makassar Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/makassar/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 24 Jun 2025 14:40:28 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 makassar Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/makassar/ 32 32 135956295 Bandung dalam Setahun https://telusuri.id/bandung-dalam-setahun/ https://telusuri.id/bandung-dalam-setahun/#respond Tue, 24 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47520 Aku masih mengingat jelas di akhir Mei 2024, di hari ketiga perhelatan Makassar International Writer Festival, aku menaiki pesawat subuh menuju Jakarta. Tidak terasa telah setahun Bandung menjadi rumah baru. Bandung jauh berbeda dengan Makassar,...

The post Bandung dalam Setahun appeared first on TelusuRI.

]]>
Aku masih mengingat jelas di akhir Mei 2024, di hari ketiga perhelatan Makassar International Writer Festival, aku menaiki pesawat subuh menuju Jakarta. Tidak terasa telah setahun Bandung menjadi rumah baru. Bandung jauh berbeda dengan Makassar, terutama udara dinginnya, bahasa orang-orang yang jauh berbeda, kemacetan jalan yang berada di level berbeda dengan jalan-jalan Makassar, dan tentu saja perasaan sepi yang baru pertama kurasakan di tempat baru ini. 

Bandung adalah babak baru yang datang dengan sendirinya. Prosesnya begitu cepat dan mudah, seolah semuanya memang harus seperti ini: perpindahan karier, mengurusi semua barang di Makassar, membawa semua yang bisa kubawa dalam sebuah tas carrier 45 liter, berpisah jarak dengan semua orang yang aku kenal dan mulai membuka pertemuan-pertemuan dengan orang baru. 

Bandung dalam Setahun
Suasana Jembatan Pasupati Bandung saat malam hari/Nawa Jamil

Jatinangor dan Pertaruhan Baru

Perjalanan dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng menuju Jatinangor kami tempuh dengan mobil travel. Pengemudinya cekatan meski cukup cerewet dan tidak sabaran. Selain aku, Mba Leli, dan Adeeva, mobil ini juga mengangkut dua penumpang wanita lainnya.

Perjalanan kami mulus tanpa hambatan. Kami hanya berhenti di satu rest area dan tiba di Jatinangor pada siang hari. Kami pun memasuki salah satu apartemen di daerah ini, menata barang-barang dari Makassar seadanya, lalu merebahkan diri.

Sama seperti petualangan-petualangan sebelumnya, petualangan kali ini juga membuat dada berdebar dan pikiran berkelana penuh rasa penasaran. Bedanya, perjalanan ini lebih banyak tanda tanya dan takutnya. Berbeda dari petualangan-petualangan sebelumnya, tampaknya petualangan ini akan panjang, bisa saja malahan aku menemukan rumah tetap di sini, dan kali ini tidak ada tiket pulang. Untuk pertama kalinya, aku memulai perjalanan dengan berbekal tiket sekali jalan.

Bandung dalam Setahun
Rak penuh buku di toko buku Akar Rumput di Jatinangor/Nawa Jamil

Budaya, Selera, dan Bahasa

Hari-hari di Jatinangor berjalan sibuk dan cepat. Berbeda dengan kehidupan kerja dan bermain di Makassar, Jatinangor membawaku pada kesunyian yang syahdu. Setelah selesai dari pekerjaan 9 pagi sampai 5 sore, aku akan langsung pulang ke kos, merebahkan diri, dan tertidur begitu waktu isya datang. Terdengar membosankan, bukan? Tapi percayalah, ritme ini membawaku pada kenyamanannya sendiri. 

Selain ritme kehidupannya, Jatinangor juga membuatku nyaman dengan makanan-makanannya: nasi pecel Singkiye, tahu (yang secara mengejutkan) terenak yang pernah kumakan selama hidup yang singkat ini, sate solonya, dan semua olahan mi yang enak-enak.

Ada perbedaan mencolok dari kuliner Sunda dan Makassar. Di saat kuliner Makassar menyukai segala sesuatu yang berbahan utama daging dan diolah dengan beraneka bumbu yang berani, seperti coto, sop konro, sop saudara, konro bakar, pallubasa, dan berbagai masakan olahan daging lainnya, masakan Sunda justru minim bumbu dan lebih sederhana. Orang-orang asli Sunda menyukai ikan goreng dadakan yang di luar garing tetapi menyisakan daging ikan yang lembut dan disantap saat masih hangat bersama aneka sayur lalapan. Sayur-sayurnya disajikan segar dan dapat dengan mudah ditemui hampir di seluruh warung Sunda.

Seolah keberuntunganku pindah ke sini tidak pernah habis, aku mendapati diriku mudah beradaptasi dengan bahasa Sunda. Sebagai seorang dari tanah Sulawesi dengan bahasa, intonasi, dan penekanan kata yang jauh berbeda dari Sunda, kuakui cukup sulit untuk menghindari banyak prasangka orang-orang asing terhadapku dari cara bicara orang Sulawesi ini. Banyak sekali orang yang berpikir aku marah, padahal aku hanya berbicara santai (dengan nada dan intonasi bawaan dari Makassar). Inilah seni dari sebuah pertaruhan di tanah rantau. Tantangan bahasa ini adalah sesuatu yang harus aku taklukkan, menikmati prosesnya, dan perlahan menyesuaikan diri dengan tata bahasa orang-orang sekitar. Menariknya, kini aku menikmati bahasa Sunda, lantunannya, dan tuturnya.

Orang-orang Baru

Hal yang paling sedih dari perantauan adalah jauh dari keluarga dan orang-orang yang sudah kuanggap seperti keluarga. Pertaruhan ini juga membawa ketakutan terbesar, “Seperti apa orang-orang yang akan aku temui di sini?” 

Cara dan nadaku dalam berbicara sejujurnya membawa ketakutan tersendiri. Bagaimana jika orang-orang salah paham? Bagaimana jika Bandung dan orang-orangnya tidak seseru Makassar? Bagaimana jika orang-orang tidak membuka ruang-ruang pertemanan baru denganku? Dan banyak perandai-andaian lainnya. 

Dua minggu di perantauan ini, semesta memberiku jawaban ‘tidak’ atas semua keraguan dan pertanyaan-pertanyaan. Momennya tepat pada perayaan Iduladha. Saat itu, aku diajak merayakan perayaan ini di daerah Cimenyan, di sebuah sekolah alternatif bernama Ummasa. Di sini aku bertemu orang-orang Bandung yang menyambutku dengan tangan hangat: Kak Vanbi, Kak Bolang, Kak Meylani, Kak Trisna, dan banyak lagi. 

Keberuntunganku tidak berakhir di sana. Aku juga bertemu dengan lusinan orang baik di Komunitas Teman Manusia Bandung. Pertemuan demi pertemuan menjadikan Bandung tempat yang nyaman bagi perempuan Makassar sepertiku. Dari keramahan orang-orang yang kutemui di jalanan kota, kebaikan orang-orang yang menyambutku dengan hangat di rumah-rumah mereka, keluarga baru yang kutemui di sini, sampai orang-orang asing yang mendengarkan semua ceritaku dengan hati. 

  • Bandung dalam Setahun
  • Bandung dalam Setahun

Petualangan Baru

Bandung adalah tempat jelajah yang menawarkan segala yang kucari: kekayaan musik, budaya, tempat-tempat nyaman di ketinggian, hingga daerah pantai eksotis di Garut yang dapat ditempuh sekitar tiga jam dari kosku. Aku bertemu seorang pencinta musik skinhead Bandung yang mengenalkanku tentang keragaman musik Kota Kembang. Tak hanya itu, Sunda yang terkenal dengan alunan seruling dan alat musik tradisional dari bambu juga menambah semangat eksplorasiku akan kota ini.

Kemacetan kota dan bagaimana orang-orang Bandung lebih senang berdiam diri di rumah saat akhir pekan karena jalanan kota penuh kendaraan berplat B, serta tata kota yang menurutku semrawut adalah perihal kecil Bandung yang baru bisa diketahui setelah mengamati kota ini dalam kurun waktu tertentu.

Kemacetan Jatinangor–Kota Bandung yang melewati Cileunyi, Cibiru, Ujung Berung, Cicaheum, hingga berbelok ke arah pusat kota di sekitaran Gedung Sate adalah pemakluman yang kuamini selama setahun di sini. Namun, semua itu tidak sebanding dengan yang ditawarkan: kesejukan kebun teh daerah Pangalengan, Ciwidey hingga Lembang, keunikan Tangkuban Perahu dan gunung-gunung vulkanis di sekitar Jawa Barat, hingga Bandung malam hari yang kuamati dari salah satu kafe di ketinggian daerah Bojong Koneng.

Ada begitu banyak hal indah tentang Bandung, ada begitu banyak petualangan yang mesti dimulai, peristiwa yang mesti dialami, teman untuk didengar, dan perjuangan-perjuangan yang menunggu untuk dimenangkan.

* * *

Merantau tanpa tahu kapan kembali adalah perjalanan penuh tanda tanya. Pertaruhan tanpa tiket pulang ini telah kulalui selama setahun. Hanyalah hal baik yang terpikirkan saat mengingat Bandung dan orang-orangnya. Tak berhenti di sini, perantauan ini masih akan berlanjut di Bandung sampai entah kapan, semoga untuk waktu yang lama, lama sekali. 

Terima kasih orang-orang baru, keluarga yang menerimaku, dan kesejukan Bandung yang ingin kunikmati selamanya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bandung dalam Setahun appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bandung-dalam-setahun/feed/ 0 47520
Perjalanan Residensi ke Pulau Kodingareng Makassar https://telusuri.id/perjalanan-residensi-ke-pulau-kodingareng-makassar/ https://telusuri.id/perjalanan-residensi-ke-pulau-kodingareng-makassar/#comments Mon, 17 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46259 Mentari pagi perlahan menyapa Kota Makassar, sinarnya mulai terpancar saat motor ini menelusuri jalanan yang mulai ramai. Saya melaju dengan semangat baru menuju Dermaga Kayu Bangkoa. Sesampainya di sana, terdengar suara mesin kapal yang menderu...

The post Perjalanan Residensi ke Pulau Kodingareng Makassar appeared first on TelusuRI.

]]>
Mentari pagi perlahan menyapa Kota Makassar, sinarnya mulai terpancar saat motor ini menelusuri jalanan yang mulai ramai. Saya melaju dengan semangat baru menuju Dermaga Kayu Bangkoa. Sesampainya di sana, terdengar suara mesin kapal yang menderu dan teriakan para pekerja saling bersahutan. Beberapa penumpang terlihat menunggu giliran untuk menyeberang ke pulau-pulau sekitar Makassar.

Ada banyak pappalimbang (kapal penumpang) yang siap di dermaga, salah satunya akan ke Pulau Kodingareng. Penyeberangan reguler ke Pulau Kodingareng hanya sekali dalam sehari dengan jarak tempuh sekitar sejam. Di luar itu ada waktu tertentu kami bisa menaiki kapal ini untuk menyeberang.

Ini perjalanan pertama saya menyeberangi pulau yang ada di Makassar. Saya merupakan salah satu peserta kegiatan bertema “Literasi Maritim” yang diadakan Komunitas Antropos. Tujuannya mengenalkan kepada generasi muda terkait kemaritiman melalui penguatan literasi. Saat ini kita lebih sering melihat dunia metropolitan bekerja tanpa mengetahui bagaimana kehidupan lainnya, khususnya masyarakat maritim. Semangat pembangunan acap melupakan suara penduduk pulau dan nasib ekosistem laut yang terancam.

Setelah menerima beberapa materi, kami pun melakukan residensi ke Pulau Kodingareng. Angin laut menerpa wajah saya dan membawa aroma asin yang menyegarkan. Sambil menunggu rekan-rekan lain, saya duduk di tepi dermaga, menikmati suasana pagi yang penuh harapan. Rasa penasaran dan antusiasme mengiringi perjalanan baru ini, yang membawa saya jauh dari hiruk-piruk kota menuju kehidupan pulau yang berjarak sekitar 17,4 km.

Perjalanan Residensi ke Pulau Kodingareng Makassar
Nelayan dan kapalnya di tepi pantai Pulau Kodingareng/Rabiatun Adawiah Bunga Eja

Menikmati Perjalanan di Laut Lepas

Perkembangan teknologi membuat keberadaan pulau-pulau di sekitar Makassar terekspos ke publik. Dampaknya, kunjungan wisatawan ke Pulau Lae-Lae, Pulau Samalona, dan Pulau Kodingareng meningkat pesat. Dermaga Kayu Bangkoa menjadi salah satu gerbang utama menuju pulau-pulau tersebut.

Perjalanan ini dimulai ketika saya dan rekan-rekan menaiki kapal sewaan bertuliskan “Kodingareng”. Pukul 10.16 WITA, kapal sewaan kami meninggalkan dermaga menuju Pulau Kodingareng, ditandai guncangan kecil dan suara mesin kapal yang menderu.

Laut lepas yang seolah tak berujung menjadi pemandangan utama sepanjang perjalanan. Kapal berkapasitas 20–30 orang ini menjadi saksi bisu aktivitas para penumpang yang beragam; ada yang menikmati kebersamaan dengan keluarga, ada pula yang beristirahat sambil menikmati embusan angin laut. Kebetulan laut sedang bersahabat, gerakan kapal mengikuti ritme ombak-ombak kecil.

Di sisi lain kapal, saya melihat beberapa penumpang membawa barang dagangan, seperti sayuran segar, yang akan dijual di Pulau Kodingareng. Kehidupan di pulau-pulau kecil ini tidak terlepas dari aktivitas perdagangan karena laut menjadi penghubung utama. Selama perjalanan, ada banyak pertanyaan muncul dalam benak saya. Kehidupan seperti apa yang ada di pulau? Apa saja hal baru dan menyenangkan yang akan saya dapatkan selama dua hari ke depan? Seindah apa pemandangan laut di sana?

