makam Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/makam/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 14 Aug 2024 14:23:09 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 makam Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/makam/ 32 32 135956295 “Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2) https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-2/ https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-2/#respond Fri, 16 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42517 Selesai beristirahat, kami berdua lanjut berjalan. Saya juga berkesempatan melihat beberapa makam di sekitar pesarean Ki Ageng Gribig. Bentuk nisannya jauh lebih sederhana daripada nisan-nisan yang kami saksikan sebelumnya. Menjelang akhir penelusuran, saya dan Titu...

The post “Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Selesai beristirahat, kami berdua lanjut berjalan. Saya juga berkesempatan melihat beberapa makam di sekitar pesarean Ki Ageng Gribig. Bentuk nisannya jauh lebih sederhana daripada nisan-nisan yang kami saksikan sebelumnya.

Menjelang akhir penelusuran, saya dan Titu akhirnya berjumpa dengan juru kunci tempat ini. Namanya Nurrasul. Ia sedang berada di sebuah gazebo yang difungsikan sebagai tempat cangkruk (kongko). Setelah Titu memberitahunya kalau kami tidak bisa masuk karena terkunci, ia kemudian mengantarkan kami ke makam Ki Ageng Gribig.

Seperti sebelumnya, kami juga hanya sebentar di dalam makam Ki Ageng Gribig. Kami lalu kembali menemui Nurrasul yang masih berada di gazebo.

"Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2)
Nurrasul, juru kunci makam Ki Ageng Gribig/Dewi Sartika

Cerita dari Juru Kunci

Sungguh, saya dan Titu merasa beruntung bisa bertemu Nurrasul. Kami berdua mulai mengorek kisah tentang kawasan makam ini. Kepada kami, lelaki kelahiran 1961-an itu membuka cerita bahwa kompleks makam tersebut ada setelah bupati pertama Malang wafat.

“Kalau ditanya berapa luas pesarean ini, kurang lebih satu hektare, ya. Sementara penghuni makam di sini selain Ki Ageng Gribig dan bupati Malang, mereka harus kerabat dari keturunan bupati Malang,” ucap Nurrasul.

Mendengarnya penjelasan Nurrasul, akhirnya teka-teki keberadaan makam bupati Banyuwangi dan bupati Bondowoso di kompleks ini terjawab. Sekaligus menyudahi rasa penasaran saya.

Nurrasul menambahkan, di samping mereka yang masih keturunan keluarga bupati Malang, terdapat pula makam murid-murid Ki Ageng Gribig. Namun, untuk hal ini, ia tak mengetahui nama-nama murid tersebut mengingat umur makamnya sendiri sudah sangat tua. Ditambah tak ada keterangan nama pada nisan.

Lelaki yang mulai menjadi juru kunci lima tahun lalu itu menambahkan, biasanya makam-makam yang masih diziarahi para pengunjung atau keluarga memiliki ciri, yaitu makamnya dipagari. Sementara makam-makam tanpa pagar adalah kuburan tua yang tidak dikunjungi oleh keturunannya atau makam tak dikenal.

Saat saya bertanya tentang status cagar budaya makam ini, Nurrasul menjelaskan bahwa makam bupati Malang telah ditetapkan sebagai cagar budaya karena merupakan bangunan asli. Saya pun teringat dengan sebuah papan yang tertempel di dinding, isinya penetapan bangunan yang dilindungi tersebut. Ia juga memperkirakan, bangunan makam itu ada setelah Raden Adipati Ario Notodiningrat II dan Raden Tumenggung Notodiningrat I wafat.

  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2)

Lebih lanjut, dari cerita yang beredar, dulunya bangunan makam tersebut akan dipakai sebagai masjid. Namun, karena suatu hal, rencana itu terlaksana. Sejauh ini, dua bangunan makam utama bupati Malang hampir tidak mengalami perubahan berarti sejak didirikan, mulai dari tembok hingga kayu. Dari keterangan Nurrasul, satu-satunya yang berubah hanyalah genteng bangunan yang pernah rusak kemudian diganti di masa kepemimpinan Bupati Abdul Hamid Mahmud (1985–1995).

“Yang jelas makam Ki Ageng Gribig ini sudah ada terlebih dahulu ketimbang dua makam bupati. Karena Ki Ageng Gribig ini sangat dihormati, maka bupati Malang pertama berpesan kepada penerusnya untuk dikubur berdekatan dengan Ki Ageng Gribig,” jelas pria yang tinggal tak jauh dari makam itu.

Nurrasul pun menyebut jumlah makam di kompleks ini di atas 100, dengan jumlah makam yang ada penandanya sebanyak 160 makam. Sementara itu, makam Ki Ageng Gribig ternyata bukanlah makam tertua. Ia mengatakan masih ada makam yang jauh lebih tua. Diperkirakan makam tersebut berasal dari abad ke-16 Masehi atau masa akhir Majapahit yang ditandai dengan gambar matahari pada nisan.

Tentang nisan sendiri, ada satu hal yang membuat saya penasaran sejak masuk ke makam Raden Adipati Ario Notodiningrat II. Mengapa nisan mantan penguasa Malang tersebut disarungi kain?

Saat bertanya ke Nurrasul, jawabannya sangat sederhana. Supaya nisan tidak kotor.

“Nisan-nisan yang ada di makam ini ada yang terbuat dari teraso, ada juga yang dari kayu. Kalau nisan bupati kedua Malang dari teraso, sementara nisan Ki Ageng Gribig dari marmer, tetapi sudah diganti,” ujarnya.

"Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2)
Makam Ki Ageng Gribig/Dewi Sartika

Tempat “Ngalap” Berkah yang Minim Perhatian

Kendati cukup sepi, bukan berarti tempat ini jarang dikunjungi. Dari keterangan Nurrasul, makam Ki Ageng Gribig banyak didatangi pengunjung saat Jumat Legi. Bahkan ada yang datang dari luar kota, seperti Pasuruan, Surabaya, Mojokerto, Temanggung, Cirebon, dan Jakarta. Kebanyakan pengunjung melakukan kegiatan yasinan dan tahlil. Sementara di hari biasa, makam ini dikunjungi orang-orang berlatar akademis yang hendak melakukan penelitian.

Omong-omong soal pengunjung, Nurrasul membagikan pengalaman menarik selama menjadi juru kunci makam. “Paling ramai itu sewaktu Pemilu kemarin. Banyak caleg (calon legislatif) yang datang ke sini untuk ngalap (mencari) berkah. Terus akhir-akhir ini juga beberapa calon wali kota Malang juga berkunjung. Ada yang datang antara jam 12 dan jam 1 pagi. Cerita ini saya dapat dari warga sekitar,” katanya.

Beberapa nama sempat ia sebut. Nama-nama yang sangat familiar di telinga saya, mengingat baliho dan poster mereka sering saya jumpai di jalan.

Lalu saat saya menanyakan biaya perawatan makam, ia memberitahu bahwa dana yang dipakai berasal dari kotak infak atau swadaya masyarakat sekitar. Hasilnya untuk kegiatan operasional, termasuk membayar tukang sapu makam. Tak ada bantuan dari Pemerintah Kota Malang atau Kabupaten Malang. Nurrasul mengungkap bantuan terakhir yang ia terima berasal dari Kabupaten Malang sekitar tiga tahun lalu. 

"Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2)
Beberapa makam di samping bangunan makam Ki Ageng Gribig/Dewi Sartika

Warga Lesanpuro tersebut sehari-hari berada di makam mulai pagi hingga sore. Ketika siang tiba, ia akan pulang untuk beristirahat sebelum kembali bertugas. Ia juga bercerita mengenai buyutnya yang sudah menjadi juru kunci sejak tahun 1800–an. Dari cerita yang ia dapatkan, bupati pertama Malang-lah yang menunjuk langsung keluarga Nurrasul sebagai kuncen.

“Karena turun-temurun jadi kuncen, keluarga saya dimakamkan di sini termasuk buyut saya. Kalau saya nanti masih belum tahu, dimakamkan di sini atau tidak,” ucapnya. Ia sendiri menggantikan sang ayah sejak tahun 2019.

Saya tergelitik mengajukan sebuah pertanyaan kepadanya, bagaimana seandainya anak Nurrasul tak berminat meneruskan pekerjaan sebagai kuncen?

