makam belanda Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/makam-belanda/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 15 Nov 2024 17:03:40 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 makam belanda Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/makam-belanda/ 32 32 135956295 Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali https://telusuri.id/jejak-makam-belanda-tersisa-di-kampung-recosari-boyolali/ https://telusuri.id/jejak-makam-belanda-tersisa-di-kampung-recosari-boyolali/#respond Sat, 16 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43050 Saya berkesempatan pulang ke tanah kelahiran di Kabupaten Boyolali. Bagi saya, kurang rasanya kalau tidak menjelajah dan berbagi cerita tentang jejak makam Belanda atau Europese Begraafplaats di Kampung Recosari, Kelurahan Banaran, Kecamatan Boyolali. Kampung Recosari...

The post Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya berkesempatan pulang ke tanah kelahiran di Kabupaten Boyolali. Bagi saya, kurang rasanya kalau tidak menjelajah dan berbagi cerita tentang jejak makam Belanda atau Europese Begraafplaats di Kampung Recosari, Kelurahan Banaran, Kecamatan Boyolali.

Kampung Recosari berada di persimpangan Jalan Pandanaran, yang notabene merupakan jalan utama antara Semarang–Surakarta, serta Jalan Kutilang. Meski di pinggir jalan protokol, keberadaan Kampung Recosari sedikit lebih menjorok ke dalam dibanding jajaran ruko di depannya.

Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali
Gapura bekas kompleks makam Belanda yang kini menjadi Kampung Recosari/Ibnu Rustamadji

Patokan gamblang Kampung Recosari adalah gapura berwarna hijau pupus berinskripsi “Memento Mori 1939”. Gapura ini sejatinya bukan gerbang masuk perkampungan, melainkan pintu masuk Europese Begraafplaats atau makam Eropa Belanda. Makna inskripsi tersebut adalah “Ingatlah pada Kematian”. Selain di Recosari, ada makam Belanda lainnya di Boyolali, seperti kompleks makam keluarga milik Clara Hortense Juch di tengah kota dan Marius van Braam di Kampung Pambraman.

Sebelum menjelajah lebih jauh, saya sempat berpikir mengenai penamaan Kampung Recosari. Apakah “Recosari” diserap dari kata “reco” atau “arca” dalam bahasa Jawa, mengingat dahulu di dalam kompleks makam terdapat puluhan monumen kematian yang mungkin dianggap warga sebagai arca?

Dugaan saya karena munculnya Kampung Recosari yang bertepatan dengan pembongkaran seluruh makam pada medio 1970. Alasannya tidak lain dampak  perkembangan kota dan penataan kampung. Setelah pembongkaran, beberapa nisan dipindahkan ke kompleks TPU Sonolayu. Sisanya tidak diketahui rimbanya.

Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali
Jalan menuju bekas kompleks makam Belanda di Recosari/Ibnu Rustamadji

Riwayat Makam Belanda Recosari dan Wabah Pes

Saya menjelajahi kampung sekalian bersepeda pagi. Layaknya kampung pada umumnya, rumah warga berjajar di sepanjang jalan menjadi pemandangan setiap hari. Hanya saja, tidak ada sesepuh warga setempat yang bisa saya jumpai waktu itu. 

Alhasil, saya hanya bisa memotret kondisi kampung dan lokasi yang dahulu adalah tanah pemakaman—kini menjadi lahan kosong. Hanya ada satu ruas jalan utama di dalam kampung, sisanya jalan buntu dibatasi sungai. Jelas jika sungai dan pintu gapura di sisi barat membatasi luas wilayah kompleks makam.

Kompleks makam yang kini menjadi Kampung Recosari direnovasi sekitar tahun 1939, sebagai akibat peningkatan jumlah warga Belanda di Boyolali. Selain itu juga untuk mengakomodasi makam Belanda yang sudah penuh sesak di tengah kota, yang kini menyisakan makam Clara Hortense Juch dan Carel Simon. 

Di sisi utara kompleks makam Kampung Recosari terdapat kompleks makam Tionghoa yang menghadap ke Selatan. Saat ini hanya menyisakan dua bong atau makam Tionghoa milik sepasang suami istri yang tinggal di Jl. Merbabu, Kampung Singoranon, Boyolali.

Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali
Lokasi bekas pemakaman Belanda yang kini menjadi permukiman padat/Ibnu Rustamadji

Pemerintah kolonial Belanda di Boyolali kala itu, dalam membuka tanah pemakaman, sudah melalui beberapa pertimbangan, antara lain harus ada di pinggiran kota dan tidak boleh terlalu dekat dengan permukiman. Dasarnya adalah pertimbangan kesehatan dan kenyamanan warga. Tentu banyak hewan liar bersarang meski pemakaman terlihat mewah dan terawat, sehingga sangat rentan muncul wabah penyakit menular, seperti pes yang disebabkan bakteri Yersinia pestis atau dikenal dengan wabah hitam (Black Death).

Penularan pes berasal dari bangkai tikus yang hidup di sekitar pemakaman dan perkebunan. Tikus hidup di tempat kotor, lalu mati di areal pemukiman dan sangat cepat penyebaran infeksinya. Tak ayal pemerintah memutuskan membangun kompleks makam, seperti di Kampung Recosari Banaran saat ini, sedikit jauh dari permukiman dan pusat kota.

Merujuk informasi dari Hans Boers, kawan saya di Belanda, ditemukan satu laporan tahun 1892 mengenai pemakaman Dr. J.H.D.G. Sanger, seorang dokter umum kelahiran Boyolali yang tinggal di Klaten. Berdasarkan laporan tersebut, diketahui ia wafat tanggal 13 Agustus 1892, pukul 13.00 siang, tetapi baru ditemukan sore hari oleh asistennya.

Ia tidak menderita sakit sebelumnya. Namun, ia ditemukan tewas dengan sepucuk revolver dan surat wasiat di samping jasadnya. Ia murni tewas bunuh diri dengan cara menembak mati, diduga karena depresi. Hal itu diperkuat dalam laporan, meski tidak ditemukan di mana anak dan istrinya.

Malam harinya, jasad sang dokter dibawa ke Boyolali menggunakan kereta jenazah lalu dikubur di makam Eropa Belanda—kini Kampung Recosari—keesokan harinya. Upacara pemakaman sang dokter dilakukan sederhana sesuai permintaan keluarga di Boyolali.

Sayangnya, laporan tersebut tidak menyebut alamat kediaman keluarga. Terlebih tidak ada satu pun monumen atau batu nisan yang tersisa. 

  • Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali
  • Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali

Menemukan Mausoleum Terakhir di Boyolali

Selanjutnya saya menjelajahi bagian utara pemakaman. Makam Ringin, begitu kira-kira namanya. Saat melangkahkan kaki masuk, mata saya langsung tertuju pada dua makam unik di sisi selatan dan tengah. Pucuk dicinta ulam pun tiba; di hadapan saya adalah mausoleum

Hanya saja, keduanya tidak ada plakat batu nisan yang bisa saya identifikasi. Hans mengkonfirmasi itu Memang tiada informasi orang Belanda yang wafat dikebumikan di makam Ringin Kampung Recosari. Ada dugaan plakat dibongkar oleh keluarga untuk dikremasi, atau memang sengaja tidak dipasang.

Pada mausoleum di sebelah selatan, terdapat satu peti mati; sedangkan mausoleum di tengah memiliki dua peti mati. Uniknya kedua mausoleum itu membujur ke utara–selatan selayaknya makam Islam Jawa lain di sekitarnya. Bukaan pintu kedua mausoleum menghadap ke selatan, dengan ekspos batu bata berbentuk setengah lingkaran di bagian bawah. Ada dugaan bentuk tersebut merupakan sejatinya merupakan tempat plakat berada.

