mangrove Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/mangrove/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 17 Sep 2024 16:17:56 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 mangrove Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/mangrove/ 32 32 135956295 Cerita Kehidupan Mangrove dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Belitung https://telusuri.id/cerita-kehidupan-mangrove-dalam-pengelolaan-hutan-kemasyarakatan-di-belitung/ https://telusuri.id/cerita-kehidupan-mangrove-dalam-pengelolaan-hutan-kemasyarakatan-di-belitung/#respond Tue, 30 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41053 Menarilah dan terus tertawaWalau dunia tak seindah surgaBersyukurlah pada yang kuasaCinta kita di dunia, selamanya Kutipan lagu yang dinyanyikan Nidji sebagai lagu pengantar film Laskar Pelangi berhasil menyihir penikmat musik di Indonesia. Laskar Pelangi tidak...

The post Cerita Kehidupan Mangrove dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Belitung appeared first on TelusuRI.

]]>
Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada yang kuasa
Cinta kita di dunia, selamanya

Kutipan lagu yang dinyanyikan Nidji sebagai lagu pengantar film Laskar Pelangi berhasil menyihir penikmat musik di Indonesia. Laskar Pelangi tidak hanya menceritakan kisah sekelompok anak yang pantang menyerah dalam mengejar cita-cita, tetapi berhasil mengenalkan Bangka Belitung sebagai tempat yang indah di Indonesia.

Sayangnya, keindahan yang kita kenal ternyata menyimpan borok yang menganga: lubang-lubang bekas galian tambang, hutan mangrove yang telah hilang, dan vegetasi alami yang semakin sedikit.

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sedang mengembangkan program “50 Pesona Perhutanan Sosial Nusantara Integrated Area Development (IAD)” atau Pengembangan Area Terintegrasi. Fungsinya seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm) untuk kesejahteraan ekonomi rakyat dan juga sebagai sarana konservasi. 

Salah satu IAD yang sukses menjalankan misinya terletak di Bangka Belitung. IAD Bangka Belitung terdiri dari beberapa HKm, yaitu HKm Juru Seberang, HKm Bukit Peramun, HKm Desa Terong, HKm Teluk Munsang, dan HKm Batu Bedil.

Kali ini, TelusuRI ajak kamu menelusuri cerita HKm yang ada di sana.

Mengolah Bekas Tambang Menjadi Ekowisata

Lahan sebesar 757 hektare (ha) telah disahkan melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK 79/MenLHK-II/2015 yang diterbitkan pada 10 Maret 2015. Sebagai salah satu kelompok Hutan Kemasyarakatan, HKm Juru Seberang mengelola bekas lahan tambang, hutan mangrove, dan hutan pantai sebagai lahan untuk kesejahteraan masyarakat Desa Juru Seberang.

Sesuai dengan visinya, yaitu menjadi komunitas kehutanan yang profesional melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil, dan berkelanjutan; masyarakat Desa Juru Seberang berupaya memulihkan bekas tambang timah yang menyasar hutan mangrove.

Pemulihan besar-besaran dilakukan untuk mencegah abrasi di daerah pesisir. Penanaman mangrove dapat membuat ekosistem kembali pulih. Belitung Mangrove Park yang masuk dalam kawasan Juru Seberang terdiri dari 52,02 ha berdiri berkat kerja sama HKm dengan Yayasan Terumbu Karang Indonesia. 

Kita bisa menyusuri trek mangrove atau susur sungai menggunakan kapal untuk melihat sekeliling. Bila beruntung kita akan mendapati burung-burung liar yang beterbangan.

Taman Hortikultura, bagian lainnya dari HKm Juru Seberang, menyediakan arena pembelajaran bercocok tanam bagi para pengunjung yang ingin mencoba langsung menanam atau memetik hasil kebun. Ada mangga, lengkeng, sirsak, sukun, menteng, jambu mete, dan sayuran. Selain untuk kegiatan wisata, Taman Holtikultura juga menjadi sumber pendapatan masyarakat.

Cerita Kehidupan Mangrove dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Belitung
Pemandangan hutan mangrove di tepi pantai di bawah pengelolaan HKm Juru Seberang Belitung/KLHK

HKm untuk Semua Kalangan

Apriyanto yang menjabat sebagai ketua HKm Teluk Munsang menjelaskan jenis kegiatan yang bisa dilakukan di Teluk Munsang. “Ada trekking mangrove, diving, snorkeling, pondok wisata, spot foto. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) berupa lebah madu dan jamur.”

Seperti HKm lainnya di Belitung, kita akan mendapati mangrove sebagai ekowisata. Keberadaan mangrove menjadi sebuah tolok ukur rasa syukur. Tidak hanya bagi keindahan, tetapi juga bagi para nelayan.

“Ada tanggung jawab moral bagi kami untuk merestorasi wilayah yang sebagian telah rusak akibat tambang,” jelas Apriyanto.

Kami menanyakan apakah profesi penambang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat sekitar, tetapi Apriyanto menampik, “Tidak dilakukan secara turun temurun. Tambang untuk umum baru dimulai sekitar tahun 2000—2005.”

Pertemuan dengan Perhutani yang menjadi awal mula HKm sempat mendapat pro-kontra di kalangan masyarakat. “Ada yang antusias, ada yang kontra, karena ramainya masyarakat yang masih ingin menambang. Kondisi sekarang 90% masyarakat sudah beralih ke program Perhutani, yang nambang sudah pindah semua dari wilayah itu,” jelasnya.

HHBK yang menjadi primadona Teluk Munsang adalah madu dan jamur. Pengambilan madu masih dilakukan secara tradisional, yaitu menggunakan api dan asap lalu kemudian diiris. Panen madu bisa mencapai tiga kali dalam setahun. Hasilnya cukup memuaskan, bisa mencapai lima liter. Adapun jamur masih mengandalkan proses alamiah untuk tumbuh. Masyarakat cenderung lebih mengandalkan pencaharian sebagai nelayan daripada hanya bergantung kepada HHBK.

Mangrove demi Kehidupan

Bicara daerah pesisir pasti tidak lepas dari peran mangrove. Ibarat sebuah film, mangrove adalah peran utama yang bakal mengundang sorotan karena menjadi pusat cerita. Sama halnya dalam kehidupan, mangrove menjadi peran utama dalam ekosistem pesisir: menyediakan rumah bagi ikan-ikan, melindungi pantai dari empasan ombak secara langsung, hingga mencegah pemanasan global.

Sebelum menjadi HKm, dulunya tempat tersebut hanyalah semak belukar dan jalan setapak. “Awal mula menjadi HKm sebenarnya dari iseng-iseng membersihkan semak, karena banyak yang ikut akhirnya minta pengarahan ke pihak desa dan keluarlah SK,” terang Egi Saputra, Ketua Pemuda Nelayan Pecinta Alam (PNPA) Desa Terong.

Egi menuturkan sudah tidak ada lagi penambang timah di sekitar sini. Sebagian besar menjadi nelayan atau petani. Program-program yang digalakkan, seperti pembibitan dan penanaman mangrove serta wisata pantai melibatkan masyarakat secara aktif. 

Pengunjung bisa ikut menanam mangrove dengan biaya Rp20.000 per orang. Sudah mencakup perlengkapan dan pemandu yang akan mengarahkan cara menanam.

Dampak yang dirasakan tidak main-main. Tersedianya lapangan kerja menghasilkan tambahan pundi-pundi rupiah, meski belum stabil. Masyarakat tetap bergantung kepada kegiatan bertani dan mencari ikan sebagai pendapatan utama. Integrasi dengan Desa Wisata Terong memperkaya paket wisata yang ditawarkan dan merangkul semua potensi yang ada di sini.

Cerita Kehidupan Mangrove dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Belitung
Contoh brosur promosi paket wisata di Desa Terong/HKm Desa Terong

HKm dan Kemandirian Ekonomi Lokal

HKm Batu Bedil memang belum seperti HKm lainnya yang sudah tertata rapi dengan berbagai macam pilihan kegiatan. Meskipun bangunan yang ada masih swadaya, tetapi Rencana Kinerja Tahunan (RKT) untuk pembangunan pembangunan sudah tersusun rapi. Infrastruktur menjadi pilihan utama selain pengajuan pertanian mete, lada, dan, buah-buahan. “Kita mengusulkan sekitar 20 hektare tambahan untuk lahan pertanian. Kami juga sudah mengelola 20 hektare tanah yang ditanami mete,” jelas Suhardi, ketua HKm Batu Bedil.

“Batu Bedil merupakan salah satu geosite yang ada di Belitung,” terang Suhardi. Sebagai informasi, peresmian Batu Bedil sebagai geopark dilakukan pada 2019 dan dicanangkan masuk sebagai UNESCO Global Geopark.

Tidak hanya keindahan alam saja yang ditawarkan, tetapi juga terdapat beberapa peninggalan arkeologis yang masih dapat disaksikan hingga sekarang. Selain ekowisata mangrove, Batu Bedil juga menawarkan snorkeling di konservasi Karang Tima. Selama pandemi berlangsung, hanya turis mancanegara yang berkunjung. Sekolah-sekolah lokal yang biasanya mengadakan kunjungan belum terlihat batang hidungnya. Mandeknya kegiatan pariwisata membuat pengelola beralih ke budidaya kerapu sulu.

Para penambang yang lebih dahulu memakai kawasan Batu Bedil menjadi tersingkirkan setelah kawasan tersebut resmi menjadi hutan lindung. “Kita beri pengertian kepada masyarakat untuk tidak menambang di area HKm Batu Bedil, karena kita sudah diberi amanah oleh negara untuk menjaganya,” jelas Suhardi.

