malang Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/malang/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:24:33 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 malang Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/malang/ 32 32 135956295 Harta Karun Musik dan Kisah Dardanella di Gedung Kesenian Gajayana https://telusuri.id/harta-karun-musik-dan-kisah-dardanella-di-gedung-kesenian-gajayana/ https://telusuri.id/harta-karun-musik-dan-kisah-dardanella-di-gedung-kesenian-gajayana/#respond Mon, 19 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47068 Saya cukup beruntung. Setelah berkeliling Kota Malang, Jawa Timur, saya bisa mengunjungi Museum Musik Indonesia pada Mei 2023, sebelum museum itu pindah lokasi. Sebab, di lokasi yang ditempati Museum Musik Indonesia saat itu, gedungnya memuat...

The post Harta Karun Musik dan Kisah Dardanella di Gedung Kesenian Gajayana appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya cukup beruntung. Setelah berkeliling Kota Malang, Jawa Timur, saya bisa mengunjungi Museum Musik Indonesia pada Mei 2023, sebelum museum itu pindah lokasi. Sebab, di lokasi yang ditempati Museum Musik Indonesia saat itu, gedungnya memuat kisah lain yang tak kalah menarik.

Berada di lantai dua Gedung Kesenian Gajayana, Jalan Nusakambangan, Malang, Museum Musik Indonesia menyewa tempat yang tidak terlalu besar untuk sebuah museum. Saat masuk, banyak rak yang berisi kaset-kaset, piringan hitam, dan CD.

Harta Karun Musik dan Kisah Dardanella di Gedung Kesenian Gajayana
Tampak depan Gedung Kesenian Gajayana di Malang saat masih ditempati sebagai Museum Musik Indonesia/Fandy Hutari

Koleksi Hasil Sumbangan 

Usman, salah seorang perawat museum itu mengajak saya mengobrol di kursi kayu di dalam museum. Dia lantas menawari saya ingin mendengar musik apa. Pilihannya, jatuh ke lagu yang dibawakan grup musik Genesis. Usman lantas menyetelnya lewat turntable di salah satu sudut ruangan.

“(Awalnya) berdiri tahun 2009, (namanya) masih Galeri Malang Bernyanyi,” ujar Usman, mengawali perbincangan.

“Jadi museum (tahun) 2016, pindah ke sini.”

Perjalanan museum ini cukup panjang. Kerap kali pula berpindah-pindah lokasi. Tahun 2013, museum itu terletak di perumahan Griya Shanta, Malang. Menurut pendiri Museum Musik Indonesia, Hengki Herwanto kepada ANTARA News1, gagasan mendirikan museum bertujuan menyelamatkan sejarah musik Indonesia. 

Menurut Hengki, selama ini banyak hasil rekaman lama musik di Indonesia yang sulit didapat. Ternyata, ada sejumlah orang yang menyimpan koleksi lama, lalu diserahkan ke pihak museum. Dia mengatakan, museum itu didirikan dengan dana dari sekelompok orang yang peduli terhadap musik Indonesia.

Harta Karun Musik dan Kisah Dardanella di Gedung Kesenian Gajayana
Usman, salah seorang perawat museum tengah menyetel piringan hitam/Fandy Hutari

Usman menyebut, ketika dihitung pada 2022, koleksi museum sekitar 35.000, terdiri dari kaset, CD, piringan hitam, buku, dan majalah. “(Koleksi) itu sumbangan, utamanya dari Indonesia. Tapi ada juga yang dari Belanda, Italia, Amerika Serikat,” kata Usman.

Di salah satu ruangan, terdapat aneka jenis alat musik tradisional. Menurutnya, alat musik tradisional tersebut juga disumbangkan dari wali kota seluruh Indonesia.

“Waktu Malang ada (acara pertemuan) Apeksi (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia) tahun 2017, (para) wali kota ke sini, kita surati harus membawa alat musik tradisional tadi,” tutur Usman.

Kaset, CD, dan piringan hitam terdiri dari berbagai macam genre, mulai dari pop, keroncong, jazz, rock, dari dalam dan luar negeri. Ada pula kaset anak-anak dan lawak. Usman mengatakan, kaset paling tua dari tahun 1979. Di beberapa rak pun tersimpan kaset lagu-lagu daerah dari berbagai provinsi.

Selain itu, kita bisa melihat poster grup musik, foto-foto, pernak-pernik grup musik, dan sebagainya. Tersimpan juga kostum grup musik Guruh Gipsy. Buku-buku tentang musik pun ada. Tak kalah menarik, majalah-majalah lawas tentang dunia hiburan, seperti Violeta.

Usman menyebut, piringan hitam grup musik The Tielman Brothers adalah yang paling langka. Tielman Brothers adalah grup musik Indonesia-Belanda, yang dibentuk anak-anak Herman Tielman dan Flora Lorine Hess, antara lain Andy (vokal dan gitar), Reggy (gitar), Ponthon (bas), dan Loulou (drum). Mereka tumbuh besar di Indonesia. Lalu, pada 1956, Tielman Brothers pindah ke Belanda.

Di buku Musicking in Twentieth-Century Europe2 disebut, dalam kariernya di Eropa, Tielman Brothers menjadi salah satu penampil paling populer dan inovatif dari Indo-rock, yakni gaya musik yang memadukan rock and roll dengan beberapa elemen keroncong. 

Sebelum membahas bagaimana grup yang kemudian dikenal sebagai Tielman Brothers berperan penting dalam pembentukan gaya Indo-rock Belanda, penting untuk menyoroti bagaimana pengalaman mereka di Indonesia hingga saat mereka pindah ke Belanda yang menggambarkan proses pertukaran dan perpaduan musik.

Namun, karena faktor-faktor lokal di Belanda, Tielman Brothers tetap menjadi band yang hanya dikenal di kalangan tertentu. Faktor-faktor tersebut meliputi ambivalensi Belanda terhadap komunitas mereka, lambatnya penerimaan rock and roll di Belanda, dan kekhawatiran luas tentang sifat musik yang dianggap tidak sehat (faktor Elvis Presley), terutama ketika dimainkan oleh pemuda Indo-Belanda.

Beberapa koleksi musik lawas di galeri museum/Fandy Hutari

Pada 1958, Tielman Brothers mendapat terobosan besar di Belgia melalui Brussels World Exhibition. Salah satu penampilan mereka yang mengesankan direkam dalam siaran televisi di Belanda pada 1960, menampilkan salah satu lagu ikonik mereka, “Black Eyes Rock.” Penampilan mereka terkenal karena aksi panggung yang spektakuler, seperti melempar gitar.

Lainnya, piringan hitam album Koes Plus bertajuk Dheg Dheg Plas. Album ini dirilis pada 1969. “(Album tersebut dirilis) itu karena dulu Koes Bersaudara, (mengubah nama) menjadi Koes Plus,” ucap Usman.

Terbentuknya Koes Plus terjadi setelah Nomo Koeswoyo memutuskan mundur dari Koes Bersaudara, usai merilis To The So Called The Guilties dan Djadikan Aku Dombamu pada 1967. Menurut Adhiyatmaka3, album Dheg Dheg Plas yang dirilis pada 1969 tidak diterima penggemar. Sebab, mereka tidak bisa dengan mudah menerima langkah yang diambil Tonny, Yon, dan Yok, yang menggantikan Nomo dengan Murry. Akibatnya, publik tak menyambut antusias album itu, bahkan mengabaikannya.

“Keajaiban” terjadi saat Koes Plus tampil di acara Jambore Grup Musik IK di Istora Senayan, Jakarta. Koes Plus tampil membawakan lagu-lagu baru ciptaan mereka yang cenderung jauh dari musik rock, ketika band lain membawakan lagu-lagu rock milik grup musik luar negeri. Penampilan Koes Plus berhasil memikat banyak orang. Lalu, album Dheg Dheg Plas mulai laku di pasaran dan membuat nama Koes Plus menjadi semakin besar.

Kepindahan Museum Musik Indonesia ke Gedung Kesenian Gajayana pada 2016 diresmikan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Pemkot Malang mengizinkan Museum Musik Indonesia berkantor di sini.

Arief Wibisono4 menulis, gedung ini dibangun perkumpulan Tionghoa Ma-Chung pada 1934. Lantas, pada 1960-an, Pemkot Malang mengambil alih gedung ini, menggantinya menjadi Gedung Cenderawasih. Lalu, pada 1989 baru dinamakan Gedung Kesenian Gajayana. Tahun 1974 hingga 1990, gedung ini pernah menjadi kantor Dewan Kesenian Malang (DKM), sehingga dikenal juga dengan nama Gedung DKM.

Harta Karun Musik dan Kisah Dardanella di Gedung Kesenian Gajayana
Koleksi alat musik tradisional di Museum Musik Indonesia, Malang/Fandy Hutari

Pentas Nostalgia Dardanella 

Saat membuka pintu Museum Musik Indonesia di lantai dua, pandangan saya langsung tertuju pada kursi-kursi pertunjukan yang menghadap ke panggung. Berbagai pentas kesenian pernah diadakan di sini, di antaranya konser Koes Bersaudara, Dara Puspita, dan Titiek Puspa. Kemudian ketoprak Siswo Budoyo, komedi Lokaria, dan wayang orang Pancabudi.

Gedung ini pun pernah dijadikan tempat pentas reuni rombongan tonil atau sandiwara Dardanella. Pada 1959 dan 1960, beberapa anggota Dardanella, sebuah rombongan tonil atau sandiwara besar di masa kolonial, mementaskan lakon “Dr. Samsi” karya Andjar Asmara.

Ramadhan KH5 menulis, Malay Opera Dardanella didirikan di Sidoarjo, Jawa Timur pada 21 Juni 1926. Pendirinya seorang Rusia kelahiran Penang, Willy Klimanoff, atau yang terkenal dengan nama A. Piedro. Dardanella merombak kebiasaan-kebiasaan panggung yang lazim dilakukan stambul. Pertama, ketika layar diangkat, mereka segera bermain. Tak ada introduksi dahulu. Kedua, mengutamakan adegan. Nyanyian diperdengarkan bila perlu saja.

Perkumpulan ini punya nama-nama beken di panggung sandiwara, seperti Tan Tjeng Bok, Dewi Dja, Riboet II, Astaman, dan Ferry Kock, yang disebut The Big Five. Dardanella melakukan pertunjukan keliling dunia pada 1935. Mereka memiliki misi untuk menampilkan tari-tarian Indonesia di sejumlah negara, seperti Singapura, Malaysia, Nepal, India, Yunani, Turki, hingga Amerika Serikat. Setelah itu, anggotanya terpecah. Ada yang ikut serta, ada yang tetap tinggal di Indonesia.

Pementasan reuni Dardanella bermain di Gedung Pekan Raya Surabaya pada Juni 1959, Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan di Bandung dan Gedung Kesenian Jakarta pada 8 Juli 1959. Pertunjukan terakhir diadakan di Gedung Ma-Chung (sekarang Gedung Kesenian Gajayana) pada 8–10 April 1960. 

Di Malang, pertunjukan dimainkan pula oleh Gelanggang Kesenian Tjahaja Timur. Penyelenggaranya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Malang. Pentolan Dardanella yang ikut pementasan reuni itu, antara lain Tan Tjeng Bok, Dewi Dja, Astaman, Raden Ismail, dan Ali Yugo. Saat pertunjukan di Malang, Tjeng Bok juga menyanyikan lagu keroncong “Kemajoran Lama.” Secara keseluruhan, pertunjukan ini disebut-sebut berjalan baik dan mendapat sambutan meriah publik.6

Pada November 2023, Museum Musik Indonesia pindah lokasi ke Gedung Penunjang Museum Mpu Purwa di perumahan Griya Shanta, Malang. Kepada wartawan Surya Malang7, Ketua Museum Musik Indonesia, Ratna Sakti Wulandari mengatakan, alasan kepindahannya lantaran Gedung Kesenian Gajayana akan dikembalikan fungsinya sebagai gedung pertunjukan.