Di tengah berbagai aktivitas yang mengisi perjalanan, mulai dari berbincang, tidur, hingga menjaga barang dagangan, waktu seolah terbang sampai saya tidak menyadari begitu cepatnya puluhan menit berlalu. Ketika kapal mendekati dermaga Pulau Kodingareng, suasana di atas kapal mulai berubah. Beberapa penumpang mulai merapikan barang bawaan mereka, bersiap turun.

Perjalanan Residensi ke Pulau Kodingareng Makassar
Anak-anak muda bercengkerama santai penuh tawa di lorong kampung/Rabiatun Adawiah Bunga Eja

Hari Pertama: Menyusuri Lorong-lorong Pulau

Sesampainya di pulau, hal pertama yang menarik perhatian saya adalah panorama pantai yang dihiasi kapal-kapal nelayan. Di bibir pantai, kapal-kapal kayu bersandar dengan jala-jala yang terlipat rapi, menjadi saksi kehidupan para nelayan yang sehari-hari mengarungi lautan untuk mencari nafkah.

Lebih jauh ke daratan, terlihat rumah-rumah penduduk yang berdiri kokoh. Sebagian besar bangunan terbuat dari kayu dengan atap seng, memancarkan kehangatan dan kekeluargaan. Di pulau, saya melihat hal unik. Penduduk di sini lebih banyak menggunakan sepeda listrik dibandingkan kendaraan bermotor. Berdasarkan data pencatatan penduduk seperti dikutip Mongabay (28/5/2021), Pulau Kodingareng dihuni oleh 4.522 jiwa, terdiri dari 2.271 laki-laki dan 2.251 perempuan. 

Saya dan rekan-rekan peserta—Arif, Kak Hasra dan Ucup—serta instruktur dari Antropos, Kak Sahima, Kak Agus, dan Kak Sultan, melangkah ke rumah Manda, salah satu warga pulau, yang telah lama menanti kedatangan kami. Rumah Manda akan kami tumpangi selama dua malam. 

Setibanya di rumah, keluarga Manda menyambut hangat, menyuguhkan makanan dan minuman dingin yang sangat menyegarkan di tengah cuaca terik. Tepat saat khotbah Jumat berkumandang, rekan-rekan pria yang beragama Islam bergegas menuju masjid. Sementara itu, saya dan rekan lainnya beristirahat sejenak sebelum mulai mengeksplorasi pulau.

Pukul 13.22 WITA, kami mulai menjelajahi Pulau Kodingareng. Lorong-lorong kecil yang diapit rumah-rumah berdiri rapat menciptakan suasana padat, tetapi hangat. Penduduk tampak duduk santai di bale-bale (tempat duduk berbahan bambu atau papan kayu) depan rumah mereka, bercengkerama dengan penuh keakraban. Ada yang membakar ikan bersama keluarga, ada juga yang bermain karambol.

Sore hari tiba dengan langit oranye keemasan, menciptakan suasana yang begitu indah. Kehidupan sederhana di pulau ini memberikan kesan mendalam tentang nilai kebersamaan dan saling mendukung antarpenduduk.

Perjalanan Residensi ke Pulau Kodingareng Makassar
Seorang anak bersantai dengan membaca di atas kapal/Rabiatun Adawiah Bunga Eja

Hari Kedua: Menyelami Kehidupan Penduduk

Keesokan paginya, saya kembali menyusuri lorong-lorong pulau. Namun, kali ini berbeda. Lebih banyak warga perempuan (ibu-ibu) yang terlihat menghabiskan waktu dengan duduk di bale-bale

Biasanya, mereka berbincang membahas penghasilan atau cerita tetangga. Anak-anak kecil berlarian riang di bawah sinar matahari, menghidupkan suasana dengan tawa mereka.

Saat menelusuri pulau saya sempat merasa kelelahan. Saya pun memutuskan untuk berhenti sejenak dan mendatangi perempuan paruh baya yang sedang duduk di bale-bale bersama tetangga lainnya. Sebut saja namanya Bu Eti.

Wanita paruh baya itu bercerita cara mereka menghabiskan waktu setiap harinya. “Setiap hari ngumpul begini, duduk-duduk, cerita-cerita bahas penghasilan sama tetangga,” katanya sambil terkekeh-kekeh bersama ibu-ibu lainnya.

Perjalanan Residensi ke Pulau Kodingareng Makassar
Ibu-ibu dan anak-anak bercengkerama di tepi pantai/Rabiatun Adawiah Bunga Eja

Kehidupan Senggang Nelayan: Main Karambol dan Merawat Kapal 

Saat kembali berjalan, seorang pria tiba-tiba bertanya, “Mahasiswa, Dik? Apa [yang lagi] dibuat (dikerjakan)?”

Langkah kaki saya terhenti saat itu juga. “Iya, Kak. Ini lagi keliling. Rencana mau lihat orang main karambol, tapi nda ada saya lihat,” jawab saya. “Oh, biasanya sore pi. Pulang pi dari melaut.” Mendengar jawaban itu, saya memutuskan berhenti sejenak untuk kedua kalinya. Saya, dengan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap kehidupan senggang nelayan, kemudian melontarkan beberapa pertanyaan padanya.

Saya baru tahu, hari Jumat selalu menjadi hari yang paling ramai di Pulau Kodingareng. Tidak seperti hari-hari biasa. Kebanyakan nelayan sibuk melaut sejak pagi buta, tetapi pada hari Jumat mereka memilih untuk beristirahat di daratan. Hari Jumat adalah waktu bagi para nelayan untuk merajut kembali kebersamaan dengan keluarga dan teman-teman. “Kalau hari Jumat itu nda ada orang turun (melaut), hari Minggunya mi nelayan itu (melaut), karena ada salat Jumat sama [sudah] jadi kebiasaannya mi orang di sini,” jelas Kak Ikhsan. 

Perjalanan Residensi ke Pulau Kodingareng Makassar
Sejumlah warga dan nelayan bermain karambol/Rabiatun Adawiah Bunga Eja

Satu hal lagi yang saya ketahui. Selain berkumpul di bale-bale, penduduk Pulau Kodingareng juga memiliki cara lain untuk mempererat hubungan sosial mereka, bermain karambol di waktu senggang. Permainan favorit ini sering dilakukan, terutama di kalangan nelayan yang baru saja pulang melaut. Di sela-sela rutinitas yang berat, karambol menjadi pelarian sederhana yang menawarkan hiburan sekaligus kesempatan untuk berkumpul dan berinteraksi. “Kalau sudah semua [pekerjaan] dikerjakan, baru ki main karambol, untuk senang-senang saja sama kumpul-kumpul daripada tidak ada dibuat,” ucap nelayan lain yang kerap disapa Irfan. 

Hal lain yang unik juga saya lihat ketika saya berjalan sore hari. Penduduk Pulau Kodingareng kerap mengadakan acara bakar-bakar ikan di depan rumah. Setelah seharian melaut, para nelayan membawa pulang ikan tangkapan segar yang kemudian dibersihkan dan disiapkan untuk dibakar bersama-sama. Sore menjadi waktu yang sempurna bagi mereka untuk menikmati hasil tangkapan. “Setiap hari memang kumpul begini, kalau dapat ikan pasti dibawa pulang biar ada juga [yang] dibakar-bakar kalau sore.” 

Selain bermain karambol atau berkumpul, para nelayan juga memanfaatkan waktu senggang untuk merawat kapal mereka. Saya melihat beberapa nelayan membersihkan lambung kapal dan memeriksa bagian-bagian yang perlu diperbaiki. Aktivitas ini tidak hanya menjaga perahu tetap dalam kondisi prima, tetapi juga menunjukkan hubungan mendalam antara nelayan dan alat penghidupan mereka.

Perjalanan Residensi ke Pulau Kodingareng Makassar
Seorang nelayan sedang merawat mesin kapalnya/Rabiatun Adawiah Bunga Eja

Renungan di Akhir Perjalanan

Malam terakhir di Pulau Kodingareng memberikan waktu bagi saya untuk merenungi perjalanan ini. Pertanyaan-pertanyaan yang sempat terlintas di awal perjalanan kini terjawab dengan jelas.

Kehidupan masyarakat Pulau Kodingareng begitu sederhana, tetapi penuh makna. Keakraban antarpenduduk, lalu cara mereka memanfaatkan waktu senggang menjadi pelajaran berharga.

Dari lorong-lorong kecil hingga bale-bale sebagai tempat berkumpul, semuanya mencerminkan nilai kebersamaan yang kuat di Pulau Kodingareng. Perjalanan ini mengajarkan bahwa kehidupan yang sederhana pun dapat memberikan kebahagiaan dan kedamaian yang mendalam.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Residensi ke Pulau Kodingareng Makassar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-residensi-ke-pulau-kodingareng-makassar/feed/ 4 46259
Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar https://telusuri.id/perjalanan-mematahkan-mitos-ke-pulau-selayar/ https://telusuri.id/perjalanan-mematahkan-mitos-ke-pulau-selayar/#respond Sat, 10 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42488 Entah sejak kapan, tetapi yang pasti cerita-cerita perihal Luwu dan Selayar telah lama saya dengar. Mungkin sejak SMP dulu. Anekdot “orang Luwu tidak boleh ke Selayar” membuat Selayar menjadi kabupaten terakhir di Sulawesi Selatan yang...

The post Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar appeared first on TelusuRI.

]]>
Entah sejak kapan, tetapi yang pasti cerita-cerita perihal Luwu dan Selayar telah lama saya dengar. Mungkin sejak SMP dulu. Anekdot “orang Luwu tidak boleh ke Selayar” membuat Selayar menjadi kabupaten terakhir di Sulawesi Selatan yang belum pernah saya kunjungi.

Ada potongan sejarah yang mendasari sampai istilah tersebut tumbuh di antara masyarakat Luwu. Padahal secara geografis, Luwu berupa daratan seluas 3.000 km2 dan berada sangat jauh dari Selayar. Sekitar 333 km jika ditarik garis lurus. Namun, perjalanan yang menghubungkan keduanya bisa ditempuh sekitar 18–19 jam dengan bergonta-ganti moda transportasi: bus, mobil, motor, hingga kapal feri.

Setelah lebaran Idulfitri (11/4/2024), saya mencoba perjalanan panjang perdana ke Selayar. Saya cukup beruntung ditemani beberapa teman mengajar di pelosok Maros saat masih kuliah dulu. Ada Kak Bagus, Kak Wiwi, Kak Yasmin, Kak Jannah, Kak Nono, Kak Fajar, Kak Mifta, seorang teman asli selayar bernama Kak Yudi, dan seorang teman yang kebetulan sedang berada di Selayar saat kami ke sana. 

Perjalanan Darat Palopo–Makassar–Bulukumba

Di titik jemput bus di jalan poros lintas provinsi daerah Binturu, Kak Bagus telah menunggu di sana bersama satu tas besar dan sebuah daypack. Barang bawaannya banyak, karena dia akan langsung kembali ke tempat kerjanya di daerah Papua setelah dari Selayar. Setengah jam menunggu, bus kami akhirnya tiba dan berangkat sekitar pukul 20.30 WITA.

Palopo–Makassar menjadi perjalanan darat terpanjang dengan waktu tempuh  9 jam penuh. Kami tiba di Makassar keesokan harinya pada pukul 06.00 WITA. Setelah menaruh seluruh oleh-oleh dari kampung, saya langsung berangkat ke titik kumpul, yaitu rumah seorang teman di Jalan Paropo. Di sini, kami menunggu minibus yang disewa untuk mengantarkan kami ke Bulukumba sejauh 160-an kilometer atau lebih dari empat jam perjalanan.

Ada enam orang yang berangkat dari Makassar. Satu orang lainnya berangkat dengan motor dari Bone, satu orang berangkat dari Bantaeng, dan satu orang sudah menunggu di rumahnya di Bulukumba. Adapun seorang lagi sudah berada di Selayar selama seminggu. Ia menghabiskan libur panjang lebaran bersama keluarga. 

Sopir rental kami sudah datang, yang ternyata dia adalah teman sekelas Kak Wiwi di Bulukumba. Kami banyak berbincang dan menertawakan hal-hal acak selama perjalanan. Setibanya di rumah Kak Wiwi di kawasan Desa Alla, kami hanya beristirahat kurang dari 15 menit lalu melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Bira dengan diantar adik Kak Wiwi.

Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar
KMP Takabonerate yang melayani rute Bira-Selayar/Nawa Jamil

Nyaris Tertinggal Kapal

Pelabuhan Bira berjarak 30–40 menit dari Desa Alla. Kami berjalan dengan perasaan waswas takut tertinggal kapal terakhir ke Selayar yang berangkat pukul 14.00 tepat. Sementara kami sudah cukup dekat dengan pelabuhan, tetapi belum sampai juga. Beberapa teman terus menelepon, menanyakan plat nomor dan meminta kami untuk melaju lebih cepat.

Kami memasuki gerbang pelabuhan pukul 14.10. Terlihat di kejauhan kapal seperti siap lepas landas, tetapi belum. Ini membuat semua yang berada di mobil merasa lega. 

“Mobil antar penumpang, Pak!” seru kami begitu dicegat oleh salah seorang petugas di pos jaga. 

“Oh, iya. Cepat mi dek! Aduh!” Timpalnya dengan sedikit mengeluh atas keterlambatan kami. 

