malaumkarta raya Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/malaumkarta-raya/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 12 Jun 2025 11:37:06 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 malaumkarta raya Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/malaumkarta-raya/ 32 32 135956295 Pulau Um dan Petuah-petuah Kehidupan https://telusuri.id/pulau-um-dan-petuah-petuah-kehidupan/ https://telusuri.id/pulau-um-dan-petuah-petuah-kehidupan/#respond Thu, 09 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45236 Perjalanan ke Pulau Um, Malaumkarta, seperti memvalidasi perlunya untuk tidak berlebihan soal ekspektasi. Di antara aral, selalu ada cara untuk menikmati jeda. Siklus alam yang unik jadi bonus. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda, Rifqy...

The post Pulau Um dan Petuah-petuah Kehidupan appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan ke Pulau Um, Malaumkarta, seperti memvalidasi perlunya untuk tidak berlebihan soal ekspektasi. Di antara aral, selalu ada cara untuk menikmati jeda. Siklus alam yang unik jadi bonus.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Pulau Um terlihat dari Jalan Poros Sorong-Tambrauw-Manokwari/Rifqy Faiza Rahman

Semestinya cuaca akan baik-baik saja saat siang itu (29/8/2024) kami baru sampai di Kampung Malaumkarta. Kami transit di homestay Malaway yang dikelola Hermanus Doo (50), untuk istirahat, makan siang, mandi, menyiapkan pakaian, dan mengatur logistik. Perjalanan dari pintu hutan Malagufuk dengan mobil Hilux milik Alberto Yekwam alias Berto amat singkat, kurang dari 15 menit. Langit biru sedari pagi memang sedang melingkupi Malagufuk, rumah bagi banyak cenderawasih dan fauna endemis. Keteduhan khas hutan tropis yang berbanding terbalik dengan teriknya pesisir jalan poros Sorong–Manokwari.

Sebelumnya, dari puncak jalan tertinggi di kaki Bukit Malaumkarta, tampak jelas Pulau Um menyembul di permukaan laut. Bagian tengah pulau sangat rimbun dengan tutupan pohon, di antaranya ketapang dan cemara udang, dikelilingi hamparan pasir putih. Warna air laut bergradasi, cenderung toska di zona litoral—bagian perairan yang kerap pasang surut—lalu lebih gelap di perairan dangkal. Garis-garis batas pulau dan air laut di sekitarnya begitu kontras karena hari itu benar-benar cerah.

Tidak bisa dimungkiri, saya sampai berharap dalam batin, terangnya hari awet selama kunjungan kami ke Pulau Um. Hari itu, agendanya memang piknik. Opyor Jhener Kalami alias Opi (28), bahkan bersedia membawa banyak peralatan camping dari rumahnya di Malagufuk. Peserta berkemah cukup banyak. Selain Opi, warga Malagufuk lain yang ikut adalah Andy (adik kandung Opi). Adapun pemuda Malaumkarta yang gabung adalah Soraya dan Jackson. Hermanus akan mengantar kami dengan perahunya yang bersandar di pantai tak jauh dari penginapan. Sementara Berto dan Ariss Saa, saudaranya, akan menyusul malam setelah membereskan beberapa keperluan di Kota Sorong.

Lazimnya berekreasi, kami menyiapkan aneka makanan dan minuman sebagai bekal bermalam di pulau. Sudah terbayang suasana khas camping di pantai dengan api unggun, menyeduh kopi panas, membicarakan kehidupan, atau memotret bintang. Kejenakaan Opi dan Andy yang menular membuat saya cukup optimis rencana piknik kami akan baik-baik saja. 

Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Dermaga Kampung Malaumkarta yang sudah rusak. Tampak perahu milik Hermanus di sisi kanan sedang tertambat di atas air. Kami membawa barang dan bekal berkemah secara estafet ke pantai ini/Mauren Fitri

Disambut kelelawar, camar, dan hujan besar

Kami baru benar-benar siap berangkat menyeberang ke pulau sekitar pukul 17.00 WIT. Hermanus pergi lebih dulu ke pantai untuk menyiapkan perahunya. Saya dan kawan-kawan yang lain gotong-royong menggotong barang dan bekal konsumsi. Padahal hanya ke pulau saja, tapi bawaannya seperti pindah rumah.

Total ada empat tenda yang dibawa. Saya dan Mauren sama-sama menggendong ransel dan dry bag (tas kedap air), sementara Deta tetap dengan ransel khusus kamera dan lensa andalannya—beratnya bahkan melebihi carrier gunung saya. Dua lembar koba-koba atau tikar tradisional khas Papua yang kami beli di Konda juga ikut terangkut.

