maros Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/maros/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 30 Nov 2023 08:42:02 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 maros Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/maros/ 32 32 135956295 Menyusuri Leang Saripa di Kabupaten Maros https://telusuri.id/menyusuri-leang-saripa-di-kabupaten-maros/ https://telusuri.id/menyusuri-leang-saripa-di-kabupaten-maros/#respond Sat, 02 Dec 2023 06:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40070 Bersama langit yang semakin sore, kami berangkat beriringan setelah dua jam menunggu di titik kumpul—rumah salah seorang kawan di daerah Sudiang, Kota Makassar. Kami berkendara dengan motor, sekitar tujuh kendaraan, melintasi kemacetan ujung Kota Makassar...

The post Menyusuri Leang Saripa di Kabupaten Maros appeared first on TelusuRI.

]]>
Bersama langit yang semakin sore, kami berangkat beriringan setelah dua jam menunggu di titik kumpul—rumah salah seorang kawan di daerah Sudiang, Kota Makassar. Kami berkendara dengan motor, sekitar tujuh kendaraan, melintasi kemacetan ujung Kota Makassar sebelum berbelok ke arah Bantimurung, Kabupaten Maros. Hari ini, kami berencana mendirikan tenda dan menginap semalam, lalu melakukan susur gua di Leang Saripa. Leang Sapira merupakan salah satu dari puluhan gua yang berada dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan. 

Motor kami berjalanan beriringan dari area Sudiang sampai di sepanjang poros Bantimurung. Karena keterlambatan beberapa orang berkumpul di titik kumpul tadi, alhasil kami menjumpai azan Magrib di jalan sehingga harus menepi ke Masjid Babul Jannah di Desa Alatengae untuk memberi ruang bagi kawan-kawan yang melaksanakan salat.

Beberapa yang tidak salat kala itu duduk-duduk di selasar masjid, beberapa lagi merokok di parkiran. Langit sudah mendekati gelap dengan sedikit jingga di ufuk. Suara merdu muazin memenuhi langit. Hingga langit benar-benar gelap dan orang-orang keluar dan berjalan pulang, kamipun kembali melanjutkan perjalanan yang tersisa 15 km lagi. 

Leang Saripa
Kegiatan memasak di kemah/Nawa Jamil

Jalan yang kami lewati ini merupakan jalan alternatif lintas provinsi yang menghubungkan Kabupaten Maros dan Bone. Tak heran, kami seringkali berpapasan dengan truk belasan roda selama perjalanan. Meski sempat salah tempat dan berakhir di lokasi proyek galian berdebu dengan tanah merah dan jejak ban truk di mana-mana, kami akhirnya tiba di lokasi kemah setelah menelepon Kak Sugar—pengelola wisata sekaligus pemandu selama kami di Gua Saripa.

Meski tiba saat malam hari, lanskap lapangan luas yang dikelilingi batuan karst dan stalaktit di mulut kecil gua cukup terlihat saat kami meneranginya dengan lampu yang tersedia. Tak jauh dari stalaktit, dan sedikit atap gua menjorok keluar, ada sebuah bale-bale dari bambu. Katanya, tempat tersebut acap digunakan pengunjung untuk memasak. Mengikuti saran pengelola, kami juga memasak makan malam di sana. Meletakkan dua kompor besar dan satu tenda berisi ransum, lalu sepetak tanah kecil itu kami sulap menjadi dapur selama dua hari ke depan.

Bepergian dengan kawan-kawan saat akhir pekan dan menghabiskan malam bersama, tak lengkap rasanya tanpa suara senandung dari masing-masing orang. Kami, bernyanyi bersama. Tetap terdengar asyik meski agak sumbang. Pun, kami juga berbagi cerita-cerita yang lebih mendalam satu sama lain.

Malam menjadi cukup panjang, hingga pukul satu pagi saya memutuskan memejamkan mata. Dari dalam tenda, sayup-sayup kudengar beberapa orang masih berbincang dan bergurau hingga pagi menjelang.