Kesolidan masyarakat Batu Bedil diuji dengan kondisi ekonomi yang belum mencukupi kebutuhan sehari-hari. Namun, syukurnya mereka tetap solid dan semangat mengelola HKm.

“Harapan kita ke depannya pemerintah bisa membantu fasilitas, ya, namanya tempat wisata kan harus ada fasilitas. Dan saya harap juga kawan-kawan di HKm ini bisa semakin membantu ekonomi masyarakat sekitar,” pungkas Suhardi.

HKm Digital, HKm Terdepan

Upaya digitalisasi rupanya tidak hanya menyasar para pelaku ekonomi di negeri ini. Sektor HKm tidak ketinggalan juga ikut menyusul bagian pariwisata lainnya dalam menggalang konten digital.

Adi Darmawan, mobile developer yang berhasil kami wawancarai, membeberkan bahwa HKm Bukit Peramun menawarkan virtual apps untuk paket wisata digital. Konsep yang diusung oleh HKm Bukit Peramun adalah hutan berbasis digital.

“Ada virtual guide, ada pengenalan pohon yang berbentuk hologram yang bisa bicara sendiri, tapi aplikasi hanya bisa dipakai di kawasan Bukit Peramun,” jelasnya.

Ada empat paket wisata yang ditawarkan oleh HKm Bukit Peramun yang semuanya menggabungkan keseruan realitas dan digital. Misalnya, trekking dan spot foto virtual, pengamatan tarsius malam hari, geowisata lintas alam, dan wisata edukasi untuk anak-anak sekolah.

Mayoritas masyarakat yang dulunya adalah penambang perlahan-lahan mengubah diri menjadi pegiat alam. Masyarakat sekitar mulai memahami bahwa ketika alam rusak, tidak akan ada yang bisa berjalan dengan baik. Akhirnya konservasi berhasil, ekonomi berjalan. Sayangnya badai pagebluk Covid-19 mulai menghantam pariwisata. Ekonomi yang awalnya sempat bangkit kembali menjadi terpuruk. Untungnya pengelola sudah menyiapkan mitigasi usaha yang cukup menjanjikan, yaitu produksi tanaman herbal dan kompos.

Adi berharap ke depannya ada stimulus dari pemerintah untuk membantu masyarakat dalam mengelola HKm. Terutama mengenai tata kelola lokasi, promosi, serta pelayanan. Digitalisasi menyeluruh juga diharapkan dapat membantu perkembangan HKm dalam menghadapi era industri 4.0 saat ini.

Foto sampul:
Sisi lain panorama kawasan hutan mangrove di tepi pantai di bawah pengelolaan HKm Juru Seberang Belitung/KLHK


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cerita Kehidupan Mangrove dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Belitung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-kehidupan-mangrove-dalam-pengelolaan-hutan-kemasyarakatan-di-belitung/feed/ 0 41053
Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis https://telusuri.id/samsul-bahri-bapak-mangrove-dari-bengkalis/ https://telusuri.id/samsul-bahri-bapak-mangrove-dari-bengkalis/#respond Fri, 22 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40478 Di balik kerimbunan hutan mangrove pesisir Teluk Pambang, seorang pria paruh baya terus menempuh jalan sunyi. Titipan masa depan yang tidak mudah dilestarikan. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Bayangkan sedang berada...

The post Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis appeared first on TelusuRI.

]]>
Di balik kerimbunan hutan mangrove pesisir Teluk Pambang, seorang pria paruh baya terus menempuh jalan sunyi. Titipan masa depan yang tidak mudah dilestarikan.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Pohon mangrove terendam air laut yang sedang pasang di pesisir Senekip, Teluk Pambang, Bengkalis/Mauren Fitri

Bayangkan sedang berada di daerah pesisir di suatu pulau. Siang bolong. Terik matahari centang-perenang. Saat kulminasi musim kemarau. Derajat hawanya setara suhu puncak demam tifoid. Embusan angin begitu kering. Air bersih yang diharapkan menyegarkan berasa payau. Satu-satunya sumber kesejukan adalah oksigen yang dikeluarkan pohon-pohon mangrove di pesisir Desa Teluk Pambang, Kecamatan Bantan.

Tim TelusuRI menemukan itu semua di desa yang terletak di sebelah barat Pulau Bengkalis, Riau. Akibatnya? Tiga personel tumbang. Kepayahan yang didera hanya dari tiga jam keliling mengamati kawasan mangrove sekitar Sungai Kembung dan Pantai Senekip di dekat perairan Selat Malaka.

Di lantai rumah kontrakan milik Samsul Bahri (55), yang jadi sekretariat Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), tubuh kehilangan daya dan sakit kepala. Terbaring lemas mengiba pada tenaga kipas angin—disetel putaran tertinggi—untuk meluruhkan cairan keringat yang terbuang. Kalau masih kurang sejuk, mungkin kami akan memilih rebahan ke masjid di seberang rumah. Ada banyak kipas di sana.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Pak Samsul terlihat anteng mengemudikan perahu bermesin 15 PK menyusuri hutan mangrove di aliran anak Sungai Kembung/Deta Widyananda

Samsul Bahri, tuan rumah sekaligus juru perahu kami tadi, terlihat anteng-anteng saja. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak ada keluhan berarti dari Ketua Kelompok Pengelola Mangrove (KPM) Belukap itu. Ia malah merasa kasihan kepada kami.

“Kekebalan” Pak Samsul, sapaannya, terhadap cuaca membara di Bengkalis tidak tercipta tiba-tiba. Lebih dari dua dekade menanam puluhan hektare mangrove, hanya dibantu seperlunya oleh segelintir orang, kulit pria berdarah Jawa itu sudah berdamai dengan ganasnya sengatan matahari. Bahkan sampai pada taraf nyaris terbakar, terutama ketika beraktivitas di laut karena saking panas dan keringnya. Sesuatu yang ia alami, ia lakoni hampir seumur hidupnya. Setiap hari, selama puluhan tahun. Nyaris tanpa setop.

“Ya, begitulah bapak. Enggak cuma ngurus mangrove, tapi juga sering jadi imam masjid, khatib Jumat. Dulu malah sempat jadi guru ngaji,” tanggapnya. Ia sering menggunakan diksi “bapak” untuk menyebut dirinya, daripada “aku” atau “saya”.

Selama di sana, kami seperti anak yang baru pulang dari perantauan nan jauh. Dan Samsul adalah seorang bapak yang teramat rindu, ingin lekas bertukar cerita dengan anak-anaknya.

Menyambut panggilan laut

Menanam mangrove sebagai jalan hidup tidak pernah terbayangkan Pak Samsul sebelumnya. Masa remaja putra dari pasangan Sucipto dan Sirah, transmigran asal Pacitan, itu lebih banyak ikut orang tuanya menggarap lahan pertanian dan membalak kayu untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Pak Samsul juga membantu pekerjaan sampingan bapaknya, yang memiliki keahlian sebagai tabib—mengobati orang sakit.

Di masa-masa itu, selain bekerja di pertambangan minyak, gas, dan batubara—penopang ekonomi terbesar Bengkalis—banyak orang Bengkalis menyeberang ke Malaysia. Mengadu nasib, mencari kerja apa pun. Biasanya dilakukan selama satu bulan penuh, lalu pulang ke Bengkalis. Begitu seterusnya. Dahulu masyarakat bebas keluar masuk antarnegara. Perbatasan belum seketat sekarang. 

Sampai pada 2002, banjir rob setinggi 50 sentimeter menerjang Teluk Pambang. Dalam setahun, rob biasa terjadi pada bulan Oktober—Desember. Permukiman, rumah penduduk, dan lahan pertanian terendam air asin. Produktivitas karet menurun. Air kelapa tidak lagi segar.

Padahal posisi kediaman Pak Samsul, yang berada di tepi jalan kabupaten, masih berjarak sekitar tiga kilometer dari Pantai Senekip, kawasan pesisir terdekat. Ditengarai salah satu sumber penyebab yang membawa air laut pasang dengan cepat adalah meluapnya aliran anak Sungai Kembung yang bermuara ke laut. Anak sungai itu berjarak setengah kilometer ke arah barat dari rumahnya. Ia juga biasa menambatkan perahu miliknya di sana. 

Mayoritas warga menganggap banjir rob adalah musibah alam semata. Hampir tidak ada satu pun penduduk yang mengetahui pentingnya peran “pagar hidup” mangrove sebagai pelindung pesisir. Sampai-sampai tidak menarik sama sekali untuk dikerjakan. Tidak terkecuali Pak Samsul.

Namun, mengingat besarnya dampak air pasang yang meresahkan dan merepotkan tersebut, kesadaran hati itu akhirnya mengetuk hati pak Samsul. Gejolak laut memanggil, memilih Pak Samsul sebagai lokomotif perubahan di kampungnya.

Suami Siti Wasiah (52) itu menyadari hutan mangrove di belakang rumahnya nyaris gundul. Banyak ditebang dari pucuk batang hingga akar. Pelakunya kebanyakan orang suku lokal suruhan pengusaha panglong arang yang beroperasi di desa-desa pinggiran Sungai Kembung, seperti Teluk Pambang dan Kembung Luar.

