan ini menunjukkan kita lokasi-lokasi garam “berkelana” dari Tjepper (Vorstenlanden), Selatpandjang dan Tandjoengbalai (pantai timur Sumatra), Emmahaven (pantai barat Sumatra), Koeala Kapoeas (Kalimantan), serta Bintoehan (Bengkulu).

Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu
Perahu janggolan di muara Sungai Rajeh Sreseh, Kabupaten Sampang, yang sudah digunakan sejak abad ke-19/Dokumentasi Imam Syafi’i tahun 2012

Perjalanan dan Pengangkutan Garam

Setelah melihat produksi garam, menarik untuk menelusuri penyebarannya, terutama melalui proses pengangkutannya. Pengangkutan ini meliputi pengangkutan via darat maupun laut. Lagi-lagi, bukti sejarah menunjukkan bahwa pengangkutan garam via darat bahkan telah ditemukan di Pariaman, bukan hanya di Madura. Ini makin menunjukkan bahwa industri garam Madura amat dibentuk oleh kekuasaan pemerintah kolonial. 

Dengan kebijakan monopoli, industri garam Madura berkembang seiring dengan usaha penangkapan dan pengolahan ikan. Monopoli memerlukan pengaturan pengangkatan karena dampaknya pada harga garam. Tidak jarang, monopoli pengangkutan dan penjualan ini dilawan melalui penyelewengan, seperti yang dilakukan empat perempuan pada 1935 (hal. 97).

Di laut, monopoli pemerintah telah menetapkan perusahaan tertentu untuk mengangkut garam, yakni KPM, MSM, dan kemudian OJZ (hal. 99). KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) merupakan perusahaan milik Kerajaan Belanda. Monopoli pengangkutan garam diberikan pada perusahaan ini pada 1894. Perusahaan lain yang mendapatkan hak monopoli tersebut adalah MSM (Madoera Stoomtram Maatschappij), perusahaan swasta.

Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu
Foto seorang nakhoda dan anak buah kapal perahu janggolan. Keduanya berada di salah satu studio foto di Palembang setelah mengangkut ga-ram dari Madura ketika menunggu muatan kayu menuju Jakarta/Dokumentasi Maksum tahun 1983

Monopoli ini kemudian menjadi bumerang karena mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk kedua perusahaan tersebut. Untuk mengatasinya, dibentuklah dinas pengangkutan garam yang disebut OJZ (Oost-Java Zeevervoer) pada 1912. KPM kerap beraktivitas di Pelabuhan Kalianget, sedangkan OJZ di pelabuhan lainnya. Ironisnya KPM tetap mendominasi, yang salah satunya ditandai dengan jumlah pengangkutan yang dilakukan KPM jauh lebih besar dibanding OJZ pada 1935.

Garam Madura Sepeninggal Belanda

Setelah Belanda terusir dari Indonesia, industri garam Madura turut berubah. Data di masa Jepang sulit ditemukan sehingga yang bisa dilihat adalah setelah kemerdekaan. Sebelumnya telah disinggung bahwa monopoli garam baru dihapuskan pada 1957. Di sektor pengangkutan, monopoli ini mulai dilonggarkan sejak 1908 dengan membuka kesempatan pengangkutan oleh pelayaran swasta.

Pada 1950-an, swasta ini berkembang menjadi kongsi. Sistem kongsi setelah kemerdekaan ini banyak juga yang dilakukan orang Tionghoa. Meski demikian, ada pula kongsi yang dimiliki oleh orang Madura sendiri. Namun, di kongsi Tionghoa pekerjanya juga merupakan orang Madura. Di masa kongsi ini bahkan terjadi “swasembada garam” yakni pada 1952 dengan ekspor garam ke Jepang.

Sayangnya, menurut Syafi’i, kongsi tidak berbeda dengan monopoli karena kuatnya pengaruh perusahaan garam. Setelah monopoli dihapuskan pada 1957, aktor lokal mulai mengambil pengaruh. Ini terutama dilakukan masyarakat menggunakan janggolan. Sistem pengaturan keuntungannya adalah bagi hasil atau telon (hal. 122).

Bukan berarti bahwa masyarakat Madura di masa sebelumnya tidak berperan. Peran mereka ada, tetapi tertutupi dengan dominasi monopoli perusahaan. Industri garam sendiri justru amat berpengaruh pada kehidupan masyarakat, baik ekonomi maupun sosial budaya. Itu sebabnya, ekologi Madura penghasil garam ini oleh Syafi’i disebut ekologi pesisir, yang berbeda dengan ekologi sawah maupun tegalan. Untuk membaca lebih lengkap, buku ini dapat diunduh gratis melalui situs penerbitnya di tautan LIPI Press (sekarang Penerbit BRIN).


Judul buku: Sejarah Garam Madura: Rivalitas Pengangkutan Garam Madura 1912–1981
Penulis: Imam Syafi’i
Penerbit: LIPI Press
Cetakan: Pertama, Desember 2021
Tebal: xxv + 186 halaman
ISBN: 978-602-496-296-8

Foto sampul oleh Meita Safitri via LIPI


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sejarah-garam-madura-tak-semanis-madu/feed/ 0 45702
Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/ https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/#comments Wed, 05 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45529 Saya selalu terpikat dengan kisah-kisah menarik yang hidup di setiap sudut negeri ini. Berbekal latar belakang di bidang kesehatan masyarakat, saya punya mimpi sederhana, tetapi besar, untuk dapat memahami lebih dalam tentang pelayanan kesehatan dasar...

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya selalu terpikat dengan kisah-kisah menarik yang hidup di setiap sudut negeri ini. Berbekal latar belakang di bidang kesehatan masyarakat, saya punya mimpi sederhana, tetapi besar, untuk dapat memahami lebih dalam tentang pelayanan kesehatan dasar di tempat-tempat yang acap luput dari perhatian.

Kali ini, langkah kaki membawa saya melintasi pulau-pulau di bagian tengah hingga timur Indonesia. Mulai dari Bali, Maluku, sampai Sulawesi. Perjalanan ini adalah upaya saya pribadi menyelami kehidupan di daerah-daerah yang jauh dari ingar-bingar kota. Saya ingin menggali seberapa jauh pelayanan kesehatan dasar dapat menyentuh masyarakat di pulau-pulau terpencil dan terluar, sembari memahami dinamika budaya lokal dan tantangan lingkungan.

Setiap tempat yang saya kunjungi memiliki realitas berbeda. Namun, benang merahnya sama, yakni tantangan aksesibilitas. Pulau-pulau terluar dan terpencil sering kekurangan dokter dan tenaga medis, yang menyebabkan masyarakat harus menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan perawatan medis, terutama dokter spesialis. Minimnya pilihan transportasi medis darurat juga menjadi hambatan besar bagi masyarakat yang ingin berobat. 

Bagi saya, ini bukan sekadar catatan perjalanan, melainkan upaya kecil untuk membawa suara dari mereka yang jauh, tetapi sangat dekat di hati.

Warna-warni kapal nelayan di pesisir pantai utara Bali/Hera Ledy Melindo

Menyisir Pesisir Utara Pulau Bali

Pagi itu, saya berdiri di pantai dan bersiap dengan tas ransel yang terasa berat. Namun, rasa keingintahuan saya jauh lebih besar. Perjalanan pertama kali ini membawa saya ke dua daerah pesisir utara Buleleng. Saya ingin melihat bagaimana masyarakat di sana menjalani kehidupan mereka, khususnya berkaitan dengan kesehatan dan lingkungan yang sering menjadi tantangan di daerah terpencil.

Setibanya di Desa Kayu Buntil Barat, angin laut menyambut saya dengan lembut. Di balik panorama pantai yang memukau, saya mulai melihat tantangan yang dihadapi masyarakat. Saat berbincang dengan Pak Made, seorang warga setempat, ia menunjukkan drainase yang langsung mengalir ke pantai.

“Malaria sering menyerang di sini, apalagi waktu musim hujan,” kata Pak Made menunjuk genangan air di sekitar rumahnya. Bekas gigitan nyamuk di lengannya menjadi saksi nyata perjuangan mereka melawan penyakit ini.

“Kalau sakit, biasanya bagaimana, Pak?” tanya saya penasaran.

“Banyak yang tidak punya BPJS atau Kartu Indonesia Sehat (KIS). Jadi, kalau sakit, ya, [baru] panggil bidan kalau sudah parah. Biayanya Rp50.000 sehari,” jawabnya.

Ia tampak pasrah, tetapi ada rasa bangga saat bercerita tentang puskesmas setempat yang aktif memberikan penyuluhan dan melakukan fogging jika ada laporan demam berdarah. Percakapan kami berakhir di tepi pantai, diiringi deburan ombak. Dari Pak Made, saya belajar tentang ketangguhan dan usaha mereka tetap bertahan meski dalam keterbatasan.

Momen diskusi seputar kesehatan dengan nelayan-nelayan Kayu Buntil Barat dan Celuk Buluh/Adipatra Kenaro Wicaksana & Hera Ledy Melindo

Hari berikutnya, saya melanjutkan perjalanan ke Desa Celuk Buluh. Suasana terasa berbeda. Drainase yang lebih baik, air bersih dari PDAM, dan jamban di setiap rumah menunjukkan kondisi kesehatan lingkungan yang lebih baik dibanding Kayu Buntil Barat. Masyarakat mendapatkan kebutuhan pangan sehari-hari di pasar yang hanya berjarak satu kilometer dari desa.

Di sini saya bertemu Pak Ketut, seorang nelayan yang tengah bersiap melaut. Ia bercerita tentang tradisi unik warga sebelum melaut.

“Sebelum berlayar, kami minum jamu dari kunyit, jahe, dan ayam kampung. Ini untuk stamina, biar kuat di laut,” katanya sambil tersenyum. Saya tertawa kecil, kagum dengan tradisi yang masih bertahan di tengah modernitas. Namun, kehidupan nelayan tidak selalu mulus. “Kalau musim paceklik, kami kerja serabutan, kadang jadi kuli bangunan,” tambahnya. 

Tidak hanya tentang kesehatan, masyarakat Celuk Buluh juga peduli terhadap lingkungan. Tempat pengelolaan sampah reduce, reuse, dan recycle (TPS3R) baru saja dibangun di desa tersebut. Meski belum sepenuhnya beroperasi, fasilitas ini menjadi simbol harapan bagi pengelolaan sampah yang lebih baik.

“Tempat ini bisa menampung hingga 20 ton sampah. Harapannya, desa kami jadi lebih bersih,” ujar seorang petugas yang saya temui.

  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)

Cerita Nelayan hingga Pangan Lokal di Pangkajene Kepulauan

Langkah berikutnya membawa saya ke pesisir barat Sulawesi Selatan. Saya bergerak dari kemegahan tradisi Hindu Pulau Dewata menuju kehidupan sederhana di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep).

Perjalanan membelah laut ini tak hanya tentang keindahan, tetapi juga kenyataan hidup yang keras. Kapal kayu sederhana menjadi satu-satunya alat transportasi menuju Desa Sailus, Kecamatan Liukang Tangaya. Ombak membelai halus perahu, tetapi di kejauhan, langit mendung seakan menjadi pengingat.

Di Desa Sailus, saya bertemu dengan Pak Ali, seorang nelayan yang sedang menyiapkan jaring. “Kami di sini makan apa yang ada, biasanya ikan layang atau makanan sederhana seperti sabal,” katanya sambil tersenyum. Sabal adalah pangan lokal tradisional khas Pangkep yang dibuat dari kelapa parut dan nasi.

Di Pulau Sailus, warga biasa mengolah sabal, pangan lokal khas Pangkep (kiri) dan memilah ikan-ikan hasil tangkapan nelayan untuk makanan sehari-hari/Adipatra Kenaro Wicaksana

Cerita Pak Ali membawa saya ke sisi lain dari kehidupan masyarakat setempat. “Kalau ingin makan daging, harus pesan dari Sumbawa,” lanjutnya, menekankan sulitnya akses pangan di wilayah ini. Jarak ke Sumbawa, Nusa Tenggara Barat memang jauh lebih dekat daripada pusat pemerintahan Pangkep.

Dalam sebuah kunjungan ke Puskesmas Sailus, saya berbincang dengan salah satu petugas kesehatan. Ia menjelaskan bahwa fasilitas di sana sangat terbatas. “Kami hanya punya dua genset untuk listrik, dan ambulans roda tiga yang sering rusak,” keluhnya. Ia juga menyebutkan bahwa pembangunan rumah sakit sedang berjalan, tetapi lokasinya jauh dari permukiman utama, menyulitkan akses bagi masyarakat apabila ingin berobat.

