majapahit Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/majapahit/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 20 Mar 2024 05:04:16 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 majapahit Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/majapahit/ 32 32 135956295 Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1) https://telusuri.id/serpihan-cerita-api-abadi-mrapen-dari-masa-ke-masa-1/ https://telusuri.id/serpihan-cerita-api-abadi-mrapen-dari-masa-ke-masa-1/#respond Tue, 19 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41418 Api abadi Mrapen adalah sebuah objek wisata yang berada di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Tepatnya di Desa Manggarmas, Kecamatan Godong. Lokasinya sangat strategis karena berada di pinggir Jalan Raya Purwodadi—Semarang, hanya masuk sekitar 100 meter....

The post Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Api abadi Mrapen adalah sebuah objek wisata yang berada di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Tepatnya di Desa Manggarmas, Kecamatan Godong. Lokasinya sangat strategis karena berada di pinggir Jalan Raya Purwodadi—Semarang, hanya masuk sekitar 100 meter.

Objek wisata ini pernah menjadi primadona—setidaknya destinasi wisata kebanggaan masyarakat Grobogan—selain Bledug Kuwu. Tahun 1980-an atau 1990-an, api abadi Mrapen masih banyak dikunjungi wisatawan.

Bahkan hingga tahun 2000-an, objek wisata tersebut masih banyak dikunjungi. Namun, seiring waktu pamor api abadi Mrapen semakin lama semakin meredup. Pada 2012 Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah mengambil alih pengelolaannya. Pemprov membeli lahannya dari kepemilikan pribadi, kemudian dibangun menjadi lebih “wah” dan dilengkapi Gelanggang Olahraga (GOR).

Kendati demikian, hal itu ternyata tidak serta-merta bisa mendongkrak pamornya. Apalagi sejak pagebluk COVID-19 melanda dunia. Pamor dan tingkat kunjungan pun kian menurun.

Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1)
Pengunjung mendokumentasikan lokasi api abadi Mrapen/Badiatul Muchlisin Asti

Fenomena Geologi

Api abadi Mrapen sendiri adalah sebuah objek wisata yang berbasis fenomena geologi. Di dalamnya terdapat tiga daya tarik, yaitu api abadi Mrapen (objek utama), Sendang Dudo, dan Batu Bobot. 

Api abadi Mrapen merupakan api alam yang menyala di atas tanah dan timbul karena adanya gas yang keluar dari dalam tanah. Pusat semburan gas memiliki diameter sekitar 1,5 meter. Meski diberi nama api abadi, tetapi api ini sebenarnya bisa padam. Misalnya, bila terjadi hujan lebat yang disertai angin kencang. Namun, jika api mati, api bisa dihidupkan kembali dengan cara menyulutnya menggunakan korek api. Sebuah data menunjukkan, dulu, pijaran api abadi Mrapen tergolong besar. Pada 1992 intensitas debit gasnya pernah mengecil, tetapi tidak sampai membuat padam. 

Pada September 2020, untuk pertama kalinya dalam sejarah, api abadi Mrapen sempat padam total akibat eksploitasi gas di sekitarnya oleh warga. Namun, akhirnya api abadi berhasil dihidupkan kembali pada April 2021.

Kemudian Sendang Dudo, sebuah telaga, airnya keruh dan berwarna kekuning-kuningan serta bergelembung. Seperti kondisi air yang sedang mendidih, tetapi airnya tidak panas. Gelembung-gelembung udara itu berasal dari gas yang keluar dari tanah. Letupan gas itu akan menyala bila terkena pijaran api, sehingga dimungkinkan gas tersebut adalah gas yang ada pada api abadi Mrapen.

Dalam buku Menyingkap Peninggalan Sunan Kalijaga di Mrapen yang diterbitkan oleh Tourist Information Center (TIC) Provinsi Jawa Tengah, dari hasil penelitian di laboratorium ditemukan bahwa air Sendang Dudo banyak mengandung mineral, mulai dari kalsium, besi, hingga magnesium. Oleh karena itu air Sendang Dudo kerap digunakan untuk mengobati penyakit kulit, seperti gatal-gatal dan eksim. 