  1. ANTARA News. (2012, 8 Desember). Galeri Malang Bernyanyi akan dirikan museum musik. https://www.antaranews.com/berita/347540/galeri-malang-bernyanyi-akan-dirikan-museum-musik, diakses 7 April 2025. ↩︎
  2. Klaus Nathaus & Martin Rempe (ed.), Musicking in Twentieth-Century Europe (Berlin: Walter de Gruyter GmbH & Co KG, 2020). ↩︎
  3. Ignatius Aditya Adhiyatmaka, Dari Ngak Ngik Ngok ke Dheg Dheg Plas (Jakarta: Binatang Press dan Irama Nusantara, 2021). ↩︎
  4. Arief Wibisono, Sejarah Musik Kota Malang Era 60-90 (Malang: Media Nusa Creative dan Museum Musik Indonesia, 2021). ↩︎
  5. Ramadhan KH, Gelombang Hidupku, Dewi Dja dari Dardanella (Jakarta: Sinar Harapan, 1982). ↩︎
  6. Katalog pertunjukan “Dr. Samsi” di Gedung Ma-Chung Malang, 1960. ↩︎
  7. Kukuh Kurniawan, (2023, 2 November). Alasan Pemindahan Museum Musik Indonesia ke Museum Mpu Purwa, Kota Malang. Surya Malang Tribunnews. (https://suryamalang.tribunnews.com/2023/11/02/alasan-pemindahan-museum-musik-indonesia-ke-museum-mpu-purwa-kota-malang, diakses pada 7 April 2025. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Harta Karun Musik dan Kisah Dardanella di Gedung Kesenian Gajayana appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/harta-karun-musik-dan-kisah-dardanella-di-gedung-kesenian-gajayana/feed/ 0 47068
Puncak Budug Asu, Pilihan Destinasi “Solo Hiking” di Malang Raya https://telusuri.id/puncak-budug-asu-destinasi-solo-hiking-malang-raya/ https://telusuri.id/puncak-budug-asu-destinasi-solo-hiking-malang-raya/#respond Wed, 16 Apr 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46671 Belakangan sektor pariwisata di Malang Raya semakin menggeliat dan mengundang orang untuk berkunjung. Seperti yang sedang tren di media sosial, terutama Tiktok, yaitu Puncak Budug Asu. Bukit kecil ini berada di Toyomarto, Singosari, Kabupaten Malang,...

The post Puncak Budug Asu, Pilihan Destinasi “Solo Hiking” di Malang Raya appeared first on TelusuRI.

]]>
Belakangan sektor pariwisata di Malang Raya semakin menggeliat dan mengundang orang untuk berkunjung. Seperti yang sedang tren di media sosial, terutama Tiktok, yaitu Puncak Budug Asu. Bukit kecil ini berada di Toyomarto, Singosari, Kabupaten Malang, termasuk dalam area Perhutani KPH Malang. Lokasinya yang tidak jauh dari pusat Kota Malang, hanya sekitar 30 menit dengan sepeda motor, sehingga cocok sekali bagi yang suka wisata alam, terutama hiking.

Sabtu (22/2/2025), saya berkesempatan untuk menjajal trek pendakian menuju puncak yang berada di kaki Gunung Arjuno itu. Saya berangkat seorang diri alias solo hiking. Pikir saya, akhir pekan pasti ramai sehingga bukan masalah jika harus berangkat sendirian. Apalagi pendakian tektok alias pendakian pulang pergi (PP) tanpa menginap sedang tren di kalangan anak-anak muda atau Gen-Z. Terutama bagi pendaki-pendaki FOMO (Fear of Missing Out)—istilah untuk orang-orang yang tidak ingin ketinggalan tren kekinian—yang pasti banyak ditemui di sepanjang rute nantinya.

Puncak Budug Asu memiliki ketinggian 1.422 meter di atas permukaan laut (mdpl). Elevasi dari parkir motor hingga puncak hanya 414 meter, cukup dengan dua jam perjalanan PP. Cocok buat yang hobi pendakian tektok atau trail run.

Saya berangkat dari Surabaya pukul 07.15 dan tiba di basecamp Puncak Budug Asu via Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari tepat pukul 09.00. Jarak antara gerbang masuk BBIB hingga parkir motor kurang lebih 1,5 kilometer. Saya sarankan menggunakan sepeda motor saja, terutama motor trail, karena jalannya sangat tidak ramah untuk motor matic dan mobil.

Kiri: Kondisi jalan dari gerbang masuk BBIB menuju pos masuk Puncak Budug Asu. Kanan: Jalan menuju pos registrasi pendakian Puncak Budug Sewu untuk membeli tiket masuk sebesar Rp10.000 per orang dan parkir motor Rp5.000/Dodik Suprayogi.

Melewati Kawasan Hutan Pinus dan Kebun Kopi

Sebelum melanjutkan perjalanan yang sesungguhnya, saya tidak henti-hentinya berdoa kepada Tuhan agar diberi keselamatan dan kelancaran, apalagi saya solo hiking. Saya mulai melangkahkan kaki pukul 09.25 dari tempat parkir motor.

Belum sempat observasi mengenai jalur dan waktu tempuh pendakian Puncak Budug Asu, saya sedikit mengobrol dan bertanya pada juru parkir, agar mempunyai bayangan mengenai trek Budug Asu. “Kalau lari 15–30 menit saja bisa sampai puncak, kalau jalannya kayak keong, ya, bisa dua jam, Mas,” kata Pak Kir.

Menurut saya, trek pendakian ke Puncak Budug Asu tidak begitu ekstrem. Dari aplikasi Strava saya memantau dua kilometer perjalanan sejak parkir motor, jalan masih cenderung landai, kanan-kiri perkebunan kopi dan hutan pinus yang rindang. Di sini banyak pendaki yang membuat konten video atau sekadar foto-foto. Terutama pengunjung muda-mudi yang terlihat menikmati sekali mengabadikan momen mereka di hutan pinus bersama kawan-kawannya.

Saya mendekat dan menyempatkan diri untuk bertegur sapa. “Rombongan dari mana, Mas, Mbak? Mau saya fotokan?” 

Sebagai pendaki solo, ini adalah salah satu cara saya agar tidak bosan di jalan, sekaligus menambah jaringan pertemanan. Saya pun tak ketinggalan untuk mendokumentasikan hutan pinus yang rindang dengan pohon-pohon kopi di bawahnya, menggunakan tripod yang saya bawa dari rumah.

  • Puncak Budug Asu, Pilihan Destinasi “Solo Hiking” di Malang Raya
  • Puncak Budug Asu, Pilihan Destinasi “Solo Hiking” di Malang Raya

Tanjakan Curam dan Tali Tambang yang Tajam

Saya melewati sebuah pos yang awalnya loket tiket masuk, tetapi kini berfungsi sebagai lokasi mendirikan tenda bagi yang ingin bermalam. Selanjutnya saya disuguhkan trek yang bikin ngos-ngosan, padahal hanya setengah kilometer saja.

Terdapat seutas tali tambang sebagai alat bantu melewati jalur yang menanjak. Dari pemantauan alat navigasi saya, kemiringan jalur mencapai 60 derajat sehingga bisa dikatakan cukup ekstrem. Tidak ada sedikit pun jalan yang landai di sini. Dari pos tiket sampai puncak sepenuhnya menanjak, sungguh membutuhkan energi yang ekstra. Banyak pengunjung yang balik badan dan tidak melanjutkan hingga ke puncak. Sebab, treknya memang sangat tidak ramah untuk jantung dan akan licin jika sehabis hujan.

Maka perlu fisik yang prima di sini. Kalau tidak fokus dan kuat, akan berbahaya buat pendaki itu sendiri bahkan bisa saja jatuh menggelinding hingga cedera fatal. Meskipun demikian, trek ke Puncak Budug Asu bisa dikatakan masih cocok buat pendaki pemula atau tempat diklat pencinta alam yang murah sekaligus untuk senam jantung.

Ada satu hal yang tidak boleh dilupakan jika mendaki ke Puncak Budug Asu, yaitu sedia sarung tangan. Sebab, gesekan tangan dengan tali tambang cukup membuat iritasi bagi yang mempunyai kulit sensitif, agar tidak luka apalagi sampai berdarah.

Tanjakan curam Budug Asu yang licin tanpa anak tangga, hanya dibantu seutas tali tambang (kiri) dan trek menuju puncak dengan anak tangga dan seutas tali tambang/Dodik Suprayogi

Cerah dengan Sedikit Gerimis di Puncak

Pukul 10.15 saya tiba di puncak. Terlihat dua tenda besar berdiri yang penuh dengan rombongan anak sekolah di depannya, Mereka sedang asyik bersenda gurau.

Memang, Puncak Budug Asu cukup luas hingga muat untuk mendirikan 20 tenda. Dari ketinggian, terlihat pemandangan hamparan kebun teh Wonosari menghijau.

Banyak kegiatan yang bisa dilakukan di puncak, salah satu yang lazim adalah foto bersama plakat bertuliskan “Puncak Budug Asu. Tanda jika sudah berhasil hingga puncak. Sementara muda-mudi dari kejauhan sedang asyik joget-joget ala Tiktok, memperlihatkan dari golongan mana mereka lahir: Gen-Z.

Saya tidak berlama-lama di puncak, hanya kurang lebih 30 menit. Istirahat sejenak untuk minum air putih dan ngemil sedikit snack untuk menambah asupan energi. Cuaca kemudian sedikit gerimis dan kabut mulai tampak, sehingga saya bergegas untuk segera turun.

Memahami Pakaian yang Sesuai untuk Pendakian

Menjadi kegelisahan saya di tengah tren pendakian masa kini, ketika pendakian menjadi ajang adu pakaian (outfit). Terutama di kalangan pendaki Gen-Z, yang jauh sekali dari prinsip safety alias menjaga keselamatan.

Dahulu saat diklat pencinta alam atau pramuka, saya diajarkan tata cara berpakaian di alam bebas, khususnya saat mendaki gunung. Pengetahuan ini penting karena di alam bebas semua hal bisa saja terjadi, sehingga perlu disiapkan dengan matang. Saya memerhatikan, ada pendaki yang hanya memakai sandal jepit dan celana boxer. Ini sangat tidak sesuai dengan cara berpakaian di alam bebas. Semua ada normanya.

Memang, aktivitas di alam bebas itu bakal memproduksi keringat yang banyak dan bikin gerah badan. Namun, keselamatan diri tidak kalah penting. Pilihlah pakaian yang ringan dan tidak bikin gerah, tetapi tertutup, Meminimalisasi terjadinya luka atau iritasi pada kulit. Sekarang sudah banyak yang jual di lokapasar (marketplace). Lalu alas kaki yang empuk dan bisa melindungi kaki dari benturan benda keras juga penting, seperti sepatu atau sandal gunung khusus untuk trekking atau hiking.

Outfit yang bermerek itu tidak salah, tetapi pakaian yang tepat jauh lebih penting. Jangan lupa sedia sarung tangan, karena tali tambang di Budug Asu tajam.

Puncak Budug Asu, Pilihan Destinasi “Solo Hiking” di Malang Raya
Pakaian saya saat solo hiking, memakai celana pendek dan legging panjang, kaus kaki, sepatu hiking, baju lengan panjang, topi, dan daypack 20 liter yang cukup safety menurut saya/Dodik Suprayogi

Mendaki dengan Hati Gembira

Selain niat yang bersih, pendakian ke Puncak Budug Asu juga perlu hati yang gembira alias hati yang kuat. Mengapa begitu?

Sejauh mata memandang, banyak pendaki yang mountain date alias kencan di gunung, Selain itu, Puncak Budug Asu juga menjadi idola destinasi hiking keluarga. Tidak sedikit saya melihat “keluarga cemara” yang sedang hiking di sini: ayah, ibu dan anak-anaknya. Sungguh pemandangan menyejukkan.

“Kok sendirian saja, Mas?” tanya seorang bapak yang sedang menggendong buah hatinya, kira-kira umur tujuh tahun, sembari menggandeng tangan sang istri tercinta. Bagi pendaki solo macam saya, hati yang gembira sangat diperlukan jika mendapati kondisi tersebut agar dijauhkan dari sifat iri dan dengki. 

Bagaimana, tertarik mendaki ke Puncak Budug Asu?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Puncak Budug Asu, Pilihan Destinasi “Solo Hiking” di Malang Raya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/puncak-budug-asu-destinasi-solo-hiking-malang-raya/feed/ 0 46671
7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang https://telusuri.id/7-air-terjun-di-perbatasan-malang-lumajang/ https://telusuri.id/7-air-terjun-di-perbatasan-malang-lumajang/#respond Fri, 21 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45722 Di sejumlah daerah pegunungan, biasanya air terjun menjadi tempat favorit rekreasi yang menyasar semua kalangan. Mulai dari remaja, mahasiswa, hingga keluarga; dari wisatawan domestik sampai mancanegara. Seperti dua kabupaten bertetangga yang terletak di selatan Gunung...

The post 7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang appeared first on TelusuRI.

]]>
Di sejumlah daerah pegunungan, biasanya air terjun menjadi tempat favorit rekreasi yang menyasar semua kalangan. Mulai dari remaja, mahasiswa, hingga keluarga; dari wisatawan domestik sampai mancanegara. Seperti dua kabupaten bertetangga yang terletak di selatan Gunung Semeru, yaitu Malang dan Lumajang. Nyaris tak terhitung aliran-aliran air terjun yang mengalir di kedua daerah tersebut, baik yang sudah dibuka untuk wisata maupun yang masih tertutup karena sulit dijangkau akibat medan yang ekstrem.