Satu per satu barang kami taruh ke perahu fiber biru bertuliskan “Putra Malaway”. Mesin tempel Johnson 15 PK sudah terpasang di buritan. Sembari menunggu giliran naik perahu, saya mendadak khawatir dengan perubahan rona langit. Cerlang rawi siang tadi tidak berbekas. Mega yang semula putih tipis tahu-tahu menggumpal kelabu, tampak melayang dekat sekali dengan permukaan air. Empasan angin mulai menggoyangkan lautan. Seolah paham kondisi cuaca barusan, Hermanus bergegas menyalakan mesin dan melajukan perahu berisikan delapan orang ini ke Pulau Um.

Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Semakin mendung saat menyeberang ke Pulau Um/Mauren Fitri

Untungnya, jarak menuju Pulau Um dekat saja. Hermanus mengarahkan laju perahu ke sisi timur pulau. Sebab, di sanalah tempat kami akan berkemah. Lima menit kemudian, perahu merapat ke pantai berpasir putih. Kami bergegas turun dan mengangkut seluruh barang bawaan ke pinggiran batas hutan mini itu.

Tenda-tenda segera dibuka. Mulanya cukup mendirikan tiga tenda. Lalu, Opi dan Jackson memasang flysheet di atas bekas api unggun. Terdapat tiang-tiang bambu yang tertancap, seperti sengaja dipasang untuk tempat berteduh darurat. Deta bergegas menyiapkan kamera dan lensa tele. Ia hendak merekam fenomena paling unik di pulau ini, yaitu pergantian ruang hidup kelelawar dan burung camar saat petang tiba.

Selain pasir putih dan kejernihan lautnya, Pulau Um juga dikenal karena menjadi rumah bagi ribuan kelelawar dan camar. Kedua satwa ini menggunakan hutan di tengah pulau secara bergantian sesuai waktunya. Sebagai makhluk yang aktif di malam hari, satu per satu kelelawar akan mulai terbangun dan terbang jauh ke arah Malaumkarta untuk makan sampai pagi. Sementara para camar melayang sedikit lebih tinggi di atas pulau, menunggu kesempatan untuk singgah dan beristirahat setelah beraktivitas sedari pagi sampai sore. Dan sebaliknya, begitu seterusnya. Sayang, karena langit sudah gelap dan mendung, kami tidak mendapatkan gambar camar.

Kelelawar, sekalipun berparas sangar dan mengerikan, perannya di alam tidak bisa diremehkan. Di daratan yang jauh dari rumahnya—Pulau Um—kelelawar akan melahap ribuan nyamuk yang bisa merugikan manusia. Kelelawar juga akan menebar biji maupun buah-buahan yang sudah dimakan dari pohon-pohon, untuk dikembalikan ke alam. Lalu camar berfungsi seperti predator puncak, yang akan menjaga keseimbangan rantai makanan.

  • Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
  • Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan

“Kalau saja dapat momen sunset, pemandangan pergantian kelelawar dan camar ini akan cantik sekali,” kata Opi. 

Awalnya memang begitu yang kami harapkan. Namun, jangankan sunset, seutas warna jingga khas senja saja tidak tampak. Mega mengarak mendung sejak kami akan berangkat ke pulau ini. Di utara pulau, kira-kira dalam radius 1–2 kilometer, langit berubah gelap dan menghitam drastis di atas batas perairan Malaumkarta dengan Samudra Pasifik. Saya kemudian jadi teringat tentang sisi lain dari samudra terluas di dunia, yang menutupi hampir 50 persen perairan bumi ini, yaitu reputasinya sebagai pusat badai tropis.

Belum genap tenda berdiri, tiba-tiba rintik-rintik air dari langit jatuh membasahi kepala. Tanpa perlu terlalu lama menyadari, saya berseru kepada Deta untuk segera membereskan kameranya. Begitu pun pada teman-teman yang masih sibuk menyelesaikan pendirian tenda ketiga. Kami mengajak mereka mengamankan barang-barang dan memasukkannya ke tenda segera.

Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Tempat camp, difoto keesokan paginya/Mauren Fitri

“Aduh, kenapa malah hujan ini?” keluh Opi dengan nada lantang. Tentu saja dia bercanda. Tak disangka, alam membalikkan optimisme kami.

Beberapa jam kemudian, di tengah gerimis Hermanus datang bersama Berto dan Ariss. Setelah itu hujan kembali mengguyur deras sepanjang malam. Kami mendirikan satu tenda lagi untuk tempat tidur tambahan dan menyimpan barang-barang. Tiada perayaan api unggun di bawah flysheet darurat itu. Kami hanya menghidupkan kompor kecil saja untuk memasak makan malam sederhana dengan mi instan, plus kopi panas. 

Akan tetapi, keterbatasan tidak menghalangi perbincangan tentang isu-isu seputar Papua. Suasana tetap hangat dan seru. Makin larut, obrolan makin melebar ke mana-mana.

Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Hujan berarak di pesisir utara yang berbukit/Deta Widyananda

Pulau kecil yang jadi rumah aman untuk burung dan biota laut

Pulau ini teramat jauh dari rumah kami—saya, Mauren, dan Deta—di Jawa Tengah. Ribuan kilometer jaraknya. Jika kami harus pergi mencari pulau tropis seperti ini, yang terdekat adalah Taman Nasional Karimunjawa. Jaraknya sekitar 4–5 jam dengan kapal feri dari Kota Semarang. Bayangkan jadi orang Malaumkarta. Ingin main ke pulau, tinggal menyeberang kurang dari 10 menit. Berkeliling pulau pun tidak sampai setengah jam.

Untuk beberapa saat kami menikmati itu. Walau hujan memupus suasana camping yang ideal, tetapi tidak sampai mengurangi ketakjuban saya terhadap pulau tak berpenghuni (manusia) ini. Terutama siklus alam yang berjalan—keanekaragaman hayati—yang bergantung sepenuhnya pada Pulau Um dan perairan sekitarnya. 

Tidak hanya kelelawar dan camar, kami juga menjumpai spesies burung lainnya yang singgah di Pulau Um. Beberapa yang berhasil kami lihat antara lain burung gagak, serta burung-burung kecil, di antaranya cekakak suci atau sacred kingfisher (Todiramphus sanctus) dan kipasan kebun atau willie wagtail (Rhipidura leucophrys).

Biota laut yang dilindungi negara dan kerap terlihat di perairan Pulau Um pun tidak kalah banyak. Mengacu informasi dari Loka PSPL Sorong, setidaknya terdapat empat fauna endemis, yaitu ikan napoleon (Cheilinus undulatus), hiu berjalan (Hemiscyllium halmahera), dugong (Dugong dugon), dan penyu. Penyu sendiri terbagi menjadi tiga spesies, antara lain penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu hijau (Chelonia mydas). Penyu-penyu ini dibuatkan penangkaran telur khusus di sepetak kecil dengan pagar pelindung sederhana berupa jaring. Letaknya di utara tenda kami. 

  • Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
  • Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan

Lalu di dasar perairan, Hermanus menyebut kondisi terumbu karang masih terbilang sehat. Sebab, peraturan egek sangat ketat dan membuat nelayan hanya boleh melakukan molo atau menangkap ikan secara tradisional. Baik itu memancing dengan kail, menembak dengan harpun atau seruit, dan menombak. Tak jarang beberapa nelayan terlihat melaut hanya dengan perahu dayung dan menyelam berbekal kacamata selam sederhana untuk menangkap ikan. Sebagaimana diketahui, selama egek dilarang berburu lobster, lola (siput laut), dan teripang. Aturan egek juga berlaku di Pulau Um, bahkan lebih ketat. Siapa pun dilarang mengambil keanekaragaman hayati di pulau tersebut seumur hidup.

Artinya, Pulau Um telah menjadi bagian dari kebudayaan suku Moi di Malaumkarta Raya, khususnya Kampung Malaumkarta itu sendiri. Jems Su, pemuda Malaumkarta yang juga nelayan, mengaku bersyukur dengan tradisi egek dan keberadaan Pulau Um di kampungnya. 

“Saya merasa bangga bahwa wilayah Malaumkarta masih mempunyai kehidupan tradisional, dan nilai-nilai budayanya masih ada sampai hari ini,” ujarnya ketika ditemui di kampung, “ini (tradisi dan Pulau Um) adalah bagian yang harus dijaga dan dilindungi di Malaumkarta Raya.”

Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Ariss Saa mengisi pagi di Pulau Um dengan mencari ikan dengan tombak/Rifqy Faiza Rahman

Baginya, tidak masalah jika jenis tangkapan ikan terbatas karena egek. Toh, Ia bisa mencari sumber ekonomi tambahan dari ekowisata Pulau Um, baik itu sebagai pemandu atau motoris perahu. Ia bahkan gembira bukan main jika ada media atau stasiun televisi mempromosikan daerahnya sebagai tujuan ekowisata berbasis budaya.

Keesokan paginya, pagi sempat menunjukkan rona fajar sejenak di langit. Sisa hujan semalaman hanya membekas serupa embun-embun yang menempel di dinding tenda dan flysheet. Beberapa peralatan makan dan minum memang basah karena tak ikut disimpan, tetapi itu bukan masalah. Hanya perlu dilap dan dijemur sebentar.

Sebelum hari benar-benar terang, saya berjalan sedikit ke tepi pantai yang sedang surut. Pemandangan di pesisir Malaumkarta Raya sangat menakjubkan. Saya menduga-duga sebelah mana hutan Malagufuk tempat kami blusukan melihat cenderawasih beberapa hari sebelumnya. Ini baru secuil bagian dari Papua. Perbukitan memanjang dengan tutupan hutan tropis lebat nyaris tanpa cela—dan semoga terus begitu. Sebab, orang-orang Malaumkarta Raya bertekad menjadikan tanah adat di wilayahnya menjadi benteng alam terakhir suku Moi di Kabupaten Sorong.