Ada alasan saya bertanya tentang hal ini. Bagi saya, minat generasi muda saat ini terhadap hal-hal yang berhubungan dengan sejarah atau nilai-nilai lokalitas terus-menerus menurun. Atau bahkan tidak tertarik sama sekali. 

Mendengar pertanyaan saya, Nurrasul menghela napas panjang. “Ya, kalau anak saya enggak mau, nanti yang menggantikan saya adalah adik saya,” jawabnya. Sebuah senyuman yang sedikit dipaksakan menghiasi wajahnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-2/feed/ 0 42517
“Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1) https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-1/ https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-1/#respond Wed, 14 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42503 Ketika matahari mulai berada di sepenggalah, motor yang dikendarai Titu Sunggari Lampung—atau biasa disapa Titu, sahabat saya, berhenti di depan sebuah kompleks pemakaman yang berada di Madyopuro, Kedungkandang, sebelah timur Kota Malang. Saya pun turun...

The post “Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Ketika matahari mulai berada di sepenggalah, motor yang dikendarai Titu Sunggari Lampung—atau biasa disapa Titu, sahabat saya, berhenti di depan sebuah kompleks pemakaman yang berada di Madyopuro, Kedungkandang, sebelah timur Kota Malang. Saya pun turun dari boncengan. Kami beranjak memasuki gerbang pemakaman.

Sebenarnya, keinginan saya untuk berkunjung ke tempat ini cukup besar sejak dulu. Namun, karena beberapa hal, saya baru bisa mewujudkannya baru-baru ini. Sejujurnya, meski sudah lama tinggal di Malang, tetapi keberadaan pesarean (makam) Ki Ageng Gribig baru saya dengar beberapa waktu lalu. Bukan cuma saya saja yang tidak tahu, melainkan juga masyarakat Malang pun tak banyak yang menyadari. Setidaknya hal inilah yang diakui juru kunci makam Ki Ageng Gribig yang sempat saya temui.

Akses menuju makam di Jalan Ki Ageng Gribig Gang 3 tersebut sangat mudah. Meskipun berada di pinggiran kota, tetapi jarak dari pusat kota hanya sekitar 25 menit. Bagi pengunjung luar kota, makam Ki Ageng Gribig juga bisa dicapai melalui pintu keluar tol Malang (Madyopuro) yang hanya berjarak kurang lebih 1,5 kilometer.

  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)

Sosok Ki Ageng Gribig

Suasana pagi di makam Ki Ageng Gribig pada Minggu (19/4/2024) terpantau sepi. Suasana asri menjadi hal pertama yang saya tangkap. Kami berdua lalu menghampiri lelaki yang saat itu sedang menyapu. Kami berpikir dia adalah juru kunci (kuncen) makam. Ternyata kami salah. Kepada kami, ia mengaku hanya petugas kebersihan makam. Ia kemudian memberitahu kami nama penjaga makam.

Sebelum berlalu, saya beranjak memasukkan selembar uang ke dalam kotak infak yang ada di dekat gerbang makam.  Setelah itu, saya dan Titu lanjut jalan untuk melihat-lihat area kompleks makam.

Makam Ki Ageng Gribig sebenarnya menjadi salah satu destinasi wisata religi yang ada di Kota Malang, selain Kelenteng Eng An Kiong yang terletak di pusat kota. Sesuai namanya, di kompleks makam ini memang terdapat kuburan Ki Ageng Gribig, tokoh penyebar Islam di Malang.

Diduga, Ki Ageng Gribig merupakan keturunan seorang kesatria bernama Menak Koncar dan berasal dari Mataram. Ia diperkirakan hidup pada abad ke-17. Saat itu, Kesultanan Mataram sedang gencar-gencarnya melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah lain, termasuk daerah Malang dan sekitarnya

"Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
Lorong hening/Dewi Sartika

 Ki Ageng Gribig dikirim ke wilayah tersebut untuk menyebarkan agama Islam. Semula Ki Ageng Gribig ditugaskan di Pasuruan, lalu setelah itu pindah ke Malang—dulunya masuk wilayah Pasuruan. Adapun Kampung Gribig sendiri kemungkinan sudah eksis sejak zaman Majapahit di bawah pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi.

Menurut Devan Firmansyah, pemerhati sejarah sekaligus penulis sejumlah buku tentang sejarah Malang Raya, menyebut identitas Ki Ageng Gribig di Malang cukup beragam. Ki Ageng Gribig disebut paman Sunan Giri, cucu Sunan Giri, cucu Raja Blambangan, atau cucu Untung Surapati.

Dari empat kemungkinan tersebut, Devan meyakini Ki Ageng Gribig di Malang bisa jadi  merupakan cucu Raja Blambangan (Menak Koncar) atau cucu Untung Surapati. Namun, ia belum bersedia berkomentar lebih lanjut tentang hal ini. “Nanti tak jadikan buku dulu, Mbak, biar enak membacanya,” jawabnya melalui pesan Whatsapp kepada saya.

Ya, ia memang sedang menyusun buku tentang sejarah Ki Ageng Gribig untuk diterbitkan. Selain menjelaskan latar belakang Ki Ageng Gribig, Devan juga masih berusaha menghubungkan Ki Ageng Gribig Jatinom di Klaten dengan Ki Ageng Gribig di Malang. 

“Ini yang masih menjadi PR (pekerjaan rumah) saya. Kedua tokoh tersebut ada hubungan apa,” sambungnya.

"Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
Bagian dalam bangunan makam bupati kedua Malang/Dewi Sartika

Menelusuri Dua Bangunan Makam Utama

Karena baru pertama kali menginjakkan kaki di sini, saya dan Titu secara acak melihat-lihat berbagai makam yang ada di kompleks. Pandangan kami lalu tertuju pada sebuah bangunan yang mencolok mata dengan dominasi warna putih pada dinding dan sepasang daun pintu bercat hijau. Dilihat dari bentuk pintu dan dua jendela yang berukuran besar, sepertinya bangunan tersebut sudah berusia tua.

Sebuah foto Raden Adipati Ario Notodiningrat II terpajang di samping pintu. Ia adalah bupati kedua Malang yang memerintah mulai tahun 1839 hingga 1884. Saya pun akhirnya menyadari di dalam bangunan tersebut terdapat makam.

Berhubung pintunya tertutup, semula kami ragu-ragu untuk masuk. Saya bahkan mengintip dari jendela untuk melihat bagian dalam. Tak berselang lama, kami pun memutuskan masuk. Selain pusara sang bupati yang berhias gorden putih dengan kain kuning menutupi nisan, juga terdapat beberapa nisan kayu kerabat dekat sang bupati.

Kami tak lama berada di dalam. Selanjutnya kami kembali melihat sejumlah makam yang ada di bagian depan bangunan tersebut. Salah satunya adalah kuburan Raden Ario Soeroadikoesoemo yang wafat pada 28 Juni 1946. Sebagaimana tulisan yang terpasang di pagar makam, disebutkan bahwa ia merupakan seorang pensiunan patih di Malang.

  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)

Setelah mengamati dari dekat, kami langkahkan kaki menuju tempat lain. Tepat di belakang bangunan pertama, ada bangunan lain yang bentuknya serupa dengan sebelumnya. Kali ini, tempat yang hendak kami masuki adalah bangunan makam Raden Tumenggung Notodiningrat I alias Raden Pandji Wielasmorokusumo. Dialah bupati Malang pertama selama periode 1819–1839.

Dalam Malang Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo, dijelaskan bahwa kawasan Malang dahulu kala masuk dalam kekuasaan Kasunanan Surakarta. Oleh karena itu, para bupati Malang yang memerintah masih terhitung keturunan Surakarta. Tidak mengherankan bila sejumlah bupati Malang pun mempunyai gelar khas bangsawan Jawa.

Untuk menuju makam Raden Tumenggung Notodiningrat, kami harus belok melewati jalan kecil yang berada di samping bangunan pertama. Sesuai yang tertera di papan penunjuk, jalan ini dinamakan Lorong Hening. Saya tak mengetahui alasan di balik penamaannya.

Sebelum memasuki bangunan tersebut, ada sejumlah makam yang terletak di sekitarnya, seperti pusara bupati Banyuwangi, KRT. Ario Notodiningrat yang wafat 6 November 1918, maupun makam Raden Toemenggoeng Ario Notodiningrat yang menjabat sebagai bupati Bondowoso.

