maluku Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/maluku/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 13 Jun 2024 08:05:59 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 maluku Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/maluku/ 32 32 135956295 Welora dalam Genggaman: Pariwisata Berkelanjutan dari Timur Indonesia https://telusuri.id/welora-dalam-genggaman-pariwisata-berkelanjutan-dari-timur-indonesia/ https://telusuri.id/welora-dalam-genggaman-pariwisata-berkelanjutan-dari-timur-indonesia/#respond Thu, 13 Jun 2024 09:48:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42151 Desa Welora, yang terletak di sisi utara Pulau Dawera, Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku, merupakan salah satu destinasi wisata unggulan di area perairan Laut Banda dan Laut Timor. Terutama bagi pegiat aktivitas bawah laut. ...

The post Welora dalam Genggaman: Pariwisata Berkelanjutan dari Timur Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
Desa Welora, yang terletak di sisi utara Pulau Dawera, Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku, merupakan salah satu destinasi wisata unggulan di area perairan Laut Banda dan Laut Timor. Terutama bagi pegiat aktivitas bawah laut. 

Pada 30 Mei–2 Juni lalu, Markus Laimera—salah seorang pengurus Desa Welora—ikut serta dalam rangkaian pameran Deep and Extreme Indonesia 2024. Sekadar informasi, Deep and Extreme Indonesia (DXI) merupakan pameran terbesar yang mengakomodasi gaya hidup petualangan dan industri pendukungnya. Seiring pertumbuhan industri, DXI terus berkembang mengikuti tren terkini. Penyelenggara tidak hanya menyediakan platform promosi lengkap untuk menyelam dan olahraga air, tetapi juga olahraga ekstrem dan petualangan luar ruangan untuk semua pencinta adrenalin di seluruh dunia.

Pada tahun ini, pameran olahraga ekstrem tahunan terbesar di Asia tersebut hadir dengan tema “Edge of Tomorrow: Dive Into the Depth of Extreme Sports”. Deep and Extreme Indonesia 2024 berlangsung di Hall A dan B Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta Pusat.

Welora dalam Genggaman: Pariwisata Berkelanjutan dari Timur Indonesia
Markus Laimera (baju putih) aktif untuk mempromosikan Desa Welora sebagai tujuan wisata bahari di pameran Deep and Extreme Indonesia 2024/WWF-Indonesia via M. Irsyad Saputra

Misi Promosi Welora

Sebagai representasi Desa Welora, Markus Laimera menjadi ujung tombak untuk mempresentasikan keberhasilan desanya dalam berproses menuju sebuah desa wisata yang berkelanjutan. Salah satu tahapan yang sedang dipersiapkan untuk menyambut kunjungan wisatawan adalah melakukan kajian daya dukung pariwisata. Tujuannya tak lain semata mendukung program pariwisata berkelanjutan di Desa Welora.

Dengan panorama alam bawah laut serta sejarahnya, Desa Welora secara perlahan mulai dikenal khalayak luas. Markus Laimera menunjukkan kepada semua pihak, mulai dari kalangan wisatawan hingga penyelenggara jasa wisata lainnya selama pameran, bahwa Welora sedang bertransformasi menjadi desa wisata berkelanjutan yang aktivitas pariwisatanya selaras dengan konservasi.

Dahulu, Desa Welora hanyalah sebuah desa yang berfokus pada penangkapan ikan. Markus merupakan salah satu inisiator dalam membuat rancangan sebuah desa wisata. Ia mengajak anak-anak muda desa untuk ikut berpartisipasi merancang tata kelola desa wisata, sebagai upaya menjadikan Welora dan segala potensinya lebih bernilai tambah. Maka dalam kurun beberapa tahun, Desa Welora pun disulap, dari desa nelayan menjadi sebuah desa wisata yang berhasil memenangkan penghargaan Anugerah Pesona Indonesia (API) Award sebagai juara pertama kategori destinasi baru pada tahun 2020.

  • Welora dalam Genggaman: Pariwisata Berkelanjutan dari Timur Indonesia
  • Welora dalam Genggaman: Pariwisata Berkelanjutan dari Timur Indonesia

Penerapan Aturan untuk Melindungi Alam

Menjadi desa wisata, tentu bak dua sisi mata pisau. Dapat membawa efek positif dan negatif di masa depan. Oleh karena itu siapa pun harus berpikir secara jangka panjang. Dimulai sejak hari ini, untuk masa depan yang lebih baik.

Pengelola Desa Welora telah memerhatikan potensi dampak pariwisata terhadap kampung halamannya. Mereka menerapkan sejumlah aturan desa untuk menjaga keanekaragaman laut yang dimiliki. Sebagai contoh, tidak menangkap biota laut yang dilindungi, membatasi penangkapan ikan hanya untuk konsumsi, dan juga senantiasa melakukan kontrol terhadap wilayah laut Welora. Hasilnya, desa yang termasuk ke dalam Kawasan Konservasi Kepulauan Babar ini menjadi minim gangguan dan kerusakan.

Memang jarak tempuh Welora jauh dan terpencil, serta perlu usaha lebih untuk ke sana. Namun, Markus menjamin, siapa pun yang berkunjung ke Welora akan terpesona keindahan lautnya.

“Saya berharap Desa Welora ke depannya semakin dikenal di kalangan wisatawan lokal dan mancanegara. Kami ingin menunjukkan, meskipun letak kami terpencil dan jauh, pengelolaan yang kami canangkan untuk desa wisata berkelanjutan tidak kalah dengan desa-desa lainnya, terutama yang berada di Jawa,” ungkapnya.

Welora dalam Genggaman: Pariwisata Berkelanjutan dari Timur Indonesia
Salah seorang pengunjung stan yang tertarik untuk mengunjungi Desa Welor/WWF-Indonesia via M. Irsyad Saputra

Tanggapan Pengunjung

Keikutsertaan Desa Welora dalam pameran Deep and Extreme Indonesia 2024 menarik perhatian pengunjung. Banyak orang menanyakan cara menuju Welora dan musim yang bagus untuk berkunjung. Semua orang menjadi penasaran bagaimana keindahan yang tersaji di Welora. Markus Laimera juga banyak berkenalan dengan operator live on board dan membincangkan ketersediaan kapal wisata untuk menyertakan Desa Welora ke dalam destinasi mereka.

“Saya sebelumnya sudah pernah ke Maluku, tepatnya Maluku Utara. Sekarang saya menjadi penasaran untuk mengunjungi Desa Welora,” ungkap salah seorang pengunjung stan WWF-Indonesia. Ketertarikannya bukan tanpa alasan. Pasalnya, semakin jauh sebuah tempat wisata maka akan semakin bagus pula alamnya. Setidaknya jauh dari overtourism yang menghantui banyak tempat wisata arus utama di Indonesia.