“Di sana ada air terjun yang jatuh ke laut,” tunjuk Andy ke arah perbukitan itu. Kepada saya, ia bilang sebenarnya hanya perlu berlayar beberapa menit ke arah barat pesisir Malaumkarta. Sayang, kami belum sempat mampir karena diburu waktu untuk liputan di kampung dan menemui beberapa tokoh. Saya hanya bisa berharap bisa kembali lebih lama di lain waktu.

Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Mendung kembali menggelayuti perbukitan di pesisir utara Malaumkarta Raya/Mauren Fitri

Masih ada ruang perbaikan untuk berkembang dan berkelanjutan

Satu hal yang mengganggu dan sangat mencolok di Pulau Um adalah sampah anorganik. Kemungkinan bekas buangan para pengunjung yang berkemah sebelum kami. Rata-rata kemasan makanan dan botol minuman. Mengingat lokasi camp ideal hanya berada di sisi timur pulau, tentu akan tampak seperti menumpuk di satu tempat saja.

Sampah-sampah itu kebanyakan berserakan di batas vegetasi ketapang dengan area terbuka. Tempat di mana tenda-tenda biasa didirikan. Persoalan sampah tidak hanya berdampak pada pariwisata, tetapi juga bisa mengancam kelestarian ekosistem pulau. Sudah jamak terjadi penyu terlilit limbah jala nelayan, atau menelan plastik-plastik yang tak akan mungkin terurai.

Ke depan, pengelola wisata Malaumkarta perlu memperketat lagi pengawasan pada para wisatawan. Torianus Kalami, tokoh suku Moi dan ketua Perkumpulan Generasi Malaumkarta (PGM), mengakui masih ada pekerjaan rumah untuk mengelola ekowisata secara berkelanjutan. Ia berharap generasi muda bisa meneruskan kebudayaan Moi dan menjaga Pulau Um.

Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Informasi biota laut yang dilindungi. Terlihat tanaman katang-katang tumbuh subur di sekitar tempat penangkaran telur penyu/Mauren Fitri

Kemudian hal lain yang perlu diperhatikan adalah keberadaan katang-katang (Ipomoea pes-caprae) yang tumbuh cukup subur di atas pasir pantai. Bentuknya khas, serupa tanaman merambat dengan batang menjalar dan daun yang menghampar seperti rerumputan. Di sela-sela itu tumbuh bunga berbentuk seperti corong berwarna ungu. Titik terbanyak berada di sebelah utara area camp. Mengepung tempat penangkaran telur penyu. 

Di balik khasiatnya sebagai obat atau bahan sayuran, tanaman yang juga disebut batatas pesisir itu rupanya memiliki dampak negatif. Menurut Fitri Pakiding, peneliti penyu Universitas Negeri Papua, dalam presentasinya menyebut katang-katang mengancam kehidupan penyu, salah satu satwa endemis di perairan Malaumkarta ini. Meski normal berhabitat di pantai, tetapi akar tanaman ini bisa menembus kedalaman pasir tempat telur penyu bersarang dan menjadi parasit. Akar tersebut akan membungkus telur penyu, bahkan menyerap seluruh nutrisi sehingga menggagalkan penetasan.

Tentu, untuk mengatasi tantangan tersebut perlu langkah kolaboratif. Kelestarian Pulau Um bukan hanya tanggung jawab orang-orang Moi semata, melainkan juga kita sebagai tamu yang datang ke rumah mereka. (*)


Foto sampul:
Perahu Hermanus tertambat di pantai Pulau Um, Malaumkarta, Sorong/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pulau Um dan Petuah-petuah Kehidupan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pulau-um-dan-petuah-petuah-kehidupan/feed/ 0 45236
Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya https://telusuri.id/hidup-berbudaya-ala-suku-moi-di-malaumkarta-raya/ https://telusuri.id/hidup-berbudaya-ala-suku-moi-di-malaumkarta-raya/#respond Tue, 07 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45118 Jauh sebelum republik ini berdiri, suku Moi telah memiliki konsep tata kelola kehidupan berbasis adat dan bernapas selaras dengan alam. Masyarakat lintas generasi di Malaumkarta Raya bersepakat menjadikan kampung-kampung mereka sebagai ruang aman terakhir untuk...

The post Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya appeared first on TelusuRI.

]]>
Jauh sebelum republik ini berdiri, suku Moi telah memiliki konsep tata kelola kehidupan berbasis adat dan bernapas selaras dengan alam. Masyarakat lintas generasi di Malaumkarta Raya bersepakat menjadikan kampung-kampung mereka sebagai ruang aman terakhir untuk segala makhluk hidup di Tanah Malamoi.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda & Rifqy Faiza Rahman


Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Foto udara Kampung Malaumkarta yang berada di pesisir utara Distrik Makbon. Tampak latar perbukitan dan hutan lebat yang bisa tembus sampai Kampung Malagufuk, yang juga termasuk dalam kawasan adat suku Moi bernama Malaumkarta Raya/Deta Widyananda

Sebagai daerah yang berada di wilayah Semenanjung Doberai, atau dikenal juga dengan Semenanjung Kepala Burung Papua, Sorong menjadi pintu gerbang bumi cenderawasih dari sisi barat. Namanya kesohor karena menjadi titik awal menuju wisata bahari Kepulauan Raja Ampat yang mendunia.

