magelang Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/magelang/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 02 Jun 2025 09:56:28 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 magelang Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/magelang/ 32 32 135956295 Menyusuri Terminal Muntilan: Dari Pasar Loak hingga Gadis Kretek https://telusuri.id/menyusuri-terminal-muntilan-dari-pasar-loak-hingga-gadis-kretek/ https://telusuri.id/menyusuri-terminal-muntilan-dari-pasar-loak-hingga-gadis-kretek/#respond Mon, 02 Jun 2025 03:00:37 +0000 https://telusuri.id/?p=47283 Siang itu, Sabtu (19/04/2025), terik sinar matahari menyelimuti Kota Muntilan. Jalanan tidak terlalu ramai kendati saat itu akhir pekan. Hal itu tidak mengherankan karena Muntilan hanya sebuah kota kecamatan kecil di antara Jogja dan Magelang....

The post Menyusuri Terminal Muntilan: Dari Pasar Loak hingga Gadis Kretek appeared first on TelusuRI.

]]>
Siang itu, Sabtu (19/04/2025), terik sinar matahari menyelimuti Kota Muntilan. Jalanan tidak terlalu ramai kendati saat itu akhir pekan. Hal itu tidak mengherankan karena Muntilan hanya sebuah kota kecamatan kecil di antara Jogja dan Magelang.

Konon kata Muntilan berasal dari kata “Mount Land”, yang berarti tanah di antara pegunungan. Nama ini disematkan Raffles kala Inggris menjajah Indonesia. Hal itu dikarenakan topografi kota ini yang terletak di antara Gunung Merapi–Merbabu, Sumbing, dan perbukitan Menoreh.

Kala itu kami tengah menyambangi Terminal Drs. Prajitno, atau lebih dikenal Terminal Muntilan. Suasana terlihat lengang dengan beberapa minibus yang lalu-lalang membawa penumpang. Saat itu tak tampak kendaraan besar yang akan pergi ataupun datang. Hanya beberapa kendaraan transportasi lokal yang siap mengangkut orang-orang pergi ke pasar. 

Menyusuri Terminal Muntilan: Dari Pasar Loak hingga Gadis Kretek
Pintu masuk Terminal Drs. Prajitno Muntilan yang tampak lengang siang itu/Rizqy Saiful Amar

Terminal yang Tidak Hanya Disinggahi Angkutan Umum

Terminal Muntilan cukup terkenal karena merupakan eks Stasiun Muntilan. Selain digunakan sebagai tempat transit transportasi umum, terminal ini juga merupakan pusat kegiatan ekonomi. Terdapat pasar loak, sayur, dan unggas-unggasan di sekelilingnya. Berbagai lapak dagangan digelar setiap Kliwon—hari dalam penanggalan Jawa—di ruas jalan terminal ini. Banyak pelapak yang menggelar dagangan berupa pakaian, obat-obatan, alat pertanian, dan semacamnya.

Kelik, pedagang pakaian bekas, dengan senyum ramahnya menyapa setiap orang yang lewat. Ia menawarkan pakaian yang ia gelar kepada siapa pun yang melintasi lapaknya.

Hanggeh, noko limang taun (Sudah jualan sekitar lima tahun),” ujarnya dengan bahasa Jawa medok.

Menyusuri Terminal Muntilan: Dari Pasar Loak hingga Gadis Kretek
Kelik dan Wahyuni tersenyum ramah sembari menawarkan dagangan pakaiannya/Rizqy Saiful Amar

Wajahnya penuh senyum dan tawa saat ia menjelaskan barang dagangannya satu per satu. Ia berusaha meyakinkan kepada siapa pun yang datang ke lapaknya bahwa pakaian yang ia jual masih layak pakai. Dengan menggunakan peci, kemeja hitam, dan jam tangan, menambah keyakinan bahwa dirinya pebisnis ulung.

Bersama Wahyuni, kolega bisnisnya, mereka menggelar berbagai jenis pakaian, mulai dari kemeja, jaket, dan celana jin di jalan keluar terminal. Wahyuni berteduh di bawah pohon hijau sembari menyapa orang yang lewat agar mampir ke lapaknya.

Nak niki sik paling terbesar, anuu… pasar sayur, terbesar, paling rame-paling gede teng mriki (di sini), pasar sayur. Wong Parakan, Wonosobo do ndene kabeh (ke sini semua),” jelas Kolis bercerita tentang geliat ekonomi di terminal dan sekitarnya.

“Kalau pasar seperti ini ramainya hanya pas [hari] Kliwon, kalau pakaian,” imbuhnya. Namun, kendati di pasaran Kliwon terjadi lonjakan pengunjung ke terminal, mereka merasa omzetnya tidak jauh berbeda. 

Menyusuri Terminal Muntilan: Dari Pasar Loak hingga Gadis Kretek
Ruas jalan di dalam kompleks terminal tempat melapak pedagang/Rizqy Saiful Amar

Saat bergeser ke sisi utara terminal, kami merasakan nuansa yang berbeda. Suara burung berjejalan di udara bercampur dengan kokok ayam. Pasar unggas terletak tak jauh dari terminal ini, berdekatan dengan pasar kayu. Banyak pedagang menjajakan berbagai jenis unggas, dari burung kicau hingga ayam kampung.

Dari kejauhan tampak Pak Landung tengah bercengkerama dengan calon pembeli. Mereka berdiskusi atas penawaran harga untuk ayam yang dijual Landung. Ia berujar saat Kliwon waktu lalu pengunjung penuh. Agaknya memang pasar unggas ini selalu diminati pengunjung yang datang saat pasaran Kliwon.

“Sudah dua puluh tahun jualan ayam dan marmut, wingi [Kliwon] fulll,” terang Landung. Ia sempat terlihat tidak puas dengan penawaran seorang pembeli, sehingga ayam Landung gagal terjual. Dengan raut kecewa sang pembeli meninggalkan lapak unggas itu diiringi kokok ayam seolah mengejek.

Di pasar unggas ini setiap Kliwon juga terdapat acara menarik. Para botoh, sebutan untuk pemain sabung ayam, berdatangan dari beberapa daerah di Magelang untuk mengadu ayam mereka. Kami sendiri pernah menyaksikan ajang sabung ayam tersebut. Suasana meriah dipenuhi pekik penonton yang saling menyemangati ayam jago kedua kubu petarung. Terlepas dari pro-kontra sabung ayam, apa yang terjadi di pasar ini telah menjadi tradisi yang dilakukan sejak dahulu.

Landung bersama ayam yang sudah ditawar (kiri) dan suasana para botoh menyaksikan tradisi adu ayam yang biasa diselenggarakan setiap Kliwon di Muntilan sejak dahulu/Rizqy Saiful Amar

Mesin Waktu di Pasar Kayu

Pembaca mungkin tahu serial Gadis Kretek yang tayang di Netflix November 2023 lalu. Serial itu merupakan adaptasi dari novel karya Ratih Kumala dengan judul serupa. 

Novel tersebut bercerita mengenai sejarah perjalanan rokok kretek dari masa lalu hingga kini. Berlatar ‘Kota M’ yang ternyata adalah Muntilan, serial tersebut menjelaskan dinamika bisnis tembakau sejak era tahun 1960-an. 

Percaya atau tidak, ternyata lokasi syuting yang diambil sebagai latar perintisan usaha tembakau oleh keluarga Jeng Yah, tokoh utama dalam film ini, adalah Pasar Kayu Muntilan. Bangunan di pasar ini masih berdinding kayu yang berjajar seperti pemukiman kuno, sehingga menjadi tempat yang tepat untuk menceritakan kilas balik industri kretek.

Menyusuri Terminal Muntilan: Dari Pasar Loak hingga Gadis Kretek
Nuansa kekunoan di Pasar Kayu Muntilan/Rizqy Saiful Amar

Ketika berjalan di sini rasanya seperti menyusuri lorong waktu. Kita seakan dibawa masuk ke dunia serial Gadis Kretek tersebut.

Bu Darminah, pemilik warung di Pasar Kayu, bercerita kepada kami bahwa setelah pasar tersebut dijadikan lokasi syuting, banyak pengunjung berdatangan. Kebanyakan dari mereka merupakan pelancong dari luar kota, bahkan beberapa ada yang dari luar Jawa.

“Banyak, dari Jakarta dan luar Jawa banyak. Anak sekolah juga banyak. Banyak berfoto buat sebelum ujian itu,” ujarnya.

  • Menyusuri Terminal Muntilan: Dari Pasar Loak hingga Gadis Kretek
  • Menyusuri Terminal Muntilan: Dari Pasar Loak hingga Gadis Kretek

Walaupun sudah tidak dapat berjalan dengan tegap, Bu Darminah tetap semangat menjaga usaha warungnya itu. Ia sendiri telah membuka warung di Pasar Kayu sejak tahun 1995 bersama suaminya, yang sudah meninggal. Rumahnya memang tidak jauh dari pasar, tetapi ia hanya sesekali pulang.

Saat proses produksi serial Gadis Kretek, warung Bu Darminah juga disewa. Warung itu diberi nama warung Yu Peni dalam serial tersebut. Sampai sekarang plang nama warung Yu Peni masih terpampang jelas di depan warung Bu Darminah.

Ia menjelaskan, dulunya pasar ini berada di sebelah timur sungai Keji, tetapi sekarang pasar telah berpindah ke barat sungai. Sudah sejak awal memang bangunan pasar ini seluruhnya berdinding kayu.

Sepeda ontel milik pekerja pasar bersandar di dinding, di atasnya terdapat plang bertuliskan Kretek Merah (kiri), dan plang bertuliskan Toko Widjaja yang digunakan sebagai properti saat pengambilan gambar di pasar kayu/Lutfiya Lamya

Beberapa ornamen yang digunakan sebagai properti syuting masih terpampang di beberapa bangunan pasar ini. Plang kedai kopi hingga merek rokok yang dihadirkan di serial Gadis Kretek masih menempel kukuh di dinding bangunan. 

Walaupun terkadang banyak pengunjung yang penasaran dengan lokasi syuting tersebut, pasar ini tetap beroperasi seperti sebagaimana mestinya. Akses menuju pasar ini pun tak terbatas asal tetap dalam jam kerja pasar.

Usai berbincang dengan Bu Darminah dan menandaskan es teh buatannya, kami kembali menyisiri pasar ini. Pasar Kayu Muntilan benar-benar merobek lorong waktu dengan pesonanya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Terminal Muntilan: Dari Pasar Loak hingga Gadis Kretek appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-terminal-muntilan-dari-pasar-loak-hingga-gadis-kretek/feed/ 0 47283
Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2) https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-2/ https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-2/#respond Mon, 31 Mar 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46485 Sesuai dugaan, tidak sedikit pendaki yang berangkat ke puncak lebih awal. Dari Pos 2, saya bisa melihat sorot headlamp menyemut di lereng curam berjalan dari arah Thekelan-Wekas yang mendekati puncak. Hampir pasti mereka bisa menikmati...

The post Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
Pendaki mengular di punggungan jalur Thekelan dengan tujuan sama: menuju puncak tertinggi Gunung Merbabu/Rifqy Faiza Rahman

Sesuai dugaan, tidak sedikit pendaki yang berangkat ke puncak lebih awal. Dari Pos 2, saya bisa melihat sorot headlamp menyemut di lereng curam berjalan dari arah Thekelan-Wekas yang mendekati puncak. Hampir pasti mereka bisa menikmati matahari terbit dari puncak Merbabu. Sementara kami baru memulai langkah pukul 04.00.

Di depan dan belakang kami banyak rombongan pendaki. Tampaknya peserta open trip, yang tentu ketahanan fisik dan ritme langkahnya berbeda-beda. Beberapa kali kami harus bersabar menunggu antrean panjang yang meniti jalan setapak di antara cerukan batu, karena hanya bisa dilalui satu per satu.

Seperti kebiasaan kemarau bulan Agustus, angin berembus cukup kencang sepanjang subuh. Debu-debu beterbangan, bikin mata kelilipan. Vegetasi sangat terbuka, hanya perdu kering, cantigi, dan edelweiss yang hijaunya kontras dengan trek tanah dan batu-batu besar berselimut duli. Pos 3 Watu Kumpul (2.821 mdpl), yang berada di titik HM 33, kami tempuh sekitar 45 menit perjalanan dari Pos 2.

Tidak ada tempat lapang untuk beristirahat dengan lega di sini. Umumnya pendaki akan rehat sejenak di area datar HM 31. 

Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
Lampu perkotaan dan sesaat sebelum matahari terbit/Rifqy Faiza Rahman

Bertemu jalur klasik Thekelan

Waktu menunjukkan pukul lima tepat saat kami tiba di pertemuan jalur Wekas dan Thekelan. Tidak ada tanda yang istimewa di sini, hanya berupa petunjuk arah yang terikat pada ranting cantigi agar saat turun pendaki Wekas tidak kesasar dan bablas ke Thekelan. Pertemuan jalur ini berada di punggungan yang membujur dari Puncak Pemancar hingga Puncak Geger Sapi, lalu berakhir di tebing raksasa tempat empat puncak berada: Syarif, Ondo Rante, Kenteng Songo, dan Triangulasi.

Tugu perbatasan tiga kabupaten tidak jauh dari situ. Meski bentuknya masih kukuh, tetapi kondisinya cukup memprihatinkan karena mulai rompal dan sudah tercabut dari pondasinya. Lapisan semen yang merekat perlahan terkikis alam lewat badai angin dan hujan.

Dari arah utara, para pendaki jalur Thekelan berduyun-duyun menahan gigil untuk mencoba peruntungan ke puncak. Saya kemudian berinisiatif mengajak sebagian teman salat Subuh di Helipad saja, yang tempatnya relatif datar dan longgar untuk beribadah. Sesekali tercium bau menyengat dari kawah-kawah belerang Merbabu. Meski dorman dan tertidur sangat lama sejak letusan terakhir sebelum abad ke-18 silam, gunung ini masih memproduksi bongkahan belerang. Pertanda statusnya sebagai gunung berapi.

Ingin Mendaki Gunung Merbabu dari Magelang? Cobalah via Jalur Suwanting dan Wekas
Tugu perbatasan kabupaten. Dipotret saat pendakian tektok Juli 2024/Rifqy Faiza Rahman

Hari mulai terang dan menghangat tatkala kami melanjutkan pendakian menuju Puncak Geger Sapi (3.002 mdpl). Semburat matahari pagi perlahan menampakkan diri. Selepas simpang pos mata air Thekelan, trek sempit dan terjal di antara cerukan batuan jadi tantangan yang menguji ketahanan lutut. Beberapa kali saya harus memegang akar cantigi atau bongkahan batu untuk membantu saya melangkah naik.

Dari atas Geger Sapi—secara harfiah berbentuk seperti punuk (geger) sapi—kami bisa melihat jalur klasik Thekelan yang legendaris. Pada saat-saat tertentu, punggungan panjang yang naik dan turun itu bak kerucut pipih yang mencuat menembus selaput kabut dan gulungan awan. Nun jauh di seberang, dari barat ke  timur, Gunung Sumbing, Sindoro, Andong, Telomoyo, dan Ungaran jadi penggembira sebagai latar belakang.

