maroko Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/maroko/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 20 Feb 2024 06:03:38 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 maroko Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/maroko/ 32 32 135956295 Ibnu Bathuthah, Sang Pelancong Legendaris dari Maroko https://telusuri.id/ibnu-bathuthah-sang-pelancong-legendaris-dari-maroko/ https://telusuri.id/ibnu-bathuthah-sang-pelancong-legendaris-dari-maroko/#respond Tue, 20 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41194 “Aku melakukan perjalanan ini sendiri, tanpa teman yang mengiringi”— Ibnu Bathuthah Siapa yang tidak mengenali sosok pelancong legendaris muslim ini. Sosok yang sudah mengelilingi 44 negara selama masa hidupnya di abad pertengahan. Ia adalah seorang...

The post Ibnu Bathuthah, Sang Pelancong Legendaris dari Maroko appeared first on TelusuRI.

]]>

“Aku melakukan perjalanan ini sendiri, tanpa teman yang mengiringi”
— Ibnu Bathuthah

Siapa yang tidak mengenali sosok pelancong legendaris muslim ini. Sosok yang sudah mengelilingi 44 negara selama masa hidupnya di abad pertengahan. Ia adalah seorang hakim muslim dari Thanjah, salah satu kota di Negeri Maroko yang bertekad melakukan sebuah perjalanan saat usianya menginjak 22 tahun. Usia yang masih terbilang sangat muda, tetapi memiliki tekad teramat kuat melakukan perjalanan pertama untuk menunaikan ibadah haji. Berkunjung ke Mekah dan berziarah ke makam Rasulullah Saw. Setiap perjalanannya telah dicatat dalam sebuah buku berjudul Rihlah Ibnu Bathuthah.

Sosok pelancong muslim itu, yang sudah banyak dikenal, nama aslinya adalah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim Al-Lawati Ath-Thanji, atau Abu Abdullah Muhammad Ibnu Bathuthah, atau Ibnu Bathuthah. Ia merupakan seorang traveler dan ahli sejarah yang lahir di Thanjah pada 703 H (1304 M).

Dalam rihlah—perjalanan—nya, Ibnu Bathuthah banyak menemui para raja dan pangeran (wali kota atau gubernur), kemudian ia memuji dalam bait-bait syair. Ia bertekad meninggalkan orang-orang yang dicintainya bahkan kedua orang tuanya yang masih utuh. Baginya meninggalkan orang tua kala itu adalah beban berat yang sangat melelahkan.

Ibnu Bathuthah, Sang Pelancong Legendaris dari Maroko
Buku Rihlah Ibnu Bathuthah terbitan Pustaka Al-Kautsar/Riris Ismidiyati

Alasan Besar Ibnu Bathuthah Berkelana

Perjalanan yang dilakukan Ibnu Bathuthah tidak dilakukan dalam waktu singkat, bahkan melebihi durasi perjalanan para pelancong Barat, seperti Columbus. Dengan begitu, tekad kuat pasti diiringi dengan alasan besar, mengapa harus melakukan hal tersebut.

Visi utama Ibnu Bathuthah melakukan rihlah antara lain untuk mengelilingi bumi sembari mengambil pelajaran dari setiap ujian yang terjadi dalam sebuah perjalanan, mempelajari golongan dan bangsa-bangsa dari berbagai negeri, serta mempelajari bangsa Arab dan non-Arab.

Sebagai informasi, rihlah adalah proses perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain untuk sebuah safar (perjalanan). Dalam sebuah perjalanan Ibnu Bathuthah, ia banyak mendatangi berbagai negeri, wilayah pelosok, dan desa-desa yang dikunjungi, ditinggali, atau tempat-tempat yang sekadar dilewati olehnya.

Perjalanan Pertama Meninggalkan Kota

Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Ibnu Juzayy—yang sudah diterjemahkan—menceritakan perjalanan Ibnu Bathuthah di era kekuasaan Amirul Mukminin Nashruddin, sang mujahid yang dermawan sehingga rakyat menjadi nyaman di karena kelembutan dan keadilannya. Pertama kalinya ia tiba di Tlemcen, sebuah kota di Aljazair bagian barat. Ia menetap selama tiga hari kemudian melanjutkan perjalanan ke Kota Milyanah yang terletak di pinggiran Afrika.