Adapun Batu Bobot, menurut cerita dulunya adalah umpak atau landasan tiang bangunan Kerajaan Majapahit yang hendak dibawa ke Kesultanan Demak. Namun, Sunan Kalijaga dan rombongan meninggalkannya karena berat dan menghambat perjalanan. Batu ini kemudian digunakan Empu Supo sebagai paron atau landasan untuk membuat keris. Berat batu bobot kurang lebih 20 kilogram.

  • Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1)
  • Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1)

Legenda Terjadinya Api Abadi Mrapen

Cerita asal-usul terjadinya api abadi Mrapen yang berkembang di masyarakat selama ini lebih bersifat legenda. Dalam perkembangannya, kisah genealogis yang seharusnya bersifat faktual (fakta historis) itu bercampur dengan pelbagai mitos. Keberadaan api abadi Mrapen sendiri dikaitkan dengan perjalanan pulang rombongan Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga setelah dari Kerajaan Majapahit.

Menurut cerita, hikayat asal mula api abadi Mrapen terjadi pada masa akhir Kerajaan Majapahit. Sebagai kerajaan penakluk—banyak sejarawan yang menolak narasi yang menyebutkan bahwa Kesultanan Demak pernah melakukan serangan dalam rangka menaklukkan Kerajaan Majapahit—Kesultanan Demak di bawah Sultan Fattah, raja pertamanya, bermaksud memindahkan benda-benda berharga milik Kerajaan Majapahit. Pemindahan itu dilakukan oleh rombongan yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga.

Ketika rombongan hendak sampai Demak, mereka singgah sejenak untuk beristirahat di sebuah tempat. Saat mereka hendak memasak untuk kepentingan konsumsi rombongan yang sudah mulai lapar, mereka tidak mendapati air dan api. Sebab tempat mereka singgah memang jauh dari permukiman warga.  

Menyadari hal itu, Sunan Kalijaga lalu berdoa dan menancapkan tongkatnya ke tanah. Ketika dicabut, keluarlah api yang menyala terus-menerus. Sunan Kalijaga kemudian berjalan agak ke timur dan kembali menancapkan tongkatnya ke tanah. Ketika tongkat dicabut, menyemburlah air yang sangat jernih.

Para pengikut Sunan Kalijaga pun sangat senang melihat hal itu. Mereka dapat memanfaatkan api dan air itu untuk memasak dan mencukupi kebutuhan minum mereka. Titik menyemburnya api itulah yang kelak dikenal sebagai api abadi Mrapen, sedangkan tempat keluarnya air kelak dikenal dengan nama Sendang Dudo.

Setelah dirasa cukup beristirahat melepas penat, makan, minum, dan salat, mereka meneruskan perjalanan menuju Demak. Baru akan berangkat, salah seorang anggota rombongan yang bertugas membawa batu umpak atau landasan tiang bangunan Kerajaan Majapahit mengeluh karena benda itu terlalu berat. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak kuat membawanya.

Mendengar keluhan itu, Sunan Kalijaga memerintahkan untuk meninggalkan saja benda tersebut. Benda itulah yang kelak dikenal dengan nama Batu Bobot. Setelah meninggalkan batu itu, rombongan kemudian meninggalkan tempat tersebut dan segera bertolak ke Demak. 

Beberapa waktu kemudian, Sunan Kalijaga meminta Empu Supo—ahli pembuat keris pusaka pada masa itu—untuk membuatkan sebilah keris di sebuah tempat yang sudah tersedia api untuk membakar, batu umpak sebagai landasan menempa, dan air yang digunakan menyepuh keris. Berdasarkan petunjuk tersebut, berangkatlah Empu Supo sembari membawa logam sebagai bahan membuat keris ke tempat yang dimaksud oleh Sunan Kalijaga.

Di tempat itulah, Empu Supo kemudian membuat keris yang diberi nama keris Kyai Sengkelat. Keris ini unik, karena menurut cerita, dalam proses pembuatannya Empu Supo tidak menggunakan palu sebagai alat untuk menempa logam, tetapi dengan tekanan jari-jarinya untuk membentuk keluk keris tersebut.

Keris yang dibuat kemudian disepuh atau dicelupkan ke dalam sendang. Air sendang yang semula sangat jernih seketika berubah menjadi keruh kekuning-kuningan. Airnya juga bergolak atau menimbulkan gelembung menyerupai air yang sedang mendidih. 