“Istirahat sebentar, Ko, nunggu yang lain,” pinta saya ke Lukas begitu kami tiba duluan di Geger Sapi. Kurniawan, Eko, dan Dio masih di bawah. Tempat ini tidak begitu luas, hanya seperti puncak punggungan yang kemudian berganti ke punggungan lain yang terus menanjak sampai puncak Merbabu.

Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
Pemandangan lebih jelas punggungan jalur Thekelan-Wekas dari Puncak Geger Sapi/Rifqy Faiza Rahman

Di persimpangan jalan

Sinar matahari kembali terhalang tebing di sisi timur ketika kami melanjutkan pendakian. Suasana jalur kembali teduh, debu-debu beterbangan akibat sapuan kaki pendaki. Tak jauh dari Geger Sapi, jalur bercabang menjadi dua, yang sama-sama berujung di persimpangan jalan dekat Ondo Rante. Sama-sama terjal dan melelahkan.

Di titik ini kami akhirnya sepakat untuk pergi ke Puncak Syarif saja, tidak perlu ke Kenteng Songo maupun Triangulasi. Untuk itu kami memilih jalur kiri karena lebih dekat dengan puncak yang dulunya dipercaya pernah jadi tempat bertapa Mbah Syarif, sesepuh dan tokoh spiritual dari sebuah kampung di lereng Merbabu.

Mendekati Puncak Syarif, saya bertemu dengan sejumlah pendaki yang berjalan di depan. Sebagian baru pertama mendaki Merbabu, atau sudah pernah tapi lewat jalur lain, bukan via Wekas atau Thekelan. Salah satu di antara mereka bertanya puncak-puncak yang mungkin bisa digapai sekali jalan.

“Yang di atas itu puncak apa, Mas?” Ia menunjuk arah tenggara, ke tempat yang akan kami tuju.

“Itu Puncak Syarif, Mas,” jawab saya. 

“Kalau yang disebut Seven Summits Merbabu itu mana saja, Mas?”

“Itu kalau lewat Thekelan, bisa dapat tujuh puncak, Mas. Mulai dari Puncak Watu Gubug, Puncak Pemancar, Puncak Geger Sapi, Puncak Syarif, Puncak Ondo Rante, Puncak Kenteng Songo, dan Puncak Triangulasi. Nah, Puncak Syarif di depan itu puncak keempat.” Ia dan temannya ternyata sama-sama naik dari Wekas. Mereka berencana akan menggapai semua puncak itu.

Satu tanjakan terakhir menyambut setibanya kami di persimpangan jalur Syarif–Ondo Rante. Trek yang kami lalui amat curam dan bikin bulu kuduk meremang karena berada di tepi jurang jurang, menuntut fokus selama melangkah dan memastikan kaki berpijak pada tanah atau batuan yang stabil.

  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)

Arti cukup di Puncak Syarif

Angka ‘06:45’ tertera di arloji digital saya ketika kami sampai di Puncak Syarif (3.137 mdpl). Gunung Merapi di selatan begitu gagah menjulang. Statusnya sebagai gunung berapi paling aktif di Indonesia ditunjukkan lewat kepulan asap yang keluar dari kawah, meninggalkan jejak serupa garis memanjang yang melayang di antara awan. Sejak 2018, pendakian ke puncak gunung yang disakralkan Keraton Yogyakarta itu sudah ditutup karena aktivitas vulkanis yang eksplosif dan masih berstatus Siaga selama hampir lima tahun terakhir.

Ternyata sudah cukup banyak pendaki yang tiba di Puncak Syarif, menunjukkan ragam ekspresi eksistensi lewat kamera ponsel. Mendadak rasa haru dan nostalgia menyeruak, mengingatkan saya pendakian pertama Merbabu lintas Thekelan–Selo pada April 2013. Sudah 12 tahun berlalu dan saya baru menginjakkan kaki lagi di puncak ini untuk kedua kalinya. Dulu jauh lebih sepi karena kami adalah rombongan satu-satunya yang melintas jalur waktu itu.

Sebuah tugu dengan desain dan kombinasi warna yang kurang enak dilihat, jenis tulisan serupa Comic Sans di Microsoft Word serta terlalu memakan tempat—seperti di Kenteng Songo dan Triangulasi—jadi pertanda keberadaan puncak tenggara Merbabu ini. Rasanya, plakat puncak jadul 12 tahun lalu masih lebih enak dipegang dan dipandang daripada tetenger fisik seperti sekarang, yang entah mengandung filosofi apa di balik pembuatannya.

  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)

Kawasan Puncak Syarif lumayan luas. Setidaknya terdapat dua area datar terbuka yang bisa menampung beberapa tenda dome—walau memang sangat tidak disarankan mendirikan tenda di puncak. Masih lebih mudah menemukan rerumputan di sini daripada Kenteng Songo dan Triangulasi yang permukaan tanahnya sudah tertutup debu tebal saat musim kemarau.

Dari Puncak Syarif, saya bisa melihat para pendaki berbondong-bondong menuju puncak-puncak berikutnya. Terutama Kenteng Songo dan Triangulasi, yang jadi pertemuan jalur Thekelan-Wekas dengan Selo dan Suwanting. Meski hanya tinggal beberapa ratus meter dan kurang dari satu jam saja, membayangkan langkah ke sana sudah capek. Rasanya waktu kami lebih berharga untuk dimanfaatkan istirahat lebih lama di camp.

Saya kembali memastikan ke teman-teman. “Piye? Lanjut Kenteng Songo atau sudah cukup sampai Syarif saja?” 

Kurniawan menyahut, “Wis cukup, balik tenda saja.” Eko, Lukas, dan Dio setuju. Agar tercipta pengalaman baru, kami memilih turun lewat jalan pintas yang tembus mata air di bawah Helipad, lalu kembali menyusuri jalan yang sama menuju Pos 2 Wekas. 

Sepanjang perjalanan ke tenda, saya sudah membayangkan akan menyeduh kopi terlebih dahulu sebelum berkemas dan turun gunung.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-2/feed/ 0 46485
Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1) https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-1/ https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-1/#respond Mon, 31 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46483 Wekas ternyata jadi satu-satunya jalur pendakian resmi Merbabu yang belum pernah saya coba, sejak pertama mendaki gunung ini pada 2013 sampai dengan setidaknya pertengahan 2024 lalu. Sebelumnya saya lebih sering lewat Selo (Boyolali), Suwanting (Magelang),...

The post Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)
Gunung Merbabu dipotret dari wilayah Desa Batur, Getasan, Kabupaten Semarang/Rifqy Faiza Rahman

Wekas ternyata jadi satu-satunya jalur pendakian resmi Merbabu yang belum pernah saya coba, sejak pertama mendaki gunung ini pada 2013 sampai dengan setidaknya pertengahan 2024 lalu. Sebelumnya saya lebih sering lewat Selo (Boyolali), Suwanting (Magelang), atau Thekelan (Semarang). Meski masih satu kabupaten dengan Suwanting, tetapi Wekas berada di desa dan kecamatan berbeda. Suwanting terletak di Banyuroto, Kecamatan Sawangan, sedangkan Wekas berlokasi di Kenalan, Kecamatan Pakis.

Kesempatan pertama mendaki jalur Wekas datang pada pertengahan Juli 2024. Mulanya saya mencoba pendakian tektok (tanpa menginap), tetapi tidak sampai puncak. Saat itu saya bersama Eko, kawan karib seangkatan semasa kuliah di Malang, hanya menuntaskan perjalanan hingga mata air di jalur Thekelan, lalu balik turun. Baru pada 3–4 Agustus 2024 lalu saya mengulangi jalur ini dengan camping dua hari satu malam. Eko yang kini bekerja di Pemalang ikut lagi, ditambah teman-teman dari luar kota, yakni Lukas dan Dio (Surabaya) serta Kurniawan—kakak tingkat saya semasa kuliah dan kini bekerja di Tangerang.

Dari sekitar tiga basecamp milik warga yang ada di Wekas, saya memilih basecamp Pak Lasin. Rumah petani sayur yang juga berprofesi sebagai pemandu dan porter itu dekat dengan akses utama menuju pintu hutan Merbabu Pass, titik awal pendakian. Berbeda dengan perjalanan bersama Eko sebelumnya yang membawa motor, kali ini saya membawa mobil sewaan. Sebab, barang-barang untuk pendakian lebih banyak.

Rombongan prapendakian terbagi menjadi dua keberangkatan. Saya menjemput Kurniawan terlebih dahulu di Stasiun Yogyakarta, sedangkan Eko menyusul naik bus ke Salatiga untuk bertemu Lukas dan Dio di sana. Kami sepakat bermalam di basecamp sebelum pendakian keesokan paginya, agar persiapan lebih mudah dan tidak terburu-buru.

Tampak luar basecamp Pak Lasin di Wekas (kiri) dan kondisi bagian dalam rumah/Rifqy Faiza Rahman

Kehangatan di tengah dingin

Konsekuensi dari menyulap rumah menjadi basecamp adalah berbagi ruang antara keluarga dengan tamu. Di Wekas sebagian besar tamu adalah pendaki Merbabu, yang mungkin populasi hariannya melebihi jumlah populasi penduduk setempat. Menurut sistem reservasi daring taman nasional, Wekas dapat jatah kuota harian 294 pendaki. Lebih sedikit daripada Selo, Suwanting, dan Thekelan yang mengakomodasi 330–350 pendaki per hari.

Dalam catatan GPS saya, ketinggian rumah Pak Lasin mencapai 1.748 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sebagaimana hunian perdesaan di kaki gunung, rumah Pak Lasin sangat sederhana tanpa banyak perabot. Ada tiga bagian di rumah ini, yaitu dua kamar pribadi, ruang tamu, dan pawon lawas beralas tanah—kamar mandi satu-satunya juga ada di sini. 

Di ruang tamu tak berkeramik itu, hanya plester semen, puluhan pendaki bisa beristirahat di atas tikar yang disediakan Pak Lasin. Kadang-kadang pendaki menambahkan alas matras atau sleeping pad agar hangat lalu tidur dengan sleeping bag, seperti yang saya lakukan. Selepas petang sampai subuh keesokan harinya, suhu di luar akan turun mendekati angka satu digit. Menusuk kulit, tetapi di dalam rumah hangat. 

Di rumah, istri Pak Lasin menyediakan makanan dan minuman untuk pendaki. Menunya antara lain nasi sayur (plus lauk telur), nasi goreng, mi goreng, dan mi rebus. Pilihan minumannya standar, seperti teh, kopi, dan air mineral biasa. Menu makanan yang sederhana itu semata pertimbangan kemudahan bahan saja, bukan karena tenaga yang terbatas. “Kalau bikin ramesan gitu repot nanti, Mas, karena harus bolak-balik ke pasar buat belanja bahan. Kalau sayur kan tinggal ambil di kebun, sementara beras, telur, dan mi bisa awet buat beberapa hari, jadi tidak harus setiap hari pergi ke pasar,” jelas ibu dua anak itu.

Ia biasa memasak di pawon jadul itu, mengandalkan kayu bakar sebagai sumber perapian, yang bisa jadi sumber kehangatan. Kehangatan yang juga muncul dari interaksi antarpendaki dengan keluarga Pak Lasin, 

Eko berfoto bersama Pak Lasin dan istri (kiri). Istri Pak Lasin sedang merebus air di pawon rumahnya. Foto ini diambil saat pendakian tektok bersama Eko pada Juli 2024 lalu/Rifqy Faiza Rahman

Jarak dan air, jaminan kenyamanan jalur Wekas

“Jalur Wekas itu jalur paling pendek dan cepat di Merbabu,” kata Pak Lasin. Ia menyebut kisaran angka 4–5 kilometer untuk total jarak dari basecamp ke Kenteng Songo dan Triangulasi, puncak tertinggi gunung ini.

Saya coba mengecek situs web taman nasional. Panjang jalur Wekas 4,86 kilometer. Benar kata Pak Lasin, lebih pendek dari Selo (5,63 km), Suwanting (5,68 km), dan Thekelan (6,1 km). Jalur Wekas akan bertemu dengan jalur Thekelan di percabangan batas tiga kabupaten: Magelang-Semarang-Boyolali (2.847 mdpl).

Selain soal jarak, Pak Lasin menyebut ketersediaan sumber air jadi kelebihan jalur Wekas. Letaknya di Pos 2 Kidang Kencana (2.480 mdpl), yang juga jadi tempat berkemah paling ideal di jalur ini. Kami tidak perlu repot-repot membawa banyak air dari basecamp, pun tidak perlu khawatir kehabisan bekal air selama pendakian. 

“Turun dari puncak bisa isi ulang air lagi di bawahnya Helipad itu,” jelas Pak Lasin. Helipad (2.898 mdpl) adalah salah satu pos datar yang sempit di punggungan jalur Thekelan-Wekas menuju puncak. Dinamakan Helipad karena bentuknya menyerupai landasan helikopter, hanya saja tidak ada huruf ‘H’ besar di permukaan tanahnya.

Tak jauh dari Helipad, ada satu cabang jalur menurun yang bisa jadi jalan tembus ke puncak atau sebaliknya, dan terdapat sumber air yang dialirkan dengan keran. Jaraknya kira-kira 5–10 menit perjalanan. Dari sumber ini pula tersambung pipa-pipa PVC yang lentur dan panjang, menyelimuti lereng-lereng curam, untuk memenuhi kebutuhan air jalur Suwanting.

Akan tetapi, lanjut Lasin, kenyamanan jalur Wekas tersebut acapkali kurang memikat pendaki, yang kebanyakan lebih memilih Selo atau Suwanting. Bukan tanpa sebab. Pendeknya jarak tempuh jelas membawa konsekuensi bahwa jalur akan lebih sering menanjak dan minim bonus—istilah untuk trek datar atau landai. Adanya penutupan untuk rehabilitasi kedua jalur itu beberapa waktu lalu rupanya membawa berkah. Jalur klasik Thekelan dan Wekas yang sebelumnya jarang dilirik mulai mendapat atensi seperti dahulu kala.

“Kalau pendaki lawas dulu, ya, tahunya naik Merbabu lewat Thekelan atau Wekas, Mas,” kata Pak Lasin. Kedua jalur tersebut sama-sama bisa diakses dari jalan raya Magelang–Salatiga, dekat kawasan wisata Kopeng.

  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)

Ujian kesabaran hingga HM 19

Pendakian pada Sabtu pagi (3/8/2024) kami mulai pada pukul 08.30 setelah sarapan nasi sayur dan lauk telur yang dibuat istri Pak Lasin. Kami juga memesan masing-masing seporsi nasi telur untuk makan siang di camp Pos 2 Wekas nantinya. Tukang ojek dengan tarif Rp15.000 sekali jalan yang kami pesan untuk mengantar ke pintu hutan Merbabu Pass (1..858 mdpl) juga sudah siap di depan basecamp.