Sama seperti kuburan Raden Adipati Ario Notodiningrat II, di bagian dalam bangunan juga terdapat sejumlah makam. Persisnya 25 makam kerabat terdekat bupati pertama Malang tersebut. Bentuk makam juga tak beda jauh dengan sebelumnya, dikelilingi gorden dan pada nisan ditutupi kain kuning.

  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)

Makam Utama yang Lebih Sederhana

Selanjutnya, kami menuju pesarean paling kesohor di kompleks makam ini, yaitu Ki Ageng Gribig. Ketika berjalan, mata saya tertuju pada bangunan terbuka berisi kuburan yang dikelilingi pagar putih. Papan nama terpasang di langit bangunan bertuliskan Pesarean Nyai Kanigoro (garwo Sayyid Sulaiman Mojoagung). Dalam bahasa Jawa, kata garwo kurang lebih bermakna istri.

Nyai Kanigoro sendiri merupakan putri dari Ki Ageng Gribig. Ia dipersunting Sayyid Sulaiman, salah satu tokoh penyebar Islam di Jawa Timur. Kuburan Nyai Kanigoro berada tepat di depan makam Ki Ageng Gribig.

Dibandingkan dengan dua bangunan awal yang kami masuki, bangunan makam Ki Ageng Gribig terlihat lebih sederhana. Menurut saya, bangunannya menyerupai langgar (musala) kecil dengan dua pintu. Ketika hendak masuk, saya dan Titu harus mengurungkan niat karena kedua pintunya terkunci. Berhubung tak bisa masuk, kami pun memutuskan untuk beristirahat sebentar sambil menikmati kompleks makam yang asri dan rimbun. Bagi saya, kondisinya lebih mirip kebun raya.


Referensi

Aminudin, M. (2023, 26 Maret). Menilik Makam Ki Ageng Gribig, Tokoh Penyebar Islam di Malang. Diakses pada 22 Mei 2024 dari https://www.detik.com/jatim/budaya/d-6638958/menilik-makam-ki-ageng-gribig-tokoh-penyebar-islam-di-malang.
Aminudin, M. (2023, 27 Maret). Asal-usul Ki Ageng Gribig Sosok Penyebar Islam di Malang. Diakses pada 22 Mei 2024 dari https://www.detik.com/jatim/budaya/d-6640618/asal-usul-ki-ageng-gribig-sosok-penyebar-islam-di-malang.
Anggraeni, P. (2018, 12 September). Masjid An-Nur Celaket; Dibangun Keturunan Sunan Gunung Jati, Saksi Penyebaran Islam di Malang. Diakses pada 24 Mei 2024 dari https://jatimtimes.com/baca/178841/20180912/081400/masjid-annur-celaket-dibangun-keturunan-sunan-gunung-jati-saksi-penyebaran-islam-di-malang.
Mahmudan. (2024, 1 April). Ternyata Begini Sejarah Ki Ageng Gribig, Babat Alas dan Jadi Penyebar Islam di Malang Timur. Diakses pada 22 Mei 2024 dari https://radarmalang.jawapos.com/sosok/814502434/ternyata-begini-sejarah-ki-ageng-gribig-babat-alas-dan-jadi-penyebar-islam-di-malang-timur?page=2.
Widodo, D. I. (2006). Malang Tempo Doeloe. Malang: Bayumedia Publishing.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-1/feed/ 0 42503
Kisah di Balik Kerkhof Gombong (2) https://telusuri.id/kisah-di-balik-kerkhof-gombong-2/ https://telusuri.id/kisah-di-balik-kerkhof-gombong-2/#respond Wed, 04 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36803 Perjalanan saya menelusuri Kerkhof Gombong berlanjut. Setelah dari makam W.H. Poepaart, mata saya tertuju pada satu nisan utuh berdiri di tengah nisan lain, kondisinya rusak parah. Ternyata makam tersebut milik seorang letnan infanteri di Gombong. ...

The post Kisah di Balik Kerkhof Gombong (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan saya menelusuri Kerkhof Gombong berlanjut. Setelah dari makam W.H. Poepaart, mata saya tertuju pada satu nisan utuh berdiri di tengah nisan lain, kondisinya rusak parah. Ternyata makam tersebut milik seorang letnan infanteri di Gombong. 

“Lah, kenapa tidak dimakamkan di ereveld, tapi malah di kerkhof?” pikir saya. Ereveld dan kerkhof artinya sama yakni pemakaman. Hanya berbeda fungsi. 

Ereveld makam pahlawan bagi pejuang berdarah Belanda di Indonesia. Kerkhof makam elit warga Belanda di halaman gereja. Memang tidak semua prajurit Belanda di Indonesia yang gugur dimakamkan di ereveld. Tergantung keluarga, dikebumikan di ereveld, kerkhof, atau kremasi. 

Biasanya prajurit yang dikebumikan di luar ereveld, atas kehendak keluarga atau mendiang sendiri karena merasa terikat batin dengan wilayah setempat. Seperti beberapa makam yang saya abadikan kali ini. Menariknya makamnya berbaur dengan milik orang Belanda lain di Kerkhof Gombong. 

Makam C.F.H Campen

“Wah, nama depan disingkat, terus siapa beliau?” 

Pada nisan, tertulis nama C.F.H. Campen. Karena rasanya tidak mungkin menerka-nerka, pilihan terakhir untuk mengetahui nama lengkapnya adalah saya menghubungi Hans Boers. Tidak lama, saya mendapatkan balasan petunjuk pembuka dari Hans Boers.

“Orang militer ini Mas, apa mungkin dahulu bekerja di Benteng Gombong?” 

“Kemungkinan pak, 1e Luit. der Inf. Ridder. M.W.O. Tidak ada keterangan lain.” Kami sama-sama bingung sejadinya. Tidak lama, masuk pesan singkat kembali dari Hans Boers. 

“Mas, makam ini milik instruktur sekolah siswa militer di Gombong!” Akhirnya mulai terbuka siapa orang di balik nisan tua ini. Saya dan Hans Boers sempat bercanda, “Coba bayangkan, namamu disingkat, terus kamu aku kenalkan dengan nama singkatanmu. Enak didengar tidak?” Kami hanya bisa saling menertawakan.

Makam Letnan C.F.H. Campen
Makam Letnan C.F.H. Campen. Salah satu makam Belanda yang utuh di Kerkhof Gombong/Ibnu Rustamadji

Sembari menunggu kabar lebih lanjut, saya putuskan untuk mengabadikan lebih jauh nisan lain yang tersisa di Kerkhof Gombong. Tiba-tiba Hans Boers mengirim pesan kembali mengenai C.F.H. Campen. Dalam pesan singkatnya, berikut detail mengenai C.F.H. Campen.

Letnan 1 Prajurit Infanteri C.F.H. Campen, Instruktur Sekolah Siswa militer Gombong. Kala itu, bernama Militaire Pupillen School Gombong. Inisiatif dari Institusi Pendidikan Angkatan Darat Hindia Belanda atau Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL). Sekolah Militer Gombong, didirikan untuk melatih anak-anak terlantar menjadi prajurit KNIL. 

Sekolah militer Gombong pertama kali dibangun tahun 1835 atas perintah Mayor Jenderal Hubert de Steurs. Kala itu sekolah militer masih menempati rumah sang mayor. Barulah di tahun 1848 dibangunkan sebuah gedung permanen di Kedong–Kebo oleh Mayor Jenderal Von Lutzow. Sekolah Militer dari Kedong–Kebo kemudian dipindahkan menuju Gombong, dan menempati areal di Benteng Van Der Wijck. 

Sebelum bernama Van Der Wijck, benteng itu bernama Fort Cochius. Letnan Campen adalah Instruktur Sekolah Militer Gombong, ketika sekolah berada di Benteng Van Der Wijck. Namun sayang, C.F.H. Campen tidak berumur panjang. Hans Boers menambahkan, “Campen terbunuh dengan cara ditusuk belati oleh seorang pribumi, tidak diketahui motifnya apa.” 

Letnan Campen dikenal aktif menulis mengenai perkembangan Sekolah Siswa Militer Gombong. Karena pentingnya karya tulis Letnan Campen mengenai sekolah militer Gombong, pihak pemerintah Belanda menggandakan sebanyak 1000 eksemplar dan diberikan secara cuma-cuma ke warga sekitar sekolah. Salah satu judul artikelnya yakni Het Korps Pupillen te Gombong. 