Meski begitu, saya merasa puas dan bangga masih bisa ikut menjaga mausoleum terakhir di pusat kota Boyolali. Puas memotret kedua mausoleum tersebut, penjelajahan berlanjut. Saya mencari kediaman peninggalan warga Belanda yang ada di Kampung Recosari.

  • Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali
  • Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali

Menelusuri Wisma Bhayangkari

Setelah berkeliling kampung selama 30 menit, tibalah di tujuan berikutnya, yakni  Wisma Bhayangkari. Gedung tinggi berwarna kekuningan ini terimpit deretan ruko, tepat di tepi Jalan Pandanaran. 

Sebenarnya gedung tersebut cukup menarik perhatian bagi siapa pun yang melintas di depannya. Hanya saja, tidak diketahui siapa pemilik awal Wisma Bhayangkari. Ada dugaan milik tuan tanah antara keluarga Juch, keluarga van Braam, keluarga Rademaker, atau keluarga Dezentje. 

Ketika masuk untuk mengabadikan lebih detail lewat lensa kamera, saya tiba-tiba terpikir kampung lawas Bledog, tempat tinggal keluarga Juch.  Kampung Bledog kemungkinan saat ini menjadi Kampung Ngledok, tepat di timur Kampung Recosari. Kedua kampung ini persis bersebelahan. 

Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali
Tampak depan Wisma Bhayangkari yang sempat menjadi hunian Belanda/Ibnu Rustamadji

Pada abad ke-18 hingga ke-19, sering terjadi salah penulisan nama tempat sehingga dapat dimaklumi. Lokasi gedung Wisma Bhayangkari tepat di depan kompleks makam Belanda (kini gapura Memento Mori Kampung Recosari).

Gedung ini paling megah di antara bangunan lain di sekitarnya, bahkan mungkin satu-satunya di Kampung Recosari. Tampak dari depan saja kemewahan sudah sangat kentara. Begitu menengok ke dalam, semakin mewah dengan ekspos hiasan kelopak bunga di ruang depan.

Hanya ada tiga kamar tidur utama di dalam, sisanya di paviliun timur gedung utama. Saat ini gedung Wisma Bhayangkari dipergunakan sebagai ruang rapat anggota polisi wanita Polres Boyolali. Meski begitu, tidak ada perubahan fisik secara signifikan.

Dari Wisma Bhayangkari, saya putuskan kembali ke rumah melalui jalan antarkampung di sekitar Kampung Recosari. Tujuannya melihat peninggalan lain yang terlewatkan sebelumnya. Beberapa saya temukan, tetapi mayoritas sudah berubah bentuk dan fungsi, menyisakan sedikit keaslian.

Sepanjang jalan kampung yang saya lewati, saya tidak menemukan lagi makam Belanda selain di Kampung Recosari. Kalaupun ada, makam tersebut berbentuk makam pada umumnya, karena beberapa pria Belanda yang tinggal di Boyolali memiliki istri Jawa. Ketika ia wafat, kemudian dimakamkan di pemakaman Islam Jawa sekitar tempat tinggal mereka. Ini lumrah terjadi. Tidak banyak makam keluarga Belanda di Boyolali.

Saya berharap, semoga keberadaan kompleks Europese Begraafplaats, mausoleum, dan Wisma Bhayangkari tetap terjaga di masa mendatang. Melindungi dari perusakan atau vandalisme, sudah termasuk ikut menjaga dan melestarikan warisan budaya. Warisan budaya negara lain yang ada merupakan bukti perkembangan zaman suatu wilayah. Apabila warisan tersebut terawat, tentu penduduk kampung mendapat nilai positif dari masyarakat luar. Hanya waktu dan kita yang bisa menjawab.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-makam-belanda-tersisa-di-kampung-recosari-boyolali/feed/ 0 43050
Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten https://telusuri.id/menguak-kisah-gillavry-dan-windijk-di-kemudo/ https://telusuri.id/menguak-kisah-gillavry-dan-windijk-di-kemudo/#respond Thu, 30 Nov 2023 06:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40151 Sebuah perjalanan membawa saya ke Dukuh Tegalsari, Desa Kemudo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Tujuan saya yakni mencari makam keluarga Belanda, Europeesche Familiegraafplaats Andre-Mac Gillavry. Makam tersebut berada satu kompleks dengan makam Islam Jawa...

The post Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebuah perjalanan membawa saya ke Dukuh Tegalsari, Desa Kemudo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Tujuan saya yakni mencari makam keluarga Belanda, Europeesche Familiegraafplaats Andre-Mac Gillavry. Makam tersebut berada satu kompleks dengan makam Islam Jawa di Pemakaman Umum Kemudo, di sebelah barat Balai Desa Kemudo.

Setelah sekitar 30 menit berkeliling Desa Kemudo, nampak dari kejauhan seorang petani yang sedang berladang. Saya memutuskan mendekat dan menanyakan keberadaan makam. “Pak, mohon maaf mengganggu. Anda paham makam Belanda di Dukuh Tegalsari Kemudo?” begitu sekiranya pertanyaan saya. Dengan ramah, beliau menjawab dan menunjukan arah makam yang saya maksud.

Meski sudah mengikuti petunjuknya, saya tetap saja kebablasan saat memasuki gang di perkampungan. Tapi inilah seni petualang, saya malah bisa bertegur sapa dengan warga yang tinggal di sana.

Entah tidak sengaja atau kebetulan, tanpa disadari, makam keluarga Andre-Mac Gillavry sudah saya lalui sebelumnya. Makam tersebut berada di belakang masjid tempat saya istirahat dan salat.

“Oh ternyata, belakang masjid yang dimaksud si bapak tadi Masjid Al Huda toh. Terus saya harus melompat tembok? Atau ada jalan masuk utama? Ah, bukan. Harus lewat timur,” begitu kira-kira saya gumam ketika pertama kali menemukan lokasi makam. Lalu, tibalah saya di depan pintu gerbang makam keluarga Andre-Mac Gillavry yang berada di sebelah timur Masjid Al Huda.

Jika ingin berziarah ke sini, pengunjung bisa melalui jalan desa samping Kantor Balai Desa Kemudo, ke arah barat. Dari sana, pengunjung bisa langsung menuju makam. Jika mengikuti posisi saya dari Masjid Al Huda, maka harus jalan memutar lebih dahulu untuk tiba di makam. 

  • Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten
  • Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten
  • Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten

Silsilah Keluarga Andre-Mac Gillavry

Kaki saya lalu menapak ke dalam kompleks, dan mata langsung tertuju pada dua nisan berbentuk obelisk di sisi kiri gapura makam. Akhirnya saya berhadapan dengan makam keluarga dari Andre-Mac Gillavry meski kondisinya sudah rusak, bahkan batu nisan dengan inskripsi nama salah satu keluarganya pecah tak beraturan.

Saya bersyukur, tidak semua pecahan nisan hilang. Bahkan masih dapat dirangkai menjadi satu kesatuan utuh. Selain itu, nisan milik Andre-Mac Gillavry dalam kondisi sangat baik. Saya pun mulai menelusuri kisah Andre-Mac Gillavry, “siapa dia dan bagaimana bisa bersemayam di sini?”

Berbekal informasi dari rekan saya yakni Han Boers, begini kira-kira cerita singkatnya.

Andre-Mac Gillavry merupakan anak dari Louise Joseph Andre dan Caroline Wilhelmine Mac Gillavry. Pernikahan orangtuanya digelar di Surakarta pada 8 Mei 1879.