Secara keseluruhan kondisi lingkungan rawa dan ekosistem mangrove di Pulau Bengkalis saat itu memang terbilang genting. Salah satu wilayah pesisir paling terancam di Provinsi Riau. Menurut Fikri (2006, seperti dikutip dalam Miswadi dkk., 2017), diperkirakan terjadi penurunan luas hutan mangrove sebanyak 5,25 persen di Pulau Bengkalis dalam kurun waktu 1992—2002. Dari sekitar 8.182,08 hektare pada tahun 1992 menjadi 6.115,95 hektare pada tahun 2002.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Pak Samsul (baju toska) dan Indra, warga suku asli setempat, memilah bibit mangrove di kebun pembibitan KPHM Belukap, Teluk Pambang/Deta Widyananda

“Maka dari itu, bapak ingin memperbaiki tata ruang lingkungan,” ujar Pak Samsul. Ia bertekad menjadikan [pelestarian] mangrove sebagai pekerjaan utamanya. “Satu [hal] yang bapak pikirkan adalah regenerasi anak cucu yang akan datang, karena pada saat ini mungkin alam sudah tidak bersahabat dengan kita. Jadi, mangrove ini perlu kita jaga.”

Konservasi mangrove adalah dunia baru baginya. Pak Samsul, yang waktu itu berusia 35 tahun, segera menemui mendiang Pak Sa’dullah (60), orang Jawa Bengkalis yang juga aktivis mangrove. Di tempat Pak Sa’dullah, ia belajar menanam, memahami peran mangrove, dan potensi ekonominya. Darinya, Pak Samsul seperti mendapat suntikan energi yang dahsyat untuk memulai perjuangan merehabilitasi mangrove.

“Ada satu pesan dari beliau yang bikin bapak masih terngiang sampai sekarang, ‘nek dudu kowe sopo maneh?’ (kalau bukan kamu siapa lagi?).” kenang Pak Samsul.

Tak air hujan ditampung, tak air peluh diurut, tak air talang dipancung. Di tahun yang sama, Pak Samsul tancap gas, mengerahkan segala daya dan upaya menyelamatkan ekosistem mangrove di pesisir Teluk Pambang. Ia mengajak segelintir tetangganya untuk bergiat lingkungan dengan menanam kembali mangrove.

Tahun 2004 Desa Teluk Pambang memiliki dua kelompok pelopor untuk mengelola mangrove dengan skema perhutanan sosial. Kelompok Pengelola Mangrove (KPM) itu terdiri dari KPM Belukap dan KPM Perepat yang diketuai Pak M. Ali B. Keberadaan KPM diperkuat Surat Keputusan Bupati Bengkalis No. 824 Tahun 2004, yang muncul bersamaan saat pendampingan program restorasi mangrove dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari dalam dan luar negeri.

Payung hukum tersebut mendorong Pak Samsul melesat lebih kencang. Tak jarang ia harus menanam mangrove dan patroli sendirian sehari penuh. Ia mencukupi kebutuhan nafkah keluarganya dengan melaut.

Banyak orang mencibir Pak Samsul. Menilai tindakannya sia-sia. Bahkan musuhnya tidak sedikit. Tak terhitung Pak Samsul adu urat dengan pengusaha panglong arang, yang sempat berniat memasukkannya ke penjara.

“Saya dulu juga pernah memergoki oknum polisi perairan (polair) yang main illegal logging. Saya marahi habis-habisan,” ungkap Pak Samsul.

Seiring waktu berjalan, sekarang dampaknya sangat terasa. Mangrove yang sehat berhasil memperlambat laju abrasi dan menghalang banjir rob naik ke permukiman. Hutan mangrove seluas 40 hektare itu tampak rimbun. Di salah satu titik dekat tambak udang vaname, rata-rata batang pohonnya berdiameter tiga inci. Akarnya mencengkeram permukaan tanah berlumpur. Usia pohon sudah mencapai 12—15 tahun, di luar rumpun pohon yang sudah ada sejak lama dan berumur lebih tua. Pohon tertingginya mencapai 20 meter.

Pak Samsul sendiri tidak menyangka “bayi mangrove” yang ia asuh sejak kecil sudah tumbuh sebesar itu. Menurutnya, sama seperti manusia, merawat mangrove juga harus penuh kasih sayang.

Adagium “biarlah waktu yang menjawab” rupanya benar-benar terbukti di Teluk Pambang. Kakek dua cucu itu kini tidak perlu lagi repot-repot menanggapi cemoohan orang-orang.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Bibit-bibit mangrove siap tanam/Rifqy Faiza Rahman

Setiap sentinya berharga

Kegigihan Pak Samsul bersama dua kelompok pelopor pengelola mangrove di Teluk Pambang mengundang atensi banyak pihak. Sejumlah organisasi nirlaba ikut turun mengakselerasi perjuangannya merestorasi mangrove. Salah satu yang menonjol adalah YKAN, yang sejak awal 2022 lalu melaksanakan program Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA) di dua desa sekitar Sungai Kembung, yaitu Teluk Pambang dan Kembung Luar.

Satu di antara sekian inisiatif program tersebut adalah membantu dan mendampingi penyusunan peraturan desa. Temanya tentang perlindungan dan pengelolaan hutan mangrove melalui skema perhutanan sosial. Keluaran yang ingin dicapai adalah alam tetap lestari dan masyarakat tetap bisa memperoleh sumber penghidupan dari alam.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Rumah kontrakan yang dijadikan kantor sekretariat YKAN berdempetan dengan kediaman Pak Samsul (kanan), sekaligus basecamp KPHM Belukap/Rifqy Faiza Rahman

Proses panjang yang dilalui membuahkan hasil. Pada 25 Agustus 2023 lalu, pemerintah desa menetapkan Peraturan Desa Teluk Pambang Nomor 02 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial Desa Teluk Pambang. Poin penting dari aturan ini adalah pembentukan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD), yang diketuai Indra Sukmawan (40), seorang wiraswasta lokal. Selain masih menjadi ketua KPM Belukap, di LPHD Pak Samsul juga duduk di Seksi Perlindungan dan Pengawasan. Putra menantunya, Hasnur Rasid (36), mengemban tugas di Seksi Perencanaan.

Selain KPM Belukap dan Perepat, LPHD menambah delapan kelompok baru, yaitu Bumi Hijau, Lenggadai, Nipah, Berembang, Akit, Api-api, Bumi Pesisir, dan Bakau Putih. Luas kawasan restorasi mangrove pun bertambah signifikan, dari 40 hektare direncanakan menjadi sekitar 1.001,9 hektare. Setiap kelompok bertanggung jawab merawat dan memantau rata-rata 100 hektare hutan mangrove.

Tim TelusuRI sempat diajak Pak Samsul melihat lebih dekat area hutan mangrove di sepanjang tepian menuju muara Sungai Kembung dan kawasan pesisir timur Teluk Pambang. Jalur yang akan dilalui juga menjadi rute patroli Pak Samsul selama empat kali dalam sebulan. Jika naik perahu lewat perairan, jarak dari titik mula dermaga—tempat perahu Pak Samsul terparkir—menuju Pantai Senekip sekitar 13—14 kilometer. Sekitar satu jam perjalanan dengan perahu bermesin 15 PK miliknya, yang juga biasa digunakan melaut untuk cari ikan.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Perahu Pak Samsul yang kami tumpangi sedang melaju di jalur sempit di dalam kawasan konservasi mangrove Teluk Pambang/Deta Widyananda

“Ini mesinnya baru, bantuan program MERA,” ujar Pak Samsul menerangkan mesin tempel perahunya. “Mesin bapak sebelumnya hilang saat malam pulang dari melaut, karena dicuri orang. Bapak lupa bawa pulang.”

Air sedang pasang, yang memang merupakan kondisi ideal untuk membawa perahu ke laut. Di beberapa titik, bagian terdalam Sungai Kembung bisa mencapai 30 meter. Perahu itu meliuk lincah. Mengikuti alur anak sungai di tengah pepohonan mangrove.

Permukaan sungai kecokelatan, memantulkan bayangan pohon-pohon mangrove yang tumbuh merimbun. Beberapa buah dari jenis Xylocarpus granatum seukuran tempurung kelapa menggantung pada ranting yang ramping. Tampak satu-dua ekor biawak muncul ke permukaan lalu kembali menyelam. Sekeluarga monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) asyik bergelantungan dari satu dahan ke dahan lain.

Kami melihat lebih banyak kawanan burung khas pesisir ketika sudah di lepas pantai, antara lain burung kuntul dan elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster). Cuaca sedikit berangin sehingga menyebabkan laut lumayan berombak. Sayang kabut pagi itu cukup pekat sehingga menutupi daratan Kampung Segenting, Johor, Malaysia di kejauhan. Kami hanya menyaksikan bangunan tanggul pemecah ombak sepanjang 600 meter. 

Di sepanjang pesisir itulah Pak Samsul dan para anggota kelompok lainnya menempatkan plot-plot penanaman mangrove. Terutama dekat kawasan wisata Pantai Senekip, perbatasan Desa Teluk Pambang dan Pambang Baru. Setiap plot tanam berupa rumpon berukuran 6×25,5 meter. Total ada 13 rumpon yang dikerjakan per kelompok. 

“Sekarang pohon tertingginya [masih] sekitar satu meter. Yang lain enggak kelihatan kalau lagi pasang,” jelas Pak Samsul. Saat itu air sedang pasang setinggi 1—1,5 meter sejak pukul enam pagi. “Dulu bibir pantai agak jauh, sekitar 100—200 meter. Sekarang tenggelam [karena] laut makin naik.”