Dalam perkembangannya, Empu Supo lalu diberi tugas khusus oleh Sultan Demak untuk membuat senjata-senjata yang digunakan untuk kepentingan militer Kesultanan Demak. Tempat itu kemudian dikenal dengan nama “Mrapen” dan menjadi pusat pembuatan senjata kerajaan. Mrapen sendiri berasal dari kata “prapen” yang berarti perapian.

Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1)
Warung-warung yang sepi pengunjung di kompleks objek wisata api abadi Mrapen/Badiatul Muchlisin Asti

Api Abadi Mrapen di Masa Sultan Trenggono

Menurut sejarah, ditemukan atau munculnya api abadi Mrapen oleh Sunan Kalijaga terjadi saat Kesultanan Demak berada di bawah kepemimpinan Sultan Fattah atau Raden Patah. Setelah Raden Patah wafat pada 1518 M, takhta Kesultanan Demak beralih ke putranya yang bernama Pati Yunus. 

Pati Yunus menjabat sebagai Sultan Demak tidak lama, hanya sekitar tiga tahun. Sejak 1518 hingga 1521 M. Pati Yunus wafat dalam pertempuran melawan Portugis di Malaka pada 1521. Setelah Pati Yunus wafat, takhta Kesultanan Demak beralih ke Sultan Trenggono, putra Raden Fattah dan adik Pati Yunus. 

Pada masa kekuasaan Sultan Trenggono itulah api abadi Mrapen mendapatkan perhatian khusus. Utamanya karena tempat itu telah ditetapkan sebagai pusat pembuatan senjata pusaka kerajaan. Maka Sultan Trenggono menugaskan Ki Demang Singodiro, seorang demang—semacam jabatan lurah yang saat itu memimpin sekitar tiga desa—untuk mengelola dan menjaga situs peninggalan Sunan Kalijaga tersebut.

Selain diberi tugas menjaga dan merawat situs peninggalan Sunan Kalijaga, kesultanan juga memberikan kawasan Mrapen sebagai tanah perdikan kepada Ki Demang Singodirono. Setelah Ki Demang Singodirono wafat, tongkat estafet juru pelihara dilanjutkan oleh keturunannya.

Berdasarkan buku Menyingkap Peninggalan Sunan Kalijaga di Mrapen, silsilah juru kunci atau juru pelihara yang bertugas mengelola Mrapen adalah sebagai berikut:

  1. Ki Demang Singodirono
  2. Ki Demang Singosemito
  3. Ki Demang Kerto Semito
  4. Ki Demang Kerto Leksono
  5. Ki Lurah Kromoharjo (wafat 1942).
  6. Nyi Parminah (1946—2000)
  7. Mulai tahun 2000—2012 sebagai juru kunci dijalankan oleh tujuh anak Nyi Parminah secara bergiliran
  8. Selanjutnya sejak 2012 pengelolaannya diambil alih oleh Pemprov Jawa Tengah melalui dinas pemuda dan olahraga dengan cara membeli lahan situs api abadi Mrapen

Annas Rofiqi (31), petugas objek wisata api abadi Mrapen saat ini, menambahkan informasi bahwa sejak Nyi Parminah meninggal dunia, pengelolaan api abadi Mrapen sempat dipegang oleh suaminya yang bernama Mbah Supradi. Setelah Mbah Supradi wafat pada 2006, pengelolaan kawasan api abadi Mrapen dilanjutkan oleh anak-anaknya.

Annas Rofiqi sendiri yang saat ini menjadi petugas resmi Dinpora Jawa Tengah merupakan cucu Nyi Parminah. Putra dari anak bungsu mendiang yang bernama Rubiyatno.

(Bersambung)


Referensi

Buku TIC Provinsi Jawa Tengah. Menyingkap Peninggalan Sunan Kalijaga di Mrapen. Semarang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/serpihan-cerita-api-abadi-mrapen-dari-masa-ke-masa-1/feed/ 0 41418
Menapaki Bandar Grissee dalam Lintasan Zaman https://telusuri.id/menapaki-bandar-grissee-dalam-lintasan-zaman/ https://telusuri.id/menapaki-bandar-grissee-dalam-lintasan-zaman/#respond Sun, 14 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40925 Saya menghabiskan perjalanan dari Jember menuju Gresik sembari bertanya-tanya, sebetulnya apa yang saya cari sampai-sampai perlu membaca masa silam di sana? Apalagi tidak ada kereta langsung ke Gresik. Saya mesti turun di Stasiun Gubeng, Surabaya...