Arus lalu lintas pariwisata, perdagangan, dan perkembangan teknologi membuat ibu kota baru Provinsi Papua Barat Daya (pemekaran dari Papua Barat) tersebut selalu tampak sibuk dan menggeliat. Keramaiannya menyamai Jayapura, ibu kota Provinsi Papua. Jejak historis sebagai “Kota Minyak”—terlihat dari peninggalan sumur minyak tua di Klamono oleh perusahaan minyak Belanda Nederlands Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) pada 1936—kian menguatkan Sorong sebagai kawasan niaga yang sudah menjanjikan sejak masa lampau.

Kondisi tersebut secara kasatmata tampak baik-baik saja, tetapi di sisi lain menyimpan keresahan. Menurut Torianus Kalami (47), tokoh Moi dan ketua Perkumpulan Pemuda Generasi Malaumkarta, modernisasi bisa mengancam eksistensi budaya, khususnya suku Moi yang merupakan komunitas adat terbesar di Kabupaten Sorong. Sasaran kekhawatiran itu terutama tertuju pada generasi muda. Tidak terakomodasinya kurikulum adat di dalam kebijakan pemerintah atau tingkat pendidikan dasar disinyalir jadi penyebab. Bahkan sekolah adat sudah lama vakum, sehingga para tetua tidak menurunkan pengetahuan adat kepada generasi penerus.

Namun, Kaka Tori—sapaan akrabnya—masih menyimpan harapan besar. Pengalaman kerja, jejaring sosial, hingga kiprahnya sebagai mantan anggota legislatif daerah, turut mendorong upaya pelestarian kebudayaan Moi. Salah satu bukti kerjanya adalah berhasil mengegolkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong. Payung hukum ini melegitimasi keberadaan suku Moi sebagai komunitas adat dan pemilik hak ulayat yang sah di Tanah Malamoi—sebutan wilayah Sorong. 

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Opyor Jhener Kalami dan Soraya Doo, representasi generasi muda suku Moi dengan kostum adat di Hutan Malagufuk. Ciri khas pakaian adat suku Moi, khususnya laki-laki, terletak pada kain merah yang digunakan seperti sarung untuk menutupi cawat/Deta Widyananda

Konsep konservasi alam berbasis adat

Malaumkarta Raya merupakan kawasan wilayah adat gabungan dari lima kampung di Distrik Makbon, yaitu Malaumkarta sebagai kampung induk, lalu empat kampung hasil pemekaran: Suatolo, Sawatuk, Mibi, dan Malagufuk. Nama kampung terakhir telah masyhur sebagai destinasi kegiatan pengamatan burung cenderawasih di Papua. Sebagian besar masyarakat di wilayah ini merupakan bagian dari subetnik Moi Kelim dan berprofesi sebagai nelayan. Selain Kelim, tujuh subetnik Moi lainnya adalah Legin, Abun, Karon, Klabra, Moraid, Sigin, dan Maya.

Malaumkarta memiliki riwayat sejarah yang cukup berliku dan erat dengan peristiwa Pembebasan Irian Barat 1962. Para prajurit Kodam Brawijaya membangunnya sebagai kampung pengungsian dari warga-warga dusun sekitar yang terpencar karena menghindari bahaya semasa pendudukan Belanda di Irian Barat. Termasuk Pulau Um, pulau kecil berpasir putih di seberang Malaumkarta. Kampung baru itu untuk sementara dinamakan Brawijaya.

Sampai akhirnya hasil pemungutan suara dalam Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 di Jakarta menentukan Irian Barat sah bergabung dengan Indonesia. Irian Barat kemudian berubah menjadi Papua Barat, yang lalu pada 2022 dimekarkan kembali jadi Papua Barat dan Papua Barat Daya. Para delegasi adat pun pulang ke kampung. Sepulangnya prajurit Kodam Brawijaya, masyarakat menyepakati pembentukan nama baru menjadi Malaumkarta. Mala dalam bahasa Moi berarti ‘gunung’—merujuk bukit tinggi berhutan lebat di selatan kampung, Um adalah pulau kecil seluas hampir 4 hektare itu, dan karta yang diambil dari ‘Jakarta’, lokasi tokoh adat yang mengikuti Pepera 1969.

Di balik sejarah panjang tersebut, Kaka Tori menegaskan masyarakat Moi umumnya masih mempertahankan adat yang diwariskan nenek moyang turun-temurun. Bahkan bukan hanya di Malaumkarta Raya, melainkan juga berlaku di kampung-kampung lain di wilayah Sorong Raya. Salah satu yang sangat prinsip adalah penetapan tata ruang atau wilayah adat. 