Percakapan dengan warga dan kader kesehatan memberikan gambaran lebih jelas tentang tantangan di Pulau Sailus. Kasus stunting, yang masih menjadi momok, tampak seperti rahasia yang sulit terungkap. “Puskesmas jarang sekali melakukan penyuluhan. Kalau posyandu, paling hanya empat bulan [dalam] setahun,” ungkap seorang kader kesehatan dari Desa Sailus yang terlihat lelah, tetapi masih semangat berbagi cerita.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Kondisi tempat pelayanan kesehatan Pulau Sailus/Adipatra Kenaro Wicaksana

Di pesisir pantai, sampah plastik mengotori permukaan pasir putih. Beberapa pemuda setempat, yang sedang duduk santai, berbicara tentang kebiasaan masyarakat yang masih membuang sampah ke laut. 

“Kadang kami tidak punya pilihan,” katanya, seolah meminta pengertian. Hal ini menjadi pengingat nyata bahwa perubahan perilaku membutuhkan lebih dari sekadar ajakan. Dibutuhkan fasilitas dan edukasi yang berkelanjutan.

Mereka melanjutkan cerita tentang harapan di masa depan. “Saya berharap ada program beasiswa dari desa. Beberapa teman ada yang bercita-cita kuliah jadi apoteker atau guru, karena di sini sangat kurang [orang dengan] profesi tersebut,” ujar seorang pemuda yang saya ajak berdialog. 

Meski tantangan besar masih ada, asa untuk perubahan tampak nyata dalam semangat mereka. Dari sabal yang sederhana hingga perjuangan mengatasi stunting, masyarakat di pulau kecil Sailus mengajarkan perjuangan mereka untuk bertahan dan berkembang di tengah keterbatasan. 

Dari pulau terpencil di Pangkep, saya melanjutkan langkah ke Pulau Sapeken. Pulau di ujung timur Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Pantai pasir putih di Sailus yang sayangnya banyak dijumpai sampah anorganik/Adipatra Kenaro Wicaksana

Melihat Sapeken dari Kacamata Kesehatan

Perjalanan di Pulau Sapeken sebelumnya telah saya ceritakan secara lengkap di TelusuRI dengan judul Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura. Singkatnya, Sapeken adalah gambaran nyata perjuangan masyarakat kepulauan dalam menjaga kesehatan di tengah keterbatasan.

Di puskesmas utama, saya mendapati permasalahan kesehatan yang mencuat berupa dominasi penyakit-penyakit kronis, seperti stroke, asam lambung, dan kolesterol. Disentri dan tifoid juga menjadi ancaman yang terus muncul. Meski angka stunting relatif rendah, sulitnya akses pangan bergizi, khususnya daging-dagingan, menjadi tantangan tersendiri.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Layanan kesehatan bergerak di atas kapal Gandha Nusantara 02 yang berlabuh di Sapeken/Adipatra Kenaro Wicaksana

Satu satunya harapan adalah pelayanan kesehatan bergerak yang hanya datang empat kali dalam setahun, terutama untuk operasi kecil dan kontrol penyakit. Namun, itu belum cukup. Minimnya fasilitas, kebiasaan membuang sampah ke laut, serta keterbatasan tenaga kesehatan menambah kompleksitas masalah di pulau ini.

Sapeken adalah potret sebuah perjuangan untuk bertahan hidup. Di pulau kecil ini, Sapeken menyimpan kisah-kisah besar penuh kesederhanaan.

(Bersambung)


Terima kasih kepada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University (PKSPL IPB) dan Bapak Dadang Herdiansyah, SKM., M.Epid., selaku Tenaga Ahli Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan kesempatan saya untuk menjelajahi potret kesehatan dasar di pulau-pulau kecil di Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/feed/ 1 45529
Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan https://telusuri.id/keraton-sumenep-dan-salam-bayi-dalam-kandungan/ https://telusuri.id/keraton-sumenep-dan-salam-bayi-dalam-kandungan/#comments Tue, 28 Jan 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45464 Berkunjung ke Museum Keraton Sumenep seperti kembali ke masa lampau. Meski aku bukan pelaku sejarah, setidaknya aku sedikit tahu bagaimana keadaan Sumenep pada zaman kerajaan. Kompleks bangunan ini mulanya Keraton Sumenep yang dialihfungsikan sebagai museum....

The post Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan appeared first on TelusuRI.

]]>
Berkunjung ke Museum Keraton Sumenep seperti kembali ke masa lampau. Meski aku bukan pelaku sejarah, setidaknya aku sedikit tahu bagaimana keadaan Sumenep pada zaman kerajaan. Kompleks bangunan ini mulanya Keraton Sumenep yang dialihfungsikan sebagai museum. Berada di sebelah timur Taman Bunga Sumenep, tarif masuk yang dipatok pun terjangkau, yaitu enam ribu rupiah untuk anak-anak dan sepuluh ribu rupiah untuk dewasa.

Senin pagi (7//1/2025) aku, David, dan Ibna mengunjungi situs bersejarah itu. Kami melihat, mengamati, bertanya, dan mengabadikan beberapa momen di tempat yang menyimpan barang-barang berharga, yang kini jadi pajangan sekaligus saksi tanah Sumenep berada di tangan-tangan raja.

Museum Keraton Sumenep dibagi menjadi beberapa bagian. Ada yang boleh dikunjungi, ada juga titik-titik lain yang hanya terbuka untuk orang-orang tertentu, semisal tamu bupati. Di titik pertama, aku disambut foto raja-raja Sumenep. Aku menatap satu per satu dengan saksama lalu berhenti di foto Bindara Saud, raja ke-30 Sumenep yang memerintah selama 1750–1762.

  • Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan
  • Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan

Secuil Ingatan Raja-raja Sumenep di Masa Kecil

Di kompleks pertama yang bangunannya berseberangan dengan keraton, sang pemandu menjelaskan kisah raja-raja Sumenep serta berapa lama mereka berkuasa. Salah satu yang membuatku berdecak kagum adalah keberadaan kereta kencana My Lord yang didapat dari Sir Thomas Stamford Raffles. Menurut sang pemandu, kereta itu diberikan sebagai tanda terima kasih kepada Sultan Abdurrahman (Sultan Pakunataningrat) karena bersedia menerjemahkan naskah berbahasa Sansekerta ke bahasa Inggris.

Kereta tersebut berdiri gagah di atas karpet merah. Setiap kerangkanya masih kokoh seakan menunjukkan bahwa sejarah tidak akan pernah lapuk ditelan zaman. Selain My Lord, ruangan tersebut rupanya juga dipenuhi dengan beberapa benda berharga, seperti satu set kursi dan meja marmer dari Eropa yang ditaksir peninggalan abad XVIII. Tak jauh dari pintu masuk, sebuah mushaf Alquran terpajang dalam kaca. Menariknya, Alquran tersebut ditulis tangan dalam kurun waktu enam bulan dan memiliki panjang empat meter serta berat 500 kg.

Aku yang lahir di tanah Sumenep merasa sangat minim soal pengetahuan tentang sejarah tanah kelahiran sendiri, terutama nama-nama raja yang memerintah di daerah ujung timur Pulau Garam ini. Seingatku, terakhir kali berkunjung ke museum ini saat kelas 6 MI (setara SD) dan kemarin adalah yang kedua kalinya. Sebelum keluar dari bangunan pertama, aku sempat melihat daftar raja-raja Sumenep dan catatan-catatan penting mereka selama memegang pemerintahan.

Dari sekian banyaknya raja, ada dua nama yang hingga detik ini masih melekat dalam ingatan. Pertama adalah Ario Banjak Wide (Aria Wiraraja). Dalam catatan dia dikenal sebagai raja Sumenep yang memerintah pada 1269–1292. Keratonnya berdiri di tanah Batuputih, kurang lebih 18 kilometer dari kota. Tercatat sebagai raja pertama Sumenep, Aria Wiraraja juga memiliki peran penting dalam mendirikan kerajaan Majapahit.

Raja selanjutnya tentu saja adalah Joko Tole, sebuah nama yang mengingatkanku pada masa kanak-kanak. Joko Tole selalu menjadi dongeng di langgar sehabis salat Isya. Konon, Joko Tole dibesarkan oleh seorang empu, lantaran Potre Koneng yang diketahui hamil tanpa seorang suami diusir dari kediamannya. Semasa tidak lagi tinggal di rumah, Potre Koneng berdiam di Gua Bukit Payudan dengan hari-hari ditemani perutnya yang semakin buncit.

“Joko Tole sakti mandraguna. Dia punya kuda terbang,” memoriku terputar pada suatu malam saat guru mengaji bercerita di teras langgar. Aku yang bersandar di pilar sesekali menoleh ke jalan setapak dekat sumur, berharap bapak lekas datang menjemput. Tiba-tiba ingatan itu hilang ketika pemandu mengajak ke lokasi kedua di bagian utara.

Dari tabel daftar nama-nama raja di papan museum pertama, aku baru tahu bahwa nama asli Joko Tole adalah P. Setjoadingrat III. Keratonnya berdiri di Banasare Lapataman dan berkuasa selama 45 tahun, tepatnya pada 1415–1460. Dia tertulis sebagai raja ke-13 Sumenep yang terkenal dengan berbagai cerita dan aksi heroiknya.

Replika Kereta My Lord

Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan
Kereta My Kord/Helmy Khan

Sebelum masuk ke museum kedua, aku disambut dua meriam di kanan-kiri Labang Mesem dengan moncong menganga, seperti hendak memuntahkan bola api. Kedua meriam itu hitam legam, menjelma sepasang prajurit yang bersiap menjadi penjaga sekaligus penyambut tamu paling depan sebelum wisatawan masuk ke titik museum kedua dan ketiga.

Setelah melewati halaman yang luas, terlihat cermin berukuran besar. Cermin itu menjulang tinggi dengan jelas menggambarkan apa saja yang ada di hadapannya.

“Dulu, sebelum bertemu raja biasanya berkaca dulu di cermin ini,” ucap pemandu memulai percakapan di lokasi museum kedua.

Di samping cermin itu terdapat sebuah kereta yang sama persis dengan kereta My Lord. Menurut pemandu, kereta tersebut merupakan replika dari kereta pemberian Raffles dan digunakan ketika hari-hari besar Sumenep. Kata pemandu pula, dulu kereta replika itu dibuat karena kuda tidak mau bergerak ketika dijadikan penarik kereta My Lord.

“Kudanya takut. Tidak mau bergerak,” jelasnya lalu menyilakan masuk ke ruangan pertama di museum kedua.

Dalam bangunan ini ada banyak peninggalan bersejarah yang sebagian besar berisi pusaka, seperti celurit, keris, tombak beserta lemari penyimpanan setinggi lima meter, pedang, baju besi, dan pakaian keluarga keraton yang terbuat dari kulit macan.

Di samping itu, bukti mengakarnya agama Islam di masa kepemimpinan Sultan Abdurrahman sangat kental. Hal itu terlihat dari keterlibatan Sultan Abdurrahman sendiri. Ia menulis 30 juz Alquran pada tahun 1811. Berdasarkan keterangan, raja ke-32 Sumenep itu menulisnya di atas kertas ponoragan (lontar) dengan tebal 11 cm serta memiliki berat 14 kg.

Sebelum meninggalkan lokasi kedua, di teras bagian barat pemandu menunjukkan beberapa buah arca yang dipercaya bahwa agama selain Islam pernah menjadi keyakinan di tanah Sumenep. Meski beberapa bagian terdapat kerusakan, arca tersebut berdiri kokoh dihiasi bunga lotus.

Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan
Mushaf Alquran yang ditulis Sultan Abdurrahman/Helmy Khan

Salam Bayi dalam Kandungan 

Tepat pukul 08.37 WIB aku menapakkan kaki di kediaman Bindara Saud, rumah raja ke-30 Sumenep yang kini beralih fungsi sebagai titik ketiga museum. Bangunan ini berdiri kokoh menghadap ke selatan. Temboknya tebal, sangat tebal, tidak lumrah seperti bangunan pada umumnya.