Sejam sebelumnya, Eko turun ke Pos TPR (tempat pemungutan retribusi) yang terletak di tepi jalan kampung, untuk registrasi ulang SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) yang telah kami pegang lewat reservasi daring. Kami hanya perlu membayar biaya tambahan berupa retribusi kampung dan parkir. Banyak mobil rombongan pendaki yang parkir paralel di pinggir jalan. Sebab, kontur kampung cukup ekstrem dan sempit jika dipaksakan parkir dekat basecamp, kecuali sepeda motor yang bisa dititipkan di masing-masing basecamp.

Tampaknya pendakian hari itu akan ramai pendaki karena akhir pekan. Pak Lasin pun ikut naik, ia dan tetangga dusunnya disewa sebagai porter dan pemandu oleh satu rombongan pendaki asal Jakarta. “Alhamdulillah hari ini full (kuota), Mas.”

Untuk itulah kami berangkat lebih awal, sebelum jalur terlalu sesak pendaki. Menggunakan ojek merupakan pilihan bijak untuk menghemat tenaga dan waktu, sekaligus memberi sedikit kontribusi pada roda perekonomian masyarakat.

Perjalanan dengan ojek ke Merbabu Pass dilanjutkan dengan jalan kaki. Sebuah plang putih sederhana memberi informasi yang menyambut pendaki memasuki kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. Trek awal yang datar di 200 meter pertama sempat memberi kami napas lega, sebelum harus bersahabat dengan tanjakan yang nyaris tanpa putus sampai patok HM (hektometer) 19.

“Ya, normalnya paling 3–4 jam sudah sampai Mas di Pos 2,” Pak Lasin memberi info waktu tempuh pendakian. Ketika saya dan Eko mendaki tektok bulan sebelumnya, kami butuh dua jam berjalan santai dari Merbabu Pass sampai Pos 2. Dengan beban bawaan yang lebih banyak, kami berasumsi akan sampai di Pos 2 dua kali lebih lama dari durasi tektok.

  • Ingin Mendaki Gunung Merbabu dari Magelang? Cobalah via Jalur Suwanting dan Wekas
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)

Rasanya, energi dari asupan sarapan pagi mulai menguap seiring kemiringan tanjakan jalur Wekas. Berdasarkan pengalaman tektok sebelumnya, satu kilometer pertama sampai Pos 1 Tegal Arum (2.117 mdpl) baru bisa dianggap pemanasan. Dua pos bayangan tanpa selter, Simpang Genikan (1.956 mdpl) dan Pos Bayangan 1 (2.078 mdpl), kurang representatif sebagai tempat istirahat sehingga kami sedikit memacu tenaga agar bisa mengatur napas lebih lama di selter Pos 1 yang berupa gazebo kayu. Pendakian menuju Pos 1 memerlukan waktu sekitar 50–60 menit. 

Tutupan hutan jalur Wekas sedang-sedang saja. Vegetasi yang tumbuh di jalur punggungan yang dilalui pipa air itu didominasi cemara gunung, mlanding (sejenis lamtoro), dan tanaman perdu. Jika beruntung, akan terlihat kawanan Macaca fascicularis alias monyet yang bergelantungan di dahan-dahan dan relatif jinak, tidak seagresif di Rinjani, Butak, atau hutan Baluran.

Setelah dirasa cukup, kami melanjutkan pendakian menuju camp Pos 2. Di sinilah ujian kesabaran sesungguhnya, baik fisik dan mental. Selepas HM 11 sampai HM 19 adalah fase terberat jalur ini. Kaki harus diangkat tinggi-tinggi melebihi lutut. Untuk menguji diri, Dio meminta bertukar tas. Ia ingin merasakan carrier 65 liter milik saya yang berisi tenda kapasitas empat orang, alat masak, dan sejumlah logistik lainnya. Sementara saya memakai tas Dio yang bobotnya relatif lebih ringan.

Hari kian beranjak siang. Langkah kian tertatih. Dio sempat terlihat kepayahan ketika mencapai ujung tanjakan HM 19, tapi menolak menyerah. Tanggung, katanya. Ia benar. Vegetasi sudah terbuka. Hanya perlu 600 meter lagi sampai ke HM 25, tempat Pos 2 berada. Di sisi kiri terpisah jurang, tampak punggungan jalur Thekelan yang berujung pada Puncak Pemancar. Bekas menara radio tentara itu ambruk tak bersisa akibat badai besar musim hujan lalu.

Ritme langkah kami mendadak cepat seiring melandainya jalan setapak berdebu. Pos idaman jalur ini telah menyambut di depan mata. Lukas dan Kurniawan sudah tiba lebih awal setengah jam yang lalu. Mereka ‘mengkaveling’ sepetak tanah yang muat untuk dua tenda dome kami. Hanya sepelemparan batu dengan gazebo kayu dan keran sumber air. Kami akan bermalam di sini.

Gazebo sederhana di area camping ground Pos 2 Wekas (kiri) dan kumpulan tenda rombongan pendaki peserta open trip/Rifqy Faiza Rahman

Menyongsong senja, merayakan malam

Sebelum berangkat mendaki, aplikasi radar cuaca memprakirakan dua hari ke depan akan cenderung cerah. Mungkin hampir niscaya karena Agustus hingga September terbiasa jadi puncak musim kemarau, yang identik dengan debu dan angin kencang.

Walaupun potensi turunnya hujan itu tetap ada. Jika itu terjadi, BMKG kerap menyebutnya sebagai ‘campur tangan’ fenomena global, yakni gelombang Kelvin dan Rossby Ekuator, yang berperan dalam sistem curah hujan tropis dan memicu gelombang iklim berskala besar Osilasi Madden-Julian (MJO). Fenomena-fenomena ini mungkin tidak akan tampak secara tersurat di langit beberapa daerah dan dampak yang timbul setelahnya. Namun, setidaknya dalam pendakian kami hari itu, cuaca yang bersahabat berpeluang lebih besar terjadi daripada cuaca buruk. Di Gunung Merbabu, alam memiliki kemungkinan besar menghadirkan senja dan pagi dengan raut khas yang semestinya.

Ada satu alasan lagi yang membuat saya memilih tanggal pendakian di hari ini. Sebagai penikmat fotografi, saya tidak ingin melewatkan kesempatan memotret milky way saat malam tiba. Fenomena malam menakjubkan ini hanya akan mudah terlihat saat tanggal-tanggal fase bulan baru (new moon), atau saya biasa menyebutnya fase bulan mati—bisa dicek lewat aplikasi kalender bulan semacam Lunar Phase atau sejenisnya. Sebab, langit akan lebih bersih tanpa polusi cahaya dari hari-hari ketika bulan bersinar terang benderang. Gunung yang tinggi dan minim gangguan cahaya buatan jadi salah satu prasyarat wajib untuk merekam miliaran bintang dan sistem tata surya dalam galaksi spiral Bimasakti lewat lensa kamera.

  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)

Usai perburuan foto senja dan gemintang, saya kembali ke tenda. Pembicaraan sebelum makan malam tadi masih menggantung di antara kami, lalu saya pastikan lagi, “Gimana, besok jadi muncak?”

Tarik ulur rencana ke puncak itu karena ada sebagian dari kami yang masih merasa lelah setelah dihajar tanjakan jalur Wekas. Mulanya sempat merasa cukup dengan berada di Pos 2 ini, tetapi semua akhirnya sepakat. Kami berencana berangkat agak santai, sekitar pukul empat pagi. Kami tidak akan tergesa mengejar matahari terbit di puncak, tidak akan berambisi pula untuk menggapai seluruh puncak tertinggi.

“Mau sampai Puncak Kenteng Songo atau cukup di Puncak Syarif saja?” saya tanya ulang.

Opo jare sesok ae, wis,” kata Eko dan Kurniawan serempak, lalu mengajak saya segera beristirahat. Bagaimana kelanjutan perjalanan kami, tergantung apa kata alam besok pagi.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-1/feed/ 0 46483
Memuliakan Durian Candimulyo https://telusuri.id/memuliakan-durian-candimulyo/ https://telusuri.id/memuliakan-durian-candimulyo/#respond Fri, 28 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46461 Candimulyo terkenal sebagai sentra durian terbesar di Magelang. Dari varian lokal sampai premium tersedia. Kehendak alam jadi tantangan yang tak akan pernah bisa diduga. Teks & foto oleh Rifqy Faiza Rahman Dusun Suran, Surojoyo, Candimulyo...

The post Memuliakan Durian Candimulyo appeared first on TelusuRI.

]]>
Candimulyo terkenal sebagai sentra durian terbesar di Magelang. Dari varian lokal sampai premium tersedia. Kehendak alam jadi tantangan yang tak akan pernah bisa diduga.

Teks & foto oleh Rifqy Faiza Rahman


Memuliakan Durian Candimulyo
Warga melintas dengan motor di gapura Dusun Suran, salah satu produsen durian lokal dan premium di Candimulyo, Kabupaten Magelang

Dusun Suran, Surojoyo, Candimulyo pada Rabu pagi kala itu (26/2/2025) seperti hari-hari kerja biasa. Mendung tidak menyurutkan rutinitas sehari-hari; anak-anak dan para guru tetap berangkat ke sekolah, perangkat desa bergegas kerja di kantor kelurahan, sejumlah petani pergi ke sawah. 

Namun, lain dengan kesibukan di depan rumah Mahmudi (41), seorang pekebun dan penjual durian. Hari itu saya diajak melihat proses panen durian di salah satu petak kebun dekat kampung. Usai menyeruput segelas teh hangat yang disuguhkan Evi (39), istri Mahmudi, kami pun bergegas. Takutnya keburu hujan dan bikin jalan setapak tanah becek, yang bisa menyulitkan langkah. Sebab, lokasi pohon duriannya berada di tengah hutan, dekat tuk (mata air) dan kolam pemandian warga. 

“Kita jalan kaki saja, Mas, lebih aman. Jalannya licin dan curam kalau pakai motor. Kalau orang sini, kan, sudah biasa,” jelas Mahmudi, yang akan menemani saya berjalan.

Dua sepeda motor bebek siaga, salah satunya terpasang rombong atau kambut atau keranjang anyaman plastik berwarna hijau untuk mengangkut durian hasil panen. Bentuknya persegi dengan dua kompartemen dengan volume seimbang. Motor hitam pabrikan Suzuki 110 cc itu dikendarai Andika (20), keponakan Mahmudi. Sementara motor biru Yamaha 110 cc dipakai berboncengan oleh kerabat Mahmudi, Dwi (27) dan Muhlisun (37). Secara profesional, mereka adalah buruh panen—Mahmudi menyebutnya tukang nebas—yang diupah sebesar Rp50.000 per hari. 

Kiri: Mahmudi melayani pembeli durian di depan rumahnya, yang ditata khusus untuk kenyamanan pengunjung, dilengkapi fasilitas air mineral dan camilan ringan. Selembar terpal biru dipasang agar terlindung dari panas dan hujan.
Kanan: Andika mengendarai motor pengangkut rombong untuk menampung hasil panen durian.

Panen durian: berebut sumber rezeki banyak makhluk hidup 

Jarak ke kebun kira-kira 500 meter. Motor hanya bisa mengakses maksimal 300 meter dan diparkir di dekat tuk yang berada di pinggiran sungai kecil. Sisanya melewati jembatan bambu dan menyisir jalan setapak agak menanjak ke area pesarean (pekuburan) tanpa nama—Mahmudi bilang ada hubungannya dengan Keraton Jogja. 

Ada dua pohon target panen pagi itu. Meski tidak mengetahui secara pasti, tetapi menurut Mahmudi durian yang dipanen sejenis durian mentega. “Tapi KW super, Mas, he-he-he,” candanya. Ia mengupas satu buah dan saya diberi kesempatan mencicipinya. Dari kulit terluar, bau harum semerbak cenderung wangi. Dagingnya tebal dan karakter rasa cenderung manis, dengan sedikit pahit di akhir gigitan.

Pohon durian terbesar berusia 70 tahun di barat pusara akan dipanjat Muhlisun, adik kandung Mahmudi. Lingkar pohonnya terlalu besar untuk dipeluk satu orang. Tingginya kira-kira 30-an meter. Sementara pohon yang lebih kecil berada di tenggara, yang akan dipanjat Andika. Setiap pohon telah dipasang tangga vertikal berupa bilah-bilah bambu yang ditancapkan dengan paku. Bentuknya serupa dengan struktur tulang belakang manusia.

Sebelum memanjat, Muhlisun menyiapkan tali untuk mengerek durian ke dari dahan ke bawah (kiri). Perbandingan ukuran tubuh Mahmudi dengan pohon durian berusia hampir tiga perempat abad yang dipanjat Muhlisun.

Tidak ada sertifikasi khusus untuk memanen buah tropis dari genus Durio itu. Kuncinya dua: jeli dan berani. Jeli, dalam hal melihat cuaca, tanda-tanda panen, dan memperhitungkan waktu panen. Hanya dengan mata telanjang dari permukaan tanah, Mahmudi sudah amat paham buah-buah mana yang siap panen dan memiliki kualitas bagus. Lalu berani, dalam hal kemampuan mengatasi takut ketinggian dan risiko jatuh karena tanpa alat pengaman memadai. Sebab, Muhlisun dan Andika hanya berbekal dua alat, yakni sebilah pisau untuk memangkas durian yang sudah matang dan seutas tali tampar panjang untuk mengerek durian ke bawah.

“Kalau dulu dilempar, Mas, risikonya ya buah bisa pecah kalau jatuh ke tanah dan pasti kualitasnya tidak bagus. Sekarang pakai tali lebih aman, kayak katrol sumur,” jelas Mahmudi. Setidaknya ada dua kali pemanjatan selama musim durian. Pertama, saat pohon sudah berbunga dan memunculkan bakal buah. Mahmudi dan kawan-kawan akan naik untuk mengikat batang buah dengan tali rafia agar tidak jatuh ketika sudah waktunya matang. Kedua, saat panen seperti sekarang ini.

Jelas saya bukan orang yang tepat untuk pekerjaan berbahaya ini. Cukup dengan melihatnya saja sudah jeri. Apalagi melakukan, ngeri. Jika sampai saya tahu ada pembeli menawar sadis sebuah durian berkualitas bagus, saya akan menyeretnya ke kebun ini untuk melihat langsung bagaimana “buah surga” itu diambil dari takhtanya.

  • Memuliakan Durian Candimulyo
  • Memuliakan Durian Candimulyo
  • Memuliakan Durian Candimulyo

Mahmudi mengatakan, memanen durian memang harus dilakukan segera untuk menjaga kualitas durian, sehingga jangan sampai durian melewati tingkat kematangan berlebih. Selain faktor cuaca, ada alasan genting lainnya yang menuntut kegiatan panen berkejaran dengan waktu, yaitu mencegah satwa liar seperti bajing, kelelawar, atau tikus datang. “Sudah ada bakul (penjual atau reseller) dari Kalibawang (Kulon Progo) yang pesan juga, Mas, jadinya harus segera diamankan sebelum terlambat,” kata Mahmudi. Kalibawang termasuk salah satu sentra durian di Yogyakarta. Biasanya, setiap penjual tidak hanya menjajakan durian lokal setempat, tetapi juga dari daerah lainnya seperti Kaligesing (Purworejo), Kepil (Wonosobo), hingga Banyumas.