Pohon-pohon mangrove yang ditanam Pak Samsul dan kelompok lain merupakan hasil pembibitan di kebun belakang rumahnya. Sedikitnya ada tiga jenis mangrove yang dibudidayakan, yaitu belukap (Rhizophora mucronata), bakau putih (Rhizophora apiculata), dan api-api (Avicennia marina). Ketiganya memiliki keunggulan masing-masing.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Salah satu spesies mangrove yang banyak dibudidayakan di kebun pembibitan Pak Samsul/Rifqy Faiza Rahman

“Api-api cenderung susah disemai dan lebih cocok [ditanam] di dekat perairan daripada di daratan, tetapi batang pohonnya akan tumbuh lebih besar. Kalau belukap atau bakau putih relatif lebih tahan hama,” terang Pak Samsul. Bibit mangrove siap ditanam jika sudah menginjak usia enam bulan.

Ribuan bibit mangrove siap tanam diburu banyak orang atau instansi tertentu yang ingin berkontribusi dalam pelestarian lingkungan hidup. Biasanya dibeli dengan skema donasi untuk kegiatan pribadi, komunitas, hingga sektor pemerintahan. Baik di level nasional maupun internasional.

Saking tidak teganya mengeruk uang dari mangrove, ia menerapkan tarif donasi—yang rasanya—terlalu murah dan kurang sepadan dengan miliaran butir cucuran peluh yang menguap. “Per bibitnya Rp1.500—2.000,” kata Pak Samsul menunjukkan bibit setinggi 30—40 sentimeter.

Dalam satu bibit, harga donasi tersebut sudah mencakup biaya polybag, tanah, dan pengambilan propagul (indukan bibit mangrove). Propagul yang digunakan harus diambil dari pohon mangrove berusia minimal 15 tahun agar bibit tumbuh maksimal dan tahan hama. 

Pasar bibit mangrove Pak Samsul termasuk salah satu yang terbesar di Riau, selain milik kelompok Pak Darsono di Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti. Ada juga pelaku lama di Dumai, tetapi skalanya lebih kecil.

Pak Samsul tak ambil pusing jika ada beberapa bibit yang gagal melewati “seleksi alam”. Biasanya pertumbuhan tunas kurang sempurna dan ia harus menggantinya dengan bibit baru. Mengulang proses dari awal. Namun, ia mengaku akan tetap menanam bibit tersebut. Setiap senti batang yang bertumbuh sangat berharga. Baginya itu seperti merepresentasikan komitmennya pada konservasi mangrove.

“Kalau tak laku tanam sendiri, kalau laku alhamdulillah jadi ekonomi. Pokoknya tanami terus,” ujar Pak Samsul tegas.

Masa depan perdagangan karbon

Per September 2023, Indonesia resmi terjun ke perdagangan karbon dunia. Langkah progresif tersebut ditandai dengan pemberian izin usaha penyelenggara Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Mekanisme teknis jual beli karbon diatur dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon. Sistem pencatatan transaksi unit karbon dan basis data IDXCarbon terintegrasi dengan Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Sebagai implementasi dari Perjanjian Paris 2015 (COP21), sejak 2020 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) meminta setiap negara menentukan bentuk kontribusi iklim secara nasional, atau disebut Nationally Determined Contributions (NDCs). Langkah ini merupakan percepatan aksi untuk target jangka panjang menurunkan emisi hingga nol pada 2060. 

Indonesia memiliki target mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 29 persen (dilakukan sendiri) dan 41 persen (melalui kerja sama internasional) pada 2030. Terdapat lima sektor, sesuai kategori NDC, yang menjadi fokus utama pengendalian iklim dan reduksi emisi melalui perdagangan karbon, yaitu energi, limbah, industri dan proses produksi, pertanian, serta kehutanan dan penggunaan lahan lainnya.

Siapa pun bisa terlibat dalam perdagangan karbon, selama mampu memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. Mulai dari perorangan, badan hukum, perusahaan, asosiasi, maupun kelompok masyarakat yang terorganisasi. Tidak terkecuali LPHD Teluk Pambang. 

Sebelum bergerak lebih jauh di Bursa Karbon, didampingi oleh YKAN, di tahap awal LPHD Teluk Pambang sedang mengajukan permohonan ke Menteri LHK untuk mendapatkan payung hukum pengelolaan hutan desa. Luasnya 1.001,9 hektare, dengan rincian sekitar 996 hektare Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan sisanya Areal Penggunaan Lain (APL). Tutupan lahan tersebut didominasi oleh vegetasi mangrove, yang juga diandalkan untuk menghasilkan nilai ekonomi melalui perdagangan karbon.

Mengacu pada Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan, rehabilitasi mangrove merupakan satu dari 22 aksi mitigasi perubahan iklim. Bersama dengan gambut, pengelolaan mangrove juga ditetapkan sebagai komoditas perdagangan karbon di sektor kehutanan.

Rasid menyatakan perdagangan karbon menjadi salah satu tujuan pemanfaatan kawasan hutan desa Teluk Pambang. Target lainnya adalah perlindungan mangrove, ekowisata, budidaya perikanan, produk turunan mangrove, dan pertanian—kelapa, karet, pinang, dan sawit dalam skala kecil. Ia mengakui ada potensi ekonomi luar biasa dari perdagangan karbon mangrove.

Pria kelahiran Teluk Sungka, Indragiri Hilir itu sudah mencoba membuat perhitungan sederhana. Dari satu hektare lahan mangrove, yang berisi sedikitnya 5.000 pohon dengan jarak tanam 50—100 sentimeter, berdasarkan hasil penelitian YKAN terdapat potensi 1.900 ton karbon yang dihasilkan. Dengan asumsi harga termurah $5 per ton karbon, maka LPHD bisa menerima uang $9.500 atau sedikitnya berkisar 145 juta rupiah. Sementara luas hutan desa yang akan dikelola mencapai seribu hektare. Bisa dibayangkan betapa besar potensi pundi-pundi uang yang akan diterima. Hasilnya bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Masa depan cerah tampak nyata adanya untuk Teluk Pambang. Belum lagi peluang dari pengelolaan ekowisata maupun pembuatan produk turunan mangrove.

Setiap negara di dunia memang diminta “ambisius” mengurangi emisi karbon. Namun, di sisi lain perdagangan karbon seperti dua mata pisau. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan di Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, mengingatkan potensi kerawanan dan ketidakadilan dari konsep perdagangan karbon untuk mewujudkan keadilan iklim dunia.

Dalam tulisan opini berjudul Keadilan Iklim: Keluar dari Jebakan Greenwashing di Forest Digest (04/12/2023), ia meminta negara mewaspadai modus greenwashing. Greenwashing adalah situasi paradoks. Seseorang maupun perusahaan melakukan klaim palsu terhadap produksi atau tindakan yang dibuat atas nama ramah lingkungan dan keberlanjutan. Menutupi realitas sebenarnya, yang acap kali bertolak belakang dengan bahasa-bahasa manis di permukaan.

Hariadi mengutip salah satu catatan pemikiran dari Bernice Maxton-Lee, yang menulis Narratives of sustainability: A lesson from Indonesia (2018) di jurnal Soundings terbitan Lawrence Wishart, Inggris. Poinnya, jika pengelola hutan—dalam hal ini masyarakat akar rumput—bisa dibayar mahal agar membiarkan hutan mereka menyerap karbon, sementara polusi dan buangan emisi yang dihasilkan oleh pembayar karbon tersebut di tempat lain seolah dapat “dikompensasi”, berarti perdagangan karbon malah bukan menjadi solusi berkelanjutan. Justru yang terjadi adalah ketidakadilan iklim.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Penulis membawa sekarung bibit mangrove di kebun pembibitan Pak Samsul. TelusuRI turut mendonasikan 200 bibit untuk mendukung konservasi mangrove di Teluk Pambang/Mauren Fitri

Di satu sisi berjuang menghambat laju pendidihan global, di sisi lain aktivitas industri ekstraktif terus berjalan dan kadang lepas kontrol. Di sinilah peran pemerintah untuk lebih berani menjadi batas. Salah satu upaya mendesak yang bisa dilakukan adalah membuat Undang-Undang (UU) khusus tentang Keadilan Iklim. Sebuah peraturan flagship, mengatur aksi iklim yang berbasis keadilan ekonomi dan berpihak pada masyarakat. Merekalah kelompok yang hidup paling dekat dan sangat mengenal dengan alamnya sendiri. Masyarakat berhak memilah partner pembayar karbon yang tidak berpotensi greenwashing.

Yang menarik, Rasid seolah sadar melihat kacamata lain dari perdagangan karbon, tetapi tidak ia sampaikan secara eksplisit. Ia hanya bilang, tidak ingin terlalu membubungkan harapan pada perdagangan karbon semata. Ada urgensi yang jauh lebih penting untuk dikejar.

Dengan berulang-ulang, ia menekankan kepada semua kelompok tetap fokus sesuai target utama pembentukan LPHD, “Kita [harus] lebih banyak [memperluas kawasan] perlindungan daripada pemanfaatan, karena [prioritas kawasan] perlindungan bisa menjadi acuan untuk perdagangan karbon ke depannya.”

Senada dengan sang menantu. Meskipun menyiratkan asa, Pak Samsul menitip pesan penting. Mengutip perkataan bapak mertuanya, Rasid berujar, ”Kita menanam satu pohon mangrove itu sudah dapat pahala. Kita enggak usah hitung duitnya. Yang penting banyak manfaatnya [bagi] orang di seluruh dunia, walaupun [hanya] dari satu batang.”