Sebelum melangkah lebih dalam pemandu terlihat merapal mantra. Kemenyan yang dibawa dari titik lokasi kedua masih tetap berada di tangannya. Bangunan itu dicat warna kuning, di depan masing-masing jendela terdapat dua set kursi serta dua pasang pakaian terpajang rapi dalam lemari kaca.

Dahulu kala bangunan ini dipercaya sebagai saksi keajaiban Bindara Saud semasih berada dalam kandungan Nyai Nurima. Peristiwa itu terjadi ketika sang ibunda sedang menunaikan salat, di luar Kiai Abdullah menguluk salam. Lantaran tak kunjung mendapat jawaban sampai salam ketiga, secara ajaib Bindara Saud menjawab salam tersebut dan memberi tahu bahwa sang bunda sedang menunaikan ibadah.

Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan
Rumah Bindara Saud yang masih terjaga keasliannya/Helmy Khan

“Pada salam ketiga, Bindara Saud menjawab salam tersebut dan memberi tahu bahwa uminya sedang salat,” ucap pemandu sambil membenarkan posisi kacamatanya. Peristiwa tersebut menjadi asal mula nama Bindara Saud. Saud dari bahasa Madura nyaot atau berarti ‘menjawab’.

Pemandu bilang bangunan itu masih terjaga keasliannya. Hanya ada sedikit perubahan, seperti genting yang telah diganti, tembok yang mengelupas telah diplamir, serta ditambah penerang modern dibeberapa sudut.

Titik ketiga di museum ini merupakan bangunan paling kecil. Tak banyak barang-barang peninggalan terdahulu yang tersimpan. Hanya beberapa dengan ukuran kecil, seperti stempel kerajaan, wayang kulit, koteka, barang pemberian suku Asmat, gading gajah, lemari, serta alas kaki yang terbuat dari kayu mentaos yang digunakan pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman.

  • Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan
  • Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan

Setelah berkunjung ke tiga titik museum, pemandu tidak lagi menemani rombonganku. Ia memberi keleluasaan untuk melihat-lihat di area museum. Sebelum kembali ke tempat semula di loket pendaftaran, ia menyarankan agar kami tidak masuk ke area yang telah menjadi ketentuan. 

Di kompleks museum yang dibangun oleh Louw Phia Ngo, arsitek asal Cina, kami menyusuri bagian-bagian yang masih belum disinggahi, seperti Galeri Andhap Asor dan Taman Sare yang ketiga pintunya diyakini memiliki keistimewaan. Ada kepercayaan dapat membuat awet muda, mudah mendapatkan jodoh dan keturunan di pintu pertama; lalu dapat meningkatkan karier dan kepangkatan di pintu kedua; serta dapat meningkatkan iman dan ketakwaan di pintu ketiga.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/keraton-sumenep-dan-salam-bayi-dalam-kandungan/feed/ 1 45464
Batik Madura: Menggurat Malam di Atas Kafan https://telusuri.id/batik-madura-menggurat-malam-di-atas-kafan/ https://telusuri.id/batik-madura-menggurat-malam-di-atas-kafan/#respond Fri, 24 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45442 Kita boleh setuju pada ‘teori’ jiwa ketok Sindoedarsono Soedjojono. Karya rupa, bagi sang maestro, merupakan ‘avatar’ sukma senimannya. Dalam konteks batik yang lebih bersifat komunal ketimbang lukisan modern, seni tekstil itu menjadi representasi jiwa masyarakat...

The post Batik Madura: Menggurat Malam di Atas Kafan appeared first on TelusuRI.

]]>
Kita boleh setuju pada ‘teori’ jiwa ketok Sindoedarsono Soedjojono. Karya rupa, bagi sang maestro, merupakan ‘avatar’ sukma senimannya. Dalam konteks batik yang lebih bersifat komunal ketimbang lukisan modern, seni tekstil itu menjadi representasi jiwa masyarakat penciptanya.

Paling tidak, itulah yang kita lihat pada batik Madura yang mengejawantahkan falsafah pragmatis manusianya. Namun, tentu saja, batik Madura juga membentangkan hal-hal lain yang mungkin luput dari pengamatan sepintas, sehingga mengubah pandangan sok tahu kita bahwa kerajinan lokal Pulau Garam itu cuma goresan kasar di atas kafan. 

Batik Madura: Menggurat Malam di Atas Kafan
Perajin batik Madura mewarnai motif/Samroni

Pragmatisme Batik Madura

Keliaran motif batik Madura tak kusadari hingga pada suatu siang di Pasar Kolpajung, ibu mengacungkan telunjuk ke selembar kain yang dibeber di sebuah kios. “Mungkin dia yang kaucari,” katanya. “Dia”, di kalimat yang ibu ucapkan, terdengar seperti jodoh yang seolah-olah ingin kutemukan. “Cocok dengan karaktermu,” lanjutnya. Kuyakin, ibu sama sekali tak tahu tabiatku. 

Batik yang ibu anggap sesuatu yang tengah “kaucari” dan “cocok dengan karaktermu” itu adalah kain berlatar hitam dengan percikan-percikan putih, kembang sulur, dan semburan samar warna-warna neon. Kelak kutahu, nama motif batik itu adalah ulat dan rumput oleng. Tapi, mengapa ia cocok dengan watakku?

Batik tersebut memang masih menggunakan motif lazim sebagaimana batik Madura pada umumnya. Namun, di sana kreativitas personal perajinnya turut hadir: latar hitam dan semburan warna-warna neon. Batik itu bagai langit malam yang dipercik kembang api. Kombinasi kelam dan warna neon seperti mewakili watak ambivalen, perasaan fluktuatif, atau kemuraman yang ditutupi topeng senyum dan tawa. Mari kita singkirkan diskusi tentang kepribadian tak menyenangkan itu sambil memberi simpulan singkat, bahwa batik Madura bergerak di antara konvensi dan invensi yang bergelora. Bahkan, terlampau bergelora mengingat batik ganjil lain yang kutemukan beberapa tahun setelah itu sama menterengnya.

Batik ganjil tersebut kutemukan di pasar yang sama. Juga ketika aku berkunjung bersama ibu. Warnanya amat mencolok di antara batik-batik yang lain. Sekali lihat, kau akan mengingat rambut merah Ariel dan sahabat ikannya, Flounder, di film The Little Mermaid bikinan Disney. Batik itu bermotif ekosistem laut dengan biota kuning campur biru, ikan dan segala vegetasinya, berlatar air merah menyala seperti Sungai Nil yang dikutuk Yahweh pada episode “Sepuluh Tulah Mesir” dalam kisah Musa.

Ketika kutanya perihal motif batik tersebut kepada Samroni (22), ia menjawab, “Itu nyomot dari Pinterest.” Tanggapannya membuat marwah kemaduraanku luntur. “Banyak kok pembatik sekarang yang nyontoh di Pinterest,” tambahnya. Aku tahu, pemuda kekar ini model dadakan dan fotonya yang berkain batik pernah mampang di surat kabar lokal. Tapi, bisa tidak, sih, ia sedikit ngarang bahwa batik yang kubeli itu bermotif apalah.

Terlepas dari aspek orisinal dan bajakan tersebut, akhirnya aku paham, gaya cetar dan warna membahana inilah yang barangkali membuat ibu bilang bahwa batik Madura pantas dipakai anak muda. Kini aku menangkap maksud ibu ketika berkata, “Cocok dengan karaktermu.” Waktu itu, usiaku memang masih dua puluhan. 

Kehadiran warna-warna vulgar pada batik Madura bukan kehendak asal tabrak. Ia memiliki semacam alasan yang bisa kita duga bahwa rona semarak tersebut muncul karena dorongan imaji ideal Madura atas warna. Sebab, lanskap alam Madura monoton. Lingkungan fisik Madura dilabur warna yang tak kaya ragam: bukit kapur, sabana, dan laut. Itulah mengapa batik Madura menjadi wahana untuk menumpahkan imaji orang Madura tentang dunia penuh warna. Kecenderungan artistik ini bisa dibandingkan dengan karakter manga bermata lebar lantaran orang-orang Jepang bernetra sipit. Tokoh-tokoh kartun itu menjadi model paripurna manusia Negeri Sakura.

Secara sederhana, pola batik Madura, setidaknya bisa dikelompokkan menjadi tiga: motif botani, elemen fauna, artefak budaya. Sekar jagat merupakan motif yang merangkum seluruh pola. Ia tampak seperti kain yang dijahit dari perca berbagai rupa. Seluruh motif batik Madura dipindai dari komponen realitas fisik yang hadir di sekitar orang Madura. Motif botani, misalnya, berupa alang-alang, tanaman rambat, beras tumpah, bunga lawang. Sementara itu, jagat fauna meliputi kupu-kupu, burung kenari, cakar ayam. Pola artefak budaya kerap meniru anyaman bambu. 

Gambar-gambar itu tak digurat dengan detail halus sebagaimana batik Jawa. Bias estetis tersebut dikerjakan bukan lantaran orang Madura tak mampu menciptakan karya seni yang subtil, melainkan lebih dilandasi oleh pandangan hidup. Jagat hidup orang Madura cenderung pragmatis ketimbang gagasan hayat manusia Jawa yang batiniah.

Masyarakat dengan gerak hidup yang banyak dikendalikan oleh ketidaksadaran memiliki produk seni detail, halus, aneka rupa, sebagai wujud arketipal. Arsitektur klasik seperti gotik dan barok, misalnya, berornamen lebih rumit ketimbang rancang bangun modern, seperti Art Deco atau minimalis. Sebab, orang-orang abad ke-20 telah mencapai puncak kesadaran ketimbang masyarakat klasik yang masih menyisakan tilas ketaksadaran. 

Aspek-aspek kesadaran tak membutuhkan simbol arketipe yang rumit serta semarak karena telah dialihkan dalam budaya sains, teknologi canggih, dan ekonomi. Pragmatisme memberi ruang pada produk modernitas tersebut dengan mengutamakan efisiensi, efektivitas, dan kepraktisan. Sifat tak detail nan tak halus itu akhirnya mendorong motif batik Madura ke bentuk abstrak, realisme murni yang mendekati formasi-formasi dasar semesta: geometri. Maka, watak tersebut bersinergi dengan jagat hidup pragmatis yang memandang dunia apa adanya.

Jati Diri di Persimpangan Masa Lalu dan Kini

Di Pamekasan, batik kerap dipromosikan pemerintah dengan jalan di luar akal sehat. Salah satu kabupaten di Madura ini memang memiliki ambisi menjadi Kota Batik melebihi Pekalongan. Motif-motif batik dipoles di tembok, tiang listrik, pepohonan, dan jembatan. Di era Bupati Badrut Tamam, badan mobil dinas pun dilapisi pola batik. Agak norak, tetapi ada gunanya. Paling tidak, ketika melihat mobil batik nangkring di acara mantenan, kita jadi tahu bahwa fasilitas negara tersebut telah disalahgunakan. Kepemimpinan Tamam juga meluncurkan program sepatu batik, tetapi tak laku di pasaran. Anak-anak muda Pamekasan tetap lebih suka mengenakan Converse atau New Balance ketimbang sepatu yang dilapisi kain batik.

Bidang atau tekstil bermotif semarak seperti batik memang lebih bijak jika tidak ditampilkan dengan aneh-aneh. Batik yang pada dasarnya sudah terlihat ramai memang paling anggun dipakai sebagai kain bawahan—sebagaimana cara orang-orang dulu memakainya—atau dibuat baju dengan desain bersahaja. Batik yang terlempar ke dunia fesyen dan dipajankan di atas catwalk kerap malih kostum lajak, akrobatik, dan membuat kita bertanya-tanya, “Busana kayak gitu mau dipakai di mana?” Meski dirancang dengan itikad eksperimental atau alasan-alasan luhur seperti melestarikan dan memperkenalkan khazanah seni budaya ke konsumen manca, bagiku siasat lebay semacam itu tak akan menambah nilai adiluhung serta ekonomi batik. 

Dalam amatanku yang sumir, batik Madura—dan agaknya batik-batik yang lain—mulai populer dijadikan sarung ketika polemik Islam Nusantara menggema di seantero Indonesia. Batik yang dulu cuma dikenakan sebagai jarit wanita atau pria keraton kini diviralkan pula oleh kaum santriwan. Di media sosial, misalnya, Gus Iqdam acap tampil dengan sarung batik. Mubalig muda tersebut sampai repot-repot—atau mungkin tidak—membangun bisnis dengan mengorbitkan mereknya sendiri. 