Sebelum tugas di Gombong, Letnan Campen diketahui dirotasi bersama beberapa prajurit lain dari Surabaya. Letnan Campen wafat usia 33 tahun pada 24 Januari 1886, pemakaman dihadiri Asisten Residen Kebumen, Kepala Distrik Kebumen dan Gombong, seluruh warga Gombong dan siswa Sekolah Militer Gombong

H. Heffelaar, Makam Prajurit lain di Kerkhof Gombong

Puas mengabadikan detail nisan makam dan mendapat informasi mengenai Letnan C.F.H. Campen, langkah saya berikutnya berhenti di makam milik H. Heffelaar. Nisan masih utuh, tapi kalau tidak jeli membaca hurufnya seakan berbunyi “HFFFFLPPP”.  

Informasi siapa Haffelaar, masih saya dapatkan dari Hans Boers. Makam ini milik Hermanus Heffelaar lahir di Rotterdam 6 Maret 1881, dan wafat di Gombong 29 April 1924 usia 43 tahun. Sang istri bernama Nyonya Painam, pernikahanya digelar di Kotaraja 25 Mei 1916. 

“Nikah di Kotaraja, jauh sekali, Pak?”

 “Iya. Karena, Hermanus Haffelaar, prajurit militer KNIL tugas akhir di Gombong!” 

Makam Hermanus Heffelaar
Makam Hermanus Heffelaar/Ibnu Rustamadji

H. Heffelaar anak dari Johannes Bernardus Heffelaar dan Anna van Hoewijk. Hermanus Heffelaar, dan Poepaart satu kesatuan di militer Angkatan Darat. Tapi, H. Heffelaar lebih banyak di KNIL-nya, begitu informasi yang saya dapat dari Hans Boers. 

Pantas mereka dimakamkan di Kerkhof Gombong, dekat Benteng Van Der Wijck dan Kamp militer Gombong tempat Heffelaar dan Poepaart bekerja. Nisan milik H. Heffelaar bertuliskan, “Hier Rust. Mijn Lieve Man en Vader H. Heffelaar in Der Ouderdom Van 41 Jaaren. R.I.P.”. 

Artinya “Di sini Beristirahat. Ayah sekaligus pria yang kami sayang, Hermanus Heffelaar di Umur 41 Tahun”.

Nisan K. Emor, Makam Tersembunyi di Balik Pohon

Makam berikutnya setelah Poepaart dan Heffelaar yang saya datangi ini pria kelahiran Manado tinggal di Gombong. Makamnya ditumbuhi pohon liar setinggi orang dewasa yang menyembunyikan batu nisannya.

Sebelum melihat nama mendiang lebih jauh, saya dikejutkan suara si bapak juru kunci. “Ini Mas nisannya, saya bersihkan dulu. Semoga kelihatan. Soalnya pohon ini tumbuh liar ini Mas, jadi makamnya rusak.”

Makam ini rusak bukan karena nisan marmer yang dicuri, tapi oleh pohon liar, yang menurut saya salah satu faktornya adalah karena tidak diziarahi dan dibersihkan secara rutin.

Inskripsi pada nisan, berbunyi “Hier Rust onze Innig Geleiefde Vader K. Emor, Overleden 19 September 1899 in den Ouderdom van 74 jaar”. K. Emor wafat usia 74 tahun pada 19 September 1899. Hanya saja tidak diketahui apa yang menyebabkannya wafat. Bahkan untuk siapa keluarga K. Emor, tidak banyak informasi.

Hans Boers, merujuk satu nama yakni Karel Emor. “Susah Mas, karena ada beberapa orang yang menyandang nama Karel Emor tapi tidak ada satupun yang cocok dengan keterangan nisannya.” 

“Juga ada seorang dokter dari Jawa yang terkenal bernama Jan Emor, lahir di Tana Kwangkot, Kecamatan Tombari, Minahasa, Manado; dan pada tahun 1711, dan seorang  perempuan bernama Ida Emor (nama Yahudi) dibaptis di Belanda.”

Juru kunci Kerkhof Gombong
Juru kunci Kerkhof Gombong, tengah membersihkan nisan milik Karel Emor/Ibnu Rustamadji

“Saya sendiri memiliki gagasan kuat kalau Karel Emor adalah orang kelahiran Manado dan dia pegawai militer KNIL,” lanjutnya. Karel Emor diketahui wafat di Karanganyar Kebumen di usia 74.

“Adakah keluarganya, Pak?” tanya saya penasaran.

Menurut Hans ada; yakni, Johanna Antoinette Emor meninggal 4 Oktober 1959 di Zwollerkerspel pada usia 75, lahir sekitar tahun 1884. Mungkinkah dia putri Karel Emor? 

“Saya belum menemukan data lebih jauh mengenai hubungan keduanya.” Alhasil, informasi mengenai keluarga K. Emor di Gombong hanya sebatas praduga, bahwa K. Emor bernama asli Karel Emor seorang perwira militer KNIL di Gombong.

Yang Tersisa dari Kerkhof Gombong

Sebelum mengakhiri penelusuran di Kerkhof Gombong, saya mengabadikan beberapa makam lain yang kondisinya rusak parah. Kerkhof Gombong, menurut saya sejatinya sudah selayaknya diselamatkan dan dilestarikan. Miris rasanya melihat berbagai nisan teronggok begitu saja tanpa terawat. 

Kerkhof Gombong bagi saya, adalah saksi bisu Kecamatan Gombong, Kabupaten Kebumen, dari waktu ke waktu. Jelas, di balik orang Belanda dalam mengembangkan Gombong, tidak lepas juga dari peran warga Gombong sendiri.

  • Makam keluarga tidak teridentifikasi.
  • De Bruijn
  • Makam Obelisk
  • Makam Obelisk
  • makam unik

Situs peninggalan di Gombong sangat banyak. Selain kerkhof, ada juga ngebong atau areal pemakaman warga Tionghoa yang tidak kalah menarik untuk kami telusuri. Belum lagi, Benteng Van Der Wijck, Pabrik Rokok Klembak Menyan, satu lagi Rumah Martha Tilaar, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Oiya, saya hampir kelupaan. Tidak semua orang Belanda di Gombong yang wafat dikebumikan di Kerkhof Gombong. Ada juga yang di luar kota, atau mungkin kembali ke keluarga di Belanda. 

Sekarang, bukan saatnya menyalahkan mana yang benar dan yang salah. Tapi, bagaimana cara untuk menghargai apa yang telah diwariskan generasi sebelum kita. 

Seperti Kerkhof Gombong ini, bukti masa lalu untuk pelajaran hidup di masa depan. Terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman penelusuran Kerkhof Gombong, teman-teman di Rumah Martha Tilaar yang setia menemani dan menerima kritikan dan saran saya, dan mohon maaf tidak bisa saya sebut semuanya.

Perjalanan ke Kerkhof Gombong berakhir dengan semua memori di kamera. Satu minggu tidaklah cukup untuk mengenal Gombong lebih jauh, suatu saat pasti kembali. “Sekarang, saatnya kembali ke Solo, dan buka bersama di kereta!”

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah di Balik Kerkhof Gombong (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-di-balik-kerkhof-gombong-2/feed/ 0 36803
Kisah di Balik Kerkhof Gombong (1) https://telusuri.id/kisah-di-balik-kerkhof-gombong-1/ https://telusuri.id/kisah-di-balik-kerkhof-gombong-1/#respond Tue, 03 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36791 Seorang rekan mengajak saya jalan, kali ini ke selatan Jawa Tengah, tepatnya Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Tujuan kami yakni menelusuri makam Belanda atau kerkhof di Gombong.  “Bro, minggu depan berangkat ke Gombong mau...

The post Kisah di Balik Kerkhof Gombong (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Seorang rekan mengajak saya jalan, kali ini ke selatan Jawa Tengah, tepatnya Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Tujuan kami yakni menelusuri makam Belanda atau kerkhof di Gombong. 

“Bro, minggu depan berangkat ke Gombong mau nggak?” begitu ajakannya.

Saya pun lantas menanyakan tujuan, “Mau ke mana, Rumah Martha Tilaar, apa benteng?”

“Jelajah Kerkhof Gombong, bagimana, setuju tidak?”

“Wah, pasti, berangkat kita!”

Ia mengajak saya berangkat sehabis Subuh, katanya sekalian ngabuburit di Gombong. Saya pun mengiyakan. Sehari sebelum keberangkatan, ia mengingatkan jadwal. Maklum, kami berbeda kota. 