Tentu ia pun juga menyediakan lebih untuk stok penjualan. Namun, ia tak memungkiri, ada hak rezeki juga yang harus alam penuhi untuk makhluk hidup seperti itu. “Makanya kadang saya ‘ikhlaskan’ saja satu-dua buah yang sejatinya siap panen tapi sudah keburu dimakan hewan,” ujar Mahmudi, sambil menunjuk beberapa buah yang jatuh membusuk di atas tanah setelah dimakan bajing atau kelelawar. “Tapi kalau menurut saya, lebih mending [durian] dimakan bajing karena masih disisakan daging [buahnya], daripada tikus hutan yang rakus babat buah sampai habis.”

Muhlisun dan Andika bak orang utan yang lincah memanjat pohon serta berpindah dari satu dahan ke dahan lainnya. Pijakan kaki dan genggaman tangan mereka begitu lengket, seolah-olah yakin semuanya akan baik-baik saja. Satu per satu durian dipanen dan meluncur deras ke bawah. Mahmudi dan Dwi bertugas mengumpulkan durian-durian tersebut. Nantinya sekitar 30 buah diikat pada sepotong batang bambu sepanjang hampir dua meter, lalu dipanggul dua orang menuju rombong. 

Panen hari itu menghasilkan sedikitnya 70 buah dari dua pohon. Satu rombong hanya bisa memuat separuhnya, sehingga pengangkutan ke rumah Mahmudi berlangsung dua kali. Kini giliran Dwi yang membawa rombong bermuatan satu kuintal durian itu dengan motor.

  • Memuliakan Durian Candimulyo
  • Memuliakan Durian Candimulyo

Terserah apa kata Allah

“Saya mulai terjun ke dunia durian 12 tahun lalu setelah menikah, diajari kakak saya,” kata Mahmudi. Waktu itu ia belum punya pekerjaan tetap. Sehari-hari bekerja serabutan sebagai kuli di proyek-proyek bangunan, atau apa pun yang bisa menghasilkan rezeki.

Ketekunan bapak tiga anak itu membuahkan hasil. Saat ini Mahmudi bertanggung jawab merawat 200 pohon durian beraneka varietas, baik lokal maupun premium, yang tersebar di kebun-kebun di Desa Surojoyo. Kebanyakan milik masyarakat, sehingga ada sistem bagi hasil antara dirinya dengan pemilik kebun yang di dalamnya ditumbuhi pohon durian. Di sisi lain, Mahmudi hanya memiliki segelintir pohon durian di kebun pribadi warisan orang tuanya.

Dari semula menjual durian dengan cara berkeliling, dari satu lapak ke lapak lainnya di pinggir jalan kecamatan, dari puskesmas hingga sekolah, kini Mahmudi cukup menyediakan lapak di teras rumah, menunggu pencinta durian berbondong-bondong datang menikmati durian khas Candimulyo. “Kalau dulu saya yang cari-cari pembeli, sekarang mereka yang mencari saya,” guyon Mahmudi. 

Memuliakan Durian Candimulyo
Daging buah durian mentega hasil panen Mahmudi dan tim

Secara teori, merawat pohon durian cukup mudah karena tidak perlu perlakuan khusus. Tumbuh alami begitu saja, ketika tiba waktunya akan panen dengan sendirinya. Namun, cuaca tak menentu, yang disinyalir sebagai dampak dari perubahan iklim, membuat Mahmudi harus bekerja ekstra. Selain memberi kombinasi pupuk dan pestisida secara organik dan kimia secukupnya, ia mesti rutin mengontrol kondisi pohon, terutama saat memasuki fase-fase krusial berbunga dan siap berbuah. Belum lagi serbuan makhluk hidup “sesama pencinta durian” seperti bajing, kelelawar, tikus, hingga ulat yang siap berebut sumber rezeki tersebut.

Musim panen pun turut bergeser, dan beberapa tahun terakhir Mahmudi tidak bisa memberi jawaban pasti kapan persisnya musim raya durian terjadi. “Kalau dulu hampir bisa dipastikan rutin mulai November–Desember sampai Januari itu puncaknya, Mas. Tapi sekarang hujan terus kayak gini, ya, jadinya mundur ke Februari–Maret,” keluhnya. Belum lagi jika ada pesanan khusus dan spesifik dari pelanggan yang menginginkan varian durian tertentu, ia harus menyiapkan pohon dan buahnya jauh-jauh hari.

Ketidakpastian cuaca turut berimbas pada produktivitas pohon dan pemasukan yang ia harapkan. Tahun ini, ia akui mengalami penurunan drastis. Musim kejayaan seperti berhenti. “Musim durian 2024 kemarin masih bisa dapat banyak, Mas. Satu pohon yang lebat itu bisa berbuah menghasilkan 400 butir dalam satu musim raya. Tapi sekarang, kayak yang kita panen barusan, dapat 70–80 butir saja sudah bagus,” jelasnya. Separuh dari jumlah tersebut yang terjual setiap harinya juga disyukuri Mahmudi.

Padahal, modal yang ia keluarkan sangat besar untuk perawatan pohon. Belum lagi menghitung bagi hasil dengan buruh panen dan pemilik kebun. Jika musim tidak tepat waktu, potensi pemasukan pun ikut-ikutan tidak tepat waktu, yang menuntutnya memutar otak agar roda perekonomian berputar. “Makanya saya tidak hanya bergantung pada pembeli biasa, Mas, tapi juga berharap bisa diambil banyak bakul. Saya juga menerima pemesanan dari luar kota, kayak kemarin saya kirim ke Semarang, Indramayu, dan Jakarta,” tutur Mahmudi.

Memuliakan Durian Candimulyo
Mahmudi (tengah) berdiskusi dengan Dlimah (kanan) dan Muhlisun di antara tumpukan durian hasil panen yang siap diambil bakul atau dibeli pengunjung

“Kalau penjual sih enak, Mas. Mereka tinggal pesan ke saya dengan harga khusus bakul (penjual), lalu dibawa dan dijual lagi di daerahnya,” terang Mahmudi. “Kita-kita di kebun ini yang pusing milih buah [durian] yang bagus sesuai pesanan.”

Walaupun terkadang ketir-ketir, Mahmudi tak ingin surut harapan. Tuntutan dapur memang membuatnya tak ingin melewatkan kesempatan sekecil apa pun setiap harinya. Namun, dalam 12 tahun perjalanannya menggeluti dunia perdurenan, ia mengaku sudah kenyang dan biasa dengan kondisi seperti ini. Sudah ada hitung-hitungannya sendiri. Idealnya memang bisa mendapat hasil melimpah dari satu musim durian untuk kebutuhan sepanjang tahun. Akan tetapi, jika perkiraannya meleset, ia pun tetap bersyukur.

“Ya, kita penginnya panen terus, dapat buah yang bagus, Mas. Tapi, ya, kalau alam berbicara lain, mau gimana lagi. Opo jare Allah, Mas, disyukuri saja,” ungkap Mahmudi pasrah, tetapi sambil terkekeh-kekeh. Ya, melepas senyum dan tawa adalah salah satu caranya berdamai dengan keadaan. Sejak menggeluti durian sampai sekarang, ditambah pemasukan tambahan di luar musim durian dengan kerja serabutan, sejauh ini Mahmudi masih mampu mencukupi kebutuhan dapur dan sekolah anak-anaknya.

Tampaknya, di antara syarat-syarat teknis seputar budi daya durian, Mahmudi tetap menempatkan tawakal di atas segalanya. Sebuah filosofi spiritual yang menguatkannya untuk tak lupa mencari hikmah di balik usaha banting tulang menghidupi ekonomi keluarga.

Selain di dekat pesarean, Mahmudi dan tim siang itu kembali memanen di pohon durian lokal berusia satu abad di barat masjid dusun. Perlu dua sampai tiga orang dewasa untuk memeluk pohon ini.

Angan-angan panen sepanjang tahun

Mahmudi punya dua kategori durian yang ia jual. Pertama, durian yang dijamin rasa dan kualitasnya. Harganya bervariasi, yang termurah dihargai 35–75 ribu per buahnya, tergantung ukuran. Untuk durian premium, seperti mentega KW super, bawor, hingga musang king, ia mematok paling murah Rp150.000 per buah. 

Sementara kategori kedua adalah durian yang ia tidak berani jamin rasanya. Namun, ia tetap menjualnya dan tidak mengesampingkan durian-durian di kategori ini. “Kalau durian yang rasanya tidak bisa saya jamin biasa saya jual seratus ribu rupiah dapat tiga atau empat buah, Mas,” terangnya. Ia akan disclaimer terlebih dahulu, berterus terang dengan kondisi durian di kategori ini, sehingga pembeli tidak berekspektasi lebih. 

Di balik rutinitas memanen dan menjual durian, Mahmudi mengungkapkan mimpi besarnya. Ia berangan-angan agar durian Candimulyo bisa panen sepanjang tahun. “Saya punya mentor, namanya Pak Wiwik, dosen pertanian UGM. Katanya ada potensi membuat durian tetap produktif dan bisa dipanen sepanjang tahun,” ujar anak kedua dari tiga bersaudara itu. Artinya, ada peluang upaya pemuliaan tanaman durian dengan rekayasa genetika atau inovasi budi daya dengan perlakuan-perlakuan khusus pada setiap pohonnya. “Saya berharap riset beliau dan tim bisa segera diterapkan di sini.”

Memuliakan Durian Candimulyo
Andika (kiri) dan Muhlisun, para pemanjat durian yang direkrut Mahmudi, menunjukkan durian hasil panen di depan rumah Muhlisun. Keduanya berharap durian Candimulyo tetap lestari.

Jika angan Mahmudi kesampaian—yang sebenarnya juga jadi impian para pekebun durian di Candimulyo—ia bisa sepenuhnya mengandalkan durian sebagai sumber utama pemasukan, tidak lagi harus bekerja serabutan di luar musim durian. Bisa dibayangkan, setiap hari tamu dari dalam atau luar kota bahkan lintas negara, datang ke teras rumah Mahmudi yang sederhana, menikmati kelezatan durian tanpa harus bersabar menunggu musim panen raya setahun yang akan datang. Senyum Dlimah (46), perempuan berjilbab kerabat Mahmudi yang bertugas melayani pembeli dan didapuk sebagai bendahara durian, akan semakin lebar dan semringah.

Setidaknya, Candimulyo masih lekat dengan pusat durian Magelang, yang akan selalu dicari-cari orang. Bicara durian Magelang, berarti bicara Candimulyo. Seperti julukan sang raja buah (king of fruit) yang melekat pada durian—karena besarnya ukuran, kekayaan rasa, dan kekuatan aroma—pantas kiranya Mahmudi begitu memuliakan durian Candimulyo, sebagaimana seorang prajurit menjunjung tinggi kehormatan sang raja.


Foto sampul: Mahmudi menunjukkan buah durian hasil panen di kebun yang tak terlalu jauh dari rumahnya di Dusun Suran, Candimulyo


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memuliakan Durian Candimulyo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memuliakan-durian-candimulyo/feed/ 0 46461
Ingin Mendaki Gunung Merbabu dari Magelang? Cobalah via Jalur Suwanting dan Wekas https://telusuri.id/jalur-pendakian-gunung-merbabu-via-suwanting-dan-wekas/ https://telusuri.id/jalur-pendakian-gunung-merbabu-via-suwanting-dan-wekas/#respond Fri, 28 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45770 Di Jawa Tengah, Gunung Merbabu termasuk destinasi pendakian populer, baik untuk pendaki domestik maupun mancanegara. Dari empat jalur resmi saat ini, dua di antaranya berada di wilayah Kabupaten Magelang, yaitu Suwanting (Kecamatan Banyuroto) dan Wekas...

The post Ingin Mendaki Gunung Merbabu dari Magelang? Cobalah via Jalur Suwanting dan Wekas appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Jawa Tengah, Gunung Merbabu termasuk destinasi pendakian populer, baik untuk pendaki domestik maupun mancanegara. Dari empat jalur resmi saat ini, dua di antaranya berada di wilayah Kabupaten Magelang, yaitu Suwanting (Kecamatan Banyuroto) dan Wekas (Kecamatan Pakis).

Pendakian dari Magelang memiliki karakteristik jalur dan tantangan tersendiri yang amat layak untuk dieksplorasi. Bentang alam, vegetasi, dan medan pendakian tidak kalah menarik dibandingkan rute utara via Thekelan (Kabupaten Semarang) maupun rute tenggara via Selo (Kabupaten Boyolali).

Jalur Suwanting dan Wekas tidak berada pada satu rute yang sama. Kedua jalur ini baru bertemu di Kenteng Songo, salah satu puncak tertinggi Gunung Merbabu dengan ketinggian sekitar 3.142 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sampai saat ini, pihak Taman Nasional Gunung Merbabu belum memperbolehkan lintas jalur, sehingga pendaki harus dua kali reservasi di waktu yang berbeda supaya bisa melakukan pendakian di masing-masing jalur.

Buat kamu yang ingin mencoba mendaki Merbabu via Suwanting dan Wekas, berikut informasi jalur, kondisi medan, serta estimasi jarak dan waktu tempuh yang bisa dipelajari sebelum melakukan pendakian. Angka pada ketinggian dan jarak berdasarkan catatan GPS dan informasi dari taman nasional.

Jalur pendakian Merbabu via Suwanting

Jalur Suwanting berada di sisi barat Gunung Merbabu. Jalur ini dikenal cukup terjal dan jaraknya sedikit lebih panjang daripada Wekas. Tempat camp ideal berada di Pos 3 Dampo Awang, karena berada dekat sumber air.