Tren tersebut lama-lama merambat ke Pulau Garam yang memang lekat dengan budaya santri. Bahkan, para personil band tersohor Madura, seperti Lorjhu’ dan La Ngetnik menggunakan sarung batik saat pentas. Sementara itu, pentolan band Warga Tabun—yang notabene keluarga santri—juga mempromosikan produk batiknya dengan motif kontemporer. Batik-batik kontemporer ini tak sedikit diproduksi pesantren. Aku pernah dikasih sarung batik kontemporer bergambar tugu Arè’ Lancor Kota Pamekasan oleh seorang lora (putra kiai) muda yang punya bisnis batik. 

Batik Madura: Menggurat Malam di Atas Kafan
Pembatik Madura kontemporer mengukur kafan/Royyan Julian

Batik-batik kontemporer tersebut sepertinya telah lepas dari motif tradisional. Ia digurat sesuai selera kekinian senimannya. Meski batik kontemporer mulai menjamur, bukan berarti batik Madura yang dikembangkan dari pola lama ditinggal. Batik Madura masih masif dipakai, baik di hajatan maupun aktivitas keseharian, juga menjadi seragam pegawai hingga anak-anak sekolah. Sebab, batik tulis Madura bisa dijangkau semua kalangan dengan harga puluhan ribu sampai jutaan.

“Aku suka batik karena hidup di lingkungan batik,” daku Samroni yang ibunya seorang pembatik. “Keluargaku bisa hidup karena batik. Memakai batik menjadi kata lain dari menyokong ekonomi para pekerja batik yang upahnya tak seberapa.” Namun, Samroni juga punya alasan estetis mengapa suka batik meski cuma bisa mengekspresikannya dengan kata “bagus”. 

Aku sulit membayangkan batik punah dari Madura, Jawa, atau Indonesia. Sebab, bangsa kita masih mempertahankan identitas-antara, “jati diri” yang tegak di persimpangan masa lalu dan kini. Maka, malam-malam itu akan senantiasa leleh di atas tungku, menetes dari liang canting. Malam-malam itu terus digurat di lembar-lembar kafan, digurat entah sampai kapan.

Foto sampul oleh Afnan R.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Batik Madura: Menggurat Malam di Atas Kafan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/batik-madura-menggurat-malam-di-atas-kafan/feed/ 0 45442
RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya https://telusuri.id/rakara-residensi-cerpen-ekspedisi-merawat-budaya/ https://telusuri.id/rakara-residensi-cerpen-ekspedisi-merawat-budaya/#respond Wed, 22 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45427 Menjadi salah satu dari 15 peserta terpilih RAKARA Residensi Cerpen 2024, mengantarkan saya ke Desa Andulang di Kecamatan Gapura, Sumenep. Acara pada 27–28 Desember 2024 tersebut diinisiasi oleh Komunitas Damar Korong, bekerja sama dengan MWC...

The post RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya appeared first on TelusuRI.

]]>
Menjadi salah satu dari 15 peserta terpilih RAKARA Residensi Cerpen 2024, mengantarkan saya ke Desa Andulang di Kecamatan Gapura, Sumenep. Acara pada 27–28 Desember 2024 tersebut diinisiasi oleh Komunitas Damar Korong, bekerja sama dengan MWC NU Gapura.

Sebagai orang Sumenep, saya termasuk jarang menyentuh daerah timur Madura itu. Ya, tempat saya dan lokasi acara terpaut jarak yang cukup jauh. Karenanya, perjalanan yang semula saya perkirakan bakal lancar-lancar saja, ternyata harus dilalui dengan berat. Itu tidak terlepas dari sulitnya mencari transportasi umum dari kota Sumenep, apalagi menjelang salat Jumat.

Sebagai daerah yang tidak dilalui jalan provinsi, sebenarnya bisa dimaklumi jika situasi ini terjadi. Sedikitnya mobilisasi ke arah timur itu berkorelasi dengan jumlah transportasi umum di sana. Beruntung, ketika saya sedang menunggu angkutan umum di daerah Bengkal, seorang pengemudi pikap beserta istrinya dengan baik hati menawarkan tumpangan. Saat itu, azan Jumat sudah berkumandang.

Perjalanan dari Bengkal menuju kantor MWC NU Gapura—titik kumpul peserta—memakan waktu seperempat jam. Saat saya tiba di lokasi, khatib di masjid kantor sudah membacakan khotbah kedua. Saya bernapas lega, karena masih bisa menunaikan ibadah rutin tersebut.

Selepas salat, Kak David (Daviatul Umam), Kak Helmi Khan, dan Kak Ibna Asnawi menyambut saya. Sudah ada beberapa peserta yang bersiap diantar menuju lokasi residensi. Sebagai fasilitas awal, saya diberikan sebuah kaus dan tanda pengenal peserta.

Dari MWC NU Gapura, kami meluncur ke Andulang, tepatnya Madrasah Nurul Anwar yang menjadi tempat acara. Perjalanan memakan waktu selama lima menit. Memasuki madrasah, spanduk yang menampilkan wajah 15 peserta menyambut kami.

RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya
Pembukaan dan sesi pelatihan RAKARA Residensi Cerpen 2024/Fathurrozi Nuril Furqon

Hari Pertama Residensi

Jelang salat Asar, RAKARA Residensi Cerpen 2024 resmi dibuka oleh Kepala Desa Andulang Pak Rimawi. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan bahwa penamaan “rakara” merujuk pada filosofi daun lontar (siwalan) yang juga disebut rakara dalam bahasa Madura. Tikar rakara sebagai salah satu produk daun lontar mencerminkan upaya saling sulam dan saling silang, sehingga kuat menjadi tikar untuk melingkar. Filosofi tersebut kemudian melahirkan slogan acara: “Duduk sama tabah, berdiri sama marwah”.

Pembukaan sore itu langsung dilanjutkan dengan  pelatihan cerpen yang berisi teori-teori dasar. Pemateri sesi pertama ini adalah cerpenis dan para pegiat sastra hebat Jawa Timur, yaitu Dr. Achdiar Redy Setiawan, Pak Matroni Muserang, dan Pak Siswanto. 

Sore itu, saya sendiri sebenarnya sudah agak mengantuk karena perjalanan sejak pagi yang cukup melelahkan. Namun, ternyata pemateri cukup apik dalam menyampaikan materi, sehingga kantuk itu pun berubah antusias. Hal itu berlanjut pada sesi kedua di malam harinya.

Sesi kedua berisi penyampaian teori cerpen lanjutan. Pemateri sesi ini adalah Pak Bernando J. Sujibto, Pak A. Warits Rovi, dan Pak Khoirul Umam. Dalam sesi ini, residensi diramaikan dengan kedatangan tiga peserta kehormatan sekaligus peninjau acara, yang salah satunya adalah Alindya Quira Azzahra, cerpenis cilik putri Dr. Didik. Walau anak itu kelihatan agak pemalu, tapi ada rasa kagum dalam hati karena di umur yang masih muda ia sudah mau mengasah keterampilan di bidang literasi. 

RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya
Hasil kerajinan polo’ di pekarangan rumah Obe’ Aji/Fathurrozi Nuril Furqon

Hari Kedua: dari Olah Tubuh hingga Ekspedisi Polo’

Hari kedua dimulai dengan agenda jalan-jalan di sekitar madrasah. Namun, tidak berlangsung lama, karena panitia mengumumkan agar para peserta segera kembali untuk melakukan olah tubuh. Ya, olah tubuh, bukan olahraga.

Di kegiatan satu ini, panitia khusus mendatangkan Kak Latief, aktivis teater, untuk menjadi instruktur. Ia dengan semangat memandu para peserta melakukan olah tubuh ala anak teater, dimulai dari olah kepala, tangan, pinggang, hingga kaki. Walaupun kedengarannya menarik, olah tubuh ala anak teater nyatanya lebih sulit dari olah-olah lain.

Setelahnya, para peserta bersiap-siap melakukan studi lapangan ke tempat para perajin polo’. Sebelum berangkat, dari 15 peserta dibagi rata menjadi tiga kelompok. Saya masuk kelompok kedua, yang didampingi oleh Kak Latief dan Kak David. 

Kami berangkat dari madrasah menuju tempat perajin polo’ dengan jalan kaki. Walau cukup jauh dan melelahkan, tetapi sebenarnya patut disyukuri. Sebab, pemandangan sepanjang jalan jadi lebih leluasa dinikmati.

Setiap kelompok akan menemui perajin polo’ yang berbeda. Kelompok kami mengunjungi Bu Habiye—akrab dikenal Nyai Amma—dan anaknya, Bu Junaida. Kedua perajin polo’ itu masih kerabat dekat dari Kak Latief.

Rombongan kami disambut hangat oleh kedua perajin yang sudah sepuh itu. Kebetulan saat kami datang, keduanya baru selesai menginjak-injak adonan tanah liat dan pasir yang akan dibuat jadi gerabah polo’. Dengan senyum terkembang, keduanya menyilakan kami duduk di atas tikar, sembari menyuguhkan teh dan biskuit sari kelapa.

Kepada kami, Nyai Amma mengungkapkan keprihatinannya atas masa depan dunia pekattaan—sebutan untuk para perajin polo’. Tahun berlalu, semakin sedikit anak muda yang mau meneruskan usaha gerabah Madura. Rata-rata anak muda sekarang lebih suka terjun ke dalam bisnis ritel toko kelontong Madura daripada harus bersusah payah mewarisi usaha polo’ , yang makin ke sini makin berkurang pamornya. Fenomena getir itu kian pahit dikecap ketika beberapa perajin sepuh wafat, yang kemudian berimbas pada penghentian produksi beberapa jenis gerabah. 

Bincang-bincang kebudayaan itu berlangsung sejam. Walau lebih banyak diisi dengan percakapan di luar topik polo’, tapi kami cukup senang. Kami memutuskan undur diri ketika Kak Latief mengingatkan bahwa ada destinasi lain yang perlu dituju.

RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya
Foto bersama Obe’ Aji (tengah bertopi dan sarung merah)/Fathurrozi Nuril Furqon

Destinasi kedua adalah kediaman pengepul polo’, yang ternyata juga masih kerabat Kak Latief. Pengepul itu oleh masyarakat Andulang biasa dipanggil obe’ (kakek) Aji. Di kediaman beliau, kami diperlihatkan gerabah-gerabah Madura, seperti kattah, polo’, pennay, peltheng, dan cobhik. Di sana, gerabah dibedakan jadi dua, yaitu yang sudah dan belum dibakar.

Di kesempatan itu, saya bertanya musabab para perajin gerabah Madura lebih akrab disebut pekattaan daripada pepolo’an, mengingat baik di residensi maupun dari respon masyarakat, eksistensi polo’ lebih mencolok daripada kattah. Obe’ Aji hanya bisa bilang tidak tahu. Sebagai pengepul, yang ia ketahui polo’ adalah komoditas yang paling banyak permintaannya.

Ketidaktahuan Obe’ Aji berlanjut ketika saya menanyakan sejarah Desa Andulang sebagai sentra pembuatan polo’. Menurutnya, sejarah itu begitu samar, karena sejak dahulu sekali, Andulang sudah menjadikan polo’ sebagai napas kebudayaan yang sangat menyatu dengan keseharian masyarakat. 

RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya
Sesi drafting di Pantai Bintaro/Fathurrozi Nuril Furqon

Berkunjung ke Pantai Bintaro

Dari kediaman Obe’ Aji, para peserta dibawa ke Pantai Bintaro yang lokasinya cukup jauh dari Andulang. Letak pantai yang kami tuju lumayan tersembunyi. Kami harus melintasi sepanjang garis Pelabuhan Bintaro, lalu memasuki area persawahan sebelum sampai di pantai. 

Pasir yang putih dan lembut cukup menggoda untuk dijajal, apalagi airnya cukup jernih. Sayang sekali, beberapa menit kemudian hujan datang tanpa aba-aba. Para peserta dan panitia berjejalan berteduh di bawah kanopi-kanopi pohon, yang walaupun cukup rimbun, tetapi tidak mampu membuat kami selamat dari belaian air hujan.

Hujan itu berlangsung kurang lebih setengah jam. Ketika reda, para peserta kemudian dibagi ke dalam empat kelompok yang masing-masing ditemani satu pembimbing. Kali ini, saya kembali tergabung dalam kelompok kedua bersama tiga peserta lain. Pembimbing kami adalah sastrawan beken, Pak Faidi Rizal Alief.