Dari banyaknya air terjun, TelusuRI merangkum tujuh air terjun yang mengalir sepanjang tahun, yang bisa jadi pilihan buat mengisi waktu liburan atau akhir pekan, karena lokasinya berdekatan. Beberapa air terjun bisa digapai dalam sehari. Namun, jika ingin menjangkau semuanya, setidaknya perlu waktu dua hari dan menginap satu malam di homestay warga sekitar. Sebab, sejumlah titik air terjun memerlukan ketahanan fisik dan waktu ekstra untuk dijangkau.

Umumnya, tarif masuk wisata air terjun dipatok sekitar Rp10.000 per orang, belum termasuk parkir kendaraan. Untuk jasa pemandu maupun permintaan khusus lainnya seputar kegiatan berwisata bisa didiskusikan dengan pengelola wisata setempat.

1. Coban Sewu atau Tumpak Sewu

7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang
Coban Sewu atau Tumpak Sewu saat musim kemarau/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Air terjun ini berada di aliran sungai yang menjadi pembatas alami antara Kecamatan Ampelgading (Kabupaten Malang) dan Kecamatan Pronojiwo (Lumajang). Di Malang disebut coban, sedangkan di Lumajang disebut tumpak. Keunikan formasi arus airnya membuat Coban Sewu populer dan banyak dikunjungi wisatawan. Aliran dari satu sungai besar berwarna kecokelatan jatuh dasar jurang sedalam ratusan meter bersama puluhan aliran mata air yang mengucur dari balik celah tebing. Debit air saat musim hujan lebih deras daripada musim kemarau.

Untuk melihat air terjun ini bisa melalui dua pintu masuk, dari sisi Desa Wonokerto (Malang) maupun Desa Sidomulyo (Lumajang). Wisatawan bisa cukup sekadar melihat panorama dari pinggiran tebing, atau menuruni jalur setapak ekstrem dan sangat curam ke dasar jurang untuk lebih dekat ke guyuran air terjunnya. Lebih aman membawa pemandu lokal untuk memastikan keamanan jalur.

2. Coban Ciblungan

7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang
Kolam pemandian alami Coban Ciblungan/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Mulanya, Coban Ciblungan digunakan warga sekitar untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi atau mencuci baju. Namun, begitu popularitas Coban Sewu meningkat, kelompok sadar wisata setempat berinisiatif membuka Coban Ciblungan untuk umum sebagai tempat wisata. Coban Ciblungan hanya terletak sepelemparan batu dari rumah warga terdekat di Dusun Sumberpitu, Desa Sidorenggo, Kecamatan Ampelgading. Pekarangan rumah warga tersebut biasa digunakan untuk tempat parkir motor dan mobil.

Melihat Coban Ciblungan sedikit mengingatkan pada formasi aliran Coban Sewu, hanya dalam versi yang jauh lebih mini. Terdapat satu sungai yang mengalir dari belakang Pasar Jagalan (jaraknya sekitar 1,5 km), lalu bercampur dengan deretan aliran mata air berdebit deras yang keluar dari celah tebing, mengguyur satu area kolam yang sama. Jika terjadi hujan di daerah hulu, air sungai dan kolam akan berwarna cokelat keruh sehingga tidak bisa digunakan untuk mandi atau berenang untuk sementara waktu.

3. Coban Gintung

7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang
Aliran kembar Coban Gintung sebelum salah satunya disudet/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Masih berada di satu desa yang sama, Coban Gintung berjarak sekitar 2,5 kilometer ke arah tenggara dari Coban Ciblungan. Aliran Coban Gintung bersumber dari mata air Sumber Gintung yang menghidupi kebutuhan air rumah tangga dan pertanian masyarakat setempat. Akses menuju tempat wisata Coban Gintung hanya bisa menggunakan sepeda motor. Jika membawa mobil, bisa dititipkan di pekarangan rumah warga terdekat.

Dari tempat parkir motor, hanya perlu trekking ringan membelah ladang warga tak sampai 10 menit untuk menuju air terjun. Dahulu, Coban Gintung memiliki dua aliran air yang mengalir bersisian sehingga membuatnya tampak seperti air terjun kembar. Namun, beberapa waktu kemudian salah satu aliran disudet oleh pihak PDAM setempat untuk memenuhi pasokan air masyarakat. 

4. Coban Naga Gintung

7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang
Seberkas pelangi di dasar Coban Naga Gintung/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Aliran Coban Naga Gintung berada di atas Coban Gintung dan masih satu payung pengelolaan. Di rute jalan setapak yang sama, terdapat percabangan jalur. Jika berbelok ke kanan, jalur akan menurun menuju Coban Gintung, sedangkan jika lurus, akan mengarah ke Coban Naga Gintung yang jaraknya tidak terlalu jauh.

Ada dua cara untuk menikmati kesegaran Coban Naga Gintung. Dari atas jembatan bambu yang dipasang warga, atau sedikit turun ke tepian jika ingin sedikit basah-basahan. Debit Coban Naga Gintung cukup deras, sehingga menimbulkan suara gemuruh. 

5. Coban Gua Kelelawar

Lokasi Coban Gua Kelelawar—dalam bahasa Jawa disebut Goa Lowo—cukup jauh dari tempat parkir Coban Gintung. Air terjun ini merupakan ujung dari aliran Coban Gintung dan nantinya akan bertemu dengan aliran Sungai Glidik yang merupakan jalur lahar dingin Semeru. Untuk menuju ke coban ini, perlu trekking sekitar 30 menit lewat jalan cor hingga meniti pematang sawah. Bisa juga diakses langsung dari Coban Gintung dengan menyusuri tepian sungai dan ladang warga.

Formasi aliran air Coban Gua Kelelawar cukup unik. Air keluar dari celah sempit di bagian atas, lalu jatuh menyebar dan membasahi dinding tebing. Terdapat satu lubang kecil yang muat dimasuki manusia, yang oleh warga setempat disebut sebagai sarang kelelawar. Dari situlah nama Coban Gua Kelelawar berasal. Aliran coban ini membentuk sungai kecil penuh batuan dan diapit persawahan yang banyak ditumbuhi pohon kelapa.

6. Air Terjun Kapas Biru

7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang
Seorang wisatawan di air terjun Kapas Biru/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Bergeser ke Lumajang, Kapas Biru bisa menjadi opsi wisata air terjun dengan sentuhan petualangan. Sebab, jaraknya cukup jauh dari Dusun Mulyoarjo, Desa Pronojiwo—kampung warga terdekat yang membuka akses masuk wisata—dan beberapa titik jalur trekking cukup ekstrem sehingga memerlukan kehati-hatian. Salah satunya tangga besi vertikal setinggi kurang lebih tiga meter yang mau tidak mau tetap harus dilewati. Namun, gemuruh dan kesegaran air Kapas Biru bisa mengobati lelah setelah 45 menit berjalan dengan kontur naik-turun.

Formasi geologi air terjun Kapas Biru berbeda dengan kebanyakan coban di wilayah Malang. Dinding tebingnya cadas berwarna cokelat terang dengan vegetasi hijau di sekitarnya. Saking derasnya aliran air, terkadang muncul buih-buih selembut kapas dan jika terkena sinar matahari seperti berwarna kebiruan. Aliran sungai kecil yang dibentuk dari air terjun ini juga dimanfaatkan pengelola untuk atraksi wisata tubing dengan ban karet.

7. Air Terjun Kabut Pelangi

7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang
Panorama air terjun Kabut Pelangi/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Air terjun ini berada di Dusun Besukcukit, Desa Sidomulyo. Satu desa dengan Tumpak Sewu, bertetangga dengan Kapas Biru. Akses wisata air terjun ini dibuka beberapa lama setelah Tumpak Sewu dan Kapas Biru. Letaknya yang tersembunyi dan cukup jauh dari perkampungan membutuhkan usaha lebih untuk bisa melihat air terjun ini dalam jarak dekat. Setidaknya perlu waktu 30–45 menit trekking, melewati jalan setapak di tengah ladang warga, sesekali menyeberangi sungai dengan arus cukup deras, yang terbentuk dari aliran Kabut Pelangi.

Mendekati air terjun, wisatawan seperti dikepung ngarai menjulang. Perlu kehati-hatian saat melangkah dan mewaspadai perubahan cuaca maupun arus bah mendadak. Air terjun Kabut Pelangi lebih tinggi dan lebih deras daripada Kapas Biru. Jika beruntung dan berada dalam momen yang pas, akan terlihat segaris pelangi sesuai namanya. 

Menjadi pejalan bijak: hal-hal yang harus diperhatikan

Semua air terjun tersebut berada di wilayah perdesaan dan aksesnya melewati kawasan ladang dan permukiman warga. Oleh karena itu pengunjung harus menghormati peraturan setempat yang mungkin diberlakukan. 

Selain itu, TelusuRI juga menyarankan setiap pengunjung agar menjadi pejalan bijak, serta memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk menjaga lingkungan di sekitar tempat wisata. Berikut sejumlah tips yang bisa kamu lakukan selama berwisata di coban-coban tersebut.

  1. Menghormati adat istiadat di dusun sekitar tempat wisata.
  2. Mematuhi peraturan yang diberlakukan pengelola wisata.
  3. Mewaspadai perubahan cuaca, karena hujan deras di aliran hulu bisa menyebabkan bah kencang dan membahayakan keselamatan.
  4. Melengkapi diri dengan peralatan dan logistik yang memadai agar perjalanan berwisata aman dan nyaman.
  5. Meminimalisasi penggunaan botol minum kemasan dan plastik sekali pakai.
  6. Gunakan kotak makan untuk menyimpan bahan-bahan makanan kamu selama perjalanan.
  7. Memilih menu-menu makanan organik, seperti sayur, buah, dan bahan lainnya untuk meminimalisasi makanan kemasan sekali pakai.
  8. Membawa pulang sampah anorganik yang kamu hasilkan.
  9. Membawa kantung sampah secukupnya.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/7-air-terjun-di-perbatasan-malang-lumajang/feed/ 0 45722
The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3) https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-3/ https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-3/#respond Thu, 11 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42320 One of the visitors, braver than me, took the path further away and even opened the closed stubby door. I felt heavier back then, so I told her (we didn’t know each other), “Let’s go,...

The post The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
One of the visitors, braver than me, took the path further away and even opened the closed stubby door. I felt heavier back then, so I told her (we didn’t know each other), “Let’s go, this is the furthest we could go, come on!” But she obeyed me after succeeding in the attempt of opening the door. I asked what was inside, she said that it was nothing.

Coming out from the so-not-rabbit hole, we were asked by the tour leader, “Are you guys feeling alright?” Nodding was our answer. Although that bravest candidate looked a bit disappointed expecting to find more or at least there was something in there.

We became friends then, this was the conversation leading our connection to it, “How do you get all the bravery?” I asked. She merrily answered, “I was exorcized once, I could see ghosts in the past, but now I can’t see them.”

I shook my head in awe. I spoke to myself, no wonder she assigned herself for a trip like this.

The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3)
The front yard where Soekarno had his speech/Putriyana Asmarani

Bella Vista, The Crisis of Meaning

As this trip was arranged and paid as the assigned members wish, I didn’t know whether entering Bella Vista was free. It should be free. Like many other abandoned houses, Bella Vista is totally wounded, what makes it different from many others is that it is visitable. Before entering the place, we all stood solemnly in the front yard, there we witnessed remnants of the splendor. We were told that where we stood was where Soekarno delivered his speech after he administered Tugu square. Bella Vista served him as the guest house.

A group of teenage boys sat on their modified motorcycles, they made a fuss there just near the building where the part was entirely ruined. A middle-aged vendor, a man shares a space with Bella Vista, he sells something there, he promotes snacks. A little commotion in the front yard didn’t make Bella Vista merrier. Or, being surrounded by human beings doesn’t make this place cleaner. Like that lonely swing in Splendid Inn that doesn’t add value whatsoever for the site. Both look deserted and melancholy. Places that bear history with them are somehow melancholy, I believe all noble sites are touched with that.

  • The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3)
  • The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3)

But Bella Vista’s appearance is smaller compared to the massive Splendid Inn. This house has a large living room which leads to a dining area. The dining area, in the past, must be very awe-inspiring as it faces directly to the garden like how you imagine the grandeur of Victorian dining and gardens. But do not imagine it as the fine one, because in the present, the garden is ruined, it is now just a rectangular space full of weeds.

I do admit that Europeans are brilliant when it comes to architecture. Bella Vista is ruined now, but the downpours of sun rays wake this place, even some remote areas get a bit of share from the light. With the rays, I come to a profound realization that the past is always wakeful, since then I consider the past as the wisest time signal. I am not so prominent in interior designs and housing morphology but Bella Vista, I think is built like the letter U. Or maybe because the backyard is closed or demolished, so the area was not accessible, the thing is we entered the front and got out from another door in the front area.