Pagi-pagi sekali, kami berangkat menuju titik kumpul yakni Stasiun Balapan Solo. Kami membeli tiket kereta api pergi-pulang dari Solo menuju Gombong dan sebaliknya. Dari sini, butuh waktu sekitar empat jam untuk tiba di Gombong.

Setibanya di Stasiun Gombong, ada seorang rekan yang menunggu. Awalnya kami sama-sama bingung, benar orang yang saya maksud atau bukan. Sampai akhirnya ia menyapa terlebih dulu.

Berkumpul di Rumah Martha Tilaar

Jelajah Kerkhof Gombong saya awali dari Rumah Martha Tilaar di Jalan Sempor Lama. Melangkah masuk halaman Rumah Martha Tilaar, Alona Ong dan Mas Sigit, rekan saya di Gombong menyambut kedatangan kami.

Persiapan jelajah Kerkhof Gombong berlangsung sekitar satu jam. Mulanya, kami beranjak ke jalan menuju kerkhof  di Jalan Sempor Lama, Semanding Gombong Kebumen. Dari Rumah Martha Tilaar menuju lokasi tidak sampai 10 menit, lokasinya juga tidak jauh dari Benteng Van Der Wijck.

Gapura sederhana berpagar besi siap dibuka, menanti kedatangan siapapun untuk berziarah. Selepas dipersilakan masuk, yang pertama kali saya lakukan adalah mengirim doa untuk mereka yang beristirahat dengan damai di sini. Tidak ada rasa takut saat saya menginjakan kaki dan melihat-lihat nisan yang tersisa.

Mausoleum Familie Van Burm: Makam Keluarga yang Tersisa di Kerkhof Gombong

Tengah mengabadikan setiap sudut dan nisan makam, mata saya tertuju pada satu makam yang terlihat lebih besar dari sekitarnya. Ternyata, nisan ini adalah makam keluarga—mausoleum familie van Burm.

Menengok ke dalam, mausoleum ini sudah rusak dan penuh sampah. Lebih tepatnya terbengkalai, dengan meninggalkan satu nisan milik Loucia Burm dan Pieter Peelen. 

Tanpa pikir panjang, saya langsung menghubungi Hans Boers. Menurut keterangannya, keluarga Van Burm tertua di Gombong adalah Charles Louis Burm kelahiran 27 September 1805, wafat 25 November 1895. Tidak diketahui tinggal di mana semasa hidupnya, hanya keterangan lahir dan wafat yang ditemukan. 

“Charles Louis Burm, menikah dua kali, pernikahan pertama dengan keluarga Hammerich, dan pernikahan kedua dengan keluarga Boomhoff,” jelasnya. “Cuma, semuanya tidak ditemukan catatan hidupnya.” 

Istri pertama Charles Louis Burm bernama Carolina Frederik Hammerich kelahiran 7 Maret 1838, wafat 5 Desember 1854. Pernikahan mereka dikaruniai sekitar 5 anak, salah satunya Loucia Burm kelahiran 12 Mei 1851. Istri kedua bernama C.W. Burm-Bomhoff kelahiran 23 September 1923, wafat 10 Oktober 1893.

Loucia Burm istri dari Pieter Peelen, seorang prajurit militer KNIL Gombog. Pieter Peelen kelahiran Den Haag 12 Januari 1837, wafat 10 Maret 1910. Pernikahan keduanya digelar di Karanganyar, Kebumen pada 02 Februari 1877. 

Pasca menikah mereka tinggal di Gombong dan mendirikan usaha penginapan bernama Hotel  Gombong. Sebuah penginapan prestisius di zamannya, tentunya. Selain usahanya Hotel Gombong, mereka juga membuka usaha jasa perjalanan wisata.

Wisata di Gombong? Kemungkinan iya. Wisata ke Geopark Karst Karangsambung dan Goa Jatijajar penuh dengan ornamen nama-nama orang Belanda yang bermukim di Kebumen dan sekitarnya.

Sepeninggal Loucia, penginapan yang mereka rintis berakhir. Hotel Gombong terjual pada tahun 1901, atas nama Mevrouw Loucia. Hotel dan jasa wisata dijual lagi oleh Pieter Peelen, namun hingga sepeninggal Pieter Peelen, Hotel Gombong belum laku. 

Makam Maria Anna Elisabeth Cooke

Dari mausoleum familie van Burm, saya melanjutkan menuju nisan tersisa lain. Tujuan selanjutnya yakni makam perempuan muda bernama Maria Anna Elisabeth Cooke. 

Maria Anna Elisabeth lahir pada 26 Februari 1882 dan wafat 18 Mei 1884. Maria Anna Elisabeth anak dari Richard Henry Cooke III dan Carolina Frederika Prager.

“Keluarga Cooke ini rekan dari saudara saya, sama-sama meninggal di Pulau Bawean, di atas kapal HMS de Ruyter tanggal 27 Februari 1942,” lanjut Hans Boers. 

Maria Anna Eliza Cooke
Nisan milik perempuan muda, Maria Anna Eliza Cooke/Ibnu Rustamadji

Pada nisan Maria Anna Elisabeth, terdapat ukiran heraldic rumit dalam kondisi rusak dan tidak mudah untuk dibaca kembali. Padahal kalau ukiran tersebut masih utuh, akan terlacak dimana dan siapa keluarga Maria Anna Elisabeth berasal.

Floris Kraake, Perwira Militer dari Gombong

Saya berhadapan dengan makam Floris Kraake, kelahiran Utrecht 23 Juni 1824, wafat di Gombong 9 Oktober 1886. Floris Kraake, putra Jacob Kraake dan Wilhelmina Elisabeth de Nigtere. Floris Kraake menikah dua kali. Pertama dengan Georgia Alexander dan kedua dengan istri Jawa, bernama Samiem di Karanganyar Kebumen, tanggal 29 Agustus 1877.

Georgia Alexander wafat di Semarang 2 Agustus 1868, dan memiliki anak Floris Karel dan Wilhelmus Jacobus. Floris Kraake wafat sebagai pensiunan ajudan militer di Semarang. Kedua anaknya, juga berprofesi sebagai perwira militer. 

Nisan Floris Kraak,
Nisan Floris Kraak, masih ada keluarga yang menziarahinya/Ibnu Rustamadji

Wilhelmus Jacobus Kraake, anak kedua Floris Karel dan Georgia Alexander, diketahui memiliki hubungan dengan Willem Hendrik Poepaart yang sama-sama perwira militer di Gombong. Saya langsung  menuju makam milik W. H. Poepaart.

Willem Hendrik Poepaart, Saksi Perang Aceh Pertama dari Gombong

Makam Willem Hendrik Poepaart berada di sudut kiri gerbang masuk Kerkhof Gombong. Bagian nisan bertuliskan, “Hier Rust. Mijn Dierbare Man en Vader Liner Dankbare Kinderen W.H. Poepaart, geboren 16 Agustus 1857, overladen 9 April 1936”. 

Saya kira nisan asli utuh, ternyata sudah pernah dirusak dan baru selesai diperbaiki. Nisannya bertuliskan, Di sini beristirahat, suami sekaligus ayah dari anak-anak terkasih Willem Hendrik (W.H) Poepaart, lahir 16 Agustus 1857, wafat 9 April 1936”.

Bagian atas nisan sejatinya patung dewi bergaya Yunani berbahan marmer Italia. Untung saja, patung dewi tersebut tidak hilang tapi hanya digeser demi keamanan. Patung dewi Yunani berada di sudut bawah makam W.H. Poepaart. 

W.H. Poepaart lahir di Belgia 16 Agustus 1857, dan wafat di Gombong 9 April 1936. “W.H. Poepaart menikahi perempuan Jawa bernama Karsina pada 21 September 1891 di Bagelen Purworejo dan. pernikahan mereka dikaruniai 12 anak,” lanjut Hans Boer. 

Anak-anaknya, diantaranya adalah Ronsina lahir di Gombong 1891 wafat tahun 1958 di Enschede, Gedion Frederik Teo seorang perwira militer kelahiran Gombong 9 November 1906. Selain itu, Johanna Catharina kelahiran Gombong 21 April 1896 istri dari Hendrikus Hendrik, Charles Hendrik kelahiran Gombong 3 Februari 1883. 