Mobil mengantar kami tepat di depan pintu rampa yang akan segera tertutup. Begitu turun dari mobil dan pamit sepenuh hati pada adik Kak Wiwi, kami langsung berlari menuju pintu. Di sana seorang teman yang sedari tadi kukuh menahan agar kapal bisa menunggu lima temannya, kini bisa bernapas lega. Beberapa orang menyoraki kami.

Setelah memastikan semuanya aman, kami masuk ke bagian atas kapal karena semua dek penumpang sudah penuh. Baru saja menaruh tas dan duduk sebentar, kapal langsung melaju. Menandakan kami orang terakhir yang ditunggu. Bukan sebuah kebanggaan, tetapi pengalaman mengejar kapal pertama saya ini cukup seru juga.

Cerita di Atas Kapal

Kru kapal memberi kami satu set makanan berat, terdiri dari nasi, potongan kecil ayam, dan sedikit sayur. Meskipun porsinya cukup sedikit, tapi Kak Jannah, teman kami dengan cekatan membawa bekal lauk-pauk melimpah yang tersisa dari momen lebaran keluarganya. Ia langsung mengubah nasi kotak biasa kami menjadi makanan mewah yang kaya protein dan lemak.

Sambil makan, saya berusaha membuka percakapan dengan Kak Yudi. Dulu kami hanya bertemu sekali di Pulau Lanjukang saat melakukan salah satu kegiatan relawan hasil kolaborasi antarkomunitas. Berawal dari banyak percakapan liar, lalu berakhir dengan satu ajakan, “Nanti kalau ke Selayar kabari saja, nah!”

Akhirnya hari saya berkunjung ke Selayar tiba. Cukup beruntung Kak Yudi, orang asli Selayar dan pemandu wisata, bisa menemani kami dalam perjalanan ini selama beberapa hari ke depan. Jadwal yang begitu mepet membuat saya tidak sempat berbincang banyak dengan Kak Yudi.

Kapal sudah berlayar setengah jalan. Usai memakan jatah nasi dan lauk yang dibawa Kak Jannah dari rumah, saya lalu mengambil tempat di samping Kak Yudi yang saat itu tengah tenggelam dalam isapan rokoknya.

“Maaf, ya, Kak. Tadi Kak Yudi lama menunggu di daerah Bantaeng,” terang saya memulai percakapan. 

“Oh, tidak apa-apa, kok, Kak,” balasnya. 

Selama mengarungi Laut Flores, kami bercerita banyak tentang Selayar dan perjalanan pertamaku ke kepulauan tersebut. Tentu, perihal mitos orang Luwu tidak boleh ke Selayar menjadi topik pertama yang kulontarkan kala itu.

”Kak Yudi, aku kan orang Luwu nih, Kak. Kakak pernah dengar tidak tentang mitos kalau orang Luwu enggak boleh ke Selayar?”

Kak Yudi terlihat sedikit terkejut. Alisnya sedikit naik mengetahui aku dari tanah Luwu. “Oh, ya? Kamu orang Luwu, toh?”

Dari perspektif orang Selayar, Luwu merupakan satu daerah yang berkaitan erat dengan Selayar. Ada banyak sejarah yang melatarbelakangi lahirnya mitos tersebut. Namun, sebagai orang asli Selayar, Kak Yudi pun tidak mengetahui perihal larangan itu.

“Kalau yang kutahu, sih, orang Selayar tidak pernah berjodoh (dalam hal ini menikah) dengan orang Luwu, tetapi mitos yang kamu bilang tadi saya kurang tahu.”

Ia lalu melanjutkan, “Tapi memang Pulau Selayar ini punya sejarah yang kental dengan kepercayaan orang Luwu, juga kisah dalam Kitab La Galigo.”

  • Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar
  • Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar

Hikayat We Tenri Dio 

Ada banyak sumber dan versi tentang Pulau Selayar, serta kedekatannya dengan Sawerigading. Pelayaran menjadi kata kunci atau benang merahnya. I Malaniki, raja pertama Selayar, dalam beberapa versi disebut We Tenri Dio, anak dari Sawerigading. Dikisahkan Sawerigading dan sang istri, We Cuddai beserta ketiga anaknya, La Galigo, We Tenri Dio, dan We Tenri Balobo melakukan perjalanan bersama dari Cina ke Luwu lalu singgah di Selayar.

Terdapat perbedaan pendapat dari sebab persinggahan mereka. Ada sumber yang mengatakan perahu mereka mengalami kecelakaan di laut hingga terdampar di Selayar. Versi lain menyebut perahu Sawerigading hendak mengganti layar di pulau ini. Ada pula yang bilang perahu tersebut memang dijadwalkan untuk berlabuh sementara di Selayar. 

Singkat cerita, atas restu dari kedua orang tuanya, We Tenri Dio memutuskan menetap di Kepulauan Selayar. Di Selayar, We Tenri Dio yang orang Luwu kemudian dikenal sebagai I Muri I La Judiu Nikana La Tenri Dio menjadi raja pertama di Putabangun, kerajaan tertua di Pulau Selayar. Ia menikah dan menetap hingga akhir hayatnya di Selayar. Makamnya berada di sebuah kuburan tua dengan nisan di utara, menandakan kuburan ini telah ada sebelum ajaran Islam masuk ke Selayar. Ia dimakamkan bersama tiga kuburan lainnya, salah satunya Lalaki Sigayya, sang suami.

Di pulau ini juga ditemui salah satu jejak kapal Sawerigading, Gong Nekara. Konon, gong ini merupakan salah satu bagian dari kapal Sawerigading yang berfungsi sebagai pertanda saat kapal hendak singgah di pelabuhan-pelabuhan. Gong ini dipercaya hanya ada sepasang di seluruh dunia, yaitu di Vietnam dan Pulau Selayar serta merupakan sepasang “suami-istri”.

Setelah menyelidiki sejarah Selayar dan Luwu, saya sampai pada satu kesimpulan. Tidak pernah ada larangan yang membatasi kedua masyarakat dari tanah berbeda itu saling mengunjungi satu sama lain.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-mematahkan-mitos-ke-pulau-selayar/feed/ 0 42488
Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga https://telusuri.id/sehari-menjadi-pekebun-kota-di-kebun-tetangga/ https://telusuri.id/sehari-menjadi-pekebun-kota-di-kebun-tetangga/#respond Mon, 24 Jun 2024 09:08:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42216 Meskipun tidak seramai dan sesesak Jakarta, tetapi menjadi kota tersibuk di kawasan Indonesia Timur menjadikan Makassar sesekali cukup menyebalkan. Kemacetan rutin tiap pukul 08.00 dan sekitar 16.00 WITA. Paling parah biasanya saat ada perhelatan, seperti...

The post Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga appeared first on TelusuRI.

]]>
Meskipun tidak seramai dan sesesak Jakarta, tetapi menjadi kota tersibuk di kawasan Indonesia Timur menjadikan Makassar sesekali cukup menyebalkan. Kemacetan rutin tiap pukul 08.00 dan sekitar 16.00 WITA. Paling parah biasanya saat ada perhelatan, seperti wisuda, kondangan, dan konser-konser di sekitar daerah Tanjung Bunga. 

Tidak hanya orang dewasa yang sibuk dengan berangkat ke kantor sejak pagi dan baru pulang saat petang. Anak-anak pun tidak kalah sibuk. Setelah seharian sekolah, mereka terkadang harus melanjutkan dengan les tambahan atau mengaji saat sore. Kesibukan-kesibukan di kota terkadang membuat kita berpikir bahwa menikmati keindahan berarti selalu pergi jauh dari rutinitas.

Untuk saya, menikmati keindahan tidak harus jauh. Saya selalu punya satu tempat yang cukup dekat dari rumah. Namanya “Kebun Tetangga”. Sebuah kebun urban yang di dalamnya saya bisa melakukan aktivitas seharian menjadi pekebun.

Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga
Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga

Sekilas tentang Kebun Tetangga

TelusuRI menjadi benang merah pertemuan saya dengan Kak Syukron, sosok di balik Kebun Tetangga. Sekitar tiga tahun lalu, saat perhelatan Makassar International Writers Festival (MIWF), saya bertemu dengan Kak Syukron. Baju warna merah dan tas punggungnya tampak tidak asing, sebab mirip sekali dengan foto profil WhatsApp-nya waktu itu. Saya beranikan diri untuk menegur, dan percakapan kami berlangsung cukup menyenangkan.

Saat itu Kak Syukron bersama Bilal, anak sulungnya. Sebelum pulang, ia mengajak untuk mengunjungi Kebun Tetangga yang katanya sebentar lagi akan panen kombucha. Semenjak ajakan tersebut, Kebun Tetangga menjadi salah satu tempat rutin yang saya kunjungi sampai sekarang.

Saya cukup beruntung diterima dengan baik di sini. Menyaksikan bagaimana kebun bertumbuh, orang-orang semakin banyak, ladang-ladang yang digarap kian luas, dan tumbuhan yang ditanam tambah beragam. 

Sehari di Kebun Tetangga

Seorang teman sekaligus pekebun di Kebun Tetangga menginisiasi gerakan #RabuMie, atau makan mi tiap hari Rabu. Setelah percakapan singkat via teks, kami sepakat untuk bertemu di kebun pagi hari, bekerja di sana, lalu menikmati #RabuMie sebagai penutup hari.

Saya berangkat dari rumah di daerah Batua sekitar pukul 07.00 WITA. Setelah mengendarai motor selama setengah jam, saya tiba di area Kebun Tetangga, Samata, perbatasan antara Kota Makassar dan Kabupaten Gowa. Begitu tiba, orang-orang sudah sibuk berkebun. Dua orang tukang tampak sibuk memaku papan-papan kayu ke dinding bangunan kecil yang sementara terbangun di bagian agak luar dari kebun. Lalu di rumah kedua, saya mendapati Kak Syukron dan Erbe, teman saya, sedang mengisi pipa-pipa panjang dengan pasir. 

“Pagi, Kak!” kusapa mereka berdua sembari motor tetap melaju ke rumah utama, kediaman Kak Syukron, Kak Wulan, dan dua anak mereka. Di sini, saya menyimpan tas dan jaket, berbincang sebentar dengan Kak Wulan, lalu keluar menghampiri para pekebun yang sibuk tadi. 

“Jadi, apa bisa kukerja pagi ini?” tanya saya.

“Boleh dibantu panen bunga matahari, Naw. Tapi potong bunga matahari yang sudah hitam saja, nah!”

Setelah menerima instruksi pertama pagi itu beserta alat tempurnya—sebuah tang gunting dengan pegangan berwarna kuning—saya pun berjalan menuju ladang dengan sederet bunga matahari yang tinggi-tinggi. Bahkan banyak yang lebih tinggi dari saya. 

Tugas pertama yang tidak terlalu sulit dan cukup menyenangkan. Tidak ada hal khusus, hanya saja memastikan bunga matahari yang saya panen sudah menghitam dengan kelopak bunga yang sepenuhnya layu. Memotong batang bunga juga sebaiknya tidak terlalu panjang, secukupnya saja. 

Tidak sampai 15 menit, saya kembali dari ladang dengan seember penuh bunga matahari. Saya letakkan di meja, lalu Erbe mengambil seluruh hasil panen itu untuk ditata di atas nampan, lalu dijemur di bawah terik matahari pagi. Tampaknya masih belum ada yang memanen bunga telang pagi itu. Maka, saya menawarkan diri mengambil alih salah satu pekerjaan yang paling saya suka di kebun. 

Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga
Deretan bunga matahari yang ditanam di Kebun Tetangga/Nawa Jamil

Memanen Bunga Telang

Bunga telang kering dan olahannya menjadi salah satu komoditas unggulan di kebun. Selain bunga telang yang sudah dikeringkan—cocok sekali diseduh dan dinikmati dengan perasan jeruk nipis dan madu—telang juga bisa diolah menjadi sirup telang sereh dengan wangi sereh merah. Rasa teh telang yang manis dan asam juga tak kalah enaknya. 

Seingat saya, telang telah tumbuh di kebun ini dari tahun lalu, atau bahkan lebih lama dari itu. Telang punya banyak manfaat untuk kesehatan. Tumbuhan ini merimbun dan cukup lebat, tergantung nutrisi pada tanahnya dan serangan hama. Memetiknya juga cukup menyenangkan. Bunga telang yang boleh dipetik hanya bunga yang mekar sempurna dan tidak layu. Semakin lebat, bunga ini akan memberikan semakin banyak bunga dengan waktu panen rutin tiap pagi-sore. 

Hari ini saya memetik bunga telang cukup lama sampai kedua otot lengan atas pegal. Mungkin sekitar setengah jam lebih. Untuk sekitar tiga bed tanaman telang dapat menghasilkan 2–3 nampan penuh telang yang siap dijemur. Saya menaruhnya di samping nampan bunga matahari yang telah saya petik sebelumnya. 

Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga
Hasil panen bunga telang/Nawa Jamil

Aneka Makanan Enak dan Menyehatkan di Kebun

Dapur adalah ruang eksperimen Kak Wulan. Ia pandai mengolah penganan dengan memanfaatkan bakteri-bakteri baik. Termasuk membuat kombucha. Minuman probiotik itu berasal dari teh hitam dan scooby, lalu diberikan potongan buah pada fermentasi kedua, tempe dari aneka biji-bijian—tidak melulu kedelai. Selain itu juga ada tepache, sejenis minuman probiotik dari kulit nanas. 

Saya juga pernah melihat telur bebek yang diasinkan dengan metode direndam dalam toples yang cukup unik. Saat mencobanya, rasanya cukup enak seperti telur asin yang biasa saya nikmati.