Toilet, whether it was built in the past or not, stood horrendously next to the building, not far from where the teenage boys were hanging out. The area was filthy and the boys had no worries in the world whatsoever, I was being skeptical about how they messed around littering here and there.

There isn’t much to tell here except the disturbing vandalism, the collapsed wall, the ruptured windows, and the deformed balcony. The only meaning it could be derived is just the fact that the first president was here once. But would it be all? If, Soekarno didn’t visit Bella Vista, I believe it yields no story at all and soon would be demolished. Who knows?

The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3)
The toilet/Putriyana Asmarani

The Commercialization of Terror

In the absence of life and color, Bella Vista and Splendid Inn conform to the most appalling thing of mankind; the visible world is formed with compassion, however the invisible spheres are formed in fright. H. P. Lovecraft warned us all with this common and indulging mistake, a mistake to fancy that horror is associated inextricably with darkness, silence, and solitude.

It is affirmed that darkness manifests itself from something remote, full of anger, resentful and revengeful. In fact, over time, darkness is man-made. From the moment Splendid Inn and Bella Vista were abandoned and left in ruins, that would be the first stage where darkness approached. The places look inviting for the ghost. Believe it or not, the abandonment is an act decided by the stakeholder itself that invites the devils. But ghosts, today, do not concern us, don’t they?

Ghost hunting or anything ghostly is a commodity. Therefore, people are mostly attracted to visit the sites due to the haunting narrative; a group of school boys and girls went there to take photoshoots, they wanted to get the Danur vibe. They are not the only ones. I believe people receive accumulated hysteria about the horror and therefore decide to visit the place. The more the place receives visitors, the more successful is the marketing campaign.

Hence, no renovation for Bella Vista and Splendid Inn, let alone renovations, the places are not swept or mopped, no staff assigned to clean the place. If an accident happens, let’s say the rotten plywood falls on the visitor’s head leading to serious injury, the first agent to blame is that the demon wants the soul. If not serious injury, the mild one, one gleam of injury is said to be our own mistake not to behave in the site. This judgment is hereditary. Thus, to start with a critical point of view about this market-driven man-made terror is like beating against the solid metal. 

I do believe in ghosts, I also believe in the residual spirits which stay in the sites for the places are parts of their being and identity. I am a devout follower of Kisah Tanah Jawa and a seasonal lover for Jurnal Risa. I am fully aware that certain actions might lead to the anger of those spirits, for instance, if the stakeholder decides to clean the site or renovate, the invisible dwellers might revolt against it. But mankind isn’t a servant for the spirits. To balance the world a pact with the spirits should be made, otherwise there would be the possibility that they encircle the area, create an empire there. Then, the dark spirits do harm to the visitors. Like the visible world we live in, there should be politics too in the underworld, right?

There is also another factor wallowing in the fate of Splendid Inn and Bella Vista. Renovations mean changing, although the efforts also include preserving the place the way it looked in the past, renovations mean replacing materials anew. Then, this concern; renovations mean a threat to genuineness.

The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3)
Another side of the corridor in Splendid Inn/Putriyana Asmarani

Now, this is fun, this notion of genuineness is fun. Let’s imagine Splendid Inn and Bella Vista’s ruin as a person suffering from cancer. The person is famous for cancer, people are impressed with the story of the person’s battle and survival. But cancer isn’t worshiped, the admiration is rooted from the cure process. Just because a person is famous for the disease, does it mean that the person is less genuine when she or he is cured? All the ruins, the collapsed attic, the tattered balcony, the blasted windows and doors, aren’t these all but a disease in once a perfect body of building in the past?

I know, I know Bella Vista and Splendid Inn were built by the country’s arch enemy, by the colony. I know they are physically less precious than the crystal goblets of Persian sherbet. But, heritage deserves preservation, if not renovation at least cleanliness, like a soul deserves a nourished body to live in. Couldn’t all of us stop this commercialization of terror? In fact, in the end I couldn’t help much. Disney must really hate to hear this but, some lives are messily ever after.


Get to know your Indonesia better through our Instagram and Facebook Fanpage.
Interested in sharing your story? Come on, submit your writing.

The post The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-3/feed/ 0 42320
The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (2) https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-2/ https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-2/#respond Tue, 09 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42308 If not for constant care, preservation, and rehabilitation, what’s the 10.000 rupiah for? No, I am not sorry about the value. There are temples in Mojokerto for instance, let’s say Bajang Ratu, the visitor has...

The post The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
If not for constant care, preservation, and rehabilitation, what’s the 10.000 rupiah for? No, I am not sorry about the value. There are temples in Mojokerto for instance, let’s say Bajang Ratu, the visitor has to pay for 5000 rupiah as the place needs continuous care and rehabilitation had been made in the past. With a complete abandonment, what’s the 10.000 rupiah for? Ebenezer Scrooge—a character from a novel written by Charles Dickens, Christmas Carol—must have really hated this place, he’s the most frugal in the world literature. Mr. Scrooge won’t pay.

There’s a stairs leading to the second floor in the area where the ticket was sold. This red-painted, splintered stairs is left just that. Imagine if you are tripped there and die funny. Imagine a sudden accident; the stairs break and collapse and then you are trapped in the second floor until God knows for how long. I can tell you that today’s Splendid Inn isn’t preserved for the visitors, it is for the ghost, the ghost doesn’t need stairs.

It was even scarier when my mathematical brain cells work; I weigh 54 kg, we were around 8 visitors with weight ranged from 50 to 60 kg, let’s take median 56 kg times 8 visitors, equals 448 kg weighted upon the old rustic stairs. I tell you, readers. I don’t want to live long but I too don’t want to die like this. Again, what’s the 10.000 rupiah for? There’s probably an argument coming that Dutch architecture is far stronger than you think, but it is vital to note that no matter how flawless a building is built, there’s a durability. 

  • The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (2)
  • The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (2)

Splendor Swallowed by Chaos

I believe there’s a brink of restoration in 1950, post-independence of Indonesia. The inn was used as the center of administration for a Japanese colony, in 1950, Faculty of Teacher Training and Education, Airlangga University Surabaya (UNAIR) had the right for the building and restored it for lecturers’ guest house and university classrooms. But the rights shifted again, now it is owned by Malang State University (UM). Now we know, to whom it may concern, the stakeholder responsible for the building.

Believe it or not, I suggest you should believe this; Splendid Inn was renovated in 2015. In the year where Pribumi has all the freedom, in this economy, how come few parts are scattered, decayed, and ruined as if it has never been touched since the 1900s? The second floor just above the ticketing area is a medium-sized hall. It is empty; no furniture or whatsoever. The only sightseeing is windows and a door. There is a balcony leading to the sight of an old mango tree where one of the barks is hanged by a horror-struck swing. See, Indonesian horror scenarios are always predictable; a tree and a swing. Again, why is the swing there, to whom shall it entertain?

Upon leaving the building, I felt relieved about moving on from the stairs. But what waited then, remained unfathomable; it was like experiencing things outlandish and at the same time…whimsical. The second site we visited was this open area where cannons are laid bare and brazen in the yard. I believe they were just artificial, they couldn’t be real cannons. Besides, this place was an inn and university classrooms. I wonder why most sites entice paradoxical things like those Robocop and Ironman figurines in the south of Rampal field.

The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (2)
The building behind/Putriyana Asmarani

We went on to the buildings behind, the notorious areas, the haunted ones, the ones where Jurnal Risa’s team got possessed by the demons. Let me briefly describe; it is the most wicked dwelling in all meridians. Was it because I felt haunted? No. It was threatening. The roof gable was mesmerizing as it signifies the key European housing style. But from the rake to its very foundation looked intimidating.

We marched to the second floor, we walked upstairs with a safer staircase but still the steps were all dirty. The first sight was a corridor, so far this area was the worst. The bats might have built their empire in the attic, because it crumbled. Their poop scattered all around the floor. There is also a thick scent of termite combined with dirt. Trust me, Ariadne (In Greek mythology, Ariadne boasted her weaving talent to Goddess Athena, she was then cursed as a spider, weaving in the darkest corner of the world) wasn’t cursed in Greek, she is in Splendid Inn all along, all this time.

This is a cosmic heart breaking; rotten plywood hung, hazardous vine entangled, mud-looking dirt scattered not only in the floor but also in the wall, I mean how can they reach the wall? Serial killers must really love it. I even accidentally found a young butterfly trapped behind the window glass, it struggled to bang itself in the mirror thinking that it pursued the brighter and greener world. But I couldn’t help it. My mother’s voice rang in my ear instantly, “Do not touch or meddle, move in or move out things or beings in the site. Those could be the toys, things entertaining the ghosts.” This is triggering though, Goddess Athene made attempt to save Odysseus from the Great God’s curse—in Homer’s Odyssey it is narrated that Goddess Athene felt sorry about the Odysseus’ struggle to sail the world with a curse of never returning home—but I couldn’t even help a single soul, the butterfly.

The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (2)
The corridor in the second floor/Putriyana Asmarani

“Attack” by Something Secret

I walked through the corridor, tip-toeing (although I wore shoes), and found a stairs leading to the darker part of the inn; the third floor. I asked the tour guide, “What’s in there? Could I go there?” The tour guide said, “That’s the third floor, you may go there but I couldn’t be there for you?” I was shocked. I asked, “Why?” She gave me the short answer, “Why else!” After a few days I looked up on the internet and watched Jurnal Risa’s edition in Splendid Inn. I understood then, the area was where the two ghosts dwell; the lady in white and the soldier. 

We didn’t go further than that. But we marched downstairs in the final part of the route. There are speculations denoting that there was a secret door used as an escape during dire situations (raids and wars), there was a secret tunnel leading to SMA Tugu. But no one dares to find out. I understand why. I see smaller doors, not even a single window present, smaller passageways and stairs, enough for one person. If I walked there in a team, we cannot walk side by side so it is easier to predict who will die first in this journey.

I was enticed by the ‘secret tunnel’, the tour guide said, “It was probably in there,” pointing her hand towards one of the passage ways. She could only use her finger, she couldn’t lead us there for the same reason. But my curiosity is killing me. I’m a logic-driven person, I believe that as long as I behave, nothing bad will come after me. So I pledged her permission. Until…she said yes.

True, logic-driven but I still believe in ghosts, although I never see one. Fortunately, I wasn’t alone, there were three other visitors who demanded the same thing. We went there with salam and basmalah, I even said excuse me and bowed for it throughout the passage way. Until, the abrupt gust of something I don’t know what crept my back. It didn’t feel like a hand or a body, whatever on my back was, it felt heavy, like a burden, it was as cold as Satan’s hoof. I was short of breath a little bit. I held this sudden strike and took a photo of it, I believed it was clear but at home after the journey the photo ended up blurry.

(to be continued)


Get to know your Indonesia better through our Instagram and Facebook Fanpage.
Interested in sharing your story? Come on, submit your writing.

The post The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-2/feed/ 0 42308
The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (1) https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-1/ https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-1/#respond Sun, 07 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42290 The haunting and daunting Bella Vista and Splendid Inn. No windows are open here. If there are, it might be due to natural causes of rotting and decaying. Otherwise, they break open due to vandalism;...

The post The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (1)
The back area of Splendid Inn/Putriyana Asmarani

The haunting and daunting Bella Vista and Splendid Inn. No windows are open here. If there are, it might be due to natural causes of rotting and decaying. Otherwise, they break open due to vandalism; only the devils know the culprit. The entrance door is wide open, but this openness soon after you bring yourself inside both places makes you realize that the two are shutting themselves off to the world, uninviting and unwelcoming.

A stoic friend of mine, Wildan Habibi, shockingly catechized me a few hours after I visited Bella Vista and Splendid Inn. Whereas, he never meddled with my business before. “Why in the mother earth do you visit those Gomorrah-looking places, all for what? Brown study?”

Even a few Instagram friends of mine rang me to inform me that Jurnal Risa visited Splendid Inn (Wisma Tumapel). They vigorously bombarded me with the YouTube link, adding spice to their hysteria that Splendid Inn is so ungodly that Hades himself will freak out to see the demon of his own making.

But, I still participated in a group tour led by Jelajah Malang with a tour guide, Dini Rachmawati. The tour isn’t partially dedicated to Bella Vista and Splendid Inn visits. It was a walking route that stopped at more than four destinations. However, I just want to pour my attention in this writing only on Bella Vista and Splendid Inn; the two buildings so far as I perceive, yield an odd philosophy. 

Euroclydon of Dutch East Indies

Bella Vista and Splendid Inn have all the features of a building; doors, windows, hall, park, roof, corridor, balcony, kitchen, bathrooms, and all, but all these features are dead as stones. In most resources that I gather and based on the tour guide’s narrative point of view; history is to blame for the notorious dysfunctionality. 