“Sebelum Indonesia (Kementerian Kehutanan) punya kebijakan atau zonasi kawasan konservasi, orang Moi sudah memilikinya lebih dulu,” tegas pria yang tidak pernah makan nasi seumur hidupnya itu. Kaka Tori menyebut sistem zonasi suku Moi sudah ada sejak zaman nenek moyang. Perlakuannya pun lebih ketat daripada konsep kawasan konservasi yang umumnya kita kenal, seperti cagar alam, suaka margasatwa, dan taman nasional.

Ia mengungkap suku Moi memiliki tiga wilayah adat sesuai cakupan dan peruntukannya, yaitu egek, kofok, dan soo. Jika menggunakan definisi kawasan konservasi ala negara, egek adalah zona pemanfaatan terbatas, sedangkan kofok adalah zona inti, dan soo merupakan zona inti khusus. 

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Opyor memandangi pohon merbau atau biasa dikenal dengan sebutan kayu besi, yang diperkirakan berusia ratusan tahun. Biasanya kayu merbau dimanfaatkan secara terbatas oleh masyarakat untuk kebutuhan membangun rumah. Dalam sistem adat suku Moi, pohon-pohon besar seperti ini biasanya digunakan sebagai penanda batas wilayah adat antarmarga atau antarkeluarga/Deta Widyananda

Egek, dalam bahasa Moi berarti larangan. Meskipun demikian, kawasan atau lahan yang ditetapkan sebagai zona egek—misal ladang berkebun, dusun sagu, hutan, dan kawasan perairan sungai atau laut—masih bisa dimanfaatkan seperlunya selama waktu tertentu sesuai kesepakatan adat. Bisa dibilang egek adalah zona terluar dan terbatas. 

Sementara dua zona lainnya memiliki tingkat kesakralan lebih tinggi dibanding egek. Wilayah kofok bisa dibilang sebagai tempat keramat. Di kofok, para sesepuh adat biasa menggunakannya untuk keperluan sekolah atau pendidikan adat, agar kaderisasi maupun regenerasi pemimpin adat terjaga. Adapun soo berhubungan dengan elemen religi atau spiritual, yang sifatnya sangat terlarang untuk sekadar dilewati atau bahkan diakses oleh siapa saja, termasuk ketua adat sekalipun. Wilayah soo juga berarti tempat untuk para arwah.

Sepintas pembagian wilayah adat ala suku Moi tersebut tampak rumit. Namun, tata ruang seperti itu berimplikasi positif pada beberapa aspek penting. Mulai dari pengaturan lahan untuk permukiman penduduk, area berladang atau melaut sebagai sumber pencaharian masyarakat, hingga menjaga ruang hidup keanekaragaman hayati di alam. Setiap marga atau gelek memiliki dan menghormati porsi hak ulayatnya masing-masing.

Sebagai contoh, di kawasan hutan, masyarakat hanya boleh berburu babi hutan. Itu pun menurut Opyor Jhener Kalami (28), pemuda Malagufuk, perburuan babi hutan sudah mulai dibatasi untuk menjaga keseimbangan rantai makanan alam. Kaka Tori memberi contoh menarik yang menggambarkan praktik zonasi ini. 

Misalnya, ada orang dari marga Kalami sedang berburu babi hutan di wilayah adat miliknya. Kemudian ia berhasil menombak seekor babi hutan, tetapi satwa tersebut baru roboh dan mati di lahan adat milik marga Magablo. Maka, si pemburu tidak berhak membawanya pulang. 

“Pemburu itu harus melapor ke pemilik tanah, bahwa babi hutan buruannya jatuh di wilayahnya. Ia hanya boleh mencabut dan mengambil tombaknya setelah meminta izin,” terang Kaka Tori. “Nanti dia akan bilang, ‘Pace, sa kasih mati babi di ko punya tanah. Sa permisi ambil sa punya tombak, babi itu buat ko’. Jadi, begitulah cara orang Moi menghargai wilayah adat.”

  • Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
  • Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
  • Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya

Jems Su (27), menunjukkan tiga cara nelayan Malaumkarta menangkap ikan secara ramah lingkungan: (1) memancing dengan kail; (2) menyelam dangkal dengan kacamata selam kayu atau snorkel, lalu menggunakan senapan ikan tradisional (harpun) untuk menembak ikan sasaran; dan (3) menombak di pesisir pantai.

Sementara ketentuan egek di laut tidak kalah ketat. Selama masa egek berlaku, nelayan dilarang menangkap lobster, lola (sejenis keong atau siput laut), dan teripang. Nelayan hanya boleh menangkap hasil laut di luar tiga komoditas tersebut. Lokasi penangkapan ikan pun tidak boleh dilakukan di area-area yang sudah ditetapkan sebagai zona egek. Lobster, lola, dan teripang baru boleh dipanen saat egek sudah dibuka oleh ketua adat dan tokoh masyarakat, yang lazimnya berlangsung pada puncak Festival Egek Malaumkarta Raya. 