  • Leang Saripa
  • Leang Saripa
  • Leang Saripa
  • Leang Saripa

Cerita menarik Gua Saripa di pagi hari

Saat hari sudah pagi, dan teman-teman sedang sibuk senam, saya melipir, tertarik melihat sepasang anak kecil yang tampak penasaran dengan kamera mirrorless milik saya. Kedua anak itu, seorang kakak perempuan dan adik laki-lakinya adalah anak dari Kak Sugar. Mereka sedang duduk di bale-bale, menemani kakek mereka yang juga mertua dari Kak Sugar.

“Kek, kita’ orang asli sini?” tanyaku, membuka percakapan kami. (Kita’ merupakan sapaan serupa ‘anda atau kamu dalam bahasa Makassar yang lebih sopan.)

“Iya, saya asli sini, dari dulu, anakku juga, istrinya Sugar juga lahir dan besar di sini.”

“Berarti sudah lama sekali ya, Kek. Ini gua sudah dari tahun berapa dibuka untuk wisata susur begini?”

Kakeknya tampak mengingat-ingat. “Sudah lama, dulu sekitar tahun 2000-an, ada mahasiswa pecinta alam dari Makassar. Mereka susur gua ke dalam, setelah itu, kasih tanda juga di depan. Dulu gua ini belum ada namanya, mereka sering sebut Gua Saripa sampai sekarang.”

“Tapi, sebenarnya ini dulu bukan Gua Saripa,” 

Aku menjadi bingung memendam pertanyaan, lalu jika bukan Gua Saripa, apa namanya?

“Gua Saripa yang asli di sebelah sana,” katanya, menunjuk ke arah kedatangan kami.”

“Oh, ini bukan Gua Saripa?”

Kakek menggeleng. “Bukan, tapi Gua Saripa letaknya di dekat sini juga, dekat persawahan di sana.”

  • Leang Saripa
  • Leang Saripa

Perbincangan kami berlangsung kurang lebih tiga puluh menit. Dari beliau, saya banyak mendengar cerita-cerita Gua Saripa di masa lalu. Misalnya, gua ini berfungsi sebagai tempat bersembunyi sewaktu tragedi genosida tahun 1950. Konon, beberapa pribumi bersembunyi di dalam gua ini, hingga periode perburuan golongan ekstrimis agama tertentu itu mereda.

Itu dulu. Kontras dengan keadaan beberapa tahun belakangan. Orang-orang di desa berkumpul di mulut gua saat musim kemarau hanya sekadar untuk menghabiskan waktu siang, merasakan angin sepoi-sepoi dan suhu dingin di antara stalaktit dan stalagmit.

Seperti tempat-tempat yang berumur tua, gua ini juga memiliki banyak cerita mistis. Salah satu yang terkenal yakni cerita tentang ikan transparan yang konon tinggal di danau dalam gua. Beberapa pengunjung pernah menyaksikan langsung keberadaannya.

Sang kakek juga sempat menceritakan peristiwa longsor yang terjadi di bagian luar gua sekitar tahun 2010-an. Sebuah pecahan batu gua yang cukup besar masih dapat dilihat di bagian samping gua, antara tangga menuju mulut gua dan lokasi kemah kami. 

Spelunking cave

Aktivitas yang cukup ektrem ini nyatanya digemari banyak pecinta alam di Kota Makassar. Kawasan Taman Nasional Bantimurung memang kerap menjadi lokasi susur gua (spelunking cave) bagi pecintanya yang berasal dari sekitar Sulawesi Selatan, bahkan luar negeri. Kawasan ini mencuri banyak perhatian sebagai kawasan karst terbesar dan terindah kedua di dunia. Selain karena bentang alamnya, jejak sejarah manusia purba yang tersebar di beberapa kawasan membuatnya tidak habis untuk terus ditelusuri. Salah satu yang menggemparkan yakni penemuan kerangka manusia purba ‘Besse’ pada kedalaman dua meter di Desa Wanua Waru, Kabupaten Maros, tahun 2015.

Saya sempat menanyakan perihal hal ini, siapa tahu gua yang akan kami masuki dalam beberapa jam ini memiliki jejak peninggalan sejarah di dalamnya, tetapi nihil.

Gua Saripa terdiri atas 3 bagian utama, yakni Aula 1, Aula 2, dan mata air yang membentuk danau yang berada di dalam gua. Sebelum memasuki gua, kami mendapatkan arahan dari Kak Sugar dan Kak Yusuf, dua orang yang akan memandu kami memasuki gua.