Tidak ada rem di kaki Pak Samsul

Jauh sebelum dunia mulai berkampanye mewujudkan keadilan iklim, Pak Samsul sudah menciptakan keadilan iklimnya sendiri. Dari puluhan hektare yang ditanam sendirian selama hampir dua dekade, kini meluas menjadi 1.001,9 hektare. Dirawat bersama dengan kelompok-kelompok masyarakat anggota LPHD Teluk Pambang.

Ia telah memastikan jaminan lingkungan hidup dari asrinya hutan mangrove kepada anak cucunya. Menyediakan ruang tumbuh burung-burung, herpetofauna, hingga menyamankan tempat tidur bagi kawanan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).

Tidak akan mudah mencari orang segila dan seulet Samsul Bahri. Apalagi mengharapkan pada anak-anak muda. Satu banding seribu—bahkan sejuta. Kenyataan ini diakui Herna Hernawan atau Pak Wawan (57), guru olahraga SMAN 3 Bengkalis kelahiran Garut dan anggota KPM Belukap. Ketika ditanya testimoninya soal Pak Samsul, ia mengacungkan dua jempol dan menggelengkan kepala; tanda setuju jika tetangganya itu memang gila. Begitu pun Rasid, yang merasa masih harus banyak belajar. Memelihara dan mempertahankan yang sudah ada tidak kalah berat daripada menanam.

Apalagi masih banyak tantangan yang dihadapi, antara lain regenerasi. Dari 105 anggota LPHD Teluk Pambang, yang tersebar ke 10 kelompok, hanya sekitar 10—15 persennya merupakan anak muda.

Menurut Rasid, kebanyakan dari anak-anak muda di Teluk Pambang lebih memilih mencari kerja atau melanjutkan kuliah di luar Bengkalis. Kalaupun ada, perlu waktu lama untuk dibina. Kecanduan pada gawai dan gim daring juga berpengaruh besar. Berkecimpung di mangrove tampak tidak menjanjikan bagi mereka.

Namun, Rasid tidak ingin terlalu khawatir. Ia memiliki strategi khusus dalam jangka panjang untuk mengatasi itu. 

“Kalau dari aku pribadi, aku pengin jalan [kerja] dengan yang tua dulu. Begitu berhasil, baru kita gandeng anak muda,” ujarnya. Ia memahami anak-anak muda perlu ruang untuk tetap hidup, sehingga lebih memilih pekerjaan yang pasti menghasilkan.

Memupuk harapan regenerasi berkelanjutan perlu energi dan sinergi. Itulah yang diharapkan Pak Samsul. Ia sudah babat alas, tinggal yang muda yang meneruskan perjuangannya. Ia hanya ingin pemerintah pusat dan daerah mau bersinergi dengan kelompok masyarakat pengelola hutan mangrove, agar ada sinkronisasi kebijakan dan jaminan keberlanjutan. 

Selain tantangan regenerasi, LPHD Teluk Pambang juga masih harus siaga menghadapi “musuh lama”, yaitu perambahan dan pembalakan liar oleh pengusaha panglong. Meskipun saat ini sudah tidak beroperasi di wilayah Teluk Pambang, tidak menutup kemungkinan para pembalak tersebut akan kembali secara diam-diam. Di sisi lain, Pak Samsul sebenarnya masih berupaya merangkul pemain panglong atau orang suku lokal agar ikut menjaga mangrove. 

Pak Samsul sempat mengenalkan kami kepada Indra, orang suku Akit, kelompok adat terpencil di Bengkalis. Dulunya ia bersama istri dan seorang anaknya tinggal di rumah apung di pinggiran Sungai Kembung. Dekat Jembatan Kembung Luar dan pabrik panglong arang. Kini sudah pindah dan membangun rumah panggung di satu area lahan pembibitan mangrove KPM Belukap. Sosoknya malu-malu. Meski tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia, ia murah senyum.

“Dulu kerjanya cari kayu mangrove buat panglong. Makan cari ikan di sungai,” tutur Pak Samsul. “Bapak enggak tega lihatnya. Makanya bapak suruh pindah ke sini dan bantu bapak ngurus mangrove, biar anak dan istrinya enggak tinggal di pinggir sungai lagi.”

Perjalanan konservasi memang selalu akan mengesampingkan garis finis. Bukan cuma lembaga yang harus terus berjuang, Pak Samsul pun tidak mengenal kata selesai dalam kamus hidupnya. Tidak ada rem sepakem apa pun yang bisa menghentikannya, sampai napas melepas embusan terakhir. 

Selama istri merestui, Pak Samsul tidak akan berhenti menanam dan merawat mangrove di Teluk Pambang. Kendati kurang begitu memahami dunia konservasi mangrove, Bu Siti Wasiah mengaku selama ini selalu mendukung dengan caranya sendiri.

“Sudah terserah Bapaklah,” celetuk Bu dengan senyum lebar, “saya cuma bisa bantu dari dapur saja, masak. Bikin makanan buat keluarga.” 

Tidak terkecuali malam itu. Hidangan nasi putih, bihun, sayur tumis tempe, kari ayam, dan kerang tersaji di ruang tamu rumah Pak Samsul. Tak lupa camilan keripik ubi balado bikinan Bu Siti Wasiah dan anggota kelompok UMKM Asy-Syura. Kami berkumpul, makan, dan berbincang hangat serasa tiada sekat. Suasana seperti ini yang mungkin menguatkan tekad baja Pak Samsul mengasihi mangrove sampai detik ini. (*)

Referensi

Fikri R. (2006). Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Mendeteksi Perubahan Mangrove di Pulau Bengkalis Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pekanbaru.
Miswadi, Firdaus, R., dan Jhonnerie, R. (2017). Pemanfaatan Kayu Mangrove oleh masyarakat Suku Asli Sungai Liong Pulau Bengkalis. Dinamika Maritim Volume 6 Number 1, Agustus 2017.


Foto sampul:
Foto udara Sungai Kembung yang membelah hutan mangrove Teluk Pambang, Bengkalis, Riau. Beberapa kelompok masyarakat setempat aktif merestorasi mangrove dan menjemput peluang perdagangan karbon dunia/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/samsul-bahri-bapak-mangrove-dari-bengkalis/feed/ 0 40478
Suara Kerang di Hutan Mangrove https://telusuri.id/suara-kerang-di-hutan-mangrove/ https://telusuri.id/suara-kerang-di-hutan-mangrove/#respond Sat, 28 Oct 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39961 Hutan mangrove itu riuh. Saya bisa mendengar bunyi berbagai jenis burung. Kuntul, raja udang biru, cekakak, dan entah apa lagi. Di antara itu semua, saya mencoba menangkap sebuah suara. “Coba kamu dengar itu” kata Ipung....

The post Suara Kerang di Hutan Mangrove appeared first on TelusuRI.

]]>
Hutan mangrove itu riuh. Saya bisa mendengar bunyi berbagai jenis burung. Kuntul, raja udang biru, cekakak, dan entah apa lagi. Di antara itu semua, saya mencoba menangkap sebuah suara. “Coba kamu dengar itu” kata Ipung. Saya memejamkan mata, mencoba menajamkan indera pendengaran. Terdengar bunyi “klak” kecil—saya tak tahu lagi harus menyebutnya apa. Ipung melihat saya. “Dengar, kan? Itu suara kerang,” katanya.

Rasanya sudah cukup lama sejak terakhir kali saya mencari kerang. Biasanya, saya menunggu waktu-waktu tertentu di mana orang kampung berbondong-bondong ke pantai untuk mengumpulkan kerang. Oleh karena itu, saat Bibi mengajak saya ikut mencari kerang, saya bertanya, memangnya sekarang musim kerang?

Kami berangkat sore hari. Usai azan Asar berkumandang, kami menenteng ember dan kursi kecil. Dengan topi di kepala, saya siap beraksi.

Hanya lima menit mengayuh sepeda, saya tiba di tepi pantai. Angin berembus. Burung-burung terbang di atas mangrove. Saya mengamati mereka. Ada dara laut, cekakak suci, cangak merah, dan… ah, tidak, ini bukan saatnya birdwatching. Tak lama, Bibi, Elly, Ipung, dan Syifa menyusul. Air surut, kami turun ke laut.

“Di mana tempatnya?” tanya saya.

“Di situ, di mangrove,” jawab Elly.

“Bukannya biasanya di pasir, ya?”

“Enggak, kita cari di situ saja.”

Suara Kerang di Hutan Mangrove
Berjalan menuju hutan mangrove/Asief Abdi

Berburu Kerang

Kami melangkah ke hutan mangrove. Tanpa alas kaki, saya harus waspada memilih pijakan. Salah sedikit, tiram atau cangkang siput bisa melukai telapak kaki. Biasanya, orang-orang menggunakan kaus kaki atau sepatu. Namun, saya lebih suka bertelanjang kaki dan merasakan lumpur menyentuh kulit. Benar saja, tak butuh waktu lama saya merasakan goresan-goresan kecil di tapak kaki. Lama-lama perih juga.

Lumpur menelan setiap langkah. Benar-benar lambat, tetapi kami tiba juga. Pohon api-api menyambut. Akar-akarnya mencuat ke permukaan. Jika lazimnya akar tunduk pada gravitasi, tumbuhan dari genus Avicennia ini memiliki akar napas yang malah tumbuh ke atas. Geotropisme negatif, kata buku biologi.  Bagus, setelah menghindari tiram, sekarang saya harus berhati-hati agar kaki saya tak tertancap akar-akar itu.

“Ini serius mau cari kerang di sini?” saya setengah protes.