Tradisi ini hampir mirip dengan pelaksanaan lubuk larangan atau hutan larangan di masyarakat desa pedalaman di sepanjang Sungai Subayang, kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Kampar, Riau. Di sebagian wilayah Papua dan Maluku juga disebut dengan sasi. Tentu akan ada sanksi adat khusus bagi warga yang melanggar aturan egek

Oleh karena itu, metode penangkapan ikan di pesisir Malaumkarta Raya dilakukan secara tradisional. Perahu yang digunakan melaut pun berukuran kecil, dengan mesin tempel maksimal 15 PK atau bahkan hanya mendayung dengan sampan. Maka, sebaran lokasi tangkapan tidak akan sampai ke daerah tembok karang terluar kampung yang berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik. Dampak positifnya, ketersediaan ikan untuk makan atau dijual tetap melimpah karena tidak sampai terjadi overfishing.

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Kepala Kampung Malaumkarta Jefri Mobalen menjelaskan filosofi kehidupan suku Moi yang berbasis adat/Rifqy Faiza Rahman

Filosofi kehidupan dari pakaian adat

Jefri Mobalen (36), Kepala Kampung Malaumkarta, menjelaskan masyarakat di Malaumkarta Raya masih mempertahankan adat dan jati diri sebagai suku Moi Kelim di tengah kemajuan zaman. Sebab, menurutnya adat memberi dampak positif bagi kehidupan manusia dan menjaga kelestarian alam. Selain sistem zonasi wilayah adat, pakaian adat masih dipertahankan oleh seluruh marga di Malaumkarta Raya.

“Pakaian adat untuk laki-laki dan perempuan berbeda. Masing-masing punya filosofinya sendiri,” jelas pria yang gemar memakai topi pet (flat cap) berwarna merah itu. Busana adat suku Moi biasanya sangat erat saat prosesi pernikahan dan hubungan rumah tangga suami istri.

Kostum adat pria relatif simpel dengan warna senada dan mencolok, yaitu merah. Merah pada kain selendang yang berfungsi sebagai celana atau sarung dengan panjang selutut bisa bermakna keberanian atau larangan. Dengan kata lain, merah juga berarti menyimbolkan egek itu sendiri. 

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Ester Salamala (60), seorang mama dari suku Moi yang tinggal di Malaumkarta, difoto dengan pakaian adat serta noken dan tikar (koba-koba) di sisinya/Deta Widyananda

“Jika ada warga yang sedang berburu atau mencari makanan di hutan, lalu melihat kain merah terpasang di pohon, maka dia tidak boleh memasuki kawasan tersebut,” kata Jefri. Artinya, keluarga atau marga pemilik lahan adat tersebut melarang siapa pun memasuki tanahnya. Kain merah tersebut juga digunakan sebagai mahar atau mas kawin dengan jumlah tertentu saat pria Moi hendak melamar perempuan Moi.

Pakaian adat pada perempuan Moi lebih kompleks. Setiap bagiannya mengandung makna mendalam. Seorang perempuan Moi menggunakan kain sarung untuk membalut dan melindungi hampir sekujur tubuhnya. Artinya, lelaki (suami) harus menafkahi istrinya, dalam hal ini memberikan tempat tinggal atau rumah sebagai tempat berlindung. Koba-koba, sejenis tikar dari anyaman daun pandan hutan, disimpan dalam tas noken untuk alas tidur untuk suami-istri. Simbol ini bermakna komitmen menjalani rumah tangga bersama-sama, baik saat susah maupun senang.

Kemudian noken berfungsi sebagai tas atau wadah bagi istri untuk belanja atau menyimpan hasil panen saat berkebun. Tali noken biasanya dikaitkan di dahi. Terakhir, beberapa helai rumput, bunga, atau tanaman lain yang terpasang bak mahkota di kepala, merupakan simbol yang menandakan perempuan Moi baru pulang dari berkebun di hutan atau dusun sagu (istilah untuk menyebut tempat menokok dan meremas sagu). 

“Pakaian adat tersebut akan selalu disimpan rapi dan filosofinya melekat pada suami-istri seumur hidup,” tegas Jefri.

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Demianus Magablo (60)—depan, kanan—memimpin Tari A’leing atau alen, sebuah tarian adat khas suku Moi yang bernuansa rancak dan ceria. Ia didampingi Charel Magablo (25), keponakannya, dan diiringi mama-mama di belakang. Tarian yang juga menjadi atraksi pembuka Festival Egek ini biasa ditampilkan untuk menyambut tamu yang berkunjung ke Malaumkarta/Deta Widyananda

Festival Egek: media pelestari kebudayaan

Kaka Tori mengakui, perlu usaha lebih keras dan kolaborasi multipihak untuk melestarikan kebudayaan suku Moi, khususnya di Malaumkarta Raya. Terbitnya peraturan perundang-undangan yang mengakui keberadaan suku Moi pun merupakan hasil perjalanan panjang sejak ia dan Oktovianus Mobalen menginisiasi pendirian Perkumpulan Generasi Malaumkarta (PGM).