Perjalanan Ibnu Bathuthah tersebut membuat saya sebagai pembaca bukunya serasa ikut waswas. Dari setiap katanya saya bisa merasakan betapa penuh kejutan ketika Ibnu Bathuthah melakukan perjalanan pertama.

Suatu hari ketika Ibnu Bathuthah sampai di Kota Bijayah, sebuah wilayah yang terletak di pinggiran dua laut—Afrika dan Maghribi—seorang pedagang dari Tunisia yang ditemani oleh Ibnu Bathuthah, yaitu Muhammad bin Al-Hajar meninggal dunia dan meninggalkan harta tiga ribu dinar emas. Sang saudagar berwasiat agar warisannya dikirim kepada ahli warisnya di Tunisia. kabarnya terdengar oleh penguasa Bijayah saat itu, Ibnu Sayyid An-Nas Al-Hajib yang langsung merampas uang tersebut. Itulah peristiwa kezaliman pertama oleh penguasa yang disaksikan oleh Ibnu Bathuthah.

Kemudian ketika baru tiba di Kota Bijayah Ibnu Bathuthah mengalami demam. Seorang pedagang menyarankan agar beristirahat dan menetap sementara waktu. Namun, ia mengabaikan sarannya dan bersikeras melanjutkan perjalanan. Rekan pedagang menyarankan agar menjual barang-barang yang membebani perjalanan kepadanya, lalu ia akan dipinjamkan kuda oleh pedagang tersebut.

Dengan senang hati Ibnu Bathuthah menerima tawaran itu. Ini menjadi momen pertama seorang Ibnu Bathuthah menyaksikan ketulusan karena Allah, yang dilakukan seseorang dalam sebuah perjalanan.

Dari cerita-cerita Ibnu Bathuthah sejak dari perjalanan pertamanya, saya ikut merasakan ketegangan dan hanyut seakan-akan berada di situasi yang sama dengan Ibnu Bathuthah. Banyak hal yang sangat bisa dipelajari dengan membaca buku ini. Ibnu Bathutah menyaksikan sebuah kezaliman penguasa, lalu pada saat yang bersamaan juga menyaksikan kebaikan tak terduga datang dari seorang pedagang yang tulus membantu karena Allah Swt.

Ibnu Bathuthah, Sang Pelancong Legendaris dari Maroko
Peta yang menggambarkan perjalanan Ibnu Bathuthah keliling dunia via Facebook, diterjemahkan H. A. R. Gibb dari Medieval Sourcebook Ibn Battuta (1304-1368/69): Travels in Asia and Africa, 1325-1354/Historia Mediterrania

Perjalanan Mengunjungi Nusantara

Tatkala pertama kali mengunjungi Nusantara, Ibnu Bathuthah menemui sultan Jawa bernama Sultan Malik Azh-Zhahir dari Kerajaan Samudera Pasai. Pada zaman dahulu orang Arab menyebut Nusantara dengan sebutan Jawa. Dalam buku ini diceritakan bahwa seorang sultan adalah sosok yang disegani dan dihormati. Para penduduknya senang berjihad hingga memenangkan peperangan melawan orang kafir. Bahkan orang-orang kafir membayarkan pajaknya sebagai bentuk perdamaian.

Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam pertama mempunyai peradaban dan hubungan yang baik dengan negara luar. Kedatangan Ibnu Bathuthah ke istana sultan disambut baik oleh wakil sultan yang bernama Umdatul Malik pada masa itu. Sesuai kebiasaan di istana, jika ada tamu yang datang dari jauh harus diterima menghadap sultan setelah tiga hari beristirahat.

Ibnu Bathuthah ditempatkan di bait adh-dhuyuf (wisma tamu) bersama para rombongannya untuk istirahat sebelum bertemu sultan. Memasuki hari ketiga, Ibnu Bathutah kemudian diperkenankan menemui sultan untuk makan siang bersama dan melakukan diskusi. Membahas berbagai masalah dalam negeri, seperti agama, ekonomi, kesejahteraan rakyat, sosial budaya, dan sebagainya yang berlangsung hampir tiga jam.

Tidak terlalu banyak diceritakan aktivitas apa saja yang dilakukan Ibnu Bathuthah selama di Nusantara, selain menemui sultan di kerajaan dan mengikuti diskusi. Ia melihat sosok seorang sultan yang rendah hati. Hal itu tampak ketika sultan berjalan dari istana menuju masjid berpakaian putih seperti rakyatnya yang lain, menunjukkan bahwa sultan sama-sama hamba Allah. Namun, begitu pulang ke istana barulah sultan tampil dengan pakaian kebesaran raja. Ibnu Bathuthah tinggal selama 15 hari di Aceh, lalu setelah itu melanjutkan perjalannya ke Cina.