Siang itu, sesi dikhususkan untuk bimbingan drafting bakal cerpen yang harus dibuat para peserta selepas residensi. Kami berempat diminta membuat blurb atau sinopsis, serta dua paragraf pertama bakal cerpen kami. Sayangnya, kegiatan itu pun tidak bisa khusyuk karena tubuh kami dijadikan “santapan” para nyamuk di pantai.

Kami akhirnya diajak pulang panitia seiring mendung menggulung cerahnya langit. Hujan kembali deras ketika kami baru menyusuri garis pelabuhan yang panjang sekali. Saya yang sudah kuyup segera mencari tempat berteduh. Untungnya, karena saya berjalan paling awal, saya segera bisa sampai ke barung (sejenis gubuk). Beberapa saat setelahnya, menyusul satu per satu peserta dan panitia setelah tunggang langgang berlari.

RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya
Hujan-hujanan di perahu majheng/Fathurrozi Nuril Furqon

Karena sudah kepalang basah, tidak seru rasanya tidak menyelam sekalian. Beberapa peserta—tidak termasuk saya—memutuskan bermain air hujan di antara perahu-perahu majheng yang sedang berlabuh. Menyenangkan sekali melihatnya. Sayang, saya tidak bisa ikut serta karena tidak kuat dingin.

Setelah puas, Pak Sofyan RH Zaid menawari kami ngopi di warung dekat barung. Tentunya kami senang menerima tawaran beliau. Di antara kepul panas kopi dan asap rokok, beliau menyampaikan bahwa residensi serupa akan dilaksanakan lagi tahun 2025. 

Besar kemungkinan residensi yang akan datang adalah residensi puisi. Rencananya, residensi akan dilaksanakan di “pulau oksigen” Gili Iyang dan diperluas jangkauan pesertanya untuk wilayah Jawa-Madura. Saya menyambut baik kabar tersebut, mengingat Jawa-Madura merupakan lumbung penyair di Indonesia. Akan sangat menyenangkan rasanya memperebutkan tiket residensi dengan banyak penulis puisi kedua daerah tersebut.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/rakara-residensi-cerpen-ekspedisi-merawat-budaya/feed/ 0 45427
Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen https://telusuri.id/semalam-di-gili-iyang-si-pulau-oksigen/ https://telusuri.id/semalam-di-gili-iyang-si-pulau-oksigen/#respond Mon, 30 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44795 Bagaimana rasa udara di tempat berkadar oksigen tertinggi? Apakah lebih segar dan helaan kita bakal lebih dalam? Atau tubuh akan lebih energik usai bernapas? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak saya pada suatu pagi di Pelabuhan...

The post Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagaimana rasa udara di tempat berkadar oksigen tertinggi? Apakah lebih segar dan helaan kita bakal lebih dalam? Atau tubuh akan lebih energik usai bernapas? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak saya pada suatu pagi di Pelabuhan Dungkek, Sumenep. Pandangan saya mengarah ke sebuah daratan di seberang timur, yaitu Gili Iyang, si Pulau Oksigen.

Lantaran kadar oksigennya yang disebut-sebut paling tinggi nomor dua di dunia, konon, warga di pulau tersebut dapat hidup lebih sehat dan panjang. Agaknya, Odeng, kawan saya yang tempo hari mengajak ke Kangean, begitu penasaran soal itu. Alhasil, kami pun berkunjung ke Gili Iyang.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Para awak gagah berani berdiri di tepi perahu/Asief Abdi

Menyeberang ke Gili Iyang

Usai menunggu sekitar satu jam hingga kapal penuh muatan, akhirnya sang juru mudi menyalakan mesin. Sampan pun memutar haluan dan melaju. Meski sempit, selat yang kami lintasi sama sekali tak ramah. Ombak mengempas, menggoyang badan perahu hingga miring. Untung motor penumpang sudah diikat kuat oleh kru kapal. Kalau tidak, mungkin motor saya sudah nyemplung ke laut. 

Para awak dengan gagah berdiri di tepi sampan. Kaki mereka cekatan mencari pijakan, sementara tangan mengikat terpal penutup agar serpih ombak tak mengguyur penumpang. Setengah jam kemudian, gerombolan dara laut menyambut saat perahu mendekati pulau. Burung-burung itu terbang rendah di atas permukaan, menukik, lalu melayang lagi dengan ikan kecil di paruh.

“Kami tak berlayar kembali. Cukup buat kami hari ini. Nanti coba ke pelabuhan satunya saja. Ingat, sebelum jam satu siang,” kata seorang awak ketika semua penumpang sudah turun. Saya mengangguk. Dan pelabuhan itu pun sontak sepi.

Tak jauh dari dermaga, terpampang penunjuk arah ke tempat-tempat wisata di Gili Iyang. Kami tak punya banyak waktu. Dua jam saja atau kami akan menghabiskan malam di pulau kecil ini. Dan jika ada tempat yang wajib dikunjungi, itu adalah Titik Oksigen.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Titik Oksigen Gili Iyang/Asief Abdi

Bernapas di Titik Oksigen

Titik Oksigen tak ubahnya halaman warga yang terbengkalai. Kami bahkan tak sadar saat melewatinya. Kondisi area tersebut menyedihkan. Gazebo-gazebo peneduh tampak usang. Salah satunya bahkan reyot. Sebuah pohon berdiri tegak, menaungi tugu mini bertuliskan “Titik Oksigen”. Saya berdiri di situ, memejamkan mata, lalu menghela napas. Apa ini? Rasanya biasa saja. 

Kami beralih ke sebuah warung di kawasan itu.  Dengan percaya diri, Misnariah,  perempuan penjaga warung tersebut mengaku berusia 106 tahun.  Saya dan Odeng berpandangan sambil memegang gorengan. Yang benar saja. Omong kosong! Menurut taksiran kami, paling-paling umurnya lima puluhan. Kabar tentang oksigen Gili Iyang yang sanggup membuat penghuninya hidup lebih panjang memang santer beredar di internet. Meski begitu, bisa jadi itu cuma gimik

Sudah lepas tengah hari. Jika tak ingin ketinggalan kapal, sebaiknya kami bergegas ke pelabuhan. Namun, Odeng punya ide lain. Anak itu tak rela hanya menghabiskan satu dua jam di pulau ini. Saya punya firasat sepertinya kami bakal bermalam di sini. Lalu, alih-alih menuju pelabuhan, kami malah beranjak ke tempat lain, mengikuti papan penunjuk jalan.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Pondok-pondok wisata yang mangkrak/Asief Abdi

Objek Wisata yang Tak Siap

Kami bertolak menuju Batu Canggah. Tempat itu adalah tebing karang ikonis pulau ini. Untuk ke sana, kami harus keluar dari jalan utama dan menerobos tegalan. Jejeran cottage menyambut kami. Keadaannya menyedihkan. Pondok-pondok itu agaknya mati sebelum sempat berfungsi. Padahal, fasilitas tersebut sudah dilengkapi pendingin udara. Saya masuk ke salah satunya dan mendapati sebuah spring bed yang barangkali tak seorang pun pernah rebahan di atasnya. 

Ketika tiba di Batu Canggah, kami tak menemukan apa pun selain tulisan “Tutup”. Mungkin, saking sepinya, si petugas sampai enggan berjaga. Kami mencoba masuk, tapi pagar di sekeliling gerbang terlampau tinggi untuk dilompati. Kondisi serupa juga terjadi di Pantai Ropet di sisi selatan pulau. Tempat itu juga mangkrak.

Setelah merasa cukup—akhirnya, kami bertolak ke pelabuhan. Terdapat lebih dari satu pelabuhan di Gili Iyang dan masing-masing punya jadwal kapal sendiri-sendiri. Agaknya dermaga-dermaga itu adalah milik perorangan yang juga si empunya kapal, sebab kapal dari pelabuhan satu tak parkir di pelabuhan lain.

Di pelabuhan, rupanya bukan cuma kami yang hendak menyeberang. Seorang pemuda sedang duduk di tempat parkir dengan ransel dan kardus. Dia warga asli Gili Iyang yang hendak merantau ke Bali. Tanah ranggas ini sepertinya tak menjanjikan apa pun untuknya selain memaksanya melaut. Kami mengobrol hingga tampak sebuah kapal merapat ke tepi.

Namun, ketika kami berjalan mendekat, sang nakhoda berseru, “Ombaknya terlalu kuat. Tak mungkin kami kembali. Lebih-lebih, sore nanti air bakal surut. Kapal bisa kandas. Besok saja.” Sepertinya si pemuda perantau kudu bersabar sehari lagi, begitu pula kami yang harus mencari tempat menginap untuk malam nanti. “Usai azan Subuh, pastikan kalian sudah di sini,” sang nakhoda mewanti-wanti. 

Kami berhenti di sebuah masjid, tak jauh dari pelabuhan. Di tengah hawa terik, masjid itu seperti oase di tengah gurun. Salman, sang takmir, usai menanyakan dari mana dan hendak ke mana dua orang asing di depannya, menawarkan bantuan. “Masjid ini terbuka untuk musafir. Kalian bisa bermalam di sini,” katanya. Lalu, lewat obrolan dengan lelaki tambun itu, saya tahu kalau orang Gili Iyang punya legenda lokalnya sendiri tentang muasal pulau mereka.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Motor roda tiga, angkutan umum di Gili Iyang/Asief Abdi

Legenda Sèrè Èlang dan Obrolan di Dermaga

Konon, Gili Iyang pertama kali ditemukan bukan oleh orang Madura, melainkan orang Bugis, yakni Daeng Massale. Alkisah, setelah berhari-hari melintasi segara, pelaut itu akhirnya menemukan pulau dengan posisi tertentu dari matahari. Sang Daeng pula yang melindungi pulau tersebut dari serangan penjajah. Menurut legenda setempat, tokoh sakti itu menghilangkan Gili Iyang dari pandangan penjajah hanya dengan selembar daun sirih. “Begitulah pulau ini disebut Sèrè Èlang (Sirih Hilang),” tutur Salman. 

Pulau-pulau kecil di timur Sumenep memang unik. Agaknya, gili-gili mungil itu dulunya menjadi persinggahan suku-suku dari Sulawesi hingga akhirnya menetap. Hal tersebut tercermin dalam kisah Sirih Hilang tadi. Daeng merupakan gelar khas suku Bugis. Entah masih ada atau tidak suku asal Makassar itu di Gili Iyang, tapi mereka turut menghuni pulau-pulau lain di Sumenep macam Masalembu dan Kangean. 

Selepas membereskan urusan tidur malam nanti, kami bertolak ke dermaga untuk melihat matahari tenggelam. Di antara banyak dermaga, kami memilih yang terpanjang. Air laut yang surut menampakkan wajah asli pesisir Gili Iyang yang penuh batu karang. Tak ayal pulau ini sepi pengunjung. Pantainya jauh dari kata molek. Di tepi laut yang surut, beberapa orang menggotong karung dan duduk mencangkung sambil mengais-ngais. Mereka jelas tak tengah buang hajat. Mungkinkah mereka sedang mengumpulkan kerang?

Dari atas dermaga, saya menyapa seorang wanita tua tepat di bawah saya. Ia tampak sibuk mengumpulkan sesuatu. Rupanya, bukan kerang atau tiram yang dia himpun, melainkan pasir. “Buat bangun rumah, Cong (sapaan Madura yang berarti ‘nak’ untuk laki-laki’),” kata dia sambil mengayak lalu memasukkan pasir ke dalam wadah. Pantas pantai ini tak berpasir.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Seorang warga mengumpulkan pasir laut/Asief Abdi

Matahari kian jatuh. Memandang ke langit barat di jam-jam seperti ini menyadarkan saya akan cepatnya waktu berlalu. Seorang pria menyapa saya yang kala itu sedang khusyuk menikmati tenggelamnya sang surya.

Pak Mohan, pria itu, adalah seorang guru SD di pulau ini. Sudah seperempat abad lebih ia rela hidup berjauhan dari keluarganya di Jawa demi mengajar di daratan kecil ini. Sampai-sampai ia sudah seperti warga asli Gili Iyang. “Siapa yang tak kenal saya? Semua orang di pulau ini tahu Pak Mohan,” kelakarnya. Walau sudah berusia lima puluh tahun, lelaki itu tampak lebih muda dari umurnya. 