Basecamp Suwanting (1.350 mdpl) — Pintu Hutan (1.470 mdpl): +850 meter

  • Jalan dusun berupa cor yang menanjak, kemudian melewati perkebunan sayur warga sampai menjumpai pintu hutan, yang ditandai gapura Taman Nasional Gunung Merbabu
  • Estimasi: 15—20 menit dengan jalan kaki untuk pemanasan atau 5 menit dengan ojek

Pintu Hutan (1.470 mdpl) — Pos 1 Lembah Lempong (1.555 mdpl): +200 meter

  • Rute pintu hutan ke Pos 1 merupakan jalur dengan jarak terpendek di Suwanting
  • Vegetasi masih didominasi hutan pinus, dengan tanaman semak dan rumput di permukaan tanah
  • Pos 1 hanya berupa tanah datar yang tidak terlalu luas dan tidak ada selter untuk berteduh
  • Estimasi: 5 menit

Pos 1 Lembah Lempong (1.555 mdpl) — Pos 2 Bendera (2.186 mdpl): +2 kilometer

  • Pendakian sesungguhnya telah dimulai, jalur cukup panjang dan mulai menanjak cukup konstan dengan sesekali bonus landai
  • Trek tanah cukup liat dan akan licin serta berlumpur saat musim hujan, sedangkan musim kemarau akan sangat berdebu
  • Melewati beberapa “pos bayangan” bernama Lembah Gosong (1.665 mdpl), Lembah Cemoro (1.790 mdpl), Lembah Ngrijan (1.866 mdpl), dan Lembah Mitoh (2.127 mdpl)
  • Vegetasi mulai rapat dengan tanaman semak dan beberapa cemara gunung
  • Pos 2 berupa tanah datar berundak dan pemandangan agak terbuka; banyak pendaki yang mendirikan tenda di sini jika fisik tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan
  • Estimasi: 2—2,5 jam

Pos 2 Bendera (2.186 mdpl) — Pos Air (2.665 mdpl): +1,1 kilometer

  • Perjalanan dari Pos 2 menuju pos air adalah yang terberat dan paling terjal di jalur Suwanting, karena fisik sudah mulai terkuras
  • Jalur cenderung konstan menanjak di kawasan Lembah Manding, pilih jalur baru di sisi kanan yang lebih bersahabat
  • Trek tanah cukup liat dan akan licin serta berlumpur saat musim hujan, sedangkan musim kemarau akan sangat berdebu
  • Terdapat tali bantuan yang terikat pada batang pohon di sejumlah titik yang cukup curam
  • Vegetasi tidak terlalu rapat dengan dominasi tanaman semak dan pohon mlanding (lamtoro)
  • Terdapat dua buah gentong berisi air yang dialirkan melalui pipa, saat ini menjadi satu-satunya sumber air di jalur Suwanting
  • Estimasi: 2,5—3 jam

Pos Air (2.665 mdpl) — Pos 3 Dampo Awang (2.740 mdpl): +200 meter

  • Setelah Lembah Manding yang menguras tenaga, kerahkan sisa kekuatan untuk menjangkau Pos 3 yang tidak jauh lagi
  • Pos 3 sangat luas dan mampu menampung puluhan tenda, sehingga menjadi tempat terbaik dan teraman untuk mendirikan tenda
  • Vegetasi hanya rerumputan serta edelweis di Pos 3, sangat terbuka sehingga waspada dengan angin kencang
  • Pemandangan yang dapat dilihat antara lain Gunung Merapi, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, dan kawasan permukiman di kaki gunung
  • Estimasi: 15—20 menit

Pos 3 Dampo Awang (2.740 mdpl) — Puncak Suwanting (3.105 mdpl): +1,1 kilometer

  • Perjalanan ke puncak Suwanting akan melewati tiga kawasan sabana, yaitu Sabana 1 (2.828 mdpl), Sabana 2 (2.915 mdpl), dan Sabana 3 (2.984 mdpl)
  • Trek tanah yang konstan menanjak, tetapi tidak terasa berat karena hanya membawa perlengkapan dan bekal seperlunya
  • Vegetasi dominan padang rumput terbuka, sehingga berpotensi angin kencang atau badai
  • Puncak Suwanting merupakan ujung punggungan jalur Suwanting, dengan ketinggian hampir sama dengan Triangulasi dan Kenteng Songo
  • Estimasi: 1—1,5 jam

Puncak Suwanting (3.105 mdpl) — Puncak Triangulasi (3.142 mdpl): +250 meter

  • Kontur jalur menuju puncak Triangulasi sedikit naik-turun, tetapi relatif ringan dan jaraknya cukup dekat
  • Vegetasi masih didominasi rerumputan dan terdapat beberapa pohon cantigi (manisrejo)
  • Kawasan puncak Triangulasi tidak terlalu luas dan hanya ditandai dengan tugu permanen milik taman nasional
  • Estimasi: 10-15 menit

Puncak Triangulasi (3.142 mdpl) — Puncak Kenteng Songo (3.142 mdpl): +150 meter

  • Kontur jalur antarpuncak hanya sedikit turunan dan tanjakan, sehingga mudah terlihat satu sama lain saat cuaca cerah
  • Puncak Kenteng Songo ditandai dengan tugu permanen milik taman nasional, serta beberapa situs cagar budaya berupa lumpang batu alami yang dikelilingi pagar besi untuk menghindari vandalisme
  • Puncak Kenteng Songo adalah titik pertemuan jalur Suwanting dengan Selo dan jalur utara (Thekelan, Cuntel, Wekas)
  • EstimasI: 5 menit

Rekomendasi basecamp:
Pak Hosea Mulyanto Nugroho alias Pak Ambon (0813-5987-6990)

* * *

Jalur pendakian Merbabu via Wekas

Wekas dikenal sebagai jalur pendakian dengan jarak tempuh paling pendek ke puncak. Sebab, titik awal pendakian sudah cukup tinggi, di atas 1.500 mdpl. Meski durasi perjalanan relatif lebih singkat, tetapi trek pendakian cenderung lebih terjal. Jalur Wekas bertemu dengan jalur Thekelan di punggungan antara puncak pemancar dan pos helipad, yang juga menjadi batas alam antara Kabupaten Semarang, Magelang, dan Boyolali.

Basecamp Wekas (1.748 mdpl) — Merbabu Pass (1.858 mdpl): +350 meter

  • Jalan dusun berupa kombinasi cor dan paving block yang sempit dan menanjak cukup ekstrem, sampai menjumpai area camping bernama Merbabu Pass
  • Dari Merbabu Pass, pemandangan gunung-gunung terdekat yang bisa dilihat (saat cuaca cerah) antara lain Telomoyo, Andong, Sumbing, dan Sindoro
  • Merbabu Pass berada tepat di pintu hutan, menjadi batas antara wilayah konservasi taman nasional dengan lahan perkebunan warga
  • Estimasi: 15—20 menit dengan jalan kaki untuk pemanasan atau 5 menit dengan ojek

Merbabu Pass (1.858 mdpl) — Pos 1 Tegal Arum (2.117 mdpl): +1,1 kilometer

  • Dari pintu hutan Merbabu Pass atau patok HM 0, trek mulanya datar dan landai, tetapi kemudian perlahan menanjak sampai Pos 1 Tegal Arum
  • Sepanjang jalur akan menjumpai aliran pipa air yang tersambung dari sumber air di Pos 2 Wekas sampai ke permukiman warga
  • Vegetasi didominasi cemara gunung, tumbuhan perdu, dan tanaman mlanding (sejenis lamtoro)
  • Kadang-kadang terlihat monyet-monyet bergelantungan mencari makan, tetapi tidak agresif sehingga jangan sampai mengusik maupun memberi makanan sembarangan kepada satwa
  • Melewati dua pos bayangan, yaitu Simpang Genikan (1.956 mdpl) dan Pos Bayangan 1 (2.078 mdpl)
  • Pos 1 Tegal Arum berada di antara HM 10 dan HM 11, artinya berjarak sekitar 1–1,1 km dari pintu hutan
  • Di pos ini terdapat selter berupa gazebo kayu yang bisa digunakan untuk istirahat dan berteduh, tetapi tidak tersedia tanah datar yang cukup untuk mendirikan tenda
  • Estimasi: 1–1,5 jam 

Pos 1 Tegal Arum (2.065 mdpl) — Pos 2 Wekas/Kidang Kencana (2.480 mdpl): +1,4 kilometer

  • Pendakian antara Pos 1 Tegal Arum dan Pos 2 Wekas merupakan yang paling berat di jalur Wekas, terutama trek terjal tanpa putus sepanjang kira-kira 800 meter setelah HM 12 sampai dengan HM 20
  • Saat hujan, kondisi jalur Wekas akan cukup licin, sementara kala kemarau bakal diselimuti debu tebal
  • Tutupan hutan masih cukup rapat, lalu vegetasi terbuka mendekati HM 20 dan terlihat punggungan tebing jalur Thekelan di sisi kiri (timur) yang akan terlihat sampai Pos 2 Wekas
  • Selepas HM 20 hingga Pos 2 Wekas yang terletak di HM 25, trek relatif landai meniti jalan setapak di pinggir jurang
  • Pos 2 Wekas atau disebut juga Pos 2 Kidang Kencana berupa lahan yang sangat luas dan bisa menampung puluhan tenda, dengan fasilitas sumber air bersih satu-satunya yang dialirkan lewat keran serta gazebo untuk sekadar bersantai
  • Pos 2 Wekas merupakan tempat camp ideal sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak, lokasinya seperti berupa cerukan yang diapit punggungan tebing jalur Thekelan dan Suwanting
  • Jika beruntung, saat sore bisa melihat pemandangan matahari terbenam dengan latar Gunung Sumbing di kejauhan
  • Estimasi: 1,5–2 jam

Pos 2 Wekas/Kidang Kencana (2.480 mdpl) — Pos 3 Watu Kumpul (2.821 mdpl): +800 meter

  • Trek menuju Pos 3 Watu Kumpul cenderung menanjak melewati cerukan sempit terbuka yang didominasi batu-batu vulkanis berukuran besar, menunjukkan sejarah Merbabu sebagai gunung berapi (kini dalam kondisi tidur atau dorman)
  • Vegetasi mulai didominasi pepohonan semak yang kering dan mulai dijumpai edelweis di sisi kiri-kanan jalur
  • Ada area cukup lapang dan terbuka di HM 31, tetapi bukan tempat yang cocok untuk mendirikan tenda
  • Pos 3 Watu Kumpul persis berada di HM 33, tidak ada tempat ideal untuk istirahat dalam waktu lama apalagi membangun tenda
  • Estimasi: 45 menit–1 jam

Pos 3 Watu Kumpul (2.821 mdpl) — Tugu Perbatasan (2.847 mdpl): +100 meter

  • Jalur Wekas akan bertemu dengan jalur klasik Thekelan di persimpangan yang ditandai dengan tugu perbatasan tiga kabupaten, yaitu Semarang, Magelang, dan Boyolali
  • Trek dari Pos 3 Watu Kumpul masih menanjak, tetapi jarak dengan tugu perbatasan tidak begitu jauh
  • Tugu perbatasan tersebut berada di punggungan terbuka, yang memungkinkan pendaki untuk melihat pemandangan matahari terbit dan terbenam sekaligus
  • Sepanjang pendakian dari tugu perbatasan sampai puncak berada di area terbuka tanpa naungan, sehingga waspada terhadap potensi badai atau angin kencang dan jangan memaksakan untuk melanjutkan pendakian jika cuaca memburuk
  • Estimasi: 10–15 menit

Tugu Perbatasan (2.847 mdpl) — Helipad (2.898 mdpl): +150 meter

  • Untuk bisa menginjakkan kaki di Helipad, kamu harus sedikit menaiki gundukan bukit kecil yang lumayan curam, yang terletak di sisi kanan jalur utama pendakian
  • Meski bukan merupakan pos, kadang-kadang ada pendaki mendirikan tenda di area ini, karena ingin lebih dekat ke puncak
  • Tempat ini disebut Helipad karena bentuknya seperti dataran melingkar yang biasa digunakan sebagai tempat mendarat helikopter, bisa memuat kira-kira 2–3 tenda berkapasitas 4–5 orang
  • Estimasi: 5 menit

Helipad (2.898 mdpl) — Puncak Geger Sapi (3.002 mdpl): +500 meter

  • Dari Helipad, jalur masih menyusuri punggungan sampai bertemu percabangan, jika turunan ke kanan menuju sumber air, sedangkan ke kiri menanjak terjal di antara pepohonan cantigi sampai Geger Sapi
  • Nama Geger Sapi kemungkinan berasal dari topografi punggungan yang tampak seperti punuk atau geger (Jawa) sapi
  • Geger Sapi termasuk dalam rangkaian tujuh puncak (seven summit) jalur Thekelan, selain Watu Gubug, Pemancar, Syarif, Ondo Rante, Kenteng Songo, dan Triangulasi
  • Estimasi: 15–20 menit

Puncak Geger Sapi (3.002 mdpl) — Pertigaan Syarif-Ondo Rante (3.084 mdpl): +400 meter

  • Dari Geger Sapi, trek semula akan melandai lalu menanjak terjal sampai ke persimpangan Puncak Syarif dan Puncak Ondo Rante
  • Ada dua pilihan jalur, sisi kiri melewati ceruk batuan dan lebih ekstrem, sedangkan sisi kanan membelah sabana terjal yang lebih berdebu saat kemarau
  • EstimasI: 15–20 menit

Pertigaan Syarif-Ondo Rante (3.084 mdpl) — Puncak Kenteng Songo (3.142 mdpl): +500 meter

  • Di pertigaan, kamu bisa menuju ke Puncak Syarif (3.119 mdpl) yang berjarak 10–15 menit, atau melanjutkan pendakian ke puncak tertinggi Kenteng Songo
  • Jalur pendakian ke Kenteng Songo melewati bagian kaki Puncak Ondo Rante, melipir tepian jurang sampai trek menantang yang dikenal dengan sebutan Jembatan Setan
  • Pihak taman nasional menyediakan alat bantu pegangan berupa tali dan pagar rantai untuk keamanan, karena kaki harus memijak batu-batu licin yang menempel pada tebing cadas
  • Dari Jembatan Setan, mendekati Kenteng Songo terdapat satu tanjakan ekstrem yang membuat kamu harus mengerahkan banyak tenaga untuk melewatinya, ibarat lutut bertemu dagu
  • Puncak Kenteng Songo merupakan pertemuan dari semua jalur, baik itu dari Thekelan-Wekas, Suwanting, dan Selo
  • Dari Kenteng Songo bisa melanjutkan perjalanan kurang dari lima menit untuk tiba di puncak ketujuh Merbabu, yaitu Triangulasi (3.145 mdpl)
  • EstimasI: 30–45 menit

Rekomendasi basecamp:
Pak Lasin (0823-2334-0939)

* * *

Informasi biaya pendakian

Cara memesan kuota dan mengurus perizinan pendakian bisa dilihat lebih lanjut di situs resmi Taman Nasional Gunung Merbabu: booking.tngunungmerbabu.org. Di dalamnya memuat kuota pendakian, alur reservasi, hingga pembayaran biaya pendakian. Sejak November 2024, terjadi kenaikan tarif tiket wisata pendakian di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu:

Selain itu, biasanya masing-masing jalur juga memiliki tarif tambahan untuk retribusi kampung (termasuk di dalamnya untuk biaya kebersihan dan pengelolaan basecamp), serta jasa ojek (opsional):

Retribusi kampung di Suwanting: Rp35.000
Tarif ojek: Rp10.000–15.000 sekali jalan

Retribusi kampung di Wekas: Rp22.000
Tarif ojek: Rp15.000–20.000 sekali jalan

Menjadi pendaki bijak

Selain menyiapkan perbekalan dan manajemen pendakian yang baik, kamu juga harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk menjadi pendaki gunung yang baik. TelusuRI punya sejumlah tips agar kamu bisa menjadi pendaki yang bijak:

  1. Menghormati adat istiadat di dusun setempat
  2. Mematuhi peraturan yang berlaku di kawasan taman nasional
  3. Melengkapi diri dengan peralatan pendakian standar dan menyiapkan logistik yang cukup selama pendakian, serta tetap waspada dan hati-hati dengan barang-barang bawaan pribadi dari potensi pencurian oleh sejumlah oknum di area berkemah
  4. Jangan mengikuti ego dan memaksakan diri, terutama ketika cuaca buruk atau kondisi tim tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendakian
  5. Meminimalisasi penggunaan plastik sekali pakai
  6. Gunakan botol minum yang bukan sekali pakai dan membawa jeriken portabel untuk isi ulang air
  7. Gunakan kotak makan untuk menyimpan bahan-bahan makanan kamu
  8. Memilih menu-menu makanan organik, seperti sayur, buah, dan bahan lainnya yang limbahnya bisa kamu timbun di dalam tanah saat pendakian
  9. Membawa pulang sampah anorganik yang kamu hasilkan
  10. Membawa kantung sampah secukupnya

Foto-foto oleh Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ingin Mendaki Gunung Merbabu dari Magelang? Cobalah via Jalur Suwanting dan Wekas appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jalur-pendakian-gunung-merbabu-via-suwanting-dan-wekas/feed/ 0 45770
Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf (2) https://telusuri.id/pekan-buku-magelang-upaya-agar-lebih-melek-huruf-2/ https://telusuri.id/pekan-buku-magelang-upaya-agar-lebih-melek-huruf-2/#respond Fri, 21 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42205 Sebagaimana lumrah terjadi di tempat lain, akhir pekan—Sabtu dan Minggu—menjadi waktu orang-orang meninggalkan rumah dan pergi ke suatu tempat yang menjadi sumber kesenangan. Rehat sejenak dari rutinitas pekerjaan Senin–Jumat. Tidak terkecuali acara Pekan Buku Magelang...