WWF-Indonesia berkomitmen untuk terus mendorong Desa Welora untuk berkembang ke arah yang lebih baik. Mulai dari segi tata kelola, ketersediaan data, dan juga sumber daya manusia untuk mencapai desa wisata yang bermanfaat bagi masyarakat dan juga alam sekitar. Harapannya, dengan mengikuti rangkaian kegiatan Deep and Extreme Indonesia 2024, Desa Welora menjadi semakin dikenal banyak orang sebagai salah satu destinasi wisata bahari berkelanjutan yang ada di Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Welora dalam Genggaman: Pariwisata Berkelanjutan dari Timur Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/welora-dalam-genggaman-pariwisata-berkelanjutan-dari-timur-indonesia/feed/ 0 42151
Ekspedisi Maluku Barat Daya 2024: Mencari yang Hilang, Menemukan yang Baru https://telusuri.id/ekspedisi-maluku-barat-daya-2024-mencari-yang-hilang-menemukan-yang-baru/ https://telusuri.id/ekspedisi-maluku-barat-daya-2024-mencari-yang-hilang-menemukan-yang-baru/#respond Mon, 27 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42028 Nico de Jonge dan Toos van Dijk, dua orang antropolog berkebangsaan Belanda, sekaligus duet penulis Forgotten Islands of Indonesia: The Art & Culture of the Southeast Moluccas (1995), telah lama menyatakan kepulauan di Maluku Barat...

The post Ekspedisi Maluku Barat Daya 2024: Mencari yang Hilang, Menemukan yang Baru appeared first on TelusuRI.

]]>
Ekspedisi Maluku Barat Daya 2024: Mencari yang Hilang, Menemukan yang Baru
Koloni Porites sp. yang diperkirakan mencapai usia hingga 258 tahun via WWF-Indonesia/Taufik Abdillah

Nico de Jonge dan Toos van Dijk, dua orang antropolog berkebangsaan Belanda, sekaligus duet penulis Forgotten Islands of Indonesia: The Art & Culture of the Southeast Moluccas (1995), telah lama menyatakan kepulauan di Maluku Barat Daya (MBD) sebagai “The Forgotten Islands” karena letaknya yang terisolasi, akses terbatas, serta minim sumber literatur yang membahasnya. Maluku Barat Daya, yang 88 persen wilayahnya berupa laut, menyimpan harta karun yang luar biasa: baik keanekaragaman hayati maupun budaya maritim. Akan tetapi, masih banyak wilayah di kawasan tersebut yang belum dipetakan secara utuh, sehingga memerlukan kajian saintifik yang intensif dan spesifik.

Tahun ini WWF-Indonesia melaksanakan ekspedisi keanekaragaman hayati laut di Kawasan Konservasi Mdona Hiera, Lakor, Moa dan Letti di Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku untuk mendata berbagai macam hal, seperti usia koloni karang, kipas laut, dan spons; E-DNA metabarcoding; potensi pemijahan ikan; pengamatan mangrove. Juga, pengamatan spesies laut dengan BRUV (Baited Remote Underwater Video), pengamatan melalui citra drone, dan melihat indikasi habitat penyu serta hasil tangkapan utama dan sampingan.

Ekspedisi yang berlangsung pada 8–12 Mei 2024 tersebut juga didukung oleh lintas instansi daerah hingga pusat. Di antaranya Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Dinas Perikanan Kabupaten Maluku Barat Daya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Bionesia Indonesia, dan TNI Angkatan Laut. Pengamatan dilakukan di sekitar Pulau Metimarang dan Pulau Luang.

Proses penurunan BRUV untuk memantau spesies yang ada di sekitaran Kawasan Konservasi Mdona Hiera via WWF-Indonesia/Rizky Erdana

Menemukan Beragam Kehidupan dan Penyadaran Tradisi Lokal

“Dari hasil laporan sementara, koloni karang tertua yang ditemukan diperkirakan berumur hampir 400 tahun, sedangkan gorgonian atau kipas laut ditemukan hingga 32 tahun dan sponge dari jenis Xestospongia Sp. ditemukan berusia hingga 69 tahun. Ini membuktikan kekayaan alam sekitar Pulau Metimarang dan Luang yang diduga merupakan gunung berapi pada masa lalu dan telah membentuk terumbu karang atol dengan koloni-koloni karang yang cukup tua dan masih hidup hingga saat ini,” ujar Erdi Lazuardi, Koordinator Nasional untuk Marine Science and Knowledge Management WWF-Indonesia.

Tidak hanya itu. Tim WWF-Indonesia juga melakukan identifikasi lokasi pemijahan ikan (Spawning Aggregation Sites/SPAGs) untuk melihat titik-titik yang berpotensi menjadi tempat pemijahan ikan kerapu dan kakap. Ikan kerapu dan kakap adalah harapan hidup orang-orang di Metimarang. Sejak dahulu, ikan-ikan tersebut mempunyai nilai ekonomis yang tinggi; baik dijual dengan diasinkan ataupun dijual hidup. Kehilangan ikan tersebut dalam jumlah banyak tentu mengakibatkan penurunan kualitas hidup masyarakat Metimarang.

Pemantauan tidak sekadar dilaksanakan secara langsung dengan menyelam, tetapi juga mewawancarai beberapa pengepul ikan kerapu hidup dan nelayan Pulau Metimarang untuk memastikan keakuratan data. Sembari menyelam, tim juga mengumpulkan sampel, baik dari air laut maupun menggunakan metaprobe untuk mengidentifikasi berbagai organisme bawah laut melalui uji environmental DNA atau E-DNA. 

Pemantauan menggunakan BRUV dilakukan di 23 titik pada kedalaman 7–70 meter. Meskipun embusan angin memperkuat gelombang dan juga arus, hal tersebut tidak menyurutkan tim WWF-Indonesia menurunkan kamera pemantau di dalam laut maupun secara aerial. Tujuannya untuk melihat pergerakan spesies di laut sekitar Pulau Metimarang dan Pulau Luang, seperti hiu, dugong, pari, lumba-lumba, dan penyu. 

Selain itu, WWF-Indonesia juga melakukan survei terkait habitat penyu dan tangkapan sampingan para nelayan. Menurut penuturan warga, mereka kerap kali melihat penyu, baik saat di pantai untuk bertelur ataupun di laut ketika mereka mencari ikan. Di MBD, penyu masih sering mereka konsumsi pada waktu tertentu, seperti pesta adat atau perayaan personal. Bagaimana dengan spesies ETP (Endangered, Threatened and Protected) yang tidak sengaja tertangkap?

“Semua yang tertangkap, kami bawa untuk dimakan,” ucap salah seorang warga saat diwawancarai tim WWF-Indonesia.

“Bahwa untuk mengurangi tradisi konsumsi penyu yang sudah mendarah daging, perlu edukasi dan ‘penyadartahuan’ agar masyarakat yang awalnya memburu penyu menjadi pelindung penyu. Tentu butuh waktu yang tidak sebentar,” ucap Yuliana Syamsuni, tim species WWF-Indonesia. Tim juga berhasil menyelenggarakan Pelatihan BMP (Best Management Practices) Penanganan Spesies Laut Dilindungi dan Terancam Punah Pada Hasil Tangkapan Sampingan kepada 12 masyarakat nelayan di Dusun Metimarang.

Pemantauan juga dilaksanakan pada area lamun di timur atol Metimarang yang disinyalir menjadi tempat terlihatnya dugong. Tempat menjadi lahan hidup beberapa jenis lamun, seperti Thalassodendron ciliatum dan Halophila ovalis yang merupakan pakan alami para dugong. Sayang sekali, dalam pemantauan tersebut tim WWF-Indonesia belum dapat menemukan dugong secara langsung, meskipun dugong sempat terpantau pada ekspedisi tahun 2022.