“Andre-Mac Gillavry, wafat saat usianya masih muda. Hanya itu saja catatan mengenainya, tidak lebih. Tetapi kalau mengenai keluarga ada beberapa,” sambungnya.

Hans menambahkan, Andre-Mac Gillavry wafat di Klaten. Ada dugaan bahwa ia tinggal di rumah sang ibu karena ayahnya diketahui lahir di Pasuruan, 20 Januari 1853 dan wafat di Cilacap, 28 November 1916. Sedangkan ibunya, kelahiran Surakarta, 21 Januari 1862 dan wafat Yogyakarta, 28 Agustus 1940. 

Ada dugaan Andre-Mac Gillavry wafat karena kondisi kesehatan menurun setelah terjangkit virus. Jamak terjadi, karena sarana kesehatan kala itu kurang memadai.

Sedang asik mengabadikan monumen kematian Andre-Mac Gillavry, tiba-tiba Hans Boers mengirimkan pesan yang tidak saya duga sebelumnya.

“Ternyata, ia (Andre-Mac Gillavry) hingga wafat belum dibaptis dan belum memiliki nama sendiri,” ungkapnya. “Lantas inskripsi makam beliau ini siapa?” tanya saya seraya memandangi batu nisan.

Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten
Batu nisan milik Andre-Mac Gillavry/Ibnu Rustamadji

Hans kemudian menjelaskan asal mula nama pada batu nisan. Menurutnya, nama Andre-Mac Gillavry merupakan perpaduan dua nama marga orangtua. Andre (diambil dari marga ayah yakni Louise Joseph Andre) dan Mac Gillavry (marga ibu yakni Mac Gillavry).

“Ada yang menarik juga mengenai orangtua, Mas! Louise Joseph Andre, putra dari Louis Andre dan Wilhelmina Maria van Hooy. Sang istri yakni Caroline Wilhelmina Mac Gillavry, putri dari Willem Joan Julius Mac Gillavry dan Wilhelmina Jacoba de Chauvigny de Blot,” tambahnya.

Louise Andre yang notabene kakek Andre-Mac Gillavry, seorang purnawirawan direktur perusahaan perkebunan Boemi Asih di Cilacap. Sedangkan kakek dari pihak ibu yakni Willem Joan Julius Mac Gillavry, merupakan purnawirawan Weeskamer Surabaya pada 1852, Weeskamer Semarang pada 1855, dan terakhir sebagai sekertaris Residen Madura pada 1857. 

Andre-Mac Gillavry wafat pada 10 April 1881, belum dibaptis dan memiliki nama  sendiri. Tak ayal batu nisan hanya sederhana namun mendalam maknanya bagi keluarga yang ditinggalkan. Langkah kaki kemudian bergeser ke sisi barat makam Andre-Mac Gillavry, tepatnya di makam keluarga Windijk.

Nisan yang hancur milik Christiaan Leonard Windijk

Kondisi makam keluarga Windijk rusak cukup parah, bahkan batu nisan dengan inskripsi nama mendiang dalam keadaan hancur menjadi beberapa bagian. Tak banyak hal yang bisa dilakukan untuk menyelamatkannya. Untung saja, beberapa pecahannya jatuh tak jauh sehingga masih bisa disusun kembali.

Meski begitu, tidak banyak informasi yang bisa didapat dari batu nisan tersebut, bahkan dari Hans Boers. Jika nama mendiang masih dapat terbaca jelas, mungkin akan sangat membantu. Karena hanya menyisakan marga Windijk, tentu data untuk menelusurinya menjadi sangat terbatas.

Ada dugaan makam yang saya datangi ini milik seorang pemuda kelahiran Surakarta, 22 Maret 1899 dan wafat di Klaten, 06 April 1915, ialah Christiaan Leonard Windijk.

“Ada dugaan juga keluarga C. Leonard Windijk, memiliki kekerabatan dengan keluarga Dezentje. Mengenai pernikahan anak atau sama-sama pemilik perkebunan, tidak ada data pasti,” jelasnya.

Benar adanya.

Christiaan Leonard Windijk putra merupakan dari Charles Windijk dan Leonarde Eureline Dezentje.  Kakek dan nenek dari pihak ayah C. Leonard Windijk yakni Louis Lodeweijk Windijk, dan istri seorang perempuan Jawa yang tidak diketahui namanya. Sedangkan kakek dan nenek dari pihak ibu yakni Alexander Gerard Dezentje dan Raden Roro Salimah.

Karena Christiaan Leonard Windijk wafat di usia muda yakni 16 tahun, tentu tidak banyak catatan tentangnya. Sama seperti pusara mendiang Andre-Mac Gillavry muda di makam sebelumnya.

“Kompleks makam ini milik anak-anak yang wafat usia muda, dua di antaranya Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk,” pikirku. 

Keluarga Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk, diduga memiliki hubungan kekerabatan. Tak ayal dimakamkan secara berdampingan. Hanya sedikit yang bisa kami gali mengenai dua makam keluarga Belanda di Dukuh Tegalsari, Desa Kemudo Klaten ini.

Sebelum saya memutuskan untuk menyudahi pengambilan gambar dan berdoa, mata saya tertuju pada satu monumen lain berukuran sedikit lebih besar. Tanpa ditemani inskripsi, hanya sebuah monumen berbentuk persegi empat dengan bagian tengahnya terbuka.

Monumen ini biasa digunakan untuk meletakan karangan bunga, atau bunga tabur bagi keluarga yang berziarah. Tidak lazim, tetapi inilah yang terjadi.  Awalnya saya juga bingung, monumen makam tetapi tidak lazim bentuknya. Ternyata, ada maksud di balik rancangannya.

  • Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten
  • Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten

***

Jumlah makam Belanda di kompleks kedua keluarga ada sekitar 4 unit, satu rusak parah, tiga sisanya terbengkalai. Hanya ada dua yang memiliki inskripsi, sisanya makam Islam Jawa milik warga Dukuh Tegalsari Desa Kemudo. 

Selama penelusuran makam keluarga Andre-Mac Gillavry dan keluarga Windijk, rasa takut tidak menghinggapi. Selain karena berada di tengah dukuh, juga karena salah satu rumah warga menyalakan musik dangdut berjudul “Ngopi Maszeh” yang dipopulerkan Happy Asmara menggelegar.

Kesan seram dan gelap dari pemakaman seketika berubah menjadi cerah. Terlebih bagi saya sudah biasa untuk menelusuri makam Belanda yang bercampur dengan makam Islam Jawa. Sekali dayung, tiga pulau terlampaui. Sekali ziarah, mendoakan seluruhnya yang telah mendahului meski bukan keluarga.

Mereka yang bersemayam di sini [pemakaman], membutuhkan doa dan tidak meminta untuk digaibkan atau menjadi tempat untuk “meminta”. Jika ingin meminta sesuatu, ya mintalah langsung kepada Tuhan yang menciptakan kehidupan dan kematian. 

Memento mori yang artinya ingatlah akan kematian, sudah sepatutnya setiap orang menghargai dan menyadari. Begitu kira-kira yang bisa gambarkan dari perjalanan saya kali ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menguak-kisah-gillavry-dan-windijk-di-kemudo/feed/ 0 40151
Jejak yang Tersisa dari Mausoleum Van Den Engh Klaten https://telusuri.id/jejak-yang-tersisa-dari-mausoleum-van-den-engh-klaten/ https://telusuri.id/jejak-yang-tersisa-dari-mausoleum-van-den-engh-klaten/#respond Mon, 31 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39527 Tujuan perjalanan saya kali ini mencari keberadaan mausoleum (monumen makam) keluarga Van Den Engh, di Dusun Sukorejo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten. Mausoleum keluarga Van Den Engh adalah satu-satunya makam Belanda yang tersisa di dusun tersebut....