The post Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf
Tur sepeda bersama Go4Tour keliling desa-desa di Borobudur/Rimi Go4Tour

Sebagaimana lumrah terjadi di tempat lain, akhir pekan—Sabtu dan Minggu—menjadi waktu orang-orang meninggalkan rumah dan pergi ke suatu tempat yang menjadi sumber kesenangan. Rehat sejenak dari rutinitas pekerjaan Senin–Jumat. Tidak terkecuali acara Pekan Buku Magelang di Melek Huruf. 

Sedari pagi (15/06/2024), Melek Huruf menyelenggarakan tur sepeda keliling desa bersama Go4Tour, sebuah operator wisata yang diinisiasi anak-anak muda lokal. Ifa, pengurus Desa Wisata Candirejo, didapuk sebagai pemandu tur. Para peserta diajak gowes menyusuri jalanan perdesaan dan mengunjungi tempat-tempat menarik di kawasan Borobudur. 

Rombongan dibawa menemui sosok-sosok inspiratif, di antaranya Lily Erwin, pemerhati gastronomi lokal dan pemilik homestay Omah Garengpoeng; dan Sony Santosa, seniman nyentrik berdarah Bengkulu pemilik galeri dan kafe Elo Progo Art House. Peserta tur juga turut mencicipi kreasi dapur lokal, mulai dari wedang rempah hingga kudapan pasar. Di pengujung tur, peserta kembali ke Melek Huruf untuk mencicipi aneka produk kopi khas Magelang yang dipandu M. Ariep Setiawan, kurator kopi dan pemilik kedai Callme Coffee Roaster.

Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf
Mahfud Ikhwan (kiri) membahas isi buku terbarunya/Rifqy Faiza Rahman

Membicarakan dangdut bareng Mahfud Ikhwan

Selepas Duhur dan jam makan siang, sesi bedah buku pertama dibuka dengan kehadiran Mahfud Ikhwan. Seorang penulis produktif kelahiran Lamongan yang telah lama tinggal di Yogyakarta. Ia banyak menulis novel, esai, cerita pendek, hingga tulisan nonfiksi lainnya. 

Siang itu, dimoderatori oleh Cristian langsung, Mahfud mengaku beberapa tahun terakhir lebih fokus membuat buku esai yang lebih dekat dengan realitas sekitar. Jelas lebih ringan dibanding harus menulis novel yang prosesnya bisa berlangsung bertahun-tahun. Termasuk karya terbarunya, Kepikiran Dangdut dan Hal-hal Pop Lainnya (Januari 2024) terbitan Warning Books. Di buku ini, ia mencoba mengupas pergeseran gaya musik dangdut, yang pada eranya bahkan sampai sekarang memang sangat lekat dengan sang raja dangdut Rhoma Irama. Baginya, apa yang ditunjukkan biduan Inul Daratista hingga muncul variasi dangdut koplo dan sejenisnya bukanlah dangdut yang sesungguhnya; yang juga menjadi titik keresehan dirinya sebagai pengamat dan penikmat dangdut sejati.

Tak hanya dangdut, Mahfud juga menuangkan pikiran pada beberapa tulisan yang mengulas hal-hal populer. Ia turut membicarakan Didi Kempot, Sheila On 7, hingga justifikasi perempuan dalam lagu-lagu sedih. Termasuk mengkritisi lirik-lirik lagu yang cacat tata bahasa sampai dengan tren kover lagu orang. Gaya bahasanya cukup menggelitik dan mengajak kita untuk masuk ke kacamatanya sebagai “orang biasa” yang peduli esensi musik.

Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf
Tiga pendiri klub baca buku Magelang berbagi cerita/Rifqy Faiza Rahman

Berbagi cerita dengan tiga klub baca buku Magelang

Tak jauh setelah acara bedah buku, Nina memandu sebuah gelar wicara yang memperkenalkan klub baca buku di Magelang. Ada tiga klub baca yang diberi kesempatan bicara, yaitu Kisti (Sundayreads Book Club), Ulfa Maula (Readaloud Magelang), dan Sodiq Amrullah (Magelang Book Party).

Setiap pendiri klub buku tersebut memiliki latar belakang berbeda, tetapi satu suara soal mengampanyekan literasi lewat buku. Seperti yang dilakukan Ulfa Maula. Melalui Readaloud Magelang, ia mengajak para orang tua mengajarkan baca buku kepada anak-anaknya. Ulfa menganggap buku sebagai bagian dari parenting agar anak-anak tumbuh mencintai buku.

Sementara Kisti dan Sodiq relatif memiliki semangat dan segmentasi yang sama. Komunitasnya mengakomodasi generasi pencinta buku di Magelang. Biasanya acara baca buku bareng diadakan saat akhir pekan. Sesi yang berlangsung mencakup silent reading dengan buku masing-masing atau pinjaman, lalu saling mengobrol untuk membahas buku yang telah dibaca.

  • Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf
  • Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf

Lokakarya memori rasa bersama Tarlen dan Tiko

Pengalaman menarik lainnya dalam Pekan Buku Magelang adalah lokakarya “Mengingat Rasa yang Pernah Ada” pada Minggu (16/06/2024). Dalam lokakarya ini, sebanyak delapan peserta diajak menggali memori masa kecil dengan orang-orang terdekat yang memengaruhi dalam pembentukan profil atau palet rasa di lidah. Mentor sesi ini adalah Tarlen Handayani, seorang penjilid dan seniman buku, serta Tiko Sukarso, seorang tukang masak plant-based dan salah satu pendiri Eat Fit serta Kulatresna. Keduanya berkolaborasi membentuk klub masak Sirja yang berisi kegiatan kelas memasak, membuat olahan “susu” dari tumbuhan, keju kacang mete, dan penyedap rasa dari sayuran.

Dalam sesi icip-icip, Tiko dan tim menyediakan lima menu lokal yang hasil risetnya digali bersama Bu Lis, tetangga dusun Melek Huruf yang paham kuliner musiman khas Candirejo. Hidangan yang dicicipi antara lain rengginang magelang dengan topping fermentasi krim mete dengan juruh kental gula kelapa, rujak degan, klepon berbalut gula kelapa murni dalam lipatan sudi, ramesan singkong sawut, dan tape ketan. Di sela-sela itu, peserta ikut menceritakan memori rasa yang pernah muncul ketika menyantap penganan tersebut.

Di akhir program, Tarlen memandu peserta untuk menulis jurnal kecil di atas kertas yang nantinya dijilid dengan benang. Semacam “surat cinta” dan ungkapan terima kasih dari peserta kepada orang-orang yang berjasa mengenalkan atau menciptakan palet rasa saat masa kecil dulu. 

Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf
Kalis Mardiasih (kiri) menceritakan isu kekerasan seksual berbasis gender dalam bedah buku terbarunya/Rifqy Faiza Rahman

Buku terbaru Kalis Mardiasih: Luka-luka Linimasa

Di bedah buku terbarunya yang dimediatori oleh Prima Sulistya—seorang jurnalis lepas, tampak Kalis Mardiasih begitu berapi-api menyuarakan keresahan tentang masifnya Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Istilah ini memiliki beberapa padanan. Komnas Perempuan menyebutnya sebagai Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG), sedangkan dalam UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dikenal dengan istilah Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KBSE).

Perhatian Kalis terhadap isu kekerasan seksual, baik di dunia maya dan nyata, erat kaitannya dengan pengalaman tidak mengenakkan di masa kecil. Di masa sekolah dahulu, kerap terjadi perundungan atau godaan dari kaum pria kepada perempuan, yang tanpa disadari sebenarnya merupakan bentuk dari pelecehan. Keresahan dan pemikiran atas problem tersebut coba diungkapkan Kalis lewat bukunya yang akan terbit, Luka-luka Linimasa (2024). Selain lewat buku, Kalis cukup intens bersuara dan mengawal masalah kekerasan seksual di media sosialnya.

Topik pembahasan dalam sesi tersebut mengundang cukup banyak atensi dari peserta. Terlihat dari dua atau tiga orang menceritakan pengalaman tidak mengenakkan, baik yang dialami sendiri maupun dialami temannya. Diskusi yang berlangsung memantik kesadaran betapa ruang dunia maya yang serba bebas dan nyaris tanpa sekat harus dikelola dengan hati-hati. Terlebih tindak lanjut dari pihak berwenang, seperti polisi atau kampus, kadang terkesan lambat dalam menangani masalah tersebut.

* * *

Empat hari penyelenggaraan edisi perdana Pekan Buku Magelang di Melek Huruf tampak berlalu begitu cepat. Suar antusiasme tampak memenuhi seisi ruang yang ada di taman baca di sudut desa itu. Sebuah indikator yang menggembirakan, bahwa masih banyak generasi muda yang peduli pada literasi agar lebih “melek huruf”.

Rasanya, tak sabar untuk menanti seperti apa keseruan Pekan Buku Magelang edisi berikutnya. Sampai bertemu di bulan Juli!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pekan-buku-magelang-upaya-agar-lebih-melek-huruf-2/feed/ 0 42205
Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf (1) https://telusuri.id/pekan-buku-magelang-upaya-agar-lebih-melek-huruf-1/ https://telusuri.id/pekan-buku-magelang-upaya-agar-lebih-melek-huruf-1/#respond Thu, 20 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42196 Siapa sangka, di sudut desa tak jauh dari Candi Borobudur, sebuah taman baca dengan konsep tak biasa mampu memikat orang-orang sefrekuensi dari berbagai daerah? Siapa mengira, di atas lahan 300 meter persegi yang diapit kebun...

The post Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf
(Rifqy Faiza Rahman)

Siapa sangka, di sudut desa tak jauh dari Candi Borobudur, sebuah taman baca dengan konsep tak biasa mampu memikat orang-orang sefrekuensi dari berbagai daerah?

Siapa mengira, di atas lahan 300 meter persegi yang diapit kebun singkong, sebidang bangunan perpustakaan berisi 700-an judul buku dan kafe kecil bisa menghapus dahaga literasi?

Rasanya seperti itu pertanyaan-pertanyaan retorik di kepala saya, ketika melihat edisi perdana Pekan Buku Magelang yang diselenggarakan Melek Huruf pada Jumat–Senin, 14–17 Juni 2024. Kemeriahan yang bersahaja. Lingkup ruang yang tersedia tidak terlalu luas, tetapi justru itulah yang membuat interaksi lebih intim dan hangat.

Di antara program-program berupa bursa buku, gelar wicara, tur sepeda, dan lokakarya, Pekan Buku Magelang adalah tempat berekspresi dan berjejaring bagi siapa pun yang datang. Seperti kata Cristian Rahadiansyah (43), salah satu pendiri dan pemilik Melek Huruf, inisiatif agenda bulanan tersebut seakan menegaskan bahwa tidak perlu jauh-jauh ke Yogyakarta untuk berteman akrab dengan buku-buku dan dunia yang mengiringinya.

Magelang, kini tak hanya hidup dengan Borobudur maupun wisata-wisata lainnya, tetapi juga geliat literasi di sudut Pucungan, Desa Candirejo. Sebuah titik temu bagi mereka yang peduli dan antusias pada dialektika ilmu dan gagasan seputar kepustakaan.

Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf
Cristian dan Nina memperkenalkan diri sebagai tuan rumah Melek Huruf saat membuka acara Pekan Buku Magelang di hari pertama. Tampak Kara, buah hati mereka, sibuk bermain mikrofon/Rifqy Faiza Rahman

Mengenal para pustakawan Melek Huruf

Semua itu berhulu pada “rencana pensiun” Cristian Rahadiansyah (43), seorang jurnalis dan pendiri Jakarta International Photo Festival (JIPFest) yang telah malang melintang di tujuh majalah berbeda dalam dua dekade belakangan. Terakhir, ia meletakkan posisi editor in chief majalah DestinAsian Indonesia yang sudah ditempati selama 2012–2023.

Beragam hiruk piruk kehidupan Jakarta ia tanggalkan pelan-pelan demi kehidupan baru di kaki Menoreh, Borobudur. Titik balik itu ada di usianya yang ke-40, ketika ia mempersunting sang pujaan hati, Nina Hidayat—juga berkiprah di JIPFest dan bidang seni budaya—untuk bersepakat membersamai alumni UGM tersebut mewujudkan cita-cita besarnya. Kesamaan frekuensi, jalan hidup, dan kepedulian pada buku membukakan jalan mereka pada berdirinya Melek Huruf. 

Pekan Buku Magelang adalah inisiatif besar pertama Cristian dan Nina untuk merayakan satu tahun Melek Huruf. Rekam jejak dan lingkaran jejaring yang hebat dari keduanya membuat nama-nama besar di dunia buku dan sastra mendekat tanpa ragu untuk berpartisipasi dalam acara tersebut. Jika tak ada halangan, Pekan Buku Magelang akan diselenggarakan rutin setiap bulannya.

Meski baru setahun, sinar Melek Huruf menyala begitu cepat. Konsepnya sebagai taman baca, warung—menjual kopi, teh, dan kudapan ringan, penginapan, dan ruang publik bersama disambut cukup antusias oleh masyarakat. Terutama bagi kalangan lintas generasi pencinta buku, kopi, dan fotografi. 

Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf
Sejumlah pengunjung masih mendatangi bursa buku mendekati jam tutup acara Pekan Buku Magelang di Melek Huruf/Rifqy Faiza Rahman

Bursa buku-buku menarik

Tentu saja bursa buku menjadi salah satu daya tarik utama dari Pekan Buku Magelang pertama ini. Bursa buku terbuka untuk umum selama Pekan Buku Magelang dan berlangsung pukul 10.00–18.00 WIB. Dari katalog yang dipublikasikan lewat situs web Melek Huruf, terdapat 85 judul buku dari 24 penerbit dan pengarang. Baik itu penerbit mayor atau indie, genre fiksi maupun nonfiksi, semuanya menyatu rapi di dalam etalase buku Melek Huruf. Sebut saja Bentang Pustaka, Komunitas Bambu, Marjin Kiri, Partikular, hingga Warning Books.