Ibnu Bathuthah, Sang Pelancong Legendaris dari Maroko
Ilustrasi sosok Ibnu Bathuthah/Tangier Private Tours

Pelajaran Terpetik dari Rihlah Ibnu Bathuthah

Memoar perjalanan Ibnu Bathuthah menjadi karya yang sangat berharga sepanjang abad ke-14 karena banyak mencatat segi kehidupan sosial, budaya, dan politik berbagai negara Islam di dunia. Perjalanan Ibnu Bathuthah yang berkelana ke 44 negara Islam dan sekitarnya tidak lepas dari bantuan penguasa yang telah menyediakan sarana transportasi dan pelayanan terbaik bagi dirinya.

Karya dokumentasi perjalanan Ibnu Bathuthah juga sangat patut diapresiasi. Sebab dalam setiap perjalanannya tersirat banyak nilai-nilai yang bisa diadopsi dan hanya bisa ditemukan dalam rihlah Ibnu Bathuthah.

Ibnu Bathuthah sangat dikenal sebagai seorang qadi (hakim) muslim dalam agama ataupun ketatanegaraan yang sangat baik. Sejak kecil, orang tuanya menanamkan pendidikan mengenai cara menjadi muslim yang taat dalam beragama sekaligus bagaimana menjadi seorang hakim. Maka tidak heran kalau ia “seperti terlahir” menjadi seorang qadi di beberapa negara, salah satunya India.

Nama Ibnu Bathuthah sangat harum sebagai seorang pelancong sekaligus ahli fikih dan sejarah. Setiap berkunjung ke suatu kota, ia memiliki kebiasaan melakukan ziarah ke makam para ulama sembari mencatat karya-karya dari ulama yang sudah meninggal tersebut untuk catatan pribadi Ibnu Bathuthah.

Terkadang pada saat kunjungan pertama kali ia juga mengunjungi masjid-masjid, lalu menemui imamnya. Setelah itu bertemu para qdi dan amir (pemimpin) yang berada di daerah tersebut. Tujuannya agar silaturahmi dengan para penguasa selalu berjalan. Kadang-kadang ia tidak hanya memuji para sultan, tetapi juga mencelanya jika akhlak mereka memang tidak terpuji. Semua ini tergantung dari penilaian subjektif dari Ibnu Bathuthah. 

Banyak sekali nilai yang bisa diambil dari memoar perjalanan seorang pelancong muslim di abad pertengahan ini. Namun, yang tidak kalah menarik dari buku Rihlah Ibnu Bathuthah: Memoar Perjalanan Keliling Dunia di Abad Pertengahan adalah kita bisa belajar bahasa. Kita bisa mengetahui setidaknya 1-3 kosakata bahasa asing. Contohnya dalam bahasa Turki, seperti yakhsyi (bagus) dan khasy yakhsyi misin quthu yasin, yang berarti Anda sehat, Anda baik, diberkahi kedatanganmu.

Perjalanan Ibnu Bathuthah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi para pembacanya. Tidak boleh tidak, karena belajar dari buku ini bisa mengambil banyak nilai mengenai sejarah, sosial budaya, dan politik dari wilayah Arab maupun non-Arab pada masanya.


Judul Buku: Rihlah Ibnu Bathuthah, Memoar Perjalanan Keliling Dunia di Abad Pertengahan
Penulis: Muhammad bin Abdullah bin Bathuthah
Penerbit: Pustaka Al-Kautsar, Jakarta
Tebal Buku: 610 Halaman
ISBN: 978-979-592-5835

Foto sampul:
Ilustrasi Perjalanan Pertama Ibnu Bathuthah via Pixabay/Dorotho


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ibnu Bathuthah, Sang Pelancong Legendaris dari Maroko appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ibnu-bathuthah-sang-pelancong-legendaris-dari-maroko/feed/ 0 41194
Menjadi Pelancong Perempuan Indonesia di Maroko https://telusuri.id/pelancong-perempuan-indonesia-di-maroko/ https://telusuri.id/pelancong-perempuan-indonesia-di-maroko/#comments Sun, 07 Apr 2019 16:00:56 +0000 https://telusuri.id/?p=13016 Institusi-institusi pendidikan di negara-negara Eropa, mulai dari pendidikan usia dini hingga universitas, tiap tahun serempak merayakan musim panas. Musim panas memang patut dirayakan, sebab akhirnya orang-orang bisa terbebas dari suhu rendah yang bikin menggigil, angin...