“Iya, kemarin aku juga ke sini dan dapat satu ember,” jawab Elly.

“Ini tempat rahasia. Coba lihat, sepi, kan?” Ipung menimpali.

Ya, tempat itu sepi karena hanya orang bodoh yang mau menyiksa kakinya dengan masuk ke situ.

Suara Kerang di Hutan Mangrove
Hasil tangkapan Ipung/Asief Abdi

Ipung langsung mencari tempat. Ia mengenakan sarung tangan, membenamkan tangannya ke lumpur sambil meraba-raba. Tiba-tiba ia tersenyum. Anak muda itu mengeluarkan tangannya dari lumpur dan memperlihatkan tangkapannya.

“Ini kerang minnyan, dagingnya besar,” katanya.

Saya berjongkok dan turut mencari. Benar, saya di sini untuk mencari kerang, bukan bikin konten. Saya meraba-raba lumpur dan merasakan sesuatu lalu mengangkatnya. Kerang pertama saya hari ini. Saya menunjukkannya pada Ipung.

“Itu kerang parot, dagingnya kecil, tetapi enak juga,” ia menanggapi.

Saya tak tahu jenis-jenis kerang. Usai mengamatinya sejenak, saya masukkan kerang itu ke ember. 

“Jadi, kalian memang sering cari kerang ke sini?” tanya saya.

“Enggak, ya, sesekali saja, buat hiburan. Hasilnya juga buat dimakan sendiri, bukan dijual,” jawab Ipung santai sambil melemparkan kerang ke ember.

Dia memberi tahu saya bahwa kerang mengeluarkan bunyi. Saya tak tahu kalau binatang itu bisa melakukannya. Apakah itu suara ketika mereka makan atau masuk ke dalam lumpur, entahlah. Namun, tetap saja itu menarik.

Ipung kemudian menunjukkan tempat-tempat yang berpotensi dihuni kerang. Jarinya menunjuk permukaan dengan serpihan cangkang kerang mati. “Biasanya di situ banyak kerang sembunyi. Pintar mereka itu, biar dikira enggak ada kerang di bawahnya,” jelasnya.

Ah, yang benar saja. Saya skeptis. Sepertinya itu logika dia saja. Meski begitu, ia terus memungut kerang demi kerang, sementara saya menjamah tanpa hasil.

Kami berpindah dari satu tempat ke tempat lain di sekitar pohon api-api. Karena tak membawa kursi kecil, saya harus berjongkok. Lutut saya pegal. Ipung sudah menanggalkan sarung tangannya. Tampaknya ia tak nyaman jika kulitnya tak merasakan target secara langsung. Jika kaki saya sudah lecet-lecet, kini giliran tangan saya yang tergores tiram atau benda tajam lainnya di dalam lumpur. Namun, saya mulai terbiasa dengan cara ini. Barangkali, beginilah yang dilakukan para leluhur dulu. Menghabiskan waktu di pantai sambil memungut kerang dan binatang laut lainnya untuk camilan jelas bukan ide buruk.

Kerang, Mangrove, dan Lautan

Kerang merupakan makanan lezat. Kecuali para pengidap alergi seafood, semua orang sepakat soal itu. Manusia rupanya telah menyukai rasa daging kerang sejak ribuan tahun lalu. Tentu saja, mengumpulkan kerang tak seperti mengejar hewan buruan besar yang butuh banyak energi. Jika hidup sebagai seorang pemburu pengumpul, saya lebih memilih menghabiskan berjam-jam di pantai mengumpulkan kerang daripada berburu mamut. James Suzman, dalam bukunya yang berjudul Work, menulis bahwa komunitas manusia awal yang tinggal di pesisir biasa mengumpulkan kerang untuk dimakan. 

Tak terasa sudah satu jam kami berjibaku dengan lumpur. Ember saya sudah setengah penuh—terdengar sangat optimistis. Sesekali saya berdiri untuk menghibur kaki yang lama tertekuk. Elly dan Bibi sibuk mencari tempat yang pas. Sepertinya, mereka tak mendapat banyak tangkapan. Syifa, entah di mana anak itu. Ia sudah biasa masuk ke dalam rimbunnya mangrove bersama Ipung, kakaknya, untuk mengumpulkan berbagai jenis kerang.

Suara Kerang di Hutan Mangrove
Syifa di tempat favoritnya/Asief Abdi

“Memangnya mencari kerang bisa setiap waktu?” tanya saya.

“Kalau kerang tertentu, seperti lorjhu’, memang ada musimnya. Tapi, kalau kerang macam ini nggak usah nunggu waktu. Langsung saja,” jelas Ipung.

“Kok nggak ada orang selain kita, ya?”

“Orang-orang pada enggak tahu kalau di sini banyak kerang.”

Ipung menunjuk sesuatu di lumpur.

“Lihat itu. Dia ada di permukaan.”

“Oh, ya? Mana?”

Saya menajamkan pandangan. Itu bukan gundukan lumpur. Seekor kerang menyembul ke permukaan. Cuma sedikit, mata orang akan melewatkannya dengan mudah. Saya mencongkelnya dari lumpur. Seekor kerang parot. Barangkali ia sedang mengisap makanan atau bernapas dan harus muncul ke permukaan.

Kerang merupakan filter feeder, ia menyaring dan memakan plankton di perairan. Oleh karena itu, mereka berperan sebagai pembersih lautan, seperti ginjal di tubuh manusia. Dengan memakan ganggang mikroskopik, kerang mencegah blooming algae dan memelihara air tetap jernih. Selain itu, binatang bercangkang itu juga penting dalam siklus biogeokimia lingkungan akuatik. Lebih-lebih di daerah pesisir Madura yang memiliki banyak tambak udang.

Suara Kerang di Hutan Mangrove
Pohon api-api dan akar napasnya/Asief Abdi

Aktivitas budidaya udang menghasilkan limbah nitrogen. Sisa-sisa pakan mencemari lingkungan, membuat air berbau busuk dan berbuih. Keberadaan kerang di hutan mangrove bisa menjadi penyelamat ekosistem berkat perannya dalam daur nitrogen.

Namun, gaya hidup semacam itu bukan tanpa konsekuensi. Kerang akan mudah mengakumulasi polutan di suatu perairan. Itulah sebabnya banyak kerang di daerah-daerah tertentu tak layak dikonsumsi karena terpapar logam berat, seperti yang terjadi pada kerang hijau di Teluk Jakarta. Beruntung Madura bukan kawasan Industri yang punya banyak pabrik penghasil limbah beracun. Jadi, tampaknya, para kerang bisa menghirup air segar di sini. Namun, bukan berarti tak ada ancaman bagi kerang dan ekosistemnya.

Dilansir dari situs Mongabay, hutan mangrove Madura banyak dibabat untuk dijadikan tambak udang. Di daerah-daerah tertentu juga banyak reklamasi yang mencaplok lahan mangrove. Orang-orang membangun rumah di tepi laut, menimbun lahan tak bertuan dengan batu dan tanah terlebih dahulu. Jalan-jalanlah ke Sampang dan kamu akan melihat bagaimana orang membuat petak-petak di tepi laut.

Hilangnya ekosistem mangrove bukan hanya ancaman bagi biota air, tetapi juga ekosistem pantai. Daratan akan lebih rentan terkena abrasi. Saat naik bus beberapa waktu lalu, saya ngeri ketika bus melintasi jalan raya di pinggir laut. Saat itu air pasang dan hempasan ombak hampir mencapai jalan raya. Barangkali, suatu saat, Madura—dan kawasan pesisir di tempat lain—akan tenggelam. Dan, siapa sangka, meningkatnya suhu bumi juga mengancam eksistensi kerang dan kerabatnya.

Mendidihnya suhu bumi disebabkan polusi CO2. Elizabeth Kolbert dalam bukunya, Kepunahan Keenam, menjelaskan bahwa tingginya kadar CO2 di laut—benar, CO2 tak hanya terakumulasi di udara—menyebabkan pengasaman samudra. Menurunnya pH air laut mempersulit klasifikasi moluska. Akibatnya, bivalvia dan hewan lunak lainnya kesulitan membuat cangkang. 

Suara Kerang di Hutan Mangrove
Mencari kerang sambil mengobrol/Asief Abdi

Pulang

Langit kian lembayung. Tak terasa, kami sudah dua jam di antara pepohonan api-api. Air makin surut, menyisakan gundukan-gundukan pasir yang menyembul ke permukaan. Ember saya hampir penuh. Sepertinya cukup untuk lauk esok hari. 

“Sudah mau Magrib. Ayo, pulang!” seru Bibi di kejauhan.

Apaan, masih jam segini. Tunggu sampai azan,” balas Syifa.

“Enggak asyik ngajak orang tua,” timpal Ipung.

Di bawah langit senja, kami berkelakar. Tangkapan kami cukup banyak. Kerang yang terkumpul tinggal dibersihkan lalu dimasak. Jika tak dibersihkan dengan benar, mulutmu akan penuh pasir saat memakannya.

“Ayolah, kita pulang saja,” kata Elly sambil menengok hasil tangkapannya. Rupanya setengah ember sudah cukup baginya.

“Oke, kalian bagaimana?” tanya saya pada Ipung dan Syifa.

“Kalian duluan saja, kami masih betah, nih,” jawab Ipung.