The post Menapaki Bandar Grissee dalam Lintasan Zaman appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya menghabiskan perjalanan dari Jember menuju Gresik sembari bertanya-tanya, sebetulnya apa yang saya cari sampai-sampai perlu membaca masa silam di sana? Apalagi tidak ada kereta langsung ke Gresik. Saya mesti turun di Stasiun Gubeng, Surabaya lalu menaiki kereta komuter menuju Stasiun Indro. Di sepanjang perjalanan itulah, pertanyaan itu bergerak makin liar di kepala. 

Setahu saya, Gresik adalah tanah para wali lantaran ada beberapa makam, seperti Sunan Maulana Malik Ibrahim dan makam Sunan Giri. Selain dikenal sebagai kota islami, saya juga mengenalnya sebagai kota industri. Namun, sebatas mengenal tanpa bersinggungan dalam bentuk apa pun. Karenanya, residensi saya di Gresik yang diselenggarakan oleh Yayasan Gang Sebelah, bekerja sama dengan Badan Bahasa Kemdikbud pada tanggal 9 November 2023 silam, adalah perjalanan yang sarat akan tanda tanya, “Sejauh apa cerita yang akan saya peroleh dalam waktu singkat guna dituangkan ke dalam bentuk cerpen [cerita pendek]?”

Agaknya, pertanyaan ini berhasil mengusik saya selama perjalanan. Sampai akhirnya saat menginjakkan kaki di bentangan rel Stasiun Indro, saya disambut aroma yang tak biasa dihirup. Aroma ini menguar memenuhi langit yang begitu lapang. Sekilas saya menengok ke seberang. Gedung-gedung khas pabrik industri tampak menjulang.

Menapaki Bandar Grissee dalam Lintasan Zaman
Stasiun Indro di antara megahnya Pabrik Wilmar/Nurillah Achmad

“Itu Pabrik Wilmar, Mbak,” kata seorang staf Yayasan Gang Sebelah yang seakan memahami kebingungan saya.

Sembari mengemudikan mobil, ia menyebut beragam pabrik industri yang tersebar di Gresik. Beberapa nama yang disebutkan sangat tidak asing di telinga. Pelan-pelan saya tersadar jika Gresik bukan sebatas tanah para wali atau kota industri. Saya tahu, kalau Gresik tak ubahnya rahim perempuan. Ia bukan sekadar penanda biologis, melainkan juga memberi kehidupan terhadap apa yang tengah dikandung. Sebagaimana anak ayam yang lahir dari satu induk, tetapi berbeda warna bulu. Ada yang kelabu, hitam atau putih. Maka, seperti itu pula rahim Kota Gresik.

Kadangkala ia mengandung bayi mungil dan mengasihi ibunya saat dewasa. Kadangkala ia mengandung janin rupawan, tetapi saat lahir justru tumbuh seperti Malin Kundang dan Sangkuriang. Atau secara tak sadar Gresik menjadi korban kelicikan burung kedasih. Burung ini dikenal tak mau merawat anaknya. Jadi, dia akan mencari sarang burung lain untuk menitipkan telur-telurnya sendiri. 

Sialnya, telur burung kedasih memiliki waktu peram lebih singkat. Ketika menetas lebih dahulu, mereka membuang telur di dalam sarang yang merupakan anak kandung si ibu angkat demi menguasai makanan dari si ibu. Setidaknya, begitulah gambaran Gresik jika diibaratkan rahim perempuan. Namun, rahim itu tak pernah kering. Ia terus bersetubuh dengan waktu. Bercumbu dengan nafsu. Bergelinjang dengan lesatan peradaban. Dan menyusuinya dengan lautan yang makin hari mengikis kenangan.