The post Menjadi Pelancong Perempuan Indonesia di Maroko appeared first on TelusuRI.

]]>
Institusi-institusi pendidikan di negara-negara Eropa, mulai dari pendidikan usia dini hingga universitas, tiap tahun serempak merayakan musim panas. Musim panas memang patut dirayakan, sebab akhirnya orang-orang bisa terbebas dari suhu rendah yang bikin menggigil, angin yang ribut, dan awan tebal yang menghalangi pancaran sinar matahari. Libur musim panas lumayan panjang, yakni sekitar dua bulan.

Saya merasakan itu tahun 2016. Sebagian teman sekelas saya menghabiskan waktunya di Negeri Kincir Angin untuk belajar mempersiapkan remedi atau bekerja paruh waktu di kafe atau bar dekat kampus. Sebagian lainnya menganggap dua bulan adalah waktu yang cukup untuk bertualang dan memilih melancong ke negara-negara yang lebih hangat, entah di Uni Eropa atau wilayah lain. Saya termasuk golongan kedua.

Saya melancong bersama seorang teman perempuan selama tiga puluh hari. Perjalanan ini dimulai dari Eropa Barat, terus ke Mediterania, menyeberang ke Afrika Utara, kemudian berakhir di Eropa Timur. Sebagai generasi yang hidup di zaman internet, tak tebersit sedikit pun rasa takut untuk menyambangi wilayah-wilayah tersebut. Banyak aplikasi yang bisa diandalkan, seperti TripAdvisor, Skyscanner, Hostelworld, dan Google Maps. Bermodalkan aplikasi-aplikasi internet (yang mengakomodasi tabungan pas-pasan, kesoktahuan, dan kenekatan ala backpacker) itu, saya berubah menjadi turis cum pemandu perjalanan.

Dari tepi Laut Tengah ke utara Benua Afrika

Maka, tak terasa kami berdua sudah tiba di Mediterania bagian Spanyol. Kawasan itu membuat saya cukup terpukau, melihat perbedaan peradaban yang mencolok dari Eropa Barat. Beberapa kota yang saya kunjungi, seperti Barcelona, Sevilla, dan Cordoba adalah kota-kota dengan aktivitas pariwisata sebagai sumber pendapatan utama. Di tempat-tempat itu masyarakat berbaur dengan turis dalam kegiatan sehari-hari. Mereka mencari nafkah dari turis—sekaligus berebut public space dengan pelancong.

Di Barcelona, turis-turis dengan berbagai warna kulit dan negara bercampur, antre berdempet-dempetan di Sagrada Familia. Sementara di Sevilla dan Cordoba kebanyakan dari mereka adalah muslim yang melakukan napak tilas dan bernostalgia menelusuri kejayaan kerajaan Islam di Eropa. Saya sempat mampir ke sebuah masjid yang berubah menjadi gereja, Mezquita Catedral de Cordoba. Karena musim panas, saya berpakaian layaknya turis lain—kaus tak berlengan dan celana pendek di atas dengkul. Seperti halnya yang saya alami di negara-negara Eropa lain yang saya datangi, tak ada interaksi dengan orang lokal atau sekadar pertanyaan basa-basi “Where are you from?” Pun tidak ada petugas penyewaan kain di pintu masuk rumah ibadah ini. Semuanya terasa normal dan, entah kenapa, saya merasa aman.

maroko
Sagrada Familia di garis langit Barcelona via pexels.com/Aleksandar Pasaric

Lalu, dari Madrid, saya terus ke Maroko di bagian utara Benua Afrika. Memasuki Afrika, saya berpakaian selayaknya di Indonesia—tidak ketat, tidak minim, tidak bisa seenaknya. Sebenarnya tak ada review yang membahas tentang cara berpakaian, ini hanya kesadaran pribadi (atau insting) saja.