Kakak beradik itu memang tinggal tak jauh dari laut. Jadi, saya pikir tak perlu dikhawatirkan. Mereka kenal pantai itu seperti telapak tangannya sendiri. Kami menyibak rimbunnya api-api. Air surut meringankan langkah kami. Di ufuk barat, matahari tenggelam di cakrawala, meninggalkan berkas-berkas cahaya. Ia tengah pulang, begitu pula kami.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Suara Kerang di Hutan Mangrove appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/suara-kerang-di-hutan-mangrove/feed/ 0 39961
Apakah Tambakrejo akan Tenggelam? https://telusuri.id/apakah-tambakrejo-akan-tenggelam/ https://telusuri.id/apakah-tambakrejo-akan-tenggelam/#respond Thu, 05 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36815 Jalan masih lengang pagi itu, ketika saya bersama tiga orang kawan menyusuri Semarang. Tujuan kami adalah Mangrove Edupark Tambakrejo. Bersama LindungiHutan dan Kelompok CAMAR (Cinta Alam Mangrove Asri dan Rimbun), kami akan menanam sebanyak 1.130...

The post Apakah Tambakrejo akan Tenggelam? appeared first on TelusuRI.

]]>
Jalan masih lengang pagi itu, ketika saya bersama tiga orang kawan menyusuri Semarang. Tujuan kami adalah Mangrove Edupark Tambakrejo. Bersama LindungiHutan dan Kelompok CAMAR (Cinta Alam Mangrove Asri dan Rimbun), kami akan menanam sebanyak 1.130 bibit pohon mangrove hasil dari kampanye Pendekar Lingkungan TelusuRI di sana.

Roda kendaraan kami mengaspal jalan, dari Jatingaleh menuju Pelabuhan Tanjung Mas. Truk tronton merayap parkir di sayap kiri, pada sepanjang jalan menuju gang masuk kawasan Tambakrejo. Usai melewati pabrik-pabrik di kawasan pelabuhan, kami berhenti tak sampai satu menit pada sebuah masjid berwarna hijau di kiri jalan. Aroma “asin” mulai tercium, menjadi tanda bahwa tujuan kami sudah dekat. “Ini kita jalan saja lurus mentok, lalu belok kiri,” ucap saya pada dua kawan lain yang mengendarai motor berbeda.

Jalan aspal mulus berganti dengan tanah kering. Kami memperlambat laju kendaraan karena jalan bergelombang. Gapura “Selamat Datang di Tambakrejo” dengan warna merah khas salah satu BUMN menghantarkan kami masuk ke kawasan Tambakrejo. Aroma khas pinggir pantai makin terasa. Begitu juga dengan udara yang terasa panas, menyengat meski matahari belum naik ke atas kepala.

Sekitar satu kilometer setelahnya, di depan Sekretariat CAMAR, Pak Yazid menyambut kedatangan kami dengan hangat. “Silakan masuk ke dalam Mbak, yang lain sudah menunggu di dalam.”

Sehari sebelumnya, beliau mengucurkan banyak rasa terima kasih karena kami karena “kembali” ke Tambakrejo. Dua tahun lalu, saya memang sempat singgah ke sini, melakukan hal yang sama dengan apa yang akan saya lakukan hari ini. Kali ini masih dengan misi yang sama, namun dengan teman perjalanan yang berbeda, saya datang mewakili para Pendekar Lingkungan yang sudah berdonasi pohon mangrove untuk penghijauan pesisir Tambakrejo.

Di sudut lain, Pak Julaimi, Ketua Kelompok CAMAR sedang asyik berbincang dengan Rivai dan Rifqi. Ketiganya tampak begitu serius. Saya menyela obrolan seru mereka dan memberikan informasi bahwa kegiatan akan segera kami mulai.

persiapan acara
Persiapan sebelum acara dimulai/Mauren Fitri

Semua berkumpul. Ada 12 orang selain anggota Kelompok CAMAR yang akan ikut menyeberang. Tiga dari LindungiHutan, lima dari TelusuRI, dan sisanya adalah relawan. Hasan memberikan arahan perjalanan ini, sebelum akhirnya kami menaiki kapal lalu menyeberang.

Langit Semarang membiru, matahari makin naik. Suara deru kapal menemani perbincangan kami yang kebanyakan baru saling kenal pagi hari itu.

“Dulu kawasan ini merupakan area tambak atau budidaya ikan. Rejo artinya hasilnya melimpah sekali. makanya orang menamainya Tambakrejo,” Pak Julaimi membuka diskusi di gazebo edupark.

“Pada waktu saya masih lulus SD, kiranya sekitar tahun 1986, untuk ke bibir pantai, saya harus berjalan satu setengah kilometer dari pemukiman. Parah-parahnya sekitar tahun 2000-an, abrasi mulai mengguncang kawasan ini. Pada tahun tersebut, saat saya buka pintu belakang rumah, ternyata sudah laut.”

Tahun 2011 baru Kelompok CAMAR didirikan. Dari sini para anggota kelompok yang terdiri dari masyarakat setempat bertekad untuk mengembalikan tanah mereka yang kini tenggelam. Tanah yang dulunya tambak, tanah yang dulunya identik dengan mangrove.

Pak Julaimi melanjutkan, “Dulu, menurut orang tua saya, mangrove itu adalah benalu karena akar-akarnya menjadi tempat ikan bersembunyi sehingga pas musim panen, tangkapan nggak maksimal.”

Lain dulu, lain pula sekarang. Kondisi Tambakrejo sangat jauh berbeda. Pak Yazid, kemudian melanjutkan sesi diskusi mengenai mangrove itu sendiri. Jenis apa saja yang tumbuh di sini, hingga bagaimana mangrove dapat bermanfaat untuk masyarakat selain untuk mengembalikan ekosistem Tambakrajo. Kami berjalan perlahan, mengitari jalur trekking yang terbuat dari bambu sepanjang kurang dari 300 meter.

“Awalnya, kawasan ini menjadi tempat untuk memberikan edukasi mangrove kepada orang-orang yang berkunjung. Sayangnya, tak banyak orang yang singgah. Apalagi saat pandemi. Apa yang kami bangun, akhirnya kurang maksimal. Hanya segelintir orang saja yang datang, itupun kebanyakan dari mahasiswa dan akademisi; bukan wisatawan.”

Bapak paruh baya yang mengenakan kaus hijau dengan logo LindungiHutan ini seorang nelayan ikan di Tambakrejo. Selain menjadi nelayan, ia juga menjadi petani pohon mangrove bersama kelompok CAMAR. Ia melakukan pembibitan mangrove di atas lahan sempit, di belakang rumahnya. Pak Yazid dan Kelompok CAMAR mulai melakukan pembibitan secara otodidak, berdasar pada pengalaman dan berguru pada stakeholder yang lebih ahli di bidang ini. 10 tahun sudah ia bergabung di kelompok ini, bahkan ia mendapatkan julukan “profesor” karena pengalamannya berjibaku dengan mangrove.

“Ayo kita ke lokasi penanaman,” ajaknya kepada kami semua setelah menghabiskan sekitar 20 menit di edupark. Kami kembali naik ke atas kapal, Pak Yazid memimpin di depan. Mesin kapal kali ini tak dinyalakan, Pak Yazid dengan galahnya yang panjang mendorong kapal perlahan menuju titik penanaman. Tak jauh ternyata, hanya sekitar 20 meter, namun tak bisa dijangkau dengan jalan kaki.

Kaki kami mulai basah. Tak ada dermaga untuk mendaratkan kaki-kaki ini. Sampah-sampah di bibir pantai pun menyambut. Saya dan kawan-kawan lain yang baru kali pertama tiba di sini tiba-tiba terperangah mendapati ada makam yang tenggelam juga ikut mengucapkan selamat datang.

“Dulu ada jalan dari sana, sampai sini. Sekarang jalan itu ikut tenggelam, jadi makam ini tidak digunakan lagi,” terang Pak Yazid pada kami.

Sebagian makam memang sudah ada yang dipindahkan, namun tidak semua. Biaya untuk memindahkan makam memang tak murah, gumam saya. Menariknya, saya menemukan makam yang terbilang baru. Di nisannya tertulis meninggal pada tahun 2014 dan 2015—artinya, pada masa itu area tersebut belum tenggelam. Kalau saya hitung, jaraknya hanya sekitar 7 tahun dari sekarang. Cepat juga tenggelamnya!

Fakta lain yang baru saya tahu, ternyata tak hanya air laut yang naik hingga menyebabkan Tambakrejo tenggelam, tetapi juga ada penurunan muka tanah. “Beberapa tahun sekali, warga di sini meninggikan rumah mereka setidaknya satu hingga dua meter, Mbak.” Pak Yazid menjelaskan.

“Di mana ada reklamasi, di situ ada abrasi. Lihat saja itu pelabuhan, reklamasi bukan? Abrasinya di sini, Mbak,” sahut Pak Julaimi.

Meninggikan rumah supaya tidak terkena banjir rob, apakah solusi? Entahlah, saya tak mau berpikir berat siang itu. Matahari makin menyengat, yang berarti tanda untuk kami harus bergegas untuk mulai menanam.

Sebanyak enam orang anggota Kelompok CAMAR sudah memulai penanaman lebih dulu sehingga kami bisa melanjutkannya. Satu per satu dari kami mengambil bibit-bibit mangrove yang setiap polybag-nya berisi dua batang bibit. Tujuannya, jika satu pohon mati, masih ada pohon lain yang akan berpeluang hidup. “Kita, manusia saja diciptakan berpasang-pasangan. Begitu juga mangrove,” canda Pak Julaimi pada kami.