“Awet muda itu gampang. Asal hati gembira dan enggak stres,” kata dia.

“Tunggu! Jangan-jangan sampean selalu gembira dan bebas stres karena enggak tinggal bareng istri, Pak?” canda saya. Lelaki itu terbahak sambil geleng-geleng kepala. Sepertinya terkaan saya benar.

Bagi lelaki kocak itu, kabar perihal penduduk Gili Iyang yang awet muda dan berumur panjang tak sepenuhnya benar. “Murid-murid saya banyak yang mukanya boros. Beberapa bahkan terlihat lebih tua dari saya,” katanya. Ia lalu menjelaskan bahwa hal itu mungkin efek dari iklim pesisir yang keras, di mana orang-orang dipaksa melaut dan bekerja di bawah sengatan matahari. 

“Tapi memang di titik oksigen itu, kalau pagi hari, udaranya segar betul,” imbuhnya. Saya teringat pemuda perantau yang saya temui siang tadi. Barangkali, hijrah ke kawasan lain adalah opsi terbaik. Dan ketika para pemuda pulau memilih pindah, wajar rasanya jika pulau ini akhirnya lebih banyak dihuni kaum manula yang mungkin memang bisa hidup lebih bugar sebab minimnya polusi.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Senja di dermaga/Asief Abdi

Tak terasa, matahari telah tenggelam seutuhnya. Ketika cahaya terakhir lenyap di ufuk barat, kami beranjak. Kegelapan menyelimuti. Tanpa sinar lampu motor, kami bisa nyungsep di mana saja. Seperti Kangean, listrik Gili Iyang bergantung penuh pada generator listrik bertenaga diesel. Kendati begitu, raungan mesin tersebut tak sanggup menerangi seisi pulau. Alhasil, warga harus puas dengan penjatahan listrik harian. Jika setengah pulau malam ini menyala, separuhnya harus mengalah. 

Di masjid, Usman menuntun kami ke sebuah bilik berdinding triplek khusus musafir. Untunglah kami tak perlu membayar. “Lepas tengah malam, listrik bakal mati total. Kalau mau isi daya, sebaiknya sebelum itu,” ujar sang takmir. 

Saya terjaga tepat tengah malam karena kandung kemih saya penuh. Begitu membuka pintu, tak ada setitik pun cahaya lain di sekeliling kecuali lampu masjid yang masih benderang berkat panel surya. Dalam kegelapan seperti ini, gemintang di langit tampak lebih banyak. Saya buru-buru ke kamar mandi dan lekas kembali ke bilik. Di luar, angin darat bertiup kencang dan malam kian pekat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/semalam-di-gili-iyang-si-pulau-oksigen/feed/ 0 44795
Pantai Tlangoh Bangkalan: Mengubah Mitos dengan Pariwisata Berbasis Masyarakat https://telusuri.id/pantai-tlangoh-bangkalan-mengubah-mitos-dengan-pariwisata-berbasis-masyarakat/ https://telusuri.id/pantai-tlangoh-bangkalan-mengubah-mitos-dengan-pariwisata-berbasis-masyarakat/#respond Fri, 20 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44637 Tidak jauh dari Kota Surabaya, sekitar 1,5 jam perjalanan, terdapat objek wisata Pantai Tlangoh yang terletak di Desa Tlangoh, Kecamatan Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan. Dari pusat kota Bangkalan, jaraknya sekitar 50 km atau kurang lebih...

The post Pantai Tlangoh Bangkalan: Mengubah Mitos dengan Pariwisata Berbasis Masyarakat appeared first on TelusuRI.

]]>
Tidak jauh dari Kota Surabaya, sekitar 1,5 jam perjalanan, terdapat objek wisata Pantai Tlangoh yang terletak di Desa Tlangoh, Kecamatan Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan. Dari pusat kota Bangkalan, jaraknya sekitar 50 km atau kurang lebih satu jam berkendara.

Dulunya Pantai Tlangoh sepi. Bahkan hanya dikunjungi oleh orang-orang yang ingin berendam menyembuhkan berbagai penyakit. Sebelum dibuka untuk umum pada bulan Mei 2020, pantai ini kotor—banyak sampah berserakan dan tidak terawat. Belum adanya pengelolaan yang jelas juga menjadi salah satu alasan. 

Siapa sangka, kini Pantai Tlangoh seperti terlahir kembali, menjadi destinasi wisata yang ramai dan layak dikunjungi. Saya bersama teman-teman pun penasaran dan segera mengunjunginya saat akhir pekan.

Pantai Tlangoh Bangkalan: Mengubah Mitos dengan Pariwisata Berbasis Masyarakat
Anak-anak asyik bermain air di Pantai Tlangoh yang ombaknya relatif tenang/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Dari Obat Penyakit sampai Penambangan Pasir

Dahulu, masyarakat setempat pernah meyakini bahwa Pantai Tlangoh memiliki kekuatan tersendiri. Perairan pantai ini dipercaya serupa obat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit, seperti penyakit kulit—kadas dan kurap—hingga stroke dengan cara berendam dengan harapan besar bisa sembuh.

Bahkan jika ingin lebih maksimal, orang yang menderita penyakit tersebut bisa berendam mulai dari dini hari hingga sore menjelang matahari terbenam. Tidak hanya itu, warga sekitar juga meyakini, orang yang telah berendam di pantai tidak boleh membilas tubuhnya menggunakan air tawar jika tubuhnya belum kering.

“Mereka baru boleh mandi air tawar setelah air hasil berendam menguap tuntas atau bersih,” ungkap Kudrotul Hidayat, Kepala Desa Tlangoh, seperti dikutip Detik.com pada 30 November 2024.

Di sisi lain, Pantai Tlangoh juga menjadi lokasi penambangan pasir putih liar. Hasilnya dijual keluar desa. Oleh sebab itu, yang tersisa di pantai ini hanya karangnya. Pasir putih yang dulunya melimpah, kini telah berubah.

Untuk sekian lama, keberadaan Pantai Tlangoh memang belum memberi manfaat yang berdampak langsung pada ekonomi warga yang tinggal di sekitar pantai. Sebab, pengunjung yang datang dan ingin mandi air laut untuk menyembuhkan penyakit kerap tidak dipungut biaya alias gratis. Ditambah lagi lingkungan yang kurang resik. 

Pantai Tlangoh Bangkalan: Mengubah Mitos dengan Pariwisata Berbasis Masyarakat
Kios-kios warga mengapit pintu masuk menuju Pantai Tlangoh/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Perlahan Bangkit Mengubah Citra

Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia di kuartal pertama 2020 justru menjadi titik balik bagi Pantai Tlangoh. Sepinya kunjungan karena kebijakan pembatasan perjalanan oleh pemerintah dimanfaatkan untuk mengubah citra pantai. Tatkala pengelolaan sudah mulai tertata, Pantai Tlangoh akhirnya dibuka kembali untuk umum pada Mei 2020.

Secara bertahap, stigma pantai sebagai penyembuh penyakit dan tak terurus akibat sampah dan penambangan pasir ilegal mulai terkikis. Transformasi pun terjadi. Saat ini Pantai Tlangoh bisa dinikmati banyak orang untuk berekreasi melepas penat sembari menikmati berbagai kuliner lezat.

Perubahan yang signifikan tersebut ternyata berkat dukungan Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO) melalui Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM) dan program tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility (CSR). Pertamina bekerja sama dengan perangkat desa yang dipimpin Kudrotul Hidayat, kepala desa yang masih menjabat sampai sekarang.

Kedua pihak juga berkolaborasi dengan anak-anak muda desa yang tergabung dalam kelompok sadar wisata (pokdarwis) maupun pemangku kepentingan lainnya untuk mengubah citra pantai. Salah satu upaya pengembangan wisata Pantai Tlangoh melalui program ini antara lain membuat jalan untuk kemudahan akses transportasi menuju pantai. Tujuannya agar masyarakat bisa dengan mudah mengunjungi tanpa alasan jalanan rusak. 

Pendirian dan pendampingan kelembagaan pokdarwis yang solid juga turut digagas oleh PHE WMO. Berbagai fasilitas untuk pengunjung kini sudah lengkap, seperti toilet umum, gazebo, payung pantai, dan warung-warung milik warga yang berjejer. Uniknya, bangunan di area pantai mayoritas menggunakan bambu yang dinilai lebih ramah lingkungan. 

Retribusi wisata pantai ini bisa dibilang cukup terjangkau. Tiket masuk pantai hanya Rp5.000 per orang, sedangkan biaya parkir motor Rp5.000 dan mobil Rp10.000. 

  • Pantai Tlangoh Bangkalan: Mengubah Mitos dengan Pariwisata Berbasis Masyarakat
  • Pantai Tlangoh Bangkalan: Mengubah Mitos dengan Pariwisata Berbasis Masyarakat

Kolaborasi Antarpihak untuk Menjaga Eksistensi Pantai

Penerapan mekanisme partisipasi yang melibatkan berbagai pihak bisa menciptakan kemandirian dan keberlanjutan dalam mengembangkan wisata Pantai Tlangoh. Di samping itu, PHE WMO juga berkolaborasi dengan sejumlah perangkat daerah di Kabupaten Bangkalan.

Kerja sama yang terjalin di antaranya dengan dinas lingkungan hidup untuk mendukung program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (TPB/SDGs). Pada dasarnya program tersebut berfokus pada pengembangan pariwisata yang berada di daerah pesisir utara Bangkalan. Hal ini untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui pengembangan sumber daya alam yang telah dimiliki. Selain itu, PHE WMO juga mengajak dinas kebudayaan dan pariwisata untuk membantu pokdarwis Desa Tlangoh dalam mengembangkan keterampilan pemasaran digital. 

Langkah-langkah taktis tersebut membuat Pantai Tlangoh mulai bisa memberikan dampak bagi warga sekitar. Termasuk melakukan sejumlah pendampingan agar mereka bisa membuka usaha dan berjualan di area pantai. Sebab, saat pandemi melanda, banyak warga desa yang menjadi pekerja migran di Jepang terpaksa dipulangkan. Pendampingan dari pemerintah dan perusahaan tentu sangat membantu masyarakat untuk terus menghidupi keluarganya dengan berdagang di area wisata. 

Berdasarkan data pokdarwis, selama periode Juli–September 2020 terdapat 9.500 pengunjung yang mengunjungi Pantai Tlangoh. Total pendapatan dari tiket masuk dan parkir mencapai Rp40.000.000 saat itu. 

Mendengar capaian positif saat berkunjung ke Pantai Tlangoh membuat kami sadar. Pantai dengan segala mitos dan tantangan yang dihadapi semasa dulu, bisa menjadi inspirasi bagi pantai lain di Indonesia yang mungkin masih sepi pengunjung. Kolaborasi berbagai pihak menjadi kunci perubahan signifikan pada objek wisata pantai ini.

Kami pun betah di sini berjam-jam. Sebab, udara di sini tidak terlalu panas menyengat seperti pantai-pantai di Sumenep. Ombaknya tidak besar. Kuliner pun beragam, seperti rujak madura, nasi goreng, soto, bebek goreng, dan aneka gorengan. Kami menikmati sore sembari bersantai dengan minum kopi dan duduk di gazebo pinggir pantai.

Pantai Tlangoh tidak hanya sekadar destinasi pantai yang hanya menawarkan keindahan semata. Lebih dari itu, warga dan pengelolanya pun turut andil membangun pantai secara berkelanjutan, sehingga bisa membantu meningkatkan perekonomian keluarga. 