Saya sempat membeli dua buku baru: Kepikiran Dangdut dan Hal-hal Pop Lainnya (2024) karangan Mahfud Ikhwan; dan Parade Hantu Siang Bolong (2020) karya Titah AW. Dua-duanya terbitan Warning Books, Yogyakarta. Mahfud kebetulan juga menjadi narasumber gelar wicara bedah buku terbarunya itu, sementara Titah AW merupakan jurnalis lepas yang sudah saya ikuti tulisan-tulisannya di sejumlah media, seperti Vice dan Project Multatuli.

Sayang, saya belum mampu membeli semuanya. Saya memilih bijaksana untuk menahan diri, daripada kalap menguras uang tabungan. Belanja buku juga perlu realistis. Namun, setidaknya saya telah mencatat judul-judul buku yang menarik dan masuk daftar beli suatu saat nanti.

Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf
Diskusi membahas dapur penerbit independen oleh Wicahyanti Rejeki (kanan) dan Kurnia Yaumil Fajar (kiri), dipandu Diah Dwi Puspitasari sebagai moderator/Rifqy Faiza Rahman

Optimisme eksistensi penerbit independen

Gelar wicara pertama di Pekan Buku Magelang (14/07/2024)dibuka oleh diskusi tentang dapur penerbit independen. Diah Dwi Puspitasari dari Bentang Pustaka didapuk menjadi moderator, dengan dua narasumber kunci, yaitu Kurnia Yaumil Fajar (SOKONG! Publish) dan Wicahyanti Rejeki (TriBEE). 

SOKONG! Publish merupakan platform penerbitan independen berbasis fotografi yang berasal dari Yogyakarta. Kurnia Yaumil Fajar termasuk dalam salah satu pemrakarsa selain Danysswara, Deni Fidinillah, Moh. A. Ulul Albab, dan Prasetya Yudha. Sementara TriBEE adalah penerbit indie di Magelang yang didirikan oleh Wicahyanti Rejeki, yang juga telah menulis banyak buku anak.

Keduanya membedah perbedaan signifikan antara penerbit mayor dengan independen, sekaligus mengulas potensi besar dari keberadaan penerbit indie. Baik itu dari segi penyusunan naskah, penyuntingan, sampai pemasaran. Di tengah tantangan dan kendala yang tak mudah, Wicahyanti dan Kurnia tetap yakin dengan keberlanjutan penerbit independen. Salah satu semangat yang mereka usung adalah mendorong siapa pun, baik anak-anak maupun orang dewasa, untuk bisa membiasakan menulis dan menerbitkan bukunya. Buku bisa menjadi dokumentasi terbaik untuk merekam ingatan dan pemikiran. Keduanya pun sepakat jika setiap buku pasti memiliki pembacanya sendiri. 

Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf
Nuansa gayeng antara Paksi Raras Alit (kiri), Adimas Immanuel (tengah), dan Akata (moderator) saat mengenang kiprah Joko Pinurbo/Rifqy Faiza Rahman

Mengenang dan mendoakan Joko Pinurbo

Sesi diskusi kedua dilanjutkan dengan perenungan dan penyampaian kesaksian kepada jalan hidup Joko Pinurbo. Seorang penyair legendaris yang terkenal kepiawaiannya mengolah diksi berbalut humor, ironi, kadang-kadang absurd, dan mengandung refleksi. Kata-katanya pun sederhana, tetapi mampu menyenangkan, meneduhkan, bahkan menyayat hati.

Wafatnya penyair besar asal Yogyakarta itu pada 27 April 2024 lalu memang mengejutkan banyak orang, terutama mereka yang pernah beririsan atau bersinggungan langsung dengan Jokpin—sapaan akarabnya, baik dalam urusan pekerjaan atau informal. Tidak terkecuali yang dirasakan Paksi Raras Alit dan Adimas Immanuel, bahkan Akata (penulis) yang bertugas sebagai moderator.

Paksi, misalnya. Penulis sastra cum musisi asal Yogyakarta itu bersaksi pada kebaikan Jokpin saat berada dalam ikatan pekerjaan antara keduanya. Sementara Adimas, penyair dan novelis muda dari Solo, mengaku begitu terkesan dengan perhatian Jokpin pada sastrawan muda seperti dirinya. Paksi dan Adimas turut berbagi impresi pada puisi-puisi karya Jokpin yang dianggap paling melekat di benak masing-masing. Keduanya tak lupa mengajak peserta diskusi mendoakan mendiang sang pujangga sastra dan mengenang karya-karyanya.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pekan-buku-magelang-upaya-agar-lebih-melek-huruf-1/feed/ 0 42196
Telusur Candi-Candi Buddha di sekitar Borobudur https://telusuri.id/telusur-candi-candi-buddha-di-sekitar-borobudur/ https://telusuri.id/telusur-candi-candi-buddha-di-sekitar-borobudur/#respond Wed, 19 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42181 Di benak sebagian wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, Kabupaten Magelang sangat erat dengan Candi Borobudur. Hampir bisa dipastikan candi Buddha berusia 1.200 tahun peninggalan Wangsa Syailendra itu menempati urutan teratas daftar destinasi wisata yang harus...

The post Telusur Candi-Candi Buddha di sekitar Borobudur appeared first on TelusuRI.

]]>
Telusur Candi-Candi Buddha di sekitar Borobudur
Wisatawan berfoto dengan latar Candi Borobudur/Rifqy Faiza Rahman

Di benak sebagian wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, Kabupaten Magelang sangat erat dengan Candi Borobudur. Hampir bisa dipastikan candi Buddha berusia 1.200 tahun peninggalan Wangsa Syailendra itu menempati urutan teratas daftar destinasi wisata yang harus dikunjungi di Magelang. Biasanya, vakansi ke Candi Borobudur sepaket dengan kunjungan ke Candi Prambanan dan Ratu Boko, karena ketiganya termasuk dalam pengelolaan yang sama di bawah PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko (Persero), badan usaha milik negara. Khusus untuk Borobudur, dipelukan reservasi daring lewat ticket.borobudurpark.com/id jika ingin menaiki struktur candi dan ditemani pemandu.

Selain itu, Candi Borobudur juga disorot publik karena menjadi tempat penting untuk prosesi puncak peringatan Hari Raya Waisak. Pada tahun lalu, Waisak berlangsung meriah karena puluhan bhante peserta tradisi Thudong dari Thailand berjalan kaki ke Candi Borobudur. Antusiasme warga di berbagai daerah yang dilintasi jalur ritual Thudong menunjukkan kehangatan dan toleransi antarumat beragama.

Dimensi sosial itulah yang juga menjadi nilai lebih keberadaan candi-candi Buddha di sekitar Borobudur. Latar belakang penduduk di permukiman yang mengapit candi juga cenderung beragam. Selain Borobudur, tercatat ada tiga candi lainnya yang terletak relatif berdekatan, yaitu Pawon, Mendut, dan Ngawen. Candi-candi tersebut bisa sekadar dikunjungi dalam sehari, atau satu hari satu candi jika ingin mengeksplorasi sejarah, relief, dan cerita yang mengiringinya.

*

Candi Pawon

Candi Pawon terletak paling dekat dengan Candi Borobudur, karena berada di kecamatan yang sama, tetapi beda desa. Candi Pawon yang berjarak sekitar 2 km dari Candi Borobudur itu berada di tengah permukiman Dusun Brojonalan, Kelurahan Wanurejo, Kecamatan Borobudur. Menurut catatan sejarah, pembangunan Candi Pawon kemungkinan berlangsung antara abad VIII–IX Masehi atau di era Wangsa Syailendra. Diperkirakan pula candi ini didirikan untuk menyimpan abu jenazah Raja Indra (782–812 M), ayahanda dari Raja Samaratungga.

Batu andesit menjadi bahan baku utama yang membangun Candi Pawon. Berdasarkan keterangan Balai Konservasi Borobudur, Candi Pawon setinggi 13,3 meter tersebut berdenah bujur sangkar dengan panjang sisi-sisinya 10 meter. Orientasi candi ini adalah ke arah barat, dan diyakini menjadi pintu gerbang menuju Candi Borobudur sebagai tempat umat mensucikan diri dari kotoran jasmani dan rohani.

Karakter Buddha yang menghiasi Candi Pawon antara lain arca-arca Bodhisattva di bagian tubuh candi dan stupa besar di puncak atap dan stupa-stupa kecil di sekelilingnya. Selain itu terdapat relief yang sama di sisi utara dan selatan, yaitu penggambaran Kinara dan Kinari, sepasang makhluk berkepala manusia dengan badan burung. Keduanya berdiri mengapit pohon kalpataru yang tumbuh di dalam jambangan. Sementara di bagian atasnya tampak sepasang manusia sedang terbang.

Waktu operasional: Selasa–Minggu, 07.00–16.00 WIB (Senin tutup)
Tiket masuk: Rp10.000 (WNI), Rp20.000 (WNA), Rp5.000 (anak-anak)

*

  • Telusur Candi-Candi Buddha di sekitar Borobudur
  • Telusur Candi-Candi Buddha di sekitar Borobudur

Candi Mendut

Candi Mendut terletak sekitar 4 km dari Candi Borobudur, tepatnya di wilayah Mendut, Kecamatan Mungkid. Meskipun berada di luar kawasan Borobudur, tetapi Candi Mendut memiliki peran penting bagi umat Buddha, khususnya saat prosesi Waisak. Candi ini berada dalam satu garis lurus dengan Candi Pawon dan Candi Borobudur. Seperti kedua candi tersebut, Candi Mendut juga terbuat dari batu andesit dengan ukuran denah panjang 33,8 meter, lebar 25 meter, dan tinggi 18,95 meter; serta berorientasi menghadap ke arah barat laut.

Berdasarkan catatan sejarah oleh Balai Konservasi Borobudur, Candi Mendut diperkirakan berusia lebih tua atau setidaknya sezaman dengan Candi Borobudur. Pembangunan candi bercorak BUddha Mahayana tersebut berlangsung pada masa pemerintahan Raja Indra dari Wangsa Syailendra. Pada masanya, selama kurun waktu sekitar satu abad, Candi Mendut digunakan sebagai tempat ziarah bagi umat Buddha. 

Pada bagian dinding di pipi tangganya dihiasi beberapa panil berpahat yang menceritakan ajaran-ajaran Buddha. Sementara di bagian tubuh candi, jika disimak secara pradaksina (berjalan searah jarum jam), terdapat relief jajaran dewa yang masyhur dikenal dengan nama Garbhadatu Mandala dari agama Buddha beraliran Tantrayana. Adapun di dalam bilik candi, tiga arca Buddha berukuran besar yang terletak bersisian, yaitu arca Cakyamuni (menghadap barat), arca Bodhisattva Avalokitesvara (menghadap selatan), dan arca Bodhisattva Vajrapani (menghadap utara). 

Telusur Candi-Candi Buddha di sekitar Borobudur
Beberapa pengunjung berjalan di bagian dalam Mendut Buddhist Monastery/Rifqy Faiza Rahman

Usai mengunjungi Candi Mendut, sempatkan pula untuk mampir ke Mendut Buddhist Monastery yang letaknya hanya sepelemparan batu. Mendut Buddhist Monastery merupakan mahavihara (vihara besar) yang di dalamnya terdapat patung Buddha, stupa, arca, vihara, taman, asrama, ruang pentahbisan bhikkhu, tempat tinggal bhikkhu, hingga perpustakaan. Tidak ada biaya masuk ke tempat ibadah ini, tetapi pengunjung diwajibkan menjaga ketenangan dan kebersihan.

Waktu operasional: Setiap hari, 07.00–16.00 WIB
Tiket masuk: Rp10.500 (WNI), Rp20.500 (WNA), Rp5.500 (anak-anak)

^

  • Telusur Candi-Candi Buddha di sekitar Borobudur
  • Telusur Candi-Candi Buddha di sekitar Borobudur
  • Telusur Candi-Candi Buddha di sekitar Borobudur

Candi Ngawen

Candi ini berada paling jauh dari Candi Borobudur, jaraknya sekitar 9,5 km. Atau berjarak kurang lebih 6 km dari Candi Mendut. Candi ini terletak di kawasan perdesaan dan persawahan asri di Desa Ngawen, Kecamatan Muntilan. Sebagaimana menjadi kekhasan arsitektur candi Jawa Tengah, Candi Ngawen juga berbahan batu andesit dan memiliki atap stupa. 

Seyogianya Candi Ngawen yang diperkirakan dibangun pada masa pemerintahan Raja Indra dari Wangsa Syailendra di abad ke-8, merupakan kompleks kecil bangunan seluas 3.556 meter persegi yang terdiri dari lima candi dengan orientasi ke arah timur, berurutan dengan nama Candi I, II, III, IV, dan V. Namun, hanya Candi II dengan ukuran alas panjang 13 meter, lebar 12 m, dan tinggi 7 meter yang berhasil dipugar pada 1927, sementara empat candi lainnya hanya tersisa bagian pondasi. 

Selain dua arca Buddha yang sudah tidak utuh, ciri khas Candi Ngawen adalah keberadaan empat arca singa di sisi pojok kaki Candi II dan IV, yang mana keduanya merupakan candi induk di antara tiga candi pendamping (perwara). Menurut catatan Direktorat Perlindungan Kebudayaan, arca tersebut tampaknya lebih dari sekadar hiasan. Ada fungsi penting, yaitu sebagai saluran buangan air hujan. Relief Kinara Kinari yang mengapit pohon Kalpataru di sisi dinding candi, seperti halnya ditemukan di Candi Pawon, turut menjadi penghias yang memikat pengunjung karena kerumitan dan keindahan ukirannya.

Waktu operasional: Setiap hari, 08.00–16.00 WIB
Tiket masuk: Rp10.500 (WNI), Rp20.500 (WNA), Rp5.500 (anak-anak)


Referensi:

Balai Konservasi Borobudur. (2016, Juli 21). Candi Pawon. Diakses dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Republik Indonesia, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bkborobudur/candi-pawon.
Balai Konservasi Borobudur. (2016, Juli 21). Candi Mendut. Diakses dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Republik Indonesia, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bkborobudur/candi-mendut/.
Direktorat Perlindungan Kebudayaan. (2019, April 22). Candi Ngawen, si Mungil dengan Bingkai Keindahan Alamnya. Diakses dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Republik Indonesia, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/dpk/candi-ngawen-si-mungil-dengan-bingkai-keindahan-alamnya/.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Telusur Candi-Candi Buddha di sekitar Borobudur appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/telusur-candi-candi-buddha-di-sekitar-borobudur/feed/ 0 42181
Dari Jogja ke Nepal Van Java https://telusuri.id/dari-jogja-ke-nepal-van-java/ https://telusuri.id/dari-jogja-ke-nepal-van-java/#respond Thu, 21 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40505 Kecanggihan teknologi perlahan menggeser pola berinteraksi manusia. Dari interaksi fisik secara langsung menuju interaksi virtual oleh kehadiran berbagai media sosial. Namun, bagi saya apa pun hal-hal baru yang ditawarkan oleh ruang virtual, tidak akan mampu...