Di bagian selatan dari Pulau Metimarang, luasan mangrove tercatat berkisar 11,69 hektare dan ditumbuhi oleh 13 jenis mangrove. Mulai dari Avicennia alba hingga Sesuvium portulacastrum. Adapun di bagian utara juga tercatat 13 jenis yang sama, dengan luasan 11,04 hektare

Bluewater Mangrove di sini merupakan mangrove yang unik. Tidak seperti mangrove pada umumnya yang tumbuh pada lahan lumpur, ini langsung tumbuh di substrat pecahan karang dan air jernih, serta dari 13 spesies mangrove, di antaranya tiga spesies rentan dan terbatas distribusinya, yaitu Rhizophora stylosa, Sonneratia ovata dan Pemphis acidula,” ujar Muhammad Faisal Rachmansyah, peneliti mangrove yang ikut ambil bagian dalam tim. Selain berfungsi sebagai ecosystem services, bluewater mangrove di Pulau Metimarang bisa menjadi mata pencaharian alternatif masyarakat Pulau Metimarang dari pemanfaatan buahnya dan kemungkinan pengembangan wisata snorkeling.

Ekspedisi Maluku Barat Daya 2024: Mencari yang Hilang, Menemukan yang Baru
Selama ekspedisi berlangsung, tim juga mengumpulkan sampel air laut untuk memperoleh E-DNA via WWF-Indonesia/Syauqi Tuasikal

Pelaporan dan Rencana Diseminasi Hasil Ekspedisi

Hasil laporan sementara ekspedisi ini telah dipresentasikan di hadapan 30 orang yang terdiri dari perwakilan dinas perikanan, asisten sekretaris daerah, dinas pariwisata, dinas lingkungan hidup, Kantor Cabang Dinas Gugus Pulau 11, dan Bappedalitbang pada tanggal 13 Mei 2024 di Aula Hotel Golden Nusantara, Tiakur, Wakarleli, Maluku Barat Daya.

Dalam acara tersebut, Yafet Lelatobun, Asisten III Bidang Administrasi Pemerintahan Setda Kabupaten MBD, menyatakan ucapan terima kasih serta dukungan untuk ekspedisi ini. Dia mengharapkan semua pihak bahu-membahu untuk menyelenggarakan kawasan konservasi di daerah Maluku Barat Daya.

“Semua wilayah laut di MBD ini adalah tanggung jawab kita untuk mengelolanya agar bisa dimanfaatkan dengan baik dan benar, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada,” ucapnya.

Selanjutnya, setelah analisis lengkap dan laporan selesai, akan dilakukan diseminasi hasil ekspedisi guna memperkuat regulasi dan rekomendasi untuk peraturan perikanan tangkap dan tata kelola kawasan konservasi di Maluku Barat Daya, khususnya meliputi Kawasan Konservasi Mdona Hiera, Moa, Letti, Lakor. Keberadaan kawasan konservasi diharapkan tidak hanya untuk perlindungan keanekaragaman hayati lautnya, tetapi juga bisa memberikan manfaat secara berkelanjutan bagi masyarakat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ekspedisi Maluku Barat Daya 2024: Mencari yang Hilang, Menemukan yang Baru appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ekspedisi-maluku-barat-daya-2024-mencari-yang-hilang-menemukan-yang-baru/feed/ 0 42028
Jejak Rempah Nusantara yang Pernah Memabukkan Dunia https://telusuri.id/jejak-rempah-nusantara-yang-pernah-memabukkan-dunia/ https://telusuri.id/jejak-rempah-nusantara-yang-pernah-memabukkan-dunia/#respond Fri, 22 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41455 Buku yang dikemas dengan segar dan melecut patriotisme bangsa akan kekayaan rempah Indonesia. Masih ada ruang lebih untuk eksplorasi sejarah dan potensi pengembangan terkini lebih mendalam. Bicara sejarah perdagangan dunia, tidak dapat terpisahkan oleh jalur...

The post Jejak Rempah Nusantara yang Pernah Memabukkan Dunia appeared first on TelusuRI.

]]>
Buku yang dikemas dengan segar dan melecut patriotisme bangsa akan kekayaan rempah Indonesia. Masih ada ruang lebih untuk eksplorasi sejarah dan potensi pengembangan terkini lebih mendalam.


Jejak Rempah Nusantara yang Pernah Memabukkan Dunia
Buku yang mengisahkan sejarah umum rempah Nusantara dengan baik/Rifqy Faiza Rahman

Bicara sejarah perdagangan dunia, tidak dapat terpisahkan oleh jalur sutra. Jalur yang menyibak hubungan dunia timur dan barat. Banyak elemen terlibat, di antaranya pedagang, pengelana, biarawan, prajurit, hingga nomaden melalui daratan maupun lautan. 

Jalur sutra memang benar-benar membelah dunia, dimulai dari pusat perdagangan Cina Utara dan Cina Selatan. Rute utara berkembang ke arah barat hingga melewati Bulgar—Kipchak (kini Bulgaria) ke Eropa Timur dan Semenanjung Krimea, kemudian menuju Laut Hitam, Laut Marmara, Semenanjung Balkan, dan Venezia. Adapun rute selatan akan melintasi wilayah Turkestan (kini Kazakhstan) dan Khorasan (wilayah Iran) menuju Mesopotamia dan Anatolia, dan kemudian ke Antiokhia (wilayah Antakya, Turki); Di selatan Anatolia selanjutnya ke Laut Tengah atau melalui regional Levant untuk masuk benua Afrika via Mesir dan Afrika Utara.

Penamaan “jalur sutra” pertama kali disampaikan oleh Ferdinand von Richthofen, ahli geografi Jerman, pada abad ke-19. Pada masa itu sutra memang menjadi komoditas perdagangan terbesar dari Cina. Jalur ini tak hanya membawa misi perdagangan, tetapi juga bagian dari pengembangan kebudayaan, termasuk Cina, India, imperium Roma.

Jejak Rempah Nusantara yang Pernah Memabukkan Dunia
Peta jalur sutra/UNESCO

Di sisi lain, terhampar sebuah rute yang memiliki posisi dan kiprah tak kalah krusial dengan jalur sutra, yaitu jalur sutra. Jalur yang masih terselubung kabut, begitu kata John Keay dalam The Spice Route: A History (2007), serta dianggap misterius dan penuh anomali. Padahal lebih karena bangsa-bangsa penjelajah dan pedagang belum mengetahui dari mana rempah itu berasal, yaitu Maluku dan pulau-pulau di dalamnya, ibu kandung rempah-rempah dunia. Sumber daya alam yang memikat bangsa-bangsa luar, yang kemudian melancarkan pelbagai misi—perdagangan hingga penjajahan—untuk menjelajahi Nusantara.

Bagaimana jejak sejarah dan sebaran rempah-rempah itu mewarnai sekaligus memengaruhi perkembangan peradaban Nusantara? Empat penulis, satu desainer grafis, dan dua editor yang tergabung dalam tim penyusun dari Yayasan Negeri Rempah mencoba menjawab itu dalam Kisah Negeri-Negeri di Bawah Angin, Jejak Kemaritiman Nusantara dalam Sejarah Perniagaan Rempah. Melalui karya setebal 242 halaman tersebut, pembaca akan dimanjakan foto, grafis, dan ilustrasi-ilustrasi memukau yang melengkapi narasi setiap babnya. 