Leang Saripa
Stalakmit di mulut Gua Saripa/Nawa Jamil

Dari penuturan Kak Sugar, medan susur di dalam gua ini tidak terlalu sulit. Kami akan melewati dua bagian aula yang lapang, katanya lebih luas dari area kemah kami ini. Dua area lapang tersebut dinamai Aula 1 dan Aula 2. Selain itu memberikan informasi mengenai medan di dalam gua, Kak Sugar juga memberi kami arahan terkait hal-hal yang tidak boleh dilakukan di dalam gua.

Sekitar pukul sembilan pagi, kami memulai perjalanan. Menaiki puluhan anak tangga sebelum sampai di mulut gua. Kak Sugar berjalan paling depan, sementara Kak Yusuf sebagai sweeper di barisan paling belakang. Rombongan kami berjumlah sekitar 12 orang dengan mayoritas perempuan tanpa pengalaman susur gua sebelumnya.

Sejauh ini, medan yang kami lewati tidak sulit. Begitu melewati mulut gua, kami berhadapan dengan atap gua yang rendah dengan banyak stalagmit. Agak berbahaya jika tidak berhati-hati. Untuk melewatinya, kami harus berjalan jongkok sekitar 100 meter sebelum sampai di Aula 1, area gua yang begitu lapang, dingin, dan lembab. Sedihnya, saya mendapati vandalisme di beberapa titik. Coretan nama-nama orang menempel di dinding gua.

Leang Saripa
Bebatuan dalam cerita rakyat yang diyakini warga sekitar/Nawa Jamil

Setelah melewati Aula 1, jalan terbagi dua. Kami mestinya melewati jalan sebelah kiri untuk sampai ke Aula 2, tetapi setelah pemandu kami mengeceknya, ternyata ada penyempitan jalur sehingga kami harus melewati jalur sebelah kanan. Di jalur ini, terdapat jurang yang dalamnya mencapai tiga meter tepat di sisi kanan. Sementara itu, pijakan kaki kami sangat sempit, hanya setapak yang hanya bisa dilalui satu orang. Hal ini tentu saja membuat saya cukup khawatir. 

Rombongan berhenti tepat di depan jalur tersebut. Seperti sebelumnya, Kak Sugar dengan satu teman lelaki memeriksa keamanan jalur di depan terlebih dulu. Setelah dinyatakan aman, baru rombongan kembali melintas.

Seorang teman yang telah berjalan lebih dulu kembali dengan napas tersengal-sengal dan muka pucat. Aku yang masih menunggu giliran pun bertanya. 

“Kenapa, Kak?”

“Tidak ji. Mauka keluar karena sesak kurasa di dalam.” Katanya singkat. 

Iya berniat kembali ke Aula 1 sendiri. Namun, hal itu tidak diizinkan. Si kakek kemudian menemaninya. Saya juga mengikuti dari belakang, sebab kakek akan kembali bersama rombongan. Jadi saya merasa setidaknya harus menunggunya, berjaga-jaga jika ada kejadian yang tidak terduga. 

Alhasil, perjalanan susur gua pertamaku berakhir sebelum sampai di Aula 2. Sangat menyenangkan mendengar cerita anak-anak lain yang berhasil sampai ke danau dalam dan bermain air di sana. Terlihat dari baju mereka yang basah kuyup dan penuh tanah merah bahkan sampai ke bagian kepala. 

***

Setelah beristirahat, kami memutuskan menunggu hingga lepas waktu salat Zuhur sebelum memulai perjalanan pulang ke Kota Makassar. Meskipun saya tidak sampai ke dalam danau, tetapi menyaksikan gua dengan medan yang cukup berbahaya membuat diri ini bertekad menguatkan mental terlebih dulu sebelum kembali mencoba aktivitas ektrem ini. Seperti tempat-tempat indah lainnya di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Leang Saripa sama cantik dan ramahnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Leang Saripa di Kabupaten Maros appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-leang-saripa-di-kabupaten-maros/feed/ 0 40070
Tentang Rumah di Balik Kaki Gunung Tompobulu https://telusuri.id/tentang-rumah-di-balik-kaki-gunung-tompobulu/ https://telusuri.id/tentang-rumah-di-balik-kaki-gunung-tompobulu/#respond Tue, 09 Nov 2021 09:00:52 +0000 https://telusuri.id/?p=31243 Di balik kaki Gunung Tompobulu, terdapat sebuah kampung bernama Bara-Baraya. Kampung ini berada di Desa Bonto Manurung, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Bara-Baraya memberikan kenyamanan, tak sedikit orang menjadikannya tempat untuk menaruh hati dan...