Penerbangan saya ke Marrakesh harus transit di Casablanca, sebab tidak dapat penerbangan langsung dari Madrid. Transit dua jam, saya dan teman memilih untuk tidak keluar bandara. Alih-alih kami memanfaatkan waktu untuk menukarkan euro ke dirham Maroko, juga—agar tak pusing kalau lost in translation—membeli kartu perdana sebab jaringan Lebara (penyedia kartu SIM prabayar Belanda) tidak menjangkau Benua Afrika. Di loket penjualan kartu SIM, kami memasang kartu baru dan paket internet, dipandu oleh petugas customer service yang ada di sana.

Seperti yang saya duga, percakapan dengan CS berlanjut sampai pertanyaan-pertanyaan: “Dari mana kamu berasal?” “Berapa lama di Maroko?” “Kalian hanya berdua saja?” Kedengarannya mungkin wajar, hanya ramah tamah lokal. Namun, bagi saya pribadi, basa-basi itu terdengar asing, sebab saya tak pernah disambut seperti itu saat menjadi turis di negara-negara Eropa. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan membuat orang yang ditanyai tidak nyaman, sebab bisa saja disalahgunakan. Tapi, saya pikir lagi, ini ‘kan Afrika Utara. Maka saya jawab saja pertanyaan-pertanyaan itu.

Lalu kami pun kembali ke gerbang keberangkatan. Karena gerbang belum dibuka, kami punya waktu untuk sejenak mengistirahatkan punggung yang penat memikul backpack seberat tujuh kilogram. Saat punggung mulai relaks, tiba-tiba seorang pria paruh baya mulai bertegur sapa. Pertanyaannya sama seperti CS kartu SIM tadi. Saya mencoba memahami, apa mungkin kultur di sini seperti di Indonesia? Kami terjebak antara budaya Timur dan Barat di Maroko. Percakapan itu berjalan sampai ia meminta nomor telepon kami untuk berkomunikasi. Belum bisa memahami apa yang terjadi dan karena masih menerapkan adat ketimuran, akhirnya kami berikan nomor kartu perdana Maroko yang baru dibeli itu. Apa yang ia mau, entahlah. Yang jelas kartu SIM itu bisa kami buang saat hendak keluar dari Maroko.

SMS di Marrakesh

Lalu tibalah kami di Marrakesh, salah satu kota besar yang terkenal sebagai kota persinggahan menuju padang pasir dan tersohor dengan banyak souk (pasar tradisional) yang hingar bingar.

Setelah naik bis umum dari bandara, kami berhenti di depan Masjid Koutoubia. Di luar perkiraan, Google Maps ternyata tak bisa memunculkan saran rute transportasi umum dalam kota Marrakesh. Barangkali karena belum terjadwal dan rutenya belum terintegrasi. Alhasil, kami jalan kaki dua kilometer dari pusat kota ke hostel. Jam empat sore saat itu. Karena lapar, sebelum mencapai hostel—terima kasih untuk TripAdvisor—kami singgah dulu di sebuah restoran untuk menyantap chicken tagine sebagai makan malam.

maroko
Kafe di Marrakesh via pexels.com/Nicolas Postiglioni

Dari sana, hostel tinggal sekitar delapan ratus meter lagi. Namun kami harus jalan kaki menyusuri gang-gang kecil yang hanya cukup untuk satu mobil—dan hari mulai gelap. Karena berjalan dipandu Google Maps, kami menarik perhatian sekelompok anak berusia tanggung. Mereka mencoba mengantar kami (juga dengan jalan kaki) ke hostel. Dengan agak memaksa, menggunakan bahasa Inggris yang patah-patah, mereka terus menawarkan dan membuntuti kami beberapa blok. Saya berusaha untuk tidak menggubris, sebab saya sudah tahu arah ke hostel.

Setiba di hostel, kami menuturkan pengalaman itu pada para pengelola. Mereka bilang, (sebaiknya) diamkan saja sebab mereka akan membuat kami berputar jauh dan mereka juga bakal meminta uang.

Di hostel kami baru menyadari bahwa di nomor baru Maroko itu ada beberapa pesan singkat dari nomor yang tak dikenal. Ternyata dari bapak paruh baya yang kami temui di Casablanca. Ia menanyakan sampai kapan kami di Marrakesh dan mengundang kami untuk ke rumahnya. Mungkin memang tak terlalu bijaksana untuk memberikan nomor ponsel ke orang yang tidak dikenal.

Akhirnya, sepanjang sisa hari pertama di Marrakesh, kami hanya beristirahat di hostel saja, sebelum esok menelusuri padang pasir selama dua hari.