Cukup sering saya menikmati aneka makanan sehat dari bahan-bahan yang cukup unik. Kak Wulan adalah salah satu koki yang sangat memerhatikan bahan makanannya. Darinya saya baru tahu, rasa khas garam bali dan garam jeneponto bisa menghasilkan masukan yang lebih lezat dibanding jika menggunakan garam kasar biasa yang kita beli di toko.

Hari itu Kak Wulan hendak memasak ayam saus kacang dan tumis sayur untuk makan siang. Saya diberi tugas membeli wortel dan bawang bombay ke warung kecil tak jauh dari kebun.

Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga
Menu makan siang ayam saus kacang dan sayur tumis hasil masakan Kak Wulan/Nawa Jamil

Berkebun Menjadi Menyenangkan

Usai makan siang, saya membantu Kak Wulan menyemai bibit-bibit sawi dan selada. Sawi-sawi yang tumbuh satu lubang bertiga, siang itu kami pindahkan ke masing-masing lubang. Begitu pun selada. Dengan perbandingan 1:1 antara sekam bakar dan tanah yang sudah bercampur pupuk alami, kami mengerjakannya nonstop selama dua setengah jam lebih. Saya senang melakukan pekerjaan “monoton” seperti ini, memasukkan satu kegiatan fisik di antara kegiatan sehari-hari yang membutuhkan kerja otak berat. 

Selada merupakan komoditas yang paling diminati masyarakat. Selain selada, sayur-mayur organik lain, seperti sawi, aneka sayur lalap, dan cabai juga dilirik oleh supermarket di Kota Makassar. Sayangnya, kapabilitas pekebun-pekebun organik di daerah Makassar dan sekitarnya masih belum mampu mencukupi angka permintaan yang ada. Untuk menyiasati jumlah permintaan yang ada, Kebun Tetangga menerapkan pencatatan waktu semai benih dan pemindahan bibit ke bedengan yang konstan dengan jarak seminggu. 

Saya selalu senang menghabiskan waktu di kebun ini. Melihat lebih lambat, menyaksikan bagaimana tumbuhan punya ritmenya sendiri. Saya senang dengan orang-orang di dalamnya, juga cerita-cerita yang hadir di setiap kesempatan berkunjung.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sehari-menjadi-pekebun-kota-di-kebun-tetangga/feed/ 0 42216
Melihat “Passandeq” Menjadi Guru di Pesisir Selat Makassar https://telusuri.id/melihat-passandeq-menjadi-guru-di-pesisir-selat-makassar/ https://telusuri.id/melihat-passandeq-menjadi-guru-di-pesisir-selat-makassar/#respond Mon, 29 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41789 Kebudayaan serupa ikan yang hidup di laut lepas yang selalu dibicarakan sebagai kekayaan alam. Dikuras untuk menghidupi manusia, tetapi tidak jarang pula diabaikan kondisi lingkungan hidupnya. Padahal dalam lembaran negara telah diamanatkan bahwa negara memajukan...

The post Melihat “Passandeq” Menjadi Guru di Pesisir Selat Makassar appeared first on TelusuRI.

]]>
Kebudayaan serupa ikan yang hidup di laut lepas yang selalu dibicarakan sebagai kekayaan alam. Dikuras untuk menghidupi manusia, tetapi tidak jarang pula diabaikan kondisi lingkungan hidupnya. Padahal dalam lembaran negara telah diamanatkan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia, dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

Mandar, salah satu suku bangsa di Nusantara yang budayanya berorientasi laut di antara suku bangsa maritim lainnya, seperti Makassar, Bugis, Bajau, Madura, dan Buton. Melalui buku Orang Mandar Orang Laut (KPG, 2005), Muhammad Ridwan Alimuddin menyebut keulungan bahari suku Mandar bisa ditemukan pada bentuk teknologi perikanan yang mereka kembangkan seperlunya untuk mengatasi tantangan alam yang terbentang di depan mereka.

Muhammad Ridwan Alimuddin menyebut bahwa laut “dalam” adalah pembeda antara Mandar dan lima suku bangsa bahari lainnya di Indonesia. Menurutnya, jika kita meneliti peta kedalaman laut Indonesia, Mandar adalah satu-satunya suku bahari yang langsung dihadapkan ke laut dalam terbuka tanpa gugusan pulau. Setidaknya, kedalaman itu mencapai 100-2000 meter di bawah permukaan laut.

“Jika boleh dikata sifat kebaharian suku Mandar bukan muncul dari hiruk-pikuk perebutan kekuasaan politik, militer, atau ekonomi, melainkan lewat cara yang bersahaja namun konkret, yakni menghadapi tantangan alam dengan mengembangkan teknologi untuk mengatasinya,” tulis Muhammad Ridwan Alimuddin.

Salah satu teknologi perikanan yang menjadi warisan budaya Mandar adalah perahu sandeq. Perahu yang menurut antropolog maritim, Horst Liebner, sebagai puncak revolusi perahu bercadik khas Austronesia. Dahulu, perahu sandeq digunakan untuk menangkap ikan dan berdagang sampai Selat Malaka, Laut Sulu, Papua, dan Pulau Jawa.

Cerita keulungan itu ternyata perlahan berubah sejak nelayan mulai mengenal motorisasi perahu. Posisi perahu sandeq yang bertenaga angin dan ramah lingkungan sebagai perahu warisan budaya mulai tergeser posisinya. Kondisi ini mendorong lahirnya upaya pelestarian sandeq, terutama mewariskan nilai budaya maritim yang terkandung di dalamnya.

Tahun 1995, bermula dari tugas Horst Liebner untuk meneliti tentang pembuatan perahu Sandeq. Setelah satu perahu yang Horst Liebner teliti selesai dibangun di Tanangan, Majene, hari itu juga langsung didorong ke laut dan mengapung-apung di depan kampung. Horst Liebner lalu bertanya pada nelayan yang baginya dianggap teman, “Sekarang kita bikin apa dengan perahu itu?” Para nelayan waktu itu justru memberi jawaban untuk dibuat lomba. Horst Liebner lalu bertanya balik ingin lomba ke mana, yang kembali dijawab dari Majene ke Makassar. Mereka pun membuat lombanya dalam rangka HUT RI Ke-50. Lomba perahu tersebut yang kini dikenal dengan nama Sandeq Race..

Melihat "Passandeq" Menjadi Guru di Pesisir Selat Makassar
Deretan perahu sandeq pangoli yang akan digunakan peserta Student on Sandeq/Abdul Masli

Student on Sandeq, Pelajaran Pemajuan Kebudayaan dari Mandar

Selasa pagi (08/08/2023), angin kencang berembus, mengingatkanku pada lirik lagu Mandar “Wattu Timur di Pamboang” gubahan Andi Syaiful Sinrang dan HM Abdullah yang dulu biasa saya dengar lewat saluran TV kabel. Hari itu, awal mula Student on Sandeq (SOS) dilaksanakan, sebuah upaya pewarisan nilai budaya di atas laut oleh para passandeq (orang yang mengemudikan perahu sandeq) kepada generasi muda.

Saya memperoleh informasi dari Nasa, seorang teman yang menjadi panitia pelaksana, saat dalam perjalanan dari Tammerodo menuju Banggae, Majene. Kuputuskan singgah di Pamboang, berjalan menyusuri lorong menuju Dapur Mandar, menyaksikan kegiatan yang menghadirkan nelayan Mandar sebagai pelaku budaya untuk mengajarkan anak sekolah tentang semesta laut. Khususnya budaya maritim dan perahu sandeq.

Saya tiba di lokasi pukul 09.30, lalu berdiri di atas tanggul pesisir Pantai Pamboang, tepat samping Dapur Mandar. Saya mengarahkan pandangan ke laut melihat enam perahu sandeq pangoli berjejer di pantai. Jenis perahu sandeq yang biasa digunakan menangkap ikan dan mencari telur ikan terbang dengan menghanyut di tengah laut. Nelayan menyebutnya motangnga. Pada dinding perahu tertulis nama masing-masing sandeq, yakni Dewa Ruci, Buah Kurma, Cari Selamat, Palippis Indah, Bintang Laut, dan Sahara.

Setengah jam menunggu, rombongan peserta telah tiba. Kulihat Ridwan, Nasa, dan beberapa panitia keluar dari Dapur Mandar menyapa para passandeq. Nasa menyerahkan kaos bertuliskan SOS dan lukisan sandeq di depannya kepada passandeq. Saya menyapa mereka, berjabat tangan, kemudian bergabung ke lokasi untuk mengikuti kegiatan pembukaan. Terlihat para panitia giat menyiapkan acara pembukaan, para siswa dari enam sekolah sibuk registrasi dan duduk bercerita di halaman depan Dapur Mandar. Tidak lama, mereka diminta untuk mengganti baju dengan seragam yang telah disiapkan. Semua berlangsung cepat.

Melihat "Passandeq" Menjadi Guru di Pesisir Selat Makassar
Seorang Passandeq melintas di pantai belakang Dapur Mandar/Abdul Masli

Student on Sandeq ini adalah bagian awal dari rencana jangka panjang. Kalau dulu Sandeq Race dimulai tahun 1995 dan hari ini alhamdulillah masih berlangsung, sudah lebih 20 tahun, bahkan hampir 30 tahun. Kali ini idenya adalah semua SMA, SMK, dan MA yang sekolahnya di pesisir itu punya perahu sandeq,” ucap Muhamad Ridwan Alimuddin, penulis buku Sandeq: Perahu Tercepat Nusantara terbitan Penerbit Ombak tahun 2013 dalam sambutannya.

“Ini, kan, di sekolah sudah ada [ekstrakurikuler] sepak bola, voli, takraw, pramuka; kenapa tidak ada kegiatan berlayar? Kebetulan ada juga kegiatan Merdeka Belajar, jadi bisa dikonversi ke nilai. Nah, yang akan menjadi guru-guru itu para passandeq. Jika sebelumnya sudah ada kegiatan seniman masuk sekolah—kalau tidak salah seniman itu mengajar dan ada gajinya—maka kegiatan ini serupa dengan itu, sehingga passandeq tidak akan jual sandeq-nya kalau ada program seperti itu. Terus teman-teman (siswa) juga akan belajar berlayar dan dalam event-event tertentu, misalnya Hardiknas atau 17 Agustus, itu berlomba. Namun, lombanya bukan cuman kecepatan, tapi dinilai bagaimana kolaborasi di atas perahu sandeq. Jadi, akan ada kolaborasi yang indah antara pelajar dan para passandeq. Dengan cara itu bisa memperpanjang umur perahu sandeq, dan mungkin akan bertambah,” lanjutnya.

SOS melibatkan tiga sawi untuk satu perahu yang akan mewariskan pengetahuannya kepada masing-masing lima siswa dari enam sekolah yang diundang, yakni SMK Labuang, SMK Balanipa, SMAN 1 Tinambung, SMAN 1 Majene, SMAN 2 Majene, dan SMAN 3 Majene. Keenam sekolah ini berada di pesisir Mandar. Siswa menginap di lokasi untuk mengikuti berbagai rangkaian acara, mulai dari praktik memasang layar sandeq, melayarkan perahu, tali temali, navigasi pelaut Mandar, dan sebagainya. Pengalaman berlayar itu mereka tulis menjadi sebuah warisan pengetahuan. Posisi pencatatan setiap peristiwa dipandang penting agar nanti bisa menjadi pengetahuan yang diwariskan bagi generasi selanjutnya.

“Intinya, kegiatan ini bukan melahirkan siswa untuk jadi nelayan atau passandeq—kalau ada yang mau itu malah lebih bagus—tapi bagaimana karakter ke-pelaut-an itu dimiliki oleh kita.” Muhammad Ridwan Alimuddin diam sebentar. Rasa haru nampaknya memenuhi ruang hatinya hingga menitikkan air mata. Kemudian lanjut bicara dengan suara bergetar. 

“Jadi, di passandeq itu, komunitas maritim secara umum, banyak sekali yang punya pengetahuan atau ussul kalau bagi orang Mandar, misalnya tiba sebelum berangkat, terus harus berpikir positif. Hal itu harus kita miliki juga. Paling penting adalah passandeq itu cukup inovatif, apa pun masalah di laut itu mereka bisa atasi. Nah, di kehidupan sehari-hari kita juga harus bisa seperti itu, harus berpikir positif, berkolaborasi, misalnya kalau di laut kita melihat orang mengalami kerusakan perahunya itu harus dibantu. Semangat-semangat seperti itu juga harus dimiliki oleh generasi Mandar. Jadi, kita tidak cuma bangga sebagai cucu pelaut ulung.”

Usai rangkaian acara formal pembukaan, para peserta memasuki rangkaian pertama proses belajar semesta budaya bahari Mandar. Kurang setengah jam matahari tegak lurus di atas kepala, praktik belajar dimulai dengan memasang layar perahu di pinggir pantai. Siswa yang sebelumnya telah dibagi menjadi enam kelompok sesuai jumlah sekolah yang diundang mulai praktik. Passandeq sebagai guru mereka menjelaskan, memberi contoh, lalu dipraktikkan oleh siswa. Layar berupa terpal putih dengan lukisan di tengahnya dibentangkan di pasir, pada sisi lainnya dijahit ke tiang layar menggunakan tali. Proses ini berlangsung cukup cepat, kurang lebih dua puluh menit, satu per satu layar telah terpasang pada tiang layar, yang kemudian diangkat bersama-sama untuk dipasang pada perahu.