The post Tentang Rumah di Balik Kaki Gunung Tompobulu appeared first on TelusuRI.

]]>
Di balik kaki Gunung Tompobulu, terdapat sebuah kampung bernama Bara-Baraya. Kampung ini berada di Desa Bonto Manurung, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Bara-Baraya memberikan kenyamanan, tak sedikit orang menjadikannya tempat untuk menaruh hati dan kembali ke sini, setidaknya setiap akhir pekan.

Perjalanan panjang selama setahun itu bermula pada pertengahan Agustus 2017, saat beberapa pemuda selepas hari kemerdekaan bertandang ke Bara-Baraya dan melihat potret sedih pendidikan di sana. Kami semua bertemu dengan suasana belajar yang berbeda dari biasanya karena di sana anak-anak belajar di bawah kolong rumah seorang warga. 

Beberapa tahun berlalu sejak peresmian sekolah pada 8 Oktober 2018, saya tengah menunggu kabar seorang teman yang katanya akan berangkat sejak pukul 10.00 tadi, tapi hingga menjelang pukul 15.00 dan mereka belum nampak.

“Maaf Kak, urusan di kampus baru saja selesai. 15 menit lagi saya ke sana.” Sebuah pesan singkat yang saya tunggu-tunggu itu masuk tepat pukul 15.20. 

“Sip, santai. Sekalian selepas salat Ashar saja. Saya nunggu depan Pertamina Abdesir, ya.” Saya tahu, kawan satu ini tengah sibuk mengurus administrasi ujian akhir strata satunya. Tentu saja saya tidak bisa marah, apalagi mengumpat. 

Singkat cerita, kami melaju menuju Kabupaten Maros dari Kota Makassar menjelang setengah lima sore. Dua orang kawan lainnya telah berangkat duluan dan kami bersepakat untuk bertemu di rumah Haji Mangung yang terletak di poros Tompobulu, rumah ini kerap dijadikan tempat penitipan motor sejak tahun 2017.

Suasana padat merayap menyapa kami di sepanjang Jalan Nipa-Nipa Antang. Kami sempat berhenti membeli ransum di toko kelontong terakhir yang kami temui, hingga berbelok di sepanjang Jalan Moncongloe.  Lalu lintas perlahan merenggang hingga sepi tatkala dua roda motor kami yang saling berburu melaju di sepanjang perbukitan dan hutan—yang mulai plontos—dari Moncongloe hingga sepanjang Tompobulu.

Bara-Baraya
Pemandangan senja dalam perjalanan menuju Bara-Baraya/Nawa Jamil

Lembayung matahari tenggelam dan surau-surau yang mengumandangkan selawat sebelum azan Magrib menemani perjalanan kami sore itu. Sekejap menarik ratusan nostalgia ketika menyusuri jalan-jalan yang kini berbeton ini. Masih terasa segar, siang hari yang mendung kala pertama kali mengunjungi Kampung Bara-Baraya. Tahun 2018, jalan-jalan yang kini kami susuri dengan mulus ini masih berupa tanah merah pengerasan. Kini, jalanan ini telah berganti beton kokoh setelah tiga tahun berlalu.

Trekking pada malam hari

Kami tiba di rumah Haji Mangung tepat ketika azan Magrib berkumandang. Di selasar rumahnya, dua wajah yang tak asing tengah menunggu kedatangan kami sejak sore. Setelah menyapa dua kawan yang telah lama tidak saya temui, saya masuk ke rumah Haji Mangung. Di dalam, saya bertemu dengan istri beliau dan dua orang cucunya yang masih balita. Sebagian besar orang dewasa di rumah itu sedang keluar; menghadiri pernikahan di desa sebelah, dan satu lagi menghadiri acara kemah tahunan di sekitar Zipur. 