The post Jejak yang Tersisa dari Mausoleum Van Den Engh Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
Tujuan perjalanan saya kali ini mencari keberadaan mausoleum (monumen makam) keluarga Van Den Engh, di Dusun Sukorejo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten. Mausoleum keluarga Van Den Engh adalah satu-satunya makam Belanda yang tersisa di dusun tersebut. Selebihnya adalah makam Islam Jawa milik warga setempat.

Hasil yang terjadi saat telusur pertama kalinya adalah saya salah masuk desa. Setelah kira-kira satu jam keliling dua desa, terakhir saya fokus mencari Dusun Sukorejo. Saya tidak menduga, dusun ini sudah saya lalui sebelumnya. Apa daya, warga sekitar sedang sibuk beraktivitas di sawah sehingga tidak banyak yang bisa saya lakukan.

Kepastian lokasi tersebut akhirnya saya dapatkan ketika istirahat di Masjid Al Ikhlash yang berada di tengah dusun. Terdapat pemakaman umum di belakangnya. Berbekal rasa penasaran saya mencoba peruntungan. Nasib baik, saya berhasil menemukan mausoleum Van Den Engh.

Letaknya di sudut selatan pekuburan Dusun Sukorejo. Sepintas bentuknya sederhana seperti makam Islam di sekitarnya. Namun, kalau jeli melihat terdapat satu nisan berepitaf bahasa Belanda berbunyi “Van Den Engh”. Tanpa pikir panjang saya segera mendokumentasikan dan meneliti setiap sudutnya. Berharap menemukan sesuatu yang melebihi dugaan saya sebelumnya.

Lagi-lagi nasib baik. Saya melihat satu kompleks makam bergaya Islam Jawa milik keluarga Van Den Engh, tepat di depan mausoleum. Akan tetapi, daripada menduga yang tidak-tidak, saya segera mengirimkan hasil dokumentasi ke Hans Boer untuk mendapatkan informasi.

  • Jejak yang Tersisa dari Mausoleum Van Den Engh Klaten
  • Jejak yang Tersisa dari Mausoleum Van Den Engh Klaten

Prajurit Lintas Benua

Baru menginjakkan kaki pertama memasuki area mausoleum, mata saya tertuju pada deretan makam menjulang dengan pilar pada bagian depannya. Inilah mausoleum keluarga Van Den Engh yang saya cari. Lantas siapakah Van Den Engh?

Merujuk informasi Hans Boers, tersebutlah satu nama lebih lengkap, yakni Dirk van den Engh. Ia adalah purnawirawan prajurit militer Belanda kelahiran Dordrecht, 18 Februari 1796. Ia menjadi prajurit untuk Kerajaan Belanda yang tengah melawan kolonial Prancis di bawah kepemimpinan Napoleon Bonaparte.

Pertempuran sengit antara dua negara adidaya kala itu, menjadikan Dirk Van Den Engh melampaui batasanya sebagai prajurit kerajaan. Ia tidak segan mengeksekusi prajurit musuh di hadapan komandannya. Dirk Van Den Engh kemudian meningkatkan kemampuan diri sebagai seorang prajurit kerajaan. Berkat keahliannya, Kerajaan Belanda menugaskan dia ke Hindia Belanda pada 30 April 1816. Tugas pertamanya adalah Maluku, yang ia jalani hingga tahun 1834. Kala itu, Dirk Van Den Engh tergabung dalam ekspedisi untuk ekspansi wilayah kolonialisme Kerajaan Belanda atas Kepulauan Maluku.

Selama hidup di Maluku, banyak suka duka menerpa. Kondisi itu tidak terlepas dari Maluku sebagai pusat perdagangan rempah dunia. Para pedagang dari Eropa dan Timur Asing melakukan ekspedisi untuk menempati wilayah, lalu turut serta memonopoli perdagangan rempah.

Ia pun harus mempertahankan tampuk kekuasaan Kerajaan Belanda di Kepulauan Maluku. Tentu terjadi banyak pertempuran dan persaingan dagang yang harus dia lalui. Berkat kepiawaiannya Kerajaan Belanda mampu mencengkeram Maluku cukup lama. Namun, di awal tahun 1835, Dirk Van Den Engh pindah tugas ke Padang. Hanya sebentar di sana, ia memutuskan pensiun pada pertengahan 1836 dan tinggal di Boyolali, Jawa Tengah.

Rekam Jejak Keluarga di Mausoleum Van Den Engh

Anggota keluarga lain yang ikut dimakamkan di mausoleum Van Den Engh adalah Mas Adjeng Van Den Engh dan Emile Eugene Van Den Engh, putra Pieter Wilhelmus Van Den Engh (wafat 25 Juni 1864) dan Maria Jacoba Van Blommestein dari Surakarta. Dirk Van Den Engh, yang saya sebut sebelumnya, tidak lain merupakan kakek dari Emile Eugene Van Den Engh.

Nisan di mausoleum itu berbunyi: Hier Rust. E.E. van den Engh. Geb. Bojolali 10 Juli 1853. Overld. Kartasoera 25 November 1909. Artinya, Emile Eugene Van Den Engh lahir 10 Juli 1853 di Boyolali dan wafat 25 November 1909 di Kartasura.

Semasa hidup, Emile Eugene Van Den Engh berprofesi sebagai pegawai Buergerlijk Openbarew Werken atau dinas pekerjaan umum di Kota Surakarta. Ia seorang yang cukup loyal dan cakap atas pekerjaannya. Tak ayal pihak instansi tempat ia bekerja memberinya sejumlah penghargaan.

Ia memiliki seorang istri bernama Mbok Saminah, perempuan Jawa yang beragama Islam. Pasca pernikahan mereka tinggal di Kartasura, hingga memiliki empat orang anak: Emma Van Den Engh, Marie Van Den Engh, Adolf Eugene Van Den Engh, dan Sophie Van Den Engh.

Dalam perjalanan waktu, suatu saat takdir akhir pasti sudah ditentukan. Bulan November 1909, instansi tempat ia bekerja mengabarkan bahwa Emile Eugene Van Den Engh wafat di usia 56 tahun. Kabar wafatnya Emile Eugene Van Den Engh cukup mengejutkan rekan sejawatnya. Pasalnya selama bekerja tidak menandakan jika ia mengidap sakit sebelumnya. Emile Eugene Van Den Engh wafat di Kartasura dan dimakamkan di kampung halaman sang istri, yakni Dusun Sukorejo, Wonosari, Klaten. 

Siapa itu Mas Adjeng Van Den Engh? 

Menurut Hans Boer, apabila merujuk tahun wafatnya (1945) dapat ia pastikan jika Mas Adjeng Van Den Engh adalah nama lain dari Sophie Van Den Engh. Anak keempat Emile Eugene dan Mbok Saminah. Mas Adjeng atau Sophie adalah istri dari Frederik Herman Strassners pensiunan pegawai kantor kereta api Netherlandsche Indies Spoorweg Maatschappij (NIS) Surakarta.

Ada dugaan, Frederik Herman turut dikuburkan berdampingan atau bisa juga dimakamkan di kerkop Jebres, Surakarta. Namun, yang pasti Emile Eugene Van Den Engh, Mbok Saminah, dan Sophie Van Den Engh dikubur berdampingan. Tampak pada mausoleum yang memiliki tiga ruang, tetapi hanya milik Emile Eugene Van Den Eng yang memiliki nisannya.