Laut dalam Sudut Pandang Zaman Sekarang

Tajuk residensi kali ini adalah Mengalami Gresik Kota Lama. Dan untuk mencapai tujuan ini, saya kira kita memang perlu membaca laut di sana. Gresik dan laut seperti sepasang kekasih. Keduanya tak bisa dipisah. Bahkan jika terpaksa terpisah atas nama keadaan, maka akan lahir kisah Layla-Majnun; Romeo dan Juliet karangan Shakespeare; kisah cinta Hayati dan Zainuddin karya Buya Hamka, atau apa pun yang bertalian dengan kisah cinta getir nan menyakitkan.

Maka tak heran, pada hari kedua pihak Yayasan Gang Sebelah membawa 18 peserta residensi yang berasal dari wilayah nusantara menuju Kelurahan Lumpur. Di sini, saya memang melihat ketenangan ombak laut Gresik, atau memandang para nelayan yang baru pulang melaut dan menurunkan ikan-ikan. Senyum merekah saat mereka memanggul hasil tangkapan seakan pertanda kalau semuanya baik-baik saja.

Akan tetapi, saat saya mendekati Balai Gede, saya menemukan rongga dada yang menganga. Di depan saya, ada tiga kapal tongkang berukuran besar. Salah satu sudut kapal tampak bendera Vietnam.

“Ini semua kapal asing. Biasanya kapal curah ini bawa bahan pupuk untuk pabrik Petrokimia,” kata Pak Darodjib seraya menunjuk pabrik yang dimaksud.

Menapaki Bandar Grissee dalam Lintasan Zaman
Pak Darodjib saat menceritakan masa lalunya/Yayasan Gang Sebelah

Saya kembali termangu mengingat jarak pandang antara tempat saya berdiri dan kapal-kapal ini amat dekat. Apalagi lelaki yang tak lulus SD ini membuka lembaran lama hidupnya saat ia menjadi Anak Buah Kapal (ABK) di kapal asing tersebut.

Senyumnya merekah saat menyodorkan paspor. Sebidang dada itu kembali tegap manakala ia menceritakan perjalanannya berkeliling dari satu negara ke negara lainnya. Mulai dari Israel, Rusia, hingga Korea, semua stempel di paspor itu masih ia simpan sampai sekarang.

“Tapi, Nak,” katanya seusai mengenang memori terindah masa muda. “Saya sudah mengakhiri perjalanan mengarungi dunia dengan pergi umrah ke Makkah. Saya sudah cukup dengan apa-apa yang saya lakukan pada masa muda. Sekarang saya memilih bekerja di sini saja. Meski sebetulnya, tempat kita duduk sekarang ini, dulunya adalah lautan tempat nelayan mencari ikan.”

Saya tak menduga pernyataan Pak Darodjib. Dan saya jauh lebih tidak menyangka, lantaran nelayan harus berlayar jauh sampai ke utara Madura demi mencari ikan padahal harga solar terus meninggi. Katanya, “Dahulu saat pabrik tidak seluas sekarang dan belum ada reklamasi, di tempat kita duduk ini banyak ikan. Tapi, sekarang nelayan harus pergi jauh ke Bawean.”

Saya memahami kegelisahan Pak Darodjib, mengingat di atas Balai Gede ini, saya memang tidak melihat pantai sebagaimana batasan antara laut dan daratan. Yang saya dapatkan justru pemandangan kapal asing yang tengah menurunkan muatan.

  • Menapaki Bandar Grissee dalam Lintasan Zaman
  • Menapaki Bandar Grissee dalam Lintasan Zaman

Laut Sebagai Gerbang Perlintasan Budaya Masa Silam

Apa-apa yang disampaikan Pak Darodjib membuat saya ngilu. Tentu saja apa yang saya rasakan ini bukan tanpa alasan, sebab Gresik sejatinya memiliki sejarah panjang dalam melintasi zaman. Ia bukan sekadar kota tanpa nama. Jauh dari berdirinya Pabrik Petrokimia atau Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) yang menghiasi pesisir utara, Gresik tak pernah jauh dari ingar-bingar pelabuhan lantaran memiliki Nyai Ageng Pinatih yang menjadi simbol utama.

Bila ditelisik lebih jauh, ada perbedaan redaksi terkait kisah beliau—Nyai Ageng Pinatih. Ada yang menyebutnya sebagai janda, belum menikah, atau sudah bersuami. Begitu pula hubungannya dengan Sunan Giri. Konon, ada yang menyebut kalau Sunan Giri ditemukan di laut sampai akhirnya ditemukan oleh Nyai Ageng Pinatih, atau ada yang sengaja memberikan Sunan Giri kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diasuh. 