Kiranya Kisah Negeri-Negeri di Bawah Angin memang ditulis dan diluncurkan untuk menjemput rencana Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Dengan dukungan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia, buku ini berusaha menghadirkan perhatian negara pada sejarah keberadaan rempah Nusantara di era lampau serta peran pentingnya untuk saat ini dan masa mendatang. Baik itu upaya meningkatkan perekonomian atau bahkan pengembangan literasi.

“Maka, tak berlebihan jika disebut bahwa jalur rempah adalah warisan tak benda dari bangsa Indonesia yang dalam konteks perdagangan dan transmisi pengetahuan sangat penting untuk dikembangkan bagi bangsa kita.” (hlm. 17).

Jejak Rempah Nusantara yang Pernah Memabukkan Dunia
Rempah-rempah khas Nusantara/Jalur Rempah Kemdikbud

Kebinekaan rempah dari Sumatra sampai Papua

Terlepas dari kata-kata sambutan para pejabat negara yang membuka buku ini, Yanuardi Syukur dkk dan editor telah melakukan langkah yang tepat dengan menempatkan jejak diaspora penutur Austronesia pada bagian Prolog.

Tim penyusun seperti memberi pengingat tentang rekam jejak nenek moyang kita terdahulu, yang menurut sejumlah ahli menyebut mereka adalah bangsa bahari—selain juga mewariskan tradisi kerajinan menenun dan menganyam hasil hutan, membuat gerabah, hingga merajah tubuh. Mereka melanglang lautan, menjelajah belantara, hingga mengisi relung-relung gua. Mereka memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan di pulau-pulau yang disinggahi, hingga menyeberangi selat-selat antarpulau. Salah satu warisan pada masanya yang menjadi penjenamaan paling khas adalah teknologi perahu bercadik. 

“Melalui rekonstruksi yang komparatif, para ahli menyimpulkan bahwa penutur Austronesia telah mengembangkan teknologi maritim setidaknya sejak dua milenium Sebelum Masehi. Mereka telah menguasai teknik pembuatan perahu, mulai dari bentuk yang sederhana seperti kano, sampai teknik pembuatan perahu dengan lambung yang dibuat berongga menggunakan tambahan papan. Untuk menjaga keseimbangan perahu, mereka menambahkan cadik dan layar berbentuk segitiga.” (hlm. 28). 

Jejak Rempah Nusantara yang Pernah Memabukkan Dunia
Foto relief di Candi Borobudur (Jawa Tengah) dan lukisan cadas perahu di Pulau Muna (Sulawesi Tenggara) yang menggambarkan warisan perahu bangsa penutur Austronesia/Rifqy Faiza Rahman

Zaman berkembang begitu pesat hingga dunia mengetahui “harta karun” besar lainnya, yaitu rempah-rempah. Sampai berlalu sekian ribu tahun lamanya, garis keturunan penutur-penutur Austronesia pun bersua dengan orang-orang asing dari negeri nan jauh. Beberapa komoditas rempah yang paling banyak dicari antara lain cengkih, lada, kayu manis, kapur (kamper), kemenyan, dan pala.

Menurut dokumen pemberangkatan kapal dagang Spanyol yang disusun Martín Fernández de Navarrete pada abad XVI, hanya dengan muatan kecil cengkih saja mampu membiayai sekali pelayaran mengelilingi dunia. Tak heran kongsi-kongsi dagang maupun pengelana dari negara-negara dunia terbuai dan berbondong-bondong menyerbu Asia Tenggara, khususnya Nusantara. 

“Daya tarik cengkih, pala, dan bunga pala menjadi dorongan utama perkembangan perdagangan antar bangsa di Asia Tenggara. Pohon cengkih (Eugenia aromatica, Kuntze) terdapat di Ternate, Tidore, Moki, Makian, dan Bacan. Pala dan bunga merahnya diperoleh dari pohon pala (Myristica fragraris, Linn) terdapat di Pulau Banda. Setelah tahun 1550, pohon-pohon ditanam di kawasan lain di Nusantara. Dengan kemajuan teknologi budidaya tanaman, pada akhirnya dapat ditanam di beberapa tempat di dunia.” (hlm. 39).

Jejak Rempah Nusantara yang Pernah Memabukkan Dunia
Peta tua jalur rempah Nusantara. Peta koleksi rahasia Portugis ini dibuat oleh Petrus Plancius pada 1592. Sebagai panduan bagi para pelaut untuk menyusuri jalur dagang Portugis, yang mencakup timur jauh hingga kepulauan rempah-rempah Nusantara, peta ini sangat berharga dan dinilai dengan hukuman mati bagi yang membocorkannya ke publik/Indies Gallery

Buku ini turut menguak bahwa Maluku bukan satu-satunya daerah yang kaya rempah di Nusantara. Ibarat ibu kandung, ia kemudian menyebar dan melahirkan benih-benih rempah di pulau-pulau lainnya. Melintasi peradaban kerajaan-kerajaan yang pernah jaya di masanya, mulai dari Tarumanegara, Samudra Pasai, Sriwijaya, Majapahit, hingga Mataram. 

Bahkan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai di bumi Serambi Mekah (kini Aceh) serta Sriwijaya menandai era baru kemaritiman di Nusantara—yang disebut negeri-negeri di bawah angin. Terutama Samudera Pasai, tempat persinggahan Ibnu Battutah, ahli geografi dan pengelana Muslim asal Maroko yang saat itu melakukan perjalanan keliling dunia. Kedatangan dan kesaksiannya menegaskan bahwa Samudera Pasai bukan hanya kerajaan administratif Islam semata, melainkan juga kesultanan maritim dan terlibat dalam perdagangan di sekitar wilayah kekuasaannya.

“Seperti dialami oleh Ibnu Battutah, ia mendengar pengakuan dari penguasa Melayu bahwa menjadi muslim adalah suatu keuntungan. Kala itu, tengah terjadi peralihan kekuasaan di beberapa penjuru Asia dan Afrika berkaitan dengan meluasnya kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam. Samudera Pasai hadir dalam momen sejarah itu. Penguasa Melayu dapat terhubung dengan jaringan dagang Dar Al-Islam, negeri penguasa Muslim di Asia Selatan, Asia Barat, Afrika Timur dan Utara, sekaligus terhubung dengan pusat perdagangan negeri Tiongkok.” (hlm. 114). 

Yanuardi Syukur dkk juga melanjutkan, jika Maluku adalah ibu kandung rempah-rempah dunia, maka sebenarnya Papua adalah bagian simpul perdagangan rempah tersebut. Buku ini menyebutnya sebagai bandar rempah yang terlupakan, karena di benak para saudagar dan pemburu rempah, kepulauan Maluku-lah perhentian terakhir.