Julukan “Mas Adjeng” untuk Sophie Van Den Engh bukan tanpa sebab. Penyebutan tersebut lazim bagi masyarakat Jawa kala itu. Hal ini diperkuat dengan adanya makam bergaya Islam Jawa di sekeliling mausoleum. Namun, karena menggunakan huruf Jawa, tidak banyak diketahui secara pasti siapa sosok mendiang. Penggunaan huruf Jawa tidak semata-mata tertulis nama mendiang, bisa juga berisi doa. 

Keluarga Emile Eugene Van Den Engh di Sukorejo, Wonosari, Klaten sangat dihormati sebagai keluarga priayi. Status ini membuat Sophie mendapat julukan “Mas Adjeng” meskipun ia seorang perempuan. Penyebutan untuk perempuan berasal dari kata Raden Mas Adjeng, sementara untuk laki-laki, Den Mas, berasal dari kata Raden Mas. Hingga saat ini, beberapa dukuh atau desa di eks Karesidenan Surakarta masih menggunakan sebutan itu sebagai bentuk penghormatan.

Mungkin bagi kalian yang sejak kecil tinggal di kota besar, tidak pernah mendengar penyebutan ini. Saya dapat memahami karena kondisi budaya setempat sudah sangat berbeda. Hal ini tak perlu jadi soal, terpenting adalah tetap menjunjung tinggi kekeluargaan dan menghormati orang yang lebih dewasa.

Kebanggaan atas Perhatian Warga

Ketika saya berkeliling desa, saya tidak menemukan jejak lain dari keluarga Van Den Engh. Bahkan kediaman pun tidak ada. Dugaan saya karena hilang atau beralih kepemilikan. Bisa jadi karena sang istri yang notabene warga Wonosari, Klaten, tentu hidup dan memiliki bentuk tempat tinggal layaknya warga dusun lainnya. 

Meski memiliki kultur yang berbeda, tidak membuat mereka menjalani gaya hidup sendiri sesuai asal leluhurnya. Keempat anak yang saya sebut sebelumnya, patut disebut sebagai anak pribumi. Mereka terlahir dari orang tua dengan dua budaya berbeda dan hidup berdampingan dengan kebudayaan Jawa. 

Terlepas dari status sosial keluarga Van Den Engh, setiap tahun warga rutin merawat kompleks makam secara keseluruhan. Terutama menjelang hari raya keagamaan. Saya sangat bangga, mereka menaruh perhatian terhadap mausoleum keluarga Van Den Engh, dengan cara tidak merusaknya. Sebagai bukti, monumen makam ini masih utuh dan tidak mengalami kerusakan yang berarti.

  • Jejak yang Tersisa dari Mausoleum Van Den Engh Klaten
  • Jejak yang Tersisa dari Mausoleum Van Den Engh Klaten

Khususnya pada bagian nisan yang masih utuh. Dengan adanya nisan, siapa pun yang berkunjung pasti akan membaca nama seseorang yang dikuburkan di sini. Apabila nisan sudah hilang atau rusak tentu akan susah mengetahuinya, terutama jika ada keluarga yang berziarah.

Selama penelusuran dan menyaksikan secara langsung kompleks makam tersebut, saya menduga masih ada anak atau keturunannya hingga saat ini. Namun, karena keterbatasan informasi dari Hans Boer dan warga dusun, dugaan saya masih menjadi pertanyaan besar yang belum terjawab sampai sekarang.

Besar harapan saya, melalui cerita dan penelusuran ini, bisa sedikit membantu keturunan Van Den Engh—di mana pun berada—mengetahui lokasi leluhur mereka tinggal. Sudah selayaknya juga kerkop atau mausoleum lain di Indonesia mendapat perhatian khusus dari pihak pemangku kepentingan (stakeholder). Tidak hanya untuk kepentingan tertentu, seperti penelitian atau lainnya, tetapi juga membantu anak dan keturunan Van Den Engh yang sekian tahun mungkin masih mencari jejak leluhur mereka. Saya yakin mereka masih terus mencari dan saya harap mereka akan menemuinya suatu saat nanti.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak yang Tersisa dari Mausoleum Van Den Engh Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-yang-tersisa-dari-mausoleum-van-den-engh-klaten/feed/ 0 39527
Sepenggal Kisah dari Lawatan ke Pendiri Salib Putih Salatiga https://telusuri.id/kisah-dari-lawatan-ke-makam-pendiri-salib-putih-salatiga/ https://telusuri.id/kisah-dari-lawatan-ke-makam-pendiri-salib-putih-salatiga/#respond Thu, 01 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36272 Tempo hari setelah seharian singgah ke Salib Putih Salatiga, hari berikutnya saya putuskan untuk ziarah menuju pusara dua dermawan berbeda kebangsaan sekaligus pendiri Salib Putih yakni Adolf Theodorus Jacobus van Emmerik dan Alice Cleverly. “Oh,...

The post Sepenggal Kisah dari Lawatan ke Pendiri Salib Putih Salatiga appeared first on TelusuRI.

]]>
Tempo hari setelah seharian singgah ke Salib Putih Salatiga, hari berikutnya saya putuskan untuk ziarah menuju pusara dua dermawan berbeda kebangsaan sekaligus pendiri Salib Putih yakni Adolf Theodorus Jacobus van Emmerik dan Alice Cleverly.

“Oh, makam Emmerik di tengah kebun kopi, Mas! Lurus sama gereja.”

Dengan mengandalkan GPS (Gunakan Penduduk Setempat), saya memberanikan diri berangkat menuju makam Emmerik. Hanya ada satu jalan menuju ke sini, yakni melalui perkebunan kopi milik PTPN Banaran.

Jalan menembus hutan
Jalan menuju makam keluarga Van Emmerik/Ibnu Rustamadji

Pintu Masuk Pusara Emmerik dan Alice Cleverly

Dari jalan utama Salatiga–Kopeng, ke arah makam lewat jalan tanah, kanan dan kirinya terhampar perkebunan kopi. “Asli kebun kopi. Ceri merah atau biji kopi matang siap panen,” gumam saya ketika menapaki jalan menuju makam.

Perjalanan membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit, dengan mengendarai motor dari jalan raya. Setibanya di sana, saya kaget bukan kepalang karena saya kira hanya ada dua makam, ternyata tiga!

Berbekal informasi dari Hans Boers, seorang rekan pemerhati makam Belanda di Indonesia, saya mendapatkan cerita di balik keluarga Emmerik.

Adolf Theodorous Jacobus van Emmerik, kelahiran Jacob van Campenstraat 40 Amsterdam tanggal 2 September 1857. Ia merupakan anak dari Jan. Jacobus van Emmerik dan Elisabeth Getruida van Schie. Adolf Th. Jacobus van Emmerik, dikenal sebagai pemimpin “Bala Keselamatan” Salib Putih Salatiga. 

Di Salatiga, ia memiliki dua orang istri. Istri pertama bernama, Charlotta Elisabeth Louise Zeijdel. Mereka menikah pada tanggal 4 April 1888, namun pernikahannya tidak berlangsung lama. Sang istri wafat, enam bulan kemudian tepatnya tanggal 11 Oktober 1888.

Istri kedua bernama, Alice Cornelia Cleverly dinikahi pada tanggal 21 November 1897 di Semarang. Alice Cleverly kelahiran Weistraat No. 87 Bis. London, anak dari Harij Cleverleij dan Sarah Moseij.

Pasca pernikahannya, Alice Cleverly menjadi ajudan Emmerik di “Bala Keselamatan” Salib Putih Salatiga. Menurut Han Boers, mereka tidak bekerja sendirian. Ada beberapa organisasi masyarakat yang membantunya, beberapa di antaranya Vereeniging Oost en West, Vrouwencomité Batavia, dan Assistant Vereeniging Deli. Tidak hanya tenaga, mereka membantu Emmerik dari sisi finansial dan ketrampilan, terutama dari Vrouwencommite Batavia.