Kusaksikan wajah siswa yang mengikuti kegiatan, beserta orang-orang yang turut menyaksikan kegiatan ini. Ada kebahagiaan, antusias, euforia, bercampur menjadi satu. Kolaborasi antara siswa dan passandeq, terjalin harmonis seperti yang telah disampaikan oleh Muhammad Ridwan Alimuddin dalam sambutannya.

Contoh yang Diharapkan untuk Pelestarian Kebudayaan Lainnya

Pukul 11.40 satu perahu yang lebih awal memasang layar mulai membuka layar dan berlayar di perairan yang tidak jauh dari pantai. Lima lainnya ada yang masih sibuk memasang tiang layar, bahkan ada yang masih menjahit layar ke tiangnya. Dua puluh menit berlalu, semua perahu siap berlayar. Namun, tiba-tiba salah satu perahu sandeq mengalami kerusakan. Pada jarak sekitar 50 meter dari pinggir pantai, perahu yang diikuti oleh siswa SMAN 1 Tinambung, yakni sandeq Buah Kurma, tiang layarnya patah. Mereka pun kembali dengan mendayung hingga ke pinggir pantai.

Menyikapi kasus tersebut, Muhammad Ridwan Alimuddin menyampaikan untuk belajar langsung memperbaiki perahu rusak. Kasus kerusakan perahu biasa terjadi, pengalaman ini justru bisa menjadi pengalaman berbeda bagi peserta dibanding yang lainnya. Mereka bisa belajar lebih dalam mengenai pengetahuan keperahuan.

Melihat "Passandeq" Menjadi Guru di Pesisir Selat Makassar
Kondisi perahu sandeq Buah Kurma yang tiang layarnya patah/Abdul Masli

Student on Sandeq serupa perahu yang mengarungi gelombang perubahan zaman. Ia wujud nyata dari inisiatif baik dan keteguhan masyarakat yang orientasi budayanya maritim. Ia menjadi penanda upaya pemajuan kebudayaan yang berpijak pada keseharian masyarakat untuk mencapai kemandirian. Masyarakat pemilik dan penggerak kebudayaan, maka sejatinya mereka tidak dilepaskan dari perkembangan kebudayaannya.

Perkembangan kebudayaan sepatutnya tidak dipisahkan dari perkembangan masyarakatnya. Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan menempatkan masyarakat sebagai pemilik dan penggerak kebudayaan nasional. Masyarakat sebagai pelaku aktif kebudayaan, dari tingkat komunitas sampai industri. Mereka pihak yang paling akrab dan paling paham tentang kebutuhan dan tantangan untuk memajukan ekosistem kebudayaan.

Student on Sandeq menjadi contoh praktik baik dari realisasi strategi kebudayaan berupa perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan sumber daya kebudayaan yang tidak lepas dari konteks warganya. Nelayan sebagai pelaku dan pemilik pengetahuan mewariskan nilai budaya, peneliti atau pemerhati kebudayaan hadir sebagai fasilitator yang menjembatani nelayan, pemerintah, dan generasi muda. Sementara itu, pemerintah hadir memfasilitasi pelaksanaan kegiatan dengan memberikan dukungan materiel dan jaminan keberlanjutan program. Generasi muda yang terlibat mengikuti kegiatan belajar dan merefleksikannya untuk diambil pembelajaran dan nilai-nilai budaya di dalamnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melihat “Passandeq” Menjadi Guru di Pesisir Selat Makassar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-passandeq-menjadi-guru-di-pesisir-selat-makassar/feed/ 0 41789
Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu https://telusuri.id/kabar-ceria-sekaligus-cemas-dari-pulau-bonetambu-di-hari-sabtu/ https://telusuri.id/kabar-ceria-sekaligus-cemas-dari-pulau-bonetambu-di-hari-sabtu/#respond Thu, 15 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41160 Mengunjungi Pulau Bonetambu selalu menjadi agenda akhir pekan kesukaan saya. Menyeberangi lautan selama hampir sejam, bertemu dengan anak-anak pulau yang sudah meneriaki nama kakak-kakak gurunya bahkan sebelum kami bersandar di dermaga. Di bulan November dan...

The post Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu appeared first on TelusuRI.

]]>
Mengunjungi Pulau Bonetambu selalu menjadi agenda akhir pekan kesukaan saya. Menyeberangi lautan selama hampir sejam, bertemu dengan anak-anak pulau yang sudah meneriaki nama kakak-kakak gurunya bahkan sebelum kami bersandar di dermaga. Di bulan November dan matahari yang terik sedari pagi, rombongan kami yang terdiri dari enam relawan Sikola Cendekia Pesisir (SCP) dan beberapa peserta dari salah satu yayasan, bersama-sama menaiki perahu berkapasitas 70 orang milik Haji Rasul, seorang pemilik kapal dari Pulau Barrang Lompo—sama-sama terletak di kawasan Kepulauan Spermonde dan perairan Selat Makassar.

Perjalanan menuju Pulau Bonetambu dari dermaga Pelabuhan Paotere, Makassar memakan waktu sekitar satu jam. Saat kami tiba, air laut tidak begitu tinggi sehingga kapal tidak bisa bersandar di dermaga. Pada situasi seperti ini, solusi terbaik adalah seorang awak kapal memakai gabus besar menuju dermaga, lalu mengomunikasikan dengan salah satu warga untuk meminjam jolloro, kapal panjang dan ramping untuk menjemput kami. 

Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu
Pelabuhan Paotere saat Sabtu pagi sebelum berangkat ke Pulau Bonetambu/Nawa Jamil

Sewaktu menunggu giliran menaiki jolloro, saya duduk di samping Haji Rasul, sang kapten kapal. Kami pun sempat berbincang kecil. “Kemarin waktu pemberangkatan relawan naik kapal ta’ juga tidak bisa sandar di dermaga, ya, Aji?”

Haji Rasul menangguk. “Begini memang selalu, Dek, apalagi kalau berangkat menuju siang. Pasti air laut itu sudah turun, tidak cukup untuk kapal sandar di dermaga. Pasti kandas.”

Ia lalu melanjutkan, “Apalagi daerah bibir pantainya pulau ini sama sekali tidak dibersihkan. Ada banyak karang dan dangkal. Jadi kalau air laut surut sedikit saja, saya sudah tidak berani sandar di dermaga.”

Kami tidak banyak berbincang. Setelah sekitar 15 menitan, jolloro kembali bersandar di samping kapal kami, selesai membawa rombongan pertama ke pulau. Saya pun naik ke jolloro. Dari kejauhan, saya dapat melihat dermaga penuh dengan anak-anak yang telah menunggu kedatangan kami. Kata temanku kemudian, anak-anak menunggu sejak pagi. Mereka terlihat senang dan melambaikan tangan seraya kami tiba di dermaga. 

Anak-anak menyambut meriah. Hatiku sangat penuh dengan tingkah lucu mereka yang berebut untuk menggandeng tanganku. Kusapa wajah-wajah yang tidak asing, beberapa anak juga menegurku.

“Halo, Kak Nawa,” sapanya.

Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu
Haji Rasul menakhodai masker saat mengemudikan kapal miliknya menuju Pulau Bonetambu/Nawa Jamil

Menghadapi Antusiasme Anak-anak

Selama beberapa jam ke depan, sebagian besar kegiatan akan dilakukan di sekolah dasar, kecuali makan siang relawan secara bergantian. Kegiatan ini dimulai dengan pengenalan relawan. Kala itu, saya bertanggung jawab di kelas 5 dan 6 yang digabung dalam satu ruangan untuk memastikan kelas berjalan kondusif. Sementara sesi mengajar diserahkan sepenuhnya kepada dua relawan dari yayasan. 

Kelas 5 dan 6 memang belajar di satu ruangan yang menyatu dengan ruang guru (lebih mirip bilik darurat yang hanya dipisahkan dengan triplek putih). Terdapat sekitar 20 anak dari dua jenjang kelas tersebut. Tidak sebanyak murid di sekolah-sekolah yang umum dijumpai di kota. Selama sejam, kami akan bersenang-senang di dalam kelas: belajar baca, tulis, hitung, dan sedikit bahasa Inggris yang ternyata cukup disenangi anak-anak. 

Mengajar anak-anak di dalam kelas memang cukup tricky. Kita harus sigap membaca tanda-tanda kebosanan, hilang fokus, dan tentu menyiapkan materi ajar yang menarik. Setiap anak unik dengan caranya sendiri, sehingga membutuhkan pendekatan yang berbeda pula. Ada yang senang dipuji, ada yang malu-malu, ada pula yang senang bermain dan mengganggu temannya. Beberapa pengalaman mengajarku membuatku mengerti bagaimana memperoleh perhatian mereka tanpa melukai pita suara, seperti games, tepuk-tepukan yang variatif, serta memberikan apresiasi untuk setiap hal kecil dan baik yang mereka lakukan. 

Tidak terasa, waktu sudah mendekati siang. Seperti briefing sebelumnya, anak-anak akan diberi makan siang sementara beberapa relawan akan santap siang di rumah Bu RW secara bergantian. Setelah itu permainan berlangsung di luar ruangan. Anak-anak bermain bersama sejumlah kakak relawan, sedangkan sebagian relawan lain sibuk mempersiapkan penyerahan bingkisan untuk setiap anak. Bingkisan-bingkisan itu terdiri dari tas sekolah, perlengkapan sekolah, dan beberapa camilan sehat. 

Anak-anak menerimanya dengan bersemangat. Sebagian di antaranya menyerobot karena saking senangnya. Setelah berfoto bersama, mereka menolak pulang ke rumah mereka dan justru menemani kami ke dermaga. Sayangnya, kami tidak menginap seperti kegiatan-kegiatan sebelumnya.

  • Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu
  • Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu

Kekosongan-kekosongan yang Muncul Setelahnya

Kegiatan berbagi dalam bentuk materi menjadi sesuatu yang sangatlah lumrah ditemui, mengingat Indonesia dengan gelar negara berpenduduk paling dermawan di dunia. Sama seperti kegiatan berbagi di Pulau Bonetambu ini, saya melihat begitu banyak kesenangan yang terpancar dari mata anak-anak. Tas punggung yang baru dibagikan bahkan langsung mereka pakai dengan bersemangat.

Membantu dan berbagi memang menyenangkan. Hal baik ini selalu memenuhi hati dengan perasaan hangat. Namun, saya sedikit khawatir. 

Kekhawatiran ini muncul suatu hari, ketika beberapa orang berbagi sepatu untuk anak-anak gunung yang terbiasa tidak memakai alas kaki mewah itu. Donasi materi membiasakan anak-anak dengan kehadiran sepatu itu hingga dipakai setiap hari. Lambat laun, sepatu tersebut mengikis, solnya makin rapuh, dan akhirnya rusak. Yang terjadi setelahnya, lebih dalam dari sekadar alas kaki, kini anak-anak gunung menolak berangkat sekolah tanpa sepatu yang sebelumnya tidak menjadi persoalan. 

Selain itu, pembagian berupa materi akan selalu menjadi hal baik, tetapi: “apakah anak-anak membutuhkan sepatu baru tiap tahun, atau kehadiran guru penuh waktu, ruang belajar nyaman, materi ajar yang menyenangkan dan aplikatif, atau bahkan perubahan pola pikir orang tua mereka bahwa sekolah itu penting?” 

Makin terlibat dengan niat membantu, makin saya sadar bahwa sistem dan perbaikan dari akar menjadi kunci utama perubahan. Tidak sekadar materi yang mengambang di permukaan air, menciptakan kekosongan demi kekosongan di bawahnya. Tidak mudah, apalagi untuk teman-teman relawan yang hanya modal nekat dan rasa kemanusiaan. Namun, bukan berarti tidak mungkin untuk mulai menyentuh hal-hal fundamental di masyarakat pulau. 

Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu
Perjalanan pulang dari Pulau Bonetambu ke Makassar/Nawa Jamil

Cerita saat Pulang

Kami berusaha kembali ke Kota Makassar lebih cepat, sebab makin malam biasanya ombak akan makin besar. Berbeda saat pergi, kali ini saya langsung mengambil tempat duduk di samping Haji Rasul. Saya berniat berbincang banyak hal dengan beliau tentang teknik mengemudikan kapal. Tentu satu jam tidak cukup, apalagi beliau lebih senang bercerita tentang pengalaman merantau dan anak-anaknya dibanding soal kapal. 

Di bagian kemudi saya duduk bertiga, yaitu Haji Rasul, saya, dan satu relawan SCP, Kak Yaya. Perbincangan kami berlangsung menyenangkan, terutama perihal fenomena nikah muda yang kerap terjadi di pulau, dan bagaimana Haji Rasul keukeuh menasihati kami untuk segera menikah. Saya tidak berkomentar banyak, sebab beliau memberi nasihat karena peduli. Terlihat jelas dari matanya yang dikelilingi kulit keriput. 

Perjalanan pulang cukup menantang. Ombak lumayan besar, sehingga beberapa relawan yang duduk di bagian depan kapal langsung bergegas pindah ke dalam.

Kami kembali menginjakkan kaki di Pelabuhan Paotere sesaat sebelum Magrib. Disambut lembayung senja dan kumandang azan masjid. Setelah berpisah dengan rombongan yang kami kawal pada keberangkatan ini, kami pun menutup perjumpaan dengan semangkuk Coto Flyover, Makassar yang menghangatkan jiwa sampai ke tulang


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kabar-ceria-sekaligus-cemas-dari-pulau-bonetambu-di-hari-sabtu/feed/ 0 41160
Serunya Perayaan Hari Disabilitas Internasional di Bulukumba https://telusuri.id/serunya-perayaan-hari-disabilitas-internasional-di-bulukumba/ https://telusuri.id/serunya-perayaan-hari-disabilitas-internasional-di-bulukumba/#respond Mon, 18 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40569 Di antara perjalanan dan tempat-tempat yang menyenangkan, sepertinya momen perayaan Hari Disabilitas Internasional (HDI) di Bulukumba pada awal Desember menjadi yang terbaik sepanjang tahun 2023. Lanskap Bulukumba dengan tebing dan jalur lintas provinsi di pinggiran...