Berdasarkan keterangan dari Macassan History and Heritage: Journeys, Encounters and Influences karya Marshall Clark dan Sally May (2013)—seperti dikutip dalam buku ini—sibuknya kegiatan di jalur perniagaan di daerah Barat Laut Australia (Zona Arafura) disebabkan oleh interaksi antara masyarakat Papua dengan kepulauan Maluku dan Sulawesi, yang juga bermula karena migrasi Austronesia pada 5.000 tahun lalu. Kesultanan Tidore pada masa itu menjadi penghubung jalur tersebut dengan daratan Papua. Mulai dari Kepulauan Aru, Kei, Tanimbar, lalu merambah pesisir barat Papua. 

“Jalur perniagaan prasejarah itu semakin meningkat setelah Kesultanan Tidore berkuasa di abad ke-16. Kesultanan Tidore mengamankan daerah pesisir barat Papua, sekaligus menghubungkannya dengan jalur perdagangan Eurasia yang menyebabkan rempah Nusantara mendunia. Perluasan kekuasaan Tidore disebabkan oleh upayanya untuk memenuhi permintaan pasar atas hasil laut dan budak.

Jejak Rempah Nusantara yang Pernah Memabukkan Dunia
Sayangnya, pembahasan soal keterkaitan jalur rempah dan Papua tidak banyak dibahas. Hanya empat halaman narasi dan foto yang tersaji. Bisa jadi karena keterbatasan bahan riset atau literatur yang tersedia/Rifqy Faiza Rahman

Perlu ada publikasi buku-buku jejak rempah lanjutan

Rwâneka dhâtu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

(Kakawin Sutasoma, pupuh 139, bait 5)

Tentu saja Indonesia adalah negara kesatuan. Negara republik. Segala perbedaan, entah itu suku, agama, ras, warna kulit, bahkan pandangan politik sekalipun, luruh di balik selimut merah putih. Kutipan Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma yang ditulis pada akhir abad ke-14 telah menggariskan itu, yang kemudian menjadi bingkai keutuhan pelbagai kemajemukan di Indonesia. Tak terkecuali rempah-rempah yang tersebar di hampir segala penjuru negeri ini.

Keragaman rempah Nusantara memang memberikan dampak pada dua sisi. Selain meningkatkan pamor “negeri-negeri di bawah angin” penghasil rempah, tetapi juga pernah menempatkan bangsa kita di titik terjajah dan tertindas. Terutama tatkala monopoli dagang dipegang oleh Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Persatuan Perusahaan Hindia Timur Belanda. Sejak saat itulah muncul perlawanan-perlawanan rakyat, baik itu perang maupun diplomasi, hingga proklamasi kemerdekaan Indonesia kita raih pada 17 Agustus 1945. Buku ini turut mengulas sejarah perlawanan Nusantara pada “Bagian 3” (hlm. 187—208).

Setidaknya, Kisah Negeri-Negeri di Bawah Angin mengetuk kesadaran kita. Kesadaran tentang samudra, laut, selat, dan teluk yang luasnya melebihi luas daratan. Rupanya kita memang bangsa maritim, bangsa yang berbudaya bahari. Tanpa bermaksud menafikan yang lain; keberanian, ketangguhan, dan kemampuan para pelaut kita—nelayan, nakhoda, maupun orang-orang yang hidup dari gejolak ombak, terjangan badai, dan gelegar halilintar—sungguh telah melampaui batas-batas normal dan tak tertandingi.

“Hal ini memperkuat pemikiran Adrian Bernard Lapian seorang pakar sejarah maritim, untuk memandang kenyataan historis bagi masyarakat yang hidup di kepulauan dengan mempelajari sejarah Indonesia dari geladak kapal pribumi dan bandar pelabuhan, sehingga kita dapat melukiskan kondisi geografis negara kita dengan menyebut bahwa Indonesia bukan ‘negara kepulauan yang dikelilingi laut’, namun sebuah ‘negara kelautan yang ditaburi pulau-pulau’.” (hlm. 216). 

Jejak Rempah Nusantara yang Pernah Memabukkan Dunia
Negeri ini pernah meraih kejayaan dari rempah, merana karenanya, lalu meniti perjuangan yang tak mudah untuk kemerdekaan. Indonesia perlu kembali melihat kekayaan maritim sebagai pembuka jalan kejayaan di masa mendatang/Rifqy Faiza Rahman

Jika tidak membuka sudut pandang lebih luas, pulau-pulau dan daratan luas yang kita tinggali memang tampak seolah tak berujung. Seakan-akan bukan perairan asin yang menjadi pembatas. Padahal, faktanya kitalah yang memang sekecil itu. Dan kita tak akan pernah bisa memungkiri bahwa sudah saatnya menatap dan membelai lautan Nusantara kembali, setelah lama memunggunginya.

Namun, buku ini memang jelas tak akan cukup merangkum jejak rempah Nusantara yang pernah berjaya bahkan memabukkan dunia. Tebal yang “hanya” 242 halaman sangat terbatas untuk membenamkan paradigma-paradigma kebudayaan maritim pada pembaca.

Di satu sisi, terutama berkaitan dengan kemasan, satu-satunya kelemahan teknis buku ini adalah bentuknya yang bongsor (sekitar 25×25 cm). Meski kesannya menjadi tampak eksklusif dan elegan, beban perekat di punggung buku menjadi berat. Jika sering dibawa dan dibuka-buka untuk dibaca, rawan menyebabkan punggung buku terlepas dari hard cover-nya. Perlu dibuka wacana untuk memudahkan akses bacaan dalam bentuk yang lebih compact dan simpel, baik secara daring maupun luring.

Ke depan, semoga tim penulis juga mempertimbangkan membedah kisah negeri-negeri di bawah angin lebih fokus dan mendalam dari sebatas “jatah” 5—20 halaman yang tersedia per daerah. Tentu akan lebih sulit mengingat literatur yang bisa jadi tak banyak, tetapi bukan sesuatu yang mustahil. Karena, meminjam semboyan TNI Angkatan Laut, Jalesveva Jayamahe! Di lautan kita jaya!


Judul Buku: Kisah Negeri-Negeri di Bawah Angin, Jejak Kemaritiman Nusantara dalam Sejarah Perniagaan Rempah
Penulis: Yanuardi Syukur, Dewi Kumoratih, Irfan Nugraha, Bram Kushardjanto, dan Prisinta Wanastri
Editor: Retno Hermawati dan Muthia Zulfa
Desain Grafis: Dian Parmantia
Penerbit: Yayasan Negeri Rempah bersama Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal Buku: 242 Halaman
ISBN: 978-602-53712-0-2


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak Rempah Nusantara yang Pernah Memabukkan Dunia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-rempah-nusantara-yang-pernah-memabukkan-dunia/feed/ 0 41455
“Hula-Keta”, Melihat Maluku dari Sagu https://telusuri.id/hula-keta-melihat-maluku-dari-sagu/ https://telusuri.id/hula-keta-melihat-maluku-dari-sagu/#respond Tue, 29 Aug 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39685 Berbicara mengenai Maluku, sepintas yang tersaji di lembar sejarah hanya berkutat pada komoditas rempahnya yang begitu mendunia pada abad perniagaan. Di baliknya terdapat narasi besar mengenai ritme perdagangan dunia yang memengaruhi hadirnya gelombang kolonialisme Eropa...