“Mereka [Vrouwencommite] membantu memberikan keterampilan untuk para perempuan. Ya, namanya saja vrouw punya artinya nona atau nyonyah, bisa juga ibu,” lanjutnya.

Selain organisasi yang saya sebut sebelumnya, Emmerik dan Cleverly juga mendapatkan dukungan dari Pa van der Steur dan beberapa anggota Vrijmetselarij Magelang. ”Tahu kan tokoh kemanusiaan dari Magelang, Pa van der Steur, dan perannya mengurus anak asuhnya? Bayangkan kalau Salib Putih sampai saat ini bekerjasama dengan organisasi milik Pa van der Steur. Tentu akan sangat bermanfaat untuk anak-anak kurang mampu.”

Emmerik wafat pada 9 Juli 1924, pukul empat sore. Menurut catatan sejarah milik Hans Boers, upacara pemakaman Emmerik dipimpin oleh Dr. Kamp. Nyanyian pujian oleh anak-anak Sekolah Dasar Kristen Pribumi Tingkir, anak didik Emmerik, dan tiga anak asuh Pa van der Steur mengawali prosesi pemakaman. Cleverly kemudian memberikan sambutan dan ucapan terima kasih sebelum akhirnya upacara selesai pukul enam sore.

  • Cungkup makam
  • Makam Kristen
  • Pohon kopi

Sepeninggal Emmerik, Cleverly meneruskan pelayanan. Misi berikutnya selain mengurus anak-anak kurang mampu yakni mendirikan beberapa sarana pendukung upaya penyelamatan.

“Beberapa misi Cleverly yakni mendirikan Nieuwe Keuken, Nieuwe Ziekenhuis, Nieuwe Rijstschuur, Nieuwe Werkloods voor Rijst-Stampen, dan memperluas ajaran Kristen bagian dari misi Zending di Jawa Tengah,” jelas Hans Boers.

Tahun 1930, pemerintah kerajaan Belanda menganugerahi Alice Cleverly dengan “Orde van de Nederlandse Leuw, graad Zilver” dan “Orde Oranje-Nassau, Rider”. 

“Luar biasa mereka berdua itu, Mas,” lanjutnya.

“Siapa Louise Cleverly, apakah anaknya?” tanya saya pada Hans.

“Bukan, Louise Cleverly [yang dimakamkan di sini] merupakan adik dari Alice Cleverly. Ia datang di Salatiga tahun 1903, untuk membantu para ibu di Salib Putih. Louise Cleverly wafat pada tanggal 26 Juli 1942.

Simbol Keabadian Cinta

Alice Cleverly wafat 5 bulan kemudian setelah sang adik, yakni pada tanggal 20 Desember 1942. Ketiganya dikubur berdampingan di rumah mereka Salib Putih Salatiga. Yang menjadikan menarik, makam keluarga van Emmerik ini adalah inskripsi menyentuh di salah satu nisanya.

“… Di mana Engkau Bermalam, 

Disitu Jugalah Aku Bermalam.

Bangsamulah Bangsaku.

Kamu adalah Aku, dan

Aku adalah Kamu.

Di mana Engkau Mati

Akupun  Mati Disana, dan 

Di sanalah Aku Dikuburkan Dengan Engkau…”

Inskripsi ini terpahat di nisan Alice Cleverly, tepatnya di atas sebuah pahatan berbentuk buku yang terbuat dari batu andesit. Simbol kasih sayang dua orang dermawan di Salatiga ini menurut saya meski sederhana, namun memiliki makna yang dalam.

Nisan Makam
Nisan Keluarga Van Emmerik dan Alice Cleverly/Ibnu Rustamadji

Pada waktu-waktu tertentu makam Emmerik diziarahi, kemungkinan oleh pengelola Yayasan dan anak-anak panti asuhan Salib Putih.

Langit Salib Putih mulai berubah warna kuning keemasan, tidak saya sadari sudah sore sekitar pukul setengah lima lebih. Masih sore, tapi karena berada di tengah kebun kopi, saya putuskan untuk menyudahi ziarah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sepenggal Kisah dari Lawatan ke Pendiri Salib Putih Salatiga appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-dari-lawatan-ke-makam-pendiri-salib-putih-salatiga/feed/ 0 36272
Cornelis Grinwis dan Kisah Pencarian Makamnya oleh Indonesia Graveyard https://telusuri.id/cornelis-grinwis-dan-kisah-pencarian-makamnya-oleh-indonesia-graveyard/ https://telusuri.id/cornelis-grinwis-dan-kisah-pencarian-makamnya-oleh-indonesia-graveyard/#respond Mon, 10 Jan 2022 06:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31945 Kisah ini bermula dari sekitar akhir 2018, ketika sebuah pesan singkat masuk ke akun Facebook salah satu co-founder Indonesia Graveyard, almarhum Deni Priya Prasetia. Seorang pria bernama Mario Grinwis yang tinggal di New Zealand mengontak...

The post Cornelis Grinwis dan Kisah Pencarian Makamnya oleh Indonesia Graveyard appeared first on TelusuRI.

]]>
Kisah ini bermula dari sekitar akhir 2018, ketika sebuah pesan singkat masuk ke akun Facebook salah satu co-founder Indonesia Graveyard, almarhum Deni Priya Prasetia. Seorang pria bernama Mario Grinwis yang tinggal di New Zealand mengontak almarhum Deni untuk meminta tolong mencari makam pamannya, Cornelis Grinwis. Mario Grinwis mengontak Deni setelah Indonesia Graveyard diliput oleh kantor berita ABC News Australia pada November 2018.

Dalam pesan singkatnya, Mario Grinwis mengirimkan dua foto, yakni foto makam Cornelis Grinwis, dan foto bagian belakang foto makam beliau, yang bertuliskan “Petamboeran”. Mereka yang berada di foto tersebut adalah keluarga istri Cornelis Grinwis. Setahun sebelum meninggal karena penyakit Malaria, Grinwis sempat menikah dengan seorang perempuan asal Indonesia bernama Leonora Frederika Bacas. Foto di makam itu sendiri diperkirakan diambil usai perang kemerdekaan.

Cornelis Grinwis
TPU Petamburan seringkali digunakan warga untuk tempat mengungsi saat banjir, di sinilah Cornelis Grinwis di makamkan via TEMPO/ Dimas Aryo.

Berbekal foto tersebut, kami pun mencarinya ke TPU Slipi Petamburan Jakarta pada awal 2019. Mencari satu makam berangka tahun 1939 sungguh bukan pekerjaan yang mudah, apalagi makam yang berada di TPU tersebut berjumlah sekitar 15 ribu makam. Ketika kami mencoba menanyakan kepada pengurus makam, mereka menunjuk sejumlah buku catatan tua, berisi nama-nama orang yang dimakamkan di sana, sayangnya, kami tidak menemukan makam Cornelis Grinwis, karena makam yang tidak diurus keluarganya selama lebih dari 15 tahun akan ditumpuk oleh makam lain. Tapi kami tetap mencoba mencari lagi dan lagi, namun tetap gagal menemukan makamnya.

Waktu berlalu, Deni berpulang ke haribaan-Nya pada Agustus 2019 namun kisah tentang proses pencarian makam tersebut tidak pernah absen kami ceritakan setiap kali kami diwawancara oleh media. Meski makamnya tidak berhasil kami temukan, paling tidak, cerita tentang Cornelis Grinwis tetap akan selalu terkenang. Seperti apa jejak hidup Cornelis Grinwis?