In Malang, Deandelsboulevard (now Kertanegara Street) stretched from the train station area to Coenplein Jan Pieterszoon (now Tugu Street, an area that covers Bundaran Tugu or Bundaran Jan Pieterszoon), this zone is said to be the center of entertainment for the absolute Dutch aristocrats where no Pribumi was allowed to set foot unless they were on slaves’ duty. Such a Charing Cross of London, in East Indies, East Java, Malang, the Dutch made an official settlement in 1767 and cloned their architectural prowess as well as lifestyle here.

Pribumi lived in a ghetto, in suburban areas, a place truly remote and excluded from the Dutch government’s urban planning and surely, the entertainment. The Dutch government’s rule and opprobrious social class made it clear that their norms were made immutable like the law made by Medes and Persians. Dutch East Indies’s afdeling, or an administrator, or assistant resident was made official to rule the area in 1824. Since then, the Dutch population growth added with the glaring industrial opportunity radically changed Malang. In 1879, the train station was operated for the first time to distribute crops. Later, Malang became Kotapraja in 1914.

Bella Vista was built three years earlier than Splendid Inn and seven years earlier than the town hall. It was built in 1920. What was it? Was it a house back then, or an office? I have never heard of such things called exemplary in urban planning. Bella Vista, as a part of Bouwplan I (the first stage of Dutch colonial’s urban planning), was built for an example for all the buildings in the area. Perhaps the physical example was shown for the construction slaves, how impossible it was to bring the slaves to Europe to get the look of buildings’ shape, to show them that, “this is our taste and this is what you should bring to the table.” 

The prominent Splendid Inn, built in 1923 with the look of a Dutch home, was a hotel. It was owned by CC Mulie. However, 19 years later, on March 7, 1942 Japanese officially occupied the area, took over every layer of governance and life, and changed the working class structure with Japanese terms.

The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (1)
Splendid Inn, the secret tunnel area/Putriyana Asmarani

Change wasn’t everything, executions of the remaining Dutch and the rebels occured massively in the area, the current Tugu Senior High School was once Dutch’s HBS (Hoogere Burger School) shifted from education place for the privileged to a slaughter house of mankind. Splendid Inn too, CC Mulie was no longer the owner of the place, whatever belonged to the Dutch, during this time, was taken over by the Japanese; the buildings and the people. 

Power contests are getting entangled in this part, Japanese whose arms, souls, and faith were sworn to help Indonesia’s revolution to the point that the country found its independence, was all a lie. For as far as this narrative is concerned, the Japanese got weaker after World War II, a door for the Dutch to return to Indonesia and seize everything that once became their source of glory. Dutch’s Operation Product 1 in 1947, against the young nation, occupied Surabaya and their next target was Malang. That time on July 22, 1947, grim reapers marched to the town, harvesting the souls.

Ashes for Unfallen Colony

Lawang was the first area subdued by Dutch Operation Product, in a critical situation, a strategy needed to be made; if it wasn’t by arms, it should be by pride. Urban Guerillas, Student’s Armies (Tentara Republik Indonesia Pelajar, TRIP) burned 1000 or more Dutch’s buildings. What were once Dutch’s administration offices, inn, and houses turned into flaring flames. They cut down electricity and water source to stop the building from functioning and from the Dutch army to shelter.

Scorched-earth is a tactic and a military strategy to put the enemy in the grievest deprivation. When talks didn’t yield repentance of imperialism, fire was the only agent to preach the truth in face of falsehood. This was all for it, a tactic used to tarnish the most imperial, the unfallen Dutch East Indies.

The buildings were then critically destroyed and burned, but surely, they weren’t projected for annihilation. The minute I stood after passing the road that separates Deandelsboulevard and Coenplein Jan Pieterszoon, to the point where Bella Vista and Splendid Inn laid bare and wounded, I felt lost in the infinite series of heritage left in abandonment. I could grasp no further with the narrative denoting that it was an inn and that is all. I felt a ruffling surge of emotions, realizing that in this situation; history couldn’t penetrate the thick haze of the present. 

Splendid Inn: The Most Wicked Dwelling in All Meridians

My mother, discerning that I develop bizarre interests in things archaic, warned me that I have to behave in the sites. It is not, above all, the history that becomes the sole concern. Beware of the ghosts, do not wear something red or green. Do not visit the place when you are on your period. Do not say something bad, not because that is inappropriate, but because it may insult or attract the demon.

There, the moment I entered both Bella Vista and Splendid Inn, I felt this artificial chills: what’s waiting for me behind those anachronistic doors, who’s waving on that tight-closed window, and… yes, who’s following me? 

Strangely, let me be honest with you, isn’t rooted from how the place is scaring me but from the external prejudices about the place. These sort of feelings then validated after hearing the tour guide say, “There are few areas that are considered to be densely haunted, you may go there but if something happened, we aren’t held responsible.” Somehow, it’s the philosophy of all tour guides in the world that safety and knowledge are instruments they hold supreme.

  • The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (1)
  • The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (1)

The visitors have to pay for 10.000 rupiah to explore Splendid Inn; few areas are locked, few areas are open but inaccessible, and lastly few areas are open but for the love of God you’d better not dare. It is, to be honest, killing me after looking at the ticket area; do not imagine a reception place, it was just a chair, a table, and a man sitting there. 

Behind him, there’s plenty of instant coffee hung by the rope, behind the instant coffee there’s a bed with the sight of bed bugs civilization. The man, he doesn’t at all look like he is a staff. He looked homeless with all that coffee and bedding situation. Seriously, why was the bed in there?

(to be continued)


Get to know your Indonesia better through our Instagram and Facebook Fanpage.
Interested in sharing your story? Come on, submit your writing.

The post The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-1/feed/ 0 42290
Resto Sambat Luwe, Nikmatnya Bersantap di Tepi Sawah https://telusuri.id/resto-sambat-luwe-nikmatnya-bersantap-di-tepi-sawah/ https://telusuri.id/resto-sambat-luwe-nikmatnya-bersantap-di-tepi-sawah/#respond Thu, 27 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42243 Mengusung slogan Culinary, Heritage & Agriculture, restoran Sambat Luwe hadir menawarkan alternatif wisata kuliner yang komplet dan menarik di kota Malang. Cocok untuk bersantai bersama keluarga maupun teman-teman di akhir pekan. Resto yang berlokasi di...

The post Resto Sambat Luwe, Nikmatnya Bersantap di Tepi Sawah appeared first on TelusuRI.

]]>
Mengusung slogan Culinary, Heritage & Agriculture, restoran Sambat Luwe hadir menawarkan alternatif wisata kuliner yang komplet dan menarik di kota Malang. Cocok untuk bersantai bersama keluarga maupun teman-teman di akhir pekan.

Resto yang berlokasi di kawasan Jalan Mayjen Sungkono, Kedungkandang, Kota Malang ini baru buka bulan April 2022 lalu. Namun, animo pengunjung tidak surut hingga sekarang. Apalagi saat akhir pekan, Sambat Luwe penuh dengan rombongan keluarga yang datang. 

Pengelola restoran ini adalah Prasetya Indra Wiratama, seorang pengusaha yang sudah lama berkecimpung di dunia kuliner. Sebelumnya, dia sukses membuka pujasera modern untuk keluarga di wilayah pusat kota Malang. 

“Sambat Luwe” dalam bahasa Jawa berarti mengeluh lapar. Ketika kesal mencari anaknya yang tidak kunjung pulang, para orang tua zaman dahulu sering mengucapkan kalimat “engko lak moleh-moleh dewe lek sambat luwe (nanti juga pulang-pulang sendiri, jika mengeluh lapar”.. Nah, resto yang dibangun di atas lahan seluas satu hektare ini merupakan persinggahan tepat ketika sambat luwe.

  • Resto Sambat Luwe, Nikmatnya Bersantap di Tepi Sawah
  • Resto Sambat Luwe, Nikmatnya Bersantap di Tepi Sawah

Resto Bernuansa Retro

Berada di restoran ini, pengunjung seakan diajak pulang kampung. Desain bangunannya ala rumah Jawa kuno milik seorang demang. Halamannya luas, di depannya terdapat kolam ikan. Sebuah bajaj terparkir di depan pintu menambah nuansa retro kian terasa. Bajaj berwarna biru itu ternyata bukan hanya pajangan untuk swafoto, melainkan bisa dikendarai juga. Pengunjung bisa merasakan asyiknya berkeliling di area resto naik bajaj.

Memasuki resto, ornamen kayu begitu mendominasi. Beragam perabotan antik yang berada di area kasir menarik perhatian, membawa angan ke masa lalu. Di kasir, pengunjung bisa memilih dan memesan menu terlebih dahulu, sebelum memutuskan ingin duduk di sebelah mana.

Jangan khawatir tidak kebagian tempat, karena di sini merupakan resto dengan konsep terbuka. Terdapat beberapa saung dan pendopo yang bisa dituju. Pengunjung bebas memilih tempat untuk menikmati santap lezat sambil menyaksikan bentangan sawah dan kebun tebu. 

Pemandangan asri nan hijau disertai angin sepoi-sepoi menambah nikmatnya makan bersama. Sambat Luwe Malang memang sangat cocok untuk dijadikan sebagai tempat bercengkerama dengan keluarga, sahabat, maupun pasangan.

Resto ini juga kerap menjadi lokasi pilihan untuk menggelar acara atau kegiatan besar. Seperti pernikahan, arisan, pertemuan kantor, dan lain sebagainya. Selain tempatnya luas dan mendukung, makanan yang disajikan pun sesuai dengan suasana dan kebutuhan beragam acara. Menggelar acara outdoor dengan pemandangan alam yang menyejukkan tentunya akan menghadirkan pengalaman yang berkesan dan akan terus terkenang. 

Wisata Kuliner sekaligus Edukasi Keluarga

Tidak sekadar menawarkan tongkrongan dan kuliner yang menyenangkan, Sambat Luwe juga cocok sebagai sarana edukasi. Di sini pengunjung bisa membawa anak-anak untuk belajar dan mengenal aktivitas agraris, seperti menanam padi di sawah, berkebun sayur di green house, dan memberi makan ikan di kolam.

Masih di area restoran, pengunjung dapat melihat peternakan domba dan marmot. Anak-anak bisa memberi makan dua satwa yang lucu itu di kandang. Tentunya ini akan menjadi kegiatan edukatif yang seru dan menyenangkan bagi mereka. 

Selain itu tersedia juga tempat bermain anak-anak, seperti ayunan yang membuat betah. Bagi penggemar fotografi, Sambat Luwe menyediakan lanskap dan sudut yang menarik untuk dipotret. Apalagi saat senja luruh, pemandangan semakin memukau dengan semburat warna yang dipancarkan sang surya sebelum kembali ke peraduan. 

  • Resto Sambat Luwe, Nikmatnya Bersantap di Tepi Sawah
  • Resto Sambat Luwe, Nikmatnya Bersantap di Tepi Sawah

Aneka Hidangan Penggugah Selera

Sesuai dengan konsep bangunannya, menu di Sambat Luwe didominasi hidangan tradisional Jawa. Harganya cukup variatif dan terjangkau, mulai dari harga Rp11.000 hingga Rp106.000. Menu andalannya antara lain djangan pedes tahu tempe cecek Rp23.000, lodeh tewel Rp20.000, nasi ayam goreng kremes Rp42.000, gurami bakar Rp82.000, dan gurame goreng Rp79.000. Sedangkan minuman tradisionalnya ada teh serai hangat Rp13.000 dan wedang jahe Rp11.000. 

Selain menu tradisional, tersedia juga masakan oriental, seperti fuyunghai, capcai, nasi goreng mandarin, bakmi, dan sebagainya. Tidak hanya makanan berat, Sambat Luwe menyajikan aneka jajanan macam limpang-limpung (varian pisang goreng), tempe menjes, tempe kacang, bakwan, dadar jagung, dan kentang goreng; yang cocok dijadikan sebagai camilan penutup.

Tentunya masih banyak lagi menu makanan dan minuman yang bisa kalian nikmati di Sambat Luwe. Terbaru, ada varian paket bebakaran dengan menu tradisional. Cukup membayar Rp45.000, kamu bisa menikmati keseruan nge-grill di tepi sawah. Isian grill-nya cukup variatif, yaitu ayam, bakso, cecek, jamur, dan lalapan. DItambah pelengkap berupa sambal matah, sambal kecap, sambal bawang, kremesan, dan serundeng lengkuas yang menambah nikmat. 