Lembaga swadaya masyarakat tersebut telah berdiri lebih dari dua dekade. PGM dibentuk sebagai wadah komunikasi antarwarga Moi di lima kampung se-Malaumkarta Raya. Menurut Kaka Tori, PGM hadir untuk mengadvokasi masyarakat suku Moi di kawasan tersebut dalam hal pemetaan dan pengelolaan wilayah adat, konservasi, serta penyerapan aspirasi masyarakat kepada pemerintah maupun pihak-pihak pemangku kepentingan lainnya.

Selain payung hukum, pencapaian lain yang berhasil diwujudkan oleh kolaborasi PGM bersama pemerintah—kabupaten dan provinsi—maupun lembaga nonprofit lain seperti Yayasan EcoNusa adalah penyelenggaraan Festival Egek. Sebuah festival kebudayaan dengan acara kunci membuka egek dan panen raya hasil hutan maupun laut yang sebelumnya dilarang selama egek

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Salah satu adegan dalam tari alen. Para penari membentuk lingkaran dan bergandengan tangan, lalu berputar sembari mengentak-entakkan kaki ke tanah/Rifqy Faiza Rahman

Festival yang digelar satu tahun sekali itu biasanya dibuka dengan pementasan Tari A’leing atau alen. Sebuah tarian khas suku Moi untuk menyambut tamu undangan dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat sipil, pemerintahan, kepolisian, militer, maupun lembaga-lembaga nonpemerintah. Selanjutnya, acara dibuka dengan ritual fie, yaitu upacara adat dengan sejumlah persembahan atau sesaji, untuk memohon izin kepada leluhur dan meminta keselamatan selama memanen hasil laut.  

Saat puncak festival inilah masyarakat diperbolehkan mengambil hasil laut secukupnya. Terutama tiga spesies yang dilarang selama masa egek, yaitu lobster, lola, dan teripang. Itu pun masih ada satu peraturan mengikat yang harus ditaati. Apabila menemukan lobster yang masih bertelur, maka masyarakat harus melepaskannya lagi ke laut. 

Hasil tangkapan tersebut kemudian diperjualbelikan selama festival. Jefri menerangkan, keuntungan ekonomi selama Festival Egek nantinya akan dimanfaatkan untuk keperluan masyarakat dan kampung. “Biasanya juga diprioritaskan untuk kepentingan agama, seperti renovasi gereja atau pembangunan rumah gembala jemaat,” ujar salah satu pembina PGM itu.

Usai kemeriahan festival, para tetua adat kembali memberlakukan egek. Setidaknya berlangsung selama setahun sampai bertemu festival berikutnya. Kearifan lokal ini juga memberi kesempatan kepada alam untuk memulihkan diri, sehingga ekosistem laut tetap terjaga. Meskipun terkadang egek dibuka sewaktu-waktu jika ada kebutuhan mendesak sesuai kesepakatan tokoh adat dan masyarakat Malaumkarta Raya. 

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Tim ekspedisi Arah Singgah foto bersama Torinanus Kalami (dua dari kiri) dan Yuliance Yunita Bosom Ulim (tengah) setelah pertemuan dan diskusi seputar kebudayaan Moi di sebuah hotel pinggiran Kota Sorong/Dokumentasi TelusuRI

Bagi Kaka Tori, tujuan dari Festival Egek sejatinya lebih dari sekadar memenuhi kalender budaya dinas pariwisata daerah. Pria yang sedang menempuh studi Magister Antropologi Universitas Cenderawasih Jayapura itu tidak ingin Festival Egek hanya berfungsi sebagai kegiatan seremonial semata.

“Saya ingin Festival Egek menjadi ‘kamus hidup’, yang bisa menjadi tempat belajar bagi siapa pun untuk mengenal dan memahami filosofi kebudayaan suku Moi,” terangnya. Artinya, tidak hanya untuk anak-anak Moi atau orang muda Papua, tetapi juga orang-orang di luar Papua juga boleh ikut memastikan tradisi suku Moi tetap abadi sepanjang masa.

Sebab, orang Moi percaya bahwa alam memiliki peran penting sebagai sumber penghidupan mereka. Alam akan memberi apa pun yang manusia butuhkan, selama manusia menjaga alam. (*)


Foto sampul:
Perempuan Moi dengan kostum adat di Hutan Klasow, Kampung Malagufuk, Sorong/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hidup-berbudaya-ala-suku-moi-di-malaumkarta-raya/feed/ 0 45118