Referensi:

Amin, S. dan Wispandono, R. M. M. (2023). Peran Karyawan Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia Di Era-Digital  Pada Pokdarwis Pantai Tlangoh Bangkalan. Journal of Business Finance and Economic (JBFE), Volume 4, Nomor 2, Desember 2023. https://doi.org/10.32585/jbfe.v4i2.4674.
Yasmine, F. (2020, 7 Desember). Menilik Buah Manis Konservasi Ekosistem Pantai di Kabupaten Bangkalan. National Geographic Indonesia. https://nationalgeographic.grid.id/read/132459876/menilik-buah-manis-konservasi-ekosistem-pantai-di-kabupaten-bangkalan?page=3, diakses pada 9 November 2024.
PHE Pertamina. (2020). Menebar Inspirasi di Tengah Pandemi. Media-National Geographic – Area Konservasi Mangrove PHE WMO, Tahun 2020. https://phe.pertamina.com/uploads/Kehati/Upload/File/e4420a58-c822-4f80-b54f-98e752527df2MediaNationalGeographicAreaKonservasiMangrovePHEWMOTahun2020.pdf, diakses pada 9 November 2024.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pantai Tlangoh Bangkalan: Mengubah Mitos dengan Pariwisata Berbasis Masyarakat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pantai-tlangoh-bangkalan-mengubah-mitos-dengan-pariwisata-berbasis-masyarakat/feed/ 0 44637
Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura https://telusuri.id/sapeken-pulau-kecil-dengan-kisah-besar-di-timur-madura/ https://telusuri.id/sapeken-pulau-kecil-dengan-kisah-besar-di-timur-madura/#respond Tue, 10 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44494 Perjalanan ini bermula dari pelabuhan kecil di ujung timur Madura. Tujuannya jelas, yaitu Pulau Sapeken. Sebuah pulau yang masuk kedalam kriteria pulau terluar dari wilayah Madura. Keingintahuan saya tentang kehidupan di sana membawa saya menyusuri...

The post Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan ini bermula dari pelabuhan kecil di ujung timur Madura. Tujuannya jelas, yaitu Pulau Sapeken. Sebuah pulau yang masuk kedalam kriteria pulau terluar dari wilayah Madura. Keingintahuan saya tentang kehidupan di sana membawa saya menyusuri perjalanan yang tak hanya penuh dengan pesona alam, tetapi juga cerita-cerita masyarakat lokal yang begitu kental.

Ketika pertama kali mendengar nama Pulau Sapeken, saya membayangkan sebuah pulau kecil yang sepi, jauh dari keramaian. Namun, begitu kaki ini menginjak tanahnya, ternyata kenyataannya jauh berbeda. Pulau ini, meskipun hanya seluas sekitar 3,5 kilometer persegi, ternyata penuh dengan kehidupan. Bahkan, beberapa orang yang pernah berkunjung ke Sapeken menyebutnya sebagai “pulau metropolis.”

Saat menyusuri gang-gang kecil di antara rumah-rumah penduduk, saya mendapati betapa berbedanya Sapeken dibandingkan dengan bayangan saya tentang pulau terpencil dan terluar. Penduduk di sini sangat ramah, meskipun banyak dari mereka berasal dari latar belakang yang berbeda.

Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura
Nelayan mengangkut jala berisi hasil tangkapan di bibir pantai Sapeken/Adipatra Kenaro Wicaksana

Menyelami Dinamika Demografi Sapeken

Kecamatan Sapeken terdiri dari sembilan desa dan 33 pulau kecil lainnya. Bayangkan, dari 33 pulau itu, hanya lima yang tidak berpenghuni. Jadi, sisanya? Penuh dengan cerita dan kehidupan yang tersebar di antara pulau-pulau tersebut. Desa Sapeken sendiri juga mencakup beberapa pulau kecil, seperti Pulau Sadulang Besar, Pulau Sadulang Kecil, Pulau Saular, Pulau Saebus, dan Pulau Saur. Semua pulau ini menjadi bagian dari ekosistem sosial dan budaya yang unik.

Menurut BPS Kecamatan Sapeken (2022), populasi penduduk pulau ini sekitar 10.359 jiwa, baik laki laki maupun perempuan. Tak heran jika Pulau Sapeken terasa begitu padat. Dari kejauhan, deretan rumah-rumah di sepanjang pantai terlihat begitu rapat, seperti puzzle yang saling melengkapi.

Pulau Sapeken ini memang hanya memiliki satu dusun, tetapi kehidupan di sini sangat dinamis. Setiap sudutnya seperti dipenuhi energi, entah dari para nelayan yang baru pulang melaut, ibu-ibu yang sibuk di pasar, atau anak-anak yang berlarian di jalan-jalan sempitnya.

Memang, dengan penduduk yang padat dan berbagai macam gaya hidup, masyarakat Sapeken bisa dibilang “metro kepulauan.” Berbeda dengan pulau lain yang biasanya lebih tenang dan seragam, di sini kehidupan terasa lebih hidup. Ada tiga masjid yang menunjukkan kehidupan keagamaan yang dinamis. Banyak aliran keorganisasian Islam, seperti NU, Persis, dan Muhammadiyah. Umat nonmuslim hanya sekitar 0,5 persen.

Uniknya, penduduk di Pulau Sapeken justru berbahasa Sulawesi (cenderung bahasa Bajau, bahasa Mandar, dan sebagian kecil berbahasa Bugis), bukan berbahasa Madura. Sebab, dalam sejarahnya populasi penduduk Sapeken memang merupakan pendatang dari daerah Makassar (dulu Ujung Pandang). 

Ketika itu, orang Kampung Bajo dari Sulawesi Selatan sedang melaut untuk mencari ikan dan menetap di Pulau Sapeken. Hal tersebut yang menjadi tradisi maritim dan mengakar kuat, sehingga membuat Sapeken menjadi salah satu pusat perikanan yang paling penting di wilayah ini.

Pernah suatu waktu, Drs. Abdul Muiz Aliwafa, yang dulu pernah menjabat wakil bupati Sumenep, memberi sambutan saat peresmian Kantor MWC NU Sapeken dengan logat Madura. Namun, para tamu undangan malah kebingungan. Ternyata, banyak yang tidak paham bahasa Madura yang dipakai. Akhirnya, ia beralih menggunakan bahasa Indonesia.

Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura
Aktivitas nelayan saat melaut di perairan Pulau Sapeken/Adipatra Kenaro Wicaksana

Menyatu dalam Kehidupan Nelayan

Begitu tiba di dermaga, aroma laut dan ikan segar seraya menyambut. Para nelayan dengan ramah menyapa kami, dan di sinilah narasi perjalanan saya di Sapeken benar-benar dimulai. Setiap sudut dermaga disesaki aktivitas nelayan yang baru saja kembali dari laut. Kapal-kapal kecil mereka penuh dengan ikan yang siap dijual di pasar lokal atau dikirim ke tempat-tempat yang lebih jauh.

Aktivitas di pulau kecil ini tak kalah sibuk dengan kota-kota besar. Di pagi hari, suara klakson perahu nelayan dan obrolan riuh di pasar lumrah jadi pemandangan sehari-hari. Laut yang mengelilingi pulau tidak hanya menjadi sumber penghidupan, tetapi juga bagian dari kehidupan sehari-hari. Di sini, saya benar-benar merasakan bagaimana hubungan masyarakat antara laut dan kehidupan sehari-hari sangat erat. Laut bukan hanya sebagai sumber mata pencaharian, melainkan juga bagian dari identitas masyarakat.

Sapeken yang berada di ujung timur wilayah Kabupaten Sumenep, Madura, dikenal sebagai lumbung ikan yang penting di kawasan ini. Sapeken menjadi rumah bagi para nelayan yang sehari-harinya mengarungi laut demi membawa hasil tangkapan terbaik.

Muhandis Sidqi menjelaskan secara mendalam peran Pulau Sapeken dalam bukunya Pulau Sapeken: Lumbung Ikan di Timur Madura (2013). Di buku terbitan Kementerian Kelautan dan Perikanan itu, peran Pulau Sapeken dalam menopang industri perikanan sangat besar. Laut di sekitarnya dikenal memiliki kekayaan biota laut yang melimpah, berkat arus laut yang stabil dan ekosistem terumbu karang yang sehat. Para nelayan setempat memanfaatkan kondisi ini untuk menjadikannya pusat perikanan yang hidup. Bukan hanya untuk Madura, melainkan juga bagi wilayah-wilayah lain di sekitarnya.

Saking eratnya, hampir setiap keluarga di Sapeken menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan ikan. Selain dijual di pasar lokal, ikan-ikan dari Sapeken juga dikirim ke berbagai daerah lain, termasuk Surabaya dan Bali. Tak heran jika Muhandis Sidqi menyebut pulau ini sebagai lumbung ikan. Setiap hari, kapal-kapal pengangkut hilir mudik, membawa ikan segar keluar dari pulau. 

Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura
Hasil tangkapan ikan nelayan Sapeken, di antaranya teri, layang, sampai tongkol/Adipatra Kenaro Wicaksana

Dari Pantai yang Sunyi, hingga Mangrove yang Asri

Pulau ini bukan cuma tentang ikan. Sapeken juga menyimpan pesona alam yang begitu memikat. Saya sempat mengunjungi pantainya. Hanya ada deru angin dan suara ombak di sana. Pulau ini menawarkan pemandangan pantai-pantai sepi yang begitu tenang, pasir putihnya begitu halus di bawah kaki. Sementara air laut yang jernih berkilau diterpa sinar matahari seolah mengajak siapa pun yang datang untuk sejenak melupakan hiruk piruk kehidupan.

Keindahan alam Sapeken tidak berhenti hanya pada pantainya saja. Di sisi lain pulau, terdapat hutan mangrove yang luas dan asri. Akar-akar mangrove yang menjulur di bawah permukaan air membentuk habitat bagi berbagai jenis satwa laut. Hutan mangrove di Sapeken juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem pulau ini. Selain melindungi garis pantai dari abrasi, juga memberikan tempat berlindung bagi ikan-ikan kecil.

Pantai dan mangrove di Pulau Sapeken seakan memberi penegasan. Bukti nyata bahwa pulau ini tidak hanya sebagai pusat perikanan, tetapi juga destinasi wisata alam yang menakjubkan.

Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Pulau

Selama perjalanan mengelilingi Desa Sapeken, saya juga berkesempatan melihat langsung bagaimana pelayanan kesehatan berlangsung. Ada sebuah bentuk inisiatif yang luar biasa, yaitu kapal layanan kesehatan. Meski beroperasi hanya empat kali dalam setahun, kapal kesehatan tersebut memberikan berbagai jenis pelayanan medis dasar serta lanjut, mulai dari operasi bedah hingga kontrol kesehatan rutin. 

Keterbatasan transportasi dan sumber daya kesehatan hanya dapat diatasi dengan pelayanan kesehatan bergerak. Saya jadi semakin sadar betapa pentingnya solidaritas dan kerja sama di daerah-daerah terpencil.

Menurut saya, pelayanan kesehatan bergerak di daerah terpencil seperti Sapeken adalah contoh nyata dari dedikasi yang luar biasa dalam memberikan akses kesehatan yang layak bagi masyarakat. Mengingat tantangan geografis—pulau-pulau terpisah oleh lautan—dan sulitnya akses transportasi, program ini merupakan solusi cerdas dan sangat efektif.

Pelayanan kesehatan bergerak di Sapeken mengajarkan saya bahwa inovasi kesehatan bukan hanya tentang teknologi maju, melainkan juga adaptasi dan keberanian untuk menjangkau masyarakat di pelosok negeri. Cerita tentang kapal kesehatan yang datang seperti “penyelamat” bagi warga Desa Sapeken adalah bukti nyata, bahwa layanan ini sangat penting untuk memastikan setiap orang, di mana pun mereka berada, memiliki hak yang sama atas kesehatan.

Sapeken mungkin kecil, tetapi kisah dan kehidupan di dalamnya sangat besar. Rasanya, tak cukup sehari untuk bisa benar-benar memahami dan merasakan setiap detak kehidupan di pulau ini. Dengan semua keramaiannya, Sapeken tetap menawarkan daya tarik yang membuat saya ingin terus kembali.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sapeken-pulau-kecil-dengan-kisah-besar-di-timur-madura/feed/ 0 44494
Jalan-Jalan ke Kangean (2) https://telusuri.id/jalan-jalan-ke-kangean-2/ https://telusuri.id/jalan-jalan-ke-kangean-2/#respond Fri, 08 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43001 Kokok bekisar terdengar sayup di antara samar sinar mentari yang menembus kaca jendela. Tunggu, apa itu bunyi ayam sungguhan? Atau saya masih berada di alam mimpi?  Tidak, suara itu nyata. Tentu saja, ini Kangean, si...

The post Jalan-Jalan ke Kangean (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kokok bekisar terdengar sayup di antara samar sinar mentari yang menembus kaca jendela. Tunggu, apa itu bunyi ayam sungguhan? Atau saya masih berada di alam mimpi? 

Tidak, suara itu nyata. Tentu saja, ini Kangean, si Pulau Cukir.