W.H. Poepaart merupakan perwira militer Gombong, penerima medali kehormatan dari Keraton Yogyakarta. Atas dasar apa, beliau mendapatkan medali kehormatan? Ternyata, yang pertama, W.H. Poepaart lulusan terbaik sekolah perwira militer Gombong. Tidak lama kemudian. W.H. Poepaart tergabung dalam ekspedisi Perang Aceh pertama 1873-1874, dan terlibat peperangan dengan rakyat Aceh dipimpin Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah. Pihak kolonial dipimpin oleh Kohler. 

Atas kontribusinya, W.H. Poepaart pensiun sebagai veteran Perang Aceh pertama. Tak ayal, beliau mendapat penghargaan yang luar biasa dari Keraton Yogyakarta. Adapun penghargaan yang diraihnya, Kraton-Medaille, Atjeh-Kruis, dan Zilveren Medaille. W.H. Poepaart memilih Gombong sebagai tempat peristirahatan terakhir karena “welk plaatsje hij zeer life had” artinya tempat yang sangat dicintai”

“Wilhelmus Jacobus Kraake, hadir dalam pemakaman rekan militernya, beserta rekan lama dan kenalan almarhum (W.H. Poepaart),” ucap Hans Boer. Pemakaman dilakukan secara militer, hanya ucapan terima kasih dari istri dan rekan W.H. Poepaart yang bergema. 

Jadi. W.H. Poepaart adalah warga Belgia, yang berkontribusi besar terhadap Gombong dan Indonesia secara luas melalui jasanya di bidang militer. 

Selain makam Van Burm, Maria Anna Elisabeth, Floris Kraake dan W.H. Poepaart, masih ada yang menarik untuk dikulik lebih jauh. Perjalanan saya dalam jelajah Kerkhof Gombong belum berakhir, nantikan kelanjutannya!

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah di Balik Kerkhof Gombong (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-di-balik-kerkhof-gombong-1/feed/ 0 36791
Cerita dari Kompleks Makam Raja Imogiri https://telusuri.id/kompleks-makam-raja-imogiri/ https://telusuri.id/kompleks-makam-raja-imogiri/#comments Thu, 04 Aug 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34710 Selain mendapatkan julukan sebagai Kota Pelajar, Daerah Istimewa Yogyakarta juga dikenal dengan sebutan Kota Budaya. Keberagaman budaya yang ada di sini menjadi magnet untuk wisatawan. Tak hanya itu, jejak-jejak sejarah juga menarik untuk ditelusuri. Beberapa...

The post Cerita dari Kompleks Makam Raja Imogiri appeared first on TelusuRI.

]]>
Selain mendapatkan julukan sebagai Kota Pelajar, Daerah Istimewa Yogyakarta juga dikenal dengan sebutan Kota Budaya. Keberagaman budaya yang ada di sini menjadi magnet untuk wisatawan. Tak hanya itu, jejak-jejak sejarah juga menarik untuk ditelusuri. Beberapa di antaranya bahkan menjadi kawasan wisata, riset, dan aktivitas sosial lain.

Sejarah Makam Raja Imogiri

Kompleks Makam Raja Imogiri merupakan kawasan makam raja-raja Mataram Islam yang terletak di perbukitan Imogiri, Bantul. Lokasinya  terletak kurang lebih 20 kilometer ke arah tenggara dari pusat Kota Yogyakarta, tepatnya di wilayah Desa Girirejo dan Desa Wukirsari, Kapanewon/Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, DIY. Saya harus melewati anak tangga yang berjumlah sekitar 409 buah saat mengunjunginya.

Masyarakat Jawa meyakini bahwa gunung atau bukit dapat menyimbolkan status, sekaligus merupakan upaya untuk lebih mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Makam yang didirikan pada masa pemerintahan Sultan Agung tersebut memang diperuntukkan untuk raja dan kerabat kerajaan Mataram Islam beserta keturunannya.

Ada sebuah kisah kenapa Sultan Agung memilih perbukitan Pajimatan Girirejo untuk membangun makam ini. Menurut juru kunci, sewaktu Sultan Agung sedang mencari tanah yang akan digunakan untuk tempat pemakaman khusus sultan dan keluarganya, ia melemparkan segenggam pasir dari Arab. Pasir tersebut dilempar jauh hingga akhirnya mendarat di perbukitan Imogiri. Atas dasar itulah selanjutnya Sultan Agung memutuskan membangun makam di Imogiri. 

Jadwal Kunjung Makam Raja Raja Imogiri
Jadwal kunjungan Kompleks Makam Raja Imogiri/Imam Bashtomi

Imogiri sendiri berasal dari kata hima dan giri. Hima berarti kabut dan giri berarti gunung, sehingga Imogiri bisa diartikan sebagai gunung yang diselimuti kabut. Pada tahun 1632 M, seorang arsitek bernama Kyai Tumenggung Tjitrokoesoemo membangun kawasan makam atas perintah dari Sultan Agung. Selang 13 tahun kemudian pada tahun 1645 Sultan Agung wafat, ia kemudian dimakamkan di Imogiri.

Hingga saat ini makam Sultan Agung sangat dikeramatkan, tidak sembarang orang bisa memasuki makamnya. Ada persyaratan yang harus dipenuhi bila berniat melakukan ziarah pada makam Sultan Agung yakni, para peziarah dilarang menggunakan alas kaki, membawa kamera, memakai perhiasan terutama dari emas, dan harus mengenakan pakaian khas Jawa atau peranakan.

Peziarah laki-laki harus mengenakan pakaian adat Jawa berupa blangkon, beskap, kain, sabuk, timang dan samir. Sedangkan peziarah perempuan harus memakai kemben dan kain panjang, dan untuk yang berhijab harus melepas hijabnya saat masuk ke makam Sultan Agung.

Di area makam dan hutan tersebut secara umum para pengunjung dilarang berbuat tidak sopan, berburu, memotong pohon, mengambil kayu dan mencabut atau merusak tanaman yang ada.

Kita bisa berkunjung pada hari Sabtu-Kamis pada pukul 10.00 hingga pukul 13.00 WIB dan hari Jumat pada pukul 13.00-16.00 WIB. Pada bulan puasa, kawasan makam ditutup selama satu bulan dan buka kembali pada tanggal 1 Syawal.

Ragam Tradisi dan Budaya 

Ada beberapa tradisi sakral yang masih dijalankan di sani yaitu kuthomoro dan nguras enceh. Kuthomoro adalah tradisi keraton mengirim doa di bulan Ruwah. Tradisi kirim doa tersebut ditujukan untuk para leluhur Keraton Yogyakarta yang telah dikebumikan di makam-makam Kagungan Dalem. Tradisi ini sudah ada sejak Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Tradisi nguras enceh dilaksanakan setiap hari Jumat Kliwon pada bulan Sura setelah jamasan pusaka (siraman pusaka) Keraton Yogyakarta—yang dilaksanakan pada setiap hari Selasa Kliwon pada bulan Sura. Nguras enceh yang dilakukan di dalam Komplek Makam Imogiri ini merupakan upacara penggantian (menguras air) di dalam enceh atau tempayan yang berukuran sangat besar, dulunya tempayan ini digunakan oleh Sultan Agung untuk berwudu.

Enceh tersebut sebenarnya adalah cinderamata dari kerajaan-kerajaan sahabat. Jumlahnya 4 buah, masing-masing diperoleh dari empat kerajaan yang berbeda. Enceh tersebut mempunyai nama Kyai Danumaya (dari Kerajaan Aceh), Nyai Danumurti (dari Kerajaan Palembang), Kyai Mendung (dari Kerajaan Rum, Turki), dan Kyai Syiem (dari kerajaan Siam, Thailand).

Enceh Kyai Danumaya
Enceh Kyai Danumaya/Imam Bashtomi

Makam ini terbagi dalam beberapa kompleks pemakaman yang disebut kedaton. Pembangunannya dilakukan secara bertahap. Masing-masing kedaton digunakan untuk memakamkan beberapa raja beserta keluarga terdekatnya. Selain itu karena adanya perjanjian Giyanti yang membagi wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta, di makam ini juga dibagi menjadi 3 wilayah.

Pada bagian sebelah barat digunakan untuk memakamkan raja-raja Kasunanan Surakarta beserta keluarga terdekatnya. Pada bagian timur digunakan untuk memakamkan raja-raja Kasultanan Yogyakarta beserta keluarga terdekatnya. Untuk bagian tengah merupakan makam Sultan Agung beserta anak-anaknya. 