The post Serunya Perayaan Hari Disabilitas Internasional di Bulukumba appeared first on TelusuRI.

]]>
Di antara perjalanan dan tempat-tempat yang menyenangkan, sepertinya momen perayaan Hari Disabilitas Internasional (HDI) di Bulukumba pada awal Desember menjadi yang terbaik sepanjang tahun 2023. Lanskap Bulukumba dengan tebing dan jalur lintas provinsi di pinggiran laut memang cantik. Namun, yang paling berkesan adalah perjalanan dan rangkaian kegiatan Hari Disabilitas Internasional yang dilaksanakan di ballroom Hotel Agri. Satu rangkaian acara dengan malam sebelumnyaa di mes Pemerintah Kabupaten Bulukumba di area wisata Pantai Bira.

Rombongan dari Makassar berangkat sekitar pukul 10.00 WITA dengan tiga jenis kendaraan. Bus medium yang ditumpangi anak-anak dan orang tua dari Komunitas Orang Tua Anak Down Syndrome (KOADS), mobil berkapasitas 16 orang yang diisi beberapa panitia menaiki mobil berkapasitas maksimum 16 orang, dan satu minibus Avanza putih. Pagi itu, cuaca cerah dengan jejak-jejak hujan yang baru saja reda. Bau tanah yang menyenangkan tercium syahdu. Orang-orang yang tidak kukenal tampak sibuk membungkus hadiah permainan lomba. Aku membantu membungkus dengan kertas kopi sewarna, sedangkan beberapa orang lainnya tampak sibuk mengatur barang-barang bawaan mereka di bagasi bus. 

Emon, seorang teman tuli dan guru bahasa isyaratku di Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo) tampak melambaikan tangannya. Ia bersemangat begitu melihatku muncul dari bagian belakang rumah titik kumpul kami. 

“Kamu ikut juga?” tanyanya dengan bahasa isyarat. 

Aku mengangguk, “Nanti aku ikut di mobil kamu.” 

Perjalanan ke Bulukumba

Kami tidak banyak berbincang. Selain situasi sedang sibuk-sibuknya, saya juga cukup kikuk setelah dua bulan lebih tidak berkomunikasi dengan bahasa isyarat. 

Kami menaiki mobil Avanza berwarna putih, menempuh perjalanan sekitar 162 kilometer ke Bulukumba. Emon menawarkan untuk lewat rute Galesong, lalu berbelok ke Bontonompo Selatan. Akan tetapi, kami harus menjemput satu orang lagi tepat setelah melewati Jembaran Kembar Gowa. Jadi, rute kami harus melewati Kabupaten Gowa, kemudian menyusuri jalanan menuju Kabupaten Takalar. Perjalanan kami berlangsung menyenangkan.

Saya belajar sangat banyak kosakata baru dalam bahasa isyarat. Misalnya menyebut “Kota Makassar” dengan memperagakan passapu, ikat kepala merah khas Makassar. Mengisyaratkan huruf “J” untuk Kabupaten Janeponto, yang diikuti kedua tangan dikepal dan sejajar di depan dada. Oh iya, bahasa isyarat Kabupaten Bulukumba juga sangat identik dengan ciri khas daerah ini, yakni dengan memberikan gerakan ombak.

Pengalaman mendampingi Emon di kursi depan, seorang teman tuli yang pandai mengemudi, membuat saya banyak menggunakan bahasa isyarat saat harus mengarahkan arah. Juga memberitahukan hal-hal kecil selama perjalanan, seperti “kita singgah di apotek terdekat”, “menyetirnya pelan-pelan saja”, dan “ayo, singgah beli minuman dingin dulu.”

Perjalanan Makassar—Bulukumba berjalan lancar dan menyenangkan. Rombongan kami berhenti di Mesjid Besar Jeneponto untuk makan siang bersama dan melanjutkan perjalanan sekitar pukul 14.00 WITA. Karena menaiki mobil terkecil, memungkinkan kami untuk singgah ke area kota Bulukumba. Kami mengambil beberapa perlengkapan, seperti air galon untuk konsumsi selama di Bira, serta baju kaus sablonan yang dipesan khusus untuk acara HDI ini. 

Malam Hari Penuh Tawa

Rombongan kami menjadi yang terakhir tiba di Bira. Anak-anak dan para orang tua telah menikmati acara berenang sejak sebelum matahari tenggelam. Saat memarkirkan kendaraan kami, beberapa rombongan tampak basah kuyup karena baru tiba dari Pantai Bira dengan berjalan kaki. Mereka tampak senang sekaligus kelelahan. 

Setelah beristirahat dan makan malam, lepas Isya kami berkumpul di selasar lantai dua yang luas dan terbuka tanpa atap. Ada lampu tali LED yang menambah suasana cantik malam hari. Mes yang kami tempati merupakan akomodasi milik Pemerintah Kabupaten Bulukumba. Tampaknya masih sangat baru, bahkan beberapa bagian mes masih dalam proses pembangunan.

Selasar yang kami gunakan malam ini merupakan bagian atas mesdengan teralis pengaman dari besi hollow yang dicat hitam legam. Tingginya cukup ideal dan sulit dijangkau anak-anak. Selasar ini cukup lebar, sekitar 6×3 meter dan lantainya sudah berkeramik meski agak licin. Angin pantai bertiup kencang beberapa kali, membawa kabar bau-bauan laut yang tidak sempat kudatangi sore tadi.

Acara malam ini penuh dengan tawa. Saya berterima kasih kepada adik-adik dari KOADS yang memenuhi hati kami dengan banyak cinta dan tingkah lucu yang tulus. Down Syndrome merujuk pada kondisi kelainan kromosom 21 yang menyebabkan keterlambatan perkembangan dan intelektual. Bersama orang tua mereka kami banyak menari dan bermain aneka ragam permainan. Mulai dari lomba memindahkan pipet tercepat, sampai permainan berebut kursi yang diganti dengan rebutan kertas HVS sebagai tempat pijakan. 

Merayakan Perbedaan 

Pada permulaan hari jelang acara puncak, orang-orang di kamar kami bangun lebih cepat dari kamar-kamar lain. Setelah bergantian mandi di toilet seadanya, kami lalu berangkat menuju lokasi acara yang berjarak satu jam dari mes tersebut.

Perjalanan pagi ini berlangsung lancar. Jalan masih sangat sepi. Kami hanya berpapasan dengan anak-anak berseragam sekolah yang dapat dihitung jari. Suasana pagi dan langit kemerahan menjadi teman kami sepanjang perjalanan, sampai tibalah kami di Hotel Agri. Saat tiba, tempat parkir masih kosong. Hotel ini kelihatan sepi.

Setelah bertanya pada salah satu petugas yang kebetulan lewat, kami diarahkan menuju lokasi acara. Sebuah ruangan superbesar dengan pintu kaca. Begitu kami masuk, kursi-kursi dibalut sarung putih sudah tersusun rapi. Begitu halnya dengan empat meja di bagian belakang. Saya menemukan kawan saya sedang sibuk mengemasi dua camilan manis dan sebotol air mineral ke dalam kotak putih polos. 

Serunya Perayaan Hari Disabilitas Internasional di Bulukumba
Sambutan Ketua Panitia Syamsul Iman dalam acara puncak peringatan Hari Disabilitas Internasional di Bulukumba/Nurul Jamil

Sekitar pukul sembilan pagi lewat belasan menit, acara pun dimulai. Saya cukup beruntung berkesempatan menangkap momen-momen menggemaskan selama acara berlangsung. Terutama ketika anak-anak melakukan beragam pentas seni, seperti Angngaru’—tari tradisional—hingga menyanyi. Selama dua hari bersama anak-anak dari pagi di Makassar, sampai pulang sore hari ini, saya melihat bahwa perlu pendekatan baru dalam mewujudkan inklusivitas di masyarakat kita.

Disabilitas sangat akrab dengan label negatif hanya karena mereka berbeda. Dalam penyampaian singkat dari Kak Syarif, seorang disabilitas netra pada sesi paparan singkatnya, menyatakan orang dengan disabilitas seringkali mengalami stigma miring dalam kehidupan sehari-harinya. Prosesnya berlangsung dalam empat tahap: labelisasi, lalu stereotifikasi, kemudian segregasi atau pemisahan orang-orang dengan disabilitas dari lingkungan mereka, hingga tahap akhir, yakni diskriminasi.

Saya sampai pada satu penyadaran saat mendengar pemaparan Kak Syarif siang itu. Bukankah seluruh tahap pemberian stigma tersebut sangatlah sepihak? Hanya dari orang nondisabilitas kepada orang dengan disabilitas saja, bukan? Lalu kenapa hal ini bisa terjadi dan bertahan sangat lama? 

Sebagai seorang fisioterapis, sebuah profesi kesehatan dengan fokus utama rehabilitasi gerak dan fungsi gerak, saya cukup sering berjumpa dan menangani kasus-kasus anak dengan disabilitas, seperti cerebral palsy, spektrum autis maupun sindrom down dengan keterlambatan tumbuh kembang, atau kasus-kasus delay development pada anak lainnya. Latar belakang saya membuat perspektif pribadi tentang disabilitas dengan kacamata yang medis sekali. Padahal sebenarnya disabilitas hari ini sangat kolot jika pendekatannya hanya sebatas medis. Perlu pendekatan yang lebih komprehensif dan holistik dalam mendukung keikutsertaan disabilitas yang bermakna dalam masyarakat kita. 

Sederhananya, melihat disabilitas hanya dari satu kacamata kuda medis saja, secara singkat akan langsung memberikan pandangan ketidakberdayaan hanya karena kondisi medis yang ada pada mereka. Padahal, berbeda tidak selalu berarti lebih buruk. Perlu ada usaha ekstra dari kita dalam mewujudkan inklusivitas yang bermakna. Karena berbeda, mereka memerlukan pendekatan yang berbeda pula. Namun, hal tersebut sama sekali tidak mengurangi hak mereka dalam menikmati segala fasilitas dan kesempatan-kesempatan dalam hidup. 

Serunya Perayaan Hari Disabilitas Internasional di Bulukumba
Kak Syarif, teman netra yang mengisi materi tentang labelisasi pada kawan-kawan disabilitas/Nurul Jami

Pertanyaan Baru

Kami lekas pulang kembali ke Makassar selepas acara. Kami tiba sekitar pukul 20.00 WITA, setelah sebelumnya mampir makan malam di Bakso Adi Bontonompo.

Perbincangan kami berlanjut sembari menikmati bakso keju dan urat yang komposisinya sangat pas. Di tengah perbincangan, Kak Syarif bercerita tentang aktivitas alam yang ia gemari, yaitu mendaki gunung.

Mendengar bagaimana Syarif pergi ke banyak tempat dan menikmati banyak hal, membangkitkan perasaan bahagia dalam hati saya, sehingga memunculkan pertanyaan baru, “Bagaimana menikmati alam dengan cara berbeda?” 

Menggali pertanyaan tersebut dalam kacamata teman disabilitas adalah semangat baru, yang lahir dari pertemuan singkat dua hari di Bulukumba dan tujuan petualangan selanjutnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Serunya Perayaan Hari Disabilitas Internasional di Bulukumba appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/serunya-perayaan-hari-disabilitas-internasional-di-bulukumba/feed/ 0 40569
Semangat Anak-Anak Pulau Lanjukkang Mengejar Mimpi https://telusuri.id/semangat-anak-anak-pulau-lanjukkang-mengejar-mimpi/ https://telusuri.id/semangat-anak-anak-pulau-lanjukkang-mengejar-mimpi/#respond Mon, 13 Nov 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40043 Petualangan dari hari Jumat ke Minggu beberapa waktu lalu saya mulai bersama teman-teman dengan memarkirkan motor di tempat parkir dalam Pelabuhan Paotere, Makassar. Tepatnya di samping masjid. Seorang bapak paruh baya menyambut kami. Ia mengamankan...

The post Semangat Anak-Anak Pulau Lanjukkang Mengejar Mimpi appeared first on TelusuRI.

]]>
Petualangan dari hari Jumat ke Minggu beberapa waktu lalu saya mulai bersama teman-teman dengan memarkirkan motor di tempat parkir dalam Pelabuhan Paotere, Makassar. Tepatnya di samping masjid. Seorang bapak paruh baya menyambut kami. Ia mengamankan helm-helm kami di tempat terpisah. Cukup membayar jasa parkir Rp15.000 untuk tiga hari.

Setelah parkir, kami berjalan keluar dari pelabuhan menuju ke arah kanal. Di sini, kapal-kapal kecil seringkali tidak memiliki nyali bersandar di Pelabuhan Paotere. Mereka bersandar di antara kapal kecil lainnya di sepanjang kanal. 

Kali ini, tim Sikola Cendekia Pesisir (SCP) akan melakukan perjalanan mengajar tiga hari ke pulau terluar Makassar, yakni Lanjukkang. Kami bekerja sama dengan tim Kejar Mimpi, sebagai salah satu agenda perayaan milad komunitas pemuda tersebut. Kejar Mimpi merupakan gerakan sosial yang dibentuk oleh salah satu bank swasta di Indonesia. Fokus komunitas ini adalah peningkatan kemampuan dan kapasitas anak-anak muda. Kami cukup beruntung mendapat kesempatan sebagai penanggung jawab untuk program Pojok Mimpi. Memberikan donasi buku bahan bacaan untuk anak-anak usia sekolah dasar, serta mengadakan kelas belajar dan bermain selama sehari di pulau. 