Jalan-Jalan ke Kangean (2)
Alun-alun kota Arjasa dan monumen patung bekisar kebanggaan/Asief Abdi

Alun-alun Arjasa

Kebetulan, hotel tempat kami menginap tak jauh dari alun-alun Arjasa. Jadi, di pagi hari kami menyempatkan diri untuk mengunjungi pusat keramaian pulau itu. Meski cuma sepetak alun-alun kecamatan, masyarakat sekitar menyebut kawasan itu sebagai “kota”. “Kota” ini bukan hanya episentrum perekonomian lokal, melainkan juga telah lama menjadi jantung pemerintahan Kangean sejak zaman kolonial. Kantor kecamatan di utara, puskesmas di selatan, bangunan tua milik Perhutani di timur, dan masjid agung di barat.

Begitu melintas di lapangan, banyak mata memerhatikan kami. Jelas mereka tahu kami bukan penduduk sekitar. Kami lurus saja berjalan ke arah bocah-bocah yang tengah asyik bermain di bawah patung bekisar kebanggaan penduduk Kangean. Saat kami mendekat untuk sekadar memotret dan merekam, anak-anak itu malah mengerubungi kami.

“Nanti masuk YouTube, Kak?” kata seorang anak.

“Itu iPhone asli, Kak?” timpal lainnya.

Saya mengangguk dan meminta mereka tetap bermain.

Arjasa bukan kawasan susah sinyal. Sejak tiba lusa lalu, saya bisa internetan sesuka hati, bahkan di Mamburit sekalipun. Walau begitu, bocah-bocah di depan kami tidak berkumpul untuk mabar (main bareng) dengan ponsel masing-masing di genggaman. Alih-alih, mereka memainkan permainan tradisional. 

Rambu, begitu mereka menyebutnya. Permainan itu sederhana saja. Sandal atau sebatang kayu diikat tali, ditautkan, lalu diadu. Pemain yang talinya putus berarti kalah. Tentu tali yang dipakai bukan benang biasa, melainkan senar layangan yang sudah dilabur serbuk kaca.  Setelah bosan, mereka beralih ke permainan lain. Sayang sekali kami tak bisa menonton lebih lama. Sebentar lagi Firman akan menjemput dan mengajak kami menyusuri jalan utama Kangean hingga ujung timur pulau.

Jalan-Jalan ke Kangean (2)
Bocah-bocah bermain di alun-alun/Asief Abdi

Dari Kota ke Rimba

Mobil kami melaju kencang di jalanan Arjasa. Jalur yang kami lintasi merupakan satu-satunya jalan protokol, terbentang sekitar 47 kilometer dari ujung barat ke ujung timur. Toko-toko grosir berjejer di pinggir jalan. Rupanya, Kangean tak seterpencil kelihatannya. Ia memang nun jauh di timur, tetapi fasilitas di sini sudah cukup komplet meski pasti tak selengkap di Madura daratan. Bank, swalayan, apotek, rumah sakit, bengkel mobil, semua ada. Bahkan, jasa pengiriman barang pun sudah beroperasi dan siap menggenapi hasrat belanja masyarakat.

Sepanjang jalan, kami melewati banyak masjid. Wajar, masyarakat pulau ini mayoritas muslim—bahkan mungkin semuanya Islam. Meski begitu, kira-kira pada 1915, pernah ada seorang pendakwah kristen yang hendak menyebarkan ajaran Yesus di Kangean. Diceritakan, orang Belanda itu sudah berlaku amat baik bagi warga sekitar. Ia memberikan pendidikan, beras, obat-obatan, sampai hiburan bagi penduduk dengan harap bisa merekrut pengikut. Namun, apa daya, rupanya ajaran Kristus tak meresap ke benak warga Kangean. Setelah seperempat abad mencoba, menjelang Perang Dunia kedua, dia hengkang dari pulau. Kini, kawasan tempat ia dahulu tinggal dikenal sebagai Kampung Pandita.

Dari pesisir barat, kami bertolak ke pantai utara pulau. Di situ terdapat sebuah sumber air tawar yang langsung bermuara ke laut. Celghung, begitu warga sekitar menyebutnya. Telaga itu menjadi semacam tempat wisata bagi masyarakat setempat. Sayang sekali, ia tampak terbengkalai sehingga saya tak bernafsu menceburkan diri. 

Kami melesat terus ke timur. Aspal kian pudar, berganti jalur makadam yang memaksa kami melaju bak kura-kura. Rupanya, jalur utama pulau ini belum sepenuhnya mulus. Alhasil, butuh waktu lebih lama untuk jarak yang tak seberapa. Pantas saja banyak motor jenis trail berseliweran. Dengan kondisi begini, paling-paling kami hanya bisa melaju sekitar 30 km/jam. Lagi-lagi ada saja yang membuat saya mual. Usai dibuat pening di laut, kini saya dibikin pusing di darat. Saya membuka kaca jendela dan melempar pandang ke luar, ke arah hutan yang dibelah jalan rusak ini.

Sesekali kami berpapasan dengan sapi-sapi milik warga yang dilepas begitu saja. Hewan-hewan itu tampak berbeda dengan lazimnya sapi Madura. Lembu di sini warnanya lebih pucat, tak secokelat saudara-saudara mereka di Madura. Masyarakat Kangean rupanya telah lama beternak sapi dengan cara seperti ini. Dulu, metode semacam itu sempat dilarang lantaran kerap memicu konflik antarwarga perihal kepemilikan sapi. Apalagi kalau binatang itu beranak pinak di hutan dan membingungkan si empunya. 

Akan tetapi, agaknya di daerah pelosok, cara seperti ini masih lestari. Teknik serupa juga dilakukan masyarakat Pulau Gili Genting di sebelah selatan Sumenep. Mungkin, kini para pemilik ternak sudah lebih lihai dalam mengontrol ternaknya. Walau demikian, bukan berarti pencuri ternak tak beraksi di sini sehingga binatang memamah biak itu bebas dilepas. Kadang, ternak warga lenyap di malam hari. 

“Maling sapi biasanya memotong langsung sapi curiannya. Kalau bawa hewan hidup, kelamaan. Keburu kepergok. Mau gendong sapinya juga enggak mungkin,” jelas Firman. Benar juga, di tengah rimba seperti ini, maling bisa menjagal sapi tanpa membangunkan seorang pun di tengah gulita. 

Hutan yang kami lalui cukup luas. Kata Firman, jika beruntung, kami bisa melihat ayam hutan di antara pokok-pokok jati. “Dulu sering nongol, tapi belakangan sudah jarang,” jelasnya. Unggas itu merupakan indukan bekisar. Orang Kangean yakin bahwa merekalah penemu sang bekisar. Lantaran dianggap autentik, bekisar Kangean bisa dihargai sampai puluhan juta. 

Hingga kini, para penangkar masih menangkap ayam hutan dari belantara untuk dikawinkan dengan ayam kampung mereka. Barangkali, satwa liar itu kini masuk lebih dalam ke rimbun belukar, kian waspada dan waswas akan bau manusia. Di tengah perjalanan, kami menyempatkan diri mampir ke rumah seorang penangkar bekisar. Sayang sekali, ia hanya punya ayam hutan induk dan belum menghasilkan bekisar barang seekor.

Bagaimanapun, rimba Kangean merupakan hutan terakhir di kawasan Madura. Tak hanya dihuni ayam hutan (mano’ tarata), belantara Kangean juga rumah bagi berbagai spesies burung. Kepodang dan betet yang langka masih beterbangan di kanopi hutan Kangean. Bahkan, dahulu, sebelum para bandit beraksi, konon ternak warga yang dilepas ke jenggala acap menjadi incaran harimau.

Jalan-Jalan ke Kangean (2)
Olbha’, sumber air tawar di tepi pantai/Asief Abdi

Berhenti di Sendang

Mobil kami menepi. Di tepi jalan, sekelompok pekerja beristirahat. Mereka sedang mengerjakan proyek pembangunan tempat wisata. Rupanya, di situ terdapat sumber air tawar, Olbha’ namanya. Seperti Celghung, sendang tersebut juga langsung mengalir ke laut. Kami turun lalu berjalan mengikuti suara gemericik air.

Pohon-pohon besar macam pule, kepuh, dan keben, menaungi langkah kami. Raksasa-raksasa itu mengadang sinar matahari serta menguarkan nuansa wingit bagi siapa pun yang melintas di bawah naungannya. Tentu kondisinya sangat berbeda di masa silam. Sebelum manusia menjamah jauh ke dalam rimba, vegetasi hutan ini lebih rapat. Wajar jika dulu belantara Kangean membuat manusia gentar.

Ketika belum ada dokter di pulau ini, penduduk lokal percaya bahwa penyakit yang mereka derita ialah ulah demit penunggu alas. Kini, saat orang tak lagi takut, belantara perlahan koyak moyak, tebing-tebing digerogoti, pohon pule raksasa kerap dicuri seenaknya, dan burung-burung ditangkapi untuk dijual ke luar pulau. Seperti biasa, tampaknya belum ada tindakan berarti dari pihak berwenang.

Gemercik air kian nyaring. Kami tiba juga di sendang. Sebuah mata air memancar dari celah bebatuan, tepat di dekat pohon keben. Alirannya membentuk rawa-rawa yang berbatasan langsung dengan hutan bakau. Saya menadahi air dengan kedua telapak tangan dan membasuhkannya ke muka. 

Jalan-Jalan ke Kangean (2)
Pantai Patapan dengan Pulau Paliat di seberangnya/Asief Abdi

Di Ujung Timur 

Usai melibas jalanan selama lebih kurang dua jam, akhirnya kami tiba juga di ujung timur. Patapan, begitu nama daerah itu. Kata tersebut berarti “pertapaan”. Konon, dahulu kala, Arya Jasa, seorang tokoh dalam legenda lokal, bersemadi di kawasan tersebut untuk menemukan keris yang mampu mengangkat wabah di negeri asalnya.

Jalur di depan kami buntung. Ini benar-benar akhir perjalanan. Di depan sana, laut membentang, memisahkan daratan yang kami pijak dengan sebuah pulau, tidak jauh di seberangnya, yaitu Paliat. Rimbun hutan Paliat terlihat dari tempat kami berdiri. Dari pulau kecil itu pula orang-orang bertolak ke Sapeken.

Kangean, Paliat, dan Sapeken hanyalah sebagian kecil dari pulau-pulau yang bertebaran di perairan timur Madura. Kawasan kepulauan Sumenep, selain jarang terekspos media, juga masih tertinggal. Pendidikan di pulau-pulau kecil itu jelas tak sebaik di Madura daratan. Lebih-lebih, orang Madura daratan biasanya enggan jika mendapat tugas mengajar di wilayah kepulauan. Saya pikir, ada baiknya pemerintah setempat memberikan beasiswa khusus kepada warga asli area kepulauan agar kelak mereka dapat kembali dan memajukan pendidikan di daerahnya. 

Mungkin sarana pendidikan yang minim berkorelasi dengan kecenderungan orang Kangean untuk merantau ke Malaysia. Begitulah para istri di sini seringkali harus menjalin hubungan jarak jauh dengan suaminya. Saya teringat film berjudul Istri Orang yang saya tonton empat tahun lalu, tentang seorang perempuan Kangean yang ditinggal suaminya hijrah ke negeri jiran. 

Di pantai Patapan, kami membuka bekal. Istri Firman sudah memasak banyak untuk kami bertiga. Teman saya itu dan istrinya pernah menempuh pendidikan tinggi di universitas top. Mereka tentu sadar kemudahan yang ditawarkan daerah-daerah di luar sana. Kendati begitu, sepertinya mereka tak tergoda dan lebih memilih pulang ke kampung halaman. 

Kami makan di atas pasir dengan deru ombak dan desau angin. Di kejauhan, sebuah kapal merayap lambat ke timur, menuju Sapeken. Sebagai warga Sumenep, baru kali ini saya menyadari betapa luas wilayah kabupaten tempat saya tinggal. Namun, Kangean benar-benar jagat yang lain. Ia adalah Madura sekaligus bukan. Entah ada berapa daratan lagi di sekitarnya. Rasanya mustahil untuk saya menjejaki semua pulau mungil itu.

Saya memandang lepas ke samudra. Kapal yang saya lihat tadi sudah makin jauh ke timur dan terus melaju hingga menjelma titik hitam di horizon.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jalan-Jalan ke Kangean (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jalan-jalan-ke-kangean-2/feed/ 0 43001