Kedua bocah yang tengah sibuk bermain ini telah jauh lebih besar dari yang bisa kuingat, bahkan si bungsu masih dalam kandungan ibunya saat terakhir kali kami bertemu. Pandemi COVID-19 menjadikan akhir 2019 sebagai waktu terakhir saya mengunjungi tempat ini, maka kedatangan Magrib itu menjadi yang pertama dalam dua tahun terakhir. 

Lepas salat Maghrib, kami berempat pamit untuk jalan menuju Kampung Bara-Baraya. Tidak seperti kunjungan terakhir saya, saat itu parkir motor berada di kolong rumah Haji Mangung, kali ini kami menaiki motor melewati jalan yang dulunya hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki. Gelap malam tidak mengurangi kekaguman beton-beton kokoh yang menyelimuti jalan curam berbatu dulu.

Kurang dari lima menit, kami telah sampai di titik check point langganan kami, yakni jembatan di atas Salo Maru’ atau aliran Sungau Maros. Motor kami parkir di bawah pohon besar dengan sedikit tanah lapang. Dulu, tanah itu merupakan jalan setapak menuju jembatan gantung yang sudah tidak berfungsi lagi. 10 meter dari situ, terlihat jembatan gantung tersebut, jembatan yang selalu kami lewati tiap kali berkunjung ke Kampung Bara-Baraya. Papan alasnya telah lapuk, beberapa tali gantungannya juga terlepas. Kini, tugasnya menghubungkan jalan ini telah selesai, digantikan jembatan beton yang kami pijaki. 

Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Lepas jembatan, medan yang kami lalui masih sama dengan dua tahun lalu; tanjakan curam dengan banyak bebatuan tajam dan struktur tanah merah yang begitu licin kala hujan turun. Perjalanan menanjak dengan medan berbatu. Kami berempat membunuh lelah dengan bercanda sepanjang jalan yang gelap.

Sekitar 30 menit dengan berjalan kaki, akhirnya kami sampai di Kampung Bara-Baraya ditemani gonggongan anjing saat kami memasuki kampung itu. Kami tiba di rumah Daeng Raga yang terletak di samping sekolah. Kami langsung melepas penat setelah naik ke selasar beliau. Daeng Lija, istri Daeng Raga keluar dari rumah dan mempersilahkan kami masuk.  

Suasana kelas sebelum belajar
Suasana kelas sebelum belajar/Nawa Jamil

Sekolah hari ini

Pagi hari ditandai dengan suara anak-anak yang terdengar di selasar rumah. Kami masih nyaman tertidur di atas dipan yang dipisah ambalan usang dan tipis, tempat tidur sederhana yang nyaman. Saya melihat jam pada layar gawai yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Saatnya menyiapkan sarapan. Keunikan lain dari tempat ini, yakni peraturan yang tidak tertulis: wanita mengurusi urusan dapur, lalu para pria mengurusi urusan lain.

Peraturan ini secara tidak langsung telah kokoh sejak proses pemerataan sebidang tanah bakal bangunan sekolah. Para pria bertugas mengangkut bahan bangunan seperti semen dan seng dari luar, mengangkut pasir dari air terjun, juga pekerjaan berat seperti mengangkat air untuk cuci piring, sedangkan perempuan memasak dan mengajar di sekolah. 

Lima belas menit peregangan, akhirnya saya dan Kak Fany mulai memasak sarapan sederhana pagi itu. Ada tempe goreng tepung, nasi goreng, sambal kecap, dan tentu saja memasak air panas untuk menyeduh kopi terlebih dulu. Kurang tiga puluh menit, sarapan telah siap. Setelah membangunkan dua relawan yang tersisa, kami makan berenam pagi itu; saya, Kak Fany, Kak Abek, Kak Ita, Mama Lija, dan Daeng Raga. 

Berbeda dengan sekolah-sekolah di kota, di sini anak-anak masuk ke ruang kelas mengenakan baju bebas, tidak berseragam. Dulu beberapa anak-anak menggunakan seragam, tetapi ‘peraturan’ ini tidak pernah menjadi suatu keharusan, pun saya percaya bahwa belajar tidak bergantung pada pakaian yang melekat.