The post “Hula-Keta”, Melihat Maluku dari Sagu appeared first on TelusuRI.

]]>
Berbicara mengenai Maluku, sepintas yang tersaji di lembar sejarah hanya berkutat pada komoditas rempahnya yang begitu mendunia pada abad perniagaan. Di baliknya terdapat narasi besar mengenai ritme perdagangan dunia yang memengaruhi hadirnya gelombang kolonialisme Eropa besar-besaran. Seolah Maluku sendiri tak memiliki identitas yang kuat selain mengandalkan komoditas rempahnya, serta narasi yang terbawa oleh para bangsawan Eropa kala itu. Alhasil kami yang meyakini adanya peristiwa sejarah turut mengamini dan melanggengkan narasi tersebut.

Padahal sebagaimana tradisi tutur yang berkembang di Maluku, bangsa Portugis dan Spanyol yang merapat ke daerah itu mampu bertahan selama berabad-abad lamanya hanya dengan mengonsumsi pangan lokal. Pangan tersebut merujuk pada olahan sagu yang sampai sekarang jarang terekam oleh sejarah.

Di dalam sagu terdapat pengetahuan lokal, seperti teknik pengelolaan serta budaya masyarakat yang sampai hari ini masih bertahan. Sekalipun pada masa pemerintahan Soeharto, sagu tersebut sempat mengalami penyingkiran akibat kebijakan penyeragaman pangan yang berlangsung di hampir setiap daerah.

Diskusi Film Hula-Keta: Bukan Maluku Tanpa Sagu

Prolog tersebut merupakan catatan elaborasi mengenai sebuah diskusi yang berlangsung di Bentara Budaya Yogyakarta pada 21 Juni 2023. Diskusi sekaligus screening dokumenter tersebut merupakan inisiasi Lingkar Studi Sejarah (LSS) Arungkala Yogyakarta bersama tim produksi film Hula-Keta: Bukan Maluku Tanpa Sagu.

Membawa historiografi mengenai sagu yang jarang diproduksi oleh narasi sejarah di Indonesia, film Hula-Keta berupaya menyoroti cara memperoleh, mengolah, hingga mengonsumsi sagu, serta kaitannya dengan konteks tradisi yang berlangsung di kawasan Maluku Utara. Bahkan dalam tagline-nya, film ini membawa premis “Bukan Maluku Tanpa Sagu” yang menegaskan pentingnya sagu bagi kehidupan masyarakat di daerah tersebut.

Menurut Daya, produser di balik terciptanya film tersebut, mengungkapkan alasan di balik pemilihan nama “Hula-Keta”. “Hula” memiliki arti sagu bagi masyarakat Maluku, serta “Keta” mengacu pada teknik pengolahannya, yakni memanggang.

Hula itu sagu, sedangkan keta memiliki makna panggang. Istilah keta kerap masyarakat Maluku gunakan untuk merujuk pada cetakan sagu,” pungkasnya sembari menjawab pertanyaan dari pengunjung.

Daya juga mengisahkan pengalamannya selama satu minggu berada di Maluku. Pada saat itu, orang di luar Maluku kerap mengenal makanan khas Maluku Utara itu dengan sebutan roti sagu. Namun, bagi masyarakat Maluku Utara sendiri istilah tersebut justru asing. Mereka malah lebih mengenal hula sebagai makanan yang telah menghidupi mereka sehari-hari.

Sejalan dengan hal tersebut, Hula-Keta berupaya menyoroti beberapa aktivitas warga lokal yang sehari-harinya mengonsumsi sagu. Biasanya mereka mengonsumsi sagu sembari menyeduh teh di pagi hari, atau kerap menyelingi dengan beberapa lauk tambahan, seperti ikan, daging, sayur, hingga kudapan lainnya. Bahkan yang menarik, sedari bayi masyarakat Maluku Utara sudah terbiasa mengonsumsi sagu encer yang lebih menyerupai papeda. Maka sejalan dengan kehidupan mereka, sagu begitu menumbuh melalui identitas maupun kebutuhan mereka.

Selain menyoroti ihwal konsumsi, film Hula-Keta juga menghadirkan cara memperoleh dan mengolah sagu. Di beberapa adegan, terdapat adanya para lelaki yang mengambil hula dari ketela pohon yang kemudian menggunakannya sebagai bahan dasar pembuatan sagu. Setelah mendapatkan bahan dasar tadi, kemudian para ibu mengolahnya melalui alat cetak khas mereka yang terbuat dari tanah liat. Olahan tersebut menghasilkan bentuk hula yang lebih menyerupai roti kotak dengan kepulan asap yang masih segar.

  • "Hula-Keta", Melihat Maluku dari Sagu
  • "Hula-Keta", Melihat Maluku dari Sagu

Alternatif Pangan di tengah Gempuran Beras

Saya sendiri berkesempatan menjadi moderator selama berlangsungnya diskusi tersebut. Saya berhasil mencatat beberapa poin yang kiranya menarik untuk dibicarakan. Salah satu poinnya adalah kehadiran sagu atau hula sebagai alternatif pangan di tengah ketergantungan akut masyarakat dengan beras.

Sejalan dengan itu, Shinta Dewi Novita Sari selaku pengulas ketahanan pangan pada film tersebut turut menegaskan pentingnya kehadiran sagu. Menurutnya sagu bisa menjadi alternatif pangan lokal maupun nasional, karena pengelolaannya yang tidak memakan banyak ruang. Serta kandungan di dalamnya yang lebih minim risiko daripada beras. Adapun beras sendiri kerap menjadi masalah, lantaran kurangnya lahan pengolahan serta kandungan gulanya yang berisiko pada diabetes.

Di luar konteks biologis, sagu sendiri ternyata bisa ditarik dengan konteks sejarah dan politik di negeri ini. Hal tersebut ditegaskan oleh Subiyanto, sutradara di balik hadirnya film Hula-Keta. Menurutnya, sebelum para tim produksi terjun ke lapangan, beberapa dari mereka melayangkan pembacaan bahwa masyarakat Maluku hari ini telah mengalihkan sagu menjadi beras. Pembacaan tersebut berdasarkan pada konteks kebijakan penyeragaman pangan oleh rezim Orde Baru ke berbagai daerah di Indonesia.

Akan tetapi, pembacaan tersebut segera dinegasikan dengan kondisi faktual di lapangan. Ternyata sampai hari ini masyarakat Maluku Utara, sedari bayi sampai lansia, masih menjadikan sagu sebagai kebutuhan utama. Bahkan sagu dapat mereka peroleh dengan mudah di pasar layaknya mencari mi instan di warung.

Berangkat dari diskusi tersebut, saya sendiri menyadari betapa pentingnya pengetahuan lokal bagi kelangsungan masyarakat lokal itu sendiri. Ketika penduduk Jawa hari ini amat bergantung terhadap beras, justru di Maluku Utara ketergantungan tersebut tidak begitu berlaku lantaran kuatnya pengetahuan lokal yang mereka tanamkan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “Hula-Keta”, Melihat Maluku dari Sagu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hula-keta-melihat-maluku-dari-sagu/feed/ 0 39685
Video: Pesan tentang Toleransi dari Kepulauan Kei https://telusuri.id/video-azan-kaki-bajalang/ https://telusuri.id/video-azan-kaki-bajalang/#comments Sat, 26 May 2018 09:19:14 +0000 https://telusuri.id/?p=8864 Setelah melewati fase sulit pascakonflik antaragama di Maluku tahun 1999, para pemuda terus berjuang untuk mempertahankan dan merawat toleransi dan rasa saling menjaga, hingga saat ini. Sudah begitu banyak karya yang dilahirkan untuk terus hidup...