Agar tidak lama penasaran, coba langsung saja berkunjung ke restorannya. Sambat Luwe buka setiap hari. Pada Senin–Jumat buka mulai dari pukul 10.00 sampai dengan pukul 20.00 WIB, sedangkan Sabtu dan Minggu buka lebih awal, yaitu pukul 09.00.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Resto Sambat Luwe, Nikmatnya Bersantap di Tepi Sawah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/resto-sambat-luwe-nikmatnya-bersantap-di-tepi-sawah/feed/ 0 42243
Menengok Koleksi Militer Museum Brawijaya Malang https://telusuri.id/menengok-koleksi-militer-museum-brawijaya-malang/ https://telusuri.id/menengok-koleksi-militer-museum-brawijaya-malang/#respond Mon, 03 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42077 Bus pariwisata yang saya tumpangi memasuki halaman Museum Brawijaya. Setelah turun, saya dan teman-teman tidak langsung masuk ke museum. Terlebih dahulu kami mengisi perut sesudah menempuh perjalanan cukup panjang dari sebuah desa di Lamongan. Saya...

The post Menengok Koleksi Militer Museum Brawijaya Malang appeared first on TelusuRI.

]]>
Bus pariwisata yang saya tumpangi memasuki halaman Museum Brawijaya. Setelah turun, saya dan teman-teman tidak langsung masuk ke museum. Terlebih dahulu kami mengisi perut sesudah menempuh perjalanan cukup panjang dari sebuah desa di Lamongan. Saya memakan nasi bungkus di halaman belakang museum.

Itulah secuil kenangan tahun 1996 lalu yang masih mengendap dalam pikiran saya. Saat itu sekolah dasar (SD) saya mengadakan rekreasi ke Kota Malang. Berkunjung ke Museum Brawijaya menjadi pengalaman pertama saya ke tempat tersebut. Sebagai anak desa, tentu saja saya sempat ternganga melihat sebuah tank yang berdiri gagah di halaman depan museum.

Kendati kurang lebih 20 tahun tinggal di Kota Malang, nyatanya kedatangan saya hampir tiga dekade lalu menjadi satu-satunya kunjungan saya ke Museum Brawijaya hingga tahun 2022, kali terakhir saya ke sini. Padahal jarak dari tempat tinggal saya sekarang ke museum tidak terlalu jauh. Namun, selama itu saya masih belum punya ketertarikan untuk berkunjung kembali meski beberapa kali melewatinya.

Menengok Koleksi Militer Museum Brawijaya Malang
Tank amfibi milik Belanda di halaman Museum Brawijaya/Dewi Sartika

Berdiri di Bekas Lahan Taman Beatrix

Menjelang akhir April lalu, sembari menunggu jam pulang sekolah si sulung, saya memutuskan mengunjungi Museum Brawijaya kembali. Jarak sekolah anak saya ke museum cukup dekat. Sama seperti kunjungan saya sebelumnya, tak banyak yang berubah dari museum ini.

Letak Museum Brawijaya terbilang strategis, berada di kawasan Jalan Ijen. Kawasan yang tergolong elit, baik pada masa kolonial Belanda maupun masa sekarang. Di sepanjang Jalan Ijen bisa ditemui rumah-rumah berukuran besar dengan halaman luas.

Salah satu ciri permukiman yang dibangun Belanda pada masa itu adalah tersedianya fasilitas pendukung, seperti taman. Begitu pula permukiman yang ada di Jalan Ijen ini. Dulunya terdapat beberapa taman, salah satunya Taman Beatrix (Beatrix Park) yang kini menjadi lokasi berdirinya Museum Brawijaya.

Menurut pegiat sejarah dari Komunitas History Fun Walk Malang, Hannu Ayodya Mamola, jauh sebelum menjadi taman, lokasi ini direncanakan sebagai kolam renang baru (nieuwe zwembad) oleh wali kota Malang saat itu, Ir. Lakemar. Hal ini dilakukan mengingat kolam renang lama di kompleks olahraga yang berada di Jalan Tenes (Tenesweg) tak mampu lagi menampung para pengunjung. Namun, pembangunan ini urung dilakukan karena tidak efisiennya lokasi nieuwe zwembad yang baru. 

Selanjutnya, lahan tersebut digunakan sebagai taman. Sebelum menjadi Beatrix Park, taman ini bernama Smeroe Park. Penamaan Beatrix Park sendiri terjadi pada warsa 1938 atas inisiatif Wali Kota Malang era tersebut, J. H. Boerstra. Pemberian nama itu disengaja karena pada tahun yang sama, lahirlah calon pewaris tahta Kerajaan Belanda, Putri Beatrix.

Tidak hanya menamai taman saja, J. H. Boerstra juga mendirikan sebuah monumen kecil di bagian depan taman. Sayangnya, keberadaan monumen tersebut tak berumur panjang. Masih berdasarkan keterangan dari Hannu Ayodya Mamola—atau akrab disapa Mas Han, ia memperkirakan monumen Beatrix Park dihancurkan sesudah kemerdekaan Indonesia.

Menengok Koleksi Militer Museum Brawijaya Malang
Patung Jenderal Sudirman di teras depan Museum Brawijaya/Dewi Sartika

Benda-benda Militer dari Berbagai Pertempuran

Museum Brawijaya merupakan salah satu dari beberapa museum yang ada di Kota Malang. Namun, yang membuat museum tersebut lebih istimewa dibanding museum-museum lain adalah masa pembangunannya, yaitu mulai didirikan pada 1967. Bisa dibilang, inilah museum tertua di kota ini.

Menurut Hasan Bukhori, pemandu museum yang pernah saya temui pada 2022 lalu, ide pembangunan Museum Brawijaya sendiri dicetuskan Brigjen TNI (pur) Soerahman. Pada tahun 1962, saat masih menjabat Pangdam Brawijaya VII, beliau berkeinginan mempunyai museum. Baru lima tahun kemudian keinginan tersebut terealisasi berkat bantuan Salim Marta, seorang pengusaha dari Pandaan (kecamatan di Kabupaten Pasuruan) yang bersedia menjadi donatur untuk menanggung biaya pembangunan hingga peresmian.

Pembangunan Museum Brawijaya memakan waktu dua tahun (1967–1968) dan berdiri di atas lahan seluas 10.500 meter persegi, yang merupakan hibah dari Pemerintah Daerah Tingkat (Dati) II Malang. Sementara bangunan museumnya memiliki luas 3.200 meter persegi. Peresmiannya berlangsung pada 4 Mei 1968. 

Hasan, lelaki yang telah menjadi pemandu museum sejak 1991, juga menambahkan bahwa museum ini mempunyai semboyan Citra Uthapana Cakra (sinar yang membangkitkan semangat perjuangan). Di beranda depan, pengunjung dapat menyaksikan tank amfibi. Kendaraan perang inilah yang menjadi saksi bisu pertempuran sengit di Jalan Salak pada 31 Juli 1947 silam, antara para pejuang TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) dan tentara Belanda yang hendak menguasai Indonesia kembali lewat Agresi Militer. Menurut cerita, tentara Belanda menggunakan tank ini untuk melindas pejuang TRIP hingga gugur.

Menengok Koleksi Militer Museum Brawijaya Malang
Mobil sedan De Soto yang pernah dipakai Panglima Divisi 1 Jawa Timur, Letkol Soengkono pada masanya/Dewi Sartika

Untuk melihat-lihat koleksi militer lainnya yang ada di dalam museum, pengunjung cukup membayar Rp10.000 per orang. Tiket masuk ini bisa dibayar di ruang lobi setelah menaiki anak tangga yang di tengah-tengahnya terdapat patung Jenderal Sudirman.

Secara keseluruhan, museum ini terdiri dari empat bagian. Di ruang lobi, terdapat sebuah mobil jenis sedan merk De Soto buatan Amerika tahun 1941. Menurut cerita Hasan, sedan ini pernah digunakan Letkol Soengkono (Panglima Divisi 1 Jawa Timur) selama menjabat. Selain mobil, beberapa pigura berisi foto-foto Pangdam Brawijaya dari yang pertama hingga sekarang tertempel di salah satu dinding bagian atas. Begitu pula foto-foto wali kota Malang sejak era kolonial hingga saat ini menghiasi dinding lobi.

Ruangan selanjutnya berada di sebelah kiri dan kanan lobi. Di kedua ruangan tersebut terdapat berbagai macam koleksi yang berasal dari rentang masa 1945–1949 dan tahun 1959 sampai dengan sekarang. Benda-benda tersebut umumnya berhubungan dengan militer atau pertempuran.

Berbagai macam senjata yang diperoleh dari hasil rampasan perang turut terpajang. Semisal senjata jenis SMR Vickers yang dirampas dari tentara Inggris sewaktu pertempuran 10 November 1945. Lalu terdapat alat komunikasi yang digunakan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Tak ketinggalan juga mortar buatan para pejuang yang terbuat dari tiang telepon dan listrik untuk melawan penjajah.

  • Menengok Koleksi Militer Museum Brawijaya Malang
  • Menengok Koleksi Militer Museum Brawijaya Malang
  • Menengok Koleksi Militer Museum Brawijaya Malang

Selain itu, ada satu set meja kursi gubernur yang pernah digunakan untuk perundingan gencatan senjata di Surabaya, antara Indonesia dan pihak sekutu. Kondisinya sendiri terbilang sangat baik. Sementara pada sudut-sudut dinding ruangan terpasang potret para pemimpin militer Indonesia. Salah satunya Supriyadi.

Koleksi lain yang menarik perhatian saya adalah sebuah display yang menyajikan perlengkapan militer TRIP Jatim. Saya menduga bahwa koleksi ini masih baru karena seingat saya dalam dua kunjungan terakhir, display ini belum ada. Di sisi lain kondisi lemari display juga terlihat baru.

Tak hanya koleksi dari masa perjuangan, Museum Brawijaya juga menyajikan koleksi dari operasi militer Seroja Timor-Timur dan Trikora Irian Barat. Rampasan perang dari Operasi Seroja, yaitu sebuah meriam LX Arenal Real Doexercito hingga sebuah bejana besi yang digunakan untuk pembaptisan.

Museum Brawijaya turut menampilkan foto-foto dan cerita operasi militer Trisula untuk menumpas PKI di Blitar. Pun pertempuran-pertempuran melawan gerombolan Kahar Muzakar dan Andi Selle di Sulawesi Selatan.

Namun, koleksi Museum Brawijaya rupanya tidak melulu berkaitan dengan militer. Tempat ini juga memiliki koleksi baru berupa keris. Keris tersebut didapat pada 2021 lalu dari hibah keluarga almarhum Imam Oetomo, gubernur Jatim dua periode (1998–2003 dan 2003–2008) sekaligus Pangdam V/Brawijaya periode 1995–1997. Berdasarkan keterangan Hasan, saya akhirnya mengetahui bahwa benda-benda yang dipamerkan, selain hibah, juga diperoleh dari Dinas Peralatan Kodam (Paldam) Kota Malang yang bertugas mengumpulkan benda-benda terkait.

Menengok Koleksi Militer Museum Brawijaya Malang
Koleksi keris hibah keluarga Imam Oetomo/Dewi Sartika

Gerbong Maut, Ikon Museum Brawijaya

Bagian terakhir dari Museum Brawijaya berada di belakang, berupa ruangan terbuka seperti di bagian depan. Ruangan terbuka ini lebih menyerupai sebuah taman. Pada bagian ini juga terdapat semacam kafe yang didesain dengan tampilan jadul. 

Pada bagian belakang inilah terdapat ikon dari Museum Brawijaya, Gerbong Maut. Berbicara mengenai Gerbong Maut, sebenarnya ada tiga gerbong yang digunakan Belanda pada 23 November 1947 untuk mengangkut para tawanan dari Bondowoso ke Bubutan, Surabaya. Salah satunya ditempatkan di Museum Brawijaya. Kisah mengenai Gerbong Maut tersebut bisa dibilang cukup terkenal.

Gerbong Maut sendiri sebenarnya adalah gerbong untuk mengangkut barang. Dibandingkan dua gerbong lain, gerbong ini yang paling baru. Kala itu tiga gerbong tersebut digunakan Belanda untuk mengangkut 100 tawanan. Masing-masing berisi 30, 32, dan 38 orang. Di antara ketiga gerbong tersebut, gerbong ketiga inilah (isi 38 tawanan) yang paling terkenal dan disebut sebagai Gerbong Maut. Parahnya, meski disesaki banyak orang, gerbong ini tidak memiliki lubang atau ventilasi udara sama sekali.

Menengok Koleksi Militer Museum Brawijaya Malang
Gerbong Maut yang diletakkan di bagian belakang museum/Dewi Sartika

Panas yang menyelimuti para tawanan membuat suasana di dalam gerbong lebih mirip neraka. Tenggorokan yang makin mengering membuat mereka memohon agar tentara Belanda sudi memberi minuman. Namun, permintaan para tawanan tidak dihiraukan walau gerbong sempat berhenti di Jember. Dengan terpaksa, mereka pun meminum air kencing satu sama lain untuk bertahan hidup hingga tiba di Surabaya.