Hari ini jumlah siswa yang datang sebanyak enam orang, dari pra sekolah sampai kelas lima SD, disatukan dalam satu ruangan kelas karena keterbatasan guru dan ruangan yang tersedia. Pagi ini, Kak Fany, seorang praktisi psikolog memberikan materi early sex education yang masih dianggap tabu oleh sebagian orang. 

Mulai dengan menggambar dua orang serta diselingi nyanyian-nyanyian yang menyenangkan, juga pesan-pesan terkait anatomi laki-laki dan perempuan, serta pendidikan terkait yang ‘boleh’ dan ‘tidak boleh’ disentuh, baik oleh keluarga, kerabat, teman, dan orang asing.

Para siswa belajar sekitar 65 menit sebelum jam istirahat selama sejam, lalu kembali belajar di kelas. Pembelajaran pada jam kedua seputar mengenal huruf, mengeja, dan membaca lancar, tergantung pada kemampuan masing-masing siswa. Pagi itu, kelas selesai pukul setengah sebelas dan sisa hari dihabiskan dengan bermain di halaman rumah Daeng Raga.

Air terjun di belakang sekolah/Nawa Jamil

Air terjun di belakang sekolah

Sebelum meninggalkan kampung ini lepas zuhur, berkat inisiatif yang sedikit memaksa, akhirnya kami mengunjungi air terjun yang terletak di belakang sekolah. Jaraknya sekitar dua kilometer dengan medan turunan curam dan tanjakan serta bebatuan sungai yang besar dan licin. Perjalanan dimulai mulus dari jalur di samping sekolah. Dari turunan sedang yang berganti turunan curam dengan kemiringan 60 derajat, membuat saya harus berpegangan pada batang-batang pohon yang terjangkau. 

Semakin ke bawah, medan makin sulit dengan lebatnya semak-semak berduri yang tumbuh subur dan liar. Setelah melewati sedikit tanah datar bekas persawahan, turunan-turunan tadi berganti tanjakan yang melelahkan. Setelah pendakian yang cukup panjang. Suara gemuruh aliran sungai mulai terdengar. Semakin melangkah, suara itu semakin jelas, hingga sampailah kami di tepi alirannya.

Air terjun yang saya rindukan masih beberapa langkah ke depan. Dengan sisa semangat dan iming-iming berenang di antara bebatuan hitam dan air sungai yang segar, kami berhasil tiba di sana. Siang itu kami tidak berfoto, hanya menghabiskan waktu dengan tenang. Kami melewatkan waktu dengan berbagai aktivitas, saya sendiri hanya berenang di sekitar kolam di bawah aliran air terjun. 

Foto bersama Daeng Raga dan mama lija sebelum berjalan meninggalkan kampung
Foto bersama Daeng Raga dan Mama lija sebelum berjalan meninggalkan kampung/Nawa Jamil

Senang bisa kembali

Saya selalu senang menyebut Kampung Bara-Baraya sebagai rumah. Di sini, saya selalu menghabiskan waktu dengan tenang, jauh dari riuh kota dan notifikasi gawai yang saling bersahutan, buru-memburu. Di sini, orang-orang hidup penuh rasa syukur, saling membantu, dan selalu menerima orang baru dengan tangan terbuka. 

Rasa-rasanya, perjalanan ke kampung ini, bersama kawan-kawan relawan yang selalu membuat hati bahagia, menjadi akhir pekan yang selalu di tunggu; tertawa pada hal-hal random, bercerita hal-hal remeh dari malam sampai pagi, menghabiskan kopi yang terasa tawar, atau menertawai diri sendiri dengan lapang.

Di Kampung Bara-Baraya, saya belajar bahwa pulang tidak selamanya sedarah, melainkan kenyamanan dari kesederhanaan dan orang-orang syahdu yang menerima dan selalu menunggu kedatangan kami, Daeng Raga dan seluruh warga Kampung Bara-Baraya.  


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Tentang Rumah di Balik Kaki Gunung Tompobulu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tentang-rumah-di-balik-kaki-gunung-tompobulu/feed/ 0 31243