  • Peserta tanam mangrove
  • anggota CAMAR
  • Penanaman mangrove

Keringat mengucur sedikit demi sedikit dari kepala dan punggung kami. Topi di kepala tak cukup untuk menghalau panas. Kami pun mempercepat penanaman. “Ini caranya begini, gali dulu tanahnya, lalu masukkan polybag ke dalamnya. Setelah itu, tutup dengan tanah lagi.” Pak Yazid tampak menjelaskan bagaimana cara menanam mangrove yang benar kepada kami. Tentu, tak boleh asal tanam supaya bibit-bibit ini tetap bisa tumbuh dan bertahan saat air laut pasang nanti.

“Rata-rata, tingkat kehidupannya di atas 90%. Jadi nggak usah khawatir. Asal pohon-pohon ini tidak jatuh, dia akan tumbuh ke atas.”

1.130 pohon yang terbagi menjadi 565 polybag sudah berada di tempatnya, tertanam di tanah lumpur Tambakrejo yang tenggelam. Kaus kaki yang kami kenakan juga sudah mulai molor ke mana-mana, pertanda kami harus kembali ke daratan.

Sebelum mengakhiri perjalanan, Pak Yazid mengajak kami untuk melihat tempat pembibitan mangrovenya. Ia juga menjelaskan bagaimana cara pembibitan. Di sini, saya mendapatkan satu fakta baru lagi bahwa ternyata pohon mangrove juga bisa hidup di darat. “Ada yang pernah coba menanam, bisa hidup. Mangrove itu kan tumbuhan yang sifatnya adaptif, jadi bisa menyesuaikan dengan lingkungan dia tumbuh.”

“Wah bisa nih, kita tanam di pot! Lumayan, bisa mengurangi polusi di sekitar rumah,” celetuk salah satu di antara kami. 

***

Saya percaya, Tambakrejo tak akan tenggelam jika ada Pak Julaimi, Pak Yazid, Kelompok CAMAR, LindungiHutan, dan juga kamu yang kini berkomitmen untuk menjadi Pendekar Lingkungan.

Tabik!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Apakah Tambakrejo akan Tenggelam? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/apakah-tambakrejo-akan-tenggelam/feed/ 0 36815
Berjejak di Jembatan Merah Mangrove https://telusuri.id/berjejak-di-jembatan-merah-mangrove/ https://telusuri.id/berjejak-di-jembatan-merah-mangrove/#respond Sat, 26 Jun 2021 01:36:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28400 Tepat setelah seminggu berkutat dengan pekerjaan, aku ditemani teman perempuan, Putria namanya—untuk melepaskan penat. Memang pekerjaan sekarang masih belum kembali normal seperti sebelum terjadi pandemi. Namun, tetap harus dikerjakan dengan sebagaimana mestinya. Hari Minggu, aku...

The post Berjejak di Jembatan Merah Mangrove appeared first on TelusuRI.

]]>
Tepat setelah seminggu berkutat dengan pekerjaan, aku ditemani teman perempuan, Putria namanya—untuk melepaskan penat. Memang pekerjaan sekarang masih belum kembali normal seperti sebelum terjadi pandemi. Namun, tetap harus dikerjakan dengan sebagaimana mestinya.

Hari Minggu, aku mendapatkan informasi bahwa sekarang wisata yang akan ku kunjungi ini sudah banyak dilakukan renovasi. Sebenarnya sudah pernah berkunjung ke objek wisata itu, maklum agak dekat dari rumah sekitar 30 menit sudah sampai. Namun, tetap tidak menggoyahkan tekadku untuk mengintip keindahan alam itu.

Menurutku melepas penat yang baik adalah berkunjung ke destinasi wisata alam yang akan membuat mata menjadi lebih segar. Alhasil benar sekali, kami tiba di Taman Konservasi Hutan Mangrove (Jembatan Merah Mangrove), tepatnya di Desa Pasar Banggi, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kalau kalian ingin berkunjung tidak jauh dari jalan raya. Rembang yang terkenal akan potensi pesisirnya ini membuat orang dari berbagai kota rela mendatangi wisata laut, termasuk Jembatan Merah Mangrove ini. Selain wisata Karang Jahe Beach, Jembatan Merah Mangrove ini mempunyai daya tarik tersendiri.

Gapura Pintu Masuk Wisata

Dari jalan raya kalian bisa naik mobil atau motor untuk berkunjung ke sana, nanti disambut oleh sebuah tulisan “Jembatan Merah Mangrove”. Wisata JMM (Jembatan Merah Mangrove) ini tiketnya sangat terjangkau, hanya merogoh kocek Rp5.000 untuk parkir sepeda motor, maklum kami ke sana naik motor.

Kalau mobil setahuku sekitar Rp10.000 saja. Setelah itu harus berjalan setapak dulu, di samping kanan kiri disambut oleh tambak (kolam di tepi laut yang diberi pematang untuk memelihara ikan, biasanya ikan bandeng dan udang, ada juga garam) yang amat memesona cantiknya. 

Tiket Parkir dan Donasi

Di masa pandemi ini yang hanya selalu dihadapkan pada layar datar, pasti sangat bersyukur melihat pemandangan yang sangat asri nan hijau itu. Semesta mendukung, cukup terang juga perjalanan waktu itu, langit yang begitu cerahnya, matahari yang begitu gagahnya memancarkan sinar terbaiknya dan tak membuat para pengunjung untuk patah semangat agar bisa sampai ke gapura “Selamat datang di Jembatan Merah Mangrove.”

Jangan khawatir, di Jembatan Merah Mangrove ini selama pandemi pengunjung diminta untuk tetap menerapkan protokol kesehatan dengan baik. Para pengunjung tetap harus memakai masker dan disediakan tempat cuci tangan sebelum memasuki area wisata.  

Sembari melangkahkan kaki, mataku tertuju pada deretan warung yang menjajakan dagangannya. Para penjual juga amat ramah pada pengunjung, masih sangat kental dengan adat tegur sapa. Penjual memasarkan dagangannya, berupa jajanan dan minuman. Ketika pengunjung haus, mereka bisa langsung mampir sekadar membeli air mineral atau makan sambil ngobrol asyik dengan memandangi hamparan tambak yang membuat mata takjub untuk memandang.

Tak terasa langkah ini sudah tepat sampai di gapura ”Selamat Datang Jembatan Merah Mangrove.” Di samping kiri ada kotak donasi seikhlasnya saja. Sebagai dana perawatan untuk perbaikan. Lalu pengunjung boleh masuk dan disambut oleh hijaunya mangrove. Derap kaki menginjakan ke jembatan merah sangat takjub, lebih luas daripada pertama kali berkunjung  ke sana. Rimbun sekali untuk mangrovenya. Tempatnya sangat tertata dan bersih, banyak disediakan tong sampah. Jadi pengunjung boleh membawa bekal makanan dan minuman serta membuang sampahnya pada tong sampah yang disediakan. 

Warna merah pada jembatan serta kanan kiri dikelilingi oleh tumbuhan mangrove yang hijau, membuat banyak pengunjung untuk berswafoto genik dan bergaya ala-ala selebgram. Tapi tak apa, semua itu demi mendokumentasikan jepretan pribadi. Bahkan banyak fotografer atau vlogger yang berburu foto “cantik” pemandangan yang menarik. Demi untuk mengenalkan wisata lokal yang amat indah itu.

Area Swafoto

Mataku berkeliaran memandangi seisi wisata Jembatan Merah Mangrove, banyak pasangan muda-mudi yang berkunjung, ada juga dengan teman dan sahabat, bahkan, juga keluarga yang lengkap dengan menikmati keindahan itu. Terlebih lagi banyak komunitas yang singgah untuk menikmati pesona destinasi wisata itu. Waktu itu, komunitas sepeda pun turut ikut  andil menikmati panorama mangrove.

Aku telusuri sekitar jembatan mangrove, memang benar sudah dilakukan renovasi yang sangat bagus, bertambah luas, membuat wajah baru pada destinasi wisata ini, banyak jembatan yang dibuat persimpangan, tempat swafoto dengan bergaya ngehits era sekarang. Keindahan yang sangat kentara dengan perpaduan antara pantai, mangrove beserta gazebo membuat segalanya menjadi menarik.

Disediakan gazebo, sebagai tempat untuk bercengkrama bersama pasangan, anak, sanak saudara serta rekan kerja. Tak ketinggalan para traveler dan fotografer membidik foto dengan sangat semangat untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Sesekali mereka beristirahat di gazebo untuk memikirkan angel mana yang akan dibidik.

Setelah kami lanjutkan langkah menelusuri bagian-bagian lainnya, ada yang membuat terasa unik, yaitu berjualan di atas perahu yang dekat dengan ujung mangrovenya. Tempat yang sangat strategis melihat keindahannya itu, bagaimana tidak, melihat ke depan adalah pantai, sedangkan menengok ke belakang adalah untaian jembatan yang merah merekah diikuti rimbunnya mangrove yang hijau membentang. Serta bisa menikmati minuman dan jajanan dengan asyik. Perlu dicoba bagi yang ingin berkunjung ke sana.

Kini, destinasi wisata waktu bukanya belum normal seperti biasanya. Jembatan Merah Mangrove ini sekarang hanya buka hari Sabtu dan Minggu. Meskipun demikian, masih banyak yang rela berdatangan untuk bisa melihat keindahannya. Semoga pandemi segera usai, biar segala kikuk, bisa jadi ingar bingar. Segala yang sulit bisa termudahkan serta segala yang belum baik bisa menjadi baik.

The post Berjejak di Jembatan Merah Mangrove appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berjejak-di-jembatan-merah-mangrove/feed/ 0 28400