Perjalanan yang memakan waktu 16 jam itu berakhir tragis. Sesampainya di Surabaya, 46 orang meninggal. Beberapa di antaranya juga ada yang sedang dalam kondisi sakit. Hanya 12 orang saja yang masih sehat. Itu saja mereka diperintahkan untuk menggali kuburan para tawanan yang telah meninggal. Selanjutnya, mereka dikirim ke penjara Kalisosok.

Dari ketiga gerbong maut itu, hanya gerbong ketigalah yang diketahui nasibnya. Sementara gerbong pertama dan kedua tidak diketahui rimbanya pascakejadian tragis tersebut. Awalnya, gerbong ketiga berada di bekas Stasiun Bondowoso yang kini juga dibangun museum. Namun, karena diminta pihak Museum Brawijaya, sehingga pada akhirnya di Bondowoso dibangun replikanya.

Tidak hanya Gerbong Maut saja yang menghuni bagian belakang museum, tetapi juga Perahu Segigir. Dulu, perahu ini pernah digunakan sebagai alat transportasi Letkol Chandra Hasan dari Madura menuju Probolinggo pada November 1947, saat terjadi pertempuran melawan Belanda. Kondisi perahu tersebut juga terbilang masih cukup baik.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menengok Koleksi Militer Museum Brawijaya Malang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menengok-koleksi-militer-museum-brawijaya-malang/feed/ 0 42077
Syphon Metro: Sumbangsih Irigasi Kolonial atau Despotisme Oriental? https://telusuri.id/syphon-metro-sumbangsih-irigasi-kolonial-atau-despotisme-oriental/ https://telusuri.id/syphon-metro-sumbangsih-irigasi-kolonial-atau-despotisme-oriental/#respond Fri, 03 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41818 Menjadi satu-satunya primadona warisan irigasi kolonial yang paling gigantik di Malang, Syphon Metro dibumbui dengan bermacam narasi dan kampanye pariwisata. Segala yang melekat padanya disadurkan pada kisah mistis soal penunggu pipa raksasa. Ia menjadi objek...

The post Syphon Metro: Sumbangsih Irigasi Kolonial atau Despotisme Oriental? appeared first on TelusuRI.

]]>
Menjadi satu-satunya primadona warisan irigasi kolonial yang paling gigantik di Malang, Syphon Metro dibumbui dengan bermacam narasi dan kampanye pariwisata. Segala yang melekat padanya disadurkan pada kisah mistis soal penunggu pipa raksasa. Ia menjadi objek terasing yang eksistensinya diredupkan bayangan hal-hal gaib.

Narasi selain itu adalah kampanye komersial yang menggaungkan kebaikan penjajah atas terbangunnya sistem irigasi modern dengan pipa masif berukuran 1.800 mm, panjang 189,75 meter kali dua, dengan manuver air 8.000 m3/detik, mengairi sawah dan perkebunan seluas 3.029 hektare. Begitulah detail jasmani yang termaktub dalam konten resmi Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air, dengan kalimat-kalimat ajakan yang tidak relevan ,seperti “menakjubkan”, “wah, excited banget”, dan “peninggalan Belanda yang luar biasa”. 

Syphon Metro: Sumbangsih Irigasi Kolonial atau Despotisme Oriental?
Sisi tangga tengah di antara saluran Syphon Metro/Putriyana Asmarani

Hendrik Christiaan Paulus de Vos dalam kajiannya “Bevloeiing, welvaart en cultuur”, De Waterstaats Ingenieur (1926) membumikan betapa heroik pemerintah Belanda dalam misi pembangunan sistem irigasi modern Hindia Belanda. Pernah menjabat sebagai rektor dalam dua periode di Technische Hoogeschool te Bandoeng (Sekarang Institut Teknologi Bandung), Hendrik Christiaan Paulus de Vos mengaitkan usaha ini dengan optimisme penakluk Mesopotamia, Raja Babel, Hammurabi yang mengatakan:

I have turned desert expanses into well-irrigated fields. I have made them fertile and plentiful and converted them into regions of happiness.” (hal. 190).

[Terjemahan bebas penulis] “Telah kuubah lenggang padang gurun menjadi wilayah yang teririgasi dengan baik. Akulah yang telah membuat tanah gersang itu menjadi subur dan gemah ripah, aku juga yang mengubah semua itu menjadi wilayah kebahagiaan.”

Tidak hanya di Indonesia, di seluruh belahan dunia, dalam sejarahnya kemajuan sistem irigasi berarti kemajuan peradaban itu sendiri. Bahkan beberapa penakluk namanya justru diabadikan sebagai bentuk pengabdian mereka pada pekerjaan irigasi. Padahal praktik-praktik pengairan pampat akan despotisme oriental, imperialisme produktif, rezim produktif kolonial, green imperialism, dan birokrasi patrimonial. 

Istilah despotisme oriental atau oriental despotism dalam konteks sistem irigasi kolonial diusung oleh Karl A. Wittfogel dalam gagasan besarnya yang bernama hydraulic hypothesis. Istilah ini kemudian ramai di kalangan kritikus sekitar tahun 1957, setelah bukunya Oriental Despotism diterbitkan. Karl A. Wittfogel memaparkan kenyataan pahit dalam praktik kolonial yang menggadang kemajuan daerah terjajah dengan cara membangun sistem irigasi dan pemerintahan. Beberapa dari gagasan besarnya adalah: (1) sistem irigasi, bagaimanapun bentuknya, tidak bakal bisa terlaksana tanpa adanya praktik pemerintahan terpusat, bahkan kediktatoran; (2) dari poin pertama maka bisa termanifestasikan monopoli kekuasaan dan sistem pemerintahan kolonial yang absolut; (3) meledaknya kerja paksa di daerah koloni. 

Pertanyaan-pertanyaan yang Tidak Terjawab

Dalam kunjungan ke Syphon Metro, saya melihat dengan jelas monumen persegi empat berukuran sedang yang dibubuhi informasi terbatas. Misalnya, informasi itu hanya berkutat seputar ukuran pipa raksasa dan tahun pemugaran. Jujur saja, tanpa harus mengunjungi lokasi tersebut, informasi ini sudah bertebaran di mana-mana. 

Sebagai objek historis, informasi ini tidak mengantarkan pembaca atau pengunjungnya pada perenungan sama sekali. Pada siapa saya menemukan jawaban; berapakah budak yang telah mati karena pipa ini dibangun? Berapakah korban jiwa yang termakan? Siapa saja dan dari kalangan mana sajakah yang menjadi korban, memelopori, atau menjadi mandor pembangunan ini? Berapa gulden yang dihasilkan setelah pipa ini dibangun dan berapa kenaikan keuntungan perkebunan serta pertanian yang dimonopoli pemerintah Belanda setelah pipa ini dibangun?

Tidak ada detail informasi-informasi semacam itu. Paling jauh pembahasan detail arsitektur pipa dan peta konsep pembangunan Syphon Metro dalam riset Joko Saryono dkk (2019).

Maka tidak heran bila karya-karya para imperialis, dengan bangga menyatakan bahwa pribumi harus berterima kasih pada pemerintah kolonial yang sudah memberikan fasilitas dan memelopori komponen-komponen peradaban maju. Syphon Metro sendiri dikabarkan telah memberikan peluang kesuksesan perkebunan dan pertanian daerah, serta menangani musibah banjir. Narasi ini seakan-akan memberi kesan, bahwa usaha ini secara tulus dilimpahkan untuk kepentingan pribumi semata. Di pihak lain, pemerintah kolonial-lah yang membuka lahan dan meraup keuntungan dari sana, sedangkan pribumi menjadi budak perkebunan. 

David Gilmartin melawan arus tersebut melalui bukunya Blood and Water: Nature, Productivity and Colonialism in the Indus Basin yang terbit pada 2003. Tidak hanya menyoal Indus, David Gilmartin juga mengkritisi kondisi Hindia Belanda, menyebut kondisi ini sebagai colonial productive regime dalam praktik imperialisme proto-modern. Maurits W. Ertsen juga melakukan penyangkalan yang sama atas narasi politik pemerintah kolonial dalam risetnya tahun 2006, Colonial Irrigation: Myths of Emptiness.

Mitos kekosongan atau myths of emptiness merujuk pada produksi gagasan fantasi yang mengubah keadaan seakan-akan suatu kebijakan dibuat untuk kepentingan pribumi. Misalnya, pemerintah kolonial menggarap mitos kekosongan lahan, seolah-olah lahan tersebut tidak subur dan tidak berfaedah sehingga pribumi membutuhkan bantuan pemerintah kolonial untuk mengatur lahan-lahan itu. Rohan D’Souza (2015) juga menyuarakan hal yang sama dalam risetnya.

  • Syphon Metro: Sumbangsih Irigasi Kolonial atau Despotisme Oriental?
  • Syphon Metro: Sumbangsih Irigasi Kolonial atau Despotisme Oriental?

Sisi Lain yang Harus Direnungkan

Dari seabrek gagasan perlawanan tersebut, tidak heran bahwa narasi yang telanjur tersebar adalah narasi nuwun si nuwun, tentang bagaimana pemerintah kolonial telah menyelamatkan pribumi dari terjangan banjir dan mengembangkan agrikultur pribumi. Padahal ekses banjir berdampak pada perkebunan dan lahan-lahan pemerintah kolonial sehingga terjadi kerugian besar. Ini termasuk dalam kajian green imperialism, kampanye hijau imperialisme dan tanpa disadari hal semacam inilah yang disebut dengan rezim produktif kolonial.

Mengunjungi tempat ini melalui sisi barat daya, makam Cina terbentang. Sunyi senyapnya melatari suasana Syphon Metro. Gelondongan kayu jati bertumpuk dan dua truk tengah terparkir untuk mengambil kayu-kayu tersebut. Beberapa penebang kayu berseliweran tanpa suara. Mereka terlihat lelah, tetapi keadaan itu tidak mengurangi sopan santun mereka sama sekali. Tak hentinya mereka bilang “permisi” untuk menciptakan kenyamanan bagi pengunjung. Ada satu petugas yang menyaring sampah di bibir pipa raksasa dengan cangkul garpu. Semua bekerja menggunakan tenaga dan ketangkasan.

Dikelilingi pohon-pohon serta kericau pipit dan wiwik, kesunyian di tempat ini membawa kedamaian yang tak terkira. Namun, saya merasakan getaran aneh saat menuruni tangga, bahkan barang dua puluh anak tangga saja. Hal yang pertama muncul di kepala saya bukan arwah penunggu, bukan potret para penjajah yang diagung-agungkan, bukan pula reaksi tegang diapit dua pipa sublim; melainkan isi kepala saya dijejali fakta terselubung tentang korban pembangunan dan pihak-pihak yang diuntungkan. 

Tempat ini layak dikunjungi, untuk bahan perenungan tentunya. Tempat ini adalah bukti sekaligus saksi bungkam despotisme oriental dan kerja paksa yang menjelma dalam gagasan manipulatif imperialisme. Seperti rumah Jengki yang muncul sebagai perlawanan arsitektural rumah Belanda, tentu memungkinkan tanpa bantuan pemerintah Belanda, pribumi juga bisa membangun sistem irigasi yang lebih mutakhir dan tulen.

Sebagaimana Wim Ravesteijn berpendapat dalam risetnya (2005), bahwa dengan sudut pandang Karl A. Wittfogel tentang hydraulic hypothesis dan despotisme oriental, Belanda mengatasi kerugian perkebunan dan pertanian serta memonopoli 1,3 hingga 3,3 juta hektare tanah di Jawa. Memancang tanah pertiwi dengan bangunan irigasi, dan menutup kemungkinan berkembangnya sistem irigasi pribumi sebagai sebuah bangsa yang bisa mencipta.