Kendati begitu, perbedaan semacam ini dalam dunia sejarah adalah hal lumrah. Namun, dari literatur yang ada semuanya sepakat dengan menyebut Nyai Ageng Pinatih sebagai syahbandar perempuan pertama yang diakui Majapahit. Tentu saja pengakuan ini adalah bukti betapa kuatnya pengaruh Nyai Ageng Pinatih pada masa itu, mengingat tidak lazim seorang perempuan mengisi posisi syahbandar.

Maka, tak heran jika laut bagi Gresik adalah gerbang persilangan budaya. Ini bisa dilihat dari bukti-bukti yang masih berdiri sampai sekarang. Saat pihak Yayasan Gang Sebelah membawa para peserta ke makam Nyai Ageng Pinatih di Kebungson, lalu menuju Kelenteng Kim Hin Kiong, salah satu kelenteng tertua di Jawa Timur karena sudah ada sejak zaman Majapahit, atau kantor pos yang merupakan bekas asrama pegawai Vereenigde Nederlandsche Geoctroyeerde Oostindische Compagnie (VOC). Ini hanya sedikit bukti adanya percampuran budaya pada masa silam.

  • Menapaki Bandar Grissee dalam Lintasan Zaman
  • Menapaki Bandar Grissee dalam Lintasan Zaman

Bahkan tak sampai di sini. Pihak yayasan membawa kami menelusuri kompleks makam Kanjeng Raden Tumenggung Poesponegoro, bupati pertama Gresik dan letaknya bersebelahan dengan makam Sunan Maulana Malik Ibrahim. Di kompleks makam ini, saya melihat Surya Majapahit pada bangunan di dalamnya. Simbol ini kerap kali disebut sebagai lambang kerajaan Majapahit. Bedanya, apa yang saya lihat bukan sekadar delapan arah dengan semburat bintang, melainkan ada lafal Arab sebagai penanda masuknya era Islam.

Sungguh, sebuah pertalian budaya yang amat lengkap dan panjang di mana lautan berfungsi sebagai gerbang. Maka, tak salah jika menyebut Gresik dan laut adalah sepasang kekasih yang tak terpisahkan. Meski pada akhirnya, Gresik dan laut adalah kisah getir seperti apa yang Pak Darodjib sampaikan.

Harus saya akui, perjalanan singkat saya selama residensi di Gresik telah menambah kekayaan khazanah pandangan saya dalam menikmati sebuah kota. Dengan segala seluk beluk ruangannya, Gresik berhasil menyuguhkan dirinya sendiri sebagai kota lama yang sarat akan ragam budaya. Bagi saya, Gresik tidak lagi sebatas tanah wali atau kota industri. Ia telah menjelma sebagai kota yang jauh dari ingar-bingar penolakan reklamasi atau mungkin terdapat penolakan, tetapi tidak seriuh reklamasi Teluk Benoa, Bali.

“Dulu di depan ini, Nak, di seberang bantaran rel yang kamu lihat ini adalah laut. Tapi, kamu lihat sekarang. Tambah luas bahkan tidak terlihat lagi di mana pinggir laut itu,” ujar seorang ibu pedagang pentol sembari menuangkan saus dan kecap.

Ada aroma getir yang saya tangkap dari bibir ibu itu. Sembari menikmati pentol Gresik di sebelah Stasiun Indro saat menunggu kereta commuter line tiba, saya mendengarkan cerita. Dahulu ibu ini sering bermain di pinggir laut, tetapi kini hanya tinggal kenangan di dalam benaknya.

Ah, sudahlah. Saya tidak mau meromantisisme adegan menggetirkan semacam ini. Agak sesak menuliskannya. Cukuplah apa pun yang saya lihat dan dengar menambah kekayaan batin saya dalam memandang Gresik atau Bandar Grissee di pesisir utara Jawa Timur.

Foto sampul:
Tongkang kapal asing yang sedang menurunkan muatan/Yayasan Gang Sebelah


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menapaki Bandar Grissee dalam Lintasan Zaman appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menapaki-bandar-grissee-dalam-lintasan-zaman/feed/ 0 40925