Kedaton Sultan Agungan adalah kedaton yang berdiri pertama, berfungsi untuk memakamkan beberapa raja, antara lain: Sultan Agung, Sunan Amangkurat II, dan Sunan Amangkurat III. Sedangkan pada ada Kedaton Bagusan/Kasuwargan, Kedaton Astana Luhur, dan Kedaton Girimulyo yang berisi makam dari keluarga kerjaan Kasunanan Surakarta. Sementara pada Kasunanan Yogyakarta terdapat Kedaton Kasuwargan, Kedaton Besiyaran, dan Kedaton Sapta Rengga.

Fasilitas di Makam raja-raja Imogiri cukup lengkap. Tersedia area parkir yang cukup luas, masjid, musala, toilet umum, pemandu wisata, dan tempat sewa pakaian adat untuk mengunjungi makam. Di sisi jalan menuju makam juga banyak pedagang yang menjual souvenir dan kuliner-kuliner khas Imogiri.

Jadi, kapan mau berkunjung?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cerita dari Kompleks Makam Raja Imogiri appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kompleks-makam-raja-imogiri/feed/ 2 34710
Berziarah ke Makam Ki Ageng Kebo Kenongo https://telusuri.id/berziarah-ke-makam-ki-ageng-kebo-kenongo/ https://telusuri.id/berziarah-ke-makam-ki-ageng-kebo-kenongo/#respond Tue, 28 Dec 2021 08:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31629 Aku mengingat kembali, saat pertama kalinya aku datang ke tempat ini. Kala itu aku masih menjadi seorang siswi SMA yang duduk di kelas 10, masih baru-barunya menikmati masa putih abu-abu. Waktu itu, aku meyakinkan diri...

The post Berziarah ke Makam Ki Ageng Kebo Kenongo appeared first on TelusuRI.

]]>
Aku mengingat kembali, saat pertama kalinya aku datang ke tempat ini. Kala itu aku masih menjadi seorang siswi SMA yang duduk di kelas 10, masih baru-barunya menikmati masa putih abu-abu. Waktu itu, aku meyakinkan diri untuk pertama kali datang ke makam orang yang memiliki sejarah penting bagi peradaban Nusantara, khususnya masyarakat Jawa yakni Ki Ageng Kebo Kenongo.

Perlawatan ini berawal dari tugas sejarah yang harus aku selesaikan bersama teman-teman satu kelompok. Tugas tersebut yakni mendatangi tempat bersejarah di lingkungan sekitar dan mendokumentasikannya untuk bahan presentasi di depan kelas. Penelitian kecil-kecilan ala anak SMA ini mendorong kami untuk belajar langsung dengan para sejarawan yang ada di sekitar kampung. 

Dengan berbekal tugas ini, aku dan teman-teman mencari tempat bersejarah sebagai objek riset. Aku dengan percaya diri menyarankan tempat bersejarah yang berada tidak jauh dengan kampungku, masih berada di Kabupaten Boyolali. Tepatnya di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono.

Meski sekolahku berada di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo yang berbatasan langsung dengan kabupaten Boyolali, tetapi hanya aku yang merupakan warga Boyolali. Jadi tidak banyak yang tahu seluk-beluk akan tempat ini, termasuk aku yang hanya mendengar hingar-bingarnya kisah dan gethok tular dari warga sekitar. Beruntungnya seluruh teman satu kelompok mengiyakan saranku. Tanpa pikir panjang aku langsung merujuk ke makam Ki Ageng Kebo Kenongo.

Sebenarnya masih banyak tempat bersejarah yang ada di sekitar Kecamatan Banyudono, sebut saja Pemandian Pengging, Umbul Sungsang, Makam Yosodipuro, Masjid Ciptomulyo, Makam Empu Supo, Gajah Putih, Umbul Kendat, Situs Lingga Yoni, dan yang lainnya. Namun, sayangnya waktu itu aku juga baru mengenal Banyudono dan arah jalan yang kutahu hanya Makam Ki Ageng Kebo Kenongo ini.

Kecamatan Banyudono
Kecamatan Banyudono/Rosla Tinika Sari

Bertandang untuk Pertama Kalinya

Sesampainya di sana aku dan seluruh anggota kelompokku disambut oleh gapura biru bertuliskan “Makam Ki Ageng Kebo Kenongo” yang dituliskan dengan huruf latin.

Di sekitar makam Ki Ageng Kebo Kenongo terdapat banyak makam kerabat dekatnya. Di samping itu, kompleks pemakaman ini juga digunakan sebagai area pemakaman umum. Aku yang saat itu juga baru pertama kalinya datang ke pemakaman ini  juga tidak jauh berbeda dengan temanku yang lain, sama-sama tidak mengerti harus dengan siapa mencari informasi sejarah di balik sosok Ki Ageng Kebo Kenongo.

Yang kupahami kalau datang ke makam untuk mencari tahu segala sesuatu informasi di area pemakaman maka mesti mencari sang kuncen (juru kunci). Lalu kupilih untuk bertanya dengan seorang masyarakat yang menunjukkan agar aku mendatangi rumah juru kunci yang tidak jauh dari area pemakaman.

Rupanya kediaman juru kunci hanya berada di sisi selatan tembok pembatas area pemakaman. Sayangnya aku lupa nama beliau karena sudah sekitar 4 tahun lamanya pertemuan itu terjadi. Padahal waktu itu, kami sempat berkenalan sebelum berbincang lebih jauh.

Halaman depan bangunan makam Ki Ageng Kebo Kebongo
Halaman depan bangunan makam Ki Ageng Kebo Kebongo/Rosla Tinika Sari

Beliau lalu mengajak kami menuju makam Ki Ageng kebo Kenongo. Dibukalah pintu dari sebuah bangunan yang menjadi tempat dimakamkannya bapak dari Joko Tingkir itu. Sebelum mengajak kami masuk pada sebuah bangunan tempat makam Ki Ageng Kebo Kenongo berada, beliau menceritakan garis keturunan Ki Ageng Kebo Kenongo sambil mengarahkan tangannya pada silsilah keluarga yang letaknya berada di sebelah barat pintu masuk. 

Setelah itu, kami dipersilahkan masuk dan mendengarkan penjelasan beliau tentang peran penting Ki Ageng Kebo Kenongo dalam pembangunan Keraton Pajang. Ditunjukkannya juga pada kami beberapa makam  kerabat dekat Ki Ageng Kebo Kenongo yang merupakan cucu dari Raja Brawijaya V (raja terakhir Kerajaan Majapahit). 

Dengan ramah beliau membagikan pengetahuannya pada kami semua—pengetahuan sejarah yang tidak terlepas dari kisah Pengging dan KI Ageng kebo Kenongo. Selain itu, beliau juga mengajak kami untuk mengarahkan pandangan pada tulisan-tulisan beraksara Jawa yang mengukir pada dinding bangunan. Ternyata ada beberapa prasasti yang ditulis sejak zaman Majapahit.

Dengan terbata-bata aku mencoba untuk mengeja tulisan yang terpampang di sisi dinding. Akan tetapi karena menggunakan bahasa Kawi (bahasa Jawa Kuno), aku tidak begitu memahami isi dan maksud tulisan tersebut lebih dalam. Beliau lalu menjelaskannya pada kami, arti dari kata demi kata yang tertuang dalam tiap tulisan tersebut.

Kijing makam Ki Ageng Kebo Kenongo
Kijing makam Ki Ageng Kebo Kenongo/Rosla Tinika Sari

Ada banyak yang merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit, tetapi juga ada tulisan berangka tahun abad ke-19 M yang juga menjadi penunjuk sejarah dari kompleks pemakaman ini.

Sayangnya untuk melihat makam secara langsung, pengunjung harus masuk ke dalam sebuah ruang lagi. Tampaknya tidak sembarang orang yang bisa masuk ke dalamnya, perlu ada pengawasan dan pendampingan dari juru kunci. Aroma kemenyan kembali menyeruak di sela pernafasanku, rasanya semakin menjadi lebih sunyi dari yang sebelumnya. Diperbolehkannya pula sedikit menyingkap kain yang menutup kijing Ki Ageng Kebo Kenongo.

Tak berapa lama, kami kemudian berpamitan. Senja hampir tiba.