Daftar Pustaka

Carey, M. (2014). Book Review: Locales of Happiness: Colonial Irrigation in the Netherlands East Indies and its Remains, 1830–1980. History of Geo and Space Sciences (Print), 5(1), 73–74. https://doi.org/10.5194/hgss-5-73-2014.
D’Souza, R. (2015). Mischievous Rivers and Evil Shoals: The English East India Company and the Colonial Resource regime. In Palgrave Macmillan UK eBooks (pp. 128–146). https://doi.org/10.1057/9781137427274_7.
de Vos, H. C. P. (1926). Bevloeiing, welvaart en cultuur. De Waterstaats Ingenieur
Ertsen, M. W. (2006). Colonial Irrigation: Myths of Emptiness. Landscape Research, 31(2), 147–167. https://doi.org/10.1080/01426390600638588.
Harms, A. (2016). Blood and Water: The Indus River Basin in Modern History, by David Gilmartin. South Asia: Journal of South Asian Studies, 39(2), 510–511. https://doi.org/10.1080/00856401.2016.1173629.
Murdock, G. P. (1957). General and Theoretical: Oriental Despotism: A Comparative Study of Total Power. Karl A. Wittfogel. American Anthropologist, 59(3), 545–547. https://doi.org/10.1525/aa.1957.59.3.02a00190.
Ravesteijn, W. (2005). Water Control and The Colonial State: The Case of Dutch Irrigation Engineering in The Indonesian Island of Java, 1832—1942. JSTOR, Vol. 11 (2005), pp. 197-211 (15 pages). https://www.jstor.org/stable/23787028.
Sayono, J., Ayundasari, L., Sulistyo, W. D., & Ridhoi, R. (2019). Utilization of Syphon Metro Kepanjen as outdoor learning site for history students. Proceedings of the 1st International Conference on Social Knowledge Sciences and Education (ICSKSE 2018). Atlantis Press. Vol. 320. https://doi.org/10.2991/icskse-18.2019.14.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Syphon Metro: Sumbangsih Irigasi Kolonial atau Despotisme Oriental? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/syphon-metro-sumbangsih-irigasi-kolonial-atau-despotisme-oriental/feed/ 0 41818
Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2) https://telusuri.id/memasuki-mesin-waktu-di-hotel-niagara-lawang-2/ https://telusuri.id/memasuki-mesin-waktu-di-hotel-niagara-lawang-2/#respond Thu, 14 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41366 Setelah sore hari mengeliling Hotel Niagara, malamnya para peserta berkumpul di ruang tengah. Acara makin seru ketika panitia membagikan doorprize bagi peserta yang bisa menjawab pertanyaan. Kegiatan penelusuran dan menginap di Hotel Niagara yang berlangsung...

The post Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah sore hari mengeliling Hotel Niagara, malamnya para peserta berkumpul di ruang tengah. Acara makin seru ketika panitia membagikan doorprize bagi peserta yang bisa menjawab pertanyaan. Kegiatan penelusuran dan menginap di Hotel Niagara yang berlangsung dua hari satu malam makin meninggalkan kesan tak terlupakan bagi para peserta. Keesokannya, setelah salat Subuh kami diajak menikmati matahari terbit di rooftop (atap) bangunan.

Tentu saja untuk ke sana kami harus menaiki anak tangga terlebih dahulu menuju lantai empat dan lima. Kedua lantai tersebut tidak difungsikan pihak pengelola. 

Hawa dingin langsung menyelimuti begitu kaki kami tiba di bagian paling atas Hotel Niagara. Sekitar satu setengah jam saya dan peserta lainnya menikmati pemandangan kota Lawang dari atap bangunan. Udara terasa menusuk tulang. Belum lagi angin lumayan kencang turut menemani kami selama berada di sini. Uniknya, di bagian atap tersebut terdapat empat patung dewa orang Tionghoa yang ditempatkan di beberapa sudut. Keberadaan patung ini berfungsi sebagai dewa pelindung.

Beberapa peserta tak melewatkan kesempatan menaiki sebuah anjungan pandang berbentuk melingkar. Bangunan itu menjadi bagian dari lift yang ada di Hotel Niagara. Tak ketinggalan, saya pun turut naik. Namun, hanya sebentar saja karena harus bergantian dengan peserta lain.

Matahari yang menyerupai kuning telur sedikit demi sedikit naik dari ufuk timur. Sungguh pemandangan mengesankan yang tak mungkin dilewatkan. Sama seperti peserta lain, saya juga tak lupa mengabadikannya melalui kamera ponsel.

  • Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2)
  • Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2)

Menjelajahi Dua Lantai Teratas Hotel Niagara

Selesai menikmati pemandangan dari atap, kami langsung turun ke lantai empat dan lima. Dengan diantar seorang pekerja hotel, kami menjelajahi ruangan demi ruangan yang berada di dua lantai tersebut.

Berbeda dengan ketiga lantai di bawah yang masih kentara dengan kemewahannya dan terawat dengan baik, kondisi beberapa ruangan di lantai lima amat memprihatinkan. Dinding ruangan yang lembap sehingga cat tembok bercampur dengan warna hijau dari lumut. Tak ketinggalan pula debu yang menyelimuti lantai.

Meskipun begitu, tidak terawatnya ruangan-ruangan lantai lima justru memberi kesan tersendiri bagi para penikmat bangunan lawas. Kesannya tetap elok ketika didokumentasikan, baik foto maupun video.

Sebagaimana di lantai bawah, sisa-sisa kemewahan di lantai lima juga masih tampak. Mulai dari kusen pintu dan kaca patri di beberapa bagian jendela hingga lantai teraso bermotif yang sudah kusam.

Saya juga menyempatkan diri untuk menengok kamar mandi di area lantai yang sama. Bagian dalamnya berantakan. Mata saya juga menangkap keramik-keramik putih di tembok terlepas karena semen perekatnya sudah termakan usia. 

Karena tak digunakan, tentu saja saya menangkap suasana agak angker pada lantai paling atas yang tak terurus ini. Untung saja, kami menyusuri ruangan tersebut di pagi hari. Tak terbayangkan bagaimana kondisinya begitu malam tiba. Hal ini pula yang sempat menjadi guyonan antarpeserta untuk uji nyali dengan berdiam diri di ruangan lantai lima.

Kami kemudian turun satu tingkat ke lantai empat. Dibandingkan sebelumnya, lantai empat masih terawat meski tidak difungsikan. Pada lantai ini terdapat ruang tambahan, yaitu ruang doa yang biasa digunakan pemilik hotel. Di lantai ini juga kami sempat berada di balkon. Berbeda sekali dengan teraso di bagian dalam yang masih mulus, teraso luar menjadi kasar akibat paparan sinar matahari.

  • Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2)
  • Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2)

Mengingat Hotel Niagara sendiri menerapkan ornamen bergaya Art Nouveau, tidak mengherankan pada beberapa bagian ruangan terdapat hiasan menyerupai fauna dan flora untuk memperindah bangunan. Salah satunya di lantai teraso luar yang terdapat lukisan ayam, harimau, dan buah-buahan.

Setelah melihat sisa-sisa kemewahan yang masih tersisa, kami kemudian diajak menuju sebuah ruangan yang cukup luas. Sepasang mata saya langsung tertuju kepada lantai teraso bermotif bunga dengan lubang di tengahnya.

“Dulunya, ruangan ini adalah bar. Lubang-lubang yang berada di lantai teraso itu untuk menancapkan tiang-tiang kursi atau stool bar dan meja counter bar. Jadi, di tempat inilah dulunya para tamu Tuan Liem bersenang-senang. Pemandangan dari luar jendela ini mengarah langsung ke Gunung Arjuno,” kata Arief kepada para peserta sembari mengarahkan telunjuknya.

Berada dekat bar, ada beberapa ruangan lain. Menurut perkiraan Arief, ruangan-ruangan tersebut adalah kamar tidur. Sembari bercanda, ia berseloroh bahwa setelah para tamu Tuan Liem minum-minum hingga mabuk, mereka bisa langsung menuju kamar-kamar tersebut.

  • Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2)
  • Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2)

Kunjungan Pakubuwana X ke Vila Liem Sian Joe

Usai menjelajahi sejumlah ruangan, saya bersama peserta tur lainnya turun ke lantai tiga. Kami lalu diajak melihat mesin lift Hotel Niagara yang sudah tak berfungsi. Berdasarkan penjelasan Arief, sejak 1990-an, lift tidak dioperasikan lagi karena membutuhkan daya listrik yang sangat besar untuk menjalankannya.

“Saya memperkirakan, saat berkunjung ke Amerika, Tuan Liem melihat gedung yang ada liftnya sehingga ia pun ingin agar vilanya juga dilengkapi dengan lift. Mesin lift ini dibuat perusahaan ASEA dari Swedia yang berdiri sekitar tahun 1880-an. Jadi, mesin ini didatangkan langsung dari Eropa,” jelasnya.

Telunjuk Arief lalu menunjuk pada sebuah mesin berwarna merah yang terpasang di salah satu sisi ruangan. Mesin itu menggerakkan lift yang berada tepat di samping benda tersebut. Sementara pintu lift sendiri terdiri dari dua daun pintu kayu dan dijalankan seorang operator. Lift ini hanya mampu menampung empat orang.

Saya melongok untuk membuktikan ucapan Arief bahwa pada mesin tersebut terdapat tulisan ASEA yang memang terbukti ada. Diyakini Hotel Niagara menjadi satu-satunya bangunan tinggi yang menggunakan lift di zaman itu.

“Sebuah koran zaman Belanda pernah memuat tulisan mengenai keinginan Tuan Liem untuk membeli lift yang sama persis, baik itu bentuknya, ukurannya, dan mereknya seperti yang pernah ia lihat di gedung di Amerika sewaktu melakukan perjalanan bisnis ke sana,” tambah pria kelahiran tahun 1973 ini.

Hal menarik lainnya yang saya dapati dari Hotel Niagara adalah kepercayaan orang-orang Tionghoa berdasarkan fengsui. Mereka tidak menempatkan kamar mandi di ruang tidur. Dalam artian, kamar mandi dalam baru ditambahkan di kemudian hari. Kamar mandi yang berada di luar ruang tidur juga masih asli. Uniknya, kamar mandi dan toilet dibuat terpisah di setiap lantai.

  • Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2)
  • Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2)

Selanjutnya, ketika menjelajahi lantai dua saya juga mendapati hal menarik lainnya terkait ruang kamar tidur yang saya tempati. Kepada para peserta, Arief mengemukakan asumsinya jika dulunya ruangan dengan dua kamar ini adalah tempat tidur Liem Sian Joe.

Tentu ada alasan mengapa ia berani berpendapat demikian. Sebelum masuk ke kamar tidur, ada semacam lorong dengan gerbang berbentuk melengkung. Menurut Arief, lengkungan ini diperkirakan terpengaruh gaya arsitektur Arab yang banyak diadopsi di Eropa. Lorong tersebut tak ditemui di ruangan lain alias satu-satunya. Keyakinan alumni Universitas Pancasila Jakarta itu juga makin bertambah, tatkala mendapati inisial Liem Sian Joe di lantai teraso lorong dengan gerbang berlanggam Timur Tengah tersebut.

Berbicara mengenai kamar-kamar di Hotel Niagara, nyaris semuanya sudah berkurang keasliannya. Hanya ada sebuah kamar di lantai tiga yang bagian dalamnya masih sama sejak hotel ini dibangun. Tak ada kamar mandi di dalam ruangan. Selain itu seluruh tembok kamar juga dihiasi keramik. 

Sebagai bangunan mewah di masanya, cerita menarik tentang vila Liem Sian Joe ini ternyata menarik perhatian Sri Susuhunan Pakubuwana X dari Surakarta. Bersama rombongannya, ia pernah mengunjungi bangunan tersebut pada 1924 sebagaimana diberitakan sebuah surat kabar dari Semarang. Pemimpin Keraton Surakarta itu juga tak ketinggalan untuk mencoba lift yang ada di vila.

Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2)
Para peserta foto bersama di atap Hotel Niagara dengan latar belakang Gunung Arjuno/Dokumentasi Panitia

Selesai menyusuri bagian dalam Hotel Niagara, saya mengempaskan tubuh ke kursi di ruang tengah yang berada di lantai satu. Kedua mata saya lalu menyapu pandangan. Dalam hati, saya bersyukur rasa penasaran akan bangunan ini akhirnya tuntas terjawab.

Ya, bisa dibilang Hotel Niagara masih terjaga dengan baik. Setidaknya, pemilik bangunan saat ini, Ongko Budiarto mampu mempertahankan keaslian bangunan tersebut sebagaimana yang dilakukan ahli waris Tuan Liem ketika lelaki itu meninggal tahun 1920. 

Keluarga Ongko Budiarto sendiri membeli bangunan vila ini pada 1960. Dua tahun kemudian bekas tempat peristirahatan keluarga Liem Sian Joe tersebut difungsikan sebagai hotel sampai sekarang. Meskipun termasuk bangunan peninggalan era kolonial, tetapi Hotel Niagara tidak masuk sebagai bangunan cagar budaya karena Kabupaten Malang belum memiliki peraturan daerah tentang cagar budaya.

Hotel Niagara menjadi pilihan wajib bagi pencinta bangunan heritage yang wajib dikunjungi seandainya datang ke Malang. Begitu memasuki bangunan ini, pengunjung seakan tersedot mesin waktu ke era kolonial Belanda.

Foto sampul:
Menikmati matahari terbit di atap Hotel Niagara Lawang/Yohannes Catur Leonardus


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memasuki-mesin-waktu-di-hotel-niagara-lawang-2/feed/ 0 41366