Kami menunggu cukup lama di kanal. Padahal kapal yang kami sewa dari Pulau Lumu-Lumu telah bersandar di kanal setengah jam yang lalu. Sayangnya beberapa partisipan dari beragam komunitas ini tidak cukup menghargai waktu, sehingga pelayaran tertunda nyaris dua jam. Kami akhirnya berangkat sekitar pukul 11.00 WITA dan tiba dengan selamat di Pulau Lanjukkang kira-kira 2,5 jam kemudian. 

Semangat Anak-Anak Pulau Lanjukkang Mengejar Mimpi
Perjalanan dari kanal Paotere ke Pulau Lanjukkang/Nawa Jamil

Sisi Lain Pulau Lanjukkang

Saya terakhir mengunjungi pulau ini sekitar 2018 lalu. Sewaktu lokasi binaan Komunitas Sikola Cendekia Pesisir masih di Pulau Langkai, tetangga Pulau Lanjukkang. Kala pertama kali ke sini, kami bersandar tepat di daerah Villa Tua, tetapi kini kapal bersandar di area pulau sebaliknya. Banyak hal yang terjadi selama lima tahun terakhir. Area gusung pulau banyak berubah. Dahulu gusung pulau memanjang di area timur laut, sekarang justru menjorok lebih ke arah timur dan barat. Ternyata setelah berbincang dengan beberapa warga, abrasi dan perubahan iklim beberapa tahun belakangan ini—percaya atau tidak—berpengaruh cukup besar terhadap topografi pulau yang indah dengan air biru dan pasir putih.

Lanjukkang menyimpan sejarah panjang. Begitu pun pekerjaan rumah pemerintah yang masih itu-itu saja hasilnya. Berhubung tim SCP bertanggung jawab dalam program Pojok Mimpi dan mengajari anak-anak keesokan harinya, sore setelah briefing dan istirahat sebentar, kami langsung membagi tim untuk melakukan asesmen kemampuan calistung (baca-tulis-hitung) anak-anak di pulau ini.

Tim terbagi menjadi dua. Sebagian ke utara, lalu sebagian lagi ke arah sebaliknya. Sore itu, saya dan tiga orang teman lainnya menyusuri arah utara dan berhenti di sebuah rumah. Terdapat seorang anak yang tengah memainkan senar putus di tangannya. Tampaknya ia berusaha memperbaiki ukulele tua itu. 

Rumah pertama yang kami tempati itu memiliki tiga orang anak usia sekolah. Total ada sekitar 20 anak usia sekolah—yang sayangnya—hanya bersekolah tiga kali dalam sebulan. Itupun bukan di Pulau Lanjukkang. Mereka harus menempuh perjalanan ke Pulau Lumu-Lumu, begitu mendapat informasi jika guru mereka ada di pulau tersebut. Anak-anak Pulau Lanjukkang sama seperti anak-anak pulau lainnya. Mereka anak-anak yang manis, senang membaca buku dengan ilustrasi berwarna, juga sedikit jahil. Namun, mereka tidak sebanyak anak-anak di pulau lainnya sehingga berbagai fasilitas dasar, seperti puskesmas pembantu, ruang kelas dan guru untuk tingkat pendidikan pertama tidak kami jumpai di pulau ini.

Dahulu di Lanjukkang ada sebuah komunitas yang bercita-cita mendirikan sekolah tetap di sini. Pertikaian politik beberapa tahun kemarin berdampak pada mangkraknya pembangunan sekolah. Ditambah kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap seorang pimpinan daerah di Sulawesi Selatan, donor utama komunitas tersebut. Sekolah tersebut berada di titik pulau yang ramai ditinggali. Tanpa dinding dan menyedihkan. Bertahun-tahun terbengkalai, kini hanya jejak yang tertinggal. Tidak ada lagi yang lain. 

Satu Hari yang Menyenangkan

Semalam kami tidur di bale-bale persis menghadap ke laut. Sederhana saja. Beralaskan bambu, beratap daun nipah, dan tanpa dinding sehingga angin laut langsung menerpa kulit. Menembus sarung yang tidak begitu tebal. Salah satu hal yang akan selalu kami rindukan dari kegiatan mengajar ke pulau adalah momen bercerita sampai malam menuju pagi yang terjadi begitu saja. Lalu keesokan paginya, kami bangun lebih lama dibanding matahari terbit. Saat bangun, matahari sudah beberapa derajat di atas khatulistiwa. Pagi itu kami langsung sarapan, berganti pakaian, dan bersiap-siap mengajar. 

Semangat Anak-Anak Pulau Lanjukkang Mengejar Mimpi
Salah satu relawan sedang mengajar anak-anak pulau/Nawa Jamil

Anda dapat dengan mudah menemukan bale-bale sepanjang pantai di pulau ini. Bale-bale atau gazebo sering disewakan kepada para turis yang datang ke pulau ini. Beberapa datang untuk snorkeling atau sekadar mengabadikan keindahan alam di sekitar Pulau Lanjukkang. Pagi ini akan ada pembukaan, peresmian pojok mimpi, penyerahan buku donasi, serta kelas kreatif bagi perempuan pulau. 

Tepat pukul 08.00 WITA, kami mulai membuka acara yang selanjutnya berlangsung meriah. Saya tidak tinggal sampai acara pembukaan selesai, sebab harus menyiapkan ruangan untuk kelas belajar dan bermain anak setelahnya. Tidak sampai sepuluh menit kemudian, langkah-langkah kecil mereka yang sedikit berlari terdengar makin dekat. Anak-anak datang dan kami pun melalui empat jam belajar yang menyenangkan. Terlepas anak-anak yang cepat bosan dan selalu mengajak main, mereka sangat menikmati proses belajar dengan buku-buku cerita berwarna.

Semangat Anak-Anak Pulau Lanjukkang Mengejar Mimpi
Penyerahan piagam penghargaan antara tim SCP dan Kejar Mimpi/Nawa Jamil

Kelas selesai tepat di siang hari. Sebelum anak-anak kembali ke rumah, beberapa di antaranya semangat mengajak kami berenang nanti sore. Tentu kami sambut dengan senang hati. Di Lanjukkang, laut adalah tempat bermain terasyik. Di sini anak-anak lebih cepat tahu cara berenang dibandingkan membaca. Mereka begitu senang berenang, menyelam, dan bermain di pasir yang putih. Pulau ini begitu membekas—tercantik di antara pulau-pulau yang pernah saya datangi sejauh ini—karena warganya yang ramah dan anak-anak begitu menggemaskan. 

Di tengah kesibukan saya di Makassar, perjalanan tiga hari di Pulau Lanjukkang memberi angin segar dan semangat baru. Begitu banyak pekerjaan rumah terkait penyediaan layanan publik yang harus ditingkatkan di berbagai pulau-pulau kecil di sini. Namun, di tengah keterbatasan yang ada, warga Pulau Lanjukkang tetap hidup bersahaja dan harmonis dengan alam.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Semangat Anak-Anak Pulau Lanjukkang Mengejar Mimpi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/semangat-anak-anak-pulau-lanjukkang-mengejar-mimpi/feed/ 0 40043
Melihat Pameran “The Silent Text”, Seni yang Lahir dari Kontemplasi https://telusuri.id/melihat-pameran-the-silent-text-seni-yang-lahir-dari-kontemplasi/ https://telusuri.id/melihat-pameran-the-silent-text-seni-yang-lahir-dari-kontemplasi/#respond Wed, 01 Nov 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39986 Berawal dari pertemuan singkat saat sore di Kampung Buku, seorang yang baru kukenal sore itu mengajak untuk menyaksikan pameran seni di Riboko, sebuah kafe di Makassar. Saya berangkat lepas Magrib, lebih lama daripada teman-teman lain...

The post Melihat Pameran “The Silent Text”, Seni yang Lahir dari Kontemplasi appeared first on TelusuRI.

]]>
Berawal dari pertemuan singkat saat sore di Kampung Buku, seorang yang baru kukenal sore itu mengajak untuk menyaksikan pameran seni di Riboko, sebuah kafe di Makassar. Saya berangkat lepas Magrib, lebih lama daripada teman-teman lain yang pergi lebih awal. Jarak rumah saya ke Riboko cukup dekat, tetapi malam itu saya menghabiskan waktu nyaris 15 menit berkendara. Biasanya cuma 5—10 menit saja. 

Perlu usaha yang cukup keras untuk menemukan kafe ini, sebab lokasinya di dalam lorong kecil yang diapit bangunan ruko dua lantai. Penanda mudahnya adalah lorong ini terletak persis sebelum plang toko “Kaku Food”. Saya ditemani oleh Kak Yaya, seorang teman di salah satu komunitas. Rencananya kami akan mengikuti lomba dalam rangka perayaan 17 Agustus tepat setelah berkunjung ke pameran. 

Tidak begitu banyak motor yang terparkir begitu kami tiba. Namun, saya mengingat empat orang berwajah yang tak asing, orang-orang yang kutemui di Kampung Buku tadi. Saat saya tiba, orang-orang sudah berkumpul membentuk setengah lingkaran. Seorang lelaki berpostur agak tinggi dengan janggut keriting panjang berdiri paling ujung. Penampilannya cukup mencolok dengan kepala plontos dan memakai topi snapback

Melihat Pameran “The Silent Text”, Seni yang Lahir dari Proses Kontemplasi
“Inner Landscape” karya Faisal Syarif alias Kak Ical/Nawa Jamil

Saya langsung bergabung ke dalam rombongan. Ada Kak Cakke dari Kampung Buku dan sekitar empat orang magang lainnya. Saat saya datang, Faisal Syarif sedang menjelaskan tentang karya pertama, “Inner Landscape”—sebuah karya dengan media cat akrilik di atas kanvas—dari total empat karya dalam pameran The Silent Text. Keempat instalasi karya seni Kak Ical, sapaan akrabnya, merupakan metafora dari proses tumbuh seorang manusia ketika terjebak dalam situasi yang berat. Dalam pameran ini, sang seniman banyak terinspirasi dari situasi sosio-kultural masyarakat Indonesia sewaktu pandemi Covid-19 kemarin. 

Keempat karya itu bisa dinikmati satu per satu dengan berurutan. Karya ini menempel pada dinding secara berurutan. Mulai dari sisi kanan lalu berkeliling dan berakhir pada karya terakhir di sisi paling kiri. Malam itu kami cukup beruntung sebab kami ditemani Kak Ical, sang seniman itu sendiri. 

Karya-Karya dalam Pameran The Silent Text

“Inner Landscape” terdiri dari enam kanvas yang disusun dua kolom. Tidak begitu besar, tetapi kanvasnya terpasang presisi, indah, dan sangat cocok dengan karya abstrak senimannya. “Inner Landscape” hanya menggunakan warna-warna monokrom. Tanda bahwa karya ini banyak lahir dari momen-momen kontemplasi senimannya, sehingga menggunakan warna-warna skala abu-abu yang terbatas. Namun, hal itu justru membuat saya, sebagai penikmatnya, tenggelam cukup jauh dalam pikiran saya seiring menikmati karya ini. Guratan kuas yang abstrak justru membuat orang-orang yang melihat karya seni ini semakin bebas berinterpretasi, sebagaimana tujuan dari seni abstrak itu.

Kak Ical bercerita, “Karya ini saya buat sebagian besar di malam hari. Saya membuat karya ini dengan banyak berkontemplasi ke dalam diri saya, juga momen-momen orang-orang terdekat sewaktu pandemi Covid-19 kemarin.” 

Inner, berarti ‘ke dalam’, yang membawa para pengunjungnya untuk melihat ke dalam diri mereka lewat lukisan-lukisan abstrak tersebut. Meskipun tidak begitu memahami seni, tetapi malam itu saya cukup menikmati aktivitas memandangi satu objek statis. Sembari mendengar ide-ide di balik lukisan ini dari Kak Ical untuk waktu yang tidak sebentar. 

Melihat Pameran “The Silent Text”, Seni yang Lahir dari Proses Kontemplasi
Lukisan “Tubuh Meditatif” yang multipersepsi/Nawa Jamil

Bergeser ke karya selanjutnya, yakni satu kanvas besar yang berjudul “Tubuh Meditatif”. Berbeda dengan karya sebelumnya, kali ini “Tubuh Meditatif” dilukis menggunakan cat akrilik di atas kanvas besar. Lukisan kedua tersebut membawa momen meditasi saat melihat lukisan ini.

Sama seperti lukisan pertama, “Tubuh Meditatif” juga menggunakan warna monokrom—hitam, putih, dan abu-abu saja. Dalam lukisan ini, guratan kuas dengan warna hitam semakin tebal di area tengah, membentuk siluet pria dari belakang. Pundaknya tampak kokoh dan lebar, sehingga saya asumsikan sebagai lelaki. Lalu di bagian pinggir kiri kanvas, saya mendapati pendekatan teknik lukis yang berbeda daripada bentuk siluet tadi. 

“Dari karya sebelumnya yang hanya menggunakan warna monokrom, termasuk karya ‘Tubuh Meditatif’ ini, saya tertarik dengan satu warna kuning cerah seperti cahaya di sini,” ucap saya seraya mengarahkan telunjuk ke area yang saya maksud. 