Di perhentian pertama menuju Gurun Zagora

Hari kedua, operator tur untuk perjalanan ke Gurun Zagora (Zagora Desert) yang sudah kami pesat lewat internet sudah menunggu di lobi tepat pukul tujuh pagi. Di mobil pariwisata, kami bergabung dengan sekitar sepuluh turis lain—dari Selandia Baru, Australia, Inggris dan Spanyol. Hanya kami berdua dari Asia. Karena cukup jauh dari pusat kota Marrakesh, paket perjalanan ke Gurun Zagora mengharuskan untuk bermalam, entah 2 hari 1 malam atau 3 hari 2 malam. Pertimbangan biaya dan durasi membuat kami memilih paket 2 hari 1 malam (80 euro).

Menuju Gurun Zagora perlu waktu enam jam perjalanan darat dari Marrakesh. Kami transit beberapa kali di pusat oleh-oleh dan restoran untuk makan siang. Perhentian pertama adalah perhentian yang paling saya ingat.

maroko-03
“Chicken tagine”/Adiska Octa

Di perhentian itu tersedia rest area dengan toilet dan kafe. Setelah dari toilet, kami ke kafe membeli air mineral sebagai bekal perjalanan. Sang penjaga kafe, mengetahui kami dari Indonesia, lagi-lagi memberikan kami pertanyaan-pertanyaan seperti yang kami terima dari penjual kartu SIM dan pria paruh baya di Casablanca. Kami mencoba untuk menjaga keramahtamahan ala Indonesia dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Namun saat kami mencoba mengakhiri obrolan, penjaga kafe itu menyentuh dagu teman saya sambil tersenyum lebar.

Reaksi yang saya berikan adalah segera pergi dan kembali ke mobil. Keramahan saya langsung buyar dan berganti dengan amarah. Saya memahami bahwa Maroko adalah negara dengan komunitas muslim (yang besar), seperti Indonesia. Tapi apa yang dilakukan penjaga kafe itu sudah menyalahi aturan dan norma sosial yang seharusnya juga berlaku di Maroko.

Saya bayangkan mereka tidak akan berani melakukan physical contact dengan perempuan Maroko, atau white-woman travelers berpakaian minim. Tapi, dengan kami, mengapa mereka bisa semudah itu?

Pergi dari Maroko

Dua hari kami habiskan waktu menaiki unta di padang pasir. Hari keempat, kami menjelajahi souk. Lokasi souk yang kami datangi tak jauh dari hostel, sehingga kami bisa jalan kaki. Di pasar tradisional itu banyak bumbu dan kerajinan khas Maroko. Souk mengingatkan saya pada pasar di Ubud, Bali, di mana toko-toko berjajar berhadapan dengan tata kelola yang berantakan. Artinya, tak ada pembagian wilayah berdasarkan kategori produk.

maroko
Gurun Zagora/Adiska Octa

Kami meluangkan waktu sehari untuk mengelilingi souk itu, sebab arealnya cukup besar dan penuh lika-liku. Merasa tidak aman dari copet, saya tak berani mengeluarkan kamera mirrorless dan hanya mengambil foto (jika diperlukan) dengan ponsel. Sepanjang souk saya juga merasa tidak nyaman. Beberapa penjaga toko memanggil-manggil kami untuk singgah. Lucunya, mereka mengira kami dari Tiongkok. Padahal kami berdua bermata bundar besar dan berkulit sawo matang.

Hari kelima adalah hari yang kami tunggu-tunggu, sebab kami akan segera keluar dari Maroko dan meneruskan perjalanan ke tujuan berikutnya, kembali ke Eropa. Rentetan kejadian yang kami alami telah membuat kami rindu akan dinginnya Eropa Barat dan orang-orang yang acuh tak acuh.

Di Benua Eropa saya merasa jauh lebih aman melakukan perjalanan sebagai perempuan dibandingkan di Maroko. Kami mencoba untuk menghargai nilai-nilai agama dan sosial yang ada di Maroko dengan berpakaian tidak terbuka dan bersikap ramah. Akan tetapi, nyatanya pakaian tidak menjamin wanita bebas dari bentuk-bentuk pelecehan fisik atau verbal. Jelas ini bukan karena pakaian kami. Atau, apakah karena budaya Timur tidak bisa diterapkan di pucuk Afrika ini?

The post Menjadi Pelancong Perempuan Indonesia di Maroko appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pelancong-perempuan-indonesia-di-maroko/feed/ 2 13016