The post Video: Pesan tentang Toleransi dari Kepulauan Kei appeared first on TelusuRI.

]]>

Setelah melewati fase sulit pascakonflik antaragama di Maluku tahun 1999, para pemuda terus berjuang untuk mempertahankan dan merawat toleransi dan rasa saling menjaga, hingga saat ini. Sudah begitu banyak karya yang dilahirkan untuk terus hidup optimis, bahwa rasa toleransi dan kemanusiaan masih ada hingga detik ini di Bumi Pertiwi.

Kali ini, Komunitas Kaki Bajalang, komunitas pemerhati dan promotor pariwisata di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara, merilis sebuah video azan. Menariknya, video ini dibungkus dalam tema wisata dan toleransi antarumat beragama di bulan Ramadan.

Berdasarkan pengalaman para anggota komunitas yang juga merupakan para tour guide lokal, berbagai cerita bermakna sering kali muncul dari interaksi mereka bersama para tamu traveler yang menggunakan jasa mereka saat traveling di Kepulauan Kei. Dari situlah ide ini muncul, yakni memeriahkan bulan Ramadan dengan memproduksi konten yang memiliki ruh serta membawa pesan kemanusiaan.

Kaki Bajalang tidak sekadar mengangkat keindahan alam

Mengambil latar Kota Tual, Kabupaten Maluku Tenggara, dan Pantai Ngurbloat yang merupakan salah satu pantai dengan pasir terhalus di dunia, Komunitas Kaki Bajalang tak hanya ingin sekadar mengekspos keindahan alam Kepulauan Kei, tetapi juga menceritakan betapa sejuknya rasa toleransi dan saling menghargai di kota kecil tersebut.

Para kreator ingin agar video ini menjadi pengingat dan penguat rasa toleransi, minimal bagi diri mereka sendiri.

Sejak karya ini dirilis, berbagai respon datang dari berbagai kalangan, baik melalui komentar di akun Instagram, Facebook, dan Youtube. Salah satu yang paling menyentuh adalah komentar dari seorang viewer yang mengaku bahwa ia meneteskan air mata ketika menonton. Ia bangga menjadi seorang anak Maluku yang tak lagi melihat perbedaan—termasuk agama—sebagai pembatas interaksi.

Pesan kuat yang ingin disampaikan adalah: kita tidak pernah tahu akan bertemu dengan siapa, kapan, dan dalam kondisi apa. Yang kita tahu, setiap orang yang datang dan pergi selalu meninggalkan jejak pengalaman bermakna. Yang kita tahu, Indonesia masih tegak berdiri dengan keberagaman dan rasa saling menghargai, hingga hari ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Video: Pesan tentang Toleransi dari Kepulauan Kei appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/video-azan-kaki-bajalang/feed/ 2 8864
Pulang ke Ambon https://telusuri.id/pulang-kampung-ke-ambon/ https://telusuri.id/pulang-kampung-ke-ambon/#respond Sun, 15 Apr 2018 04:15:42 +0000 https://telusuri.id/?p=8073 Sudah 22 tahun lamanya aku tidak berada di tanah ini. Sepanjang jalan kucoba mengingat kembali memori-memori yang kupunya. Tukang ojek mengajakku bicara, dan dia tak percaya bahwa sudah selama itu aku tak pulang. Logat Ambon...

The post Pulang ke Ambon appeared first on TelusuRI.

]]>
Sudah 22 tahun lamanya aku tidak berada di tanah ini. Sepanjang jalan kucoba mengingat kembali memori-memori yang kupunya.

ambon

Ambon dari udara/Tri Widya Asrie

Tukang ojek mengajakku bicara, dan dia tak percaya bahwa sudah selama itu aku tak pulang. Logat Ambon milikku masih kental. Alamat rumahku masih kuingat dengan benar. Hangat dan aroma laut dari atas aspal ini masih sama, meskipun dulu jalan yang biasa kulalui tidak selebar dan terasa sesingkat ini.

Dulu, dari Bandara Pattimura Ambon ke Desa Galala, di mana rumahku berada, membutuhkan waktu sekitar dua jam. Sekarang, perjalanan tidak lebih dari 20 menit, sebab sudah ada Jembatan Merah Putih yang diresmikan Presiden Jokowi hampir dua tahun lalu yang memotong perjalanan panjang itu.

ambon

Patung Martha Christina Tiahahu/Tri Widya Asrie

Dan, ya, persis di bawah jembatan itulah rumahku, rumah pinggir pantai di teluk kecil di Desa Galala, Poka, Ruma Tiga.

Perahu-perahu layar hampir tak ada. Kalaupun ada, hanya satu-dua saja. Itu pun hanya perahu kecil dengan semang. Pantai depan rumahku pun sudah menjauh karena dikeringkan untuk dijadikan tempat menancapkan pilar-pilar gagah jembatan. Kapal-kapal ferry nasibnya sama saja. Bahkan ada beberapa yang kandas.

ambon

Kapal kandas/Tri Widya Asrie

Kenangan di bawah pohon ketapang

Pohon ketapang penuh kenangan tempatku bermain enggo lari dan benteng sudah sangat besar.

Penuh hangat dan kasih sayang, para tetangga memeluk kedatanganku. Seketika aku kembali menjadi Cornely van Capelle, nama kecil yang dulu diberikan kepadaku sebagai tanda bahwa aku sudah sepenuhnya menjadi anak Timur.

ambon

Anak-anak sedang memancing/Tri Widya Asrie

Masih seakan mimpi dapat bertemu mereka kembali. Teringat kembali “papa mamaku” di sini, yang mengantar, menjemput, dan menggendongku ke sekolah 20 tahun silam.

Saat lebaran tiba, empat mama akan sudi datang membantu memasak ketupat, opor, gulai untuk kami. Sebaliknya, menjelang Natal tiba, ibuku pun melakukan hal yang sama. Ia ganti ikut memasak di sebelah rumah. Walaupun kami berbeda keyakinan, tidak ada yang berubah, dan tidak ada yang berbeda dari cinta kami semua. Semua “Pela Gandong.”

keluarga

Foto bersama keluarga di Ambon/Tri Widya Asrie

Aku pindah ke Bali dua tahun sebelum kerusuhan Ambon. Papa dan mama bercerita tentang kerusuhan yang konon dipicu masalah SARA itu, sambil menunjukkan tempat-tempat bekas kebakaran yang mengharuskan mereka mengungsi ke Kodam di Halong.

Kisah-kisah itu sungguh tak bisa dinalar. Aku tahu betul bagaimana perbedaan justru bisa membuat kami terus bersaudara dan saling menyayangi.

gong perdamaian

Gong Perdamaian/Tri Widya Asrie

Pemulihan setelah kerusuhan juga cukup lama, termasuk untuk mengembalikan harmoni kehidupan. Kemudian, sepuluh tahun pascatragedi itu, dibangunlah Monumen Gong Perdamaian sebagai simbol berdirinya kembali toleransi di Indonesia.