Kak Ical pun mulai menjelaskan dengan rinci dan bersemangat. “Kanvas ini sudah pernah dilukis sebelum saya timpa dengan karya sekarang. Seniman seperti kami, terkadang ada saja satu atau dua karya yang tidak selesai. Salah satunya adalah karya sebelum ini. Saat melukis ‘Tubuh Meditatif’ dan menyelesaikan sebagian besar bagiannya, saya lalu tiba-tiba berpikir untuk tidak menimpa cat dari lukisan sebelumnya. Saya biarkan saja di sana, dan jadilah karya ini.”

Ia kemudian menambahkan, “Kalau kamu melihat [lukisan] ini seperti apa?” tanyanya. 

Saya terdiam sebentar, lalu menjawab, “Seperti potret manusia.” 

Kak Ical mengangguk. Ia menerangkan satu-dua kalimat lagi, kemudian menutupnya dengan pernyataan bahwa sosok abstrak dalam lukisan tersebut memanglah manusia. Namun, ia berada dalam posisi salat—tepatnya duduk di antara dua sujud.

Sementara itu Yaya memberitahuku interpretasi lain. Bukan potret manusia atau manusia yang sedang dalam posisi salat. Yaya justru melihat adegan perang yang tergambarkan dari lukisan tersebut. Unik bukan? Beberapa orang dalam ruang dan waktu yang sama bisa memiliki interpretasi berbeda pada satu objek abstrak. 

Kesan Pameran Pertama yang Menyenangkan

Ri’ Boko, yang berarti ‘di belakang’, merujuk dari tata letak bangunan ini. Ruang-ruang berbaginya ia mulai di halaman belakang. Sedangkan dari luar Riboko terlihat seperti bengkel atau pusat pertukangan, menjadikan lokasi pameran seni dan kafe yang cukup menyegarkan ini agak tersembunyi. Saya sudah sering mengunjungi Riboko, bahkan sebelum bergabung sebagai penulis magang di Makassar Biennale tahun ini. 

Namun, pengalaman tur galeri, mendengar langsung penuturan senimannya, dan bebas bertanya dengan luwes hari ini menjadikan pengalaman pertama sebagai pengunjung pameran yang sungguh menyenangkan. Saya juga menyukai antusiasme dan pesan-pesan mendalam dalam karya-karya artistik Kak Ical. 

Semua karya yang terpajang dalam The Silent Text merupakan karya tunggal Kak Ical yang telah tampil di pameran berbeda sebelumnya. Kedua instalasi karya yang lainnya, yakni “The Flow” dan “Pejuang Tangguh” juga tak kalah inspiratif. Sang seniman berhasil mengubah semen hebel, serat fiber, kain, kawat tembaga, serta dengan sentuhan cat akrilik menjadi tiruan batu-batu berbentuk alami yang mudah kita temui sepanjang Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Kabupaten Maros sampai Kabupaten Barru. Tidak hanya lukisan Kak Ical yang menggunakan bahan daur ulang, sebagian besar media karya-karyanya yang lain juga menggunakan bahan sisa, baik dari luar secara acak, atau pun bekas pameran sebelumnyaa. 

  • Melihat Pameran “The Silent Text”, Seni yang Lahir dari Proses Kontemplasi
  • Melihat Pameran “The Silent Text”, Seni yang Lahir dari Proses Kontemplasi

The Silent Text membawa penikmatnya ke dalam fase perenungan yang tidak membutuhkan banyak bicara. Mulai dari kontemplasi melihat dan merenungkan bagaimana waktu-waktu sulit terjadi di beberapa tahun belakangan, berubah menjadi fase usaha dalam menemukan ketenangan di tengah gempuran masalah-masalah. Lalu berubah ke fase penerimaan, sebagaimana yang Kak Ical gambarkan dalam “The Flow”.

Sang seniman menggambarkan mengikuti arus dengan sangat baik lewat penempatan batu-batu pada medianya. Setelah menemukan ketenangan, maka bergerak sesuai aliran kehidupan merupakan suatu keniscayaan. Lalu tibalah pada karya seni terakhir, yakni “Pejuang Tangguh”. Batu menggambarkan manusia yang kuat, tetapi sang seniman dengan sengaja membuat satu lubang masing-masing pada setiap batunya. Menciptakan rongga untuk saling mengisi. 

Tidak terbatas pada peristiwa pandemi Covid-19, pameran The Silent Text karya Faisal Syarif menggambarkan bahwa manusia yang tangguh tumbuh dari hal-hal yang tidak mudah. Mereka adalah orang-orang yang mampu beradaptasi dan melewati seluruh proses pembentukan yang berliku. Hari ini, saya benar-benar berterima kasih dan akan selalu mengingat momen menyenangkan saat bertemu dan bercerita, sembari melihat langsung karya seni visual yang menyenangkan. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melihat Pameran “The Silent Text”, Seni yang Lahir dari Kontemplasi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-pameran-the-silent-text-seni-yang-lahir-dari-kontemplasi/feed/ 0 39986
Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Mengulas Kota, Mengingat Sejarah https://telusuri.id/riwayat-gunung-dan-silsilah-laut-mengulas-kota-mengingat-sejarah/ https://telusuri.id/riwayat-gunung-dan-silsilah-laut-mengulas-kota-mengingat-sejarah/#respond Tue, 24 Oct 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39928 Apa yang diingat dari sebuah kota? Banyak yang akan menjawab dengan bangunan trademark-nya; seperti Jakarta dengan Monasnya, Yogyakarta dengan Keratonnya, atau Bandung dengan Gedung Satenya. Namun, apakah trademark cukup sebagai pengingat bahwa sebuah kota tersebut...

The post Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Mengulas Kota, Mengingat Sejarah appeared first on TelusuRI.

]]>
Apa yang diingat dari sebuah kota?

Banyak yang akan menjawab dengan bangunan trademark-nya; seperti Jakarta dengan Monasnya, Yogyakarta dengan Keratonnya, atau Bandung dengan Gedung Satenya. Namun, apakah trademark cukup sebagai pengingat bahwa sebuah kota tersebut mengalami pasang surut sejarah dan perkembangan? Tentu tidak. Ada cerita-cerita keseharian yang luput dari perhatian, yang juga menyusun rangkaian sejarah kota nan perlahan-lahan mulai buram dari ingatan penduduknya.

Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Mengulas Kota, Mengingat Sejarah
Sampul depan buku Riwayat Gunung dan Silsilah Laut/M. Irsyad Saputra

Penelitian-penelitian mulai dilakukan, membentuk narasi tentang sebuah kota yang tumbuh dan berganti rupa. Buku yang berjudul Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Sejarah Baru tentang Air, Perkampungan, dan Migrasi di Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Parepare, dan Pangkep mencoba mengawetkan data-data yang tersebar di ingatan penduduk kota dan mengalami pasang surut perkembangan kota mereka.

Penulis buku ini adalah anak-anak muda yang terkumpul dalam berbagai komunitas di berbagai kota, seperti Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Parepare, dan Pangkep dengan dukungan dari Yayasan Makassar Biennale, yang rutin menggelar Makassar Biennale sebagai ajang kerja-kerja kebudayaan berskala internasional. Yayasan Makassar Biennale menjadi penyokong anak-anak muda untuk menuliskan sejarah perubahan kota mereka dan cerita yang terekam di dalamnya. Dengan demikian akan menjadi sebuah kumpulan data yang berharga untuk penelitian-penelitian yang akan datang.

Anwar Jimpe Rachman sebagai penyunting, juga memberikan kata pengantar dan mengomentari penulisan buku ini sebagai “antara bermain dan serius”. Disebut bermain, karena dalam merekam data dan menulis para peneliti memiliki keleluasaan serta tanpa kekangan dari konsep dunia akademik. Disebut serius, karena prosesnya yang menuntut kedisiplinan dan komitmen setiap individu yang terlibat. Dan ia berharap buku ini dapat meretas kesenjangan penelitian-penelitian sejenis yang biasanya hanya menjadi ranah dari para perguruan tinggi. 

Tentang Perubahan Drastis dari Kota ke Kota

Tulisan “Tanah yang Bergerak Menuju Selat Makassar” oleh Aziziah Diah Aprilia dan kawan-kawan menjadi cerita pembuka. Mereka menyoroti perkembangan bentang alam pesisir Makassar dalam lima puluh tahun terakhir. Dalam kurun waktu tersebut lanskap berubah drastis, yang juga berarti mengubah nasib penghuninya. Aziziah dkk mengamati kehidupan sebelum dan sesudah reklamasi yang marak terjadi di daerah pesisir, mewawancarai orang-orang yang melihat perubahan lingkungan hidup secara langsung, juga mengambil sudut pandang personal dengan dampaknya terhadap kehidupan mereka masing-masing, serta melengkapinya dengan sejarah singkat masing-masing kampung yang terdampak.

Tulisan kedua, “Perigi-Perigi yang Kering di Bentangan Karst Pangkep-Maros”, menyoroti ironi di kala kemarau. Harusnya tangkapan air di sekitar Karst Pangkep-Maros yang begitu melimpah justru mengalami kekeringan. Tulisan ini adalah hasil kerja keras Firdaus AR dan teman-teman dalam mewawancarai warga setempat perihal distribusi air, mata air desa, air dan perempuan, juga teologi air sumur. 

Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Mengulas Kota, Mengingat Sejarah
Foto yang memuat gambar peta Kecamatan Mariso, di pesisir Kota Makassar/M Irsyad Saputra

Buku ini membawa kita ke kota selanjutnya dengan cerita yang berbeda dalam “Kedai, Jalan, dan Cerita Lainnya dari Pinggir Selengkung Teluk”. Parepare sebagai salah satu daerah tingkat II (kota) di Provinsi Sulawesi Selatan dan memiliki jumlah populasi penduduk kurang lebih 140.000 jiwa, ternyata punya cerita di sudut-sudut kotanya. Kita akan menikmati suguhan kisah bagaimana jalan-jalan di kota ini saling memberi cerita tentang kejayaan dan kemunduran Parepare sebagai kota yang disatroni oleh banyak etnis untuk mengadu nasib. Tentang sebuah jalan yang menjadi saksi bisu perekonomian warga Parepare, Pelabuhan Cappa Ujung yang tertua dan bersejarah, juga masjid yang menjadi marwah Parepare.

Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Mengulas Kota, Mengingat Sejarah
Contoh foto udara yang menggambarkan lanskap Pantai Kampung Ujung di Labuan Bajo/M. Irsyad Saputra

Cerita berlanjut ke daerah paling timur, Nabire. Sebuah kota di Papua Tengah yang berdiri di atas rawa-rawa. Kita akan larut dalam tulisan Fauzan Al-Ayyuby dan kawan-kawan, tentang bagaimana Nabire membentuk identitasnya di tengah arus transmigrasi pada masa Orde Baru. Orang-orang transmigran—yang kebanyakan berasal dari Jawa—bersinergi dengan penduduk asli menciptakan Nabire, yang dulunya adalah rawa-rawa penuh nyamuk dan sepi lalu bertransformasi menjadi kota yang ramai. Hubungan masyarakat transmigran dengan para penduduk asli tergambar dalam cuplikan kisah Mbah Alo.

Terakhir, “Riwayat Gunung dan Silsilah Laut Labuan Bajo” karya Ade Awaluddin Firman dan kawan-kawan, yang menceritakan dua keluarga berbeda suku tentang pemukiman di Labuan Bajo dan sekitar pantai utara Flores bagian barat. Mereka mengulik kisah Rofina Tiwu yang mendatangi Labuan Bajo, kala kota ini hanya sebatas perkampungan nelayan yang masih sarat akan hutan.

Impresi Pribadi

Saya mendapati tiap narasi di buku ini ibarat kue kering; tiap gigitannya terasa renyah dan ingin mencicipinya kembali. Tulisan-tulisan di dalamnya mampu menjalin kisah-kisah personal para narasumbernya terasa lebih intim—mungkin karena berasal dari orang pertama.

Saya berhasil merasakan suasana tatkala banjir menghantam pesisir Makassar, pencarian sumber air bersih di Pangkep-Maros, atau merasakan rawa-rawa yang berubah menjadi pemukiman di Nabire. Pun, narasi yang tersusun juga menyertakan foto-foto serta gambar penunjang yang memberikan gambaran lebih lengkap tentang permasalahan kota-kota tersebut.

Buku setebal 167 halaman ini punya sampul atraktif yang berjudul The Three World of Galigo karya Maharani Budi dan Louie Buana, yang memvisualkan kosmologi masyarakat Bugis dan tergambar dalam epos La Galigo. Pameran visualisasi ini sebelumnya sudah terpajang dalam Festival Kertas Sejagat dan Proyek Indonesia, dan selanjutnya terpilih menjadi sampul buku karya 25 peneliti muda tersebut.

Bagi saya, buku ini tidak hanya memaparkan narasi-narasi yang terserak di antara kehidupan bermasyarakat. Ia sekaligus menjadi bukti bahwa anak-anak muda dapat berkontribusi dalam bidang penelitian tanpa harus terikat lembaga pendidikan formal.


Judul Buku: Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Sejarah Baru tentang Air, Perkampungan, dan Migrasi di Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Parepare, dan Pangkep
Penulis: Aziziah Diah Aprilya, Feby A. Pasangka, Ikhlasy M., Regina Meicieza S., Wahyuni Hasdar [dan 14 lainnya]
Penyunting: Anwar Jimpe Rachman
Penerbit: Yayasan Makassar Biennale, Makassar
Cetakan: Pertama, 2023
Tebal Buku: 167 Halaman
ISBN: 978-623-90129-4-6


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Mengulas Kota, Mengingat Sejarah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/riwayat-gunung-dan-silsilah-laut-mengulas-kota-mengingat-sejarah/feed/ 0 39928