Singgah Kembali ke Makam Ki Ageng Kebo Kenongo

Setelah cukup lama tidak bertandang ke makam Ki Ageng Kebo Kenongo, aku memutuskan untuk kembali berziarah. Pagi sekali sekitar pukul 5.30 WIB aku berangkat ke Pengging, dengan niat menelusuri sejarah di kawasan Pengging aku menyusuri setiap sudut yang bersejarah di tempat ini.

Belum ada pukul tujuh pagi, aku sudah tiba di sana. Aku memilih untuk singgah sejenak, melihat dari halaman depan makam tanpa memasukinya. Tidak enak juga kalau harus meminta juru kunci untuk membukakan pintu makam sepagi itu, tanpa tujuan yang jelas pula. Biasanya makam dikunjungi pada malam hari pasaran tertentu. 

Kubaca ulang tulisan yang melekat juga silsilah keluarga yang terpampang di dekat pintu arah masuk makam Ki Ageng Kebo Kenongo. Suasana sangat sepi bahkan hampir tidak ada orang lalu lalang saat itu, mungkin juga karena masih PPKM juga. Aku lalu memilih untuk segera pergi meninggalkan kompleks pemakaman Ki Ageng Kebo Kenongo. Melanjutkan perjalanan untuk menelusuri tempat bersejarah yang tidak jauh dari kawasan Pengging.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Berziarah ke Makam Ki Ageng Kebo Kenongo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berziarah-ke-makam-ki-ageng-kebo-kenongo/feed/ 0 31629
Makam Nyatok: Makam yang Hanya Bisa Dikunjungi pada Hari Rabu https://telusuri.id/makam-nyatok-makam-yang-hanya-bisa-dikunjungi-hari-rabu/ https://telusuri.id/makam-nyatok-makam-yang-hanya-bisa-dikunjungi-hari-rabu/#respond Sun, 08 Aug 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29545 Lombok tidak hanya menyuguhkan pesona wisata alam. Kalau kamu ingin berwisata religi, kamu bisa mengunjungi banyak tempat. Sebut saja Islamic Center, Masjid Kuno Rembitan, Masjid bayan, Makam Nyatok dan masih banyak lagi.  Pada 22 Juli...

The post Makam Nyatok: Makam yang Hanya Bisa Dikunjungi pada Hari Rabu appeared first on TelusuRI.

]]>
Lombok tidak hanya menyuguhkan pesona wisata alam. Kalau kamu ingin berwisata religi, kamu bisa mengunjungi banyak tempat. Sebut saja Islamic Center, Masjid Kuno Rembitan, Masjid bayan, Makam Nyatok dan masih banyak lagi. 

Pada 22 Juli 2021 lalu, seorang teman mengajak saya untuk berziarah ke makam  Nyatok. Saya sungguh bersemangat sebab perjalanan kali ini akan menjadi perjalan pertama saya ziarah ke sana. Kami menduga kemungkinan akan ramai pengunjung, sebab hari ini bertepatan dengan satu hari setelah perayaan Idul Adha 1442 H.

Jalan menuju lokasi
Jalan menuju makam Nyatok/Nirma Sulpiani

Berangkat dari Praya, kami menempuh perjalanan 25 menit menggunakan kendaraan roda dua menuju lokasi yang berada di Desa Rembitan Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Akses jalan menuju lokasi cukup bagus, tapi rasanya perlu sedikit perbaikan sebab di beberapa titik, jalan aspalnya banyak berlubang. Suasana khas pedesaan akan menemani sepanjang jalan. Ada kebun tembakau, jagung, dan tumbuhan lain.

Selama di perjalanan kendaraan kami berada persis di belakang mobil pick-up yang berisi rombongan orang tua dan anak-anak. Terlihat di tengah rombongan terdapat nampan yang berisi makanan berupa ketupat, pisang, dan buah-buahan. Kami yakin betul, tujuan kami dengan rombongan pick-up tersebut sama.

Benar saja beberapa saat kemudian kami sampai di lokasi. Lahan parkir cukup luas. Terdapat puluhan kendaraan mobil, truk, dan sepeda motor terparkir rapi.

Deretan pedagang menuju makam
Deretan pedagang menuju makam/Nirma Sulpiani

Beranjak dari parkiran menuju makam, kami menemukan deretan panjang pedagang yang menjual air, rampai, tekel, buah-buahan, masker, dan masih banyak lagi. Dari kejauhan terlihat spanduk besar berisi himbauan bagi masyarakat agar tetap mematuhi protokol kesehatan. Di dalam area makam terdapat pohon-pohon besar seperti, pohon asam, pohon beringin, dan pohon kamboja menjadikan suasana makam teduh.  

Sebelum mulai berziarah, kami sempat mengobrol dengan salah satu pengelola makam yakni Kemban. Kemban sudah menjadi penjaga makam selama puluhan tahun. Laki-laki 70 tahun itu menceritakan bahwa leluhur mereka—Wali Nyatok, memberikan pesan peziarah hanya bisa berkunjung pada hari Rabu. Leluhur tersebut adalah wali yang menyebarkan Islam di Lombok bagian selatan. 

Ziarah makam
Ziarah makam /Nirma Sulpiani

“Memang sudah menjadi sudah menjadi pesan dia [Nyatok]. Dia kan wali, dia berpesan bahwa hanya bisa dikunjungi hari Rabu, entah apa itu alasannya. Kami hanya bisa menjalankan pesan itu.” Kata Kemban pada saya.

Kemban mengatakan, masyarakat percaya para peziarah yang berkunjung selain hari Rabu akan mendapat kesialan. “Tidak ada yang berani mengunjungi makam ini di luar hari Rabu, kalau ada  akan dapat kale (sial),” ungkap Kemban. 

Makam dengan luas 15 hektar ini memiliki puluhan makam dengan satu makam inti yaitu makam Wali Nyatok. Makamnya ditandai dengan pagar kayu yang mengelilingi makam dan batu nisan besar. Setiap minggu ratusan hingga ribuan orang datang untuk berziarah, mereka berasal dari pelbagai macam wilayah yang ada di Lombok.

“Selalu ramai ratusan sampai ribuan orang, tidak hanya dari Lombok dari luar juga ada,” ungkap Kemban. 

Setelah mengobrol cukup lama, Kemban pun mempersilahkan kami berziarah. Sebelum memasuki makam terlebih dahulu  mengisi daftar buku pengunjung. Untuk memasuki makam, peziarah diharuskan melepas alas kaki. Perempuan yang sedang menstruasi juga dilarang memasuki area makam. 

peziarah berdoa di makam
Peziarah berdoa di makam/Nirma Sulpiani

Pintu masuk makam tidak terlalu tinggi, sehingga saat masuk kita harus menundukkan kepala. Di dalam area makam Nyatok puluhan orang duduk mengelilingi makam terlihat khusuk berdoa. Ada yang berdoa menunduk tanpa suara dan membaca surah yasin. Ada juga yang menaburkan rampai kemudian membasuh wajah selepas bedoa dengan air.

Beberapa orang terlihat menaruh uang di atas badan makam sebagai amal. Uang itu nantinya akan diambil oleh petugas makam dan digunakan sebagai perawatan dan pengembangan makam. 

Selepas berziarah, teman saya kemudian mengajak saya untuk melihat suasana sekitar.  Terdapat  dua bangunan bersebelahan dengan posisi salah bagunan lebih depan. Bangunan tersebut bertiang kayu dan beratapkan ilalang. Salah satu digunakan sebagai tempat berzikir peziarah laki-laki dan bangunan yang satu digunakan para perempuan untuk menaruh makanan yang dibawa dari rumah. Ada juga masyarakat yang beristirahat di bawah pohon rindang sambil menyantap bekal.

Sebelum bertolak pulang, kami singgah sejenak di salah satu lapak pedagang, di sana kami memesan kopi dan mencicipi tekel. Tekel ialah makanan khas Lombok yang dibuat dengan ketan, kemudian dicampurkan dengan kelapa parut. Dibungkus dengan janur kuning dan diikat dengan tali. Selama kami duduk, lalu lalang penziarah terus berdatangan semakin siang semakin ramai. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Makam Nyatok: Makam yang Hanya Bisa Dikunjungi pada Hari Rabu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/makam-nyatok-makam-yang-hanya-bisa-dikunjungi-hari-rabu/feed/ 0 29545