Aku masih tak bisa membayangkan kerusuhan itu. Kenangan Ambon bagiku adalah memori tentang pohon ketapang tempatku berlarian bersama kawan-kawan.

ambon

Salah satu sudut Ambon/Tri Widya Asrie


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pulang ke Ambon appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pulang-kampung-ke-ambon/feed/ 0 8073
Menelusuri Danau Soli yang Asin dan Misterius https://telusuri.id/danausoli/ https://telusuri.id/danausoli/#respond Mon, 08 May 2017 08:13:26 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=547 Berada di Kepulauan Seram Bagian Timur ini membuat kita harus paham bagaimana menyiasati kegiatan saat cuaca tak menentu. Agenda untuk ke Pulau Amarsekaru yang awalnya dijadwalkan pagi hari harus ditunda karena hujan turun lebat di...

The post Menelusuri Danau Soli yang Asin dan Misterius appeared first on TelusuRI.

]]>
Berada di Kepulauan Seram Bagian Timur ini membuat kita harus paham bagaimana menyiasati kegiatan saat cuaca tak menentu. Agenda untuk ke Pulau Amarsekaru yang awalnya dijadwalkan pagi hari harus ditunda karena hujan turun lebat di pulau itu. Padahal di Pulau Gorom tempat kami berada walaupun langit tertutup awan tapi belum ada tanda-tanda air akan turun dari langit. Langit yang abu-abu pucat tampak seperti payung raksasa, pertanda bahwa hujan turun hanya di Danau Soli Pulau Amarsekaru.

Baling-baling perahu-motor cepat Napoleon mulai berputar, mengeluarkan buih-buih dari dalam laut. Bang Rico sang juru mudi mulai menarik gas pelan-pelan. Gerimis mulai menyertai kami.

Awalnya saya mengira nama perahu ini merujuk pada pemimpin Perancis yang terkenal saat Perang Revolusi. Ternyata saya sok tahu. Napoleon yang dimaksud adalah ikan karang yang populasinya sudah mulai di ambang kepunahan seiring dengan banyaknya karang yang rusak.

Melaju kencang di atas Napoleon/Syukron

“Setiba di pulau nanti, hujan akan menjauh. Lihat saja arah awannya yang sudah mulai keluar dari pulau,” Bang Rico meyakinkan saya seperti seorang pembaca berita cuaca meyakinkan pemirsa. Mesin perahu membuat kami mulai melaju kencang namun stabil. Haluan memecah ombak berkali-kali.

Sudah hampir sejam berlalu, entah sudah berapa “polisi tidur” kami lewati. Perahu kami mendarat mulus di tepi Pantai Amarsekaru di antara ombak-ombak yang naik turun. Tidak ada tanda petunjuk informasi, hanya sebuah gazebo beratap biru yang sudah mulai tertutup oleh semak belukar.

Walaupun begitu kami masih bisa melihat bahwa di sebelah gazebo itu terdapat jalan yang mengular. Jika tidak diberitahu bahwa itu adalah jalan masuknya, mungkin saya takkan pernah tahu kalau itu jalan menuju Danau Soli, tempat yang akan kami kunjungi siang ini. Kami pun mulai jalan masuk menyusuri setapak yang sudah dibuat permanen dengan semen ini.

Hanya butuh waktu kurang dari seperempat jam untuk sampai ke Danau Soli dari tepi pantai. Mungkin kalau jalan tak basah dan licin bisa lebih cepat. Yang memperlambat kami adalah air yang menggenang sepanjang jalan membuat jalur jadi licin dan berlumut. Jalan yang seharusnya mempermudah pejalan kaki malah sebaliknya membuat kami hampir terjatuh berkali-kali.

Danau Soli yang berada di Desa Amarsekaru sudah dikenal hingga mancanegara. Menurut kabar banyak turis asing yang sengaja mampir karena keunikannya sebagai danau air asin dan tempatnya yang masih alami. Sudah beberapa tahun ini banyak kapal pesiar yang mampir ke kawasan Pulau Gorom karena pesona bawah lautnya.

Danau biru mulai tampak. Tak berapa lama kami sampai. Ketika yang lain memilih bersantai di pendapa yang tersedia, saya memilih untuk menceburkan diri ke dalam danau. Saya sudah tak sabar lagi untuk memastikan keasinan Danau Soli. Saya lalu mencoba merasakan dengan lidah sendiri rasa air danau itu. Ternyata memang asin.

Berenang di Danau Soli Kecil

Berenang di Danau Soli Kecil/Yudhie Fardhani

Bagi kita yang terbiasa bermain air asin di pantai, sensasi berenang di danau soli memang terasa berbeda. Apalagi sekeliling danau adalah hutan lebat. Walaupun saya tak membawa peralatan snorkeling, kejernihan airnya membuat saya dapat melihat ke dalam dari permukaan. Ikan-ikan kecil berenang ke sana kemari. Menurut cerita warga, dari danau ini ada aliran yang menembus ke laut. Jadi Danau Soli jika dilihat dari atas tampak seperti laguna di tengah pulau.

Belum letih saya bermain, teman-teman sudah memanggil untuk keluar dari dalam danau: “Kita ke atas, yuk? Selain ini ada lagi di atas sana. Tidak jauh, kok.”

Danau Soli terbagi dua, yakni Danau Soli Besar dan Danau Soli Kecil. Tempat saya berenang tadi adalah Soli Kecil. Dan teman-teman memanggil saya untuk ikut ke Danau Soli Besar. Berbeda dari Danau Soli kecil, Danau Soli besar seperti dikurung oleh dinding-dinding karang yang megah.

Hanya ada satu pendopo yang tersedia di sini. Berada di atas tebing, dengan Danau Soli di bawahnya, menjadikan tempat ini salah satu spot favorit untuk berfoto. Selain itu Danau Soli besar juga tempat yang cocok bagi penyuka cliff jumping. Tapi tenang saja, buat kamu yang takut ketinggian ada jalur setapak menuju danau.

Danau Soli Besar

Danau Soli Besar/Syukron

Ternyata berenang dikelilingi tebing-tebing karang dan juga danau yang dalam adalah pengalaman yang bercampur aduk. Suasana sunyi, tebing tinggi yang misterius, dan juga kedalaman Danau Soli yang mendebarkan hati membuat saya merasakan pengalaman yang benar-benar berbeda.

Mendung memang sudah pergi, tapi sepertinya sore mulai menyergap. Tanpa komando kami mulai bergegas turun dan menuju pantai. Kaki sudah mulai terbiasa. Jalan licin yang sebelumnya menjadi rintangan terberat membuat kami terlatih untuk menjaga keseimbangan agar tak terjatuh.

Mendung mulai disusupi oleh warna-warna khas senja. Sejenak kami menikmati senja di tepi pantai. Abu-abu berkelahi dengan kuning keemasan. Tapi matahari sepertinya kalah. Ia tetap tak tampak sampai gelap datang.

The post Menelusuri Danau Soli yang Asin dan Misterius appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/danausoli/feed/ 0 547