The post Dari Jogja ke Nepal Van Java appeared first on TelusuRI.

]]>
Kecanggihan teknologi perlahan menggeser pola berinteraksi manusia. Dari interaksi fisik secara langsung menuju interaksi virtual oleh kehadiran berbagai media sosial. Namun, bagi saya apa pun hal-hal baru yang ditawarkan oleh ruang virtual, tidak akan mampu menggantikan interaksi fisik yang lebih mampu menyentuh emosi dan sisi kemanusiaan kita.

Sehabis turun dari Gunung Api Purba, Nglanggeran, Jogja, meski dengan rasa lelah yang belum pergi, masjid kampus UIN Sunan Kalijaga kembali menjadi titik kumpul sebelum berangkat menuju destinasi wisata selanjutnya, yakni Kaliangkrik, Magelang, Jawa Tengah. Perjalanan kali ini saya ditemani Irwansya, kawan lainnya yang sedang menempuh studi S-2 dan pertama kali berkenalan di forum pengaderan sebuah organisasi. Irwansya akan berboncengan dengan Nurul, sedangkan saya bersama Eka.

Diksi Kaliangkrik mungkin terdengar asing di telinga. Namun, ketika kita menyebut Nepal Van Java, sebagian dari kita akan terbayang dengan konten-konten yang pernah viral di media sosial. Konten tersebut menampilkan pemandangan suatu desa di lereng Gunung Sumbing. Panorama rumah-rumah penduduk yang tersusun berundak-undak dengan cat warna warni menambah kesan unik dan estetik.

Kami berangkat pagi-pagi sekali sekitar pukul 05.50 WIB. Harapannya saat tiba di lokasi kami masih sempat mendapatkan suasana pagi pegunungan, udara dingin, dan lautan awan yang menyambut sebelum matahari terbit. Akan tetapi, saat kami mampir di sebuah SPBU di Jalan Magelang untuk mengisi bahan bakar, teman Irwan, Yudi, bersama pacarnya baru memberi kabar jika mereka jadi ikut. Alhasil kami pun memutuskan menunggu mereka menyusul. Kami sempatkan menyantap hidangan angkringan pagi yang berada persis di samping SPBU.

Setelah beberapa saat menanti, Yudi akhirnya tiba. Perjalanan tetap kami lanjutkan meski matahari telah meninggi. Tidak masalah jika suasana pagi pegunungan telah lewat. Bagaimanapun tujuan kami adalah menikmati perjalanan. Sekaligus mengunjungi tempat yang sama sekali belum pernah kami datangi sebelumnya.

Dari Jogja ke Nepal Van Java
Rumah-rumah penduduk bercat warna-warni di lereng gunung, yang menyebabkan dusun ini mendapat julukan Nepal Van Java/Ammar Mahir Hilmi

Desa Wisata di Lereng Gunung Sumbing

Jarak tempuh mencapai 90 kilometer dengan cuaca cerah mengiringi perjalanan kami. Kurang lebih dua jam berkendara menyusuri jalan poros Jogja—Magelang. Melewati pusat Kota Magelang hingga Jalan Raya Kaliangkrik yang menanjak dan berkelok-kelok. Dengan mengandalkan insting, sambil membaca petunjuk jalan dan sesekali melihat Google Maps, akhirnya kami tiba di gerbang bertuliskan “Desa Wisata Nepal Van Java”.

Usai membayar registrasi Rp10.000/orang, kami langsung naik menyusuri jalanan desa. Menuju warung makan yang terletak persis di samping gerbang pendakian Gunung Sumbing. Sebenarnya ada opsi menyewa jasa ojek, tetapi kami memutuskan untuk berjalan saja. Hitung-hitung sebagai olahraga. Apalagi saya, Eka, dan Nurul sebelumnya sudah mendaki Gunung Api Purba. Jadi, tidak masalah untuk kembali mendaki dan melewati rumah-rumah warga yang elok dengan nuansa warna-warni nan cerah.

Kami berjalan sesekali berbincang dan menyapa penduduk setempat. Tidak terasa warung makan yang dituju terlihat. Letaknya berada di ujung paling atas permukiman yang cukup membuat energi kami terkuras habis. Momen yang sangat tepat untuk memesan makanan sambil menikmati indahnya pemandangan desa dari atas warung. Udara dingin sesekali menerpa kami, sehingga mau tidak mau kami memesan minuman hangat.

Sesaat setelah saya memesan mi telur rebus, jahe susu hangat, dan air mineral, saya langsung menuju meja makan yang memberikan panorama perkebunan dan rumah-rumah warga. Sesekali kabut datang menutupi pemandangan, tetapi syukurlah cuaca hari ini bersahabat. Meski matahari sudah cukup tinggi, udara khas pegunungan mampu mengalahkan terik matahari yang menyembul setiap kali kabut pergi.

Obrolan kami selama menikmati hidangan dan pemandangan mengalir begitu saja. Mulai dari politik, perkuliahan, adat istiadat, hingga perilaku ibu-ibu dan bapak-bapak menjadi topik yang cukup membuat kami menertawakan satu sama lain. Saking larutnya dalam obrolan, tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul 11.30 WIB. Hari sudah siang. Tidak terasa memang, mengingat suhu yang tetap menyejukkan dan matahari bersembunyi di balik awan membuat kami lupa waktu. 

Usai membayar tagihan makanan, kami memutuskan turun kembali ke parkiran untuk bersiap-siap pulang. Selepas salat Zuhur, kami menyempatkan diri berfoto-foto. Mengabadikan momen yang entah kapan akan terulang lagi. Betapa sebuah dokumentasi visual sangat berharga di era digital ini. Selain keperluan merawat ingatan, tentunya untuk konten media sosial. 

Dari Jogja ke Nepal Van Java
Foto bersama teman-teman dengan latar belakang perkampungan Dusun Butuh/Ammar Mahir Hilmi

Perjalanan Pulang

Keluar dari area parkiran, oleh petugas setempat kami diarahkan mengambil jalur lain untuk turun. Demi keselamatan, mengingat jalan di kawasan ini cukup curam dan beberapa titik tidaklah mulus. Begitu pun saat keluar dari desa wisata. Kami memutuskan melalui rute berbeda, yakni jalan raya yang tembus ke kawasan Candi Borobudur. Alasannya sederhana, karena saya pribadi sudah cukup lama tidak melalui area yang telah menjadi prioritas pariwisata nasional tersebut.

Benar saja. Kawasan Candi Borobudur makin cantik dengan berbagai pernak-pernik. Menambah kesan kuat sebagai objek prioritas pariwisata nasional. Jalanan mulus dan lampu-lampu khas akan kita temukan sepanjang rute ini. 

Sempat beristirahat sebentar di salah satu masjid, kami pun lanjut memacu motor menuju Yogyakarta. Sekitar pukul lima sore kami tiba kembali di Kota Jogja, lalu mengantar Eka dan Nurul kembali ke kos mereka. Saya dan Irwan pun berpamitan sekaligus berterima kasih atas waktunya hari ini.

Selama dua hari mengendarai motor, menuju dua dataran tinggi di dua provinsi berbeda, serta menjadi tour guide untuk dua teman asal Subang jelas menguras tenaga. Namun, semua itu terbayarkan dari kesan dan cerita perjalanan yang kami dapatkan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Jogja ke Nepal Van Java appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-jogja-ke-nepal-van-java/feed/ 0 40505
Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour https://telusuri.id/bersepeda-telusur-borobudur-bersama-go4tour/ https://telusuri.id/bersepeda-telusur-borobudur-bersama-go4tour/#respond Sun, 23 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39359 Cuaca bersahabat mengiringi kegiatan kolaborasi TelusuRI bersama Go4Tour dalam Telusur Borobudur: Pedal Kebaikan untuk Bumi Lestari (9/7/2023). Melecut semangat baru setelah beberapa hari sebelumnya langit Magelang kerap kelabu dan menurunkan hujan. Selama hampir setengah hari,...

The post Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour appeared first on TelusuRI.

]]>
Cuaca bersahabat mengiringi kegiatan kolaborasi TelusuRI bersama Go4Tour dalam Telusur Borobudur: Pedal Kebaikan untuk Bumi Lestari (9/7/2023). Melecut semangat baru setelah beberapa hari sebelumnya langit Magelang kerap kelabu dan menurunkan hujan.

Selama hampir setengah hari, tur ini mengajak peserta bersepeda menelusuri perdesaan di kawasan Borobudur. Dengan rute sepanjang 13 kilometer, terdapat kurang lebih enam titik pemberhentian untuk mengeksplorasi aktivitas lestari, seperti mengonsumsi produk lokal, membersihkan lingkungan, hingga edukasi pengelolaan sampah rumah tangga.

Dipandu oleh Amir dari Go4Tour, peserta berkumpul di halaman Joglo Cafe Borobudur pada pukul 7.30 WIB. Pemandu lokal asli dari Karangrejo, Borobudur, itu mengajak peserta melakukan pemanasan dan berdoa bersama. Setelah itu mengambil sepeda masing-masing yang tersedia di serambi rumah persewaan sepeda milik Pak Pramono, bergegas meluncur ke destinasi pertama dan berikutnya.

1. Sesi Hening dan Clean Up di Candi Pawon

  • Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour
  • Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour
  • Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour

Candi Pawon menjadi lokasi pemberhentian pertama yang hanya berjarak 350 meter ke arah timur dari titik kumpul. Selain mendengar cerita tentang sejarah Candi Pawon beserta relief Kinara dan Kinari yang terkenal, ada dua kegiatan lainnya yang peserta lakukan di tempat ini, yaitu sesi hening dan clean up.

Melalui sesi hening, Amir meminta peserta untuk memejamkan mata, berkontemplasi, serta menciptakan pikiran yang positif. Sementara dalam aksi clean up, peserta gotong royong memungut sampah anorganik yang terlihat berserakan di sekitar Candi Pawon. Peserta mengumpulkan sampah-sampah tersebut, seperti plastik, puntung rokok, hingga minuman kemasan ke dalam trashbag hijau yang telah panitia sediakan.

2. Desa Wisata Wanurejo

Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour
Amir (kiri) mengajak peserta berhenti sejenak di perkampungan Desa Wanurejo dan melakukan aksi clean up/Deta Widyananda

Tidak jauh dari Candi Pawon, sekitar 200 meter, peserta kembali berhenti di tengah perkampungan. Amir sedikit menjelaskan seluk-beluk Desa Wanurejo.

Sebagai salah satu desa wisata di Kecamatan Borobudur, Wanurejo memiliki sejumlah daya tarik dan fasilitas wisata yang cukup memadai. Banyak penginapan dengan beragam kelas, mulai dari homestay hingga hotel. Peserta juga menyempatkan diri mengambil sampah-sampah anorganik yang terlihat di pinggir jalan.

3. Menikmati Pemandangan dan Clean Up di Sawah Mandala

  • Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour
  • Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour

Sawah Mandala adalah istilah yang belakangan populer menyebut kawasan persawahan luas di Desa Wanurejo ini. Lanskap alam yang memukau, terdiri dari panorama Pegunungan Menoreh, area pertanian dengan tanaman padi dan aneka sayur yang menghijau, serta jalan cor seukuran mobil membelah di tengah-tengahnya. Jalur ini kerap viral di media sosial, karena menjadi jalur wisata untuk jalan kaki, bersepeda, maupun menggunakan mobil klasik VW. Selain menikmati pemandangan, peserta kembali melanjutkan aksi bersih-bersih sampah yang cukup banyak terlihat.

Menurut Amir, penyebutan “Mandala” merujuk pada Candi Borobudur yang terlihat di kejauhan dari sawah ini. Mandala merupakan sebuah sistem atau falsafah kosmologi yang terinterpretasi dalam bangunan candi yang simetris, memiliki tingkatan-tingkatan spiritual, dan terpatri dalam kehidupan masyarakatnya.

4. Jamur Borobudur

  • Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour
  • Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour

Destinasi keempat yang dituju adalah Jamur Borobudur. Puput Setyoko adalah pendiri dan pemilik tempat budidaya jamur yang kini juga menjadi tempat wisata tersebut. Dalam tur singkat itu, ia menjelaskan tentang budidaya jamur hulu ke hilir kepada peserta bersepeda Telusur Borobudur.

Menurut Puput, sebagian besar omzet yang ia dapat berasal dari penjualan oleh-oleh kuliner jamur. Sisanya tertopang dari pemasaran bahan baku dan baglog (media tanam) jamur. Di akhir sesi peserta sempat mencicipi aneka olahan jamur, seperti keripik jamur kuping dan tiram, maupun dimsum jamur.

5. Edukasi Pengelolaan Sampah di TPS 3R Desa Tuksongo

  • Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour
  • Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour

Sampah-sampah yang telah peserta kumpulkan selanjutnya diserahkan ke Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, dan Recycle (TPS 3R) Wisma Karya Gan Ji Ro, Desa Tuksongo, Borobudur. Peraih juara pertama Lomba TPS3R tingkat Kabupaten Magelang Tahun 2022 itu memang memiliki fasilitas yang makin memadai setelah mendapat bantuan dari Kementerian PUPR. Baik dalam mengelola sampah maupun mendanai kegiatan operasionalnya.

Peserta juga mendapat penjelasan edukatif dari pengelola tentang kiprah dan kinerja TPS tersebut. Bu Zuni, bendahara TPS 3R Wisma Karya Gan Ji Ro, mengungkapkan bahwa pihaknya mengupayakan agar tidak ada limbah yang terbuang sia-sia. Masing-masing jenis sampah, baik organik maupun anorganik, memiliki potensi ekonomi tersendiri. Tantangan terbesar ke depan adalah mengedukasi warga agar mau memilah sampah sendiri dari rumah, serta membatasi penggunaan sampah anorganik.

6. Warung Kopi-Kopi Borobudur

Tur bersepeda antara TelusuRI dan Go4Tour berakhir tepat di jam makan siang. Warung Kopi-Kopi Borobudur menjadi lokasi penutup Telusur Borobudur kali ini. Menu sederhana ala ndeso, seperti nasi, sayur, ayam goreng, sambal, dan dipungkasi teh atau kopi panas lebih dari cukup mengisi ulang energi setelah setengah hari bersepeda.

Usai makan siang, peserta bersama-sama kembali ke titik kumpul dengan fasilitas penjemputan mobil pick up dari Pak Pramono.

Tertarik untuk gabung tur bersepeda Telusur Borobudur di sesi berikutnya bersama TelusuRI dan Go4Tour? Pantau dan ikuti terus informasi terbaru di media sosial TelusuRI!


Acara tur bersepeda Telusur Borobudur: Pedal Kebaikan untuk Bumi Lestari merupakan kolaborasi antara TelusuRI dan Go4Tour


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bersepeda-telusur-borobudur-bersama-go4tour/feed/ 0 39359