Cornelis Grinwis, si Tentara Muda

Cornelis Grinwis atau yang akrab dipanggil Kees adalah seorang tentara Belanda kelahiran tahun 1915. Kees tumbuh dan besar menjadi seorang pemuda periang yang gemar berpetualang. Negeri Belanda di tahun 1930-an adalah sebuah negara konservatif dan kaku, yang tak cocok dengan jiwa muda Kees yang mendambakan kebebasan. Sebagai anak sulung, Kees merasa jika dia harus membantu perekonomian keluarganya sehingga ketika ada peluang untuk berpetualang ke Hindia Belanda, dia memilih mengadu nasib dengan mendaftarkan diri menjadi tentara pada sekitar tahun 1935 dan rencananya akan ditempatkan di Batavia selama lima tahun.

“Setelah resmi menjadi tentara, Kees sempat bertugas dengan menjadi anggota pasukan berkuda di Den Haag. Beberapa bulan kemudian, dia harus berangkat ke Hindia Belanda menggunakan kapal. Kees sempat berfoto bersama keluarganya sebelum berangkat. Dalam foto tersebut, semua wajah anggota keluarganya terlihat sedih, karena mereka takut jika mereka tak akan melihat Kees lagi. Sebagai anak sulung, Kees merupakan anak kesayangan dalam keluarga. Dalam foto itu, saudara perempuan Kees terlihat seperti bayangan putih. Tapi saya malah melihatnya sebagai kekuatan dari foto ini,” kata Mario Grinwis, keponakan Kees.

Cornelis Grinwis
Kenangan terakhir di makam Cornelis Grinwis/Ruri Hargiyono

Mario bercerita, ketika Kees meninggalkan Belanda di usia 20 tahun, ayah Mario Grinwis baru menginjak usia 3-4 tahun. “Keputusan untuk meninggalkan Belanda mungkin karena gejolak darah mudanya yang ingin berpetualang ke belahan dunia lain, mengadu nasib di tempat baru, bertemu dengan orang-orang baru, dan melihat hal-hal yang baru. Dari foto-foto yang kami punya, sepertinya dia sangat menikmati petualangannya di Hindia-Belanda waktu itu,” kata Mario Grinwis.

Cornelis Grinwis atau Kees berada di Hindia Belanda kurang lebih selama empat tahun. Selama berada di Hindia-Belanda, Kees sempat berkeliling ke beberapa tempat, salah satunya ke Kota Salatiga, Jawa Tengah. Mario Grinwis, keponakan Kees, mengirimkan sebuah foto yang menangkap momen Kees sedang berenang. Dalam foto tersebut, dia terlihat berpose dengan mengenakan pakaian renang dan menikmati keberadaannya di kota itu. Selain itu, dia juga berpose di atas sebuah sepeda motor bersama salah satu sahabatnya yang juga sesama tentara, yang bernama “Ad”, di sebuah tempat yang tidak diketahui di Batavia.

  • Cornelis Grinwis
  • Cornelis Grinwis

Pada tahun kedua keberadaannya di Batavia, Kees bertemu dengan seorang perempuan bernama Leonora Frederika Bacas. Tak butuh waktu lama, keduanya memutuskan menikah. Usai menikah, mereka dianugerahi seorang anak perempuan yang diberi nama Pieteke Grinwis. Mereka juga sempat tinggal di sebuah tempat di Batavia. Sayang, tak lama kemudian, Kees menghembuskan nafas terakhirnya di usia 24 tahun, tepatnya pada tahun 1939, setelah terkena penyakit malaria. Setelah Kees meninggal, istrinya dibawa keluarga Grinwis pindah ke Belanda bersama anaknya. “Leonora sudah meninggal, saya lupa tahun berapa, kalau Pieteke masih hidup sampai sekarang, dia memiliki dua anak perempuan, mungkin sekarang Pieteke sudah berusia 83 atau 84 tahun,” kata Mario.

Mario menjelaskan keberadaan Leonora dan Pieteke di Belanda di awal 1940-an, bukan sebuah hal yang mudah juga untuk keduanya, mengingat wajah dan ras mereka yang berbeda dengan kebanyakan orang di sana. Namun, menurut Mario, keluarga Grinwis sangat menyayangi keduanya, dan tak pernah membeda-bedakan ras Leonora dan Pieteke, sehingga keduanya hidup bahagia di sana. Mario berharap, cerita singkat tentang Kees ini bisa menjadi sepenggal kisah sejarah yang terjaga dan bisa menjadi manfaat buat semua.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Cornelis Grinwis dan Kisah Pencarian Makamnya oleh Indonesia Graveyard appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cornelis-grinwis-dan-kisah-pencarian-makamnya-oleh-indonesia-graveyard/feed/ 0 31945
Mencari Sisa-Sisa Nieuw Kerkhof Kamboja https://telusuri.id/mencari-sisa-sisa-nieuw-kerkhof-kamboja/ https://telusuri.id/mencari-sisa-sisa-nieuw-kerkhof-kamboja/#comments Fri, 20 Aug 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29993 Nisan-nisan salib bertebaran di lahan yang tertutup semak belukar. Hampir seluruh bagian makam tanpa tertulis nama, kecuali beberapa makam yang bisa dihitung dengan jari. Terabaikan dan tertutup, seakan tanpa pernah dikenal oleh siapapun. Pemakaman yang...

The post Mencari Sisa-Sisa Nieuw Kerkhof Kamboja appeared first on TelusuRI.

]]>
Nisan-nisan salib bertebaran di lahan yang tertutup semak belukar. Hampir seluruh bagian makam tanpa tertulis nama, kecuali beberapa makam yang bisa dihitung dengan jari. Terabaikan dan tertutup, seakan tanpa pernah dikenal oleh siapapun. Pemakaman yang masih masuk ke dalam lahan pemerintah Kota Banjarmasin ini nampak tidak dirawat. Kami menyusuri setiap jengkal tanah yang tertutup oleh rumput, demi mencari sisa-sisa makam Belanda yang dulu pernah ada. Hampir semua makam di sini adalah makam pindahan dari Nieuw Kerkhof yang ada di Jalan Kamboja, Banjarmasin. 

Dulunya saya menyangka tinggalan kolonial yang ada di Banjarmasin memang tidak ada, kenyataanya tinggalan tersebut sudah banyak yang beralih bentuk dan hilang. Sumber sejarah yang dapat dilihat hanyalah foto-foto yang terdokumentasi dengan baik yang dapat diakses di Digital Collection Universiteit Leiden. Banjarmasin telah kehilangan banyak sumber data sejarah yang berhubungan dengan bercokolnya Belanda di kota ini.

Patung Malaikat dan Nasibnya

Patung malaikat yang merupakan sisa Niewu Kerkhof/M. Irsyad Saputra

Kami meraba-raba nisan sembari membersihkan sedikit semak untuk melihat beberapa nama dan tahun kematian. Beberapa nisan terbaca jelas, tapi semuanya berasal dari penduduk lokal.  Nisan tanpa identitas yang hanya menyisakan tanda salib lebih banyak mendominasi.

Sebelumnya kami menanyakan pada penjaga makam di sana, mereka nampak sibuk dan enggan menjawab banyak. “Saya kurang tau pemindahannya kapan dan bagaimana, kalau yang pindahan dari Kamboja letaknya di sana,” ucap penjaga makam sambil menunjuk ke arah timur.

Pencarian terus berlanjut, secara tak sengaja saya melihat sebuah patung di dekat pagar pembatas. Patung dua figur malaikat yang berbeda ukuran. Patung pertama setinggi dua meter ini tampak rusak pada tangan kanannya.  Sedangkan patung kedua berbentuk anak kecil yang sedang mengepalkan tangan. Kusam dan mulai menghitam, padahal mereka adalah sisa-sisa karya seni pada makam yang tersingkirkan.

Mungkin inilah sisa terakhir dari Nieuw Kerkhof yang bergaya Gothic yang masih dapat dilihat. Entah di bawahnya masih ada makam atau patung ini sudah terpisah dari makam empunya, yang pasti tidak ada penunjuk yang bisa dijadikan patokan makam siapa yang mempunyai patung tersebut.

”Beristirahatlah dengan tenang meski makammu telah digusur dari tempat awalnya,” batinku dalam hati. Sejauh kami menyusuri setiap sudut lahan pemakaman ini, patung itu memang menjadi satu-satunya yang masih tersisa.

Nisan Kuno Ulin

Kemudian kami berkeliling lagi, kali ini ke area pemakaman muslim. Seperti yang sudah saya pernah tulis tentang kain kuning, ada satu makam yang tampak dipagari dan dipasangi kain kuning yang sudah lusuh. Meskipun banyak makam baru, saya melihat beberapa nisan yang tampak kuno yang terbuat dari kayu ulin maupun batu. Ada satu nisan ulin yang menarik mata karena bentuknya yang unik. Nisan tersebut tampak lebih tinggi daripada nisan yang lain. Nisan ini berbentuk seperti gada dan mempunyai empat sisi, masing-masing sisi mempunyai hiasan sulur. Meski tampak rapuh dimakan usia, nyatanya nisan ini ketika saya sentuh masih terasa keras dan kokoh.

Disekeliling saya, saya mencatat nisan-nisan lama yang terbuat dari kayu ulin ada 5 jenis, dari batu ada 3 jenis, masing-masing mempunyai bentuk dan hiasan yang berbeda. Selain TPU Pemkot Banjarmasin, di sekelilingnya terdapat TPU lainnya. Kami juga melihat pemakaman massal COVID-19 yang dikhususkan. 

Samaniyah, yang telah berjualan bunga di sini selama 8 tahun mengaku tahu bahwa ada pemakaman Belanda yang ada di dalam sana namun tidak mengetahui persis letaknya dimana. “Orang-orang sering berziarah saat Paskah atau Natal, biasanya ketika Paskah yang banyak ziarah ke sana,” tuturnya. 

Tiada yang Tersisa dari Masa Sebelumnya

Berlanjut ke Jalan Kasturi, yang mana juga terdapat pemakaman umum yang cukup besar. Letaknya tak jauh dari Bandara Lama Syamsuddin Noor yang sudah digantikan oleh bandara yang baru. Baru saja tiba, ada beberapa karangan bunga yang bertebaran di sekitar lokasi makam, rupanya baru saja ada yang dimakamkan sebelum kami datang. 

Dekorasi makam di sini terbilang bagus, ada beberapa yang berbentuk rumah kecil, ada yang berbentuk rumah adat, ada juga yang hanya sekedar nisan. Setelah menanyakan kepada para penjaga tentang makam pindahan dari Kamboja. Mereka serentak menjawab ada. Kami meminta izin untuk melihat sekeliling sembari memeriksa setiap nisan yang ada.

Dari ujung ke ujung kami periksa, menerabas semak belukar yang tinggi, hingga ke sudut pemakaman. Berbagai nisan serta jirat yang kami temui, namun untuk nisan kuno nampaknya tidak ada di sini. Akhirnya kami menemui kembali para penjaga makam yang lagi duduk santai di sebuah bangunan. 

Newo, yang sudah menjaga di sini dari 80-an mengungkap bahwa banyak di sini makam pindahan dari Kamboja tetapi kebanyakannya adalah bong (makam Cina) dan makam Dayak. Dia memberitahu bahwa orang Belanda yang dimakamkan di sini hanyalah seorang pastor. “Coba kamu lihat tahun meninggalnya, ini [makam] termasuk yang tua di sini,” terangnya. Dari keterangan wafatnya saya lihat memang tua, 15 November 1937 dengan nama P. Antonius Joannes van Rossum Msf. Meskipun tua, tidak ada yang tersisa dari makam asalnya di Kamboja, semuanya baru dan berkeramik. Makam ini tergabung dalam area khusus pastor yang terdapat beberapa makam lainnya, bahkan ada yang cukup baru dimakamkan.

“Kalau pengen melihat makam yang lebih tua, ada tuh di samping asrama haji, lumayan besar dan terawat,” jelasnya. Untuk penjelasan lebih lanjutnya dia pun kurang mengetahui. Begitu sampai di sana, kami mendapati ternyata makam tersebut adalah makam seorang warga Jepang. Makam tersebut berpagar dan terkunci sehingga tidak bisa diakses sembarangan. Ada keterangan dari nisan yang berbunyi “Makam warga Jepang, kami senantiasa berdoa untuk perdamaian dunia dan kesejahteraan rakyat indonesia”. Tidak ada siapa-siapa yang bisa kami tanyai di sini. 

Belanda yang mengabdikan diri

Di lain kesempatan, kami mengunjungi Pemakaman Pulau Beruang yang terletak di pinggir jalan Landasan Ulin. Berdasarkan info di sini juga merupakan tempat pemindahan makam-makam yang berasal dari Nieuw Kerkhof. Pemakaman di sini dipisahkan, sebelah kanan gerbang terdapat pemakaman Kristen dan Katolik sedangkan sebelah kiri gerbang terdapat pemakaman Islam. Hampir setengah jam menunggu penjaga makam, hasilnya nihil. Kami memutuskan untuk mencari sendiri di antara makam-makam di sana. 

Setelah lama mencari dan tidak membuahkan hasil, saya memberanikan diri bertanya ke rombongan peziarah yang ada di sana. Mereka menggeleng tanda tidak pernah tahu ada makam Belanda di sekitar sini. “Kalau setahu saya makam-makam di Kamboja itu dipindahkan ke Pal 21 (TPU Pemkot Banjarmasin), Kasturi, dan Mandala,” ujar mereka. Pemakaman Pulau Beruang hanya terdapat makam Van Der Pijl, perancang Kota Banjarbaru dan Palangkaraya. Seorang Belanda yang wafat pada 27 September 1974, dia mengabdikan dirinya untuk membangun kota Banjarbaru dan Palangkaraya. 

Kondisi makamnya masih apik, dengan keramik putih dan identitas yang tertera lengkap dengan tanggal lahir dan wafat. Beliau bekerja di sini semasa pembangunan Kalimantan medio 1950 an. Beliau merupakan arsitek kesayangan dr. Murjani yang waktu itu menjabat sebagai Gubernur Kalimantan. Papan plang dan spanduk juga sudah terpasang pada halaman area pemakaman sebagai upaya untuk melestarikan sejarah.

Meskipun tampaknya sepele, kerkhof yang merupakan cagar budaya era kolonial seharusnya mendapat perhatian dari pemerintah daerah sebagai aset sejarah. Kejadian pemindahan makam ini memang sudah lama terjadi, kedepannya bisa kita jadikan pelajaran untuk menjaga tinggalan-tinggalan yang masih ada di sekitar kita, apapun nilai dan konteksnya. Salah satu sumber data ilmu pengetahuan khususnya arkeologi adalah nisan, dengan hilangnya nisan maka hilang sudah pengetahuan yang terkandung di dalamnya. 

Bagaimanapun, kehilangan ini adalah duka bagi ilmu pengetahuan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mencari Sisa-Sisa Nieuw Kerkhof Kamboja appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mencari-sisa-sisa-nieuw-kerkhof-kamboja/feed/ 2 29993